Kebijakan Luar Negeri Maroko di Afrika U (2)

I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Penelitian
Maroko merupakan satu negara monarki di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara
yang banyak melakukan reformasi dalam satu dekade terakhir. Sejak Raja Mohammed VI
bertakhta pada bulan Juli 1999, Maroko telah melaksanakan beberapa reformasi penting
sehingga Maroko sering dirujuk sebagai contoh reformasi bagi negara-negara lain di kawasan
Timur Tengah dan Afrika Utara (Kohstall 2010, p.197).
Pada bulan April tahun 2000, parlemen Maroko mengadopsi beberapa hukum untuk
mereformasi sistem pendidikan. Kemudian pada bulan Februari 2004, setelah mengalami
perdebatan kontroversial, status hukum personal (moudawana) resmi diimplementasikan.
Puncak reformasi yang dilaksanakan Maroko terjadi pada tahun 2011, bersamaan dengan
terjadinya gelombang demonstrasi dan protes masa di Timur Tengah dan Afrika (Arab
Spring) (Kohstall 2010, p.197).
Gelombang protes yang terjadi di Maroko memang tidak sebesar di negara-negara
lain yang terkena dampak Arab Spring, tetapi Maroko di bawah Raja Mohammed VI justru
melakukan reformasi yang dapat dikatakan paling penting sepanjang sejarah Maroko
(Zemrani, Lynch 2013). Setelah melaksanakan referendum publik, Raja Mohammed VI
mengesahkan konstitusi baru yang memberi kekuasaan dan independensi yang lebih luas
kepada Perdana Menteri, badan legislatif, dan lembaga peradilan Maroko. Pasca reformasi
demokrasi ini, partai moderat Islam di Maroko, Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD),

memenangkan mayoritas kursi legislatif pada tahun 2011. Setelah reformasi demokrasi ini
pula, protes massa di Maroko dapat diredam dan mulai berkurang sejak awal tahun 2011
(Arieff 2012).
Keberhasilan Maroko melaksanakan reformasi menguatkan posisi Raja Mohammed
VI dan legitimasi rakyat terhadap rezim monarki Maroko. Dari sini, penulis tertarik untuk
membahas apakah keberhasilan reformasi demokrasi Maroko di tingkat domestik juga akan
berpengaruh terhadap kesuksesan Maroko di dunia Internasional khususnya di kawasan
Afrika Utara. Apalagi, selama ini Maroko sudah memiliki posisi dan pondasi yang positif di
dunia Internasional. Banyak pihak yang menilai bahwa beberapa reformasi yang dilakukan
1

Maroko menunjukkan kemampuan Maroko untuk menyesuaikan diri dengan ‘keteraturan
normatif internasional’.
Adapun sesuai dengan latar belakang di atas paper ini berusaha membahas apakah
reformasi demokrasi yang dilakukan Maroko berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri
Maroko di kawasan Afrika Utara. Dan apabila reformasi demokrasi ini berpengaruh, sejauh
mana pengaruhnya di dalam kebijakan luar negeri Maroko.
2. Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyaan penelitian dalam makalah ini adalah:
a. Apa saja kebijakan luar negeri Maroko di Afrika Utara pasca reformasi demokrasi

Maroko tahun 2011-2013?
b. Bagaimana Pengaruh Reformasi Demokrasi Maroko Terhadap Kebijakan Luar Negeri
Maroko di Afrika Utara Tahun 2011-2013?

II
KERANGKA TEORI
2

Berdasarkan pertanyaan penelitian tentang Kebijakan Luar Negeri Maroko di Afrika
Utara Pasca Reformasi Demokrasi Tahun 2011-2013, maka penulis mencoba menjawab
pertanyaan penelitian tersebut dengan menggunakan pemahaman democratic peace theory
dan konsep kebijakan luar negeri.
a. Democratic Peace Theory
Democratic peace theory secara teoritis berakar dari pemikiran Immanuel Kant
dalam karyanya “Perpetual Peace” (Pugh 2005). Kant menyatakan bahwa negara liberal,
yang mengakui hak-hak individu seperti kesamaan di hadapan hukum, kebebasan
berbicara, kebebasan sipil, penghormatan terhadap harta pribadi dan adanya pemerintahan
perwakilan, tidak akan memiliki keinginan untuk berkonflik dan berperang. Adapun
perdamaian adalah dasar utama dalam membentuk keteraturan domestik yang
terlegitimasi di seluruh dunia (Burchill et al, 2005).

