BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Preferensi Masyarakat Dalam Memilih Institusi Pembayaran Zakat Di Kota Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Zakat

  Menurut etimologi syari’at (istilah), zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan Allah SWT, untuk dikeluarkan dan diberikan kepada orang–orang yang berhak menerimanya. Dalam Al – Quran, Allah SWT telah menyebutkan tentang zakat dan shalat sebanyak 82 ayat (Al- Zuhayly, 2008), dimana kata zakat disebut sebanyak 30 kali dalam Al – Qur’an, 27 kali dalam satu ayat bersama shalat, 1 kali dalam konteks shalat, 8 kata dalam surat yang diturunkan di Mekah, dan 22 kali dalam surat yang diturunkan di Madinah (Nurhayati dan Wasilah, 2009).

  Ditinjau dari segi bahasa kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih dan baik, sedangkan dari segi istilah fiqih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya, disamping berarti mengeluarkan sejumlah harta tertentu itu sendiri (Qardawi, 1995).

  Menurut Al-zuhaily, empat Madzhab memberikan defenisi berbeda-beda mengenai makna zakat, yaitu sebagai berikut:

1. Mazhab Syafi’i

  Zakat ialah sebuah ungkapan untuk mengeluarkan harta atau tubuh sesuai dengan cara yang khusus.

  2. Mazhab Maliki 
yang khusus

  Zakat ialah mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta pula yang telah mencapai nishab kepada orang-orang yang berhak

  (setahun) selain barang tambang dan pertanian.

  3. Mazhab Hanafi
 Zakat ialah menjadikan sebagian harta yang khusus dari
harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus sesuai
ketentuan syari’ at.

  4. Mazhab Hambali
 Zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula.

  Meskipun para ulama mengemukakannya agak berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat itu adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya (Ambara, 2009).

  Jadi zakat adalah salah satu kewajiban umat Islam yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang selalu disebutkan sejajar dengan shalat. Inilah yang menunjukkan betapa pentingnya zakat sebagai salah satu rukun Islam. (Al-ba’ly,2006)

  Allah SWT berfirman : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu

  

kamumembersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk

mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman bagi jiwa

mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At

  • – Taubah (9): 103)

  Pada ayat diatas disebutkan bahwa tujuan seorang muslim menunaikan ibadah zakat untuk membersihkan dan menyucikan harta mereka. Artinya, dengan keberkahan pada harta akan membuat manusia bahagia dunia akhirat.

  Dalam ayat yang lain Allah berfirman, “Dan sesuatu riba (tambahan)yang kamu berikan agar dia bertambah

pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.

  

Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk

mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah

orang- orang yang melipat gandakan (pahalanya).“(QS. Ar-Ruum (30):

39)

  Ayat tersebut menjelaskan bahwa ibadah zakat tidak mengurangi harta pemiliknya tapi justru melipatgandakan harta tersebut maupun pahala orang yang menunaikan zakat.

  Zakat dan shalat dalam Al-Qur’an dan hadits merupakanlambang keseluruhan dari semua ajaran Islam. Hal tersebutmenunjukkan bahwa betapa eratnya hubungan antara keduanya.Keislaman seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan kedua haltersebut (Al –Zuhaily,2008). Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang dekatdengan Tuhan berimplikasi pula pada kedekatannya dengan manusia,begitu pula sebaliknya (Muflih, 2006).


  Melaksanakan shalat merupakan lambang baiknya hubunganseseorang dengan Tuhannya, sedang zakat adalah lambang harmonisnya hubungan antara sesama manusia. Sehingga tidak mengherankan jika shalat dan zakat yang disyari’atkan Allah merupakan pilar-pilar berdirinya bangunan Islam. Jika keduanyahancur maka Islam pun sulit untuk tetap bertahan.
 Di dalam sejarah Islam pernah terjadi, bahwa Abu Bakarpernah memerangi orang yang tidak mau perangi orang yang membedakan antara shalat dan zakat”. (Ambara,2009).

  Selain ayat ayat yang terdapat dalam Al – Qur’an, juga terdapat hadist yang menjelaskan tentang zakat sebagaimana diriwiyatkan oleh H.R Ahmadsebagai berikut:

  

“Dari Anas bin Malik sesungguhnya ia berkata: bahwa telah datang

seorang laki – laki dari suku Tamim menghadap Nabi saw. Katanya:

Ya Rasulullah, saya ini punya harta banyak, punya kaum kerabat dan

kawan kawan yang dating bertamu. Tolonglah katakan apa yang harus

saya perbuat dan bagaimana caranya saya mengeluarkan nafkah.

Maka Nabi saw nenjawab: Anda keluarkan zakat dari harta tersebut,

karena sesungguhnya zakat itu pencuci yang akan membersihkan anda,

yaitu menghubungkan silaturrahmi dengan keluargamu, dan mengakui

hak peminta – minta, tetangga dan orang – orang miskin. Laki – laki itu

berkata: ya Rasulullah bagiku itu sangat sedikit. Nabi bersabda: Maka

berilah kepada kaum kerabat, orang – orang miskin dan ibnu al –

sabil,” (HR. Ahmad).

