Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.
RESPON NARAPIDANA WANITA TERHADAP
PROGRAM PEMBINAAN DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS IIA WANITA TANJUNG
GUSTA MEDAN
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Sumatera Utara
Disusun Oleh:
MICHAEL MORRIS SIANIPAR
050902016
DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: HALAMAN PERSETUJUAN
Nama : Michael Morris Sianipar NIM : 050902016
Departemen : Ilmu Kesejahteraan Sosial
Judul : Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan
Medan, Oktober 2009 PEMBIMBING
(Mastauli Siregar, S.Sos, M.Si) NIP : 132 297 180
KETUA DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
(Drs. Matias Siagian, M.Si) NIP : 132 054 339
DEKAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) NIP : 131 251 010
(3)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi Telah Diuji dan Dipertahankan di Hadapan Penguji Skripsi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Hari/Tanggal : Senin, 16 Oktober 2009 Waktu : 09.30-10.30 WIB
Tempat : Ruang Sidang FISIP USU
Tim Penguji
Ketua Penguji : Drs. Matias Siagian, M.Si ( )
Reader/Penguji I : ( )
(4)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL NAMA: MICHAEL MORRIS SIANIPAR
NIM : 050902016
ABSTRAK
Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas Ii A Wanita Tanjung Gusta Medan
Salah satu permasalahan sosial yang telah lama menjadi masalah di negeri ini ialah masalah tindak kejahatan. Orang yang berkonflik dengan hukum yang akhirnya mendekam di Lembaga Pemasyarakatan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka perlu mendapatkan pembinaan, agar tidak kembali melakukan hal yang membuat dirinya bermasalah dengan hukum. Pembinaan bertujuan agar narapidana setelah selesai menjalani masa pidananya tidak akan mengulangi perbuatannya (kejahatan) dan dapat hidup bermasyarakat secara wajar dan dapat berpartisipasi didalam pembangunan. Oleh karena itu maka setiap narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina agar dapat menggali potensinya dan mengembangkannya menjadi narapidana yang baik dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral sebagai bekal hidup dikemudian hari apabila sudah keluar dari Lembaga Permasyarakatan. Permasalahan penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana respon narapidana terhadap pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dan faktor-faktor penghambat dalam melaksanakan pembinaan. Dilatarbelakangi hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul : “Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan”.
Penelitian ini berbentuk deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran situasi yang diteliti ataupun keadaan yang sebenarnya terjadi, yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 37 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah poporsional purposive sampling, metode pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara guna melengkapi hasil kuesioner yang belum jelas dan untuk memperkuat hasil penelitian. Teknik analisa data yang dilakukan adalah dengan mentabulasi data yang diperoleh dan disusun dalam tabel tunggal kemudian dijelaskan secara kualitatif guna mendapatkan gambaran mengenai pembinaan.
Kesimpulan dari penelitian yang diperoleh yaitu respon narapidana terhadap pembinaan sudah dapat dikatakan positif, karena sebagian besar jawaban responden positif dalam menanggapi pembinaan, namun masih ada hambatan dalam pelaksaannya yaitu kurangnya sarana dan prasaranaa, jumlah narapidan yang tidak sesuai dengan daya tampung Lapas (over kapasitas). Bagi pihak Lapas agar lebih meningkatkan mutu pembinaan, agar disesuaikan dengan kebutuhan
(5)
dan kondisi di luar Lapas, perlunya ditambah personil di Lapas dari berbagai disiplin ilmu dan peran serta aktif pemerintah khususnya Departemen Hukum dan HAM agar mengatasi masalah kekurangan dana anggaran dan peningkatan fasilitas, serta meningkatkan kerjasama yang lebih efektif dengan instansi terkait. Kata Kunci: Respon, narapidana, pembinaan dan kesejahteraan sosial.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus atas segala kasih, anugerah, berkat dan penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: Respon Narapidana Wanita Terhadap
Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung
Gusta Medan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat sejumlah kekurangan sehingga mengurangi nilai dari kesempurnaannya. Hal ini terutama dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kebaikan dimasa yang akan datang.
Skripsi ini Saya persembahkan terkhusus buat Ayahanda tersayang E. Sianipar dan ibunda N. Br Panggabean yang sudah menjadi spirit buat saya serta semua saudara-saudara yang telah mendukung Penulis selama penulisan skripsi ini.
Penulis juga menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat dukungan dari beberapa pihak. Pada kesempatan ini, dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih, diantaranya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
(7)
2. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Mastauli Siregar, S.Sos, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih atas bimbingan, arahan, pemikiran, saran, kritik,dan pandangannya yang berguna bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
5. Kepada Ibu Naomi Sihombing, Ibu Agustina Nainggiolan beserta staff-staffnya yang telah bersedia yang telah membantu penulis dalam pengambilan data di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta.
6. Buat kedua orang tua yang penulis cintai dan kasihi Ayahanda E. Sianipar dan Ibunda N. Br Panggabean terima kasih atas semua kasih sayang dan dukungan yang telah kalian berikan selama ini.
7. Buat saudara-saudaraku Kak Eva, kak Lisbeth, Kak Heddy & adikQ Meir semangat yah, I luv U All. Buat teman-teman Kezouz ’05 (KOMA)……. Hidup adalah perjuangan, berjuanglah untuk lebih hidup. hehehe. Buat JD (peppy), Kariz, Poote, anti, Ninot S.sos, Chiek, Nuva, Hanie, Nida, Samri (taomingse), Ico (lebay), Jolli , Rudi, kiel, Agung PB, Jonis (Andi), tina, Timoty (Roni), Ramot ( manusia aneh), Tio, Etty, Maxwel (irwansah), Dicky & Dico Erni, Nurhayati, Mexxi, S.Sos, Theo, S.Sos, Watiek, S.Sos, Eva,
(8)
S.Sos, Ocyk, S.Sos dan yang lainya. Semua senior dan juniorku di Kezouz….dan semua yang tidak bisa aku sebutkan namanya satu persatu….thanx buat semuanya….
8. Buat teman seperjuangan Paten 20 dan Mandolin 40, masuk!!! Dicari 1 orang lagi.
9. Buat keluarga besar IMIKS doakan saya.
10. Buat orang-orang yang gak tersebutkan namanya yang sudah mendukung dan membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, aku ucapin terima kasih dan sukses buat kalian semua.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam skripsi ini. Untuk itu sangat diharapkan saran dan kritik guna menyempurnakannya agar kedepannya penulis dapat lebih baik lagi. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian dan Terima Kasih.
Medan, September 2009 Penulis
(9)
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR BAGAN ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 8
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 9
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 9
1.4 Sistematika Penulisan ... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Respon ... 11
2.2 Narapidana ... 13
2.2.1 Pengertian Narapidana Wanita ... 13
2.2.2 Hak dan Kewajiban Narapidana ... 14
2.3 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) ... 15
2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 15
2.3.2 Petugas Pemasyarakatan ... 16
2.4 Sistem Pemasyarakatan... 18
(10)
2.4.2.1 Wujud Pembinaan ... 25
2.4.2.2 Proses Pembinaan ... 26
2.4.2.3 Tujuan Pembinaan ... 28
2.4.3 Sasaran Pemasyarakatan ... 29
2.5 Konsep Kesejahteraan Sosial dan Keberfungsian Sosial ... 30
2.5.1 Konsep Kesejahteraan Sosial... 30
2.5.2 Keberfungsian Sosial ... 32
2.6 Konsep Pemikiran ... 34
2.7 Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional ... 36
2.7.1 Defenisi Konsep ... 36
2.7.2 Defenisi Operasional ... 36
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian... 39
3.2 Lokasi Penelitian ... 39
3.3 Populasi dan Sampel ... 40
3.3.1 Populasi ... 40
3.3.2 Sampel ... 40
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 41
3.5 Teknik Analisis Data ... 42
BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis ... 43
4.2 Latar Belakang Berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan ... 44
4.3 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan... 46
4.4 Deskripsi Pekerjaan pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan ... 47 4.5 Jenis-jenis Narapidana yang Dibina di Lembaga
(11)
Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Medan ... 50
4.6 Pembinaan Narapidana ... 51
4.7 Wujud Pembinaan di Lembaga Pemasyaraktan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan ... 55
4.8 Fasilitas dan Bangunan ... 64
BAB V ANALISIS DATA 5.1 Analisis Identititas Responden ... 67
5.2 Analisis Data Penelitian ... 73
5.2.1 Pola Pembinaan... 73
5.2.2 Tujuan Pembinaan ... 83
5.2.3 Pelaksanaan Pembinaan ... 86
5.2.4 Manfaat Pembinaan... 99
5.2.5 Sarana dan Prasarana... 101
5.3 Temuan Studi Lapangan/Interpretasi ... 106
BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 108
6.2 Saran ... 110
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Angka Kejahatan Di Propinsi Sumatera Utara Dari
Tahun 2001-2008 ... 3
Tabel 2 Jumlah Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan Dari Tahun 2002-2009 ... 4
Tabel 3 Organisasi Pegawai LP Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan . 49 Tabel 4 Perbandingan Jumlah Petugas Berdasarkan Jenis Kelamin ... 50
Tabel 5 Kegiatan Pembinaan Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Medan ... 56
Tabel 6 Daftar Menu Makanan Narapidana di Lapas Wanita Klas IIA Medan ... 63
