Peran Hakim Pengawas Dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong

(1)

PERAN HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT TERHADAP

POLA PEMBINAAN NARAPIDANA DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

SIBORONGBORONG

TESIS

Oleh

THURMAN S.M. HUTAPEA

077005029/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PERAN HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT TERHADAP

POLA PEMBINAAN NARAPIDANA DI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

SIBORONGBORONG

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

THURMAN S.M. HUTAPEA

077005029/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERAN HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT TERHADAP POLA PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

Nama Mahasiswa : Thurman S.M. Hutapea Nomor Pokok : 077005029

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MSc) A n g g o t a

(Dr. Sunarni, SH, M.Hum) A n g g o t a

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22Juli 20

09

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

:

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

:

1. Prof. Dr. Avi Syahrin, SH, MS

2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Lembaga peradilan harus benar-benar menjadi tempat penegakan keadilan, bukan sekedar tempat dimana peraturan ditegakkan, sehingga untuk menjalankan “misi suci” (sacred mission) lembaga peradilan tersebut maka hakim diberikan kekuasaan yang bebas dan mandiri agar putusan tidak mudah di intervensi oleh kekuatan extra judicial atau dengan kata lain menghasilkan putusan yang memenuhi rasa keadilan sehingga diharapkan dapat memupuskan tanggapan miring terhadap lembaga peradilan tersebut serta dapat menempatkan keberadaan lembaga peradilan sebagai “Benteng Terakhir” dalam proses penegakan hukum.

Putusan pengadilan merupakan awal dari suatu proses pemasyarakatan terpidana, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Oleh karena itu pelaksanaan putusan pengadilan perlu diawasi dan diamati sehingga lahirnya lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 merupakan jawabannya, dimana kedudukan seorang hakim tidak hanya bertanggung jawab terhadap penjatuhan hukuman semata melainkan juga harus ikut bertanggung jawab hingga hukuman selesai dijalani si terpidana di lembaga pemasyarakatan melalui pola dan program pembinaan yang diberikan.

Kehadiran lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat dalam sistem peradilan sudah cukup baik, namun efektifitas kehadirannya belum memberikan kontribusi yang berarti dalam proses penegakan hukum di negara kita.

Penelitian tentang peran dan tanggung jawab Hakim Pengawas dan Pengamat terhadap pola pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas. II B Siborongborong terdiri atas 3 (tiga) masalah, yaitu : (1) apa peran dan tanggung jawab, Hakim Pengawas dan Pengamat; (2) bagaimana implementasi pengawas dan pengamatan terhadap putusan pengadilan dilakukan serta; (3) apa yang menjadi faktor penghambat serta upaya yang dilakukan untuk mengatasinya.

Metode penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif yakni mencari data-data akan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab serta tujuan dari Hakim Pengawas dan Pengamat diadakan sesuai dengan Undang-undang kemudian diteliti akan implementasinya di lapangan serta dikaitkan pola pembinaan yang diterapkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Dari data yang ada kemudian dianalisis secara deskriftif analistis untuk memberikan gambaran mengenai tugas-tugas dan tanggung jawab secara lengkap dan menyeluruh serta dapat memberikan jawaban permasalahan yang diteliti.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan di wilayah Pengadilan Negeri Tarutung sudah berjalan, hanya sebatas untuk memenuhi ketentuan Undang-undang namun belum maksimal yang disebabkan karena kedudukan Hakim Pengawas dan Pengamat belum valid, baik dilingkungan Pengadilan Negeri sendiri karena mempunyai tugas


(6)

rangkap yakni sebagai hakim yang memeriksa dan mengadili perkara dan juga sebagai hakim yang mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan. Disamping itu penempatan Hakim Pengawas dan Pengamat sebagai anggota Tim Pengamat Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan hanya sebatas dalam Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor : M.02.PK.08.03 Tahun 1999 tanggal 3 Desember 1999 tentang pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. Karena keberadaan sangat diperlukan dalam proses penegakan hukum maka pengaturan dan pelaksanaan tugasnya harus jelas dan tegas baik dalam Undang-undang yang mengatur secara umum seperti di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana maupun Undang-undang khusus pemasyarakatan dan bila perlu dilakukan restrukturisasi terhadap lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat agar lebih efektif sehingga proses pembinaan dapat memberikan manfaat sekaligus proses pemasyarakatan si terpidana juga terpola dengan program yang tepat dan baik sehingga dapat menghasilkan suatu perubahan perilaku bagi si terpidana nantinya dan akhirnya tujuan penegakan hukum dan tujuan pembinaan melalui proses pemasyarakatan.


(7)

ABSTRACT

The Jurisdiction institute have to really becoming place of justice enforcement, non simply place of regulation were upheld, so that to run “holy mission” (sacred mission) the jurisdiction institute, a Judge was given a free and independent authority to prevent they decision from extra judicial power intervention or in other words is to produce the equaled judgments. By which were expected can change oblique opinions against the Jurisdiction institute and placed it as “Ultimate Fortress“ in law enforcement process.

The court judgment is the initial phase of correctional process for defendants, as according to the Law No. 12/1995 regarding the correctional. Therefore, the implementation of court judgments needs to be observed and perceived, thus the birth of Supervisor and Observer Judge Institution by Law No. 8/1981 is the answer, which make a Judge position is not simply responsible for imposition of punishment, but also have to responsible for completion of punishment term by inmates in Correctional Institute by appropriate pattern and program of counseling.

The presence of Supervisor and Observer Judge Institution in court system has been quite good, however the effectiveness of it presence does not make significant contribution of law enforcement process in our country.

Research of the role and responsibility of Supervisor and Observer Judge Institution in counseling pattern of inmates by Correctional Institute Class II B of Siborong-borong consisted of 3 (three) problems, they were : (1) what is the role and responsibility of Supervisor and Observer Judge; (2) how is the implementation of supervisor and observation on court judgment imposed; and (3) what becoming resistant factor and what effort to do to overcome it.

The method of research was normative juridical, i.e., to find out the data about the tasks of judges and what is their responsibility and the goal of Supervisor and Observer Judge Institute being established according to the Law, and then the implementation is observed in field and in relation with the pattern of counseling adopted in the Correctional Institute. The available data was then analyzed by descriptive analyzing method to give the clear description of tasks and responsibility collectively, and to have the solution or answers on the problems under research.

Research result indicate that the implementation of supervising and observation tasks on court judgments in State Court of Tarutung has worked, merely to extent of statue provisions, but not maximum due to the status of Supervisor and Observer Judge was not valid yet, either in the environment of State Court itself of multiple task holder, i.e., as judge that have to investigate and handle matters, and also as judge to observe and control the implementation of judgments imposed in the court. In addition, the assignment of the Supervisor and Observer Judge as team member of Correctional Institute in correctional system was confined to extent of Law Minister’s Decree and the Law of Republic of Indonesia No.


(8)

M.02.PK.08.03/1999, date of December 3, 1999 regarding the establishment of Correctional Considering Board and Observing team of correctional. Because it’s existence is significant in process of law enforcement, the regulation and implementation of tasks should be described in detail and assertively, either in the Law regulation generally such as Criminal Law Textbooks or ad hoc law of correctional, and if needed, there should be restructuring in Supervisor and Observer Judge Institutions to be more effective, and therefore the counseling can bring some significance and advantage, and in the same pattern and appropriate programs to have their behavior changed after going through the law enforcement, and goal of correctional process can be achieved.


(9)

KATA PENGANTAR

Sebagai seorang aparat penegak hukum siapa yang tidak bangga bila proses penegakan hukum di Negara-nya berjalan dengan baik sesuai dengan konstitusi, namum sebaliknya bagaimana perasaan aparat penegak hukum bila ketentuan yang telah digariskan didalam Undang-undang belum dapat dilaksanakan dengan sempurna.

Bertitik tolak dari penyataan diatas, perlu ada suatu koreksi diri, apanya yang salah? Substansinya kah atau strukturnya maupun budayanya.

Sekaitan dengan itu penulis merasa tertarik untuk meneliti sampai dimana peran Hakim Pengawas dan Pengamat dalam proses penegakan hukum di negara kita, baik terhadap proses pemidanaan maupun proses pemasyarakatan terpidana, sebab lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat tersebut telah ada sejak lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dalam khasanah sistem peradilan pidana di Indonesia.

Dalam penelitian terhadap hal diatas penulis mengakui bahwa tesis ini mustahil selesai jika tidak didukung dan dibimbing secara baik, penulis merasa banyak bantuan baik bersifat moril maupun materil yang penulis terima dari berbagai pihak dalam menyelesaikan teori ini.

Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :


(10)

1. Bapak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program Bea siswa di Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun Akademik 2007.

2. Bapak Drs. Untung Sugiyono, Bc.IP, MM., yang telah memberikan rekomendasi sekaligus ijin mengikuti test masuk Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang berkenan menerima penulis sebagai salah seorang mahasiswa melalui test potensi akademik.

4. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH., selaku Ketua Bidang Jurusan Ilmu Hukum sekaligus Ketua Komisi Pembimbing Tesis dan merangkap dosen.

5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku pembimbing tesis merangkap dosen.

6. Ibu Dr. Sunarmi, SH, MHum., selaku Sekertaris Bidang Ilmu Hukum, dosen pembimbing sekaligus merangkap dosen.

7. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, dan Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku penguji merangkap dosen.

8. Bapak / Ibu dosen Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama di bangku perkuliahan Tahun Akademik 2007/2008 dan 2008/2009.


(11)

9. Bapak Gerhat Pasaribu, SH, selaku Ketua Pengadilan Negeri Tarutung, Bapak Mangasi Situmeang, SH, LLM, selaku Kepala Kejaksaan Negeri Tarutung, Bapak Sardiaman Purba, Bc.IP, SH, selaku Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas. II B Siborong-borong dan Bapak Frans E. Manurung, SH selaku Hakim Pengawas dan Pengamat yang telah bersedia menerima penulis untuk melakukan penelitian sekaligus melakukan wawancara sehingga terkumpul data yang diperlukan dalam pembuatan tesis ini.

10. Isteri tercinta Elfrida DP. Napitupulu beserta anak-anak (Margaretha, Ronny, Juliandri, Yosua, dan Jepta Hutapea) yang telah memberikan semangat dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Dengan ucapan semoga bantuan yang diberikan mendapat imbalan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa disertai dengan harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi kalangan akademisi, kalangan praktisi serta masyarakat pada umumnya.