  Berdasarkan Hadits di atas, dapat dikatakan bahwa zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mempunyai kelebihan harta. Zakat tidak bersifat sukarela atau hanya pemberian dari orang – orang kaya kepada orang miskin/ fakir, tetapi merupakan hak mereka dengan ukuran dan ketentuan tertentu.

  (Asnaini, 2008)

  Menurut Al-Zuhaily (2008) ada beberapa syarat-syarat harta yang wajib dizakati dan syarat wajib zakat, yaitu:

  2.2.1 Syarat-syarat kekayaan yang wajib dizakati 1.

  Baik dan halal Allah SWT berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 267 : “Hai orang-orang yang berfirman, nafkahkanlah sebagian dari hasil

  

usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan

dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-

buruk lalu kamu menafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri

tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata

terhadanya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya Lagi Maha

Terpuji.

  Dan dalil hadits :

  

“Dalam Shahih Bukhari terdapat satu bab yang menguraikan bahwa

sedekah atau zakat tidak akan diterima dari harta yang ghulul, dan

tidak akan diterima pula kecuali dari hasil usaha yang halal dan

bersih.”

  2. Berkembang dan Berpotensi untuk Berkembang
 Dalam terminologi fiqhiyyah, menurut Yusuf Qardhawi, pengertian berkembang itu terdiri dari dua macam : yaitu yang kongkrit dengan cara dikembangkan, baik dengan investasi, diusahakan dan diperdagangkan. Yang tidak kongkrit, yaitu harta itu berpotensi untuk berkembang, baik yang berada ditangannya maupun yang berada di tangan orang lain tetapi atas ditempati, kendaraan yang digunakan, pakaian yang dikenakan, alat-alat rumah tangga, itu semua merupakan harta yang tidak wajib dizakati kecuali menurut para ulama semua itu berlebihan dan diluar kebiasaan, maka dikeluarkan zakatnya.

  3. Mencapai Nishab Nishab adalah batasan antara apakah kekayaan itu wajib zakat atau tidak.

  Jika harta yang dimiliki seseorang telah mencapai nishab, maka kekayaan tersebut wajib zakat, jika belum mencapai nishab, maka tidak wajib zakat.

  Batasan nishab itu sendiri antara sumber zakat yang satu dengan sumber zakat lainnya berbeda satu sama lainnya. Seperti zakat pertanian adalah lima wasaq, nishab zakat emas dua puluh dinar, nishab zakat perak dua ratus dirham, nishab zakat perdagangan dua puluh dinar dan sebagainya.

  4. Mencapai Haul
 Salah satu syarat kekayaan wajib zakat adalah haul, yaitu kekayaan yang dimiliki seseorang apabila sudah mencapai satu tahun hijriyah, maka wajib baginya mengeluarkan zakat apabila syarat-syarat lainnya terpenuhi. Adapun sumber-sumber zakat yang harus memenuhi syarat haul yaitu seperti zakat emas dan perak, perdagangan dan peternakan. Syarat haul ini tidak mutlak, karena ada beberapa sumber zakat seperti pertanian dan zakat rikas tidak harus memenuhi haul satu tahun. Zakat pertanian dikeluarkan zakat setiap kali panen, sedangkan zakat rikas dikeluarkan zakatnya ketika mendapatkan.

  Menurut para ulama yang dimaksud dengan kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi akan menyebabkan kerusakan dan kemelaratan dalam hidup. Para ulama telah memasukkan syarat ini sebagai syarat kekayaan wajib zakat karena biasanya orang yang mempunyai kelebihan kebutuhan pokoknya maka orang tersebut dianggap mampu dan kaya. Kebutuhan pokok yang dimaksud ini meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal.

  6. Bebas dari Hutang Dengan adanya hutang, berarti harta yang masih kita miliki bercampur harta milik orang lain, maka apabila kita ingin mengeluarkan zakat sedangkan kita masih punya hutang, maka harus kita lunasi dahulu hutang-hutang yang kita miliki. Apabila setelah dibayarkan hutang-hutangnya tapi kekayaannya masih mencapai nishab, maka wajib untuk mengeluarkan zakat, tapi sebaliknya apabila tidak mencapai nishab setelah dilunasinya hutang-hutang maka tidak wajib mengeluarkan zakat.

  7. Milik Penuh
 Harta yang akan dikeluarkan zakatnya haruslah murni harta pribadi dan tidak bercampur dengan harta milik orang lain. Jika dalam harta kita bercampur dengan harta milik orang lain sedangkan kita akan mengeluarkan zakat maka harus dikeluarkan terlebih dahulu harta milik orang lain tersebut. Jika setelah dikeluarkan harta kita masih di atas nishab, maka wajib zakat. Dan sebaliknya jika tidak mencapai nishab maka tidak wajib mengeluarkan zakat.

  Syarat Wajib Zakat

  1. Merdeka Yaitu zakat dikenakan kepada orang-orang yang bebas dan dapat bertindak bebas, menurut kesepakatan para ulama zakat tidak wajib atas hamba sahaya yang tidak mempunyai hak milik.

  2. Muslim
 Menurut Ijma' zakat tidak wajib atas orang kafir karena zakat ini merupakan ibadah mahdah yang suci sedangkan orang kafir bukan orang suci maka tidak wajib mengeluarkan zakat.

