BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Respon Narapidana Terhadap Program Pembinaan Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Respon Scheerer menyebutkan respon pada hakekatnya merupakan tingkah laku balas

  atau juga sikap yang menjadi tingkah laku baik, yang juga merupakan proses pengorganisasian langsung dimana rangsangan-rangsangan proksimal diorganisasikan sedemikian rupa sehingga terjadi representasi fenomenal dari rangsangan- rangsangan proksimal tersebut. Sementara itu, respon dikatakan Darly Beum sebagai tingkah laku balas atau sikap yang menjadi tingkah laku yang kuat (Sarwono, 1998:84).

  Respon stimulus berarti rangsangan dan respon berarti tanggapan. Rangsangan diciptakan untuk memunculkan tanggapan. Respon lambat laun tertanam atau diperkuat melalui percobaan yang berulang-ulang (Dzamarah,2002:23). Respon juga diartikan suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud baik sebelum pemahaman mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak suka serta pemanfaatan suatu fenomena tertentu (Adi, 2000:105).

  Respon atau tanggapan adalah kesan-kesan yang dialami jika perangsang sudah tidak ada, jadi jika proses pengamatan sudah berhenti dan hanya tinggal kesan- kesannya saja, peristiwa sedemikian ini disebut tanggapan. Defenisi tanggapan adalah gambaran ingatan dari pengamatan. Dalam ini untuk mengetahui respon dapat dilihat melalui persepsi, sikap, dan partisipasi .

  Persepsi menurut Bimo Walgito adalah proses yang terjadi di dalam diri individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya, sedangkan menurut Bower, persepsi ialah interpretasi tentang apa yang diinderakan atau dirasakan individu (BudiSeptember 2008 diakses tanggal 13 Maret 2012, jam 23:34).

  Persepsi menurut Mc Mahon adalah proses menginterprestasikan rangsangan (input) dengan menggunakan alat penerima informasi (sensori information).

  Sedangkan menurut Morgan, King, dan Robinson menunjuk bagian kita melihat, mendengar, merasakan, mencium dunia sekitar kita, dengan kata lain persepsi dapat juga didefenisikan sebagai gejala sesuatu yang dialami manusia. William James menyatakan bahwa persepsi terbentuk atas dasar data yang kita peroleh dari lingkungan yang diserap indera kita, serta sebagian yang lainnya dan diperoleh dari pengolahan ingatan (memory), kemudian diolah kembali berdasarkan pengalaman yang kita miliki. Jadi yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses kognitif yang dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungan baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penerimaan. Persepsi merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi dan bukan suatu pencatatan yang benar.

  Fenomena lain yang terpenting dengan persepsi adalah atensi. Atensi adalah suatu proses penyeleksian input yang diproses dalam kaitan dengan pengalaman.

  Oleh karena itu atensi ini menjadi yang terpenting dalam proses persepsi. Sedangkan atensi itu banyak mendasarkan diri pada proses yang disebut filtering atau proses untuk menyaring informasi yang ada pada lingkungan, karena sensori channel kita tidak mungkin memproses semua rangsangan yang berada pada lingkungan. Hal-hal yang mempengaruhi atensi seseorang dapat dilihat dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi atensi adalah :

  1. Motif dan kebutuhan 2.

  Prepator set, yaitu kesiapan seseorang untuk merespon terhadap suatu input sensori tertentu tetapi tidak pada input yang lain.

  3. Minat (interest). Faktor eksternal yang mempengaruhi atensi adalah: 1.

  Intensitas dan ukuran, misalnya makin keras suatu bunyi maka akan semakin menarik perhatian orang.

  2. Kontras dengan hal-hal baru.

  3. Pengulangan.

  4. Pergerakan (Adi, 2000:15). Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku jika ia menghadapi suatu rangsangan tertentu. Perubahan sikap dapat menggambarkan bagaimana respon seseorang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan atau situasi lain. Sikap yang muncul dapat positif yakni menyenangi, mendekati, mengharapkan suatu objek atau muncul sikap negatif yakni menghindari, membenci suatu objek (Adi, 2000:178).

  Thurstone memandang sikap sebagai suatu tingkatan afeksi baik bersifat positif maupun yang bersifat negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis.

  Thurstone melihat sikap hanya sebagai afeksi saja belum mengkaitkan sikap dengan perilaku. Dengan kata lain, dapat dikemukakan bahwa Thurstone secara eksplisit melihat sikap hanya mengandung komponen afeksi saja. Individu yang mempunyai perasaan positif terhadap suatu objek psikologis dikatakan menyukai objek tersebut atau mempunyai sikap yang favorable terhadap objek tersebut. Sedangkan individu memandang sikap sebagai suatu perasaan negatif terhadap suatu objek psikologis dikatakan mempunyai sikap yang unfavorable terhadap objek tersebut. Dalam sikap yang positif, reaksi seseorang cenderung mendekati atau menyenangi objek tersebut, sedangkan dalam sikap yang negatif orang cenderung untuk menjauhi atau menghindari objek tersebut (Hudaniah, 2009:90-91)

  Sikap berkaitan dengan perilaku, sikap merupakan predisposisi untuk berbuat atau berperilaku. Sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relatif yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya.

  Menurut Allport, pada hakekatnya sikap adalah suatu interaksi dari berbagai komponen, komponen tersebut adalah :

  1. Komponen Kognitif Komponen Kognitif adalah komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang objek sifatnya. Dari pengetahuan ini akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang objek sikap tersebut.