Tabel 7 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 67
Tabel 8 Distribusi Responden Berdasarkan Asal Daerah ... 68
Tabel 9 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 69
Tabel 10 Distribusi Responden Berdasarkan Tindak Pidana ... 70
Tabel 11 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Masa Hukuman ... 71
Tabel 12 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Masa Hukuman yang telah dijalani ... 72
Tabel 13 Distribusi Responden Tentang Rasa Tertarik Mengikut i Pola Pembinaan ... 73
Tabel 14 Distribusi Responden Tentang Jenis-Jenis Pola Pembinaan... 74
Tabel 15 Distribusi Responden Tentang Frekuensi Mengikuti Kegiatan Pembinaan ... 75
Tabel 16 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Pembinaan Pendidikan Umum ... 76
Tabel 17 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Pembinaan Pendidikan Keterampilan ... 77
(13)
Tabel 19 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Pembinaan Jasmani ... 79
Tabel 20 Distribusi Responden Tentang Kunjungan Keluarga ... 80
Tabel 21 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Rekreasi ... 81
Tabel 22 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Pembinaan Integrasi ... 82
Tabel 23 Distribusi Responden Tentang Pemahaman Tujuan Pembinaan .. 83
Tabel 24 Distribusi Responden Tentang Kemampuan Mengikuti Pembinaan ... 84
Tabel 25 Distribusi Responden Tentang Pembinaan Sebagai Pedoman Setelah Keluar Dari Lapas ... 84
Tabel 26 Distribusi Responden Tentang Kuantitas Materi Pembinaan ... 85
Tabel 27 Distribusi Responden Tentang Kesungguhan Mengikuti Kegiatan Pembinaan ... 86
Tabel 28 Distribusi Responden Tentang Kesesuaian Pembinaan Dalam Minat, Bakat dan Kemauan ... 87
Tabel 29 Distribusi Responden Tentang Bantuan Petugas Dalam Hal Menjelaskan Pola Pembinaan ... 88
Tabel 30 Distribusi Responden Tentang Kepatuhan Terhadap TataTertib di Lapas ... 89
Tabel 31 Distribusi Responden Tentang Ketepatan Melaksanakan Kewajiban ... 90
Tabel 32 Distribusi Responden Tentang Perlakuan Petugas ... 91
Tabel 33 Distribusi Responden Tentang Keterampilan Petugas ... 92
Tabel 34 Distribusi Responden Tentang Keterpaksaan Dalam Mengikuti Pembinaan... 93
Tabel 35 Distribusi Responden Tentang Kualitas Pembinaan ... 94
Tabel 36 Distribusi Responden Tentang Kecenderungan Mendapatkan Masalah Dalam Pembinaan ... 94
Tabel 37 Distribusi Responden Tentang Melanggar Peraturan di Lapas... 95 Tabel 38 Distribusi Responden Tentang Tindakan Petugas
(14)
Tabel 39 Distribusi Responden Tentang Cara Pelaksanaan
Pembinaan Yang Diberikan ... 97 Tabel 40 Distribusi Responden Tentang Ketepatan Jadwal
Kegiatan Pembinaan ... 98 Tabel 41 Distribusi Responden Tentang Kegiatan Pemberian Remisi ... 98 Tabel 42 Distribusi Responden Tentang Manfaat Pola Pembinaan
Yang Diberikan ... 99 Tabel 43 Distribusi Responden Tentang Manfaat Pembinaan Terhadap
Meningkatnya Pengetahuan, Keterampilan dan Keimanan ... 100 Tabel 44 Distribusi Responden Tentang Sarana Beribadah ... 101 Tabel 45 Distribusi Responden Tentang Tentang Situasi Kapasitas
Kamar Tidur ... 102 Tabel 46 Distribusi Responden Tentang Menu Makanan ... 102 Tabel 47 Distribusi Responden Tentang Fasilitas Kesehatan ... 103 Tabel 48 Distribusi Responden Tentang Sikap Pembina Dalam
Menangani Narapidana Sakit ... 104 Tabel 49 Distribusi Responden Tentang Fasilitas Hiburan ... 105 Tabel 50 Distribusi Responden Tentang Kondisi Fasilitas di Lapas ... 106 Tabel 51 Distribusi Responden Tentang Kepuasan Terhadap
Fasilitas di Lapas ... 107 Tabel 52 Distribusi Responden Tentang Perbaikan Fasilitas di Lapas ... 108
(15)
DAFTAR BAGAN
Bagan Kerangka Pemikiran ... 35 Bagan Struktur Organisasi ... 46
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Daftar Kuesioner
Lampiran II : Izin Melakukan Penelitian
(17)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL NAMA: MICHAEL MORRIS SIANIPAR
NIM : 050902016
ABSTRAK
Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas Ii A Wanita Tanjung Gusta Medan
Salah satu permasalahan sosial yang telah lama menjadi masalah di negeri ini ialah masalah tindak kejahatan. Orang yang berkonflik dengan hukum yang akhirnya mendekam di Lembaga Pemasyarakatan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka perlu mendapatkan pembinaan, agar tidak kembali melakukan hal yang membuat dirinya bermasalah dengan hukum. Pembinaan bertujuan agar narapidana setelah selesai menjalani masa pidananya tidak akan mengulangi perbuatannya (kejahatan) dan dapat hidup bermasyarakat secara wajar dan dapat berpartisipasi didalam pembangunan. Oleh karena itu maka setiap narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan dibina agar dapat menggali potensinya dan mengembangkannya menjadi narapidana yang baik dan taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral sebagai bekal hidup dikemudian hari apabila sudah keluar dari Lembaga Permasyarakatan. Permasalahan penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana respon narapidana terhadap pembinaan dalam sistem pemasyarakatan dan faktor-faktor penghambat dalam melaksanakan pembinaan. Dilatarbelakangi hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul : “Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan”.
Penelitian ini berbentuk deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan memberikan gambaran situasi yang diteliti ataupun keadaan yang sebenarnya terjadi, yang dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 37 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah poporsional purposive sampling, metode pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara guna melengkapi hasil kuesioner yang belum jelas dan untuk memperkuat hasil penelitian. Teknik analisa data yang dilakukan adalah dengan mentabulasi data yang diperoleh dan disusun dalam tabel tunggal kemudian dijelaskan secara kualitatif guna mendapatkan gambaran mengenai pembinaan.
Kesimpulan dari penelitian yang diperoleh yaitu respon narapidana terhadap pembinaan sudah dapat dikatakan positif, karena sebagian besar jawaban responden positif dalam menanggapi pembinaan, namun masih ada hambatan dalam pelaksaannya yaitu kurangnya sarana dan prasaranaa, jumlah narapidan yang tidak sesuai dengan daya tampung Lapas (over kapasitas). Bagi pihak Lapas agar lebih meningkatkan mutu pembinaan, agar disesuaikan dengan kebutuhan
(18)
dan kondisi di luar Lapas, perlunya ditambah personil di Lapas dari berbagai disiplin ilmu dan peran serta aktif pemerintah khususnya Departemen Hukum dan HAM agar mengatasi masalah kekurangan dana anggaran dan peningkatan fasilitas, serta meningkatkan kerjasama yang lebih efektif dengan instansi terkait. Kata Kunci: Respon, narapidana, pembinaan dan kesejahteraan sosial.
(19)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kejahatan semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman terutama dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga timbul berbagai macam bentuk-bentuk kejahatan baru. Kejahatan selalu menimbulkan keresahan didalam masyarakat. Keresahan adalah gejala tidak adanya kesejahteraan sosial, ketenteraman dan kebahagiaan. Kejahatan adalah masalah sosial yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena masalah sosial sebagai hasil dari kebudayaan manusia. Masalah sosial ini berbeda-beda disetiap masyarakat disebabkan adanya tingkat perkembangan kebudayaan, lingkungan, sifat penduduk dimana masyarakat itu hidup (Mardjono, 1994:12).
Kejahatan merupakan gejala sosial yang selalu dihadapi oleh setiap masyarakat di dunia ini. Apapun usaha manusia untuk menghapusnya sampai tuntas tidaklah mungkin bisa, karena kejahatan itu tidak dapat dihapus sampai bersih kecuali dikurangi intensitasnya maupun kualitasnya. Meskipun telah diberikan sanksi yang tegas namun masih ada juga yang melakukannya berulang kali. Hal ini disebabkan karena kebutuhan manusia yang berbeda-beda dan tidak dapat dipenuhi secara keseluruhan.
(20)
Kejahatan tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja, oleh anak-anak, orang yang sudah dewasa bahkan orang tua, baik yang berjenis kelamin laki-laki ataupun wanita. Walaupun diketahui bahwa seorang wanita memiliki perasaan yang lembut, halus tutur katanya, feminin, penyabar, mampu menekan emosinya dalam mengahadapi persoalan, tetapi terkadang karena berbagai faktor mereka dapat tiba-tiba berubah menjadi keras dan menakutkan. Bahkan kaum wanita pun sudah tidak takut lagi untuk menghuni Lembaga Pemasyarakatan.
Pada umumnya kejahatan terjadi karena: 1. Niat
2.
untuk melakukan suatu pelanggaran. Kesempatan
Jika hanya ada salah satu dari kedua unsur tersebut maka kejahatan tidak akan terjadi (Sahetapy, 1992:87).
untuk melaksanakan niat itu.
Perlu diketahui angka kejahatan di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Menurut catatan Mabes Polri, jumlah kejahatan di Indonesia pada tahun 2006 adalah sebesar 783.159 kasus. Pada tahun 2007 jumlah ini bertambah menjadi 821.334 kasus, dan pada tahun 2008 meningkat lagi menjadi 867.761 kasus. Berarti antara tahun 2006-2007 terjadi kenaikan angka kejahatan sebesar 4,87%, sedangkan antara tahun 2007-2008 terjadi kenaikan sebesar 5,65%, dan pada sampai sekarang angka kejahatan masih terus meningkat (Ernaningsih, Wanita dan Kejahatan, http://cedawui.net/index.php?option=com_content&task =view&id=100&Itemid= 44 diakses tanggal 26 april 2009).
(21)
Umumnya pelaku kejahatan pada kasus-kasus di atas adalah pria, meskipun demikian tidak berarti tidak ditemukan adanya kejahatan yang dilakukan oleh wanita. Namun angka kejahatan wanita menunjukkan peningkatan yang cukup pesat dari hasil data yang diperoleh. Menurut catatan Mabes Polri pada tahun 2008 menunjukkan angka kejahatan wanita di Indonesia, dari sejumlah 19.372 kasus kejahatan oleh wanita pada tahun 2006, angka tersebut meningkat menjadi 26.878 kasus di tahun 2007 dan menjadi 31.493 kasus di tahun 2008.