  3. Baligh dan berakal
 Zakat tidak wajib diambil atas harta anak kecil dan orang-
 orang gila sebab 
orang yang w ajib keduanya tidak termasuk ke dalam ketentuan rnengerjakan ibadah seperti sholat dan puasa.

  4. Kepemilikan harta yang penuh
 Harta yang akan dikeluarkan zakatnya haruslah murni harta pribadi dan tidak bercampur dengan harta milik orang lain. Jika dalam harta kita bercampur dengan harta milik orang lain sedangkan kita akan mengeluarkan zakat, maka harus dikeluarkan terlebih dahulu harta milik orang lain tersebut.

  5. Mencapai nishab
 
zakat atau tidak

  Nishab adalah batasan antara apakah kekayaan itu wajib

  sesuai ketentuan syara' sebagai pertanda kayanya seseorang dan kadar-kadar mencapai nishab, maka kekayaan tersebut wajib zakat, jika belum mencapai nishab, maka tidak wajib zakat.

  6. Mencapai haul

  Haul, yaitu kekayaan yang dimiliki seseorang apabila
sudah m encapai satu

  tahun hijriyah atau telah mencapai jangka 
23
 w aktu yang mewajibkan seseorang mengeluarkan zakat. Sedangkan syarat sahnya adalah niat yang menyertai

2.3 Penerima Zakat

  Menurut pendapat para ulama dan para ahli hukum Islam ada delapan golongan yang berhak menerima zakat (Zuhri, 2000), yaitu:

  1. Fakir Fakir adalah orang yang secara ekonomi berada pada garis yang paling bawah. Orang yang sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi hidupnya. Fakir ini tidak ada penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dalam sehari-hari.

  2. Miskin Miskin adalah orang yang mempunyai pekerjaan tetapi hasil yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Secara keseluruhan ia tergolong orang-orang yang masih tetap kerepotan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. adalah orang yang mendapatkan amanah untuk pengumpulan dan

  Amil pembagian zakat.

  4. Muallaf

  Muallaf adalah orang kafir yang ada harapan masuk islam, dan orang yang baru masuk islam akan tetapi imannya masih lemah.

  5. Riqab ( Para Budak)

  Riqab artinya adalah orang dengan status budak. Dalampengertian ini dana

  zakat untuk kategori riqab berarti dana untuk usaha memerdekakan orang atau kelompok yang sedang tertindas dan kehilangan haknya untuk menentukan arah hidupnya sendiri.

  6. Gharimin adalah orang yang tertindih hutang karena untukkepentingan yang

  Gharimin bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya.

  7. Fi Sabilillah

  Fi Sabilillah yaitu orang yang berjuang dijalan Allah (untuk kepentingan membela agama Islam).

  8. Ibnu Sabil 
dalam

  Ibnu Sabil yaitu orang yang kehabisan perbekalan ketika perjalanan, yang mana berpergiannya bukan untuk melakukan maksiat. adalah batasan suatu harta terkena wajib zakat. Islam tidak

  Nishab

  mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan zakat atas harta yang mencapai nishab, bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya (Qardhawi, 2004). Hal itu diberlakukan untuk menetapkan siapa yang tergolong seorang kaya yang wajib zakat dan untuk menetapkan mereka yang dijadikan sebagai sasaran zakat tersebut. Ulama Muhammad Ghazali (Qardhawi, 2004) cenderung menyarankan dengan ukuran tanaman dan buah-buahan, dengan menggunakan gandum. Nishab pertanian adalah sebesar 5 wasaq atau 653 kg dimana 1 wasaq adalah 60 sha’ atau 2,175 kg (Nurhayati dan Wasilah, 2009). Jadi jika memakai nishab pertanian, nishab zakat penghasilan adalah sebesar harga pasar 653kg gandum pada saat zakat ingin dibayarkan. Ada pula yang mengatakan nishab zakat penghasilan sama dengan emas. Salah satu ulama fikih kontemporer lainnya, Yusuf Al-Qardhawi, telah mengqiyaskan zakat penghasilan bahwa nisabnya dianalogikan dengan nisab emas yaitu 85 gram emas. (Qardhawi, 2004). Untuk nishab sekarang ini sudah disepakati dan dipakai dengan luas, nishab yang disepakati dengan penganalogian zakat pertanian adalah 652,5 kg beras (Nurhayati dan Wasilah, 2009).

  Tarif atau kadar zakat untuk zakat penghasilan juga merupakan sebuah analogi dan penganalogiannya bersamaan dengan penganalogian untuk nishab.

  Jika Qardhawi (2004) menggunakan pertanian sebagai analogi untuk nishab, namun dalam menganalogikan tarif beliau menyatakan sama dengan tarif emas.

