Perencanaan Pembangunan Berbasis Masyarakat [1]

  

Perencanaan Pembangunan

Berbasis Masyarakat [1]

  Hastowiyono [2]

Pengantar

  Desentralisasi dan otonomi daerah yang tengah berjalan di Indonesia selama delapan tahun terakhir telah membawa perubahan cara pandang dalam pembangunan dari “pembangunan daerah” (regional development) ke “daerah membangun” (local development). Konsep “daerah membangun” tentu bukanlah pembangunan yang bekerja di tingkat lokal, atau pembangunan daerah yang semata mengacu pada perencanaan yang terpusat, melainkan pembangunan yang berbasis pada konteks lokal. Yaitu pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan masalah lokal serta direncanakan dengan pendekatan dari bawah dan partisipatif. Spirit yang selalu dikedepankan dalam pendekatan pembangunan partisipatif adalah “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.

  Tujuan utama “daerah membangun” yang diamanatkan desentralisasi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk di dalamnya adalah mengurangi kemiskinan yang kini menjadi masalah akut bagi Indonesia. Desentralisasi kewenangan yang besar dan transfer anggaran (desentralisasi fiskal) secara seimbang kepada daerah, tentu mengandung mandat besar yang mengharuskan pemerintah daerah berkewajiban mengalokasikan sumberdaya ekonomi dan menyediakan pelayanan publik yang lebih baik untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Visi dan keyakinan semua daerah sebenarnya sudah mengarah pada kesejahteraan, sebagaimana tertuang secara tertulis dalam setiap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMDaerah) maupun pidato-pidato resmi para pejabat daerah. Seperti RPJM Daerah Kabupaten Bantul juga mempunyai prioritas program untuk penanggulangan kemiskinan, sekaligus untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini perencanaan daerah menjadi instrumen penting bagi kesejahteraan rakyat, sebab perencanaan akan menunjukkan tujuan dan sasaran pembangunan daerah, pilihan-pilihan kebijakan, politik anggaran, agenda-agenda strategis maupun keterlibatan berbagai para pemangku kepentingan daerah.

  Perencanaan pembangunan berdasarkan cara pandang “daerah membangun” tidak lain adalah perencanaan pembangunan berbasis masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat benar-benar dipandang sebagai subyek pembangunan dan sekaligus dipandang sebagai penerima manfaat (beneficiaries) serta pihak yang akan terkena dampak dari kegiatan pembangunan.

  Untuk itu poin-poin berikut ini akan mereview pemahaman

tentang perencanaan pembangunan, model-model perencanaan

pembangunan dan prakondisi atau prasyarat yang diperlukan

dalam agenda perencanaan pembangunan berbasis masyarakat.

Makna Perencanaan Pembangunan

  Setiap individu maupun institusi pasti mempunyai pengalaman menyiapkan perencanaan. Pada skala mikro, perencanaan adalah Iangkah awal yang disiapkan untuk memulai kegiatan selanjutnya. Namun dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan keuangan negara, perencanaan merupakan sebuah agenda yang sangat kompleks. Ia menjadi kompleks karena banyaknya kepentingan dalam masyarakat di tengah-tèngah kelangkaan (scarcity) sumberdaya. Para perencana, dan terutama pengambil kebijakan, akan menghadapi kesulitan dalam perencanaan mengingat jumlah orang yang terlibat terlalu banyak sementara jumlah sumberdaya (dana) sangat sedikit. Kelangkaan itu Iah yang membuat perencanaan sangat dibutuhkan, terutama untuk menentukan pilihan prioritas yang tepat dari sekian banyak kepentingan dan pilihan (Sutoro Eko, 2007).

  Karena itu, perencanaan diartikan sebagai kegiatan- kegiatan pengambilan keputusan dan sejumlah pilihan mengenai sasaran dan cara-cara yang akan dilaksanakan di masa depan guna mencapai tujuan yang di inginkan, serta pemantauan dan penilaian atas perkembangan pelaksanaannya, yang akan dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan (Vera Jasini Putri, 2003). Menurut Alexander Abe (2005), perencanaan merupakan reaksi terhadap masa depan. Selain sebagai pemilihan alternatif dan penentuan alokasi sumberdaya, perencanaan setidaknya mempunyai dua makna penting: (a) menyusun langkah- tangkah untuk memastikan tujuan (hal yang hendak dicapai) dan (b) membuat suatu prediksi mengenai hal-hal yang patut di duga bisa menghambat proses, dan hal ini berarti bahwa perencanaan merupakan bagian dari suatu tindakan untuk mengantisipasi masa depan.

