ANALISIS PENERAPAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERHADAP UPAYA PAKSA DALAM PROSES PENYIDIKAN

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENERAPAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERHADAP UPAYA

PAKSA DALAM PROSES PENYIDIKAN Oleh

IVIN AIDYAN F

Secara umum,fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum khususnya penyidik kepolisian setiap tindakan penyidik tentunya harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan kepolisian berupa penyelidikan dan penyidikan terutama dalam menjalakan kewenangannya melakukan upaya paksa diantaranya adalah penangkapan dan penahanan seringkali menyimpang dari peraturan yang berlaku khususnya KUHAP dan Peraturan kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana sebagai hukum acara yang menjadi acuan kepolisian dalam melakukan penangkapan dan penahanan. berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi pokok permasalahan adalah Bagaimanakah perbandingan hukum penetapan upaya paksa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana khususnya proses penangkapan dan penahanan dan Bagaimanakah perbandingan pelaksanaan upaya paksa dalam proses perkara pidana dalam KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana khususnya proses penangkapan dan penahanan

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris sumber data Penulis berdasarkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier dan data primer yaitu data yang penulis peroleh secara kangsung di lapangan dengan nara sumber 3 orang satu orang Penyidik Polrest Tulang Bawang dan Dua orang akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis bahwa aturan hukum yang mengatur upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan berdasarkan KUHAP dan Perkap 14 Tahun 2012 bukan merupakan pertentangan karena KUHAP merupakan hukum acara yang didalamnya mengatur tentang panangkapan dan penahanan dan Perkap 14 Tahun 2012 merupakan aturan tehnis yang dikeluarkan oleh Kapolri untuk kepentingan penyidikan yang mengatur tentang penangkapan dan penahanan yang salah satu sumbernya adalah KUHAP hasil penelitian penulis lainnya penerapan KUHAP dan Perkap 14 Tahun 2012 oleh Penyidik Kepolisian dalam penanganan perkara pidana khususnya penangkapan dan penanganan tidak terjadi kendala atau pertentangan karena KUHAP mengatur penangkapan


(2)

dan penahanan secara umum dan Perkap 14 tahun 2012 adalah aturan internal yang dikeluarkan oleh Kapolri yang lebih mengatur tentang masalah tehnis upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan yang bersumber dari KUHAP.

Saran yang dapat diberikan adalah : (1) Kepolisian disarankan dalam melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan harus tetap menjadikan KUHAP sebagai acuan utama dalam beracara setelah itu baru menjadikan Perkap 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana sebagai acuan tetapi apabila di dalam KUHAP tidak diatur sedangkan didalam Perkap 14 Tahun 2012 diatur maka kepolisian dapat menggunakan Perkap sebagai Payung hukum dalam menjalankan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan. (2) Perlunya menambah wawasan pendidikan hukum bagi aparat penegak hukum khususnya kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dan menyadari bahwa penegakan hukum pada tingkat kepolisian merupakan pintu gerbang dalam penegakan hukum sehingga tugas kepolisian dapat terwujud sehingga kepolisian dapat meminimalisir permasalahan dalam penerapan hukum.


(3)

ANALISIS PENERAPAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

TERHADAP UPAYA PAKSA DALAM PROSES PENYIDIKAN

(Skripsi)

Oleh Ivin Aidyan F

Fakultas Hukum Universitas Lampung

Bandar Lampung 2013


(4)

ANALISIS PENERAPAN PERATURAN KAPOLRI NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA

TERHADAP UPAYA PAKSA DALAM PROSES PENYIDIKAN

Oleh Ivin Aidyan F

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

DAFTAR ISI

halaman I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Permasalahan... 6

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia……… 16

B. Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP dan Perkap Nomor 14 Tahun 2012... 19

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 32

B. Jenis dan Sumber Data... 33

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 36

E. Analisis Data... 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Karakteristik Narasumber……… 39

B.Perbandingan Hukum Penerapan Upaya Paksa berdasarkan KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Khususnya Penangkapan dan Penahanan……… 41


(6)

C.Perbandingan Pelaksanaan Upaya Paksa dalam Proses Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 14

Tahun 2012 Khususnya Penangkapan dan Penahanan………. 54 V. PENUTUP

A. Simpulan………... 60

B. Saran………. 61


(7)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Harahap, M. Yahya. 2006. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP

Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Hamzah, Andi. 2012. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia & Perkembangannya.

Sofmedia. Medan.

Marpaung, Leden. 2009. Proses Penanganan perkara pidan. Sinar Grafika. Jakarta.

Moeljatno. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Soerjono, Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. U I-Press. Jakarta.

Soesilo, R. dan M. Karjadi. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

dengan Penjelasan Resmi dan Komenta. Politeia. Bogor.

Waluyo, Bambang. 2008. Pidana dan Pemidanaan. Sinar Grafika. Jakarta.

Wiyanto, Roni. 2012. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju. Bandung.

---.2007.Format Penulisan Karya Ilmiah Univirsitas Lampung. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Singarimbun, Masri dan Efendi Sofyan. 1987. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta.


(8)

B. Perundang-undangan

Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana

Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indnesia

C. Website

http://kamusbahasaindonesia.org/analisis

http://acarapidana.bphn.go.id/sekilas-hukum-acara-pidana/


(9)

Judul Skripsi : ANALISIS PENERAPAN PERATURAN KAPOLRI

NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG

MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERHADAP UPAYA PAKSA DALAM PROSES PENYIDIKAN

Nama Mahasiswa :

Ivin Aidyan Firnandez

No. Pokok Mahasiswa : 0712011229 Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP. 196109121986031003 NIP. 196208171987032003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati , S.H., M.H. NIP. 196208171987032003


(10)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. ...

Sekretaris : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 196211091987031003


(11)

MOTTO

Anda dapat menjadi bintang pada jaman ini jika Anda membuat setiap menit

berarti. Ada label harga yang menempel pada setiap keberhasilan yang selalu

menjadi pertanyaan adalah: maukah Anda membayar harga tersebut, melalui

kerja keras, pengorbanan, kesabaran, iman, dan ketabahan.

-John C. Maxwell-

Hiduplah seperti bintang, walaupun berada sangat jauh namun tetap terlihat

jelas dan memancarkan cahayanya sendiri.

-Adelia Azela-

Hidup itu hanyalah sebuah pilihan, memilih, dipilih, atau menentukan

-Penulis-


(12)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan

Hidayah-Nya Serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi Ini Kepada :

Allah SWT yang berkat ridhoNya penulis dapat menyelesaikan tulisan ini

dengan baik, Alm. Ibunda tercinta Mulyati Usman, S.H., Ayahanda tersayang

Buhairi Aidi, sebagai orang tua yang mengajarkan keikhlasan tidak melalui

kata-kata melainkan perbuatan, mendidik, mengajarkan apa yang orang lain

tidak bisa ajarkan, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian

rupa, yang selalu memberikan kasih sayang yang tulus dan memberikan do’a

yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati serta tidak

pernah meninggalkan penulis dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

Abang Iko Erza, S.T., Abang Ivan Ferdiansyah Agustinus, S.H., M.H., Mbak

Ilsye Hariyanti, S.H., M.Hum., dan Adelia Azela yang selalu memberikan

dukungan serta menjadi motivasi penulis untuk dapat menyelesaikan tulisan ini

agar dapat menata masa depan yang lebih baik .