  Ini dimungkinkan dengan analogi bahwa dulu uang terbuat dari emas dan nilai tertera pada uang yang dari emas harus sama dengan nilai emas tersebut. Pada kali didapat (Nurhayati dan Wasilah, 2009). Muchib Aman Aly, Muhammad Ghazali, dan Yusuf Al-Qardhawi merupakan ulama-ulama yang mengqiyaskan dalam zakat penghasilan bahwa tidak perlu menunggu sampai satu haul untuk menunaikan zakat. Lukman (1997) menyatakan pada fikih zakat menurut Qardhawy, hadits-hadits yang menyatakan harus menunggu satu haul dalam membayar zakat harta itu mempunyai kelemahan- kelemahan sehingga tidak bisa untuk dijadikan landasan hukum yang kuat (hadis

  shahih ) apalagi untuk dikenakan pada jenis harta penghasilan karena akan bentrok

  dengan apa yang pernah dilakukan oleh beberapa sahabat. Adanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentang persyaratan setahun untuk zakat penghasilan juga mendukung ketidak-shahihan hadis-hadis tersebut. Qardhawi berpendapat bila benar hadis-hadis tersebut berasal dari Nabi SAW, maka tentulah pengertian yang dapat diterima adalah "harta benda yang sudah dikeluarkan zakatnya tidak wajib lagi zakat sampai setahun berikutnya". Tetapi beberapa sahabat seperti Ibnu Mas’ud (riwayat: Ibnu Mas’ud) menceritakan bagaimana harta penghasilan langsung dikeluarkan zakatnya ketika diterima tanpa menunggu setahun. Sehingga semakin dapat diyakini bahwa masa setahun bukan merupakan syarat, namun hanya merupakan tempo antara dua pengeluaran zakat.

  Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa penghasilan dari profesi modern juga dapat diwajibkan terkena zakat dan dapat dibayarkan secara bulanan atau dengan perhitungan yang disetahunkan dan dibayar tahunan.

  Kewajiban menunaikan zakat yang demikian tegas dan mutlak itu dikarenakan di dalam ajaran Islam ini terkandung hikmah yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan muzakki, mustahiq, harta benda yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Hikmah dan manfaat tersebut, antara lain adalah (Hafidhuddin, 2006) :

  1. Sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan mensucikan harta yang dimiliki.

  2. Karena zakat merupakan hak bagi mustahik, maka berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin, ke arahkehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad (sikap benci dan tidak senang terhadap apa yang dilihatnya berupa baiknya keadaan orang yang tidak disukainya) yang mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya yang berkecukupan hidupnya. Zakat, sesungguhnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif yang sifatnya sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan pada mereka, dengan cara menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.

  (orang yang berkecukupan) yang berkecukupan hidupnya, dengan

  aghniya

  paramujahid (orang berjihad) yang waktunya sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya.

  4. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial ekonomi dan terlebih lagi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.

  5. Untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapatkan dengan cara yang bathil, sejalan denganhadits:


  “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik, dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja” (H.R. Muslim).

  Zakat mendorong pula umat Islam untuk menjadi muzakki yang sejahterahidupnya.


  6. Dilihat dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satuinstrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik, dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, atau yang dikenal dengan konsep economic growth with equity.

  1. Sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmatnya, menubuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan hidup sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki. Selain itu, zakat juga bisa dijadikan sebagai neraca, guna menimbang kekuatan iman seorang mukmin serta tingkat kecintaanya yang tulus kepada Allah.

  2. Menolong, membantu dan membina kaum dhuafa maupun mustahiq lainnya kearah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus memberantas sifat iri.

  3. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi sekaligus sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim.

  4. Untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta, sehingga diharapkan akan lahir masyarakat makmur dan saling mencintai.

  5. Menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.

  6. Menghilangkan kebencian, iri, dan dengki dari orang-orang sekitarnya kepada
yang hidup bercukupan, apalagi kaya raya serta hidup dalam kemewahan.

  7. Dapat menyucikan diri dari dosa, memurnikan jiwa, menumbuhkan akhlak bakhil
 atau kikir serta serakah.

  8. Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam distribusi
harta dan keseim bangan tanggung jaw ab individu dalam masyarakat.

  9. Zakat adalah ibadah maaliyah yang mempunyai dimensi ibadah dan fungsi sosial ekonomi atau pemerataan karunia Allah dan merupakan perwujudan solidaritas sosial, rasa kemanusiaan, pembuktian persaudaraan Islam, pengikat persatuan umat dan bangsa, sebagai pengikat batin antar golongan
kaya dengan golongan m iskin. Hikmah dan manfaat zakat yang mencakup dua dimensi, baik vertikal maupunhorizontal, menjadikan zakat sebagai suatu mekanisme yang sangat potensial ketika itu dikembangkan. Pembangunan ekonomi pada pelaksanaannya membutuhkan suatu instrumen yang dapat mengedepankan ekonomi rakyat. Yang dapat menyokong perekonomian skala mikro, mengalirkan modal dari golongan mampu kepada golongan tidak mampu. Dengan tujuan meningkatan nilai tambah dalam perekonomian ataupun peningkatan taraf hidup masyarakat. Zakat merupakan salah satu instrumen yang dapat dapat membawa hikmah dan manfaat kepada yang memberi dan juga menerima.