  2. Komponen Afektif Komponen Afektif adalah komponen yang berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi, sifatnya yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang dimilikinya.

  3. Komponen Konatif Komponen Konatif adalah komponen yang merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan objek sikap.

  Berdasarkan komponen-komponen tersebut, sikap dapat dilihat melalui penilaian, penerimaan atau penolakan, dan mengharapkan atau menghindari suatu objek tertentu (Hudaniah, 2009:90). Ciri- ciri dasar dari sikap menurut Brigham adalah :

  1. Sikap disimpulkan dari cara individu bertingkah laku 2.

  Sikap mengarah pada objek psikologis atau kategori. Dalam hal ini, skema yang dimiliki orang menentukan bagaimana mereka mengkategorisasikan target objek dimana sikap diarahkan.

  3. Sikap dapat dipelajari 4.

  Sikap mempengaruhi perilaku ( Hudaidah, 2009: 91). Selain persepsi dan sikap, partisipasi juga menjadi hal yang sangat penting. Bahkan mutlak diperlukan untuk mengukur respon. Partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada dalam masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam mengevaluasi perubahan yang terjadi (Adi, 2007:27).

  Partisipasi sangat berhubungan atau berkaitan dengan frekuensi dan kualitas yaitu :

  1. Frekuensi Kaitan partisipasi dengan frekuensi adalah bahwa partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat dimana keterlibatan tersebut harus memiliki frekuensi yang baik dan teratur agar masyarakat dapat melaksanakan program dengan penuh persiapan, perencanaan, pemahaman dan evaluasi.

  2. Kualitas Kaitan partisipasi dengan kualitas adalah bahwa dalam melaksanakan suatu program harus diperlukan sikap yang berkualitas pada masyarakat tersebut dan keterlibatan masyarakat yang bertata laku dengan baik, sehingga mereka akan terinternalisasi dengan sikap dan nilai pribadi yang kondusif terhadap kualitas.

  Dalam merespon stimulus, tidak terlepas dari subjek dan objeknya. Subjek merupakan orang yang merespon dan objek merupakan stimulus atau yang akan direspon. Dalam hal ini yang menjadi subjeknya adalah Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Binjai dan menjadi objeknya adalah Program Pembinaan.

  2. 2. Narapidana

2.2.1 Pengertian Narapidana

  Banyak pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat, baik pelanggaran hukum adat ataupun hukum negara. Setiap pelanggaran yang dilakukan dalam hukum adat atau hukum negara mempunyai konsekuensi berupa sanksi. Pelaku pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan apa yang dilakukannya. Dalam hukum negara pelaku pelanggaran hukum akan menerima sanksi setelah dilakukan peradilan dan dikenakan putusan dari hakim. Saat ini di masyarakat berkembang istilah lain untuk menyebut tahanan tindak pidana yaitu narapidana. Secara umum narapidana berarti orang yang melakukan tindak pidana.

  Di dalam Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pengertian narapidana adalah terpidana yang hilang kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan. Sedangkan pengertian terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  Bemmelen (1958) kejahatan adalah perilaku yang merugikan atau merusak dan asusila yang menimbulkan kegoncangan yang sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan sangsi atau hukuman terhadap pelaku. Hukum pidana yaitu bagian dari hukum yang berlaku disuatu negara, yang berisi tentang aturan-aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan atau dilarang dengan disertai sanksi berupa pidana bagi individu yang melanggar. Jadi, narapidana adalah orang yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya, perilakunya dianggap tidak dapat ditoleransi dan harus diperbaiki dengan penjatuhan sanksi pengambilan kemerdekaannya sebagai penegakkan norma-norma (aturan-aturan) oleh alat-alat kekuasaan (negara) yang ditujukan untuk melawan dan memberantas perilaku yang mengancam keberlakuan norma tersebut.

  Narapidana atau sering disebut Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) adalah terpidana yang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2.2.2 Hak dan Kewajiban Narapidana

  Narapidana masih mempunyai beberapa hak dalam suatu proses peradilan pidana, yaitu:

  1. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai pemasyarakatan.

  2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan/ menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.

  3. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang keluarga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 UU No.12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan adalah: a.

  Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. b.

  Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani c. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran d.

  Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang baik.

  e.

  Menyampaikan keluhan f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang g.

  Mendapatkan upah (premi) atas pekerjaan yang dilakukan h. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya. i.

  Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). j.

  Mendapatkan kesempatan asimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga. k.

  Mendapat pembebasan bersyarat. l.

  Mendapat cuti menjelang bebas. m.

  Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Manual Lembaga Pemasyarakatan mengatur setidaknya ada 5 (lima) hak narapidana yang diberikan apabila narapidana tersebut telah memenuhi persyaratan tertentu. Hak-hak tersebut adalah : 1.

  Mengadakan hubungan terbatas dengan pihak luar Negara tidak berhak membuat seorang narapidana menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Selama menjalani masa hukumannya, seorang narapidana harus secara berangsur-angsur diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Antara lain dengan cara : surat-menyurat dan kunjungan keluarga.

  2. Memperoleh Remisi Setiap 17 Agustus 1945, berdasarkan Keppres Nomor 5 Tahun 1987, setiap narapidana yang berkelakuan baik, telah berjasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan, dan narapidana yang membantu kegiatan dinas Lembaga Pemasyarakatan, akan memperoleh remisi.