Sementara jumlah angka kejahatan di Sumatera Utara dari tahun 2001 sampai 2008 menurut jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel di bawah ini.
Tabel 1
Angka Kejahatan Di Propinsi Sumatera Utara Dari Tahun 2001-2008
Sumber: Seksi Registrasi Kanwil Kehakiman dan HAM Provinsi Sumatera
Utara 2008.
Salah satu sanksi yang terdapat pada hukum pidana yaitu pidana penjara dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan. Saat ini Lembaga Pemasyarakatan sebagai unit pelaksana teknis dibidang pemasyarakatan, berperan untuk membimbing dan membina narapidana agar tidak mengulangi kesalahannya dan dapat kembali diterima oleh masyarakat. Sebagai realisasinya dibangun juga rumah tahanan, namun tingkat kejahatan tidak juga menurun malahan semakin
Jenis Kelamin
Jumlah / Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Laki-laki Perempuan 38.450 1.455 49.677 2.395 62.427 2.953 75.550 3.795 89.980 4.627 94.831 5.106 97.285 5.498 98.582 6.633
(22)
meningkat (Meiriya, Sudut Pandang Lembaga Pemasyarakatan,
april 2009).
Persoalan yang muncul apakah rumah tahanan yang dibangun tersebut masih efektif dalam membina narapidana dan memberikan rasa takut bagi manusia lainnya untuk berbuat kejahatan (preverensi general). Karena pada kenyataannya tindakan pencegahan tersebut yang dilakukan oleh pemerintah ternyata kurang efektif, dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah kejahatan. Berikut ini adalah tabel yang menujukkan jumlah narapidana wanita LP Tanjung Gusta dari tahun 2002 sampai dengan 2009
Tabel 2
Jumlah Narapidana Wanita di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA
Tanjung Gusta Medan Dari Tahun 2002-2009
No. Tahun Jumlah Narapidana/Anak Didik
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Berjalan 253 325 326 324 334 362 395 368
Sumber: Bagian Pembinaan dan Pendidikan Lembaga Pemasyarakatan
(23)
Konsep pembinaan narapidana tersebut merupakan pemikiran dari Dr. Sahardjo (1963) yang mencetuskan tentang konsep pemasyarakatan. Proses pembinaan tersebut dilakukan di LP tahap demi tahap. Pembinaan narapidana ini sangat penting diperhatikan oleh pemerintah sehingga tujuan pembinaan Lembaga Pemasyarakatan ini tercapai agar narapidana sadar akan perbuatannya dengan tidak melakukan lagi perbuatan ini dan dapat kembali ke masyarakat sebagai manusia yang berguna di tengah masyarakat (Panjaitan, Petrus, 1995:10).
Sebagai puncak realisasi sistem pemasyarakatan tersebut di Indonesia adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan, dan peraturan pelaksanaannya PPRI Nomor 31 dan 32 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dan Syarat serta Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Pertimbangan dibentuknya Undang-Undang ini adalah karena menganggap bahwa seorang Narapidana sekalipun telah melakukan kejahatan, mereka juga merupakan insan dan Sumber Daya Manusia yang harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam suatu sistem pembinaan.
Hal ini sejalan dengan salah satu sasaran pembangunan dalam orde baru yakni “pembangunan masyarakat Indonesia yang seutuhnya agar terwujud masyarakat yang adil dan makmur”. Dengan harapan pembangunan masyarakat Indonesia yang seutuhnya dapat berjalan dengan tidak membedakan atas status sosial masyarakat tersebut termasuk Narapidana (Harsono, 1995:68).
(24)
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tersebut juga menyebutkan tujuan diselenggarakannya sistem pemasyarakatan, dalam pasal 2 disebutkan bahwa “Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia yang seutuhnya menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulang tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Tetapi pada kenyataannya walaupun mantan narapidana tersebut telah menjalani masa pembinaannya di LP, banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa mantan narapidana adalah kelompok masyarakat yang harus dihindari, diwaspadai bahkan diasingkan dari pergaulan masyarakat, sehingga mereka cenderung sulit untuk bersosialisasi. Misalnya saja pada saat mereka mencari pekerjaan diluar, walaupun di dalam LP mereka telah dibekali dengan keterampilan, tetapi hal tersebut sia-sia karena mereka telah dikenal melalui identitasnya yang buruk. Hal ini jugalah salah satu yang menjadi penyebab mereka mengulangi perbuatan jahatnya atau yang disebut residivis (Panjaitan, Petrus, 1995:25).
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan azas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan dan pembinaan serta bimbingan melalui pendidikan, rehabilitasi dan reintegrasi. Sistem Pemasyarakatan bertujuan untuk mengembalikan Warga Binaan Pemasyarakatan
(25)
sebagai warga yang baik selain itu juga untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak kejahatan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dimana aspek pembinaan narapidana/anak didik pemasyarakatan mempunyai ciri-ciri preventif, kuratif, rehabilitasi dan edukasi (Aroma, 2003: 37).
Pelaksanaan sistem pemasyarakatan tersebut diperlukan juga keikutsertaan masyarakat baik dalam pembinaan maupun dengan sikap bersedia menerima kembali narapidana yang telah selesai menjalani pidananya ataupun yang sedang menjalani pembebasan bersyarat. Sebab tanpa adanya keikutsertaan masyarakat, pembinaan terhadap narapidana tidak akan berhasil. Selain itu peran dari petugas pemasyarakatan juga sangat penting, mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang beraneka ragam sifat dan tingkah laku. Petugas pemasyarakatan harus memiliki mental yang baik dan sehat, hal ini diperlukan dalam pelaksanaan tugas untuk meningkatkan kualitas yang positif baik untuk dirinya sendiri, warga binaan maupun untuk lingkungannya (Sujatno, Hubungan Narapidana dengan Lingkungan http://www.ditjenpas.go.id/index.php?option=com_content&task= view&id=178&Itemid=9 diakses tanggal 26 april 2009).
Keberhasilan sistem pemasyarakatan dalam membina narapidana memang belum mempunyai tolak ukur yang jelas. Ahli kriminolog, sosiolog dan pemasyarakatan mengatakan jika residivis menurun maka pemasyarakatan berhasil dalam melaksanakan pembinaan. Hal ini belum dapat dijadikan tolak
(26)
ukur karena banyak sekali variabel-variabel yang menyebabkan turunnya residivis, misalnya adanya angka yang luput dari data statistik, residivis melakukan kejahatan ditempat lain dan lain-lain (Harsono, 1995:4).
Maka kita dapat melihat bahwa keberhasilan pembinaan bukanlah hanya didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai, tetapi juga dengan partisipasi dari berbagai pihak, substansi hukum, sosial, dan substansi lainnya. Oleh karena itu program pembinaan harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip dasar pemasyarakatan. Pembinaan yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan haruslah mampu menumbuhkan suasana yang penuh saling pengertian dan kerukunan, baik di antara sesama warga binaan, maupun antara pembina dengan yang dibina.
Dari titik tolak uraian diatas, maka melalui penelitian ini akan mencoba untuk memaparkan gambaran yang jelas mengenai ”Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan”.
1.2 Perumusan Masalah
Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian (Arikunto, 1992:47). Dalam penelitian ini perlu ditegaskan dan dirumuskan masalah yang diteliti. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana Respon Narapidana Wanita Terhadap Program Pembinaan di
(27)
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Setiap orang yang melakukan penelitian tentu saja mempunyai tujuan yang ingin dicapai, adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Untuk mengetahui bagaimana respon narapidana wanita terhadap program pembinaan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian. Khususnya Ilmu Kesejahteraan sosial, terutama mengenai permasalahan sosial yang ada di tengah-tengah masyarakat saat ini.
2. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir secara ilmiah dengan menerapkan pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi penulis dalam pengembangan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan bagi lembaga pemasyarakatan yang terkait dalam melaksanakan pembinaan terhadap narapidana.
(28)
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan secara teoritis tinjauan-tinjauan yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang turut memperkaya karya ilmiah ini.
BAB V : ANALISA DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya.
BAB VI :PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.
(29)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Respon
Respon diartikan sebagai suatu tingkah laku atau sikap yang berwujud balik sebelum pemahaman yang mendetail, penilaian, pengaruh atau penolakan, suka atau tidak serta pemanfaatan pada suatu fenomena tertentu. Selain itu menurut Daryl Beum respon juga diartikan sebagai tingkahlaku balas atau sikap yang menjadi tingkahlaku atau adu kuat. Respon pada hakekatnya merupakan tingkahlaku balas atau juga sikap yang menjadi tingkah laku balik, yang juga merupakan proses pengorganisasian rangsang dimana rangsangan-rangsangan proksimal diorganisasikan sedemikian rupa sehingga terjadi representasi fenomenal dari rangsangan-rangsangan proksimal tersebut (Adi, 1994:105).
Respon pada prosesnya didahului sikap seseorang, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku dalam menghadapi suatu rangsangan tertentu. Melihat sikap seseorang atau sekelompok orang terhadap sesuatu maka akan diketahui bagaimana respon mereka terhadap kondisi tersebut. Menurut Louis Thursone, respon merupakan jumlah kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, pra pemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang khusus. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa cara pengungkapan sikap dapat melalui:
(30)
1. Pengaruh atau penolakan. 2. Penilaian.
3. Suka atau tidak suka.
4. Kepositifan atau kenegatifan suatu objek psikologi.
Perubahan sikap dapat menggambarkan respon seseorang atau sekelompok orang terhadap objek-objek tertentu seperti perubahan lingkungan. Sikap yang muncul dapat positif yakni cenderung menyenangi, mendekati dan mengharapkan suatu objek, seseorang disebut mempunyai respon positif dilihat dari tahap kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Sebaliknya seseorang mempunyai respon negatif apabila informasi yang didengarkan atau perubahan suatu subjek tidak mempengaruhi tindakan atau malah menghindar dan membenci objek tertentu. Terdapat dua jenis variabel yang mempengaruhi respon, yaitu:
1. Variabel struktural yakni faktor-faktor yang terkandung dalam rangsangan fisik.
2. Variabel fungsional yakni faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat, misalnya kebutuhan suasana hati, pengalaman masa lalu.