  Di Indonesia dengan lebih dari 80% penduduk beragama Islam maka tidak sedikit peraturan-peraturan hukum dibuat dengan pertimbangan syariah didalamnya. Makin dirasakan kekuatan dari zakat penghasilan terutama dalam kesejahteraan masyarakat, maka peraturan ataupun UU yang dapat mendorong masyarakat Muslim untuk membayar zakat akan dibuat.UU no 17 tahun 2000 mengatur bahwa sejak tahun fiskal 2001 pembayar zakat dapat menjadikan pengurangan dalam pendapatan kena pajak senilai zakat yang dibayarkan pada tahun fiskal (Fatima, 2002). Berdasarkan dalam UU ini bahwa zakat atas penghasilan dapat menjadi pengurang dalam penghasilan kena pajak, sehingga zakat juga berfungsi sebagai pengurang pajak yang dibayarkan.

  Adapula Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-542/PJ/2001 yang menjelaskan bahwa zakat penghasilan dapat dikurangkan atas penghasilan neto. Regulasi ini dapat memberi keuntungan untuk masyarakat Muslim yang bijak yang selalu membayar zakat tiap tahun dan di saat yang sama juga membayar pajak (Syamsulhakim, 2002). Jadi dengan keputusan ini menyatakan jika seseorang membayar zakat secara bulanan (zakat penghasilan) zakatnya dapat juga menjadi pengurang penghasilan kena pajak. Regulasi ini menjadi pendukung penggunaan cara pembayaran zakat secara bulanan yaitu zakat penghasilan.

  Jika dilihat pemerintah menjadikan zakat sebagai bentuk pengurang pajak dilihat dari zakat dapat dijadikan pengurang penghasilan kena pajak. Sedangkan Malaysia menggunakan zakat sebagai pengurang langsung dari pajak. Jika melihat dari kenyataan bahwa zakat tidak dapat terkumpul maksimal, sepertinya UU diatas tersebut masih kurang efektif. Seperti yang disimpulkan oleh Siswantoro belum berdampak efektif di Indonesia.

2.7 Preferensi Masyarakat

  Preferensi punya arti sifat yang lebih ditekankan pada pilihan seseorang terhadap suatu obyek yang lebih mereka sukai dibandingkan dengan obyek lainnya berdasarkan faktor-faktor tertentu. Al Barry (2001) mengatakan bahwa preferensi adalah pilihan (keadaan yang lebih disukai), yaitu suatu alasan yang menyebabkan seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan atau meninggalkannya, sehingga dari alasan tersebut dapat diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perbuatan seseorang (Fatah, 2006). Sehingga preferensi itu timbul jika terdapat pilihan yang dapat dipilih seseorang.Pada pilihan-pilihan yang tersedia akan pembayaran zakat, tentunya menimbulkan preferensi pada umat dalam menunaikan kewajiban zakatnya. Dengan adanya zakat penghasilan ini menimbulkan dua pilihan waktu bagi umat untuk membayar zakat, bulanan atau tahunan. Bagi umat yang mempunyai penghasilan bulanan dapat memilih untuk membayarkan zakatnya bulanan, namun jika ia ingin membayarkan zakat maal, ia dapat juga membayarkan zakatnya tahunan bahkan keduanya dapat menjadi pilihan, ia dapat membayar zakat bulan dan juga zakat secara tahunan.

  Dalam menentukan preferensi seseorang dibutuhkan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Nurhadi (2004) menggunakan persepsi dan motivasi sebagai faktor dalam preferensi masyarakat dalam penelitiannya. Faktor-faktor tersebut dipilih dengan asumsi dari berbagai teori salah satunya dengan menggunakan teori mengemukakan theory of reasoned action (Teori Tindakan Beralasan) bahwa: 1.

  Manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal 2. Bahwa manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada, dan 3. Secara eksplisit maupun emplisit manusia memperhitungkan implikasi
tindakan m ereka .

  Dalam penelitian ini nantinya dapat melihat dengan adanya berbagai pilihan tersedia dalam menunaikan zakat sehingga terdapat preferensi dalam memilih institusi pembayaran zakat.

2.8 Institusi Zakat

  Institusi zakat merupakan sebuah lembaga yang bergerak dibidang pengelolaan dana zakat Model penyaluran zakat, infaq dan sadaqah (Muhammad, 2006). Definisi pengelolaan zakat menurut UU no. 38 tahun 1999 adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat.

  Menurut Ridwan(2005), institusi zakat mempunyai dua fungsi,yakni:

  1. Sebagai Perantara Keuangan Amil berperan menghubungkan antara pihak muzakki dan mustahiq. Sebagai perantara keuangan amil dituntut unutk menerapkan azas trust (kepercayaan).

  Sebagaimana layaknya lembaga keuangan yang lain. Azas kepercayaan menjadi syarat mutlak yang harus dibangun.

  Fungsi ini sesungguhnya untuk mewujudkan misi pembentukan amil, yakni bagaimana masyarakat wajib zakat(muzakki) menjadi lebih berkah rezekinya dan ketentraman kehidupannya menjadi terjamin.Selain itujuga masyarakat penerima zakat (mustahiq) tidak selamanya tergantung dengan pemberian bahkan diharapkan dalam jangka panjang dapat berubah menjadi muzakki baru.

  Selain itu juga terdapat tanggung jawab dan cara kerja badan amil zakat di semua tingkat sebagai berikut:


  1. Dalam melaksanakan tugasnya masing-masing badan amil zakat di semuatingkatan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi di lingkungan masing-masing, serta melakukan konsultasi dan memberikan informasi antar badan amil zakat disemua tingkatan (Pasal 15 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat).