Keluarga besarku atas motivasi dan dukungannya untuk keberhasilanku

Almamaterku Tercinta Universitas Lampung


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 28 Maret 1989, merupakan putra bungsu dari pasangan Bapak Buhairi Aidi dan Ibu Mulyati Usman, S.H.

Penulis menempuh pendidikan TK Asy Syihab diselesaikan pada Tahun 1994, Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Rejosari, Kotabumi pada Tahun 2001, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 7 Kotabumi diselesaikan pada Tahun 2004, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 4 Kotabumi diselesaikan pada Tahun 2007. Pada Tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(14)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil „alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Analisis Penerapan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Terhadap Upaya Paksa Dalam Proses Penyidikan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekretaris Jurusan Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., selaku Pembimbing I yang penuh kesabaran memberikan bimbingan, motivasi, jalan, saran, dan juga kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

5. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, yang dengan kesabaran memberikan bimbingan, motivasi, jalan, saran, dan juga kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang memberikan saran dan koreksi dalam penulisan ini


(15)

7. Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang memberikan saran dan koreksi dalam penulisan ini, serta selalu memberikan motivasi, mengajarkan banyak hal dan penuh kesabaran dalam memberikan bimbingan, inspirasi, saran, koreksi dan bantuan-bantuan yang tidak dapat disebutkan satu persatu kepada penulis.

8. Ibu Ratna Syamsiar, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang memberikan kesabaran, bimbingan, saran, dan juga kritik selama perkuliahan dan proses penyelesaian skripsi ini.

9. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bidang konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Unila, yang memberi arahan serta saran yang membangun dalam penyelesaian tulisan ini.

10. Dosen-dosen Bidang Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Unila, yaitu Bapak Shafruddin, S.H., M.H., Bang Depri Liber Sonata, S.H., M.H., Bang Deni Achmad, S.H., M.H., Bang Satria Prayoga, S.H., M.H., Bang Dita Febrianto, S.H., M.H., dan Ibu Rohaini S.H., M.H. yang telah mengajarkan kedisiplinan, mengajarkan nilai-nilai kehidupan di masyarakat serta memberikan ilmunya baik diperkuliahan maupun dalam beracara dan dikeadaan apapun

11. Seluruh dosen Fakultas Hukum Unversitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi

12. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung terutama Babe Narto, mba Sri, mba Yanti, ketiga kiyay satpam dan semuanya yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi

13. Adik-adik cantik Vanny Ciendy Octaviany, Welin Tri Mayasari, Utari Dwi Pratiwi, Asri Rejeki Utami, Susi, sahabat bawel Sharmaida EL Tobing, Vera Tampubolon, orang-orang ganteng, Farid, Niel, Ridwan yang telah memberikan semangat, dukungan, royalitas, loyalitas, masukan, saran, inspirasi, kasih sayang, dan segalanya

14. Adelia Azela, yang selalu mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tulisan ini, menemani, memberikan kasih sayang dan mengingatkan penulis dalam kehidupan privasi penulis


(16)

15. Rekan-rekan di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Lentera Cendikia (LKBH-LC) yang merupakan keluarga baru bagi penulis

16. Seluruh angkatan 2007 yang tidak bisa disebutkan satu persatu karena banyak dan udah jarang juga ketemunya, “coy, gw lulus juga sekarang, hahahahah” 17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

penulis menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan, kerelaan, dan dukungannya

18. Almamater tercinta Universitas Lampung

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 14 Mei 2013 Penulis


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang dibuat oleh penguasa untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang membedakan hukum pidana dari bidang hukum lain ialah sanksi berupa pidana yang diancamkan kepada pelanggar normanya. Sanksi dalam hukum pidana adalah sanksi yang negatif, oleh karena itu hukum pidana dikatakan hukum yang bersanksi negatif, pidana memberikan penderitaan atau sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti–hentinya mencari dasar, hakekat, dan tujuan hukum pidana untuk memberikan pembenaran

justification dari pidana itu.

Penderitaan atau perasaan tidak enak bukan hanya pada saat pidana dijalani tetapi pada saat setelah pidana dijalani, orang yang dikenai pidana akan tetap merasakan

akibatnya berupa “cap” oleh masyarakat bahwa ia pernah berbuat jahat atau dalam

ilmu pengetahuan hal ini sering disebut dengan stigma dan orang tersebut mendapat stigma jika tidak hilang maka seolah–olah orang tersebut mendapat pidana seumur hidup.1

1


(18)

2

Hukum pidana terbagi menjadi dua, pertama adalah hukum pidana materill yaitu menentukan perbuatan–perbuatan mana saja yang tidak boleh dilakukan, dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Kedua adalah hukum pidana formal yaitu dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Agar hukum pidana yang dibuat oleh penguasa dapat dipatuhi setiap orang di Republik Indonesia. Hukum pidana formal secara umum diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( selanjutnya disebut KUHAP) untuk memastikan bila ada orang yang melanggar aturan-aturan yang dilarang dapat dijatuhi sangsi sesuai dengan ketentuan hukum maka penguasa membentuk lembaga–lembaga penegak hukum yang diberitugas untuk mengawasi dan menindak apabila terjadi pelanggaran hukum salah satunya adalah Kepolsian Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah suatu lembaga yang sengaja dibuat oleh negara untuk menindak tegas apabila telah terjadi pelanggaran hukum pidana, seperti telah disinggung diatas kepolisian menduduki posisi sebagai aparat penegak hukum kepada kepolisian diberikan peran berupa kekuasaan umum menangani kriminal general prolicing authority in criminal matter diseluruh wilayah negara.


(19)

3

Kepolisian merupakan aparat penegak hukum yang mengawali proses dalam sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP, kepolisian menjadi alat negara untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran hukum dan melakukan pencegahan sehingga masyarakat dapat mendapatkan ketenangan dan ketentraman.

Menurut M. Yahya Harahap sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP

merupakan “sistem terpadu” integreted criminal justice system. Sistem terpadu

tersebut diletakkan di atas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” diantara aparat penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan

undang-undang kepada masing-masing. Berdasarkan keragka landasan dimaksud aktivitas pelaksanaan criminal justice system, merupakan “fungsi gabungan”

collection of function dari :

Polisi Jaksa

Pengadilan, dan

Penjara, serta badan yang berkaitan baik yang ada di lingkungan pemerintah atau diluarnya.