Menurut Hunt (1962) orang dewasa mempunyai sejumlah unit untuk memproses informasi-informasi. Unit-unit ini dibuat khusus untuk menangani representasi fenomenal dari keadaan di luar yang ada dalam diri individu. Lingkungan internal ini dapat digunakan untuk memperkirakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar. Proses yang berlangsung secara rutin inilah yang disebut Hunt sebagai suatu Respon (Adi, 1994:109).
(31)
2.2 Narapidana
2.2.1 Pengertian Narapidana Wanita
Kehidupan narapidana adalah suatu pola kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh narapidana dan dikelompokkan pada suatu tempat yang tidak bebas sifatnya (geraknya) guna mempertanggungjawabkan perbuatannya serta mengarahkannya kepada perbuatan yang benar menurut hukum dan agama agar mereka dapat bertobat bila sudah bebas nanti. Narapidana wanita yang dibina dalam lembaga pemasyarakatan disebut warga binaan pemasyarakatan atau klien pemasyarakatan. Narapidana atau warga binaan adalah terpidana yang menjalani pidana di LAPAS, yaitu seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Seseorang yang dipenjara berarti telah terbukti melakukan pelanggaran, yang tentu saja tidak disukai dan ditentang oleh masyarakat. Masyarakat pun pada akhirnya mendiskreditkan atau menurunkan status seorang narapidana dari seseorang yang seutuhnya menjadi seseorang yang tercemar dan diabaikan karena perbuatan yang pernah dilakukan oleh para terpidana.
Wanita sebagai pelaku kejahatan dianggap telah melanggar norma ganda oleh masyarakat, yaitu norma hukum dan norma konvensional tentang bagaimana seharusnya wanita berperilaku dan bersikap.
Bagi narapidana wanita harus mampu melakukan penyesuaian diri yang dilakukan secara seimbang baik dalam penyesuaian secara pribadi dan sosial. Bahwa narapidana wanita mampu menerima dirinya dan menerima orang lain,
(32)
melakukan kerjasama, beraktivitas serta membina komunikasi sehingga mereka mampu menyikapi diri dalam situasi dan kondisi yang selalu berubah di lingkungan LP. Narapidana wanita tersebut tidak mengalami kesulitan yang mendasar, akan tetapi terdapat permasalahan dalam penyesuaian diri terhadap peraturan yang diberlakukan. Peran keluarga dan lingkungan sosial mampu memberikan motivasi bagi narapidana untuk dapat menyesuaikan diri.
2.2.2 Hak Dan Kewajiban Narapidana
Dalam suatu proses peradilan pidana, narapidana masih mempunyai beberapa hak yaitu:
1. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai pemasyarakatan.
2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan/menimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.
3. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang keluarga sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan adalah:
a. Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan. b. Mendapat perawatan jasmani maupun rohani.
c. Mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan. d. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. e. Menyampaikan keluhan.
(33)
g. Menerima kunjungan keluarga.
h. Mendapat pengurangan masa menjalani pidana (remisi). i. Berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga. j. Mendapat pembebasan bersyarat.
k. Mendapat cuti menjelang bebas.
l. Mendapat kewajiban mengikuti program pembinaan. m. Mendapatkan jaminan keselamatan dan ketertiban.
Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh narapidana, yaitu bahwa setiap narapidana pemasyarakatan wajib mengikuti program pendidikan dan bimbingan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Kewajiban narapidana ditetapkan pada Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 15 yaitu:
1. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu.
2. Ketentuan mengenai program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
2.3 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan (Undang-Undang Nomor 12 Pasal 1 butir 3 Tahun 1995). Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu
(34)
pranata masyarakat, sebagai tempat untuk mendidik para narapidana agar dapat meluluhkan kembali kesadaran mereka dalam bermasyarakat, untuk memperbaiki martabat dan harga diri mereka ditengah-tengah masyarakatnya. Lembaga Pemasyarakatan adalah sebagai wadah pembinaan untuk melenyapkan sifat-sifat jahat melalui pendidikan (Panjaitan, Petrus, 1995:10).
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dalam tata peradilan pidana. Lembaga pemasyarakatan yang berkembang sekarang ini menganut sistem pemasyarakatan yaitu suatu tatanan arah dan batas serta cara pembinaan terhadap narapidana berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas narapidana agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
2.3.2 Petugas Pemasyarakatan
Kewajiban untuk mengeluarkan narapidana dari lembaga untuk kembali ke masyarakat tidak kalah pentingnya daripada tugas untuk memasukkan narapidana ke dalam lembaga. Berhasilnya tugas untuk mengeluarkan dan mengembalikan narapidana menjadi anggota masyarakat yang baik dan taat terhadap hukum, digantungkan kepada petugas-petugas negara yang diserahi tugas menjalankan sistem pemasyarakatan.
(35)
Adapun petugas pemasyarakatan yang memiliki mental yang baik dan sehat ditunjukan dalam 5 aspek, yaitu:
1. Berpikir realitas.
2. Mempunyai kesadaran diri.
3. Mampu membina hubungan sosial dengan orang lain. 4. Mempunyai visi dan misi yang jelas.
5. Mampu mengendalikan emosi.
Berdasarkan surat edaran Dirjen Pemasyarakatan berikut ini adalah sepuluh kewajiban petugas pemasyarakatan:
1. Menjunjung tinggi hak-hak warga binaan pemasyarakatan.
2. Bersikap belas kasih dan tidak sekali-kali menyakiti warga binaan pemasyarakatan.
3. Berlaku adil terhadap warga binaan pemasyarakatan. 4. Menjaga rahasia pribadi warga binaan pemasyarakatan. 5. Memperhatikan keluhan warga binaan pemasyarakatan. 6. Menjaga rasa keadilan masyarakat.
7. Menjaga kehormatan diri dan menjadi teladan dalam sikap dan prilaku.
8. Waspada dan peka terhadap kemungkinan adanya ancaman dan gangguan keamanan.
9. Bersikap sopan tetapi tegas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. 10. Menjaga keseimbangan antara kepentingan pembinaan dan keamanan.
(36)
Petugas lembaga pemasyarakatan harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang seluk-beluk sistem pemasyarakatan dan terus menerus meningkatkan kemampuan, dalam menghadapi perangai narapidana. Petugas-petugas yang dimaksudkan dalam uraian dimuka melakukan peranan sesuai dengan kewenangannya yang ditunjuk oleh peraturan, dan berusaha menciptakan bentuk kerjasama yang baik untuk membantu menyelenggarakan “proses pemasyarakatan” sedemikian rupa dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
2.4 Sistem Pemasyarakatan
2.4.1 Konsep Sistem Pemasyarakatan
Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini yaitu secara konseptual dan historis. Sangat berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Pembinaan narapidana menurut sistem kepenjaraan terkesan sebagai lembaga pembalasan atas kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku, sedangkan dalam sistem pemasyarakatan azas yang dianut menempatkan narapidana sebagai subjek yang dipandang sebagai pribadi dan warga negara, serta dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan melainkan dengan pembinaan terarah yang kedepannya dapat menyadarkan sipelaku kejahatan.
Dalam Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan ditegaskan bahwa sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Hal ini
(37)
menunjukan bahwa sistem pemasyarakatan sebagai pelembagaan respon masyarakat terhadap perlakuan pelanggar hukum pada hakekatnya merupakan pola pembinaan yang berorientasi pada masyarakat. Peran serta masyarakat harus dipandang sebagai suatu aspek integral dari kegiatan pembinaan.
Sahardjo merupakan tokoh yang pertama kali melontarkan perlunya perbaikkan perlakuan bagi narapidana yang hidup dibalik tembok penjara, yaitu:
“Orang yang telah tersesat diayomi dengan memberikan kepadanya
bekal hidup sebagai warga negara, dari pengayoman itu nyata bahwa
menjatuhkan pidana bukanlah tindakkan balas dendam dari negara,
tobat tidak akan dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan
pembinaan, terpidana juga tidak dijatuhi pidana siksaan, melainkan
terpidana kehilangan kemerdekaan, negara telah mengambil
kemerdekaan seseorang dan pada waktunya akan mengembalikan orang
itu kedalam masyarakat” (Harsono, 1995:1).
Pada tanggal 15 juli 1963, pada penganugerahan gelar Doctor Hounouris Causa dalam ilmu hukum, Sahardjo dalam pidatonya menyatakan:
a. Tujuan dari pidana penjara disamping menimbulkan rasa derita
akibat dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing
terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota
masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.
b. Tujuan dari pidana penjara adalah pemasyarakatan (Muladi,
(38)
Dalam Konperensi Dinas Pemasyarakatan yang pertama kali pada tanggal 27 april 1964 pokok-pokok pikiran Sahardjo tersebut pada akhirnya dijabarkan dan dirumuskan sebagai sistem pembinaan narapidana sebagai berikut:
1. Orang yang tersesat diayomi juga, dengan diberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik, yakni masyarakat Indonesia yang menuju ke tata masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila. Bekal hidup tidak hanya berupa finansiil dan materiil, tetapi yang juga lebih adalah mental, fisik, keahlian, keterampilan, hingga orang mempunyai kemauan dan kemampuan yang potensiil dan efektif untuk menjadi warga yang baik, tidak melanggar hukum dan berguna dalam pembangunan negara.
2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. Terhadap narapidana tidak boleh ada penyiksaan baik berupa tindakan, ucapan, cara perawatan atau penempatan. Derita yang dihilangkan hanya kemerdekaannya. 3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan.
Kepada narapidana harus ditanamkan pengertian mengenai norma-norma kehidupan, serta diberi kesempatan untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga. Karena itu harus diadakan pemisahan antara: a. Yang residivis dan yang bukan.