  2. Setiap pemimpin satuan organisasi dilingkungan badan amil zakat, bertanggung jawab memimpin dan menguruskan bawahannya masing-masing dan memberikan bimbingan serta petunjuk bagi pelaksanaan tugas bawahan (Pasal 16 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat)

  Setiap pemimpin satuan organisasi di lingkungan badan amil zakat, wajib mengikuti dan mematuhi ketentuan, ia juga bertanggung jawab kepada atasan masing-masing. Ia juga mesti menyampaikan laporan secara berkala tepat pada waktunya (Pasal 17 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat) 4.

  Setiap ketua divisi/bidang/seksi urusan badan amil zakat, menyampaikan laporan kepada ketua badan amal zakat melalui sekretaris. Sekretaris mengumpul laporan-laporan, menyusun laporan-laporan berkala badan amil zakat (Pasal 18 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373
 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Z akat)

  5. Setiap laporan yang diterima oleh pimpinan badan amil zakat, wajib diolah
dan digunakan sebagai bahan untuk m enyusun laporan lebih lanjut dan untuk memberikan arahan kepada bawahannya (Pasal 19 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat) 6.

  Setiap pimpinan satuan organisasi badan amil zakat, dibantu oleh kepada satuan organisasi badan amil zakat dibawahnya. Dalam membimbing bawahan, maka masing-masing wajib mengadakan musyawarah berkala

  2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat) 7.

  Dalam melaksanakan tugasnya badan amil zakat memberikan laporan tahunan kepada pemerintah sesuai dengan tingkatnya (Pasal 31 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat)


2.9 Macam Macam Institusi Zakat

  2.9.1. Lembaga Zakat Milik Negara ( BAZ) Diera reformasi, pemerintah berupaya menyempurnakan sistem pengelolaan zakat di tanah air agar potensi zakat dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi bangsa yang terpuruk akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi dimensi yang melanda Indonesia(Hafinudin, 2007). Untuk itulah pada tahun 1999, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerbitkan Undang – Undang Nomor 38 tahun 1999 tentangpengelolaan zakat, kemudian diikuti Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, serta keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Berdasarkan undang – undang Nomor 38 tahun 1999 ini, pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah yang terdiri dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan dalam berbagai ormas (Organisasi Masyarakat) Islam, yayasan, dan institusi lainnya.

  Sebagai konsekuensi Undang – Undang, pemerintah (tingkat pusat sampai tingkat daerah) wajib menfasilitasi terbentuknya lembaga pengelolaan zakat, yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) untuk tingkat pusat dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat daerah.BAZNAS dibentuk berdasarkan Kepres no. 8/2001, tanggal 17 januari 2001.

  Sesuai Undang – Undang pengelolaan zakat, hubungan BAZNAS dengan Badan Amil Zakat lain bersifat kordinatif, konsultatif, dan informatif.BAZNAS dan bazda – bazda bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang bersifat nasional maupun daerah. Dengan demikian, maka Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat telah melahirkan paradigma baru pengelolaan zakat yang antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh satu wadah, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang terhimpun dalam ormas maupun yayasan – yayasan.

  Berdasarkan Undang – Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat maka yang dimaksud pengelolaan zakat adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pendistribusian serta pendayagunaan zakat.

  Tujuan besar dilaksanakannya pengelolaan zakat adalah:

  1. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menunaikan dan dalam pelayanan ibadah zakat. Sebagaimana realitas yang ada dimasyarakat bahwa zakatnya, ini mungkin dikarenakan belum ada undang – undang yang mewajibkan umat Islam yang mampu untuk membayar zakat.

  2. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Zakat merupakan salah satu institusi yang dapat dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau menghapuskan derajat kemiskinan masyarakat serta mendorong terjadinya keadilan distribusi harta. Karena zakat itu dipungut dari orang – orang kaya untuk kemudian didistribusikan kepada fakir miskin didearah dimana zakat itu dipungut.

  3. Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat. Diharapkan setiap lembaga zakat sebaiknya memiliki database tentang muzakki dan mustahiq. Profil

  muzakki perlu didata untuk mengetahui potensi – potensi atau peluang untuk melakukan sosialisasi maupun pembinaan kepada muzakki.

  Pemerintah berhak melakukan peninjauan ulang (pencabutan ijin) bila lembaga zakat tersebut melakukan pekanggaran – pelanggaran terhadap pengelolaan dana yang dikumpulkan masyarakat. (Fakhruddin,1985).

  Menurut perangkat perundang – undangan yang ada, bahwa zakat yang dibayarkan melalui Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang mendapat sertifikasi dari pemerintah dapat digunakan sebagai faktor setoran yang sah.

  Dalam Undang – Undang Dasar Negara RI tahun 1945, pasal 29, dinyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap – tiap penduduk untuk beribadah menurut agamanya masing – masing. Jaminan tersebut tersebut bukannya jaminan yang bersifat pasif, melainkan jaminan yang bersifat aktif, dimana negara berkewajiban menyediakan sarana dan fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban beribadah menurut agamanya (Hafidhudin,2007). Upaya memperkuat lembaga amil zakat dalam rangka melaksanakan syari’ah islam dibidang ekonomi perlu didorong oleh pemerintah dan lembaga legislatif serta memberikan dukungan maksimal.