  3. Memperoleh Asimilasi Selama kehilangan kemerdekaannya, seorang narapidana harus secara berangsur-angsur diperkenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Asimilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: asimilasi ke dalam (yaitu, hadirnya masyarakat ke dalam LP), dan asimilasi ke luar (yaitu, hadirnya narapidana di tengah-tengah masyarakat).

  4. Memperoleh Cuti Menjelang Bebas 5.

  Memperoleh Pembebasan Bersyarat Hak ini merupakan hak pengintegrasian narapidana, yaitu hak narapidana untuk sepenuhnya berada di tengah-tengah masyarakat, dengan syarat narapidana tersebut telah menjalani 2/3 dari masa hukumannya. Narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat ini tetap diawasi oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Jaksa negeri setempat (Loqman, 2002:94). Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh narapidana, yaitu bahwa setiap narapidana pemasyarakatan wajib mengikuti program pendidikan dan bimbingan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kewajiban narapidana ditetapkan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 15 yaitu:

  1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.

2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

  2. 3. Lembaga Pemasyarakatan

2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

  Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Indonesia, tempat tersebut disebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan biasa disebut narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.

  (http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan, diakses tanggal 13 maret 2012, jam 23:36).

  Lembaga pemasyarakatan merupakan wadah pembinaan bagi narapidana yang berdasarkan sistem pemasyarakatan berupaya untuk mewujudkan pemidanaan yang integratif. Pemidanaan yang integratif adalah upaya untuk membina dan mengembalikan narapidana ke dalam kesatuan hidup masyarakat yang baik dan berguna. Dengan kata lain, lembaga pemasyarakatan melaksanakan rehabilitasi, reduksasi, resosialisasi dan perlindungan baik terhadap narapidana dan masyarakat di dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan (Hermidi, 2001: Pembinaan narapidana sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan pemidanaan)

  Lembaga pemasyarakatan yang berkembang sekarang ini menganut sistem pemasyarakatan yaitu suatu tatanan arah dan batas serta cara pembinaan terhadap narapidana berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

  Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Undang-Undang Nomor 12 Pasal 1- 3 Tahun 1995). Negara menjadikan penjara sebagai tempat penghukuman bagi orang yang dinyatakan pengadilan bersalah. Penjara juga menjadi lembaga rehabilitasi pesakitan bagi narapidana itu sendiri. Oleh karena itu, otoritas penjara bukan hanya semata melaksanakan hukuman, melainkan jauh lebih mulia yaitu mengembalikan para narapidana ke dalam kehidupan masyarakat. Tujuan dari fungsi penjara yang menggembleng para penghuninya agar mereka ketika kembali kepada masyarakat dapat berkehidupan normal, sehingga stigma negative akan mantan penghuni Lembaga Pemasyarakatan tidak melekat pada mereka.

  Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu pranata masyarakat, sebagai tempat untuk mendidik para narapidana agar dapat meluluhkan kembali kesadaran mereka dalam bermasyarakat, untuk memperbaiki martabat dan harga diri mereka ditengah-tengah masyarakatnya. Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai wadah pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat jahat melalui pendidikan (Panjaitan,1995:10).

  Pemasyarakatan berarti kebijaksanaan dalam perlakuan terhadap narapidana yang bersifat mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan sekaligus mengayomi para narapidana yang “tersesat jalan” dan memberi bekal hidup bagi narapidana setelah kembali ke dalam masyarakat (Soedjono,1972:147). Jadi, pemasyarakatan adalah suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh negara kepada para narapidana dan tahanan untuk menjadi manusia yang menyadari kesalahannya.

2.3.2 Klasifikasi Lembaga Pemasyarakatan

  Lembaga pemasyarakatan diklasifikasikan dalam 3 (tiga) Klas, yang mana Klasifikasi tersebut pada pasal 4 ayat (1), yang didasarkan pada kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja, yaitu: a.

  Lapas Klas I Lapas Klas I ini berada di daerah tingkat I yaitu provinsi. Adapun tata kerja di Lapas Klas I ini terdiri dari 5 bagian yaitu Bidang Tata Usaha, Bidang

  Pembinaan Narapidana, Bidang Kegiatan Kerja, Bidang Administrasi Keamanan Dan Tata Tertib dan Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan b. Lapas Klas II A

  Lapas Klas II ini berada di daerah tingkat II yaitu kota/kotamadya. Adapun tata kerja di Lapas Klas II ini terdiri dari 5 bagian yaitu Bidang Tata Usaha, Bidang Pembinaan Narapidana, Bidang Kegiatan Kerja, Bidang Administrasi Keamanan Dan Tata Tertib dan Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan c. Lapas Klas II B

  Adapun tata kerja di Lapas Klas II ini terdiri dari 4 bagian yaitu Bidang Tata Usaha, Bidang Bimbingan Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan

  Kerja, Bidang Administrasi Keamanan Dan Tata Tertib dan Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan

2.3.3 Petugas Pemasyarakatan

  Di Indonesia, sipir disebut dengan petugas pemasyarakatan yang bertanggung jawab melakukan pembinaan terhadap narapidana atau tahanan di Lapas maupun rutan (rumah tahanan). Petugas pemasyarakatan atau dahulu lebih dikenal dengan istilah sipir penjara adalah Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di pemerintahan Indonesia pada Departemen Hukum dan Ham R.I. akses tanggal 13 maret 2012, jam 23:36).