(39)
c. Macam tindak pidana yang dibuat.
d. Sudah tua (40 tahun keatas), dewasa (25-40 tahun), remaja (18-25 tahun). e. Orang terpidana dan orang tahanan.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus diperkenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan adalah identik dengan pengasingan dari masyarakat. Kini menurut sistem pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan dari masyarakat dalam arti secara “kultural”. Secara bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.
6. Pekerjaan diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukan kepentingan Jawatan atau kepentingan Negara sewaktu saja. Pekerjaan yang diberikan harus suatu pekerjaan di masyarakat yang ditujukan kepada pembangunan nasional, karena harus ada integrasi pekerjaan narapidana dengan pembangunan.
7. Bimbingan dan didikan harus berdasarkan pancasila. Pendidikan dan bimbingan harus berisikan asas yang tercantum didalam pancasila, kepada narapidana harus diberi kesempatan dan bimbingan untuk melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotong-royongan, toleransi, kekeluargaan, bermusyawarah untuk bermufakat positif. Narapidana harus dimanfaatkan untuk kegiatan demi kepentingan-kepentingan bersama dan umum.
(40)
8. Tiap manusia harus diperlakukan sebagai layaknya manusia, meskipun telah tersesat. Tidak boleh selalu ditunjukan kepada narapidana bahwa ia itu adalah penjahat. Ia harus selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlukan sebagai manusia. Sehubungan dengan itu petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap maupun memakai kata-kata yang dapat menyinggung perasaannya.
9. Narapidana hanya dijatuhi pidana kehilangan kemerdekaan. Perlu diusahakan agar narapidana mendapat mata pencaharian untuk keluarga dengan jalan menyediakan/memberikan pekerjaan upah. Bagi pemuda dan anak-anak disediakan lembaga pendidikan yang diperlukan, ataupun diberi kesempatan kemungkinan mendapatkan pendidikan diluar lembaga.
10. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan program pembinaan dan memindahkan lembaga-lembaga yang berada di tengah-tengah kota ke tempat-tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.
Sistem yang baru ini kemudian dikenal dengan nama “Sistem Pemasyarakatan” yang juga merupakan tujuan dari pidana penjara. Di dalam pelaksanaannya jauh berbeda dengan sistem kepenjaraan karena dalam sistem pemasyarakatan narapidana hanya dibatasi bergeraknya saja sedangkan hak-hak kemanusiaannya tetap dihargai. Maka dengan itu dapat diuraikan bahwa usaha pergantian dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang dikenal adalah suatu pembinaan narapidana yang didasarkan Pancasila sebagai falsafah
(41)
Bangsa Indonesia dan memandang narapidana sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat.
Didasarkan atas pertimbangan sistem kepenjaraan sudah tidak sesuai lagi dengan kepribadian bangsa Indonesia yang di dalam kehidupan sehari-hari selalu berpedoman dan berlandaskan kepada falsafah Pancasila. Sistem pemasyarakatan
2.4.2 Pembinaan dalam Sistem Pemasyarakatan
Pemasyarakatan adalah sebuah proses “therapoutie” yaitu proses pembinaan yang bertujuan membina warga binaan yang sementara tersesat hidupnya karena kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Narapidana yang dibina harus bisa dikembangkan rasa tanggung jawabnya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat agar selanjutnya berpotensi untuk menjadi manusia yang berpribadi luhur dan bermoral tinggi. Untuk mencapai hal ini maka dilakukanlah pembinaan secara kelompok dan perorangan.
Bimbingan sosial kelompok bertujuan untuk meningkatkan fungsionalitas sosial individu-individu melalui pengalaman-pengalaman kelompok yang disusun secara sadar dan bertujuan. Kelompok digunakan sebagai target kegiatan-kegiatan interventifnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, karena pertimbangan bahwa penggunaan kelompok merupakan mekanisme yang lebih baik, dan bahwa kelompok memiliki kekuatan yang apabila digali dan dikembangkan dapat merupakan sumber penyembuhan dan pengembangan bagi anggota-anggotanya (Harsono, 1995:70).
(42)
Sedangkan pembinaan yang diselenggarakan secara perorangan adalah suatu proses yang digunakan oleh badan sosial tertentu untuk membantu individu agar dapat memecahkan masalah didalam kehidupan sosial mereka secara lebih efektif. Definisi ini mempunyai empat bagian pokok yang menjadi unsur-unsur yang saling berhubungan dengan yang lainnya. Titik pokok dari bimbingan perseorangan ini adalah: seseorang (person) dengan suatu masalah (problem) datang ke suatu tempat (place) dimana seseorang pekerja yang berwenang menolong dia dengan suatu proses (proces) (Perlman,1991:1).
Dalam peraturan pemerintah RI No. 31 Tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan narapidana pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan “pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap, perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.
Menurut Mangunhardjuna pembinaan adalah:
“suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang dimiliki dan
mempelajari hal-hal yang baru yang belum dimiliki, dengan tujuan
membantu orang yang menjalaninya untuk membetulkan dan
mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang baru untuk
mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara lebih
efektif” (Harsono, 1995:70).
Pembinaan merupakan aspek utama dalam sistem pemasyarakatan sebagai sistem perlakuan bagi narapidana. Pembinaan tersebut yang meliputi berbagai
(43)
upaya pembinaan/bimbingan menjadi indikator dari pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Pengertian akan sebab orang melanggar norma akan dapat membantu menemukan cara yang terbaik untuk pembinaan terhadap sipelanggar hukum atau narapidana, karena itu ada hubungan antara mencari sebab kriminal dengan mencari sistem pembinaan yang efektif (Mardjono Reksodiputro, 1994:3).
Berdasarkan kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa pembinaan itu adalah membina narapidana dalam usaha perbaikan terhadap tingkah laku yang menyimpang. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan perseorangan yaitu metode social case work: cara menolong seseorang dengan konsultasi untuk memperbaiki hubungan sosialnya dan penyesuaian sehingga memungkinkan mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermanfaat.
2.4.2.1 Wujud Pembinaan
Wujud pembinaan adalah:
1. Pembinaan yang dilakukan dalam gedung lembaga pemasyarakatan yang meliputi:
a. Pendidikan umum, pemberantasan tiga buta (buta aksara, buta angka, buta bahasa).
b. Pendidikan keterampilan, kerajinan tangan, menjahit, dan sebagainya. c. Pembinaan mental, spiritual dan pendidikan agama.
d. Sosial budaya, kunjungan keluarga dan lain-lain.
e. Kegiatan rekreasi, diarahkan pada pemupukan kesegaran jasmani dan rohani melalui: olahraga, hiburan segar, membaca.
(44)
2. Pembinaan narapidana yang dilaksanakan di luar gedung lembaga pemasyarakatan:
a. Belajar di tempat latihan kerja milik lembaga pemasyarakatan. b. Belajar di tempat latihan kerja milik industri/dinas lain.
c. Beribadah, sembahyang di mesjid, gereja dan lain sebagainya. d. Berolahraga bersama masyarakat.
e. Pemberian bebas bersyarat dan cuti menjelang bebas. f. Pengurangan masa pidana/remisi.
2.4.2.2 Proses Pembinaan
Empat tahap proses pembinaan dalam sistem pemasyarakatan:
Tahap pertama :Pada tahap ini dilakukan penelitian terhadap narapidana untuk mengetahui hal ikhwal yang bersangkutan.
Tahap kedua :Bilamana proses pembinaan telah berjalan selama-lamanya sepertiga dari masa pidananya dan menurut Dewan Pembina Pemasyarakatan sudah terdapat kemajuan (insyaf, disiplin, patuh terhadap peraturan tata tertib), maka yang bersangkutan ditempatkan pada Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem keamanan yang medium (medium security), dengan kebebasan yang lebih banyak. Tahap ketiga :Bilamana proses pembinaan telah berlangsung selama
setengah dari masa pidananya dan menurut Dewan Pembina Pemasyarakatan telah terdapat cukup kemajuan,
(45)
baik secara fisik, mental maupun keterampilannya, maka dapat diadakan asimilasi dengan masyarakat luar.
Tahap keempat :Bilamana proses pembinaannya telah berlangsung selama dua pertiga dari masa pidananya atau sekurang-kurangnya sembilan bulan, maka kepada yang bersangkutan dapat diberikan lepas bersyarat, atas usul dari Dewan Pembina Pemasyarakatan.
Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di dalam kehidupan masyarakat. Untuk memperoleh asimilasi narapidana harus telah menjalani ½ (setengah) dari masa pidana dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Pembebasan bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan. Untuk memperoleh pembebasan bersyarat narapidana harus telah menjalani ⅔ (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (Harsono, 1995:31).
Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana luar lembaga pemasyarakatan, bagi terpidana yang tidak dapat diberikan pelepasan bersyarat karena masa hukuman atau masa pidananya pendek, untuk dapat diberikan CMB narapidana harus telah menjalani ⅔ (dua pertiga) dari masa pidananya setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan
(46)
cuti terakhir paling lama enam bulan. Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana karena telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dan berkelakuan baik selama menjalani masa pidana.
2.4.2.3 Tujuan Pembinaan
Secara umum tujuan pembinaan adalah: 1. Memantapkan iman (ketahanan mental).
2. Membina mereka agar segera mampu berintegrasi secara wajar dalam kehidupan kelompok selama dalam lembaga pemasyarakatan dan kehidupan yang lebih luas (masyarakat), setelah selesai menjalani pidana.
Sedangkan secara khusus tujuan pembinaan adalah:
1. Berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya.
2. Berhasil memperoleh pengetahuan minimal keterampilan untuk bekal hidup mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional.
3. Berhasil menjadi manusia yang patuh hukum dengan tidak lagi melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
4. Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengadilan terhadap bangsa dan negara. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembinaan narapidana berusaha kearah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami konflik sosial, sebagai suatu cara baru untuk menjadi seseorang yang dapat berguna bagi negara, hal ini merupakan usaha yang dilakukan untuk mencapai negara yang sejahtera.