Medan, ………2009 Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

N a m a : THURMAN SM HUTAPEA

Tempat/Tanggal.lahir : Tanjung Pura, 18 Oktober 1962 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen Protestan

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri Nomor 3 Tanjung Pura, Langkat (Lulus Tahun 1974).

- Sekolah Menengah Pertama Negeri I Tanjung Pura, Langkat (Lulus Tahun 1977).

- Sekolah Menengah Atas Negeri Tanjung Pura, Langkat (Lulus Tahun 1981).

- Akademi Ilmu Pemasyarakatan Departemen Kehaikiman, Jakarta (Lulus Tahun 1985).

- Fakultas Hukum Universitas Sisingamangaraja XII, Tapanuli (Lulus Tahun 1993).

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (Lulus Tahun 2009)


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 20

C. Tujuan Penelitian ... 20

D. Manfaat Penelitian ... 21

E. Keaslian Penelitian ... 22

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 23

1. Kerangka Teori ... 23

2. Kerangka Konsepsi ... 38

G. Metode Penelitian... 39

BAB II PERAN DAN TANGGUNG JAWAB HAKIM WASMAT TERHADAP POLA PEMBINAAN NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ... 43

A. Dasar Pemikiran Lahirnya Lembaga Hakim WASMAT ... 43

B. Hakim WASMAT Dalam Sistem Peradilan Pidana ... 51

C. Peran dan Tanggung Jawab Hakim WASMAT ... 56

D. Rincian dan Ruang Lingkup Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat ... 60


(14)

F. Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ... 68

G. Peran dan Tanggung Jawab Hakim WASMAT Terhadap Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ... 89

BAB III IMPLEMENTASI PENGAWASAN TERHADAP KEJAKSAAN DAN PENGAMATAN TERHADAP LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ... 97

A. Implementasi Tugas Hakim WASMAT Terhadap Kejaksaan Dalam Pelaksanaan Putusan Pengadilan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborong-borong ... 97

1. Tanggung jawab Hakim WASMAT terhadap pelaksanaan putusan pengadilan ... 98

2. Hubungan antara Hakim WASMAT dan Kejaksaan ... 102

3. Implementasi tugas Hakim WASMAT dalam pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa ... 107

B. Implementasi Tugas Hakim WASMAT Terhadap Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborong-borong ... 117

1. Memeriksa dan Menandatangani Register Pengawasan dan Pengamatan ... 128

2. Checking on the Spot ... 129

3. Observasi ... 133

4. Wawancara... 137

C. Implementasi Tugas Hakim WASMAT Sebagai Bahan Penelitian Bagi PengadilanUntuk Pemidanaan Yang Akan Datang ... 141


(15)

BAB IV FAKTOR PENGHAMBAT IMPLEMENTASI TUGAS HAKIM WASMAT SERTA UPAYA YANG DILAKUKAN

UNTUK MENGATASINYA ... 148

A. Faktor Penghambat Implementasi Tugas Hakim WASMAT Terhadap Pembinaan Narapidana di Lapas Klas IIB Siborongborong ... 148

1. Faktor hukum ... 148

2. Faktor kelembagaan ... 152

3. Faktor sarana dan prasarana ... 156

B. Alternatif Pemecahan Masalah Terhadap Implementasi Tugas Hakim WASMAT Dalam Pembinaan Narapidana di Lapas Klas IIB Siborongborong ... 157

1. Bidang hukum ... 157

2. Bidang kelembagaan ... 161

3. Bidang sarana dan prasarana... 163

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 165

A. Kesimpulan ... 165

B. Saran... 167


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Kartu Data Perilaku Narapidana ... 68 2 Jumlah Narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan

Klas. II B Siborongborong Pada Tahun 2008. ... 134 3 Jenis Tindak Pidana yang Dilakukan ... 135 4 Jumlah Narapidana yang menerima Hak Integrasi


(17)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Bagan Sistem Peradilan Pidana... 55 2 Bagan Proses Pemasyarakatan ... 85 3 Bagan Proses Pelaksanaan Putusan Pengadilan oleh Jaksa ... 114 4 Bagan Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa “misi suci” (sacred mission) Lembaga Peradilan di Indonesia bukan untuk menegakkan hukum demi hukum itu sendiri seperti yang dikemukakan oleh Oliver Wendell Holmes. “The Supreme Court is not court of justice, it is a court of law”, melainkan untuk menegakkan hukum demi keadilan, baik bagi individu maupun bagi masyarakat, bangsa dan negara, bahkan keadilan yang dimaksud adalah keadilan demi Tuhan Yang Maha Esa sehingga terciptanya suasana kehidupan bermasyarakat yang aman, senang, tentram, tertib dan damai. Hal ini tercermin dari setiap keputusan hakim di Indonesia yang diawali dengan ungkapan yang sangat religius, yakni: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.1

Untuk menjalankan “misi suci” (sacred mission) tersebut, maka Hakim diberikan kekuasaan yang bebas dan mandiri agar putusan-putusannya tidak mudah diintervensi oleh kekuatan extra judicial, seperti penguasa dan kekuatan lainnya dalam masyarakat (seperti kekuatan politik dan ekonomi). Hal ini dijamin oleh UUD

1

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspita Sari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Cetakan ke-1, (Yogyakarta : UII Press, 2005), hal. 72. Kalimat,”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” bila dihayati merupakan doa dan janji antara Hakim dan Tuhan yang kurang lebih berbunyi : Ya Tuhan atas nama-Mu saya ucapkan putusan tentang keadilan ini.


(19)

1945 (yang telah mengalami empat kali perubahan) dan peraturan Undang-Undang yang berlaku positif di Indonesia, antara lain:

UU No.4 Thn 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan perubahan terhadap UU No.14 Thn 1970 dan UU No.5 Thn 2004 tentang Mahkamah Agung RI sebagai perubahan atas Undang-Undang No.14 Thn 1985.

Berdasarkan realita yang ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, maka diperoleh gambaran bahwa tidak semua hakim memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan. Ada sebahagian hakim yang dipengaruhi penguasa dan kaum

power full lainnya (elite ekonomi dan politik). Sehingga tidak heran apabila putusan-putusannya jauh dari rasa keadilan. Hal itu tampak dari berbagai tanggapan miring yang dikemukakan masyarakat (wakil rakyat, pakar hukum, praktisi hukum dan kaum awam) tentang eksistensi Lembaga Peradilan sebagai “Benteng Terakhir” dalam proses penegakan hukum dan keadilan.

Pada hakekatnya berbagai tanggapan miring terhadap Lembaga Peradilan bukanlah sekedar “isapan jempol” belaka, melainkan sebagai sebuah gambaran yang mendekati realitas yang terjadi pada Lembaga Peradilan tersebut. Hal itu tergambar dari munculnya berbagai kasus yang sempat dipublikasikan di media massa, antara lain: Kasus buruh Marsinah di Surabaya, yang memunculkan dugaan kuat bahwa, kasus ini diproses secara tidak wajar dengan menampilkan pelaku yang bukan sesungguhnya, sehingga menimbulkan hasil akhir putusan bahwa terpidana


(20)

dinyatakan ”bebas secara murni (vrijspraak)”.2 Demikian pula terhadap kasus PK (Peninjauan Kembali) perkara Muchtar Pakpahan yang sarat dengan intervensi kekuasaan di mana hasil akhirnya juga Mahkamah Agung RI melalui Lembaga Peninjauan Kembali (Herziening) memutuskan, menerima permohonan PK jaksa atas perkara tersebut yang sudah dibebaskan MA dalam tingkat kasasi. Sementara apabila ditinjau dari Hukum Acara Pidana, putusan MA tersebut bertentangan dengan bunyi Pasal 263 ayat (I) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, yang berhak mengajukan PK adalah terpidana atau ahli warisnya, bukan jaksa. Adapun dasar filosofis diaturnya PK dalam KUHAP adalah bukan untuk melindungi kepentingan Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara, melainkan untuk melindungi kepentingan terpidana dan atau ahli warisnya dari proses peradilan pidana. Kasus lainnya yang masih hangat dibicarakan masyarakat, yakni polemik pidana mati bagi Fabianus Tibo, Dominggus da Silva dan Marinus Ruwu. Terpidana kasus kerusuhan Poso yang telah dieksekusi mati, yang memunculkan kesan bahwa aparat penegak hukum, termasuk hakim dipandang tidak netral dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan eksekusi terhadap mereka.

2

Sri Sumantri, M., Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Sebagai Prasyarat Negara Hukum Indonesia (Tinjauan Historis Yuridis Atas dan Manifestasinya). Makalah dalam seminar “Lima Puluh Tahun Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia”, Yogyakarta, 26 Agustus 1995, hal. 14–15.


(21)

Putusan ini menimbulkan reaksi yang sangat keras dari masyarakat baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri, ada yang meyatakan bahwa eksekusi mati bagi Tibo, cs. adalah inkonstitusional.3 dan sarat dengan intervensi kekuatan politik tertentu4. Ada pula yang menyatakan bahwa eksekusi terhadap Tibo Cs. adalah penguburan fakta kasus kerusuhan Poso.5 Bahkan ada yang secara tegas menyatakan bahwa proses peradilan terhadap Tibo Cs, diindikasikan sebagai “peradilan sesat” yang pernah terjadi pada abad 21 di negara RI yang berdasarkan Pancasila yakni suatu proses peradilan yang penuh rekayasa untuk melindungi kelompok atau golongan tertentu dan mengorbankan rasa keadilan dan kemanusiaan.6

3

Al. Araf, “eksekusi mati di Poso Inkonstitusional” Kompas, 7 April 2006 dan lihat juga Todung Mulia Lubis, “Tibo, Akbar dan Muhaimin”, Kompas, 7 April 2006.

4

Lihat Simon Tukan, “Vonnis mati Tibo Cs. : Intervensi politik” Pos Kupang, 2 September 2006.

5

Lihat Arianta Sangaji “Tibo dan Penguburan Fakta”. Kompas 8 April 2006 dan baca Media Indonesia. 10 Agustus 2006 “Eksekusi Tibo dan kawan-kawan kuburkan fakta kasus Poso”.