Tujuan pokok “gabungan fungsi” dalam kerangka criminal justice system untuk

“menegakkan, melaksanakan (menjalankan), “dan memutuskan hukum pidana”.2

2

M.Yahya Harahap. “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan”. Sinar Grafika. Hlm 101


(20)

4

Berdasarkan Pasal 13 Undang–undang Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian Republik Indonesia mempunyai tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai lembaga penegak hukum dalam menjalankan salah satu tugasnya yaitu menegakkan hukum maka kepolisian mempunyai fungsi dan kewenangan hal tersebut diatur dengan tegas di dalam KUHAP fungsi dari Kepolsian adalah sebagai penyelidik dan penyidik setiap tindakan kepolisian dalam menjalakan fungsinya baik sebagai penyelidik atau penyidik mempunyai tujuan yang berbeda.

Tujuan dari penyelidikan adalah untuk mencari tahu apakah benar suatu laporan polisi yang dibuat oleh pelapor merupakan tindak pidana apabila benar lapora tersebut adalah tindak pidana maka kepolisian menaikkan proses perkara tersebut ketahap penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP sedangkan tujuan dari penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP. Bahwa dalam menjalakan fungsi penyidikan penyidik diberikan wewenang untuk melakukan upaya paksa. Upaya paksa merupakan hak istimewa atau hak privalise yang di berikan kepada Penyidik guna menjalankan fungsi penyidikan berupa kewenangan penyidik untuk memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menyita, dan menetapkan seseorang yang dicurigai telah melakukan tindak pidana sebagai tersangka, akan tetapi dalam menjalankan Upaya Paksa tersebut penyidik harus taat dan tunduk kepada prinsip the right of due proses yaitu setiap orang


(21)

5

Fakta yang terdapat dilapangan seringkali oknum penyidik melakukan pelanggaran hukum dalam menerapkan upaya paksa adapun bentuk pelanggarannya adalah sering terjadi tindak kekerasan berupa penganiaan, intimidasi, pengancaman, dan penyiksaan fisik terhadap tersangka yang ditahan oleh penyidik kepolisian guna mengambil pengakuan oleh keduanya agar hal itu tidak terulang lagi di kemudian hari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) telah menetapkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (selanjutnya disebut Perkap 14 Tahun 2012) yang mengatur secara Tekhnis proses Penyelidikan dan Penyidikan dan juga mengatur hal-hal yang wajib di patuhi oleh penyidik kepolisian apabila akan melakukan upaya paksa, sebagai penyidik polisi karena kewajibannya dapat mengekang hak asasi manusia dengan melakukan upaya paksa (excessive use

power) tetapi penyidik tidak boleh menggunakan kekerasan.

Sistem peradilan pidana terpadu telah menempatkan kepolisian sebagai garda terdepan yaitu untuk tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya dapat disidangkan di pengadilan setelah melalui proses penyidikan kepolisian oleh karena itu penyidik harus dapat melakukan penyidikan secara professional dan tidak boleh melanggar hak asasi manusia.

Sebelum lahirnya Perkap 14 tahun 2012 seringkali para tersangka mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh penyidik sehingga diharapkan dengan lahirnya Perkap 14 tahun 2012 penyidik dapat lebih professional dalam menjalakan kewenangannya dan lebih mengutamakan tindakan persuasif agar terjaminnya hak-hak asasi manusia (human right).


(22)

6

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul

“Analisis Penerapan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana terhadap Upaya Paksa dalam Proses Penyidikan”. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Permasalahan

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah :

a. Bagaimanakah perbandingan hukum pengaturan upaya paksa berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana khususnya proses penangkapan dan penahanan?

b. Bagaimanakah perbandingan pelaksanaan penyidikan upaya paksa dalam perkara pidana menurut KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana khususnya proses penangkapan dan penahanan?

2. Ruang Lingkup

Berdasarkan uraian permasalahan di atas dan dari permasalahan yang timbul, maka ruang lingkup bahasan dalam penelitian adalah hukum pidana dan penerapan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dalam perbandingannya dengan


(23)

7

KUHAP. Penerapan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana terkait upaya paksa yang dilakukan oleh kepolisian dalam hal ini penangkapan dan penahanan dalam proses penyidikan tindak pidana umum dengan dibatasi penelitian di Kesatuan Reserse Kriminal Umum Polrest Lampung Utara.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas , maka tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah :

a. Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis penerapan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana terhadap penangkapan dan penahanan sebagai salah satu Upaya Paksa dalam proses penyidikan.

b. Untuk mengetahui konsekuensi dan bentuk pertanggungjawaban penyidik kepolisian apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis dan praktis sebagai berikut:


(24)

8

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penulisan ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana khususnya berhubungan dengan penerapan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan terhadap upaya paksa berupa penagkapan dan penahanan dan mengetahui sanksi yang diterima oleh penyidik kepolisian apabila terjadi pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan yang berbentuk skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi penulis dalam memperdalam dan mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum pidana selain itu sebagai sumber informasi bagi teman-teman mahasiswa atau sebagai bahan bacaan pembanding seperti Jaksa, Polisi, Pengacara, dan mahasiswa.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada


(25)

9

dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian3.

Pelaksanaan hukum law enforcement akan berjalan efektif apabila kelima unsur didalamnya memadai. Kelima unsur tersebut adalah peraturan, lembaga, penegak, fasilitas dan masyarakat. Supaya suatu bidang kehidupan dapat berjalan baik maka kelima unsur harus dapat bersinergi dan diupayakan lengkap dan memadai sejumlah peraturan untuk sampai pada tehnis pelaksaannya diperlukan sejumlah peraturan pelaksanaan bahkan sampai pada petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk tertulis (juklis).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai pedoman umum dalam hukum acara telah mengatur mengenai system peradilan pidana di Indonesia mulai dari penyelidikan hingga Peninjauan Kembali. Tetapi selain KUHAP ada peraturan-peraturan lain yang mengatur bagaimana pelaksanaan KUHAP seperti Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana di lingkungan Keplosian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana mengatur berbagai hal diantaranya adalah Penangkapan dan Penahan yang merupakan salah satu upaya paksa dalam tahap penyidikan, dimana hal tersebut dalam pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, adapun dalam hal penangkapan dan

3


(26)

10

penahanan telah diatur dalan KUHAP, dan juga selain itu diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 sehingga membutuhkan ketelitian, intelegensi dan kemampuan dari aparat kepolisian, serta tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang.

Melakukan penangkapan dan penahanan dalam proses penyidikan perlu diperhatikan syarat-syaratnya seperti yang telah diatur dalam undang-undang, seperti dalam halnya KUHAP dan juga dalam hal ini Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 sebagai salah satu upaya paksa dalam proses penyidikan, kecuali apabila dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan pada saat kejadian.

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) KUHAP Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dan guna menemukan tersangkanya. Dalam bahasa Belanda ini sama dengan opsporing. Menurut De Pinto,

menyidik berarti “ pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada

terjadi sesuatu pelanggaran hukum”4

Pelaksanaan upaya paksa dalam hal penangkapan dan penahanan yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentunya terdapat

4


(27)

11

hambatan dalam penerapannya dan juga terdapat tindakan lain agar dalam penangkapan dan penahan dapat terlaksana dengan baik dan sesuai prosedur.