  Sipir atau petugas pemasyarakatan merupakan seseorang yang diberikan tugas dengan tanggung jawab pengawasan, keamanan, dan keselamatan narapidana di penjara. Perwira tersebut bertanggung jawab untuk pemeliharaan, pembinaan, dan pengendalian seseorang yang telah ditangkap dan sedang menunggu pengadilan ketika dijebloskan maupun yang telah didakwa melakukan tindak kejahatan dan dijatuhi hukuman dalam masa tertentu suatu penjara. Sebagian besar perwira bekerja pada pemerintahan negara tempat mereka mengabdi, meskipun ada pada negara- negara tertentu, sipir bekerja pada perusahaan swasta.

  Petugas pemasyarakatan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat wajib menghayati serta mengamalkan tugas-tugas pembinaan masyarakat dengan penuh tanggung jawab. Dalam melaksanakan kegiatan pembinaan pemasyarakatan yang berdaya guna, tepat guna dan berdaya guna, petugas harus memiliki kemampuan profesional, dan integritas moral (Sujatno,2008:132-133). Para petugas pemasyarakatan juga dapat ditunjang dengan bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.

  Berdasarkan surat edaran Dirjen Pemasyarakatan berikut ini adalah sepuluh kewajiban petugas pemasyarakatan:

  1. Menjunjung tinggi hak-hak warga binaan pemasyarakatan.

  2. Bersikap belas kasih dan tidak sekali-kali menyakiti warga binaan pemasyarakatan.

  3. Berlaku adil terhadap warga binaan pemasyarakatan.

  4. Menjaga rahasia pribadi warga binaan pemasyarakatan.

  5. Memperhatikan keluhan warga binaan pemasyarakatan.

  6. Menjaga rasa keadilan masyarakat.

  7. Menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan prilaku.

  8. Waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman dan gangguan keamanan.

  9. Bersikap sopan tetapi tegas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat 10.

  Menjaga keseimbangan antara kepentingan pembinaan dan keamanan.

  Dalam The Implementation Standard Minimun Rules For The Treatment Of

  

Prisioner dinyatakan bahwa syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan

  adalah integritas moral, profesionalisme, rasa kemanusiaan dan kecocokan pekerjaan itu dengan hati nuraninya. Karena itu, upaya yang harus ditempuh manajamen Pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi bagi terbentuknya petugas yang memenuhi persyaratan tersebut melalui proses rekuitment, pendidikan dan latihan, pembinaan karir dan lain sebagainya (J Cooke, 2008 :VII).

  2. 4. Sistem Pemasyarakatan

2.4.1 Sejarah Sistem Pemasyarakatan

  Adanya penjara karena adanya sistem pidana hilang kemerdekaan. Sebelum ada pidana hilang kemerdekaan belum ada penjara. Pada zaman kuno, hanya dikenal pidana mati, pidana badan, buang, kerja paksa. Sistem pidana kuno tersebut ternyata gagal dalam memberantas kejahatan (dianggap sangat kejam dan bengis dalam pelaksanaannya). Pada awal abad ke-17, bersamaan timbulnya gerakan perikemanusiaan dan dilanjutkan lahirnya aliran pencerahan di abad ke-18, menyebabkan sistem pidana kuno berubah menjadi sistem pidana hilang kemerdekaan menjadi pidana pokok hampir di seluruh kawasan Eropa dan daerah jajahannya (Sujatno,2008:121).

  Hukuman penjara merupakan penghukuman yang telah berlangsung kurang lebih 200 tahun yang lalu. Penjara masa dulu menjadi tempat dimana orang-orang mendapat hukuman sadis berupa penyiksaan, mutilasi, dieksekusi gantung atau bakar. Pada saat ini, penjara menjadi model penghukuman yang secara antusias diperkenalkan sebagai pengganti hukuman fisik yang brutal (Sunaryo,2011:1).

  Berdasarkan asal-usul katanya (etimologi) kata “penjara” berasal dari penjoro (jawa) yang berarti tobat, atau jera. Sistem pidana penjara mulai dikenal di Indonesia melalui KUHP atau Wet Boek Van Strafrecht, pasal 10 yang mengatakan; pidana terdiri atas : 1.

  Pidana Pokok terdiri dari : Pidana Mati, Pidana Penjara, Pidana Kurungan, Pidana Denda, Pidana Tutupan.

2. Pidana tambahan terdiri dari : Pencabutan Hak-Hak, Perampasan hak-hak barang tertentu, Pengumuman Putusan Hakim (Sujatno, 2008 : 122).

  Istilah penjara (penitentiary) juga diambil dari bahasa latin secara luas digunakan sebagai sinonim kata prison, awalnya digunakan menjelaskan tempat dimana seorang dikirim untuk menebus dosa-dosanya terhadap masyarakat. Hukuman penjara menjadi alat hukuman yang bertujuan memperbaiki perilaku para pelaku tindak kriminal, salah satu contoh penjara legendaris adalah bangunan Walnut Street Jial di Philadelpia Amerika Serikat, disebut-sebut sebagai penjara

  

(penitentiary) pertama yang berasal dari rumah tempat penahanan. Bisa dikatakan

  pada rumah penahanan dahulu, tidak ada perbedaan perlakuan terhadap pelaku kejahatan berdasarkan usia tua-muda, jenis kelamin laki-laki-perempuan, sakit atau sehat, status tahanan atau terpidana, semua dikumpulkan dalam satu tempat yang sama (Leinward,1972:25).