  2.3.2. Lembaga Zakat Swasta (LAZ)

  1. Organisasi Sosial Lembaga Zakat Swasta (LAZ) merupakan lembaga pengelola zakat yang dibentuk oleh masyarakat sehingga tidak memilki hubungan dengan BAZ.BAZ dan LAZ masing – masing berdiri sendiri dalam pengelolaan zakat.Saat ini sudah banyak LAZ yang memiliki jaringan nasional, seperti Dompet Dhuafa Republika (Jakarta) (No. SK Menag: 439 tahun 2001).Hanya LAZ yang dikukuhkan oleh pemerintah saja yang diakui bukti setorannya zakatnya sebagai pengurang penghasilan kena pajak dari muzakki yang membayarkan dananya.Jika sebuah LAZ tidak lagi memenuhi persyaratan pengukuhan dan tidak melaksanakan kewajibannya, pengukuhannya dapat ditinjau ulang bahkan dicabut.

  Pencabutan pengukuhan tersebut akan mengakibatkan:

  a) Hilangnya hak pembinaan, perlindungan, dan pelayanan dari pemerintah.

  b) Tidak diakuinya bukti setoran zakat yang dikeluarkannya sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

  c) Tidak dapat melakukan pengumpulan dana zakat.

  Aturan – aturan seperti diuraikan diatas diberlakukan agar pengelolaan dana

  • – dana zakat, infaq, shadaqah, dan lainnya, baik oleh lembaga pemerintah maupun yang sepenuhnya diprakarsai oleh masyarakat, dapat lebih profesional, amanah, dan transparan sehingga dapat berdampak positif terhadap pemberdayaan dan kesejahteraan umat.

  Dewasa ini permasalahannya adalah kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengelola zakat, sehingga masyarakat lebih memilih menyalurkan zakat secara langsung daripada lewat lembaga.Padahal saat ini banyak lembaga penyaluran zakat yang cukup kompeten dan profesional untuk menyalurkan zakat, tetapi menyalurkan secara langsung pun harus tepat sasaran dan tidak menimbulkan kemudharatan.Maka dari itu dapat digunakan model manajemen sederhana yang dipelopori oleh James Stoner, sebagai proses perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (actuating), dan pengawasan (controlling).

  2. Organisasi Agama Selain organisasi sosial yang membentuk lembaga zakat, organisasi agama pun juga membentuk kepanitiaan (kelembagaan) dalam pengelolaan zakat, salah jama’ah disekitar masjid yang membentuk suatu wadah organisasi di masjid (Sunaryo,2009). Takmir Masjid yang sering dijumpai di masyarakat Indonesia adalah merupakan organisasi ke-Islam-an yang bertempat di Masjid yang berfungsi untuk menjaga, melindungi, melestarikan, dakwah, serta menampung segala keluhan-keluhan (masalah keagamaan) masyarakat,tak terkecuali dalam menampung I’tikad baik dari penduduk dalam mengeluarkan zakat, seperti mengatur sirkulasi atau penyaluran benda zakat terhadap mustahiq secara merata dan adil.Biasa organisasi ini disebut dengan REMAS (remaja masjid).

2.10 Penelitian Terdahulu

  Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis baca diantaranya:

  Penelitian yang dilakukan oleh Gamsir Bachmid, Ubud Salim, Armanu dan Djumahir pada tahun 2012, dengan judul Perilaku Muzakki dalam membayar zakat maal (Studi fenomenologi pengalaman muzakki di Kota Kendari), pada penelitian ini dijelaskan bahwa memperluas manfaat (mashlahah) zakat adalah tujuan utama dari perilaku muzakki, dan ditentukan oleh keberadaan lembaga pengelola yang dipercaya.

  Penelitian yang dilakukan oleh Hasti Ernawati pada tahun 2010 lalu dengan judul Zakat Sebagai Sarana Pengentas Kemiskinan (Studi kasus di lembaga Amil zakat “Bina Umat Mandiri” kabupaten Ngawi), menunjukkan bahwa hasil penelitian tentang manajemen pengelolaan Lembaga Amil Zakat “Bina Umat

  (manajemen terbuka), yaitu pemasukan dan pengeluaran dana zakat

  management dapat diketahui langsung oleh masyarakat.

  Penelitian yang dilakukan oleh Didin Hafidhudin pada tahun 2011 dengan judul, Peran Strategis Organisasi Zakat dalam Menguatkan Zakat di Dunia, menunjukkan bahwa optimalisasi zakat di tingkat nasional maupun internasional, baik pengumpulan, pendayagunaan, dan pendistribusiannya akan memberikan kontribusi secara nyata dalam rangka penguatan zakat di dunia.

  Penelitian yang dilakukan oleh Mila Sartika pada tahun 2008 dengan judul Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif Terhadap Pemberdayaan Mustahiq pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta, menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara jumlah dana yang disalurkan (zakat) terhadap pendapatan

  

mustahiq benar – benar mempengaruhi pendapatan mustahiq, dengan kata lain

  semakin tinggi dana yang disalurkan maka akan semakin tinggi pula pendapatan mustahiq .