Penulis akan menggunakan teori perbandingan hukum dalam penulisan skripsi ini menurut Rudolf B. ScheleIsinger (Comparative Law, 1959) yang di kutip dari tulisan Angelina Vania perbandingan hukum merupakan suatu metoda penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Fokus penulis dalam perbandingan hukum ini adalah perbandingan tentang hukum acara mengenai upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan yaitu KUHAP selaku hukum acara yang berlaku dan Perkap 14 Tahun 2012 selaku aturan yang dikeluarkan oleh Kapolri sebagai acuan setiap penyidik di lingkungan Polri dalam menjalankan kewenangannya untuk melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah sususnan dari beberapa konsep sebagai salah satu kebulatan yang utuh sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan dan pedoman dalam penelitian atau penulisan. Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa.


(28)

12

kerangka konseptual yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Analisis adalah Penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.5

2. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.6

3. Manajemen adalah penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran.7

4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya8. 5. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau

keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.9

6. Laporan polisi adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang adanya pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang

5

Kamus Besar Bahasa Indonesia

6

Pasal 1 angka 1 Perkap 14 tahun 2012

7

Kamus besar bahasa Indonesia

8

Pasal 1 angka 2 KUHAP

9


(29)

13

karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang bahwa akan, sedang, atau telah terjadi peristiwa pidana.10

7. Penyelidik adalah Pejabat Polri Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.11

8. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai peristiwa tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur oleh undang-undang.12

9. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan. atau sesaat kemudian diserukan khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.13

10. Tindak pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana yang diatur dalam undang-undang14

11. Upaya paksa adalah tindakan kepolisian yang bersifat memaksa atau membatasi HAM yang diatur didalam hukum acara pidana dalam rangka penyidikan perkara 15

10

Pasal 1 angka 16 Perkap Nomor 14 tahun 2012

11

Pasal 1 angka 13 Perkap Nomor 14 tahun 2012

12

Pasal 1 Angka 2 KUHAP

13

Pasal 1 angka 18 Perkap Nomor 14 tahun 2012

14

Pasal 1 angka 7 Perkap Nomor 14 tahun 2012

15


(30)

14

12. Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.16

13. Bukti yang cukup adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 2 (dua) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penahanan.17

E. Sistematika Penulisan

Agar pembaca dapat dengan mudah memahami isi dalam penulisan skripsi ini dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, maka dalam penulisan skripsi ini, keseluruhan sistematika penulisannya disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan penelitian dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan kerangka konseptual, serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab yang menguraikan mengenai pengertian Tersangka dan hak-hak tersangka berdasarkan KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

16

Pasal 1 angka 21 Perkap Nomor 14 tahun 2012

17


(31)

15

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang berisi uraian mengenai pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan jenis sampel, prosedur pengolahan dan pengumpulan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berupa hasil penelitian dan pembahasan yag terbagi dalam sub bab mengenai penamgkapan dan penahanan oleh kepolisian Republik Indonesia berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 , dan akibat hukum yang timbul apabila penangkapan dan penahanan sebagai salah satu upaya paksa dalam penyidikan tindak pidana oleh penyidik Kepolisian tidak sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012. V. PENUTUP

Bab ini berisikan mengenai kesimpulan dan saran yang merupakan hasil akhir dari penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan yang telah dibahas dalam penelitian skripsi ini yang berisikan kesimpulan dan saran.


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia

Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, adanya perubahan perundang-undangan di Negeri Belanda yang dengan asas konkordansi diberlakukan pula di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848. Pada masa itu di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi peraturan hukum acara pidana, seperti reglement op de rechterlijke

organisatie (RO. Stb 1847-23 jo Stb 1848-57) yang mengatur mengenai susunan

organisasi kehakiman; Inladsch reglement (IR Stb 1848 Nomor 16) yang mengatur tentang hukum acara pidana dan perdata di persidangan bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan Timur Asing; reglement op de

strafvordering (Stb. 1849 nomor 63) yang mengatur ketentuan hukum acara

pidana bagi golongan penduduk Eropa dan yang dipersamakan;

landgerechtsreglement (Stb 1914 Nomor 317 jo Stb. 1917 Nomor 323) mengatur

acara di depan pengadilan dan mengadili perkara-perkara sumir untuk semua golongan penduduk. Disamping itu diterapkan pula ordonansi-ordonansi untuk daearah luar Jawa dan Madura yang diatur secara terpisah.

Dalam perkembangannya ketentuan “Inlandsch Reglement” diperbaharui menjadi “Het Herzien Inlandsch Reglement” (HIR), yang mendapat persetujuan Volksraad


(33)

17

peraturan undang-undang mengenai pemeriksaan pendahuluan. Dengan hadirnya HIR ini, muncullah Lembaga Penuntut Umum (Openbare Ministrie) yang tidak lagi dibawah pamongpraja, tetapi langsung berada dibawah Officer van Justitie dan Procucuer General.18

Pada pendudukan Jepang pada umumnya tidak terjadi perubahan yang fundamental kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan unttuk golongan Eropa. Dengan demikian acara pidanapun tidak berubah. HIR dan

reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechtreglment berlaku untuk

pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan pengadilan agung.19

Setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945, dilakukan berbagai upaya perubahan dengan mencabut dan menghapus sejumlah peraturan masa sebelumnya, serta melakukan unifikasi hukum acara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Dalam hal ini, melalui penerapan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Drt tahun 1951 ditegaskan, untuk hukum acara pidana sipil terhadap penuntut umum semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, masih berpedoman pada HIR dengan perubahan dan tambahan.

pada tahun 1981, melalui undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), segala peraturan yang sebelumnya berlaku dinyatakan dicabut. KUHAP yang disebut-sebut sebagai “karya agung” bangsa Indonesia merupakan suatu unifikasi hukum yang diharapkan dapat

18http://acarapidana.bphn.go.id/sekilas-hukum-acara-pidana/

diakses pada tanggal 20 Februari 2013

19


(34)

18

memberikan suatu dimensi perlindungan hak asasi manusia dan keseimbangannya dengan kepentingan umum. Dengan terciptanya KUHAP, maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap. Dalam arti, seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenaran) penyelidikan sampai pada kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung.


(35)

19

B. Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP dan Perkap Nomor 14 Tahun 2012

1. Penyelidikan

Sebelum berlaku Undang-undang No. 8 Tahun 1981 sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana yang menjadi hukum acara pidana adalah herziene islands reglement (HIR), terhadap pengertian penyelidikan, dipergunakan perkataan opspornig atau orderzoek, akan tetapi pada masa HIR pengertian pengusutan atau penyidikan selalu dipergunakan secara kacau. Tidak jelas batas fungsi pengusutan

(opspornig) dengan penyidikan. Sehingga sering menimbulkan ketidak

tegasan pengertian dan tindakan.