  Pada perkembangan berikutnya, muncul penjara baru di Auburn New York. Sistem Auburn meminjam sistem Pennsylvania yang mengijinkan perlakuan terhadap narapidana yang melakukan pekerjaan seperti menenun, menjahit, membuat sepatu dalam selnya. Penjara baru di Auburn New York menjadi contoh bagi penjara-penjara di Amerika. Di Auburn, para narapidana dimasukkan dalam sel terpisah pada malam hari, dan bekerja bersama pada siang hari. Sistem dengan mempergunakan kerja kelompok pada siang hari dan isolasi pada malam hari menjadi model utama dalam sistem penjara Amerika.

  Lebih jauh, lembaga penjara dibagi atas beberapa tipe seperti berkategori

  

maximum security, medium security, short-term sentences, work camps, atau prison

medical center . Institusi-institusi penjara (correctional) dapat mencakup penjara

  lokal, penjara negara dan penjara federal (local, state and federal prisons) (Leinward,1972:27).

  Sebagai akibat adanya sistem penjara, maka lahirlah sistem kepenjaraan dengan berlandaskan kepada Reglement Penjara yaitu sebagai tempat atau wadah pelaksanaan dari pidana penjara adalah rumah yang digunakan bagi orang-orang terpenjara/ orang hukuman. Sistem penjara yang sangat menekankan pada unsur penjeraan dan menggunakan titik tolak pandangannya terhadap narapidana sebagai individu, semata-mata dipandang sudah tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bagi bangsa Indonesia pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar pada aspek penjeraan belaka, tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitatif dan reintegrasi sosial, serta melahirkan sistem pembinaan terhadap pelanggar hukum yang dikenal sebagai Sistem Pemasyarakatan.

2.4.2 Konsep Sistem Pemasyarakatan

  Bagi Prof. Mr. Roeslan, tidak ada kejahatan tanpa penjahat, sebaliknya tidak ada penjahat tanpa kejahatan, terlalu sederhana mengganggap kejahatan sebagai suatu kecelakaan belaka. Kejahatan, bila hanya dilihat dari kacamata hukum pidana menyerupai “hukum tanpa kepala“, tak jelas pandangan kemasyarakatan, seharusnya hukum hidup ditengah dinamika pertumbuhan masyarkat agar dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat. Seorang kriminal atau narapidana ada bukan karena dibentuk secara lahiriah tapi dibentuk secara sosial budaya dimana ia berada. Demikan pula penghukuman yang dijalani bukanlah konstruksi fisik tapi bagian dari konstruksi sosial-budaya seperti hasil interaksi, komunikasi, bentukan solidaritas dan konflik yang terjadi (Allen,1989:117).

  Ahli sosial Erfing Goffman, dalam bukunya Asylum (1961) menguraikan bahwa karakteristik lingkungan penjara adalah sama dengan rumah sakit jiwa dan organisasi militer sebagai salah satu institusi sosial (total institution) yang menampung dan mengatur hidup orang banyak secara seragam. Struktur totaliter ini berisi peraturan-peraturan detil, pengawasan ketat, jurang lebar antara yang berkuasa dan yang dikuasai, konsentrasi kekuasaan di tangan sekelompok yang berkuasa (rulling few). Goffman mendefenisikan institusi total sebagai tempat tinggal dan kerja dimana sejumlah besar individu untuk waktu yang cukup lama terlepas dari masyarakat luas, bersama-sama terlibat dan berperan dalam kehidupan yang diatur secara formal. Ia mendefenisikan 5 kategori institusi total, dimana penjara merupakan salah satu didalamnya, yaitu : 1.

  Institusi yang dibangun untuk merawat orang yang dianggap tidak mampu dan tidak berbahaya, misalnya tuna wisma, tuna netra, rumah jompo, asrama yatim piatu dan fakir miskin.

  2. Tempat yang dibangun untuk orang yang tidak mampu merawat dirinya sendiri dan bagi masyarakat, sekalipun mereka tidak bermaksud demikian seperti sanatorium, rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta.

  3. Institusi total yang diorganisir untuk melindungi masyarakat dari apa yang dirasakan sebagai bahaya yang mengancam, dimana kesejahteraan mereka yang diasingkan itu tidak dianggap sebagai suatu masalah, contohnya penjara, camp tawanan perang, camp tawanan konsentrasi.

  4. Institusi total yang dibangun untuk menunaikan beberapa tugas-tugas yang mengesahkan diri mereka diatas dasar-dasar instrumental ini seperti barak- barak tentara, asrama sekolah, kampung kerja, perkampungan kolonial, dan bangsal-bangsal.

  5. Lembaga kemasyarakatan yang dirancang sebagai tempat mengasingkan diri dan kadang-kadang sering berfungsi sebagai tempat latihan keagamaan, misalnya biara, pendopo, penjara dan tempat menyepi lainnya (Poloma, 2003).

  Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikan perlakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara, memerlukan landasan sistem pemasyarakatan yaitu: “bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara, dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah tindakan balas dendam dari negara, tobat tidak akan dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan pembinaan, terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan terpidana kehilangan kemerdekaan. Negara telah mengambil kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang itu kedalam masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap orang terpidana itu dan masyarakat“ (Harsono, 1995:1).