  Pada umumnya perencanaan meliputi tiga tahapan mendasar yang saling terkait: (a) perumusan dan penentuan tujuan; (b) pengujian atau analisis opsi-opsi atau pilihan pilihan yang tersedia; serta (c) pemilihan rangkaian tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dan disepakati bersarna (Syachroni, 2002). Namun demikian perencanaan berjalan tidak secara statis, melainkan dinamis karena berjalan sebagai suatu proses (siklus) yang berputar terus-menerus. Dalam konteks perencanaan daerah, siklus tersebut berputar sebagai berikut (a) Dimulal dari pemahaman daerah atas konteks masalah, potensi dan kebutuhan masyarakat; (b) penetapan visi-misi daerah; (c) perumusan tujuan-tujuan; (d) mengidentifikasi strategi- strategi alternatif; (e) pengujian alternatif strategi atau program; (f) seleksi alternatif dan penentuan strategi atau program; (g) penganggaran; (h) implementasi, dan (I) merupakan input untuk pemahaman daerah pada periode berikutnya (Syachroni, 2002).

  Perencanaan tentu bukanlah sebuah master plan yang dirumuskan secara komprehensif, teknokratik dan sistematis oleh para ahli (insinyur, teknokrat, ekonom, administrator, dan lain-lain). Perencanaan dalam konteks pembangunan adalah sebuah pilihan dan keputusan politik yang mesti mempunyai resiko politik bagi orang banyak (rakyat). Master plan adalah penjabaran (materialisasi) dari keputusan politik itu. Bahkan, sebagai pilihan dari keputusan politik, perencanaan selalu menjadi medan tempur antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun antara pemerintah dan rakyat. Di Indonesia, kasus ketegangan antara pusat dan daerah atau kasus “pemberontakan” daerah terus-menerus muncul karena pemerintah memaksakan master plan - yang dirumuskan secara sentralistik - kepada daerah, atau hanya menempatkan daerah sebagai obyek perencanaan belaka. Sejarah juga mencatat bahwa begitu banyak proyek pembangunan (industri, pertambangan, jalan, waduk, energi listrik, sampah, dan lain-lain) sering bermasalah, menimbulkan ketegangan yang serius antara pemerintah dan rakyat, antara lain karena perencanaan hanya dipahami sebagai master plan yang disusun tanpa mendengarkan aspirasi rakyat banyak.

  Model-Model Perencanaan Pembangunan Ada beragam model dalam perencanaan (J.

  Friedmann, 1987; Sutoro Eko dan Abdur Rozaki, 2005; G. Hodgson, 2005; A. Abe, 2005), yaitu:

  Pertama, model perencanaan teknokratis (technocratic planning), yakni perencanaan yang disusun

  oleh segelintir orang yang memiliki keahlian, pengetahuan dan pengalaman yang sangat memadai di bidangnya masing- masing. Sebagai contoh adalah sebuah master plan bangunan besar (bandara, terminal, pelabuhan, jalan, jembatan, waduk, gedung bertingkat, dan sebagainya) yang dirancang oleh para ahli dengan canggih. Model perencanaan teknokratis ini sangat berbahaya bila diterapkan dalam konteks pembangunan yang berisiko pada masyarakat, apalagi kalau diterapkan dalam merumuskan undang-undang yang membawa risiko langsung pada masyarakat. Mengapa? Sebab perencanaan teknokratis bekerja pada level teknis, yang tidak lagi memperhitungkan partisipasi, tanggapan terhadap kebutuhan masyarakat, maupun dampak sosial terhadap masyarakat. Karena itu model perencanaan teknokratis itu harus ditempatkan pada level kedua setelah proses perencanaan menyelesaikan keputusan dan pilihan politik yang bersifat partisipatif dan responsif.

  Kedua, perencanaan oligarkhis, yaitu perencanaan

  yang dirumuskan oleh segelintir orang, terutama pemerintah dan parlemen. Kedua institusi ini memang absah secara formal memperoleh mandat dan berwenang membuat keputusan. Perencanaan yang oligarkhis umumnya elitis, tidak demokratis dan sentralistik.

  

Ketiga, perencanaan partisipatif (participatory

planning) atau perencanaan demokratis (democratic planning), yang merupakan lawan dari perencanaan

  teknokratis dan oligarkhis. Perencanaan model ini disusun secara responsif berdasarkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dan prosesnya melibatkan partisipasi masyarakat. Pembangunan yang berpusat pada rakyat (people centered development) maupun pembangunan yang berbasis masyarakat (community based development) mengajarkan bahwa perencanaan pembangunan harus berbasis pada partisipasi masyarakat. Undang-undang maupun pembangunan bukan lah persoalan teknis- administratif, tetapi sebagai proses dan instrumen politik yang mempunyai risiko langsung terhadap masyarakat. Karena itu, penentuan pilihan dan prioritas (di tengah kelangkaan) pembangunan seharusnya dilakukan secara partisipatif. Tetapi model perencanaan partisipatif tidak bisa ditempatkan di sembarang tempat, misalnya dalam menyusun master plan secara partisipatif. Partisipasi masyarakat dalam level teknis merancang master plan itu justru akan membuat kacau, sehingga agenda merancang master plan seharusnya diserahkan pada yang ahIi. Lalu masyarakat bertindak melakukan pengawasan (kontrol) terhadap perumusan sampai eksekusi master plan.