6

Lihat Antonius Sudirman, “ Keadilan dalam Kasus Tibo”. Tribun Timur, 6 April 2006. h.16: Paling tidak ada beberapa alasan yang mengindikasikan bahwa kasus Tibo cs. tergolong peradilan sesat, penuh rekayasa untuk melindungi kepentingan kelompok tertentu. Pertama, pada waktu sidang kasus Tibo cs, suasana Pengadilan negeri Palu sangat tidak kondusif. Di luar pengadilan terjadi demo dari kelompok masyarakat yang menghendaki Tibo cs. dihukum. Dalam suasana seperti ini, amat sulit bagi hakim untuk melakukan penegakan hukum secara jujur dan adil. Kedua, berdasarkan berita di media massa, ada 16 orang yang diduga sebagai dalag kerusuhan Poso. Akan tetapi, ke-16 orang tersebut tidak tersentuh hukum. Ketiga, ditemukan bukti baru (novum) yang mengindikasikan Tibo cs. tidak terlibat sebagai dalang kerusuhan Poso (Kompas, 02/04/06). Apabila alat bukti tersebut benar, dapat disimpulkan bahwa aparat penegak hukum tidak mengindahkan asperk kecermatan dan kehati-hatian dalam proses peradilan terhadap kejahatan yang serius dengan ancaman pidana berat (mati).

Keempat, kasus kerusuhan Poso sungguh dahsyat. Korban jiwa tidak kurang dari 200-an jiwa. Selain itu, kerugian harta benda tak ternilai. Ratusan rumah tinggal, tempat ibadah, kantor, toko dan pasar terbakar dan hancur berantakan. Namun, yang menjadi dalang kasus itu hanya ditimpakan kepada Tibo cs. Kelima, kasus kerusuhan Poso yang sangat dahsyat itu terjadi dalam tiga kali (1998-2000). Akan tetapi, sungguh tidak masuk akal yang diproses secara hukum adalah hanya ketiga orang yang terlibat dalam kasus Poso Jilid III, yang “notabene” tidak terlibat kasus Poso I dan II; sementara pelaku dalam kasus Poso I dan II dibiarkan tanpa diadili. Keenam, rencana eksekusi terhadap Tibo cs. oleh Kejaksaan Agung RI dilakukan secara tergesa-gesa tanpa menunggu adanya grasi II oleh Presiden RI. Dalam pasal 2 ayat (3) dan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor.22 Tahun 2002 tentang Grasi ditegaskan, untuk jenis pidana tertentu (termasuk pidana mati), dapat diajukan grasi yang kedua kalinya setelah lewat dua tahun sejak grasi pertama. Sesuai dengan ketentuan tersebut, seyogianya


(22)

Selain kasus-kasus di atas, saat ini yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh masyarakat yakni kasus salah tangkap Polisi terhadap pelaku pembunuhan Muhammad Asrori alias Aldo yang dituduhkan kepada pelaku-pelakunya; Imam Hambali, David Eko Proyanto dan Maman Sugianto dan bahkan hakim juga telah menghukum Imam dengan hukuman 17 tahun dan David dengan 12 tahun penjara, sedangkan Maman Sugiyanto masih diadili, dan kasus salah tangkap ini muncul akibat pengakuan Very Idham Heryansyah alias Ryan yang mengaku menghabisi Asrori alias Aldo.7

Di samping itu kasus yang paling menggemparkan lembaga penegak hukum dewasa ini yakni terkuaknya kasus “Pemalsuan Vonis” terhadap terpidana Sumarlin alias Cen Yu yang divonis PN Medan 2 tahun penjara dipalsukan menjadi 6 bulan, demikian pula vonis atas nama terpidana RR alias Apung dalam perkara penipuan dengan vonis sebenarnya 2 tahun penjara dan bukan 7 bulan seperti yang dipalsukan.8

Bercermin pada peristiwa-peristiwa miring yang menimpa Lembaga Peradilan, maka patut dipertanyakan, apakah Pengadilan di Indonesia sudah hancur sama sekali dan tidak berperan netral lagi dalam menegakkan keadilan sesuai dengan

Kejaksaan Agung menunda dulu pelaksanaan eksekusi bagi tibo cs. sampai turunnya grasi yang kedua.

Ketujuh, kasus kerusuhan Poso sarat dengan muatan SARA, politik, korupsi, dan perebutan kekuasaan (Bingkai, Nomor 22, 25/12/05), yang melibatkan satu atau lebih kelompok yang saling berhadap-hadapan (berlawanan). Namun, yang diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman mati adalah anggota dari salah satu kelompok tertentu yang tidak memiliki kekuasaan. Pertanyaannya, atas dasar apakah sehingga kelompok yang lain tidak diproses sesuai dengan aturan hukum yang berlaku? Lihat juga, Janes Eudes Wawa (ed.), Kesaksian dari Balik Penjara:Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus Riwu. Jakarta: PADMA Indonesia. 2006.

7

Harian Sinar Indonesia Baru, “Kasus Salah Tangkap, Kapolres Jombang Diperiksa Polda, Kajari Diperiksa Kejati”, Minggu, 7 September 2008 , hal. 1, Kol. 4-8.

8

Harian SinarIindonesia Baru, “Poltabes MS Temukan Dokumen 40 Vonis Palsu Di Laptop A Hok”, Medan, Selasa, 28 Oktober 2008, hal.1, Kol. 3-6.


(23)

misi suci Lembaga Peradilan di Indonesia? Jawabannya tentu tidak! Sebab masih ada hakim yang memiliki hati nurani yang jujur, meskipun jumlahnya langka, tetapi telah menorehkan tinta emas dalam sejarah peradilan di Indonesia seperti Hakim Bismar Siregar (mantan Hakim Agung) yang tersohor karena putusannya yang memperluas pengertian “barang” dalam Pasal 378 KUH Pidana dengan “jasa” (seks), yang diberikan perempuan kepada lelaki gombal dan dalam setiap putusannya selalu dijiwai oleh nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, demikian pula dengan mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto yang populer karena putusannya yang membebaskan Muchtar Pakpahan dan keberaniannya membongkar kolusi di Mahkamah Agung RI dalam kasus Gandhi Memorial School, yang pada akhirnya Mahkamah Agung RI mengakui memang telah terjadi kesalahan prosedur.9

Sementara itu mantan Hakim Agung Asikin Kusumah Atmadja yang menjadi terkenal karena kasus tanah Kedung Ombo di mana dalam putusannya menguntung-kan kaum pemilik tanah yang selalu menjadi korban keserakahan kaum powerfull

yang biasa memanfaatkan kelemahan-kelemahan Perundang-undangan yang ada.10 Kehadiran beberapa hakim yang jujur, sebagaimana disebutkan di atas memberikan segenggam harapan bahwa Lembaga Peradilan Indonesia belum hancur sama sekali dan bahkan berperan netral dalam menangani setiap perkara yang dilimpahkan kepadanya. Namun, sesungguhnya yang hancur dan tidak bersifat netral

9

Antonius Sudirman, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2007), hal.11.

10


(24)

adalah oknum-oknum pribadi hakim yang hati nuraninya lemah, yang selalu memanfaatkan “Lembaga Suci” tersebut sebagai sarana untuk mencari keuntungan bagi dirinya sendiri / dan atau membela kepentingan yang kuat (powerfull), sementara di sisi lain justru mengorbankan kepentingan pihak yang lemah (powerless) melalui putusan-putusan yang bertentangan dengan perasaan hukum dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat.

Sehubungan dengan hal itu, maka sangat sulit untuk menggeneralisasikan bahwa semua hakim di Indonesia memiliki tipe yang sama tetapi terdiri atas berbagai macam tipe, antara lain, ada yang berperan “sebagai abdi” (budak) pada nafsu akan kekuasaan, jabatan dan harta untuk kepentingan diri sendiri; dan atau ada yang bertindak “sebagai alat” dari kaum powerfull / (penguasa dan yang berduit) untuk membela kepentingannya dalam setiap proses peradilan; dan atau ada yang berperan “sebagai corong” dari perkataan Undang-Undang semata (dalam bahasa Belanda disebut Let’terknechten der wet sedangkan dalam bahasa Prancis disebut bouche de la loi); dan ada yang memiliki tipe yang luhur, yakni sebagai abdi pada keadilan dengan mengedepankan hati nuraninya.11

Munculnya tipe hakim yang mengedepankan hati nuraninya dalam pengambilan setiap keputusan sudah dapat menceminkan bahwa proses penegakan hukum telah dijalankan untuk memperhatikan tujuan yang ingin dicapai yakni pencegahan kejahatan. Proses penegakan hukum adalah upaya pemulihan/reaksi hukum masyarakat terhadap terjadinya pelanggaran, kejahatan dengan tujuan bagi

11


(25)

pelakunya dapat dijatuhi hukuman yang adil dan di masyarakat terwujud kepastian hukum yang mengayomi masyarakat.12

Proses penegakan hukum yang bersifat adil dan manusiawi yang diharapkan berlangsung pada setiap tahap dalam sistem peradilan pidana telah terjaring dalam suatu sistem, baik pada saat proses pemeriksaan di tingkat penyidikan ataupun persidangan. Untuk menjatuhkan pidana maupun ketika dibina sebagai narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat diperlakukan dengan adil serta hak-haknya sebagai warga negara tetap dihormati. Dengan kata lain bahwa proses yang berlangsung sejak dilakukan penyidikan hingga pelaksanaan putusan di Lembaga Pemasyarakatan hendaknya berlangsung berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Di samping mengingat Hak-Hak Asasi Manusia dari pelaku tindak pidana dengan memperhatikan tujuan pemidanaan itu sendiri baik yang bersifat umum (general prevention) maupun yang bersifat khusus (special prevention).

Dapat atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut tergantung dari aparat penegak hukum dalam menerapkan peraturan Perundang-undangan tanpa mengabaikan hak-hak tersangka, terdakwa maupun narapidana. Sehubungan dengan makna dari due process of law (proses penegakan hukum yang adil), Mardjono Reksodiputro mengungkapkan :

Sangat keliru, pengertian proses hukum yang adil atau due process of law

hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan KUHP terhadap tersangka dan terdakwa. Pertama-tama harus dipahami bahwa proses hukum yang adil adalah lawan dari proses hukum yang sewenang-wenang yang hanya

12

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995), hal. 4.