  Penelitian yang dilakukan oleh Multifiah pada tahun 2009 dengan judul Pengaruh Zakat, Infaq, Sadaqah (ZIS) Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Miskin, menunjukkan bahwa hasil analisis dan pengamatan secara kualitatif menyebabkan pengaruh yang tidak signifikan karena kecilnya dana yang diberikan dalam bentuk masing – masing jenis bantuan, bantuan bersifat parsial, monitoring yang lemah, dan inkonsistensi perilaku mustahiq.

  Penelitian yang dilakukan oleh Hairunnizam Wahid, Mohd. Ali Mohd. Noor & Sanep Ahmad dengan judul Kesedaran Membayar Zakat: Apakah Faktor Penentunya? pada tahun 2005 ini menunjukkan hasil analisis ekonometrik bahwa zakat. Beberapa cadangan juga diutarakan untuk membantu meningkatkan kesedaran pembayar zakat terhadap tanggung jawab mereka dalam membayar zakat.

  Penelitian yang dilakukan oleh Ali Muktiyanto dan Hendrian pada tahun 2008 dengan judul Zakat Sebagai Pengurang Pajak, menyimpulkan bahwa sebagian besar pembayar zakat (88,68%) juga merupakan pembayar pajak. Lebih dari 52% masyarakat tidak mengetahui bahwa zakat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak dan pembayaran zakat cenderung tidak melalui BAZ atau LAZ karena aspek kepercayaan dan keyakinan.Serta dari segi pengakuntansian zakat sebagai pengurang pajak, sebagian besar menerapkannya secara keliru, yaitu zakat sebagai pengurang pajak terutang yang sesungguhnya adalah sebagai pengurang pendapatan kena pajak.Akhirnya masyarakat berharap zakat diposisikan sebagai pengurang pajak terutang bukan sebagai beban.

  Penelitian yang dilakukan oleh Suhaili Sarif dan Nor Azzah Kamri pada tahun 2009 dengan judul A Theoritical Discussion of Zakat for Income menunjukkan bahwa zakat merupakan kewajiban

  Generation and It’s Fiqh Issues

  agama yang harus dipenuhi sesuai dengan prinsip – prinsip syariah untuk meningkatkan pendapatan dimana zakat didistribusikan kepada penerima yang memenuhi syarat untuk meningkatkan pendapatan mereka sehingga bisa mandiri dalam jangka waktu tertentu.

  Penelitian yang dilakukan oleh Saifuddin pada tahun 2011 dengan judul Peranan Badan Amil Zakat Berdasarkan Undang Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Utara), menunjukkan bahwadalam pengelolaan zakat oleh Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara terdapat beberapa kendala yang dihadapi, yaitu persepsi yang keliru dari sebagian masyarakat muslim terhadap pemahaman zakat fitrah dan zakat maal (harta), kekurangan sumber daya manusia (SDM), masalah ketidakpercayaan muzakki terhadap Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara.Untuk mengatasi kendala – kendala yang dihadapi, Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara telah melakukan beberapa upaya, diantaranya adalah melakukan sosialisasi arti pentingnya zakat kepada masyarakat melalui gerakan sadar zakat,melakukan perekrutan petugas amil dan relawan secara terbuka, pengelolaan zakat oleh Badan Amil Zakat Daerah Sumatera Utara didasari

  (kejujuran), transparan (keterbukaan), dan profesional serta keuangannya

  amanah

  di audit oleh akuntan publik independen, meningkatkan kerjasama dengan instansi pemerintah lainnya dan meningkatkan publikasi ke mustahiq dan muzakki dengan cara meningkatkan kegiatan – kegiatan sosial di tengah – tengah masyarakat.

  Penelitian yang di lakukan oleh Irfan Syauqi Beik pada tahun 2009 dengan judul Analisis Peran Zakat Dalam Mengurangi Kemiskinan: Studi Kasus Dompet Dhuafa Republika menunjukkan bahwa zakat mampu mengurangi jumlah dan persentase keluarga miskin, serta mengurangi kedalaman dan keparahan kemiskinan.

2.11 Kerangka Konseptual

  Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan pada bagan 1 dibawah : Gambar .1 Kerangka Konseptual

  Institusi Pembayaran Zakat

  BAZ (Badan Amil Zakat)

  LAZ (Lembaga AmilZakat)

  Preferensi Masyarakat 1.

  Pengetahuan zakat 2. Profesionalitas 3. Kepuasan Sesuai dengan judul dan permasalahan yang diambil, maka hipotesis yang diambil adalah yang mempunyai hubungan dengan faktor – faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih institusi pembayaran zakat, yaitu pengetahuan zakat, profesionalitas, dan kepuasan. Oleh karena itu hipotesis dinyatakan dalam pernyataan sebagai berikut:

  Semakin baik pengetahuan zakat paramuzakki maka akan semakin besar peluangnya untuk membayar zakat dan menyalurkannya melalui BAZ/ LAZ.

  Semakin tinggi tingkat profesionalitas BAZ/ LAZ maka semakin besar peluang masyarakat untuk menyalurkan zakat melalui BAZ/LAZ.Semakin baik tingkat kepuasan masyarakat terhadap BAZ/ LAZ maka semakin besar peluang masyarakat untuk menyalurkan zakatnya melalui BAZ/LAZ.