  

Keempat, perencanaan terpusat (centralized

planning) atau perencanaan dari atas ke bawah (top- down planning). Perencanaan ini dibuat oleh pemerintah

  pusat dan dilaksanakan oleh pemenntah daerah dan masyarakat. Model perencanaan ini umumnya mengabaikan suara desa/kelurahan dan partisipasi masyarakat, sehingga selalu gagal menjawab kebutuhan masyarakat desa.

  Kelima, perencanaan dari bawah ke atas (bottom- up planning), yaitu perencanaan yang dimulai dan

  komunitas desa/kelurahan, dibawa ke pemerintah daerah dan akhirnya berujung di tangan pemerintah pusat. Model ini mengandung proses demokrasi (karena melibatkan partisipasi masyarakat) dan proses desentralisasi (karena memberi ruang pada daerah dalam perencanaan).

  

Keenam, perencanaan yang terdesentralisasi

(decentralized planning) atau perencanaan devolutif, yaitu

  pola perencanaan yang berhenti di tingkat lokal, tanpa dibawa naik ke pemerintah pusat. Perencanaan besar yang disiapkan oleh pusat hanya menjadi pedoman dan pijakan umum bagi perencanaan desa/kelurahan. Model ini lah yang melahirkan konsep perencanaan daerah (regional self planning) dan juga perencanaan desa (village self planning). Perencanaan daerah sudah banyak dikaji dan dikembangkan banyak pihak, termasuk oleh pemerintah. Tetapi perencanaan kelurahan belum banyak dipromosikan, apalagi dilembagakan oleh pemerintah, sebab menurut regulasi, desa/kelurahan hanya menjadi subsistem daerah, sehingga perencanaan kelurahan berpusat di daerah (Sutoro Eko, 2007a).

  Model perencanaan yang terdesentralisasi dan partisipatif tampaknya yang memungkinkan terjadinya proses Perencanaan yang terdesentralisasi berarti mendekatkan perencanaan dari pusat ke daerah, dari daerah ke komunitas dan dari pemerintah ke masyarakat. Sementara perencanaan partisipatif berupaya memberi akses bagi komunitas dan warga untuk berpartisipasi dalam perencanaan daerah.

Perencanaan Pembangunan Daerah yang Responsif dan Partisipatif

  Perencanaan daerah yang baik tentu bersifat responsif dan partisipatif. Perencanaan yang responsif secara konseptual diajarkan oleh semangat membawa negara lebih dekat ke masyarakat lokal sebagai salah satu tujuan besar desentralisasi (World Development Report, 1997; Larry Diamond, 1999; dan Axel Hadenius, 2003). Perencanaan yang responsif itu memperlihatkan bahwa pemerintah daerah mempunyai komitmen politik yang tinggi dan substansi perencanaan daerah hendak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat serta betul-betul mengarah pada tujuan kesejahteraan. Paralel dengan kesepakatan MDGs, perencanaan responsif itu diwujudkan dengan perencanaan dan penganggaran yang pro poor (pro poor planning and

  budgeting), yakni perencanaan dan penganggaran yang

  berpihak pada orang miskin untuk mengangkat harkat- martabat mereka.

  Parencanaan responsif harus paralel dengan perencanaan partisipatif. Jika perencanaan responsif bermakna pemerintah daerah yang aktif, sementara perencanaan partisipatif bermakna masyarakat yang aktif. Pertemuan antara responsivitas dan partisipasi itulah yang disebut dengan engagement (dalam bahasa Jawa: manjing

  ajur ajer), sebagai sebuah rute utama untuk menghasilkan reformasi tata pemerintahan lokal yang berkelanjutan.

  Perencanaan partisipatif sendiri sekarang menjadi harapan masyarakat, menjadi wacana yang meluas dan secara resmi juga ditegaskan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan

  Nasional (SPPN) melalui UU No. 25/2004. Secara umum, UU Nomor 25/2004 ini menjamin kepastian partisipasi masyarakat dalam setiap proses perencanaan pembangunan dan keterpaduan antara pembangunan di daerah dengan arah kebijakan pembangunan nasional. Lebih tegas pasal 2 ayat (4) menyatakan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: 1. mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; 2. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah, maupun antara pusat dan daerah; 3. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; 4. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan 5. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan.

  Penyusunan dokumen rencana pembangunan dilakukan melalui proses koordinasi antar instansi pemerintah dan proses partisipasi seluruh pelaku pembangunan dalam suatu forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG). Hal ini di atur dalam Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1354/M.PPN/03/2004 dan 050/744/SJ tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif Daerah, yang kemudian diperjelas dalam Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala BAPPENAS dan Menteri Dalam Negeri Nomor 0259/M.PPN/I/2005 dan 050/166/SJ tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan MUSRENBANG 2005.

  Dalam Surat Edaran (SE) di atas disebutkan bahwa proses perencanaan pembangunan di Kabupaten/ Kota harus dilakukan secara partisipatif. Ini berarti bahwa stakeholders dari desa/ kelurahan, pemerintah desa/kota dan masyarakat sipil mulai mendapat tempat untuk mengawal usulan Kabupaten/ Kota. Model perencanaan pembangunan daerah versi SE terlihat lebih akomodatif dengan semangat demokratisasi yang sekarang terjadi di Indonesia. Tentang partisipasi misalnya, peserta perencanaan pembangunan lebih luas dengan melibatkan seluruh komponen yang ada di masyarakat. Adanya fasilitator dari unsur masyarakat dan aparat pemerintah yang mempersiapkan MUSRENBANG desa/kelurahan membuat kemungkinan bias elit dapat diminimalisasi. Begitu pula dengan adanya ketentuan yang mensyaratkan keikutsertaan wakil peserta MUSRENBANG desa/kelurahan sebagai peserta MUSRENBANG kecamatan; wakil peserta MUSRENBANG kecamatan sebagai peserta MUSRENBANG kabupaten/kota merupakan langkah maju menghindari perencanaan yang tidak berkesinambungan yang selama ini sering terjadi.

  Begitu pula dengan adanya ketentuan yang mensyaratkan keikutsertaan wakil peserta musrenbang desa/kelurahan sebagai peserta musrenbang kecamatan; wakil

peserta musrenbang kecamatan sebagai peserta musrenbangda

kabupaten merupakan langkah maju menghindari missing-link yang selama ini kerap terjadi. Formulasi perencanaan

pembangunan ini juga mensyaratkan adanya Alokasi Dana Desa

(ADD). Bila kita mampu menjalankan konsep ini, maka

desentralisasi pembangunan akan tercapai, dimana desa secara

internal mampu menjalankan konsep perencanaan dengan adanya dana perimbangan dari kabupaten.

  Dengan demikian, perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang bertujuan melibatkan kepentingan rakyat dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik langsung maupun tidak langsung). Tujuan dan cara harus dipandang sebagai sebuah kesatuan. Tujuan untuk kepentingan rakyat yang bila dirumuskan dengan tanpa melibatkan rakyat maka akan sulit dipastikan rumusannya akan berpihak kepada rakyat.

  Melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa tiga dampak penting yaitu:

  1. Terhindar dari peluang terjadinya manipulasi keterlibatan rakyat sehingga akan memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki dan dibutuhkan masyarakat.

  2. Memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik.

  3. Meningkatkan keswadayaan dalam mengelola (merencanakan, melaksanakan, memantau dan menilai, memanfaatkan serta melestarikan hasil) pembangunan yang bertumpu pada kemampuan dan kemandirian masyarakat.

  Perencanaan pembangunan partisipatif akan berjalan dengan baik apabila prakondisi yang diperlukan dapat terpenuhi. Setidaknya ada enam prinsip dasar dalam perencanaan partisipatif, yaitu: a. Saling percaya. Diantara semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan harus saling percaya, saling mengenal dan dapat bekerjasama. Untuk menumbuhkan rasa saling percaya dituntut adanya kejujuran dan keterbukaan.

  b. Kesetaraan. Prinsip kesetaraan dimaksudkan agar semua pihak yang terlibat dalam penyusunan perencanaan dapat berbicara dan mengemukakan pendapatnya, tanpa adanya perasaan tertekan (bhs. Jawa: rikuh atau ewuh-pekewuh).

  c. Demokratis Prinsip demokrasi menuntut adanya proses pengambilan keputusan yang merupakan kesepakatan bersama, bukan merupakan rekayasa suatu kelompok tertentu.

  d. Nyata Perencanaan hendaknya didasarkan pada segala sesuatu masalah dan kebutuhan yang nyata, bukan berdasarkan sesuatu yang belum jelas keberadaannya atau kepalsuan (fiktif).

  e. Taat asas dalam berpikir Prinsip ini menghendaki dalam penyusunan perencanaan mantap.

  f. Terfokus pada kepentingan warga masyarakat Perencanaan pembangunan hendaknya disusun berdasarkan permasalahan dan kebutuhan yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Perencanaan yang berdasarkan pada masalah dan kebutuhan nyata masyarakat, akan mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat.

Spirit “Ajur-Ajer” dari Pemangku Kepentingan Pembangunan

  Apa yang disebut sebagai perencanaan daerah tentu jauh lebih kompleks ketimbang makna dasar perencanaan, sebab keputusan politik berada dalam konteks relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Karena itu, perencanaan daerah, kata Abe (2005), berkaitan dengan posisi, apakah perencanaan daerah merupakan penjabaran dari perencanaan pusat yang dilaksanakan di daerah, atau sebagai suatu hasil pergulatan daerah dalam merumuskan kepentingan lokal. Pilihan atas posisi ini merupakan paradigma penting dalam perencanaan daerah. Dengan mengikuti skema desentralisasi, perencanaan daerah harus dipahami dalam konteks yang kedua, yakni pergulatan di tingkat lokal untuk merumuskan kepentingan daerah. Perencanaan daerah model pertama yang sudah lama diterapkan oleh Orde Baru merupakan perencanaan terpusat yang dirancang oleh rezim otoriter, yang menurut Abe, tidak mempunyai makna bagi daerah. Dalam konteks ini, daerah tidak Iebih sebagai obyek pelaksana, yang tidak memiliki hak untuk mengajukan alternatif atau menolak akibat ketidaksesuaian antara pikiran pusat dan daerah. Kreativitas, kehendak lokal, ide alternatif menjadi tumpul dan kemudian menumbuhkan tradisi menunggu (ketergantungan).

  Perencanaan daerah sebagai proses keputusan politik di atas bekerja di ranah negara, dimana pemerintah daerah adalah institusi dan entitas politik yang mempunyai otoritas politik untuk mengambil keputusan politik tentang perencanaan daerah. Tentu tidak semua perencanaan harus dimaknai sebagai proses dan bentuk keputusan politik di ranah negara, tetapi ada pula perencanaan nonpolitik yang bekerja di ranah masyarakat (komunitas). Kami menyebut dan memaknai perencanaan di ranah komunitas itu sebagai proses pembelajaran sosial (social learning) dalam membangun masyarakat patembayan. Namun antara negara dan komunitas sekaligus antara keputusan politik dan pembelajaran sosial bukanlah dua proses-arena yang terpisah, tetapi tetap mempunyai kaitan (linkage) dan hubungan interdependensi. engagement (keterlibatan, keterikatan, kebersamaan, kemitraan, dll) adalah sebuah konsep yang sering disebut untuk menjembatani antara proses keputusan politik (negara) dan proses pembelajaran sosial (masyarakat). Dalam bahasa Jawa, engagement disebut sebagai proses yang ajur-ajer atau asih, asah dan asuh (Sutoro Eko, 2007b). Secara konseptual, engagement lebih dari sekadar keterlibatan (involvement) masyarakat yang diundang oleh pemerintah, melainkan sebagai proses komunikasi dan negosiasi yang dialogis untuk mempertukarkan pandangan sebagai upaya untuk menyelesaikan masalah yang rumit yang tidak bisa diselesaikan tanpa koordinasi dan kerjasama (James Bohman, 1996; Nojin Kwak, 2005; Nicholas Argyres, 2007; Michael A. Tissaw dan Lisa M. Osbeck, 2007). Kompetensi warga dan mutual trust menjadi fondasi yang inheren dalam engagement itu (Barber, 1984 dan Putnam, 1993).

  Bahkan engagement menjadi salah satu kunci bagi proses reformasi tata pemerintahan di daerah. Jika

  

engagement tumbuh bersamaan dengan komitmen elite lokal

  akan menghasilkan reformasi bersama yang lebih kuat dan berkelanjutan, yakni membuahkan pemerintah lokal yang responsif dan masyarakat yang aktif, partisipatif dan mandiri. Jika ada komitmen perubahan tetapi tidak ada engagement maka akan terjadi reformasi yang digerakkan elite (reformasi masyarakat tetap pasif dan cenderung tergantung pada pemerintah, yang justru menjadi beban berat bagi pemerintah. Tetapi kalau ada engagement sementara tidak ada komitmen elite maka yang terjadi adalah penyerobotan elite (captured by elite), yang di satu sisi mengabadikan oligarki elite dan di sisi lain menimbulkan frustasi (distrust) warga kepada pemerintah. Sementara jika tidak ada komitmen dan engagement maka yang terjadi adalah pemeliharaan kemapanan (status quo) tanpa perubahan.

  Engagement dalam perencanaan daerah bisa tumbuh

  dengan baik tergantung pada model perencanaan yang dipilih dan dilembagakan. Mengingat dalam entitas negara terdapat berbagai level pemerintahan, berbagai aktor dan komunitas lokal, maka kerangka pemikiran ini hendak membuat peta tentang model-model perencanaan. Model-model perencanaan itu akan membantu untuk memberikan gambaran tentang posisi, peran dan hubungan antarlevel pemerintahan, kontestasi para aktor-aktor lokal serta relasi antara masyarakat dan pemerintah daerah dalam perencanaan.

  Kelembagaan Perencanaan

  Perencanaan dan kelembagaan merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan dalam menyusun sebuah program yang dipergunakan dalam proses pembangunan. Pembangunan yang berbasis masyarakat merupakan suatu keharusan dari bagian perencanaan yang bersifat partisipatif dalam rangka melakukan penguatan terhadap kapasitas kelembagaan yang ada. Baik kelembagaan yang bersifat formal dan informal dibentuk oleh pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat maupun lembaga informal dan dibentuk berdasarkan inisiatif masyarakat itu sendiri.

  Masing-masing lembaga ini (formal-dibentuk pemerintah maupun informal-berdasarkan insiatif masyarakat) saling berinteraksi untuk merumuskan tujuan bersama. Interaksi ini memberikan kesempatan kepada banyak aktor untuk terlibat dalam pembuatan, perumusan maupun pembahasan suatu masalah, sampai dengan pembuatan kebijakan maupun pengimplementasian kebijakan yang telah disepakati bersama-sama tersebut. Sistem perencanaan seperti inilah yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perbaikan kehidupan masyarakat. Terlibatnya masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan ini juga sudah menjadi keharusan seperti yang di amanatkan oleh berbagai macam peraturan yang dibuat oleh pemerintah baik pada skala nasional maupun lokal.

  Seperti tertulis dalam UU 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional. Khususnya dalam penjelasan UU ini pada pokok bahasan Azas dan Tujuan item 3 proses perencanaan. Dalam proses perencanaan ini sistem perencanaan pembangunan nasional mempergunakan lima pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan, antara lain: pendekatan politik, pendekatan teknokratik, pendekatan partisipatif, pendekatan atas-bawah (top-down) dan pendekatan bawah-atas (bottom up).

  Pendekatan politik memandang bahwa pemilihan

  presiden/kepala daerah adalah proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan program-program pembangunan yang ditawarkan masing- masing calon presiden/kepala daerah. Pendekatan

  teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan

  kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk itu. pendekatan partisipatif laksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan, dalam rangka untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki. pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah- atas diselaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan, dan desa (Penjelasan UU 25/2004: 21).

  Keberadaan lembaga-lembaga kemasyarakatan (khususnya di desa) seringkali menampakkan ketidakberdayaan dalam keterlibatannya dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, lembaga- lembaga kemasyarakatan desa perlu diberdayakan. Secara garis besar upaya-upaya pemberdayaan yang mengarah pada kemandirian lembaga-lembaga desa dapat ditempuh melalui beberapa strategi:

  1. Penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas lembaga.

  2. Transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar, sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.

  3. Peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan dan ketrampilan sehingga melahirkan inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian lembaga.

  4. Lembaga-lembaga lokal yang sudah ada perlu dipertahankan, dan perlu didorong menerapkan model-model organisasi “modern” dengan mengedepankan ukuran-ukuran obyektif dalam menilai keberhasilan kinerja organisasi (misalnya, dengan menggunakan sistem administrasi yang baik).

  5. Setiap lembaga yang ada diberikan ruang yang cukup untuk belajar menyusun program kegiatan dan memecahkan masalah secara mandiri (jangan terlalu dan selalu diintervensi).

  6. Setiap lembaga desa yang ada dilibatkan dalam pemecahan masalah yang terjadi di desa, dan mulai diikut sertakan dalam proses pembuatan kebijakan pemdes.

  Pelembagaan Partisipasi implementasinya dapat dibingkai ke dalam sebuah format yang dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu pelembagaan partisipasi juga dimaksudkan agar masyarakat tidak terjebak dalam gerakan yang bersifat anarkhis. Memang benar bahwa partisipasi adalah inti demokrasi tetapi bukan berarti untuk melaksanakan demokrasi masyarakat dapat melakukan apa saja seenaknya. Ada batas-batas tertentu yang harus ditaati bersama dalam melakukan partisipasi sebagai pendorong utama dalam berdemokrasi. Pelembagaan ini dimaksudkan juga untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat agar dapat sederajad dengan pihak pemerintah desa dan BPD sehingga masyarakat dapat meningkatkan bargaining power. Dalam konteks ini bargaining power dimaknai sebagai hal yang positif sekaligus sebagai strategi pendekatan yang menekankan kemitraan, menghargai proses dialog, musyawarah dan menumbuhkan rasa saling menghormati antar elemen strategis penyelenggara pembangunan di daerah.

  Kelemahan elementer yang sering ditemukan dalam kelembagaan partisipasi terutama dalam aspek

  keterwakilan (representasi) dan kualitas dialogis atau

  komunikasi forum. Kedua aspek itu kedepan dapat diatasi melalui penguatan kapasitas masyarakat dalam analisis

  stakeholders dan kemampuan fasilitasi.

  a. Analisis stakeholders, digunakan untuk mengatasi masalah representasi. Apa itu stakeholders? Stakeholders adalah orang-orang, kelompok atau lembaga yang dipengaruhi oleh suatu intervensi yang ditawarkan (secara positif maupun negatif) atau mereka yang dapat mempengaruhi hasil intervensi. Analisis

  

stakeholders dimaksudkan sebagai pintu masuk dalam

  menjawab persoalan keterwakilan dan kualitas formulasi (perencanaan) partisipatif. Mengapa harus analisis stakeholders? Pertama, untuk mengidentifikasi kepentingan, urgensi, dan pengaruh stakeholders atas kebijakan maupun program/proyek. Kedua, untuk proses untuk membangunnya. Ketiga, menyediakan suatu dasar dan strategi bagi partisipasi.

  b. Peran fasilitator. Peran fasilitator menjadi sangat dibutuhkan untuk dikembangkan mengingat dialog musyawarah yang dibangun sedapat mungkin harus tertuju pada formulasi perencanaan yang disiapkan sebagai bahan bakar program aksi pembangunan. Peran ini tidak dimaksud untuk mengintervensi atau mengajari masyarakat, tapi lebih untuk membuka ruang yang lebih lebar kepada masyarakat berdialog, berdiskusi, berdebat dan ruang untuk memutuskan sendiri apa yang baik dan apa yang tidak baik buat mereka sendiri. Kedua kelemahan elementer tersebut diperburuk dengan ketidaktersediaan data yang memadai sebagai energi utama dalam setiap proses perencanaan.

  Upaya Menumbuhkan Partisipasi.

  Berbagai upaya dapat dilakukan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat, antara lain:

  1. Mengeksplorasi nilai-nilai yang berkaitan dengan semangat partisipasi (kebersamaan dan solidaritas, tanggung jawab, kesadaran kritis, sensitif perubahan, peka terhadap lokalitas dan keberpihakan pada kelompok marginal, dll).

  2. Menghidupkan kembali institusi-institusi volunteer sebagai media kewargaan yang pernah hidup dan berfungsi untuk kemudian dikontekstualisasi dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat terutama dinamika kontemporer (Mis. forum rembuk desa/dusun).

  3. Memfasilitasi tebentuknya asosiasi-asosiasi kewargaan yang baru berbasiskan kepentingan kelompok keagamaan, ekonomi, profesi, minat dan hobi, dan politik maupun aspek- aspek kultural lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai arena interaksi terbuka.

  4. Mengkampanyekan pentingnya kesadaran inklusif bagi warga desa dalam menyikapi sejumlah perbedaan yang terjadi dengan mempertimbangkan kemajemukan.

  5. Memperluas ruang komunikasi publik atau semacam melakukan kontak-kontak sosial dan kerjasama. (IRE, 2003) Berbagai pengalaman juga menunjukkan adanya langkah-langkah lanjutan agar partisipasi dapat tumbuh:

  Memperkuat legal basis untuk partisipasi dan penguatan § kapasitas warga. Bisa dilakukan dengan menerbitkan Perda khusus untuk partisipasi warga dalam proses perencanaan dan penentuan anggaran serta dalam penyusunan legislasi daerah.

  Penguatan kapasitas institusi komunitas dengan § mendorong kebebasan berorganisasi yang seluas-luasnya dan mengalokasikan sumber daya untuk penguatan institusi lokal.

  Menyediakan dan menyebarluaskan berbagai informasi §

publik dalam bentuk-bentuk media yang community friendly.

  Melakukan proses desentralisasi fiskal ke tingkat bawah § (desa, dusun, RT)

  Mengembangkan berbagai metode partnership dan §

  partisipasi warga (konsultasi publik, panel warga, komisi-

  komisi khusus untuk masalah spesifik masing-masing warga)

Penutup

  Dalam kerangka otonomi daerah dan demokratisasi dalam pembangunan, perencanaan pembangunan yang dipandang tepat adalah perencanaan berbasis masyarakat. Model perencanaan yang perlu dikembangkan adalah perencanaan pembangunan dari ”atas ke bawah” dan dari ”bawah ke atas” secara bersama-sama dan seimbang/proporsional. Dalam hal ini musrenbang di berbagai tingkatan perlu dilaksanakan secara bermakna (substantif), bukan sekedar untuk memenuhi prosedur formal.

  Konsekuensi dari perencanaan pembangunan berbasis masyarakat adalah adanya tuntutan bersatunya (ajur-ajer) antar stakeholders pembangunan (khususnya pemerintah bersama masyarakat). Dalam hal ini institusi pemerintahan daerah harus mau dan mampu menyerap dan mewujudkan aspirasi dari masyarakat ke dalam kebijakan daerah yang pro rakyat, khususnya kelompok miskin. Di sisi lain, masyarakat juga harus siap (atau disiapkan) untuk mampu dan mau mengenali kebutuhan dan potensi diri secara faktual yang sangat diperlukan dalam perencanaan pembangunan. Untuk itu diperlukan prakondisi yang harus dipenuhi, antara lain:

  Pertama, penyelenggaraan pemerintahan di tingkat daerah

  (kabupaten) maupun ditingkat lokal (desa) yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Kedua, partisipasi masyarakat yang otentik (bukan mobilisasi masa) harus tumbuh atau ditumbuhkan. Ketiga, kelembagaan masyarakat (khususnya lembaga-lembaga desa) harus berdaya untuk merumuskan permasalahan dan kebutuhan masyarakat dan ketrampilan berdialog secara demokratis. Keempat, tersedianya forum-forum publik yang sangat diperlukan untuk menjalin komunikasi antar stakeholders pembangunan.

  Kelima, diperlukan kebijakan daerah untuk menganggarkan biaya pembangunan (khususnya bagi desa) secara memadai.

  ___________________________________________________

  Abe, Alexander. 2005. Perencanaan daerah partisipatif, Yogyakarta: Pokja Pembaharuan

  Barber, Benjamin. 1984. Strong democracy. Berkeley: University of California Press.

  Chamber, Robert. (1987), Pembangunan desa dari belakang, Jakarta: LP3ES.

  Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat.

  2006. Perencanaan dan penganggaran

  partisipatif untuk good governance, Bandung: FPPM. Friedmann, J. 1987. Planning in the public domain, from

  knowledge to action. New Jersey: Princeton University Press.

  Hadenius, Axel. 2003. Decentralisation and demoratic governance, Stockholm: EDGI.

  Hodgson, GM. 2005. “the limits to participatory planning”.

  economy and society, Vol. 34. No. 1, February.

  Korten, David (1987), Pembangunan berdimensi kerakyatan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

  Krisdyatmiko dan Sutoro Eko. 2006. Kaya proyek miskin

kebijakan. Yogyakarta: IRE Press.

  Larry Diamond. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation.

  http://books .google.com/books?hl=id&lr=&id=sIn

  qr5ILPE8C&oi=fnd&pg=PR9&dq=%22Diamond %22+%22Developing+Democracy:+Toward+Co nsolidation%22+&ots=_BhR2882Bq&sig=CuIin O9oC5S5bXpDMzUN7NgdN3M#PPA5,M1

  Mendagri, 2005. petunjuk penyusunan dokumen rencana

  pembangunan jangka panjang (rpjp) daerah dan rencana pembangunan jangka menengah (rpjm)

daerah. CV. Citra Utama, Jakarta.

  Putnam, R. 1993, Making democracy work, Princeton: Princeton University Press.

  Sutoro Eko dan Abdur Rozaki (eds.) (2005), Prakarsa

  desentralisasi dan otonomi desa, Yogyakarta: IRE Press.

  rakyat miskin. Makalah disampaikan dalam

  lokakarya ”Pro Poor Planning and Budgeting”, yang diselenggarakan oleh Bappenas dan ADB, Magelang, 9 -10 Maret 2007. Sutoro Eko. 2007b. “Konfrontasi, reklaim dan engagement:

  kontestasi masyarakat sipil memperdalam demokrasi lokal”, Makalah Disampaikan Dalam

  Lokakarya Refleksi Program Pemerintahan Lokal Demokratis”, diselenggarakan oleh YAPPIKA dan USC Canada, Denpasar, 14-15 November 2007.

  Syahroni. 2002. Pengertian dasar dan generik tentang

  perencanaan pembangunan daerah, Jakarta: GTZ SfDM.

  Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang sistem

  perencanaan pembangunan nasional

  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah

  daerah

  World Development Report. 1997. http://www.worldbank.org/

  html/ extpb/ wdr97/ english/ wdr97eng.pdf [1]

  Makalah dipresentasikan pada kegiatan Semiloka DPRD tentang Program Pengembangan Sistem Pembangunan Partisipatif (P@SPP) di Kabupaten Bantul Tahun 2008. Diselenggarakan oleh Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Bantul, pada tanggal 24 Desember 2008 di Hotel Bintang Fajar, Jl. Perintis Kemerdekaan No. 87, Gambiran, Yogyakarta.

  

[2] Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD”

Yogyakarta.