  Ide pemasyarakatan diperkenalkan Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963, merupakan pedoman dasar bagi pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. Ide ini dikenal dengan 10 prinsip pemasyarakatan, yang antara lain memuat prinsip bahwa penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari negara karena itu negara tidak berhak membuat orang menjadi lebih buruk atau jahat daripada sebelum masuk lapas. Dikatakan juga bahwa pembinaan dan bimbingan harus dilakukan sebagaimana perlakuan terhadap sesama manusia meskipun ia telah tersesat (Sunaryo,2011:5).

  Gagasan Sahardjo dirumuskan dalam Konferensi Dinas Pemasyarakatan di Lembang Bandung pada tanggal 27 april 1964. Pokok-pokok pikiran Sahardjo tertuang dalam sepuluh prinsip pembinaan dan bimbingan narapidana. Sepuluh prinsip pemasyarakatan yaitu :

  1. Ayomi dan berikan bekal hidup agar mereka dapat menjalankan peranannya sebagai warga masyarakat yang baik dan berguna.

  2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam negara.

  3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.

  4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dijatuhi pidana

  5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, para narapidana dan anak didik harus diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.

  6. Pekerjaan diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh bersifat sekedar mengisi waktu, juga tidak boleh diberikan pekerjaan sewaktu- waktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus satu dengan pekerjaan di masyarakat dan yang menunjang usaha peningkatan produksi.

  7. Bimbingan dan didikan yang diberikan kepada narapidana harus berdasarkan Pancasila.

  8. Narapidana dan anak didik sebagai orang yang tersesat adalah manusia, dan harus pula diperlakukan sebagai manusia.

  9. Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya derita yang dialaminya.

  10. Disediakan dan dipupuk sarana-sarana yang dapat mendukung fungsi rehabilitatif, korektif, dan edukatif dalam sistem pemasyarakatan (Sujatno,2008:123-124). Dalam membina narapidana, tidak dapat disamakan dengan kebanyakan orang. Membina narapidana harus menggunakan prinsip-prinsip pembinaan narapidana. Ada empat komponen penting dalam pembinaan narapidana yaitu : a.

  Diri sendiri, yaitu narapidana itu sendiri b.

  Keluarga, yaitu anggota keluarga inti atau keluarga dekat.

  c.

  Masyarakat, yaitu orang-orang yang berada di sekeliling narapidana pada saat masih di luar lembaga pemasyarakatan, yaitu masyarakat biasa, pemuka masyarakat, atau pejabat setempat.

  d.

  Petugas dapat berupa petugas kepolisian, pengacara, pemuka agama, petugas sosial, petugas pemasyarakatan dan lain sebagainya.

  Sistem pemasyarakatan menurut UU No.12 Tahun 1995, Pasal 1 ayat 2 adalah suatu tatatan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga Binaan pemasyarakatan (WBP) atau narapidana berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas WBP agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab (Sujatno,2008:126). Sistem pemasyarakatan juga merupakan salah satu tatanan yang lebih manusiawi dan normative terhadap narapidana berazaskan pancasila dan bercirikan rehabilitative, korektif, edukatif dan integrative.

  Sistem Pemasyarakatan juga merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana dan perdata, oleh karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Untuk melaksanakan sistem pemasyarakatan tersebut, diperlukan juga keikutsertaan masyarakat, baik dengan mengadakan kerja sama dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali Warga Binaan Pemasyarakatan atau narapidana yang telah selesai menjalani pidana. Pelaksanaan sistem pemasyarakatan tidak terlepas dari tujuan pemidanaan, yang menurut Ketentuan Konsep Rancangan Undang-undang RI tahun 2004 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dalam Pasal 51.

2.4.3 Dasar Hukum Sistem Pemasyarakatan

  Adapun landasan hukum yang dijadikan dasar bagi sistem pemasyarakatan adalah :

1. Pancasila 2.

UUD 1945 3. KUHP 4. KUHAP 5.

  UU No 12 tahun 1995 6. UU No 3 tahun 1997 7. Peraturan Pemerintah (PP) 8. Keputusan Presiden (Kepres) 9. Kepmenhum & Ham 10.

  Permenhum & Ham 11. Keputusan Dirjen Pemasyarakatan (Sujatno,2008:125).

  2. 5. Pembinaan Narapidana

2.5.1 Tujuan Pembinaan Narapidana

  Pembinaan narapidana mengandung makna memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian pembinaan yang demikian itu sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan rasa harga diri pada diri sendiri dan orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat, dan selanjutnya berpotensi luhur dan bermoral tinggi.

  (Purnomo,1986:187).

  Perkembangan tujuan pembinaan bagi narapidana, berkaitan erat dengan tujuan pemidanaan. Pembinaan narapidana yang sekarang dilakukan pada awalnya berangkat dari kenyataan bahwa tujuan pemidanaan tidak sesuai dengan perkembangan nilai dan hakekat hidup yang tumbuh dimasyarakat. Tujuan perlakuan narapidana di Indonesia mulai terlihat yaitu bahwa tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan. Tujuan pembinaan adalah pemasyarakatan dapat dibagi dalam tiga hal, yaitu : a.

  Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan tidak lagi melakukan tindak pidana.

  b.