(26)

berdasarkan kuasa aparat penegak hukum (arbitrary process). Kedua, bahwa makna dan hakekat proses hukum yang adil tidak saja berupa penerapan hukum atau peraturan Perundang-undangan (yang diasumsikan adil) secara formal tetapi juga mengandung jaminan akan hak atas kemerdekaan dari seseorang warga negara (bandingkan dengan alinea I pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa....13

Jika diperhatikan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian due process of law, sangat luas jika ditinjau dari sudut makna dan hakikatnya sebab para pelaku tindak pidana tidak hanya diperlakukan dengan adil. Akan tetapi dijamin juga akan harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia. Hal itu berarti bahwa proses hukum yang adil harus tetap mengikuti tersangka, terdakwa ataupun terpidana hingga pada tahap purna ajudikasi yakni pelaksanaan hukuman di Lembaga Pemasyarakatan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, salah satu aparat penegak hukum yang diharapkan dapat meningkatkan penegakan hukum dan pembinaan aparatur hukum seperti yang diamanahkan dalam sasaran pembangunan di bidang hukum dalam Pelita VI dalam Tap MPR RI No.II /MPR/1993 tentang GBHN adalah lembaga hakim pengawas dan pengamat (yang disingkat dengan Kimwasmat).

Lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat tersebut merupakan lembaga baru yang lahir seiring lahirnya UU No.8 thn 1981 tentang KUHAP di mana Lembaga Kimwasmat diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab XX (pasal 277 s/d 283) tentang pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan.

13

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/n Lembaga Kriminologi UI, 1994) hal. 49.


(27)

Ide pembentukan Lembaga Hakim Pengawas dan Pengamat ini sebenarnya sudah pernah dicetuskan oleh Oemar Seno Adji sekitar tahun 1972 yang merupakan adaptasi dari Lembaga Judge de I’aplication des peines atau sering disingkat dengan “j.a.p” yang dikenal di Prancis pada tahun 1959.

Di Prancis, “Judge de I’aplication des peines” ini baru dapat menjalankan tugasnya setelah putusan dijatuhkan, bahkan sesudah orang yang dipidana itu keluar dari Lembaga Pemasyarakatan, sementara peranannya juga hanya sebatas melakukan pengawasan dan pengamatan dalam Lembaga Pemasyarakatan maupun terhadap Pelepasan Bersyarat.

Peranan hakim pengawas dan pengamat (Judge de I’aplication des peines) dalam pengawasan ditujukan kepada pihak kejaksaan, sementara pengamatan ditujukan terhadap pihak Lembaga Pemasyarakatan, sehingga sebagai lembaga hukum yang baru, maka keberadaan hakim pengawas dan pengamat memerlukan perhatian dan pemikiran mengenai penerapannya, manfaatnya, pengaturannya dalam KUHAP, pengaturan pelaksanaan lebih lanjut, serta bentuk dari peraturan pelaksanaan tersebut.14

Setelah diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, hakim berkewajiban mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap putusan yang telah dijatuhkannya yang sebelum adanya hakim wasmat, ada anggapan bahwa wewenang hakim terbatas hanya sampai pada penjatuhan putusan dan tidak perlu mengetahui sampai sejauh mana pelaksanaan putusannya. Hakim wasmat ini merupakan suatu

14


(28)

inovasi dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Inovasi tersebut adalah kekuasaan kehakiman setelah dijatuhkan putusan pengadilan yang berupa pengawasan keputusan hakim di samping pra-peradilan sebelum perkara diajukan ke pengadilan.15 Dari sudut kekuasaan kehakiman secara struktural hakim wasmat adalah seorang hakim pengadilan yang melaksanakan wewenangnya setelah ditunjuk oleh Ketua Pengadilan.16 Dalam susunan Kekuasaan Kehakiman berdasarkan UU No.4 Tahun 2004 Hakim wasmat berada pada lembaga peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Hal itu berarti bahwa hakim wasmat bukan merupakan satu lembaga tersendiri, melainkan terikat dengan Lembaga Peradilan. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi kehakiman, tanggung jawab dan peranannya tidak terbatas pada pengawasan dan pengamatan saja, tetapi juga lebih jauh kepada penyelesaian kasus-kasus yang muncul atau ditemui pada saat menjalankan tugasnya. Adapun yang dimaksud dengan fungsi kehakiman adalah seperangkat kegiatan yang berupa mengadili suatu perkara, sengketa, yang individual konkret.17

Dalam peraturan yang berlaku mengenai hakim wasmat, tidak satupun mengatur bahwa hakim wasmat dapat mempergunakan wewenang mengadili yang ada padanya sebagai pihak ketiga yang tidak memihak. Untuk menentukan hukumnya dalam suatu persengketaan/perselisihan mengenai hak dan kewajiban masing-masing dalam suatu persoalan-persoalan dan dalam suatu situasi kekuasaan yang menentukan

15

Loebby Loqman, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Ichtiar, (Jakarta : Datacom, 1996) hal. 125.

16

Pasal 277 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. 17

Moh. Kosnoe, “Kedudukan dan Fungsi Kekuasaan Kehakiman Menurut UUD 1945”, Varia Peradilan, Tahun XI. No.129, Juni 1996, hal. 100.


(29)

bagaimana hukumnya yang berlaku bagi sengketa yang diperhadapkan kepada pengadilan senada dengan pandangan dalam ajaran hukum Romawi Kuno mengenai hakim yang mengatakan bahwa da mihi facta, dabotibi ius yang berarti, berikan saya faktanya, dan saya berikan (bagaimana hukumnya).18 Dalam konteks hakim pengawas dan pengamat, persoalannya terletak pada kewenangannya untuk mengadakan tindakan mengadili. Apakah dimungkinkan Hakim Wasmat memberikan masukan terhadap masalah-masalah yang ia hadapi pada saat menjalankan tugas pengawasan dan pengamatan. Tanggapan tersebut dapat menempatkan hakim wasmat sebagai pihak ketiga yang mengemban tugas kekuasaan kehakiman untuk mengadili. Memang tidak dapat disangkal bahwa dalam hubungan antara pihak LP dengan para narapidana dapat terjadi konflik. Kecenderungan munculnya sifat konflictual di antara mereka oleh hal-hal berikut :

Pertama : masing-masing pihak kurang mempercayai pihak lainnya, yang kedua para narapidana biasanya ingin melarikan diri akan tetapi para petugas pemasyarakatan harus mencegahnya. Hal yang ketiga adalah etik antara para narapidana mencegah adanya kerjasama dengan para petugas pemasyarakatan. Sebagai akibatnya sikap tindak narapidana secara ketat diatur oleh peraturan-peraturan hukum19

Konflik di antara keduanya dapat membuat petugas bertindak secara ketat tanpa memperhitungkan hak asasi dari narapidana. Semua tindakan petugas ditujukan demi menjaga keamanan, tetapi yang merasakan akibatnya adalah para narapidana. Dalam hal inilah Hakim Pengawas dan Pengamat dituntut untuk berperan aktif.

18

Ibid., hal. 92 – 93. 19

Soerjono Soekanto dan R. Otje Salman, Ed. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, (Jakarta : CV. Rajawali, 1987), hal. 132.


(30)

Peran Hakim Pengawas dan Pengamat untuk mengadakan pengawasan dan pengamatan menempatkannya sebagai pengontrol pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana diatur dalam KUHAP maupun dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.7 Tahun 1985. Inti dari tugas pengawasan dan pengamatan adalah hakim harus aktif menjaga agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak terpidana yang memperoleh putusan pidana penjara. Pada saat hakim menjalankan pengawasan dan pengamatan, selalu mengadakan kontak secara langsung dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan maupun dengan terpidana sehingga dapat langsung memberikan koreksi jika diketahuinya terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia yang menyebabkan penderitaan atau merendahkan martabat narapidana sebagai seorang manusia. Mengenai hal ini ada dua pendapat yang berkembang.

Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa setelah diketahui oleh hakim Wasmat, ia dapat memberikan teguran melalui atasan (Kalapas). Teguran yang dimaksudkan di sini bersifat horizontal.20 Namun menurut Mardjono Reksodiputro, pengawasan yang demikian hanya dapat dilakukan jika terjadinya pelanggaran-pelanggaran besar dan serius yang berupa penganiayaan bahkan menyebabkan kematian. Seharusnya hal itu diselesaikan secara hukum di dalam sidang pengadilan dan bukan secara administratif. Kenyataan menunjukkan bahwa walaupun pelanggaran yang menyebabkan narapidana mengalami penderitaan fisik yang disebabkan oleh sikap petugas bahkan kebiasaan perlakuan dari sesama narapidana.

20

Purwoto S Gandasubrata, “Peran dan Tanggung Jawab Hakim Pengawas dan Hakim Pengamat Terhadap Putusan Pidana Yang Dijatuhkan”, makalah dalam Seminar Nasional Kajian Hukum Pidana LK2 SM-FHUI, Jakarta, 20 Nopember 1991, hal. 3


(31)

Namun, tidak pernah terdengar narapidana yang menderita fisik atau meninggal mendapatkan bantuan hukum untuk membela hak-haknya bahkan melimpahkan masalah tersebut ke sidang pengadilan. Beranjak dari peranan Hakim Wasmat yang demikian maka yang seharusnya menjadi Hakim wasmat adalah hakim senior yang memiliki pengalaman-pengalaman dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana dan bukanlah hakim junior sebagaimana yang ditugaskan dalam pengawasan dan pengamatan selama ini. Walaupun secara tegas tidak ditentukan, Hakim Pengawas dan Pengamat dapat mengadakan proses peradilan pidana bagi narapidana maupun petugas Lembaga Pemasyarakatan. Secara implisit hakim tersebut dapat menjalankan kekuasaan mengadili khususnya terhadap pelanggaran hak asasi oleh sesama narapidana. Hal tersebut tampak dalam Pasal 17 ayat 1-7 UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mengatur:

Penyidikan terhadap narapidana yang terlibat perkara lain, baik sebagai tersangka, terdakwa maupun sebagai saksi yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan tempat narapidana yang bersangkutan menjalani masa pidana, dan dilakukan setelah penyidik menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang dan menyerahkan tembusan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Hakim Pengawas dan Pengamat dapat bertindak sebagai hakim yang mengadili perkara pidana yang terjadi di dalam Lapas setelah mendapatkan limpahan perkara tersebut dari pihak kejaksaan, dengan adanya kasus yang dapat dideteksi melalui tahap awal oleh Polisi, sub-sistem lainnya akan berjalan sebagaimana mestinya.