Penegasan pengertian ini sekarang sangat berguna demi untuk kejernihan fungsi pelaksanaan penegakan hukum. Dengan penegasan dan pembedaan antara penyelidikan dan penyidikan:

- Telah tercipta penahapan tindak pidana guna menghindarkan cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masa-masa yang telah lalu. Akibat dari cara-cara penindakan yang tergesa-gesa, dapat menimbulkan sikap dan tingkah laku aparat penyidik kepolisian sering tergelincir ke arah mempermudah dan menganggap sepele nasib seseorang yang diperiksa;

- Dengan adanya tahapan penyelidikan, diharap tumbuh sikap hati-hati dan rasa tanggung jawab hukum yang lebih bersifat manusiawi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Menghindari cara-cara


(36)

20

penindakan yang menjurus kepada mengutamakan pemerasan pengakuan dari pada menemukan keterangan dan bukti-bukti. Apalagi jika pengertian dan tujuan penahapan pelaksanaan fungsi penyelidikan penyelidikan dan penyidikan di hubungkan dengan ketentuan Pasal 17, semakin memperjelas pentingnya arti penyelidikan, sebelum dilanjutkan dengan tindakan penyidikan, agar tidak terjadi tindakan yang melanggar hak-hak asasi yang melanggar harkat dan martabat manusia.20

Penyelidikan dijelaskan oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 5 KUHAP :

“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Penyelidikan merupakan kegiatan yang tidak terhenti dan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari awal proses penyidikan, penindakan, dan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada JPU, pelaksanaan persidangan pengadilan sampai putusan sidang pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dalam hal penggunaan istilah penyelidikan di dalam praktek lebih sering digunakan istilah reserse. Di mana tugas utamanya adalah menerima laporan dan mengatur serta menyetop orang yang dicurigai untuk

20

M.Yahya Harahap. “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan


(37)

21

diperiksa. Jadi berarti penyelidikan ini tindakan mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh Van Bemmelen, maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hukum acara pidana, yang berati mencari kebenaran.21

Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang penyidikan. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, menurut M. Yahya Harahap

penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindakan pengusutan”

sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.22

Pejabat kepolisian yang melakukan tugas penyelidikan disebut penyelidik berdasarkan Pasal 1 Angka 4 KUHAP penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Sesuai dengan Pasal 4 KUHAP yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah Pejabat kepolisian, dalam melakukan penyelidikan pidana umum pejabat kepolisian merupakan penyelidik tunggal yang diamanatkan oleh KUHAP. Penyelidik agar dapat menjalankan tugas-tugas penyelidikan yang pada hakekatnya merupakan salah satu bidang tugas yang diberikan oleh

21

Andi Hamzah. “Hukum Acara Pidana Indonesia”. Sinar Grafika. Hlm 119

22

M.Yahya Harahap. “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan


(38)

22

KUHAP kepada kepolisian maka sepatutnya penyelidik harus sangat memahami dasar pemikiran dari pembentuk Undang-Undang Hukum Acara Pidana, seperti asas-asas yang dimiliki oleh Hukum Acara Pidana itu sendiri, kewajiban dan kewenangan yang penyelidik miliki serta batas-batas kewenagannya oleh sebab itu pembentuk undang-undang secara tegas telah memberikan apa saja yang menjadi kewenangan penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 KUHAP (Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4):

1. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana ;

b. Mencari keterangan dan barang bukti ;

c. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri ;

d. Mengadakan tindakan lain menurut hokum mengadakan tindakan yang bertanggungjawab.

2. Atasperintahpenyidikdapat melakukan tindakan berupa :

a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan ;

b. pemeriksaan dan penyitaan surat ;

c. mengambil sidik jari dan memotret seseorang ;

d. membawa dan menghadapkan seorang kepada penyidik.”

Pembentuk undang-undang berpendapat bahwa kewenangan penyelidik yang diatur dalam KUHAP sudah sangat jelas dan tidak perlu ada


(39)

23

penafsiran lagi hal ini dibuktikan dengan cara pembentuk undang-undang tindak memberikan penjelasan kecuali pada kata tindakan lain seperti yang dirumuskan dalam pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4.

Kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh KUHAP kepada penyelidik sudah sangat besar tetapi selain KUHAP Perkap 14 tahun 2012 juga mengatur hal-hal menyangkut penyelidikan yang bersifat tehnis hanya berlaku di internal kepolisian dan tidak diatur oleh KUHAP, sehingga Perkap 14 tahun 2012 dapat dikatakan sebagai petunjuk tehnis penyelidik dalam melakukan penyelidikan.

Berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Perkap Nomor 14 tahun 2012 mengatakan bahwa penyelidikan dapat dilakukan sebelum ada laporan Polisi/Pengaduan dan Sesudah ada Laporan Polisi/Pengaduan atau dalam Rangka Penyidikan sehingga penyelidikan berfungsi untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan, Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan atau dapat dilakukan secara bersama-sama dengan penyidikan.

Pejabat Polri yang bertugas melakukan penyelidikan wajib mematuhi Prinsi-Prinsip yang terdapat dalam Perkap 14 Tahun 2012 yaitu Legalitas, Professional, Proposional, Prosedural, Transparan, akuntabel, Efektif, dan Efisien23 yang berarti penyelidik harus mampu menjalankan tugas secara tepat dan cepat, setiap penyelidik menjalakan tugasnya sesuai legalitas dan

23


(40)

24

wewenangnya masing-masing, penyelidik dalam menjalankan tugas tidak dapat di intervensi oleh siapapun, setiap tindakan penyelidik memperhatikan asas keterbukaan dan bersifat informatif bagi pihak-pihak terkait, dan penyelidik dapat dapat mempertanggung jawabkan tindakannya secara yuridis, administrasi dan teknis.

Agar penyelidikan berjalan efektif dan efisien, maka penyelidik sebelumnya membuat rencana penyelidikan yang menguraikan tentang apa sasaran penyelidikan, teknik dan taktik yang tepat untuk digunakan, peralatan yang digunakan, dan kelengkapan administrasi. Untuk pengendalian penyelidikan maka dalam mejalakan tugas penyelidik harus mendapatkan surat perintah penyelidikan yang dikeluarkan oleh atasan penyelidik tapi apabila dalam keadaan tertentu ataupun memdesak penyelidik dapat melakukan penyelidikan, dengan meminta persetujuan lisan kepada atasan penyelidik atau dengan segera melaporkan setelah melakukan penyelidikan. Setelah melakukan penyelidikan, penyelidik menuangkan hasil yang didapat dalam Laporan Hasil Penyelidikan yang nantinya akan disampaikan kepada atasan penyelidik.

Kewenangan Penyelidik selain yang telah di tentukan oleh KUHAP, Pasal 24 PerkapNomor 14 Tahun 2012 juga memberikan petunjuk tentang kegiatan apa saja yang harus dilaksanakan oleh penyelidik yaitu :

1. PengolahanTempatKejadianPerkara (TKP). 2. Pengamatan.(observasi)


(41)

25

4. Pembuntutan(surveillance). 5. Pelacakan(tracking). 6. Penyamaran(UnderCover).

Bahwa dalam rangka Penyelidikan Penyelidik dilarang untuk menggunakan Upaya Paksa karena sudah sangat jelas baik KUHAP atau Perkap 14 Tahun 2012 tidak memberikan kewenangan kepada Penyelidik untuk melakukan upaya paksa setelah selesai melakukan penyelidikan maka perkara tersebut harus di tingkatkan ke tahap penyidikan.