  Menjadi manusia yang berguna, berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negara.

  c.

  Mampu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat.

  Dalam artikel yang berjudul “Sistem Pembinaan Narapidana, Sebuah Konsepsi Pembaharuan”, Drs.C.I Harsono Hs, BC.IP menawarkan tentang tujuan pembinaan yaitu kesadaran (Consciousness). Untuk memperoleh kesadaran diri, maka seseorang harus mengenal dirinya sendiri. Diri sendiri yang akan mampu mengubah sesorang untuk menjadi lebih baik, maju dan positif. Kesadaran sebagai tujuan pembinaan dapat dilakukan dalam beberapa tahap yaitu : a.

  Mengenal diri sendiri yaitu narapidana dibawa dalam situasi yang dapat merenungkan, menggali dan mengenali diri sendiri, baik dalam mengenal hal yang positif maupun negatif. b.

  Memiliki kesadaran beragama yaitu kesadaran terhadap kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, sadar sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu yang memiliki keterbatasan dan sebagai manusia yang dapat menentukan kehidupannya sendiri.

  c.

  Mengenal cara memotivasi yaitu mampu memotivasi diri sendiri ke arah yang positif, ke arah perubahan yang baik, yaitu dengan pengembangan cara berpikir, bertingkah laku positif dan berkepribadian matang.

  d.

  Mampu memotivasi orang lain, selain dapat memotivasi diri sendiri maka narapidana diharapkan dapat memotivasi orang lain, kelompoknya, keluarganya dan masyarakat sekelilingnya.

  e.

  Mampu memiliki kesadaran diri yang tinggi yaitu berperan aktif dan kreatif dalam membangun bangsa dan negara. Kesadaran dan kesetiaan terhadap bangsa dan negara, terhadap Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.

  f.

  Mampu berpikir dan bertindak yaitu narapidana mampu berpikir secara positif, mampu membuat keputusan sendiri dan bertindak sesuai dengan keputusannya tersebut. Narapidana diharapkan mampu mandiri, tidak tergantung kepada orang lain, dengan mengembangkan diri sendiri dan kepercayaan diri.

  g.

  Memiliki kepercayaan diri yang kuat. Narapidana diharapkan percaya akan Tuhan, percaya kepada diri sendiri bahwa dapat merubah tingkah laku, tindakan, dan keadaan yang lebih baik lagi.

  h.

  Memiliki tanggung jawab yaitu narapidana harus mampu bertanggung jawab atas keputusan dan tindakannya. Tanggung jawab untuk tetap konsekuen terhadap langkah yang diambil dan mampu menerima segala resiko yang timbul sebagai dari akibatnya. i.

  Menjadi pribadi yang utuh yaitu narapidana mampu menghadapi segala tantangan, hambatan, rintangan, halangan dalam setiap langkah kehidupannya. Narapidana menjadi menjadi manusia yang konsekuen, berkepribadian, bertanggung jawab, berorientasi kedepan selalu ingin maju dengan cara berpikir yang positif. Dengan memperhatikan tujuan pembinaan adalah kesadaran, maka peran narapidana dalam merubah dirinya sendiri sangatlah jelas.

2.5.2 Tempat Pembinaan Narapidana

  Tempat pembinaan narapidana pada dasarnya yaitu lembaga pemasyarakatan/ rumah tahanan dan di luar lembaga pemasyarakatan. Narapidana harus memiliki syarat tertentu untuk dapat ditempatkan di salah satu tempat pembinaan narapidana. Tempat pembinaan bagi narapidana meliputi:

  1. Pembinaan yang dilaksanakan dalam gedung lembaga pemasyarakatan adalah upaya yang telah dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien. Dalam pembinaan narapidana, telah diusahakan berbagai hal dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana, tetapi masih memerlukan pemikiran yang luas mengenai segala aspek. Bagaimana juga dampak psikologis akibat pidana penjara itu sendiri, jauh lebih berat dibandingkan pidana penjara itu sendiri. Dalam pemidanaan, seseorang tidak hanya dipidana secara fisik, tetapi juga secara psikologis. Pidana secara psikologis merupakan beban yang berat bagi setiap narapidana. Berbagai dampak psikologis itu antara lain : a.

  Lose of Personality, seorang narapidana ynag dipidana akan kehilangan kepribadian diri, identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di

  Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana yang satu dengan yang lain, diperlakukan sama dengan narapidana yang lain, sehingga membentuk kepribadian yang khas pula yaitu kepribadian narapidana.

  b.

  Lose of Security, dalam menjalani pidana seorang narapidana harus dalam pengawasan petugas. Seseorang yang terus-menerus diawasi, akan merasa tidak nyaman, merasa dicurigai, merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu karena takut kalau perbuatannya merupakan sesuatu kesalahan.

  c.

  Lose of Liberty, pidana hilang kemerdekaan telah merampas berbagai kemerdekaan individual, misalnya kemerdekaan berpendapat, kemerdekaan menonton dan membaca, serta kemerdekaan individual lainnya. Keadaan demikian dapat menyebabkan narapidana menjadi tertekan jiwanya.

  d.

  Lose of Personal Communication, dimana kebebasan narapidana untuk berkomunikasi terhadap siapapun dibatasi. Hal ini disebabkan karena pertemuan dengan anggota keluarganya terbatas dan selalu diawasi oleh petugas.

  e.