(47)
2.4.3 Sasaran Pemasyarakatan
Sasaran pemasyarakatan dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1. Sasaran khusus
Sasaran pembinaan terhadap individu warga binaan pemasyarakatan adalah menungkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan, yang meliputi:
a. Kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. b. Kualitas intelektual.
c. Kualitas profesionalisme/keterampilan. d. Kualitas kesehatan jasmani dan rohani. e. Kualitas sikap dan perilaku.
2. Sasaran umum
Sasaran umum ini pada dasarnya juga merupakan indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur sejauh mana keberhasilan dari pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Indikator-indikator tersebut antara lain:
a. Menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka dan gangguan keamanan.
b. LAPAS berisi lebih rendah dari pada kapasitas (pemerataan isi LAPAS). c. Meningkatnya secara bertahap dari tahun ke tahun jumlah narapidana yang
bebas sebelum waktunya melalui proses asimilasi dan integrasi. d. Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis.
e. Semakin banyaknya jenis institusi UPT pemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis/golongan warga binaan pemasyarakatan.
(48)
f. Presentase kematian dan sakit narapidana/tahanan lebih sedikit atau sama dengan angka kematian dan sakit dari anggota masyarakat.
g. Biaya perawatan narapidana dan tahanan sama dengan kebutuhan minimal manusia Indonesia pada umumnya.
h. LAPAS dan RUTAN adalah instansi terbersih di lingkungan masing-masing.
i. semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi nilai-nilai masyarakat ke dalam LAPAS dan sebaliknya semakin berkurangnya nilai-nilai subkultur penjara dan LAPAS.
2.5 Konsep Kesejahteraan Sosial dan Keberfungsian Sosial
2.5.1 Konsep Kesejahteraan Sosial
Konsep “Kesejahteraan Sosial” sebagai suatu program yang terorganisir dan sistematis yang dilengkapi dengan segala macam keterampilan ilmiah, merupakan suatu konsep yang relatif baru berkembang, terutama di negara-negara berkembang. Masalah-masalah kemiskinan, penyakit dan disorganisasi sosial merupakan masalah sosial yang sudah lama ada sepanjang sejarah kehidupan manusia. Permasalahan kesejahteraan sosial yang begitu luas dan kompleks telah menyebabkan timbulnya beraneka pemahaman konsepsi dan usaha perwujudan kesejahteraan sosial itu dalam masyarakat setiap negara.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak mulai berdirinya telah memikirkan tentang peranan kesejahteraan sosial di dalam pembangunan nasional.
(49)
Kesejahteraan sosial didefinisikan sebagai “suatu kegiatan terorganisasi yang membantu tercapainya penyesuaian timbal balik diantara perorangan dengan lingkungannya”. Tujuan ini diwujudkan melalui penggunaan teknik-teknik dan metode-metode untuk membantu perorangan, kelompok-kelompok dan kesatuan-kesatuan masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka serta memecahkan masalah-masalah penyesuaian diri mereka terhadap pola-pola kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan (dinamis), dan melalui tindakan kerjasama untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial.
Menurut Walter A. Friedlander (1961), “Kesejahteraan Sosial” adalah sistem yang terorganisir dari pelayanan-pelayanan sosial dan lembaga yang bertujuan mengangkat individu dan kelompok untuk mencapai standard hidup dan kesehatan yang memuaskan, serta relasi-relasi pribadi dan sosial yang memungkinkan mereka mengembangkan kemampuannya sepenuh mungkin dan meningkatkan kesejahteraannya selaras dengan kebutuhan keluarga dan masyarakatnya.
Definisi diatas menjelaskan:
1. Konsep kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem yang berintikan lembaga-lembaga dan pelayanan sosial.
2. Tujuan sistem tersebut adalah untuk mencapai tingkat kehidupan yang sejahtera dalam arti tingkat kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan dan juga relasi-relasi sosial dengan lingkungannya.
(50)
3. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan cara meningkatkan “kemampuan individu” baik dalam memecahkan masalahnya maupun dalam memenuhi kebutuhannya (Perlman, 1991:18).
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No.6 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial berbunyi:
“Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial material maupun spiritual yang meliputi rasa keselamatan,
kesusilaan dan ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap
warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan
jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga
serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta
kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.
Definisi tersebut menjelaskan bahwa kesejahteraan sosial itu adalah keadaan yang sebaik-baiknya yaitu pemenuhan kebutuhan manusia yang terdiri dari aspek jasmaniah dan rohaniah. Manusia membutuhkan makanan, pakaian, tempat tinggal, air, udara dan pemeliharaan kesehatan serta kebutuhan kerohanian.
2.5.2 Keberfungsian Sosial
Fungsi sosial yaitu pelaksanaan tugas-tugas pokok yang dilaksanakan oleh individu dan anggota masyarakat sebagai suatu petunjuk umum kearah kehidupan bersama manusia dan masyarakat yang berupa fungsi pengaturan, pemilikan, pelaksanaan dan pengawasan. Kemampuan berfungsi sosial yaitu mengacu kepada cara-cara individu atau kolektivitas (seperti keluarga, perkumpulan-perkumpulan,
(51)
masyarakat dan sebagainya) bertindak dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
Keberfungsian sosial dapat dipandang dari berbagai segi, yaitu: 1. Dipandang sebagai kemampuan melaksanakan peranan sosial
Keberfungsian sosial dapat dipandang sebagai penampilan/pelaksanaan peranan yang diharapkan sebagai anggota suatu kolektivitas.
2. Dipandang sebagai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
Orang selalu dihadapkan untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu, keberfungsian sosial juga mengacu kepada cara-cara yang digunakan oleh individu maupun kolektivitas dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. 3. Dipandang sebagai kemampuan untuk memecahkan permasalahan sosial
Orang dalam usahanya memenuhi kebutuhan, melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan mewujudkan aspirasinya tidaklah mudah. Ia dihadapkan kepada keterbatasan, hambatan dan kesulitan serta permasalahan yang harus ditangani dan dipecahkan.
Uraian diatas menggambarkan bahwa setiap orang selalu dihadapkan kepada permasalahan sosial. Kemampuan seseorang di dalam mengatasi dan memecahkan permasalahan yang dialami menunjukan kemampuannya dalam melaksanakan keberfungsian sosial.
(52)
2.6 Kerangka Pemikiran
Penempatan para pelaku tindak pidana di lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan ke dalam masyarakat. Pemasyarakatan merupakan bagian yang paling akhir dari sistem peradilan pidana. Sebagai sebuah tahapan yang terakhir sudah semestinya terdapat harapan dan tujuan berupa pembinaan dari penghuni lembaga pemasyarakatan. Pada prinsipnya di Indonesia, tujuan pemberian sanksi pidana haruslah berfungsi untuk membina, yaitu bagaimana narapidana setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan menjadi baik, mempunyai keterampilan hidup yang dibutuhkan, keseimbangan mental dan fisik pulih, dihormati segala hak dan kewajibannya sesuai dengan harkat dan martabat manusia.
(53)
Bagan berikut menunjukan kerangka pemikiran secara skematis, yaitu:
Bagan 1
Bagan Kerangka Pemikiran
PROGRAM PEMBINAAN 1. Pendidikan umum.
2. Pendidikan keterampilan. 3. Pendidikan rohani. 4. Sosial budaya, kunjungan
keluarga.
5. Kegiatan rekreasi: olahraga, hiburan, membaca.
NARAPIDANA WANITA KLAS IIA TANJUNG GUSTA MEDAN
RESPON POSITIF RESPON NEGATIF RESPON NARAPIDANA
WANITA TERHADAP PROGRAM PEMBINAAN
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
(54)
2.7 Definisi Konsep dan Definisi Operasional
2.7.1 Definisi Konsep
Konsep adalah istilah, yaitu satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide (gagasan) tertentu. Untuk lebih mengetahui pengertian mengenai konsep-konsep yang digunakan, maka dibatasi konsep yang akan digunakan sebagai berikut:
1. Respon yaitu pandangan, pemahaman dan persepsi terhadap objek tertentu. 2. Warga binaan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu narapidana wanita
dewasa yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan wanita dan telah menjalani masa pidana 1 (satu) tahun.
3. Lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana/warga binaan pemasyarakatan.
4. Pembinaan yaitu semua usaha atau kegiatan yang ditujukan untuk memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan warga binaan.
2.7.2 Definisi Operasional
Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan cara mengukur suatu variabel. Dalam penelitian ini variabel yang diteliti, yakni:
1. Respon warga binaan yaitu pandangan, pemahaman, dan persepsi warga binaan lembaga pemasyarakatan terhadap pembinaan, yang diukur dari penilaian, menyenangi atau menolak, suka atau tidak suka, mengharapkan atau menghindari pembinaan, dengan indikatornya:
(55)
a. Sikap warga binaan terhadap pembinaan.
b. Reaksi warga binaan terhadap pembinaan yang dapat dilihat dari partisipasi atau keterlibatan dalam pembinaan.
2. Adapun indikator-indikator pembinaan adalah:
a. Pengetahuan narapidana terhadap jenis-jenis pembinaan: 1) Pendidikan umum.
2) Pendidikan keterampilan. 3) Pendidikan rohani.
4) Sosial budaya, kunjungan keluarga.
5) Kegiatan rekreasi: olahraga, hiburan, membaca. b. Pemahaman narapidana terhadap tujuan pembinaan.
Membina narapidana agar dapat berintegrasi, setelah selesai menjalani pidana kembali menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
c. Pemahaman narapidana pelaksanaan pembinaan yang dilakukan oleh petugas lembaga pemasyarakatan dan instansi terkait.
d. Manfaat pembinaan yang diterima narapidana.
Agar seorang narapidana menyadari akan perbuatannya dan kembali menuju masyarakat yang sejahtera.
e. Pemahaman narapidana terhadap sarana dan prasarana yang disediakan, meliputi:
1) Ruangan/bangunan fisik. 2) Poliklinik.