Hal paling pokok adalah bahwa tidak ada satupun pasal dari UU Pemasyarakatan yang baru tersebut mengatur tentang Hakim Pengawas dan Pengamat di Lembaga Pemasyarakatan. Hal ini menunjukkan tidak adanya kemauan atau niat


(32)

dari pihak Pemasyarakatan untuk menempatkan Hakim Pengawas dan Pengamat dalam ruang lingkup kegiatan Lembaga Pemasyarakatan secara intern.

Adapun tujuan pengawasan dan pengamatan yang diatur dalam KUHAP (UU No.8 Thn 1981), yaitu untuk memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya dan untuk penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan (Pasal 280 KUHAP). Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 7 Thn 1985 ketentuan Pasal 280 di atas dirinci menjadi:

1. Inti pengertian pengawasan ditujukan kepada jaksa dan petugas Lembaga Pemasyarakatan dan,

2. Inti pengertian pengamatan ditujukan kepada masalah pemidanaan yaitu sebagai bahan penelitian bagi pemidanaan yang akan datang.

Selanjutnya dalam UU tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No.4 Thn 2004) dalam Pasal 36 ayat (2), memberikan tugas baru bagi para hakim, yang dalam Perundang-Undangan sebelumnya tidak diatur. Di samping memeriksa, mengadili dan memberikan hukuman, hakim mempunyai tugas khusus untuk membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan.21

Pelaksanaan putusan pengadilan dalam tingkat pertama dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa, namun demikian ada hubungannya dengan Ketua Pengadilan yang melakukan tugas pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan

21


(33)

pengadilan tersebut. Pengawasan dimaksud adalah supaya terdapat jaminan, bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan itu dilaksanakan semestinya.

Adanya pengawasan dan pengamatan tersebut akan lebih mendekatkan pengadilan tidak saja dengan kejaksaan, tetapi juga dengan Pemasyarakatan. Melalui pengawasan tersebut menempatkan Pemasyarakatan dalam rangkaian proses pidana serta menetapkan tugas hakim tidak berakhir pada saat putusan pengadilan dijatuhkan olehnya. Hal itu adalah sesuai dengan konsepsi peradilan pidana yang terpadu (integrate criminal justice sistem).

Pengawasan yang ditujukan kepada jaksa sebagai pelaksana eksekusi dan petugas Lapas sebagai pelaksana pembinaan hanya terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van genrijsde) dalam hal ini putusan pengadilan tersebut telah diterima oleh para pihak baik jaksa maupun terdakwa. Selanjutnya jaksa tidak akan membiarkan putusan pengadilan tersebut melainkan dengan kewenangan yang ada padanya, melakukan eksekusi serta menyerahkan terpidana ke Lembaga Pemasyarakatan. Pada kenyataannya tidak semua putusan pengadilan baik itu putusan perampasan kemerdekaan maupun pidana bersyarat yang merupakan obyek pengawasan dan pengamatan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Dalam sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice sistem), tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemidanaan dan pembinaan narapidana berada pada sub sistem pemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya para narapidana ditempatkan di dalam Lapas, untuk dibina dengan pola-pola pendekatan yang ada.


(34)

Dari perspektif teori yang berkembang dalam criminal justice sistem bahwa pola pendekatan yang dikenal dalam pembinaan narapidana adalah medical model dan

justice model. Pendekatan medical model memiliki obsesi bahwa sistem peradilan pidana bertujuan untuk mengobati pelaku kejahatan sehingga menjadi manusia berguna. Sedangkan pendekatan justice model menitik beratkan pada penjatuhan pidana atas pelaku kejahatan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, pendekatan pertama (medical model) mengutamakan pentingnya peran

treatment (pembinaan). Sedangkan pendekatan kedua (justice model) mengutamakan peran punishment (penghukuman)22

Perlakuan dan pembinaan narapidana apapun bentuk (pola) pendekatan yang diterapkan tetap dalam konteks “Negara tidak berhak untuk membuat seseorang lebih buruk atau jahat dan sebelum dia masuk Lembaga Pemasyarakatan”. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari konsepsi Pemasyarakatan yang dicetuskan oleh DR. Sahardjo dalam pidato pada penganugerahan gelar doktor honoris causa di Universitas Indonesia, yang telah melahirkan prinsip-prinsip pokok Pemasyarakatan yang menekankan Pemasyarakatan tidak semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara melainkan menerapkan sistem pembinaan narapidana yang sekaligus merupakan metodologi di bidang pembinaan terhadap pelaku kejahatan (treatment of offenders.)23

22

Ramli Atmasasmita, “Masalah Pembinaan White Collar Crime Di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Pemasyarakatan Terpidana II di Jakarta, 8-9 November 1993, hal. 20.

23

A. Widioda Gunawan, Sejarah Dan Konsepsi Pemasyarakan, (Bandung : CV. Armico, 1988), hal. 76.


(35)

Pada kenyataannya bahwa dalam pelaksanaan konsepsi Pemasyarakatan di dalam Lapas, sering ditemui berbagai masalah, misalnya dengan munculnya kasus-kasus melarikan diri, perkelahian sesama narapidana, bunuh diri dalam kamar hunian, pemerasan, transaksi narkoba, dan sebagainya. Dalam menghadapi kenyataan seperti di atas, tidak tertutup kemungkinan penyebabnya karena hukum yang dijatuhkan hakim terhadap seorang terpidana terlalu berat atau terlalu ringan, sehingga ingin melakukan kejahatan lagi di dalam Lapas atau mungkin juga karena jaksa terlambat mengeksekusi putusan sehingga hak-hak narapidana terhambat untuk diterima seperti remisi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat atau mungkin juga petugas Lapas tidak dapat menerapkan pola pembinaan terhadap narapidana dimaksud karena latar belakang hukuman yang dirasakan kurang sesuai terhadap dirinya sehingga tidak mendukung program pola pembinaan. Dalam menghadapi kenyataan seperti di atas, patut dipertanyakan eksistensi dari hakim wasmat karena keberadaan hakim ini tidak terlepas dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi narapidana sebagaimana yang tersebut dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku, bahkan dapat dinyatakan peran Hakim wasmat akan semakin kompleks manakala dihadapkan dengan bentuk sanksi pidana yang baru yang diatur dalam konsep KUHP (baru) seperti pidana penjara, pengawasan, denda, kerja sosial dan sebagainya.

Mengingat kompleksitas tantangan Hakim WASMAT diharapkan peran dan tanggung jawab dari Hakim WASMAT lebih dominan dalam proses penegakan hukum. Apalagi negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), dengan identitas


(36)

adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang mesti dihormati, dan dijunjung tinggi oleh penyelenggara negara beserta segenap warga negaranya serta menempatkan aparatnya untuk konsekuen dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Dalam hubungannya dengan putusan Pengadilan, aparat penegak hukum yang melaksanakan putusan tersebut tidak boleh melebihi apa yang diinginkan putusan yang dijatuhkan oleh hakim dan tidak menghendaki diberlakukannya narapidana sebagai obyek yang tidak memiliki harkat dan martabat sehingga dapat diperlakukan sewenang-wenang bahkan tidak manusiawi. Narapidana adalah manusia, makhluk ciptaan Tuhan, sehingga sekalipun ia seorang terhukum, perlu mendapat perlakuan yang adil serta mendapat pembinaan sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dalam pembinaan terhadapnya diarahkan untuk mengubah perilakunya menjadi lebih baik dari sebelumnya, dan menjadi manusia yang berguna bagi bangsa dan negara. Sehingga tercapai tujuan dan penegakan hukum itu sendiri, yakni terciptanya kehidupan masyarakat yang aman dan tertib.

Ikut campurnya hakim dalam pengawasan dan pengamatan yang dimaksud, maka selain hakim akan dapat mengetahui apakah putusannya telah dilaksanakan (dieksekusi) atau belum juga dapat mengetahui sampai di mana putusan pengadilan itu tampak hasil, baik bentuknya pada diri narapidana masing-masing yang bersangkutan dan juga penting bagi bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat dalam pemidanaan selanjutnya.


(37)

Berdasarkan uraian-uraian di atas, peneliti tertarik untuk membahas dan meneliti mengenai peran dan tanggung jawab hakim pengawas dan pengamat (selanjutnya ditulis Hakim WASMAT) dalam pelaksanaan putusan pengadilan untuk mendukung pola pembinaan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan dan yang pasti sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul: ”Peran Hakim Pengawas dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kls IIB Siborongborong”

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang, maka dapat dikemukakan beberapa rumusan permasalahan dalam tesis ini sebagai berikut:

1. Bagaimana peran dan tanggung jawab Hakim WASMAT terhadap pola pembinaan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan?

2. Bagaimana implementasi pengawasan terhadap Kejaksaan dan pengamatan terhadap Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan putusan pengadilan?

3. Apa yang menjadi faktor penghambat implementasi tugas Hakim WASMAT serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasinya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan tesis ini, sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, adalah:


(38)

1. Untuk mengetahui peran dan tanggung jawab Hakim WASMAT terhadap pola pembinaan narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan.

2. Untuk mengetahui implementasi pengawasan terhadap Kejaksaan dan pengamatan terhadap Lembaga Pemasyarakatan dalam pelaksanaan putusan pengadilan.

3. Untuk mengetahui faktor penghambat implementasi tugas Hakim WASMAT serta upaya yang dilakukan untuk mengatasinya.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni:

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai sumbangan pemikiran kepada para ahli hukum khususnya ahli hukum pidana agar memberikan perhatian lebih terhadap lembaga Hakim WASMAT. b. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk pengembangan pengetahuan

tentang lembaga Hakim WASMAT.

c. Untuk dapat menambah hasanah kepustakaan di bidang Hukum Acara Pidana.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk dapat kiranya memberikan masukan bagi Hakim WASMAT dan juga bagi penegak hukum lainnya (Jaksa dan petugas Lapas) agar lebih konsekuen


(39)

dalam melaksanakan peran dan tanggung jawabnya masing-masing seperti yang telah diatur oleh Undang-Undang.

b. Sebagai informasi bagi Lembaga Legislatif apakah perlu tidaknya lembaga Hakim WASMAT difungsikan sebagai penegak hukum.

c. Sebagai bahan masukan untuk penyempurnaan Perundang-undangan Nasional khususnya yang berhubungan dengan masalah pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran terhadap studi kepustakaan serta pemantauan yang penulis lakukan di Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, maka diketahui bahwa belum ada dilakukan penelitian yang serupa dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian yang penulis lakukan, yaitu mengenai “Peran Hakim Pengawas dan Pengamat Terhadap Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong”.