Selama negara-negara memiliki perspektif liberal yang sama, perang tidak akan
dibutuhkan untuk mencegah pemerintahan otokrasi yang menekan rakyatnya sendiri dan
mengancam kebebasan rakyat di negara liberal demokrasi itu sendiri. Proses demokrasi
dan institusi akan membatasi kekuasaan pemerintahan yang berkuasa dan mencegah
kemungkinan mereka melakukan kekerasan (Burchill et al, 2005).
Sementara itu, tokoh democratic peace theory lainnya, seperti Fukuyama
berasumsi bahwa penyebaran keteraturan politik domestik yang terlegitimasi pada
akhirnya akan mengakhiri konflik internasional. Bagian terpenting dari teori democratic
peace adalah bahwa negara-negara liberal dan demokratis memiliki norma liberal
bersama, dan mereka akan melakukan justifikasi liberal ketika ingin melakukan perang
(Burchill et al, 2005).
John Owen menjelaskan bahwa ‘negara liberal melihat negara-negara asing
berdasarkan praduga. Pertama, mereka percaya bahwa negara-negara liberal aman dan
negara-negara non-liberal berada dalam bahaya. Owen menyatakan bahwa negara yang
pemerintahannya menghormati otonomi rakyat akan berperilaku secara rasional dan
beralasan, sementara itu, pemerintahan yang menggunakan kekerasan pada rakyatnya
tidak akan melakukan hal itu (Pugh 2005).
Adapun terkait hubungan luar negeri sebuah negara, Dixon menyatakan bahwa
ketika dua negara demokratis memiliki konflik kepentingan, mereka akan berusaha
menerapkan norma-norma demokrasi dan perdamaian, dan berharap yang lain akan

3

melakukan hal yang sama. Oleh sebab itu, budaya, persepsi, dan praktik-praktik resolusi
konflik secara damai tanpa menggunakan ancaman kekerasan di dalam negara dapat
diaplikasikan ke negara-negara demokratis lainnya (Farnham, 2003).
Lebih jauh, terkait dengan konflik antara negara-negara demokratis, karena
pemimpin-pemimpin negara demokratis akuntabel dan takut akan kehilangan legitimasi
dari rakyatnya jika berperang, atau apabila konflik akan menyebabkan krisis yang lebih
jauh bagi negara, mereka akan lebih memilih berkomitmen untuk tidak melakukan
perang. Dan untuk menghormati hal ini, negara demokratis lainnya akan menghindari
konflik tersebut dan berusaha menyelesaikannya secara damai (Farnham 2003).
b. Kebijakan Luar Negeri
Kebanyakan pemikir hubungan internasional secara umum mendefinisikan
kebijakan luar negeri sebagai authoritative measures atau tindakan yang diambil oleh
pemerintah dengan tujuan yang berkaitan pada interaksi dengan pemerintah negara lain.
Adapun definisi kebijakan luar negeri menurut James N. Rosenau, memiliki tiga makna
yaitu sekumpulan orientasi (a cluster of orientations), seperangkat komitmen dan rencana
untuk bertindak (a set of commitments to and plans for action) dan bentuk perilaku atau
aksi (a form of behaviour) (Rosenau 1972).
Sementara itu, Holsti memberikan definisi yang berbeda. Holsti mengembangkan