  Lose of Good and Service, narapidana merasakan hilangnya pelayanan.

  Hilangnya pelayanan dapat menyebabkan narapidana kehilangan rasa affection, kasih sayang, yang biasa diperoleh dalam keluarga.

  f.

  Lose of Heterosexual, selama menjalani masa pidana, narapidana di tempatkan di blok sesuai dengan jenis kelaminnya. Penempatan ini menyebabkan narapidana kehilangan kasih sayang, naluri seks, rasa aman bersama keluarga terampas.

  g.

  Lose of Prestige, narapidana juga telah kehilangan dirinya h.

  Lose of Belief, narapidana juga kehilangan akan rasa keyakinan dan rasa percaya diri. Kepercayaan diri dapat dicapai jika narapidana telah mengenal dirinya sendiri. i.

  Lose of Creativity, narapidana juga terampas kreatifitasnya, ide-idenya, gagasan-gagasannya, imajinasinya, bahkan juga impian dan cita-citanya.

  2. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan di luar gedung lembaga pemasyarakatan yang meliputi : a.

  Pembinaan dalam keluarga narapidana. Bentuk pembinaan ini adalah pembinaan narapidana yang ditempatkan di dalam keluarga narapidana itu sendiri. Narapidana yang telah memenuhi syarat tertentu, dapat diberikan pembinaan yang berupa Pembebasan Bersyarat (PB), Cuti Menjelang Bebas (CMB).

  b.

  Pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan Terbuka. Lembaga Pemasyarakatan terbuka merupakan bangunan rumah biasa yang ditempatkan di alam terbuka, biasanya tanah pertanian milik Lembaga Pemasyarakatan, perkebunan dan lain sebagainya.

  c.

  Bekerja di luar Lembaga Pemasyarakatan. Narapidana dapat bekerja atau bersekolah di luar Lembaga Pemasyarakatan tetapi harus memenuhi persyaratan tertentu.

  d.

  Pidana Waktu Luang. Seseorang yang telah dipidana, dapat mengajukan permohonan kepada hakim, untuk menjalankan pidananya hanya pada waktu luang saja (Harsono,1995:78)

2.5.3 Proses Pembinaan Narapidana

  Pemasyarakatan adalah suatu proses terapi saat narapidana masuk Lembaga Pemasyarakatan yang merasa tidak harmonis dengan masyarakat sekitarnya. Sistem pemasyarakatan beranggapan bahwa hakikat perbuatan melanggar hukum oleh warga binaan pemasyarakatan adalah cerminan dari adanya keretakan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan antar yang bersangkutan dengan masyarakat sekitarnya.

  Oleh karena itu, tujuan dari sistem pemasyarakatan adalah pemulihan hubungan hidup (reintegrasi hidup). Berdasarkan hal ini, maka pemasyarakatan merupakan proses yang berlaku secara berkesinambungan (Sujatno,2008:130).

  Berlandaskan Surat Edaran No.KP.10.13/3/1 tanggal 8 Februari 1965 tentang pemasyarakatan sebagai proses, maka dikatakan bahwa pembinaan narapidana, dilaksanakan melalui empat tahap yang merupakan satu kesatuan proses yang bersifat terpadu. Adapun empat tahap proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan adalah : Tahap Pertama : Pada tahap ini, setiap narapidana yang masuk ke lembaga pemasyarakatan dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal sesuatu mengenai dirinya, termasuk sebab-sebab ia melakukan pelanggaran, dan segala keterangan dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga, teman, korban, serta dari petugas instansi yang telah menangani perkaranya.

  Pembinaan tahap ini disebut dengan pembinaan tahap awal. Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan kepribadian, dan kemandirian, waktunya dimulai pada saat yang bersangkutan berstatus sebagai narapidana sampai dengan 1/3 (sepertiga) dari masa hukuman pidananya. Pembinaan ini dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan dan pengawasannya dilaksanakan secara maxsimun security .

  Tahap Kedua : Jika proses pembinaan terhadap narapidana yang bersangkutan telah berlangsung selama-lamanya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya, dan menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah mencapai cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan, disiplin, dan patuh pada peraturan tata-tertib yang berlaku di lembaga pemasyarakatan, maka kepada narapidana yang bersangkutan diberikan kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan melalui pengawasan medium security.

  Tahap Ketiga : Jika proses pembinaan terhadap narapidana telah dijalani 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya, dan menurut pendapat Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah mencapai cukup kemajuan, baik secara fisik dan mental dan juga segi keterampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari dua bagian yaitu waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan 1/2 (setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan dan pengawasannya sudah memasuki tahap medium security. Tahap kedua dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan pertama sampai dengan 2/3 masa hukuman pidananya. Dalam tahapan lanjutan ini, narapidana sudah memasuki tahap asimilasi dan selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas dengan pengawasan minimum security. Tahap Keempat : Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 bulan. Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir, yaitu kegiatan yang berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa hukuman narapidan yang bersangkutan. Pembinaan pada tahap ini yaitu narapidana yang memenuhi syarat diberikan cuti menjelang bebas atau pembebasan bersyarat dan pembinaannya dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan oleh Bapas yang disebut Pembimbingan Klien Pemasyaratan. Pembimbingan adalah pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan (Sujatno,2008:132)

  Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di dalam kehidupan masyarakat setelah menjalani 1/2 (setengah ) dari masa hukuman pidananya dan dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.