(56)
3) Peralatan pendukung pembinaan.
4) Sarana hiburan, olahraga, keterampilan dan sebagainya. 5) Sarana ibadah seperti mesjid dan gereja.
(57)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu sebagai suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1991:63).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu objek yang diteliti melalui pencarian data-data dan sumber-sumber informasi yang berkenaan dengan objek yang akan diteliti, menganalisa data-data yang didapat serta menginterpretasikan kondisi-kondisi yang terjadi pada objek penelitian berdasarkan data yang ada. Yang diteliti yaitu pembinaan bagi warga binaan dan bagaimana respon warga binaan terhadap pembinaan tersebut.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita, Tanjung Gusta, Medan. Yang berlokasi di Jl. Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan. Alasan penulis memilih penelitian ini karena LAPAS wanita ini merupakan satu-satunya lembaga pemasyarakatan wanita yang ada di Sumatera Utara yang dalam melaksanakan pembinaannya menggunakan sistem pemasyarakatan.
(58)
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes, atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Nawawi, 1991;141).
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan para terpidana wanita yang melakukan tindak kejahatan yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas II A Tanjung Gusta. Jumlah populasi ini dapat berubah setiap saat dikarenakan bebasnya narapidana atau masuknya narapidana baru. Sampai pada bulan Juli 2009, jumlah populasi yang diperoleh berkisar 368 orang berstatus narapidana.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti dan dianggap dapat menggambarkan populasinya. Dalam suatu penelitian sering timbul pertanyaan akan besarnya sampel yang harus diambil untuk mendapatkan data yang representatif. Menurut Arikunto, jumlah populasi lebih dari 100 maka dianjurkan untuk menentukan jumlah sampel antara 10% - 20% dari populasi dan dianggap representatif (Arikunto, 1997:20).
Dalam menentukan sampel dari populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini maka penulis menggunakan metode pengambilan sampel berupa “poporsional purposive sampling”, yaitu suatu metode yang berdasarkan
(59)
penunjukan sesuai dengan kewenangan dan kedudukan sampel. Dalam penelitian ini, penulis mengambil sampel narapidana yang telah menjalani masa pidananya selama 1 tahun atau lebih. Dimana ditentukan sampel sebanyak 10%, yaitu:
10% X 368 orang = 37 orang. Jadi sampelnya berjumlah 37 orang.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan maka dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan langsung terhadap gejala-gejala yang dapat diamati dari objek penelitian. Cara-cara yang dilakukan yaitu:
a. Observasi yaitu: pengamatan langsung terhadap segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh warga binaan. Metode ini dilaksanakan dengan jalan mengamati, mengamati gerak dan tingkah laku warga binaan, dan keadaan Lembaga Pemasyarakatan Wanita secara umum. Ini dipergunakan untuk menyesuaikan keterangan yang diberikan dengan situasi yang sebenarnya. b. Wawancara yaitu: mengumpulkan data dengan mengadakan dialog secara
langsung dan mengajukan pertanyaan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini kepada responden yang telah ditetapkan.
(60)
c. Angket (Questioner) yaitu: teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menyebar angket berisi daftar pertanyaan yang diajukan secara tertulis pada warga binaan Lembaga Pemasyarakatan Wanita.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan studi kepustakaan (Library Research) yaitu, dengan mempelajari dan menelaah buku-buku, majalah, surat kabar, karya ilmiah, artikel, buletin dan lain-lain yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif yaitu dengan mengumpulkan, mengelola, menyajikan dan menjabarkan hasil penelitian sebagaimana adanya. Data yang diperoleh akan dipaparkan dan dianalisis dengan menggunakan tabel tunggal, sehingga data dapat dibaca dengan mudah untuk mengetahui jawaban dari masalah yang diteliti.
(61)
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak Geografis
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita berlokasi di Kelurahan Tanjung Gusta Medan, Kecamatan Medan Sunggal, Kotamadya Medan, berjarak
± 3 kilometer dari Jalan Asrama di simpang Perumnas Helvetia Medan, memiliki lokasi ± 5.000m² dengan luas bangunan ± 2.900m². Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita mempunyai letak geografis sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan rumah dinas LP Klas I Medan.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan perumahan penduduk dan persawahan penduduk.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas IIA Medan.
(62)
4.2 Latar Belakang Berdirinya Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA
Medan
Sebelum Lembaga Pemasyarakatan Wanita ini didirikan, seluruh narapidana dan tahanan ditempatkan pada penjara-penjara yang ada dan masing-masing penjara memiliki peraturan tersendiri. Sistem penjara yang telah berubah menjadi sistem pemasyarakatan ditujukan untuk mengayomi/melindungi napi dengan memberikan pembinaan terhadap segala kekurangannya. Pada mulanya tahun 1982, LP ini ditempati oleh keseluruhan napi dan tahanan, baik itu laki-laki dewasa, anak-anak maupun napi wanita. Walaupun begitu bukan berarti napi dan tahanan tersebut dijadikan satu, masing-masing napi menempati ruangan khusus dan memiliki ruang tersendiri. Narapidana wanita menempati ruangan tersendiri dan diawasi oleh petugas wanita.
Berdasarkan instruksi dari pusat, para napi harus dipisah-pisahkan demi memudahkan pembinaannya. Sebagai realisasinya pada tahun 1986 Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA ini diresmikan pada tanggal 18 Oktober 1986 oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sumatera Utara, Radjo Harahap, SH dan pejabat PEMDA setempat. Seluruh penghuni yang ada di LP Dewasa tersebut dipisahkan, untuk anak-anak ditempatkan di LP Anak Klas II, untuk wanita ditempatkan di LP Wanita Klas IIA, sedangkan yang laki-laki dewasa tetap ditempat yang semula.
Pada saat berdirinya LP Wanita Klas IIA terdiri dari petugas sebanyak 36 orang, beserta anak didik sebanyak 50 orang. Pegawai wanita sebagian
(63)
dipindahkan untuk menempati pos-pos baru terutama untuk LP wanita. LP Wanita dikepalai oleh Pelaksanaan Harian karena belum dibentuknya Kepala Lapas, dengan demikian LP Anak dan LP Wanita tidak lagi tunduk kepada peraturan-peraturan LP Dewasa, karena masing-masing telah memiliki peraturan-peraturan tersendiri. Dana yang diperoleh LP Wanita berupa bantuan dari pusat Jakarta karena pada saat tersebut belum adanya anggaran untuk LP Wanita.
Tujuan utama dari pemindahan tersebut adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban dan untuk menghindari adanya eksploitasi antar sesama warga binaan. Pembinaan yang dilakukan juga dapat lebih dikhususkan lagi kepada hal-hal yang lebih pantas dan menjurus kepada kewanitaannya.
(64)
4.3 Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita
Tanjung Gusta Medan
Bagan 2
Bagan Struktur Organisasi
Sumber: Bagian Kepegawaian LP Wanita Klas IIA Tanjung Gusta Medan, 2009.
KALAPAS
Etty Nurbaiti Bc.Ip.SH
KA.KPLP Gayatri R.R,Amd.IP.SH PETUGAS PENGAMANAN KASUBBAG T.U Naomi Sihombing,SH KAUR. KEPEGAWAIAN DAN KEUANGAN Rosmadia,SH KAUR. UMUM Ratna Manullang,SH KASI BIMBINGAN NAPI Agustinawati Nainggolan,SH KASI KEGIATAN KERJA Hj. Syamsidar R.S.Ag
KASI ADM KAMTIB
Roselina Br Purba,SH
KASUBSI REGISTRASI Riama Sihite,SH KASUBSI BIMPAS Asmah Simatupang,S.Ag KASUBSI BIMKER Dame Situmorang,SH KASUBSI SARANA KERJA Yetty Sinaga,SH KASUBSI KEAMANAN KASUBSI PELAPORAN DAN TATA TERTIB Riainim Turnip
(65)
4.4 Deskripsi Pekerjaan pada Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA
Tanjung Gusta Medan
1. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS)
Kalapas sebagai pimpinan dan penanggung jawab tunggal atas seluruh isi dan keberadaan Lapas, karena Kalapas sebagai koordinator pelaksanaan pembinaan wanita pidana serta memelihara keamanan dan ketertiban di Lapas. Bertugas mengkoordinasikan pembinaan, serta memelihara keamanan dan ketertiban dan ketatausahaan Lembaga Pemasyarakatan sesuai dengan ketentuan, petunjuk atasan, dan peraturan yang berlaku dalam rangka penyampaian tujuan pemasyarakatan bagi warga binaan pemasyarakatan. Kalapas dalam melaksanakan tugasnya dibantu beberapa bidang, yaitu Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Bimbingan Napi, Seksi Kegiatan Kerja, Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib, dan Kesatuan Pengaman Lapas (KPLP).
2. Sub Bagian Tata Usaha
Bidang ini mempunyai tugas melaksanakan urusan rumah tangga Lapas. Bidang ini terdiri dari:
a. Urusan Kepegawaian dan Keuangan, yang tugasnya menangani segala urusan kepegawaian dan menangani masalah keuangan.
b. Urusan Umum yang mempunyai tugas surat menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.
(66)
3. Seksi Bimbingan Narapidana
Bidang ini mempunyai tugas melaksanakan pembinaan pemasyarakatan narapidana. Bidang pembimbingan ini terdiri dari:
a. Sub Seksi Registrasi fungsinya melakukan registrasi dan membuat statistika serta dokumentasi, sidik jari narapidana.
b. Sub Seksi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan fungsinya memberikan bimbingan kemasyarakatan, bimbingan penyuluhan rohani dan sosial, meningkatkan pengetahuan asimilasi dan cuti menjelang bebas, mengurus kesehatan, dan memberikan perawatan kepada narapidana. 4. Seksi Kegiatan Kerja
Bidang ini mempunyai tugas memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan sarana kerja dan mengelola hasil kerja. Bidang kerja ini terdiri dari:
a. Sub Seksi Bimbingan Kerja dan Pengelolaan Hasil Kerja berfungsi memberikan petunjuk, bimbingan latihan dan mengelola hasil kerja.
b. Sub Seksi Sarana Kerja mempersiapkan fasilitas sarana kerja. 5. Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib
Bidang ini mempunyai tugas sebagai berikut: mengatur jadwal tugas, mengatur penggunaan perlengkapan, pembagian tugas pengamanan, menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta menyusun laporan dibidang keamanan dan menegakkan tata tertib.