Oleh sebab itu penulis menaruh keyakinan bahwa penelitian yang akan penulis lakukan ini jelas dan terang dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan akan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi setiap penelitian maupun akademisi.


(40)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Masalah Penegakan Hukum”, menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.24 Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang menginginkan dapat ditegakkannya hukum terhadap peristiwa kongkret yang terjadi. Dengan adanya kepastian hukum, ketertiban dalam masyarakat tercapai.25

Namun, harus disadari bahwa dalam proses penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat, Plato memberikan rambu-rambu ketidaksempurnaan hukum, dimana Plato telah memprediksi kemungkinan munculnya praktik penegakan hukum yang sekalipun sejalan dengan suatu undang-undang, tetapi bertentangan dengan hak asasi manusia atau bertentangan dengan rasa keadilan.26 Namun dibalik ketidaksempurnaan hukum tersebut, Plato tetap mengakui hukum merupakan satu perangkat untuk mengatasi

24

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 181-182.

25 Ibid. 26

Karen G. Turner, et.al.(eds), The Limits of the Rule Of Law in China, (Seattle: University of Washington Press, 2000), p. 5.


(41)

kekuasaan tiranik, karena kekuasaan tiranik senantiasa mengancam kehidupan individu warga negara dan masyarakat.27

Pengakuan Plato tersebut menempatkan perangkat hukum sebagai instrumen yang secara nyata memberikan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat. Perlindungan hukum bagi kepentingan masyarakat dapat dilihat sebagai bagian penting dari proses penegakan hukum, namun hal ini menurut Satjipto Rahardjo bahwa dalam kenyataan masyarakat tidak terdiri dari orang-orang yang sama dalam segalanya, ada perbedaan dalam status sosial dan ekonomi, ada yang disebut stratifikasi sosial dan sebagainya. Keadaan tersebut menyebabkan, bahwa hukum yang dirancang secara adil dalam pelaksanaannya banyak menimbulkan situasi yang tidak adil.28 Hukum sebagai instrumen perlindungan masyarakat dapat dimanifestasikan mulai dari bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam wujud aparat hukum. Peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum merupakan dua dari tiga elemen sistem hukum.29

Lawrence M. Friedman mengatakan dalam teorinya yang dikutip oleh Indriadi Thanos bahwa dalam melakukan penegakan hukum ada 3 (tiga) komponen hukum yang perlu diperhatikan yakni :

a. Substansi Hukum (Legal Substance)

Substansi hukum merupakan isi dari hukum itu sendiri, artinya isi hukum tersebut harus merupakan sesuatu yang bertujuan untuk menciptakan keadilan dan dapat diterapkan dalam masyarakat.

27 Ibid. 28

Satjipto Rahardjo, Watak Kultural Hukum Modern, (Jakarta: Buku Kompas, 2007) hal. 32 29

A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan: Mahkamah Agung di bawah Soeharto, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 42.


(42)

b. Struktur Hukum (Legal Stucture)

Struktur hukum merupakan pranata hukum yang menopang sistem hukum itu sendiri, yang terdiri dari atas lembaga-lembaga hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana yang secara kumulatif menentukan proses kerja serta kinerja mereka.

c. Budaya Hukum (Legal Culture)

Budaya Hukum ini terkait dengan kesadaran masyarakat dalam mentaati hukum itu sendiri. Kesadaran masyarakat itu ditentukan oleh pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap hukum. Masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang hukum akan mempunyai pemahaman hukum dan selanjutnya akan memiliki kesadaran untuk taat hukum.

Ketiga komponen diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain, oleh karena itu ketiganya harus dilakukan secara simultan. 30

Jadi untuk melakukan penegakan hukum sesuai yang diharapkan maka pembenahan terhadap ketiga komponen diatas harus dilakukan. Sehingga pada akhirnya hukum benar-benar bisa menjadi “panglima” dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sebab substansi hukum yang dimaksudkan tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum (Law in books) tetapi juga pada hukum yang hidup (living Law) termasuk di dalamnya “Produk” yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem itu, misalnya keputusan-keputusan yang mereka keluarkan dan aturan-aturan yang mereka susun sementara struktur

30

Indriadi Thanos, Penegakan Hukum di Indonesia, Sebuah Analisa Deskriftif. (Jakarta: CV. Bina Niaga Jaya, 2008), hal. 43, terjemahan dari Lawrance M. Friedman, The Legal System; A Social Science Prespective. (New York: Russel Sage Faoundation, 1975), juga dalam Friedman American Law ; (New York: W.W. Norton & Company, 1984), bandingkan misalnya dengan Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), menurut Soekanto, faktor-faktor itu adalah hukum itu sendiri, aparat penegak hukum, sarana pendukung dan masyarakat. Teori Freidman ini merupakan teri yang populer dan banyak dirujuk dalam pembahasan masalah hukum. Bahkan RPJM Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga menggunakan pendekatan yang mirip dengan teori Lawrance M. Friedman ini.


(43)

hukum menyangkut penataan badan-badan penegak hukum lainnya serta yang penting dalam hal ini bagaimana agency-agency (organ-organ) pejabat-pejabat yang melaksanakan fungsi-fungsi struktural tersebut diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai dan berbeda dengan budaya hukum yang menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan nilai, pemikiran dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum.31

Pembangunan substansi hukum bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab lembaga legislatif belaka. Kewenangan lembaga legislatif untuk menyalurkan jabatan dan elaborasi produk legislatif merupakan alasan utama menuntut pelaksanaan kegiatan pemerintah untuk juga bersifat responsif dan realistis terhadap tuntutan rakyat, karena tidak tertutup kemungkinan ada beberapa hal yang mengkhawatirkan dalam perancangan hukum kepada eksekutif antara lain :

1. Tidak selarasnya aturan pelaksanaan dengan aturan yang lebih tinggi (vertikal). 2. Tidak sesuainya aturan yang dikeluarkan satu instansi dengan instansi lainnya

(horisontal).32

Diluar ketiga komponen diatas ada juga hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam proses penegakan hukum kita, yakni masalah kejahatan , pidana dan pelaku kejahatan itu sendiri. Masalah kejahatan, pidana dan penjahat

31

Bismar Nasution dan Mahmul Siregar, materi kuliah Teori Hukum Kelas Pararel A dan B program studi ilmu hukum, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

32

Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan Hukum Responsif Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Dalam Konsepsi dan Implementasi Kapita Selekta). (Yogyakarta : Galang Press, 2008), hal. 79.


(44)

(mereka yang melakukan suatu tindak pidana) merupakan suatu keadaan yang tidak pernah sepi dalam kehidupan masyarakat bahkan terus berkembang sejalan dengan perkembangan dan perubahan peradaban manusia. Oleh karena itu tidak mungkin dapat dimusnahkan habis, namun hanya ditujukan kepada usaha untuk “pencegahan kejahatan” (prevention of crime)33

Pencegahan kejahatan hanya dapat dilakukan melalui lembaga-lembaga penegak hukum yang ada dan eksis dalam suatu negara, karena pencegahan terhadap suatu kejahatan juga merupakan suatu wujud perlindungan kepada warga negara yang diamanahkan UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, karena itu Pemerintah RI memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera bagi warganya.34

Indonesia sebagai negara hukum berarti tindakan pemerintah maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan yang sewenang-wenang dari pihak pemerintah (penguasa) dan tindakan rakyat yang dilakukan menurut kehendaknya. Jadi negara hukum adalah suatu negara yang mengatur bagaimana cara melindungi Hak Asasi Manusia dan negara yang tidak mengakui dan tidak melindungi Hak Asasi Manusia bukanlah satu negara hukum.35 Dapat

33

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, (Jakarta : Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum d/n, Lembaga Kriminologi UI, 1994), hal. 3.

34

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 5.

35

Bintan R. Saragih. Reformasi Dalam Perspektif Hukum Tata Negara, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002), hlm.101.


(45)

dirumuskan kembali bahwa tiada negara dapat disebut negara hukum bila dalam konstitusinya tidak mencakup prinsip-prinsip HAM sebagai implementasi konsensus dan kedaulatan rakyat.

Sementara menurut Jimly Asshiddiqie ada 9 (sembilan) prinsip pokok sebagai pilar utama yang menyangga tegak suatu negara sehingga dapat disebut sebagai negara hukum dalam arti yang sebenarnya.

Kesembilan prinsip itu adalah sebagai berikut : 1. Supremasi Hukum (Supremacy Of Law)

2. Persamaan Dalam Hukum (Equality Before The Law) 3. Asas Legalitas

4. Pembatasan Kekuasaan

5. Organ-Organ Eksekutif Independen 6. Peradilan Bebas Dan Tidak Memihak 7. Peradilan Tata Usaha Negara

8. Perlindungan Hak Asasi Manusia

9. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaats) 36

Di antara kesembilan prinsip tersebut di atas ada beberapa prinsip yang sangat erat kaitannya dengan judul penelitian penulis, yakni : Supremasi Hukum, Persamaan Dalam Hukum, Peradilan Bebas Dan Tidak Memihak, Serta Perlindungan HAM.

36

Jimly Asshiddiqie. Konstitusi Dan Konstitusionalisme Di Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 154-161.


(46)

Supremasi diartikan sebagai suatu keutamaan, sehingga supremasi hukum dapat diartikan sebagai sifat mengutamakan (superiority) kekuasaan hukum. Prinsip utama negara hukum adalah supremasi hukum, sehingga supremasi hukum merupakan pilar negara hukum dan bahwa kekuasaan dari penguasa tunduk sepenuhnya kepada hukum.37

Focal Concern negara hukum Indonesia yang menganut “Civil Law System” adalah penegakan supremasi hukum karena dalam sistem Civil Law itu, UU memegang peran utama untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan negara yang menganut Common Law System. Focal Concern dalam penegakan hukum adalah Rule Of Law karena di sana diutamakan posisi peradilan (judge made law) yang berorientasi pada hukum kebiasaan (Common Law) sehingga pencapaian keadilan memerlukan pengaturan oleh hukum (Rule Of Law)38

Kebebasan seorang hakim dalam memeriksa maupun memutuskan suatu perkara tidak dapat diartikan dan diterapkan sebagai “kebebasan sekehendak hati” tetapi seyogianya harus diartikan sebagai “kebebasan yang serasi” dengan falsafah Pancasila dan UUD 1945 serta mengakomodir berbagai bentuk masukan yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara.39

37

Henry Pandapotan Panggabean, Fungsi MA Bersifat Pengaturan (Rule Making Power, (Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2001), hal. 13.