konsep kebijakan luar negeri yang dikemukakan Rosenau dan membaginya menjadi
empat komponen spesifik, yaitu: orientasi kebijakan luar negeri, peran nasional, tujuan,
dan tindakan. Komponen pertama mengacu kepada sikap umum dan komitmen terhadap
lingkungan eksternal. Komponen ini menggabungkan strategi dasar untuk mencapai
tujuan domestik dan eksternal, khususnya dalam mengatasi ancaman yang ada. Strategi
dan orientasi ini jarang diungkapkan dalam satu keputusan, tetapi merupakan hasil dari
berbagai keputusan yang dibuat dalam usaha untuk menyesuaikan tujuan, nilai, dan
kepentingan dalam kondisi dan karakteristik lingkungan domestik dan eksternal (Dugis
2007).
Komponen yang kedua, peran nasional, berkaitan dengan definisi para pembuat
kebijakan tentang bentuk-bentuk keputusan, komitmen, aturan, dan tindakan umum yang
cocok dengan negara mereka, dan fungsi yang harus dijalankan negara dalam berbagai
isu. Contoh dari peran nasional ini adalah sebagai regional defender, mediator, protector,
dan polisi dunia. Adapun komponen ketiga menurut Holsti, tujuan, diartikan sebagai
4

gambaran masa depan hubungan negara dan sekumpulan kondisi dimana pemerintah
melalui para individu pembuat kebijakan bercita-cita untuk membawa gambaran tersebut
dengan memperluas pengaruh dan merubah atau mepertahankan perilaku negara lain
(Dugis 2007).

Tiga komponen pertama ini merupakan gabungan dari gambaran yang ada dalam
pikiran para pembuat kebijakan, sikap terhadap dunia luar, keputusan, dan aspirasi.
Sementara itu, komponen keempat, aksi atau tindakan adalah suatu hal yang dilakukan
oleh pemerintah kepada yang lain untuk mempengaruhi orientasi dan peran tertentu, atau
mencapai dan mempertahankan tujuan. Menurut Holsti, “Tindakan merupakan bentuk
dasar dari komunikasi yang dimaksudkan untuk merubah atau mempertahankan sikap
pemerintahan yang dipengaruhi untuk mendapatkan tujuannya” (Dugis 2007).

III
ANALISA

1. Kebijakan Luar Negeri Maroko di Afrika Utara Pasca Reformasi Demokrasi
Maroko Tahun 2011-2013?
5

Pasca reformasi demokrasi yang dilakukan oleh Raja Mohammed VI pada tahun
2011, Maroko mengeluarkan beberapa kebijakan luar negeri yang signifikan di kawasan
Afrika Utara, yaitu:
a. Maroko mengambil alih kepemimpinan organisasi Community of Sahel-Saharan
States (CEN-SAD) pada pertemuan di N’djamena, Chad, pada bulan Januari 2013.

CEN-SAD adalah organisasi yang ingin meningkatkan visi untuk uni ekonomi dan
perkembangan politik dan budaya di kawasan Afrika Utara. Sebelum diambil alih oleh
Maroko, Libya adalah pendukung utama organisasi ini. Sepeninggal Gaddafi di akhir
tahun 2011, organisasi ini pun mengalami kebekuan (Nickels 2013).
b. Maroko meningkatkan hubungan bilateralnya dengan Aljazair. Sinyal kedua negara
meningkatkan hubungan terjadi sejak tahun 2011, ketika pemimpin kedua negara,
Raja Mohammed VI dan Presiden Abdelaziz Bouteflika, berulang kali menyatakan
keinginan untuk meningkatkan hubungan. Selama tahun 2011, menteri dari kedua
negara bertemu dan melakukan dialog di kedua negara serta menandatangani
beberapa perjanjian ekonomi, termasuk impor gas alam Aljazair ke Maroko (Arieff
2012). Sebelumnya, hubungan Maroko-Aljazair memburuk setelah Aljazair
mendukung front POLISARIO melawan Maroko. Sejak tahun 1994 perbatasan kedua
negara ditutup dan kedua negara melakukan sedikit sekali hubungan perdagangan
(Smith 2011).
c. Maroko mendorong pembentukan proyek penting, pembangunan jalur kereta api
Trans-Maghreb pada bulan Juni 2011 yang telah disepakati oleh Arab Maghreb Union
pada tahun 2007. Sebelumnya, masing-masing Aljazair, Tunisia, Libya, dan Mesir
memiliki proyek infrastruktur jalan lintas area Maghreb. Namun, gelombang Arab
Spring yang melanda negara-negara tersebut menyebabkan proyek tertunda. Maroko
menyatakan bahwa proyek Trans-Maghreb merupakan salah satu rencana rekonstruksi

pasca Arab Spring (Lesser et al, 2012).
2. Bagaimana Pengaruh Reformasi Demokrasi Maroko Terhadap Kebijakan Luar
Negeri Maroko di Afrika Utara Tahun 2011-2013?
Di sini penulis berusaha menganalisa pengaruh reformasi demokrasi terhadap
kebijakan luar negeri Maroko di Afrika Utara selama tahun 2011-2013. Dalam

6

menganalisa pengaruh ini, penulis akan membahasnya di masing-masing kebijakan luar
negeri Maroko yang telah disebutkan di atas.
a. Kepemimpinan di CEN-SAD
Terkait dengan pengambil alihan kepemimpinan Community of Sahel-Saharan
States (CEN-SAD) oleh Maroko, menurut penulis hal ini terkait dengan keinginan
Maroko untuk keluar dari konflik berkepanjangan di Sahara Barat dan sengketa
dengan Aljazair. Arab Spring yang terjadi di beberapa negara di kawasan Afrika Utara
telah membuka kesempatan bagi Maroko untuk menunjukkan diri ke dunia
internasional sebagai negara yang stabil. Adapun kemudian reformasi demokrasi
menjadikan Maroko secara domestik lebih stabil dibandingkan dengan negara-negara
Afrika Utara lainnya.
Pada tahun 2013, Maroko ditetapkan sebagai negara yang paling aman di

kawasan Afrika Utara. Ada beberapa alasan yang menjadikan Maroko sebagai negara
yang paling aman. Pertama, Raja Mohammed VI masih memiliki legitimasi yang kuat
dari mayoritas populasi Maroko. Kedua, reformasi politik secara gradual, progress
ekonomi dan investasi yang lebih luas, peningkatan lapangan pekerjaan, kesetaraan
bagi wanita di bidang sipil dan social, serta pemberantasan korupsi. Semua hal ini
telah meningkatkan stabilitas internal Maroko (Alexander 2013).
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, selama masa Arab Spring, pemerintah
Maroko mengadopsi konstitusi baru pada Juli 2011, dan Maroko sendiri telah
menyatakan bahwa prioritas kebijakan luar negerinya fokus pada sub-sahara Afrika
(Nickels 2013). Maroko memang menjadi satu-satunya pemimpin yang potensial bagi
aliansi CEN-SAD. Mesir, masih kesulitan membangun kembali diplomasi regional
dan masalah dalam negerinya, adapun Algeria juga telah lama absen di dalam CENSAD. Dengan demikian, Maroko memiliki kebebasan untuk menjalankan organisasi
ini secara independen dari campur tangan negara-negara tetangganya di kawasan
Afrika Utara (Nickels 2013).
Maroko sendiri akan mendapat berbagai keuntungan dengan memimpin CENSAD, seperti menyebarkan pengaruh yang luas dalam regional economic cooperation
(REC) di Afrika secara luas, tidak hanya di Utara Afrika tetapi di kawasan Afrika
secara keseluruhan. Dan Maroko dapat menyebarkan budaya Arab dan nilai-nilai
7

Islam ke seluruh Afrika mengingat semua anggota CEN-SAD adalah negara dengan

mayoritas muslim di Afrika. Lebih jauh, kepemimpinan Maroko dalam CEN-SAD
akan membawa pengaruh bagi figur Raja Mohammed VI di kawasan Afrika Utara dan
memperkuat posisinya sebagai “Commander of the faithful” (amir al-mukminin)
(Nickels 2013).
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa reformasi demokrasi yang
dilakukan Maroko telah menciptakan stabilitas internal. Dalam kondisi yang stabil
Maroko kemudian juga menginginkan perluasan kestabilan ini ke kawasan Afrika
Utara, dan Maroko memimpin CEN-SAD sebagai wujud usaha perluasan stabilitas ini
ke negara-negara tetangganya di Afrika Utara.
b. Peningkatan hubungan bilateral dengan Al-Jazair
Dalam kebijakan Maroko meningkatkan hubungan bilateral dengan Aljazair,
penulis melihat bahwa reformasi demokrasi cukup berperan dalam hal ini.
Peningkatan hubungan bilateral dengan Aljazair adalah bagian dari usaha Maroko
untuk menciptakan kestabilan di kawasan. Pemulihan hubungan bilateral dengan
Aljazair akan mencegah peningkatan eskalasi konflik di kawasan.
Penulis juga melihat bahwa faktor individual Raja Mohammed VI berperan
dalam peningkatan hubungan ini. Reformasi demokrasi yang dilakukan Maroko
memang memberikan Raja Mohammed VI legitimasi dari mayoritas rakyat Maroko.
Peningkatan hubungan bilateral Maroko-Aljazair akan memperluas legitimasi bagi
Raja Mohammed VI dari dunia internasional terutama dari negara-negara di kawasan

Afrika Utara, termasuk Aljazair.
Selain dua alasan di atas, kerjasama Maroko-Aljazair juga akan berdampak
pada kerjasama yang lebih luas. Pemerintahan kedua negara sama-sama menyadari
bahwa mereka menghadapi masalah yang sama, seperti terorisme, control perbatasan,
penyelundupan manusia dan narkotika. Pada bulan November 2011, kedua negara
menyatakan bahwa kerjasama yang dilakukan kedua negara akan berimplikasi pada
proyek pengembangan Arab Maghreb Union yang telah lama non-aktif (Smith 2013).
c. Pembangunan Jalur kereta Trans-Maghreb

8

Penulis melihat bahwa kebijakan yang terakhir ini menunjukkan bahwa
reformasi demokrasi menciptakan ekonomi yang lebih stabil bagi Maroko.
Berdasarkan data dari IMF, Maroko memiliki tingkat inflasi yang rendah sejak 2011,
yakni hanya 2 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi Maroko menguat sejak tahun
2011, yakni diperkirakan antara 4,5 persen-5 persen (Arieff 2013).
Pertumbuhan ekonomi yang semakin menguat ini menyebabkan Maroko
mampu untuk melakukan pembangun infrastruktur lintas negara, salah satunya adalah
pembangunan jalur kereta Trans-Maghreb. Pemberian kekuasaan yang lebih luas bagi
legislative dan perdana menteri juga mendorong terciptanya kebijakan ini.
Pembangun jalur Trans-Maghreb juga merupakan salah satu janji kampanye partai
PJD yang sekarang berkuasa di Maroko untuk memudahkan akses lintas negara bagi
warga negara Maroko (Arieff 2013).
Berdasarkan analisa di atas, penulis menyimpulkan bahwa reformasi demokrasi
berpengaruh terhadap kebijakan luar negeri Maroko di Afrika Utara pada tahun 2011-2013.
Bila dikaitkan dengan democratic peace theory, ada beberapa asumsi yang sesuai dengan hal
ini. Pertama, bahwa keteraturan domestik yang terlegitimasi akan berpengaruh kepada
kebijakan luar negeri negara. Dalam penelitian ini sudah terbukti bahwa reformasi demokrasi
telah menciptakan keteraturan dan kestabilan domestik Maroko. Setelah mendapatkan
kestabilan ini, Maroko ingin memperluasnya di kawasan Afrika Utara melalui beberapa
usaha, seperti menjadi pemimpin CEN-SAD dan memperbaiki hubungan bilateral dengan
Aljazair.
Kedua, bahwa negara demokratis akan berusaha menyelesaikan konflik dengan
menekankan nilai-nilai demokratis dan dilakukan secara damai. Hal ini terlihat dari usaha
Maroko untuk memperbaiki dan meningkatkan hubungan bilateral dengan Aljazair. Proses
demokratisasi mempengaruhi perubahan kebijakan luar negeri Maroko terhadap Aljazair.
Asumsi lain yang juga sesuai adalah bahwa demokrasi akan menciptakan pembangunan
ekonomi. Dalam analisa sebelumnya, dijelaskan bahwa ekonomi Maroko mengalami
pertumbuhan yang signifikan dan hal ini menyebabkan Maroko mengeluarkan kebijakan
untuk membangun jalur kereta Trans-Maghreb.

9

IV
KESIMPULAN

Maroko menjadi salah satu negara di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang
berhasil melakukan reformasi di berbagai bidang. Pada tahun 2011, Maroko melakukan
reformasi terpenting dalam sejarah mereka yaitu reformasi demokrasi, dimana perdana
menteri, badan legislative, dan peradilan memiliki kekuasaan yang lebih luas sesuai dengan
konstitusi baru yang diajukan oleh Raja Maroko, Mohammed VI.
10

Reformasi demokrasi ini berhasil memperkuat legitimasi rakyat kepada Raja
Mohammed VI dan berhasil menekan gelombang protes yang juga melanda Maroko.
Keberhasilan demkratisasi di tingkat domestik ini ternyata juga berpengaruh terhadap
kebijakan luar negeri Maroko, terutama kebijakan di negara-negara tetangganya di kawasan
Afrika Utara.
Pengaruh reformasi demokrasi ini terlihat dalam beberapa kebijakan luar negeri
Maroko di Afrika Utara selama tahun 2011-2013, seperti kepemimpinan Maroko dalam
organisasi Community of Sahel-Saharan States (CEN-SAD), peningkatan hubungan bilateral
dengan negara tetangga Maroko, Aljazair, yang telah lama berada dalam kondisi buruk, serta
mendorong pembangunan jalur kereta Trans-Maghreb yang melintasi negara-negara Afrika
Utara.
Berdasarkan analisa, penulis menyimpulkan bahwa reformasi demokrasi menciptakan
keteraturan domestik yang terlegitimasi. Kemudian, sebagai negara demokratis, Maroko akan
berusaha menyelesaikan konflik dengan menekankan nilai-nilai demokratis dan dilakukan
secara damai. Yang terakhir, reformasi demokrasi Maroko telah menciptakan menciptakan
pembangunan ekonomi. Semua hal ini kemudian mempengaruhi kebijakan luar negeri
Maroko di kawasan Afrika Utara selama tahun 2011-2013.

REFERENSI
Arieff, A 2012, Morocco: Current Issues, Congressional Research Service, Washington DC.
Alexander, Y 2013, Terrorism in North Africa & the Sahel in 2012: Global Reach &
Implications, Potomac Institute for Policy Studies, Arlington.
Burchill, S, Linklater, A, Devetak, R, Donelly, J, Paterson, M, Reus-Smith, C, & True, J
2005, Theories of International Relations, Palgrave Macmillan, New York.
Dugis, V 2007, ‘Analysing Foreign Policy’, Jurnal Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik
Unair, vol. 20, no. 2, pp. 2-11
11

Farnham, B 2003, ‘The Theory of Democratic Peace and Threat Perception’, International
Studies Quarterly, vol. 47, pp. 395–415.
Kohstall, F 2010, ‘Morocco’s Monarchical Legacy and its Capacity to Implement Social
Reforms’ in Contested Sovereignties: Government and Democracy in Middle Eastern and
European Perspectives, eds Elisabeth Özdalga & Sune Persson, Swedish Research Institute,
Istanbul, pp. 197-208.
Lesser, IO, Kemp, G, Alessandri, E, & Wimbush, SE, Morocco’s New Geopolitics: A Wider
Atlantic Perspective, The German Marshall Fund of the United States, Washington DC.
Nickels, BP 2013, Morocco’s Engagement with the Sahel Community, Available from:
. [20 Juni 2013]
Pugh, J 2005, Democratic Peace Theory: A Review and Evaluation, Centre for Mediation,
Peace, and Resolution of Conflict.
Rosenau, JN 1972, The Study of Foreign Policy, Free Press, New York.
Smith, B 2011, Morocco and the 2011 election, House of Commons Library, London.
Zemrani, A dan Lynch, CE 2013, ‘Morocco’s Dance with Democracy: An Evolutionary
Approach to Democratic Reform’, The Innovation Journal: The Public Sector Innovation
Journal, vol. 18, no. 1, pp. 2-13.

12