(67)
6. Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (KPLP)
KPLP ini mempunyai tugas menjaga keamanan dan ketertiban di Lapas. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut, KPLP mempunyai fungsi: melakukan penjagaan dan pengamanan atau pengawasan terhadap narapidana, melakukan pengawalan pada waktu penerimaan atau pengeluaran narapidana, penggeledahan dan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan dan membuat laporan harian.
(68)
Tabel 3
Organisasi Pegawai LP Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan
No .
Jabatan Tingkat Pendidikan Total
SMU Diploma Sarjana Magister
1 KALAPAS 1 1
2 Kasubbag T.U 1 1
3 Kaur Kepegawaian/Keuangan 1 1
4 Staf Kepegawaian/Keuangan 4 4
5 Kaur Umum 1 1
6 Staf Urusan Umum 1 1
7 Kasi. Bimb. Narapidana 1 1
8 Kasubsi Registrasi 1 1
9 Staf Registrasi 3 1 4
10 Kasubsi Bimb.
Kemasyarakatan & Perawatan
1 1
11 Staf Bimb. Kemasyarakatan & Perawtan
4 4 4 1 13
12 Kasi Kegiatan Kerja 1 1
13 Kasubsi Bimb. Kerja & Pengelolaan Hasil Kerja
1 1
14 Staf Bimb. Kerja & Pengelolaan Hasil Kerja
2 2 4
15 Kasubsi Sarana Kerja 1 1
16 Staf Sarana Kerja 1 1
17 Kasi Adm & Kamtib 1 1
18 Kasubsi Keamanan
19 Kasubsi Pelaporan & Tatib 1 1
20 Staf Pelaporan & Tatib 1 1 2
21 Kepala KPLP 1 1
22 Staf KPLP 3 3
23 Pengamanan 14 19 2 35
JUMLAH 22 5 47 6 80
(69)
Tabel 4
Perbandingan Jumlah Petugas Berdasarkan Jenis Kelamin
NO. Jenis Kelamin Jumlah %
1 Pria 8 10
2 Wanita 72 90
Jumlah 80 100
Sumber: Bagian Kepegawaian LP Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan 2009.
4.5 Jenis-jenis Narapidana yang Dibina di Lembaga Pemasyarakatan Wanita
Klas IIA Medan
Dalam Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Medan terdapat beberapa jenis narapidana. Mereka dibina melalui atau dengan cara memasyarakatkan klien agar nantinya dapat beradaptasi dengan masyarakat luar. Selain itu mereka dibina agar tidak mau melakukan lagi perbuatan yang melanggar hukum. Jenis-jenis narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan wanita.
1. Pengasingan
Narapidana yang berdasarkan putusan pengadilan telah dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan yang lain ke Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Wanita Tanjung Gusta Medan.
2. Narapidana
Warga binaan yang berdasarkan putusan pengadilan menjalankan pidana di Lembaga Pemasyarakatan Wanita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan.
(70)
3. Tahanan
Tersangka yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 4. Cell
Wanita berstatus tahanan luar yang ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
4.6 Pembinaan Narapidana
Pola Pembinaan Narapidana Pemasyarakatan adalah bentuk-bentuk pembinaan yang diberikan dalam membina warga binaan, yaitu:
1. Pendidikan Umum
Kejar Paket A (tingkat SD), kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Medan. Diadakannya kejar paket A karena kebanyakan narapidana wanita telah lulus SLTA, walaupun ada juga sebagian narapidana yang tidak lulus SLTA. Adapun narapidana yang buta huruf tetapi melihat usianya yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk menerima pendidikan umum tetapi mereka diberi keterampilan yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Wanita.
2. Pendidikan Agama
a. Ceramah Agama Islam dilaksanakan setiap hari selasa bekerjasama dengan Departemen Agama Medan Sumatera Utara.
(1)
c. Tidak tahu
3. Apakah saudara mengikuti pembinaan yang dilaksanakan di Lapas? a. Mengikuti
b. Kadang-kadang c. Tidak mengikuti Alasan……..
4. Apakah saudara mengikuti kegiatan pembinaan pendidikan umum, seperti Program Kejar Paket A, B, C?
a. Mengikuti b. Kadang-kadang c. Tidak mengikuti Alasan……...
5. Apakah saudara mengikuti kegiatan pembinaan pendidikan keterampilan, seperti menjahit dan kerajinan tangan?
a. Mengikuti b. Kadang-kadang c. Tidak mengikuti
6. Apakah saudara mengikuti/melaksanakan kegiatan pembinaan rohani? a. Mengikuti
b. Kadang-kadang c. Tidak mengikuti
7. Apakah saudara pernah mengikuti kegiatan pembinaan jasmani? a. Mengikuti
b. Kadang-kadang c. Tidak mengikuti
8. Apakah saudara pernah menerima kunjungan keluarga? a. Pernah
b. Tidak pernah
9. Apakah pernah diadakan kegiatan rekreasi, seperti pertandingan olahraga, hiburan musik, televisi dan membaca?
(2)
a. Pernah b. Tidak pernah
10. Apakah saudara mengikuti/melaksanakan kegiatan pembinaan integrasi seperti pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas dan asimilasi?
a. Ya b. Tidak
B. Tujuan Pembinaan
11. Apakah saudara mengerti tujuan pembinaan yang diberikan kepada saudara? a. Ya
b. Tidak
12. Apakah saudara dapat mengikuti semua macam pembinaan dengan baik? a. Ya
b. Tidak
13. Apakah pembinaan yang telah anda pernah dapat, anda jadikan bekal pedoman untuk hidup bermasyarakat setelah keluar dari Lapas?
a. Ya b. Tidak Alasan…….
14. Apakah materi pembinaan yang diberikan sudah jelas dan memadai? a. Ya
b. Tidak
C. Pelaksanaan Pembinaan
15. Apakah saudara sungguh-sungguh mengikuti pola pembinaan yang diberikan? a. Ya
b. Tidak
16. Apakah pembinaan yang dilakukan disesuaikan dengan minat, bakat dan kemauan saudara?
a. Ya b. Tidak
(3)
17. Apakah para pembina membantu saudara menjelaskan mengenai pola pembinaan yang diberikan?
a. Ya
b. Kadang-kadang c. Tidak
18. Apakah saudara dapat mematuhi tata tertib yang berlaku di Lapas? a. Ya
b. Kadang-kadang c. Tidak
19. Apakah saudara selalu melakukan kewajiban tanpa harus menunggu perintah dari petugas?
a. Ya
b. Kadang-kadang c. Tidak
Alasan…….
20. Bagaimana menurut saudara tentang perlakuan petugas terhadap saudara selama mengikuti pembinaan?
a. Baik
b. Kurang baik c. Tidak baik
21. Apakah menurut saudara, petugas sudah mempunyai keterampilan dalam menjalankan tugasnya?
a. Sudah b. Kurang c. Belum
22. Apakah saudara merasa terpaksa dalam mengikuti pembinaan? a. Ya
b. Kadang-kadang c. Tidak
23. Menurut pendapat saudara, bagaimanakah kualitas pembinaan yang diberikan? a. Baik
(4)
b. Cukup baik c. Tidak baik
24. Apakah dalam mengikuti pembinaan saudara mendapatkan masalah? a. Ya
b. Tidak Alasan……
25. Pernahkah saudara melanggar peraturan-peraturan yang ada di Lapas? a. Pernah
b. Tidak pernah
26. Apakah tindakan yang dilakukan oleh petugas apabila anda melanggar disiplin…….
27. Bagaimanakah cara pembinaan yang dilaksanakan terhadap saudara? a. Secara sendiri-sendiri
b. Secara berkelompok c. Secara bersama-sama
28. Apakah pola pembinaan yang dilakukan sesuai dengan jadwal? a. Ya
b. Kadang-kadang c. Tidak
29. Apakah saudara pernah mendapatkan remisi? a. Pernah
b. Tidak pernah
D. Manfaat Pembinaan
30. Apakah saudara merasakan manfaat pola pembinaan yang diberikan? a. Ya
b. Tidak
31. Apakah pola pembinaan yang diberikan mampu menambah pengetahuan, keterampilan dan keimanan saudara?
(5)
b. Tidak
E. Sarana dan Prasarana
32. Apakah tersedia sarana untuk beribadah seperti mesjid dan gereja di Lapas ini? a. Memadai
b. Kurang memadai c. Tidak memadai
33. Menurut pendapat saudara bagaimana situasi kamar tidur saat ini? a. Padat
b. Kurang padat c. Sangat padat
34. Bagaimanakah menurut saudara tentang manu makanan di Lapas? a. Enak
b. Kurang enak c. Tidak enak
35. Bagaimana menurut anda tentang fasilitas kesehatan warga binaan? a. Memadai
b. Kurang memadai c. Tidak memadai
36. Bagaimanakah sikap pembina, jika saudara sakit? a. Peduli
b. Kurang peduli c. Tidak peduli
37. Menurut pendapat saudara bagaimana fasilitas hiburan seperti perpustakaan dan televisi di Lapas ini?
a. Memadai
b. Kurang memadai c. Tidak memadai
38. Apakah fasilitas yang ada di Lapas ini dalam kondisi baik? a. Ya
b. Tidak
(6)
a. Puas
b. Kurang puas c. Tidak puas Alasan...
40. Apakah menurut saudara perlu adanya perbaikan fasilitas yang ada di Lapas? a. Ya
b. Tidak tahu c. Tidak