38

Ibid., hlm. 14. 39

H. Eddy Djunaedi Karnasudirdja, Beberapa Pedoman Pemidanaan dan Pengamatan Narapidana, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1983), hal. 51.


(47)

Menyinggung akan putusan hakim, tulisan W. Friedman, menguraikan pendapat Roscoe Pound tentang adanya 4 (empat) aspek dalam putusan hakim, sebagai berikut:

a. Bahwa putusan itu merupakan gambaran proses rekayasa sosial sebagai bagian dari seluruh proses kontrol sosial

b. Bahwa putusan itu merupakan bagian dari tatanan hukum yang berguna bagi pribadi perorangan

c. Bahwa putusan itu menggambarkan keseimbangan antara ketentuan dari sebab yang nyata dan penguraian suatu preseden

d. Bahwa putusan itu menggambarkan kesadaran akan peran yang ideal tentang tatanan sosial dan hukum

Sejalan dengan itu, Hakim adalah satu-satunya penegak hukum yang diberi wewenang oleh Undang – undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP pada Pasal 277 sampai dengan Pasal 282 untuk mengawasi apakah hak-hak narapidana itu dilindungi selama menjalani pidana penjara. Di sini tugas hakim, tidak sekedar menjatuhkan hukuman, melainkan menjaga hak-hak narapidana sebagai warga negara di Lembaga Pemasyarakatan. Memahami hal ini, pemasyarakatan narapidana dapat berhasil sangat bergantung pada pemahaman Hakim akan hakekat hukuman itu sendiri. Keputusan Hakim menjebloskan pelaku ke penjara tidak cukup sebatas hukuman hanya untuk pembalasan dan membayangkan narapidana menjadi takut. Bila ini tujuannya, maka putusan Hakim itu akan menjadi sia-sia. Disini Lembaga Pemasyarakatan membutuhkan dukungan agar subsistem lainnya mampu


(48)

mempersiapkan mental dan fisik terdakwa saat menjalani pidana penjara. Hal ini semua dapat terwujud bila ada pemahaman yang sama, bahwa: (1) terpidana adalah orang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat; serta (2) menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam dari Negara; (3) tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan; (4) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih jahat sebelum ia masuk penjara. Prinsip pemasyarakatan ini, tidaklah adil bila hanya dipahami oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan semata.40

Perlunya kesamaan pandangan di antara penegak hukum tentang tujuan pidana masih relevan untuk diwujudkan. Hal ini semata-mata bukan untuk kepentingan Lembaga Pemasyarakatan, tetapi lebih kepada usaha resosialisasi dan rehabilitasi narapidana, serta mencegah agar tidak terjadi residivis, maupun penolakan dan stigma masyarakat.

Dalam hal ini Sahardjo ingin memberikan pemahaman, bahwa tanggung jawab Lembaga Pemasyarakatan tidak boleh dicampur adukkan dengan proses penjatuhan pidana. Oleh karena itu sejauh mana pemasyarakatan itu dapat memenuhi tujuan pidana, dikaji berdasarkan teori utilitarian. Teori ini dipelopori oleh Jeremy Bentham, yang berpendapat tujuan hukuman adalah:

a. 1st Object – to prevent all offences. His first, most extensive, and most eligible object, is to prevent, in as far as it is possible, and worth while, all sorts of

40

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peranan Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana (buku III), (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1984), hal 11


(49)

offences whatsoever; in other words, so to manage, that no offence whatsoever may be committed;

b. 2d Object – to prevent the worst. But if a man must needs commit an offence of some kind or other, the next object is to induce him to commit an offence less mischievous, rather than one more mischievous; in other words, to choose always the least mischievous, of two offences that will either of them suit his purpose;

c. 3d Object – to keep down the mischief. When a man has resolved upon a particular offence, the next object is to dispose him to do no more mischief than is necessary to his purpose; in other words, to do as little mischief than is consistent with the benefit he has in view;

d. 4 Object – to act at the least expense. The last object is whatever the mischief be, which it is proposed to prevent, to prevent it at as cheap a rate as possible. 41

Menurut teori ini, hukuman bertujuan mencegah semua pelanggaran hukum atau kejahatan. Hal ini merupakan tujuan yang paling luas, yaitu mencegah bahkan mungkin dapat mencegah semua jenis kejahatan, disamping itu, hukuman dapat mencegah hal – hal buruk. Di sini tujuan hukuman mendorong setiap orang tidak melakukan pelanggaran yang tidak berbahaya atau bukan sesuatu yang jahat, sehingga ada kebebasan untuk memilih, namun didorong untuk tidak memilih perbuatan yang tidak berbahaya.

Dalam hal ini juga, hukuman bertujuan menekan kejahatan, dimana setelah seseorang itu menjalani hukuman diharapkan tidak melakukan kejahatan kembali. Dalam mencegah kejahatan harus dilakukan dengan biaya semurah mungkin. Disamping itu juga, Jeremy Bentham (1748 – 1832), seorang Hakim Inggris dan ahli filsafat memperkenalkan “hedonistic calculus” menurutnya: “Hedonistic calculus”, where by punishment would be rendered in proportion to the seriousnees of the

41

Jeremy Bentham, Utility and Punishment, dalam Philosophical Perspectives on Punishment, Edited by Gertrude Ezorsky, (Albany: State University of New York Press, , 1972), hal 57.


(50)

crime. He believed that criminal behavior would be effectively deterred by punishing an offender to the point where the pain of punishment was slightly greather than the pleasure received from commiting the offence. The same pleasure pain principle would also deter potential offender. 42

Konsep “Hedonistic calculus” ini menunjukkan hukuman itu dibuat dalam ukuran yang serius. Ia yakin, perbuatan jahat dapat dicegah melalui hukuman (pidana) yang dijatuhkan kepada seorang narapidana. Secara tegas pesakitan menerima hukuman adalah lebih besar dari kesenangan yang didapat.

Dengan demikian, bagi Jeremy Bentham, hukuman tidak boleh dijatuhkan bila43 : (1) where it is groundless, (2) where it must be inefficacious in the can not prevent a mischievous ac; (3) where it is unprofitable or to expensive; (4) where it is nedless. Di sini Jeremy Bentham mengingatkan, bahwa hukuman itu tidak harus dijatuhkan bila tidak memiliki dasar, bila pelarangan itu tidak efektif karena tidak dapat mencegah kejahatan, hukuman tidak perlu dijatuhkan bila tidak bermanfaat ataupun terlalu mahal maupun bila hukuman itu sia-sia.

Dari pada itu juga, Jeremy Bentham menguraikan keunggulan dari suatu hukuman seperti yang ia maksudkan, dengan mempertimbangkan, “The proportion between punishments and offences, “and he gives the following rules: the

42

Robert D. Pursley, Introduction to Criminal Justice, (London: Macmilan Publish-ing Company, 1987), hal. 486 – 487.

43

Samuel Enoch Stumpt, Philosophy, History and Problems, Singapore : McGraw-Hill Book, 1989, hal. 369


(51)

punishments must be great enough to out weight the profit that the offender might get from the offense, the greater the offense, the greater the punishment”. 44

Di sini menurutnya, ada kesebandingan antara hukuman dengan pelanggaran, sehingga ia menjanjikan suatu aturan misalnya: hukuman harus cukup besar agar melebihi keuntungan yang diperoleh pelaku pelanggaran dari pelanggaran yang ia lakukan tersebut, semakin besar pelanggaran, maka semakin besar hukuman. Lebih jauh Jeremy Bentham mengatakan tujuan pidana adalah45:

To begin with, Utilitarian Theories of punishment are fundamentally “forward looking” rather than “backward looking”. Punishment is depicted as being all together without moral foundations unless it can be shown to achieve one ore more future benefits. Those future benefits, all of which fall within the general scope of crime prevention, are at least three in number. General deterence, specific deterrence, and incapacition. General deterence refers to how the threat or actual imposition of punishment elevates the risk perception of prisons other than thoses who are the objects of punishment. Specific detterence refers to how the actual imposition of punishment shapes the sub seguent risk perceptions of those who are the objects of punishment. In capacitation refers to the ability of punishment to limit all together the opportunities offenders would otherwise to violate the law.

Teori utilitarian ini lebih “memandang ke depan” dari pada “memandang ke belakang”, hukuman digambarkan sebagai landasan moral untuk mencapai sesuatu yang lebih bermanfaat di masa mendatang. Manfaat-manfaat itu mempunyai jangkauan pencegahan kejahatan. Jangkauan pencegahan kejahatan paling tidak mengacu kepada pencegahan umum, di sini ancaman sesungguhnya dari hukuman harus dapat mempengaruhi pandangan orang akan resiko dari suatu perbuatan jahat,

44

Ibid, h. 369. 45

Charles W. Thomas, Donna M. Bishop, Criminal Law Understanding Basic Principles, London: Sage Publication the Publisher of Profesional Social Sience. Newbury Park Beverly Hills, 1987, hal. 79 – 80.


(52)

sedangkan pada pencegahan khusus, mengacu pada bagaimana hukuman dapat membentuk pandangan orang sebagai objek hukuman. Begitupun halnya dengan

incapacitation, mengacu kepada kemampuan hukuman untuk membatasi pelaku dengan cara pemindahan pelaku kejahatan dari masyarakat.

Oleh karena itu harus ada tujuan lebih jauh dari hanya pidana saja, sehingga teori ini mengharapkan hukuman dapat memperbaiki pelaku kejahatan. Oleh karena itu, menekankan pemidanaan itu masih lebih baik dari pada tidak menjatuhkan pidana. Di sini manfaat pidana adalah untuk sarana pencegahan atau pengurangan dari sesuatu yang lebih jahat. Teori utilitarian hendak mencari suatu keseimbangan akan perlunya hukuman. Kalau seandainya efek penjeraan dari hukuman itu tidak ada, maka hukuman itu tidak perlu lebih jauh.

Pemahaman teori ini mengatakan, bahwa tidak mutlak suatu kejahatan itu harus di ikuti dengan suatu pidana melainkan harus dipersoalkan manfaat dari suatu pidana bagi si penjahat itu sendiri maupun bagi masyarakat. Sehingga teori ini pun mengarahkan agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan oleh seseorang tidak diulangi kembali baik oleh si pelaku maupun oleh orang lain46

Lebih jauh teori semacam ini diuraikan oleh Van Bemmelen yang berpendapat, bahwa pidana itu bersifat :

1. Prevensi Umum (pencegahan umum). Para sarjana yang membela prevensi umum berpendapat, bahwa pemerintah berwenang menjatuhkan pidana untuk mencegah rakyat melakukan tindak pidana;

46

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1983, hal. 26 – 27.