2. Penyidikan

Proses Penyelidikan yang telah dilakukan penyelidik terhadap peristiwa yang diduga tindak pidana maka selanjutnya terhadap peristiwa tersebut dilakukan proses penyidikan. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Menurut R. Tresna, penyidikan merupakan pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.


(42)

26

Secara umum yang diketahui oleh masyarakat penyidik hanya anggota kepolisian saja. Namun tidak demikian secara Yuridis Formal, selain Polri masih ada penyidik lain seperti Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Jaksa, dan perwira TNI Angkatan Laut. Ketentua yang mengatur hal itu antara lain dapat disimak dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP24 tetapi dalam tulisan ini penulis hanya akan menjelaskan penyidikan yang dilakukan oleb Pejabat Kepolisian Republik Indonesia.

Secara singkat tugas penyidik Polri adalah melakukan penyidikan. Kegiatan penyidikan merupakan tindak lanjut penyelidikan yang sedikit banyak telah menemukan konstruksi peristiwa pidana yang terjadi.25

Undang-undang memberi hak istimewa atau hak privalise kepada penyidik untuk menjalankan fungsi penyidikan seperti memanggil, memeriksa, menangkap, menahan, menyita, dan menetapkan seseorang yang dicurigai telah melakukan tindak pidana sebagai tersangka, akan tetapi dalam menjalankan hak dan kewenangan istimewa tersebut harus taat dan tunduk kepada prinsip the right of due proses yaitu setiap orang berhak diselidiki dan disidik di atas landasan hukum.

Pasal 109 KUHAP menyebutkan Proses penyidikan yang sedang berjalan harus diberitahukan kepada Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) dengan cara mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya

24

BambangWaluyo.“Pidana dan Pemidanaan”.Sinar Grafika. Hlm 41

25Ibid


(43)

27

Penyidikan (SPDP). Penyidik dalam melakukan penyidikan harus berdasarkan Undang-Undang artinya setiap tindakan yang dilakukan oleh penyidik harus berdasarkan hukum sebagaimana yang telah diatur dalam KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang lain.

Proses penyidikan harus dijalankan secara profesional oleh penyedik dengan berlandaskan hukum selain KUHAP yang menjadi landasan hukum Penyidik adalah Perkap No 14 tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana salah satu prinsip yang terkandung dalam Perkap nomor 14 Tahun 2012 adalah Prinsip Legalitas yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan26, penyidikan di dasarkan oleh adanya laporan polisi dan Surat Perintah Penyidikan 27

Penyidikan didalam Perkap nomor 14 tahun 2012 dibagi dalam Empat tingkatan yaitu :

1. Perkara Mudah

Perkara mudah memiliki ciri-ciri Saksi Cukup, Alat bukti Cukup, Tersangka sudah diketahui atau ditangkap dan proses penanganan relatif cepat28 ditangani oleh Keplosian Tingkat Sektor (Polsek).29

26

Lihat Pasal 3 Huruf a Perkap Nomor 14 tahun 2012

27

Lihat Pasal 14 Ayat (1) Perkap Nomor 14 tahun 2012

28

Lihat Pasal 18 Ayat (1) Perkap Nomor 14 tahun 2012

29


(44)

28

2. Perkara Sedang

Perkara Sedang memiliki ciri-ciri saksi cukup, terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka, identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan mudah ditangkap, tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan terorganisir, tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya, tidak memerlukan keterangan ahli namun bila diperlukan ahli mudah didapat.30 Di tangani oleh kepolisian tingkat Kepolisian Resort (Polrest) dan Polsek31

3. Perkara Sulit

Perkara sulit memiliki ciri-ciri saksi tidak mengetahui langsung tentang tindak pidana yang terjadi, tersangka belum diketahui identitsanya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu, tersangka dilindungi kelompok tertentu atau bagian dari pelaku kejahatan terorganisir, barang bukti yang berhubungan langsung dengan perkara sulit didapat, diperlukan keterangan ahli yang dapat mendukung pengungkapan perkara, diperlukan peralatan khusus dalam penanganan perkaranya, tindak pidana yang dilakukan terjadi di beberapa tempatdan memerlukan waktu penyidikan yang

30

Lihat Pasal 18 Ayat (2) Perkap Nomor 14 tahun 2012

31


(45)

29

cukup.32 Pengananan perkara sulit dilakukan oleh kepolisian tingkat Polrest dan Kepolisian Daerah (Polda).33

4. Perkara Sangat Sulit

Perkara sangat sulit memiliki ciri-ciri belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan tindak pidana, saksi belum diketahui keberadaannya, saksi atau tersangka berada diluar negeri, TKP di beberapa negera/lintas negara, tersangka ada diluar negeri dan belum ada perjanjian ekstradisi, barang bukti berada diluar negeri dan tidak dapat disita, tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu dan memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang.34 Penyidikan dilakukan oleh kepolisian tingkat Polda dan Maskas Besar kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri).35

Pejabat kepolisian yang melakukan Penyidikan harus melakukan Gelar perkara, Gelar perkara dibagi menjadi Dua yaitu :36

1. Gelar Perkara Biasa

a. Gelar perkara biasa dilaksanakan pada tahap awal penyidikan yang bertujuan untuk menentukan status perkara pidana atau bukan, merumuskan rencana penyidikan, merumuskan unsur-unsur pasal

32

Lihat Pasal 18 Ayat (3) Perkap Nomor 14 tahun 2012

33

Lihat Pasal 19 Perkap Nomor 14 tahun 2012

34

Lihat Pasal 18 Ayat (4) Perkap Nomor 14 tahun 2012

35

Lihat Pasal 19 Perkap Nomor 14 tahun 2012

36


(46)

30

yang dirumuskan, menentukan saksi, tersangka dan barang bukti, menentukan target waktu, dan teknik serta taktik penyidikan. 37 b. Gelar perkara biasa dilaksanakan pada tahap pertengahan proses

penyidikan yang bertujuan untuk evaluasi dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam penyidikan, mengetahui kemajuan penyidikan yang dicapai dan upaya percepatan penyelsaian penyidikan, menentukan rencana penindakan lebih lanjut, memastikan kesesuaian antara saksi, tersngka dan barang bukti dengan pasal yang dipersangkakan, memastikan pelaksanaan penyidikan telah sesuai dengan target yang ditetapkan dan atau mengembangkan rencana dan sasaran penyidikan.38

c. Gelar perkara biasa dilaksanakan pada tahap akhir penyidikan bertujuan untuk evaluasi proses penyidikan yang telah dilaksanakan, pemecahan masalah atau hambatan penyidikan, Memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka dan barang bukri, penyempurnaan berkas perkara, menentukan layak tidaknya berkas perkara dilimpahkan kepada penuntut umum atau dihentikan dan atau pemenuhan petunjuk JPU.39

2. Gelar Perkara Khusus

Gelar perkara khusus dilakukan bertujuan untuk merespon laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang berperkaraatau penasehat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku

37

Lihat Pasal 70 ayat (2) Perkap Nomor 14 tahun 2012

38

Lihat Pasal 70 Ayat (3) Perkap Nomor 14 tahun 2012

39


(47)

31

penyidik, membuka kembali penyidikan yang telah dihentikan setelah didapatkan bukti baru, menetukan tindakan kepolisian secara khusus atau membuka kembali penyidikan berdasarkan keputusan praperadilan yang berkekuatan hukum tetap.40

Gelar perkara khusus dilaksanakan terhadap kasus-kasus tertentu dengan perimbangan memerlukan persetujuan tertulis Presiden/Mendagri/gubernur, menjadi perhatian publik secara luas dan permintaan penyidik.41

Melakukan gelar perkara pada tahap akhir merupakan langkah penyidik sebelum mengajukan berkas Perkara ke Jaksa Penuntut Umum atau menjadi langkah penyidik untuk merencanakan langkah-langkah untuk memenuhi Petunjuk jaksa Penuntut Umum sehingga perkara dapat dinyatakan lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum.

40

Lihat Pasal 71 Ayat (1) Perkap Nomor 14 tahun 2012

41


(48)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini untuk pembahasannya, penulis melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris guna untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar dan objektif.

1. PendekatanYuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan, yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.

Pendekatan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori dan literatur-literatur yang erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.

2. PendekatanYuridisEmpiris

Pendekatan yuridis empiris yaitu dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek


(49)

33

penelitian dengan cara observasi dan wawancara dengan responden yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. B. Jenis dan Sumber Data

Penulis memerlukan data-data yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Adapun jenis data yang digunakan adalah :

1. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang digunakan dalam menjawab permasalahan pada penelitian ini melalui studi kepustakaan dengan cara membaca, mengutip, mempelajari dan menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan yang ada. Data sekunder terdiri dari 3 ( tiga ) bahan hukum, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum bersifat mengikat. Untuk penulisan skripsi ini, bahan hukum primer yang digunakan adalah : 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP )

2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentangHakAsasiManusia 4) Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia

5) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana


(50)

34

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, antara lain Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, dan buku-buku literatur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian maupun majalah dan surat kabar/media cetak.

2. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung pada objek penelitian yang dilakukan dengan cara observasi dan wawancara di Kepolisian Daerah Lampung.

C. Penentuan Populasi dan Sample

Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisis yang dapat diduga-duga. Menurut Soerjono Sukanto bahwa populasi adalah sejumlah manusia atau unit


(51)

35

yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama. Dalam penulisan ini yang dijadikan populasi adalah Polda Lampung dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung dijadikan narasumber untuk memberikan pemahaman lebih dalam mengenai pelaksanaan upaya paksa khususnya penahanan dan penyidikan disoroti dengan Perkap Nomor 14 Tahun 2012.42

Sample adalah sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Dalam menentukan populasi dan sampel yang akan diteliti dalam penulisan ini menggunakan metode purposive sampling yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subjek yang didasarkan pada tujuan tertentu43.

Sample dalam penelitian ini diperoleh dari Anggota Reskrim Polrest Tulang Bawang dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung. Untuk mendapatkan data yang diperlukan dari populasi, penulis melakukan wawancara kepada responden yang telah dipilih sebagai sample yang dianggap mewakili seluruh responden.

Adapun responden yang dianggap dapat mewakili sampel dalam mencapai tujuan peneliti, maka yang menjadi sampel/responden dalam penelitian ini adalah : 1. Penyidik Polrest Tulang Bawang = 1 orang

2. Dosen BagianHukum Pidana = 2 orang +

Jumlah Responden Keseluruhan = 3 orang

42Soejono Soekanto. “Pengantar Penelitian Hukum. UI

-Press. jakarta

43


(52)

36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri dari :

a. Data Primer 1) Observasi

Yaitu pengumpulan data secara langsung terhadap objek penelitian, untuk memperoleh data yang valid dengan menggunakan metode observasi yang dilaksanakan di Propam Polda Lampung.

2) Wawancara

Yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara (interview) secara langsung dengan alat bantu daftar pertanyaan yang bersifat terbuka. Di mana wawancara tersebutdilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu responden/nara sumber yang akan diwawancarai sesuai dengan objek penelitian yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Wawancara tersebut dilakukan dengan petugas kepolisian pada Kepolisian Resort Lampung Utara.


(53)

37

b. Data sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan Library Research Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya adalah pengolahan data, yaitu kegiatan merapikan dan menganalisa data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan seleksi data dengan cara memeriksa data yang diperoleh melalui kelengkapannya. Klasifikasi atau pengelompokan data secara sistematis.

2. Prosedur Pengolahan Data

Kegiatan pengolahan data dapat dilakukn sebagai berikut :

1. Editing data, yaitumemeriksaataumeliti data yang keliru, menambah serta melengkapi data yang kuranglengkap.

2. Klasifikasi data, yaitu penggolongan atau pengelompokan data menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

3. Sistematisasi data, yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis hingga memudahkan interpretasi data.


(54)

38

4. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikannya dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.

E. Analisa Data

Proses analisa data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan.dalam proses analisa data ini, rangkaian data yang telah tersusun secar sistematis menurut klasifikasinya kemudian diuraikan dan dianalisa secara analisis kualitatif, yakni dengan memberikan pengertian terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh dilapangan dan disusun serta diuraikan dalam bentuk kalimat per kalimat. Kemudian dari hasil analisa data tersebut diinterpretasikan ke dalam bentuk kesimpulan yang bersifat induktif yang berupa jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.


(55)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan pembahasan mengenai masalah yang diangkat dalam skripsi ini, maka penulis menarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Aturan hukum tentang upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan berdasarkan KUHAP dan Perkap 14 Tahun 2012 tidak ada pertentangan antara kedua hukum positif tersebut karena KUHAP adalah hukum acara yang mengatur tentang sistem peradilan pidana didalamnya diatur tentang penangkapan dan penahanan Perkap 14 Tahun 2012 merupakan aturan tehnis yang dikeluarkan oleh Kapolri untuk kepentingan penyidikan yang didalamnya diatur tentang penangkapan dan penahanan, Perkap 14 Tahun 2012 merupakan peraturan tehnis pelaksananan penyidikan yang memuat tentang berbagai macam hukum acara mulai dari KUHAP sampai dengan hukum acara yang bersifat khusus.

2. Penarapan upaya paksa oleh Penyidik Kepolisian tidak yerjadi kendala dalam proses penyidikan tindak pidana khususnya penangkapan dan penahanan, antara KUHAP dan Perkap 14 Tahun 2012 tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat beberapa hal yang tidak diatur di dalam KUHAP sedangkan didalam Perkap 14 Tahun 2012 diatur karena Perkap 14 Tahun


(56)

61

2012 mengatur tentang masalah tehnis penyidikan dan tingkatnya tidak setingkat dengan KUHAP sehingga hal tersebut bukan merupakan masalah.

B. Saran

Berdasarkan berbagai pembahasan dan kesimpulan yang ada, maka penulis memberikan beberapa saran yang kedepannya dapat bermanfaat bagi aparat penegak hukum khususnya kepolisian, masyarakat, serta negara dalam upaya penanggulangan terhadap penanganan perkara pidana , yakni sebagai berikut:

1. Kepolisian disarankan dalam melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan harus tetap menjadikan KUHAP sebagai acuan utama dalam beracara setelah itu baru menjadikan Perkap 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana sebagai acuan tetapi apabila di dalam KUHAP tidak diatur sedangkan didalam Perkap 14 Tahun 2012 diatur maka kepolisian dapat menggunakan Perkap sebagai Payung hukum dalam menjalankan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan sebagai contoh perlakuan khusus terhadap tahanan anak KUHAP tidak mengatur tentang perlakuan khusus terhadap anak-anak tetapi Perkap 14 tahun 2012 mengatur hal tersebut. Perlunya menambah wawasan pendidikan hukum bagi aparat penegak hukum khususnya kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dan menyadari bahwa penegakan hukum pada tingkat kepolisian merupakan pintu gerbang dalam penegakan hukum sehingga tugas kepolisian dapat terwujud.


(57)

62

2. Kepolisian dalam melakukan penangkapan terhadap seseorang tersangka haruslah menjadikan KUHAP sebagai dasar utama karena Perkap hanyalah aturan tehnis yang dikeluarkan oleh Kapolri tentang manajemen penyidikan tindak pidana sehingga apabila terjadi pertentangan antara KUHAP dan Perkap 14 Tahun 2012 maka KUHAP yang harus diikuti dalam pelaksanaannya.


(1)

36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data guna pengujian hasil penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data yang terdiri dari :

a. Data Primer 1) Observasi

Yaitu pengumpulan data secara langsung terhadap objek penelitian, untuk memperoleh data yang valid dengan menggunakan metode observasi yang dilaksanakan di Propam Polda Lampung.

2) Wawancara

Yaitu pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara (interview) secara langsung dengan alat bantu daftar pertanyaan yang bersifat terbuka. Di mana wawancara tersebutdilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu responden/nara sumber yang akan diwawancarai sesuai dengan objek penelitian yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian. Wawancara tersebut dilakukan dengan petugas kepolisian pada Kepolisian Resort Lampung Utara.


(2)

b. Data sekunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan Library Research Studi kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan ilmiah lainnya yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya adalah pengolahan data, yaitu kegiatan merapikan dan menganalisa data tersebut, kegiatan ini meliputi kegiatan seleksi data dengan cara memeriksa data yang diperoleh melalui kelengkapannya. Klasifikasi atau pengelompokan data secara sistematis.

2. Prosedur Pengolahan Data

Kegiatan pengolahan data dapat dilakukn sebagai berikut :

1. Editing data, yaitumemeriksaataumeliti data yang keliru, menambah serta melengkapi data yang kuranglengkap.

2. Klasifikasi data, yaitu penggolongan atau pengelompokan data menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

3. Sistematisasi data, yaitu penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis hingga memudahkan interpretasi data.


(3)

38

4. Interpretasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan menguraikan data serta mendeskripsikannya dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan.

E. Analisa Data

Proses analisa data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan mengenai perihal di dalam rumusan masalah serta hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan.dalam proses analisa data ini, rangkaian data yang telah tersusun secar sistematis menurut klasifikasinya kemudian diuraikan dan dianalisa secara analisis kualitatif, yakni dengan memberikan pengertian terhadap data yang dimaksud menurut kenyataan yang diperoleh dilapangan dan disusun serta diuraikan dalam bentuk kalimat per kalimat. Kemudian dari hasil analisa data tersebut diinterpretasikan ke dalam bentuk kesimpulan yang bersifat induktif yang berupa jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian.


(4)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan pembahasan mengenai masalah yang diangkat dalam skripsi ini, maka penulis menarik suatu kesimpulan sebagai berikut :

1. Aturan hukum tentang upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan berdasarkan KUHAP dan Perkap 14 Tahun 2012 tidak ada pertentangan antara kedua hukum positif tersebut karena KUHAP adalah hukum acara yang mengatur tentang sistem peradilan pidana didalamnya diatur tentang penangkapan dan penahanan Perkap 14 Tahun 2012 merupakan aturan tehnis yang dikeluarkan oleh Kapolri untuk kepentingan penyidikan yang didalamnya diatur tentang penangkapan dan penahanan, Perkap 14 Tahun 2012 merupakan peraturan tehnis pelaksananan penyidikan yang memuat tentang berbagai macam hukum acara mulai dari KUHAP sampai dengan hukum acara yang bersifat khusus.

2. Penarapan upaya paksa oleh Penyidik Kepolisian tidak yerjadi kendala dalam proses penyidikan tindak pidana khususnya penangkapan dan penahanan, antara KUHAP dan Perkap 14 Tahun 2012 tidak terdapat perbedaan tetapi terdapat beberapa hal yang tidak diatur di dalam KUHAP sedangkan didalam Perkap 14 Tahun 2012 diatur karena Perkap 14 Tahun


(5)

61

2012 mengatur tentang masalah tehnis penyidikan dan tingkatnya tidak setingkat dengan KUHAP sehingga hal tersebut bukan merupakan masalah.

B. Saran

Berdasarkan berbagai pembahasan dan kesimpulan yang ada, maka penulis memberikan beberapa saran yang kedepannya dapat bermanfaat bagi aparat penegak hukum khususnya kepolisian, masyarakat, serta negara dalam upaya penanggulangan terhadap penanganan perkara pidana , yakni sebagai berikut:

1. Kepolisian disarankan dalam melakukan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan harus tetap menjadikan KUHAP sebagai acuan utama dalam beracara setelah itu baru menjadikan Perkap 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana sebagai acuan tetapi apabila di dalam KUHAP tidak diatur sedangkan didalam Perkap 14 Tahun 2012 diatur maka kepolisian dapat menggunakan Perkap sebagai Payung hukum dalam menjalankan upaya paksa khususnya penangkapan dan penahanan sebagai contoh perlakuan khusus terhadap tahanan anak KUHAP tidak mengatur tentang perlakuan khusus terhadap anak-anak tetapi Perkap 14 tahun 2012 mengatur hal tersebut. Perlunya menambah wawasan pendidikan hukum bagi aparat penegak hukum khususnya kepolisian dalam melaksanakan tugasnya dan menyadari bahwa penegakan hukum pada tingkat kepolisian merupakan pintu gerbang dalam penegakan hukum sehingga tugas kepolisian dapat terwujud.


(6)

2. Kepolisian dalam melakukan penangkapan terhadap seseorang tersangka haruslah menjadikan KUHAP sebagai dasar utama karena Perkap hanyalah aturan tehnis yang dikeluarkan oleh Kapolri tentang manajemen penyidikan tindak pidana sehingga apabila terjadi pertentangan antara KUHAP dan Perkap 14 Tahun 2012 maka KUHAP yang harus diikuti dalam pelaksanaannya.