(53)

2. Prevensi khusus (pencegahan khusus). Mereka yang beranggapan, bahwa pidana adalah pembenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri, bertolak dari pendapat, bahwa manusia (pelaku suatu tindak pidana) dikemudian hari akan menahan dirinya supaya jangan berbuat seperti itu lagi, karena ia mengalami (belajar), bahwa perbuatannya menimbulkan penderitaan, jadi pidana berfungsi mendidik dan memperbaiki;

3. Fungsi perlindungan. Mungkin sekali, bahwa dalam pidana pencabutan kebebasan selama beberapa waktu, masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin terjadi jika ia bebas. 47

Pemikiran Van Bemmelen ini mengarahkan pada pemikiran, bahwa pidana bukan untuk memuaskan tuntutan absolute dari keadilan karena pembalasan tidak memiliki nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk kepentingan masyarakat. Dengan demikian, pidana bukan lagi sekedar untuk melakukan pembalasan tetapi memiliki tujuan-tujuan yang bermanfaat. Jadi jelaslah, bahwa perlunya pidana terletak pada tujuannya bukan karena orang melakukan kejahatan tetapi supaya orang jangan melakukan kejahatan 48. Sejalan dengan itu didalam pembebasan ini, teori utilitarian menjadi acuan didasarkan pada pertimbangan, bahwa Sahardjo menyatakan, bahwa: disamping menimbulkan rasa derita pada terpidana, narapidana diberikan bimbingan agar bertobat dan di didik agar memiliki keterampilan serta mengayomi masyarakat. Selanjutnya Sahardjo mengatakan:

“...mengingat, bahwa hukum pidana mengenai tertib masyarakat dan mengenai perlakuan terhadap manusia yang mendalam, maka apa yang kita kenal dari hukum pidana, yang buat bagian terbesar diajarkan pada kita oleh orang – orang asing, perlu diuji kecocokannya dengan pandangan hidup kita, pandangan kita tentang masyarakat dan manusia sebagai makhluk pemasyarakatan, dan dengan pandangan kita tentang pidana. Yang kami

47

Van Bemmelen, Hukum Pidana I, diterjemahkan oleh Hasnan, (Bandung: Bina Cipta, 1984), hal. 27.

48

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni 1984), hal. 10.


(1)

Pandjaitan, Petrus Irwan dan Widiarty, Wiwik Sri, Pembaharuan Pemikiran Dr. Sahardjo Mengenai PEMASYARAKATAN NARAPIDANA, Jakarta: INDHILL CO, 2008.

Panggabean, Henry Pandapotan, Fungsi MA Bersifat Pengaturan (Rule Making Power, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 2001.

Poernomo, Bambang, Kapita Selekta Hukum Pidana, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1998.

---Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.

Pursley, Robert D., Introduction to Criminal Justice, London : Macmilan Publish-ing Company, 1987.

Rahardjo, Satjipto, Watak Kultural Hukum Modern, Jakarta: Buku Kompas, 2007. ________________, Permasalahan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 1993. Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,

Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/n Lembaga Kriminologi UI, 1994.

_________________, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum d/n, Lembaga Kriminologi UI, 1994.

_________________, Hak Asasi Manusia dalam Sistim Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan d/h Lembaga Krimininologi UI, 1984.

_________________, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peranan Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana (buku III), Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1984.

________________, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997.

________________, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1977.


(2)

________________, Peran dan Tanggung Jawab Hakim Pengawas dan Pengamat Terhadap Hakk-hak yang Menurut Hukum Dimiliki Narapidana, Jakarta: LK FH-UI, 1991

_________________, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1999.

_________________, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997.

Reksodiputro, Mardjono dan Boediarti, Sri, Bahan Bacaan Wajib Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum UI, 1983. Saragih, Bintan R., Reformasi Dalam Perspektif Hukum Tata Negara, Medan:

Pustaka Bangsa Press, 2002.

Saleh, Roeslan, Penjabaran Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perundang-undangan, Jakarta: Aksara Baru, 1979.

Siahaan, Lintong Oloan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat dari Peradilan Kita Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: UI Press, 1986.

________________, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo, 1983.

Soekanto, Soerjono dan Salman, R. Otje, Ed. Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, 1987.

Soekanto, Soerjono dan Abdullah, Mustafa, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1980.

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1995.

Soedjono, D. Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Bandung: Tribisana, 1977.


(3)

Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007.

Subekti, R., Hukum Acara Perdata, BPHN: Bina Cipta, 1977.

Sutiyoso, Bambang dan Puspita Sari, Sri Hastuti, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Indonesia, Cetakan ke-1, Yogyakarta : UII Press, 2005

Sudirman, Antonius, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007.

_________________, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Suatu Pendekatan dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral Jurisprudence Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977.

Sudirman, Didin, Reposisi dan Revitalisasi Pemasyarakatan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Dep. Hukum dan HAM RI, 2007.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.

Stumpt, Samuel Enoch, Philosophy, History and Problems, Singapore: McGraw-Hill Book, 1989.

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Sudiri, Ketut, DR Sahardjo Riwayat Hidup dan Karya-karyanya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1983.

Tambunan, A.S., Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Jakarta: Puporis Publisher, 2002.

Thanos, Indriadi, Penegakan Hukum di Indonesia, Sebuah Analisa Deskriftif, Jakarta: CV. Bina Niaga Jaya, 2008.

Thomas, Charles W., Bishop, Donna M., Criminal Law Understanding Basic Principles, London: Sage Publication the Publisher of Profesional Social Sience. Newbury Park Beverly Hills, 1987.


(4)

Turner, Karen G., et.al.(eds), The Limits of the Rule Of Law in China, Seattle: University of Washington Press, 2000.

Wisnubroto, Al., dan Widiartana, G., Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.

Wahid, Abdul, Menggugat Idealisme KUHAP, Bandung: Tarsito, 1990.

Wawa, Janes Eudes (ed.), Kesaksian dari Balik Penjara: Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus Riwu. Jakarta: PADMA Indonesia, 2006.

B. Seminar/Makalah/Tulisan/Laporan/Materi Kuliah.

Atmasasmita, Ramli, “Masalah Pembinaan White Collar Crime Di Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Pemasyarakatan Terpidana II di Jakarta, 8-9 November 1993.

Araf, Al, “eksekusi mati di Poso Inkonstitusional” Kompas, 7 April 2006.

Gandasubrata, Purwoto S, “Peran dan Tanggung Jawab Hakim Pengawas dan Hakim Pengamat Terhadap Putusan Pidana Yang Dijatuhkan”, makalah dalam Seminar Nasional Kajian Hukum Pidana LK2 SM-FHUI, Jakarta, 20 Nopember 1991.

Harian Sinar Indonesia Baru, “Kasus Salah Tangkap, Kapolres Jombang Diperiksa Polda, Kajari Diperiksa Kejati”, Minggu, 7 September 2008.

Karnasudirdja, Eddy Djunaedi, “Standar Pemidanaan”, Makalah disampaikan pada Lokakarya Pemidanaan dalam Musyawarah Nasional Ikatan Hakim Indonesia ke-VIII, Jakarta, 27 – 29 Maret 1984.

Kosnoe, Moh., “Kedudukan dan Fungsi Kekuasaan Kehakiman Menurut UUD 1945”, Varia Peradilan, Tahun XI. No.129, Juni 1996.

Lubis, Todung Mulia, “Tibo, Akbar dan Muhaimin”, Kompas, 7 April 2006.

Media Indonesia, 10 Agustus 2006 “Eksekusi Tibo dan kawan-kawan kuburkan fakta kasus Poso”.

Muladi, Pembinaan Narapidana dalam Kerangka Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana di Indonesia, Makalah FH-UI, 1998.


(5)

Nasution, Bismar dan Siregar, Mahmul, Teori Hukum, Materi Kuliah Kelas Pararel A dan B Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara.

Sangaji, Arianta, “Tibo dan Penguburan Fakta”. Kompas 8 April 2006

Sudirman, Antonius, “ Keadilan dalam Kasus Tibo”, Tribun Timur, 6 April 2006. Soerjobroto, Baharuddin, Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Majalah LPHN

Departemen Kehakiman RI, Jakarta, No. 1 Tahun V April-Mei-Juni 1972.

Soegondo, R., Kebutuhan Biologis bagi Narapidana Ditinjau dari segi Hukum, Agama dan Psychologi, makalah disajikan dalam panel diskusi yang diselenggarakan oleh DPP Gerakan Mahasiswa Kosgoro (Gema Kosgoro), pada tanggal 17 Desember 1982.

Sumantri, M. Sri, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Sebagai Prasyarat Negara Hukum Indonesia (Tinjauan Historis Yuridis Atas dan Manifestasinya). Makalah dalam seminar “Lima Puluh Tahun Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia”, Yogyakarta, 26 Agustus 1995.

Soecipto, Adi Andoyo U., Kedudukan dan Peranan Hakim WASMAT Menurut KUHAP, Makalah disampaiakan pada Pertemuan Hakim Departemen Kehakiman 1983/1984, tanggal 28 Februari 1984 di Jakarta.

Tukan, Simon, “Vonnis mati Tibo Cs. : Intervensi politik” Pos Kupang, 2 September 2006.

C. Perundang-undangan

Indonesia, Undang-undang Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 26, Lembaran Negara No. 67, Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara No. 4401.

Indonesia, Undang-undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004. Indonesia, Undang-undang Tentang Pemasyarakatan, UU No. 12, Lembaran Negara

No. 77, Tahun 1995, Tambahan Lembaran Negara No. 3614.

Jaksa Agung Republik Indonesia, Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia


(6)

Nomor: KEP-132/J.A/11/1994 Tanggal/ November 1994 Tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana. KEP-518/A/J.A/11/2001.

Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor ; M.02.PR.08.03 Tahun 1999 tanggal 3 Desember 1999, tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Edisi Revisi cetakan ke-4, Tahun 2003.

Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.01-PK4 10/Tahun 1989 tentang Assimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 31 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999, tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor : 7 Tahun 1985, tanggal 11 Pebruari 1985, tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat