Menilik dari judul yang tertera di atas
Menilik dari judul yang tertera di atas, timbul suatu gambaran yang sangat kontras diantara
keduanya. Bagai garis tegas yang memisahkan antara putih dan hitam, moderat dan radikal
selalu digambarkan sebagai dua kutub berbeda yang selalu bertentangan. Seringkali moderat
atau moderatisme digambarkan sebagai pihak yang penuh persahabatan, kedamaian, dan
toleransi sehingga selalu dianggap sebagai representasi dari ‘kebaikan’ yang diasumsikan
dengan warna putih. Sedangkan radikal atau radikalisme sering pula diserupakan dengan pihak
yang penuh dengan permusuhan, kekerasan, dan in-toleransi akan dianggap sebagai representasi
dari ‘kejahatan’ yang diwakili dengan warna hitam. Dalam pemahaman yang beredar kini,
banyak anggapan bahwa kedua entitas putih-hitam ini merupakan pertarungan abadi antara
kebaikan-kejahatan, antara benar-salah, dan dikotomi lainnya yang direpresentasikan dengan
putih-hitam tersebut. Moderat dan radikal selalu menjadi pihak yang saling berseberangan dan
berusaha untuk saling mengalahkan, saling melenyapkan. Berbagai wacana sudah memakai
dikotomi ini untuk memisahkan pihak-pihak yang terlibat didalamnya ke dalam pembagian
peran protagonis dan antagonis. Dalam wacana terorisme misalnya, sebuah wacana yang paling
gamblang mengupas hal ini, menempatkan para teroris menjadi bagian dari radikalisme, sebuah
kegiatan jahat untuk menebar teror. Sehingga pemerintah sebagai tokoh protagonis mempunyai
tugas melakukan perlawanan untuk memadamkan radikalisme. Sedangkan dalam wacana ormas,
khususnya ormas Islam, seringkali ormas tersebut dicap sebagai ormas radikal atau ormas yang
melakukan radikalisme ketika mereka melakukan sweeping atau melakukan pengerusakan. Dari
keadaan tersebut munculah istilah “deradikalisasi” yang berarti menurunkan derajat radikalisme
yang jahat agar menjadi moderatisme yang baik, atau dengan kata lain sebagai jalan ‘pertobatan’
si jahat agar menjadi baik, radikal bertobat menjadi moderat. Dapat disimpulkan, radikalisme
selalu menjadi pembuat onar atas nilai-nilai kemapanan yang moderat.
Namun apakah segamblang itukah pemahaman dan ide mengenai moderat dan
radikal?
Perlu kita telaah terlebih dahulu mengenai pengertian masing-masing dari moderat dan radikal.
Secara etimologi, moderat berasal dari bahasa latin moderatus yang secara bebas dapat diartikan
sebagai lunak, sedang, menengah. Sedangkan radikal berasal dari bahasa yang sama, dari kata
radicalis yang berarti akar, mengakar, kuat. Maka secara sederhana jika kedua kata tersebut
diimplementasikan ke dalam kehidupan kita terutama seperti pada wacana di atas, akan
diperoleh pemahaman:
Moderat(isme) adalah suatu sikap untuk mengambil jalan tengah dari suatu ide ketika
dihadapkan dengan konflik terhadap ide lain, dengan kata lain kompromistis atau
kooperatif. Maka tak heran ketika moderatisme selalu lekat dengan toleransi, karena ide
mengenai toleransi sendiri merupakan tindakan kompromistis.
Radikal(isme) merupakan sikap untuk mempertahankan ide secara utuh ketika
dihadapkan dengan konflik terhadap ide lain, atau dengan kata lain non-kooperatif. Atas
dasar tersebut, radikalisme biasanya akan menempuh langkah yang perlu dilakukan
untuk mempertahankan ide yang dianutnya.
Konflik antar ide bisa terjadi pada keduanya, namun yang membedakan adalah sifatnya.
Moderatisme bersifat lebih pasif, artinya sikap moderat hanya terjadi ketika menerima tekanantekanan ide yang berasal dari luar. Berbeda dengan radikalisme yang bersifat lebih agresif,
terjadi tidak hanya ketika mempertahankan ide karena tekanan-tekanan ide yang berasal dari
luar, namun juga terjadi ketika memperkenalkan dan menyebarkan ide-ide baru. Inilah mengapa
para pembaharu biasanya terlihat lebih radikal ketika melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Jangan lupakan sejarah! Manakah yang lebih baik, moderat atau radikal?
Sejarah telah mencatat, bahwa kedua entitas ini selalu ada bahkan ikut mewarnai perjalanan
sejarah negeri kita. Tidak bisa dipungkiri lagi, masing-masing kelompok yang menempuh jalur
moderat maupun radikal turut memberikan sumbangsih atas sejarah kita. Jika kita tengok lagi,
pada tahun 1912 berdiri organisasi Sarekat Islam (SI) di Surakarta, SI merupakan organisasi
politik pertama di Nusantara yang anti-pemerintahan kolonial. Organisasi ini merupakan evolusi
dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang berdiri pada tahun 1905, sebuah kongsi dagang lokal
yang memiliki benih-benih anti-kolonialisme. Evolusi SDI menjadi SI berawal dari kesadaran,
bahwa perlawanan sosial tidak cukup hanya dari satu bidang saja (SDI saat itu hanya
menyangkut bidang ekonomi saja) akan tetapi harus menyangkut seluruh aspek sosial, dan
politik merupakan bidang yang memiliki jalur ke seluruh aspek sosial tersebut. SDI dan SI
berinisiatif menempuh jalur non-kooperatif sebagai langkah memperjuangkan tujuannya,
sehingga pemerintah kolonial mengkategorikan kedua organisasi tersebut sebagai organisasi
radikal.
Berbeda dengan radikalisme, moderatisme yang bersifat lebih kooperatif biasanya tetap eksis
dimasa kapanpun mengikuti kondisi sosial yang terjadi. Misal pada masa pra-kemerdekaan,
Petisi Soetardjo sebagai langkah kaum moderat dalam mengangkat peran pribumi dalam
pemerintahan kolonial. Namun ketika masa kemerdekaan, dengan mengikuti kondisi sosial saat
itu, tindakan-tindakan diplomasi menjadi langkah kaum moderat bagi kemerdekaan.
Dengan melihat lebih lanjut, moderat maupun radikal masing-masing telah menyumbangkan
kontribusi besar bagi pembebasan Nusantara. Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan pernah
terjadi jika tidak ada tekanan kaum radikal, yang diwakili oleh kelompok pemuda, untuk
disegerakan proklamasi. Aksi penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok merupakan
tindakan radikal bagi kelompok pemuda untuk menjadi jalan pembuka perubahan tersebut. Jadi
perubahan selalu dimotori oleh gerakan radikal. Meskipun begitu, 27 Desember 1949 menjadi
momen penting dalam perjuangan moderat Nusantara. Melalui jalan diplomasi, penjajah
akhirnya mengakui kekalahannya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Tidak hanya
memperoleh pengakuan dari luar, langkah tersebut juga menjadi jalan konsolidasi ke dalam
negeri sendiri.
Tidak hanya keberhasilan dan kejayaan yang diraih oleh moderat dan radikal, kedua entitas ini
juga pernah melakukan tindakan khilaf atau blunder. Sebagai contoh beberapa perjanjian pasca
kemerdekaan (Linggajati, Renville, Roem-Royen), dimana sebenarnya telah terjadi ‘kekalahan
diplomasi’, yang berakibat muncul beberapa pemberontakan (baca: pembangkangan) sebagai
reaksi atas isi perjanjian tersebut. Dari beberapa perjanjian itu, sesungguhnya berisi klausul yang
merugikan pihak kita. Bagaimana tidak? Wilayah Republik yang pernah dibebaskan oleh
gerakan bersenjata kaum radikal, dilepas begitu saja oleh para diplomat moderat yang
menandatangani perjanjian itu hanya karena takut dengan gertak (sambal) kaum kolonis. Para
diplomat moderat tersebut tidak mengetahui kekuatan Belanda sebenarnya, padahal kekuatan riil
Belanda saat itu masih terseok-seok dan compang-camping pasca Perang Eropa. Maka tak heran
dan tidak sepenuhnya suatu kesalahan jika pada masa itu banyak timbul pembangkangan
bersenjata, seperti Madiun Affair, DI/TII, gerilya Soedirman, dll. Disisi lain, blunder yang
pernah dilakukan oleh kaum radikal tercatat pada tahun 1926, ketika sebuah aksi sepihak yang
dilakukan oleh rakyat jelata. Aksi yang dimotori oleh Ulama (juga Ulama Kiri) bersama Kaum
Kiri tersebut melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah dan aset milik pemerintah kolonial,
para tuan tanah kolonis, dan perusahaan asing, sebagai puncak kemarahan kepada Kaum Kolonis
atas perlakuannya yang semena-mena kepada pribumi selama ini. Aksi sepihak tsb sebenarnya
mendapat dukungan dari grass-root pribumi, terlihat dari pelaku aksi yang semakin banyak
semakin harinya, terutama golongan yang dirugikan selama ini, petani dan buruh. Namun aksi
sepihak tersebut dengan mudahnya digerus oleh KNIL dan Politie karena kesalahan kalkulasi
kekuatan. Volksraad sebagai satu-satunya lembaga yang juga menampung pribumi, menjadi
sangat elitis dan ikut menuding aksi sepihak rakyat jelata tsb sebagai biang-kerok perusuh
harmonisasi koloni. Blunder dari tindakan radikal seperti ini disebut dengan Putsch.
Baik moderat maupun radikal, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan, namun dalam
perkara ini sebenarnya bukan soal mana yang baik dan mana yang buruk, akan tetapi ‘kapan’
waktu yang tepat untuk menjalaninya. Mengapa? Sebab hakikat kedua entitas ini adalah sarana
untuk mewujudkan dan melestarikan keberadaan ide (ideologi) itu sendiri. Keduanya
mempunyai fungsi yang berbeda akan menjadi sangat efektif ketika digunakan pada saat yang
tepat, selain itu keduanya tidak akan bisa saling meniadakan. Kekuatan radikal dan moderat
sama-sama dibutuhkan oleh pergerakan untuk meraih tujuannya, mereka saling melengkapi,
saling membutuhkan, dan tak terpisahkan. Jadi moderat dan radikal laksana sebuah koin yang
memiliki dua sisi, keduanya pasti ada, hanya saja ada masanya ketika kita bisa moderat, dan ada
kalanya kita harus menjadi radikal.
Bilamana kaum moderat dan radikal bekerja?
Sebelumnya perlu kita pahami terlebih dahulu bahwa moderat maupun radikal hanyalah metode
untuk mewujudkan ide. Sebuah ide yang sama dapat diwujudkan dengan kedua jalan ini
tergantung dengan keadaan dan kebutuhan ketika itu. Dalam hal ini adalah soal masa ketika
kaum moderat atau kaum radikal yang dibutuhkan dalam menjalankan sistem untuk mengatasi
permasalahan. Tempo menjadi kunci atas berjalannya kedua entitas ini. Ketika situasi dan
kondisi mendukung, maka secara alamiah kedua entitas ini akan bekerja dengan sendirinya. Baik
moderat maupun radikal akan bekerja dengan masing-masing parameter yang berbeda. Banyak
faktor yang menjadi penentu parameternya, seperti sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, dsb.
Dengan sifat dan kekhasannya itu pulalah baik moderatisme maupun radikalisme menjadi solusi
ketika jaman membutuhkannya. Ketika sistem dalam kehidupan masih dapat mengakomodasi
ide, maka akan ditempuh jalan moderat untuk mewujudkannya, karena sifatnya yang lebih
kooperatif. Sebaliknya, ketika sistem dalam kehidupan kita sudah tidak dapat mengakomodasi
ide lagi maka jalan radikal akan ditempuh untuk mewujudkan ide tersebut secara non-kooperatif.
Adapun tolok ukur terakomodasinya suatu ide di dalam sistem kehidupan tergantung pada
sistem
yang
sedang
berlaku
ketika
itu.
Untuk lebih mudahnya, bisa kita lihat secara gamblang dalam beberapa dimensi.
Kaum moderat akan mendominasi ketika: Sistem kehidupan secara umum berjalan
dengan lebih mapan dan statis. Nilai-nilai normatif dalam sistem sosial masih berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat (baca: idealisme). Hal ini diikuti dengan kondisi
perpolitikan yang biasanya sedang didominasi hanya oleh salah satu entitas politik,
sehingga lebih stabil. Entitas politik mayoritas biasanya lebih kooperatif terhadap
minoritas. Demikian juga situasi ekonomi yang lebih pasti, tumbuh dan merata. Dan juga
hukum yang masih dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sedangkan dalam hal
keamanan dan ketertiban cenderung minim konflik (horisontal) dan ancaman. Ketika
masa ini terjadi, memang seharusnya moderatisme yang bekerja, karena segala
permasalahan yang terjadi ketika itu akan bisa diatasi dengan dialog yang kompromistis.
Jika radikalisme dipaksakan untuk bekerja pada masa ini maka yang terjadi adalah
putsch.
Kaum radikal akan dibutuhkan ketika: Sistem kehidupan sedang berjalan sangat dinamis.
Nilai dan norma dalam sistem sosial sudah diabaikan dan hanya menjadi jargon dimulut
saja, pragmatisme lebih diutamakan. Kondisi perpolitikan sangat dinamis, tidak ada
entitas politik yang mendominasi sistem politik sehingga yang terjadi adalah saling
memperebutkan (atau koalisi) kekuasaan guna memenuhi aspek formalitas belaka.
Situasi ekonomi juga dalam keadaan yang tidak pasti, pertumbuhan tidak ajeg dan tidak
merata, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Hukum hanya berlaku pada
kelas masyarakat tertentu, tajam menghujam masyarakat kelas bawah. Friksi-friksi
horisontal pada masyarakat kelas bawah semakin intens dan meruncing. Jika kaum
radikal tidak dibiarkan bekerja pada masa itu, yang terjadi adalah kebuntuan dalam
segala dimensi kehidupan yang akhirnya akan menghancurkan sistem itu sendiri.
Kemudian timbul pertanyaan, mengapa mereka harus ada dimasa itu? Tentu saja ini berkaitan
dengan kebutuhan dan fungsinya berdasarkan kondisi saat itu. Kaum moderat akan dibutuhkan
untuk menjalankan sistem yang telah mapan, selain itu moderatisme juga dibutuhkan untuk
konsolidasi. Sedangkan kaum radikal dibutuhkan untuk mendobrak kebuntuan ketika sistem
tidak bisa berjalan lagi sebagaimana mestinya atau mengganti sistem lama dengan yang baru.
Kemunculannya untuk mendominasi pun juga tidak bisa dihalang-halangi atau diprematur.
Sebagai perbandingan, di situasi dan kondisi yang statis dengan sendirinya kaum radikal akan
berkurang karena tindakan-tindakan radikal akan dianggap menjadi tindakan berlebihan yang
sia-sia, sebaliknya disituasi dan kondisi dinamis, kaum radikal dengan sendirinya akan semakin
banyak karena jalan moderat dianggap tidak mampu lagi mengatasi permasalahan yang ada.
Inilah yang dimaksud dengan kedua entitas akan bekerja dengan sendirinya secara alamiah.
Menilik kondisi kini, saatnya moderat atau radikal?
Mari kita lihat lagi indikasi-indikasi yang sudah dijabarkan sebelumnya dengan keadaan terkini
Indonesia. Perlu kita renungkan dan kita rasakan. Berbagai dimensi dari sistem sudah mulai
menunjukkan sarat permasalahan. Dalam dimensi hukum, hal yang paling gamblang adalah
maraknya tindak korupsi hampir disemua lapisan masyarakat. Hal ini terjadi karena korupsi
menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat kita. Kebutuhan akan apa? Kebutuhan akan materi
dan non-materi. Kebutuhan akan materi hanya karena satu hal: untuk mendapatkan kekayaan,
baik untuk mendapatkan yang baru atau untuk mengganti yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Biasanya korupsi macam ini dilakukan oleh seseorang yang memiliki otoritas atau jabatan,
karena selalu berkaitan dengan fungsi yang dijalankannya. Sedangkan untuk kebutuhan nonmateri selalu berkaitan dengan prosedur, dimana seseorang ketika terjebak oleh suatu prosedur,
apalagi turut dimain-mainkan oleh prosedur tersebut, maka biasanya akan memilih ‘jalan
mudah’ untuk mengakali prosesnya. Korupsi macam ini mahfum dilakukan hampir semua
masyarakat, bukan hanya ketika membuat KTP, tetapi juga tercermin dengan minimnya
kepatuhan dalam berlalu lintas (juga kompromistis ketika ditilang).
Dimensi politik juga memiliki dampak yang sangat nyata. Jika kita lihat yang terjadi sekarang
adalah hal yang yang dianggap ‘wajar’ ketika perpolitikan kita dipandang secara sempit dan
berjalan secara elitis, pragmatis, dan korup. Elitis karena partai telah terpisah dari konstituennya
dan hanya dibutuhkan saat menjelang pemilu saja. Partai menjadi kehilangan ruh-nya, dan
bertindak hanya sebagai alat berorientasi individu demi pencapaian reputasi pribadi. Tindakan
partai di parlemen tidak pernah lagi mewakili konstituennya. Pragmatis karena partai maupun
parlemen bertindak hanya untuk memenuhi faktor formal belaka, untuk mengisi kursi dan
jabatan tanpa memikirkan lagi idealisme. Selain itu, takaran mereka dalam bertindak hanya
mempertimbangkan sisi untung tidaknya bagi mereka secara pribadi. Maka tak jarang konstituen
‘digadaikan’ oleh mereka hanya untuk mendapatkan sedikit remeh-remah dari ‘proyek’ yang
diperebutkan. Korup karena tindakan-tindakannya telah menyimpang. Maksudnya ialah mereka
telah menyalahgunakan kewenangannya hanya untuk memperoleh tahta, harta, dan wanita.
Menggunakan jabatan untuk menumpuk harta dan dikelilingi wanita.
Kemudian dimensi ekonomi memiliki dampak yang langsung dirasakan oleh kita semua. Kita
tahu bahwa harga-harga melambung tinggi mulai dari harga kebutuhan pokok hingga tarif
pelayanan jasa. Bukan hanya terbebani dengan harga-harga tersebut namun juga tercekik dengan
macam-macam pajak. Membuat kita semua semakin sulit untuk hidup. Padahal kita berdiri
diatas kekayaan alam alam yang cukup melimpah, apakah mungkin kita harus mati kelaparan di
dalam lumbung sendiri yang penuh dengan hasil panen? Tentunya kita tidak ingin itu terjadi,
karena memang tidak logis. Yang terjadi sekarang adalah kekayaan alam kita sedang diangkut
keluar negeri sedangkan rakyat kita hanya memperebutkan remeh-remahnya saja. Pemerintah
juga mulai meninggalkan tugasnya sebagai penyelenggara kesejahteraan (welfare state), terlihat
dari kesejahteraan rakyatnya yang kini tidak merata, yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin miskin.
Lalu dalam dimensi sosial, terlihat dari perangai masyarakatnya yang berubah. Sikap dalam
masyarakat kita sudah menjadi individualistis. Pemuda pada semua lini tumbuh menjadi
pemuda-pemudi hedonis yang mengejar kesenangan dan kebanggaan individu. Perilaku antisosial seperti homoseksual, biseksual, dan transgender semakin merebak. Friksi-friksi horisontal
semakin meruncing, dengan berbagai macam latar belakang. Social value akhirnya mulai
ditinggalkan dan asing ditengah-tengah kita.
Setelah kita perhatikan sedikit contoh dari beberapa dimensi, kita dapat menilai apa yang
sebenarnya
terjadi
disekitar
kita.
Dalam dimensi hukum, terlihat dengan jelas bahwa kejahatan dan kriminal yang terjadi dalam
masyarakat kita telah berlangsung secara sistematik, artinya kejahatan telah berhimpun menjadi
terorganisir. Terorganisirnya kejahatan itu bukan menjadi organ yang berdiri sendiri, namun
telah ‘menumpang’ pada sistem hukum yang berlaku, ini mengakibatkan sulitnya melawan
kejahatan secara formal, karena sistemnya telah ‘diakali’ oleh para penjahat tersebut untuk dapat
luput dari jeratan legal formal. Hanya orang-orang radikal saja yang juga berani untuk bertindak
diluar jalur legal formal yang dapat mengatasi kejahatan macam itu.
Kemudian, jika kita lihat juga pada dimensi politik, dimana ketiga sifat elitis, pragmatis, dan
korup (el-prakor); telah hinggap hampir disetiap lini birokrat. Eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif sama-sama diisi oleh para el-prakor. Lembaga negara tidak akan bisa bersih dari para
el-prakor, sebab rumusnya seperti ini: para el-prakor akan berteman dengan el-prakor, dan para
el-prakor hanya akan digantikan oleh para el-prakor lainnya, maka jadilah lingkaran setan elprakor. Siapakah yang akan menderita? Kita semua, rakyat jelata. Hanya orang-orang yang
bersih dari sifat el-prakor dan berani bertindak secara radikal saja yang dapat menyingkirkan
para el-prakor dan memutus lingkaran setan el-prakor.
Ternyata dalam dimensi ekonomi juga telah terjadi kebuntuan luar biasa. Sedikitnya ada 4
macam penjahat yang berperan didalamnya.
Para birokrat pembuat kebijakan el-prakor, penjual kekayaan negeri ini untuk negara lain
dan membiarkan rakyatnya sendiri menderita.
Para spekulan komoditas, sehingga harga-harga mencekik demi keuntungan pribadinya.
Para bankir penyebar riba, yang mana riba adalah penyebab terbesar inflasi.
Dan yang terakhir adalah para pelaku shadow economy, yaitu para penggiat ekonomi
ilegal yang turut mempengaruhi kestabilan ekonomi legal.
Keempat macam penjahat ekonomi ini tumbuh subur pada negara yang menganut sistem
ekonomi liberal-kapitalis. Padahal negara kita menganut ekonomi kerakyatan seperti yang
disepakati oleh para founding fathers. Namun jelas-jelas sistem ekonomi kita sudah berubah
haluan menjadi sistem ekonomi liberal-kapitalis. Lalu bagaimana cara memperbaiki hal ini?
Mau tidak mau, hanya orang-orang yang mau bertindak secara radikal untuk mengembalikan
sistem ekonomi kerakyatan atau bila perlu menggantinya dengan yang lebih baik. Caranya:
memutus lingkaran birokrat el-prakor, mengawasi distribusi, menghapus riba, dan menekan
shadow economy.
Sementara dalam dimensi sosial, dengan berubahnya masyarakat kita menjadi individualis
menunjukan bahwa kita tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan sosial yang dihadapi oleh
kita. Sebab permasalahan sosial hanya bisa diselesaikan secara sosial, bukan individual. Sudah
saatnya kita berkumpul untuk membentuk tatanan masyarakat lagi. Tatanan masyarakat yang
bisa memberikan sanksi bukan hanya sebagai penganjur kebaikan saja. Seharusnya, perilaku
anti-sosial menjadi lawan dari tatanan masyarakat kita, nilai-nilai anti-sosial dapat tersaring
dengan penolakan secara tegas. Hanya orang-orang yang bersedia bertindak radikal secara tegas
untuk mengatasi permasalahan sosial seperti itu.
Setelah melihat beberapa situasi di atas, semuanya diperoleh kesimpulan yang sama, terjadi
kebuntuan untuk mengatasi permasalahan yang kita hadapi. Menjadi buntu karena permasalahan
yang terjadi tidak bisa diselesaikan begitu saja mengikuti sistem yang ada, sebab bisa jadi dua
hal: permasalahan yang terjadi telah berlangsung secara masal sehingga menjadi maklum atau
aturan yang ada telah dimanipulasi untuk mengakomodasi permasalahan tersebut. Artinya ada
dua hal yang pasti terjadi, masyarakatnya yang ‘sakit’ dan sistemnya yang ‘sakit’. Hal ini
menjadi logis, sebab ketika masyarakat menjadi ‘sakit’ karena terlalu permisif dengan
‘penyakitnya’, pasti akan menghasilkan sistem yang ‘sakit’ pula dengan mengakomodasi
‘penyakit’ tersebut. Jika keadaan ini terus berlangsung yang akan terjadi adalah bencana sosial
yang menghancurkan seluruh tatanan. Sehingga ketika masyarakat dan sistemnya sudah sangat
permisif dengan keadaan ini, maka tidak lain dan tidak bukan harus ada tindakan radikal untuk
memperbaikinya. Kaum radikal saja yang dapat mendobrak sistem yang sakit itu.
Kamu berada dimana? Radikalkah?
Setelah mengetahui uraian sebelumnya, kini saatnya kita bertanya pada diri kita sendiri, dimana
posisi kita saat ini? Disinilah kita menentukan peran kita dalam tatanan masyarakat. Kita bisa
menjadi moderat atau radikal, itu hanya merupakan pilihan. Keduanya memiliki kedudukan
yang setara, bisa memiliki tujuan yang sama, namun hanya berbeda jalan dan metode yang justru
saling melengkapi. Dari perbedaan itulah, masing-masing memiliki waktunya sendiri, ada
saatnya kaum moderat yang berkarya, akan tetapi ada kalanya kaum radikal yang harus
bertindak. Dan waktu yang dimaksud kini adalah waktunya kaum radikal untuk meraih
kesempatan itu. Akan tetapi bukan berarti seorang moderat harus berubah menjadi radikal, dan
bukan pula menghalangi seorang moderat untuk berubah menjadi radikal. Yang moderat tetaplah
moderat, namun ketika situasi mengharuskan untuk radikal, berikan kaum radikal ruang dan
waktu untuk bekerja. Janganlah takut atau malu untuk menjadi radikal. Menjadi radikal
bukanlah suatu kejahatan, bukan hal tabu, bukan pula hal yang hina-dina. Keberadaan kaum
radikal juga merupakan sunnatullah, keniscayaan. Tidak bisa binasa, tidak bisa ditunda, dan
tidak bisa diprematur. Jika kesempatan itu datang kepada kaum radikal, harus dipergunakan
sebaik-baiknya yang akhirnya bisa menjadi bukti bahwa menjadi radikal bukan merupakan
stigma buruk seperti yang telah orang kira kebanyakan. Menjadi radikal bukan berarti identik
dengan kekerasan, sekali lagi bukan itu, kaum radikal pun harus menjadikan kekerasan sebagai
jalan terakhir untuk beladiri. Perjuangan paling baik adalah ketika kita memenangkan ide tanpa
ada pertumpahan darah. Akan tetapi dalam kenyataan, akan ada pihak-pihak yang berusaha
menjegal bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan, yang artinya mau tak mau kita
harus siap terlibat dalam kekerasan untuk alasan beladiri. Dan radikalisme pun tidak identik
dengan anarkisme. Itu merupakan dua hal yang berbeda. Radikalisme adalah tindakan
berdasarkan tatanan, sedangkan anarkisme ialah tindakan tanpa tatanan. Sehingga untuk
memperbaiki tatanan harus dengan tatanan pula agar bisa pulih, jika tidak maka yang terjadi
adalah hilangnya tatanan. Kita pun harus menjaga diri agar tidak terjebak dengan anarkisme.
Karena harus kita ingat satu hal: Kejahatan yang tak terorganisir dapat dikalahkan dengan
mudah oleh kebaikan yang terorganisir, namun kejahatan terorganisir dapat mengalahkan
kebaikan yang sama terorganisirnya, kecuali kebaikan itu terorganisir dengan lebih baik. Inilah
arti penting dari tindakan harus memiliki tatanan yang tertata rapi.
Ingin PERUBAHAN? Jadilah RADIKAL!
Dengan berlangsungnya keadaan yang seperti ini, maka akan ada dua macam manusia, mereka
yang ingin hal ini terus berlangsung dan mereka yang menginginkan perubahan lebih baik.
Orang-orang yang menginginkan berlangsungnya keadaan ini adalah mereka yang mendapatkan
manfaat dan kenikmatan atas situasi ini, merekalah yang dinamakan kaum konservatif. Dijaman
yang penuh dengan penjahat ini, kaum konservatifnya terdiri dari dua golongan; yaitu
penjahatnya itu sendiri dan mereka yang cukup puas hidup dari remeh-remah para penjahat ini.
Sedangkan mereka yang menginginkan perubahan adalah mereka yang pasti dirugikan dan
tertindas atas situasi ini. Mereka ini adalah kaum dhuafa, kaum lemah yang butuh pembelaan,
dan bersama kaum yang ingin melawan keadaan ini. Mereka yang melawan inilah yang harus
menjadi kaum radikal. Dan perubahan pasti terjadi.
keduanya. Bagai garis tegas yang memisahkan antara putih dan hitam, moderat dan radikal
selalu digambarkan sebagai dua kutub berbeda yang selalu bertentangan. Seringkali moderat
atau moderatisme digambarkan sebagai pihak yang penuh persahabatan, kedamaian, dan
toleransi sehingga selalu dianggap sebagai representasi dari ‘kebaikan’ yang diasumsikan
dengan warna putih. Sedangkan radikal atau radikalisme sering pula diserupakan dengan pihak
yang penuh dengan permusuhan, kekerasan, dan in-toleransi akan dianggap sebagai representasi
dari ‘kejahatan’ yang diwakili dengan warna hitam. Dalam pemahaman yang beredar kini,
banyak anggapan bahwa kedua entitas putih-hitam ini merupakan pertarungan abadi antara
kebaikan-kejahatan, antara benar-salah, dan dikotomi lainnya yang direpresentasikan dengan
putih-hitam tersebut. Moderat dan radikal selalu menjadi pihak yang saling berseberangan dan
berusaha untuk saling mengalahkan, saling melenyapkan. Berbagai wacana sudah memakai
dikotomi ini untuk memisahkan pihak-pihak yang terlibat didalamnya ke dalam pembagian
peran protagonis dan antagonis. Dalam wacana terorisme misalnya, sebuah wacana yang paling
gamblang mengupas hal ini, menempatkan para teroris menjadi bagian dari radikalisme, sebuah
kegiatan jahat untuk menebar teror. Sehingga pemerintah sebagai tokoh protagonis mempunyai
tugas melakukan perlawanan untuk memadamkan radikalisme. Sedangkan dalam wacana ormas,
khususnya ormas Islam, seringkali ormas tersebut dicap sebagai ormas radikal atau ormas yang
melakukan radikalisme ketika mereka melakukan sweeping atau melakukan pengerusakan. Dari
keadaan tersebut munculah istilah “deradikalisasi” yang berarti menurunkan derajat radikalisme
yang jahat agar menjadi moderatisme yang baik, atau dengan kata lain sebagai jalan ‘pertobatan’
si jahat agar menjadi baik, radikal bertobat menjadi moderat. Dapat disimpulkan, radikalisme
selalu menjadi pembuat onar atas nilai-nilai kemapanan yang moderat.
Namun apakah segamblang itukah pemahaman dan ide mengenai moderat dan
radikal?
Perlu kita telaah terlebih dahulu mengenai pengertian masing-masing dari moderat dan radikal.
Secara etimologi, moderat berasal dari bahasa latin moderatus yang secara bebas dapat diartikan
sebagai lunak, sedang, menengah. Sedangkan radikal berasal dari bahasa yang sama, dari kata
radicalis yang berarti akar, mengakar, kuat. Maka secara sederhana jika kedua kata tersebut
diimplementasikan ke dalam kehidupan kita terutama seperti pada wacana di atas, akan
diperoleh pemahaman:
Moderat(isme) adalah suatu sikap untuk mengambil jalan tengah dari suatu ide ketika
dihadapkan dengan konflik terhadap ide lain, dengan kata lain kompromistis atau
kooperatif. Maka tak heran ketika moderatisme selalu lekat dengan toleransi, karena ide
mengenai toleransi sendiri merupakan tindakan kompromistis.
Radikal(isme) merupakan sikap untuk mempertahankan ide secara utuh ketika
dihadapkan dengan konflik terhadap ide lain, atau dengan kata lain non-kooperatif. Atas
dasar tersebut, radikalisme biasanya akan menempuh langkah yang perlu dilakukan
untuk mempertahankan ide yang dianutnya.
Konflik antar ide bisa terjadi pada keduanya, namun yang membedakan adalah sifatnya.
Moderatisme bersifat lebih pasif, artinya sikap moderat hanya terjadi ketika menerima tekanantekanan ide yang berasal dari luar. Berbeda dengan radikalisme yang bersifat lebih agresif,
terjadi tidak hanya ketika mempertahankan ide karena tekanan-tekanan ide yang berasal dari
luar, namun juga terjadi ketika memperkenalkan dan menyebarkan ide-ide baru. Inilah mengapa
para pembaharu biasanya terlihat lebih radikal ketika melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Jangan lupakan sejarah! Manakah yang lebih baik, moderat atau radikal?
Sejarah telah mencatat, bahwa kedua entitas ini selalu ada bahkan ikut mewarnai perjalanan
sejarah negeri kita. Tidak bisa dipungkiri lagi, masing-masing kelompok yang menempuh jalur
moderat maupun radikal turut memberikan sumbangsih atas sejarah kita. Jika kita tengok lagi,
pada tahun 1912 berdiri organisasi Sarekat Islam (SI) di Surakarta, SI merupakan organisasi
politik pertama di Nusantara yang anti-pemerintahan kolonial. Organisasi ini merupakan evolusi
dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang berdiri pada tahun 1905, sebuah kongsi dagang lokal
yang memiliki benih-benih anti-kolonialisme. Evolusi SDI menjadi SI berawal dari kesadaran,
bahwa perlawanan sosial tidak cukup hanya dari satu bidang saja (SDI saat itu hanya
menyangkut bidang ekonomi saja) akan tetapi harus menyangkut seluruh aspek sosial, dan
politik merupakan bidang yang memiliki jalur ke seluruh aspek sosial tersebut. SDI dan SI
berinisiatif menempuh jalur non-kooperatif sebagai langkah memperjuangkan tujuannya,
sehingga pemerintah kolonial mengkategorikan kedua organisasi tersebut sebagai organisasi
radikal.
Berbeda dengan radikalisme, moderatisme yang bersifat lebih kooperatif biasanya tetap eksis
dimasa kapanpun mengikuti kondisi sosial yang terjadi. Misal pada masa pra-kemerdekaan,
Petisi Soetardjo sebagai langkah kaum moderat dalam mengangkat peran pribumi dalam
pemerintahan kolonial. Namun ketika masa kemerdekaan, dengan mengikuti kondisi sosial saat
itu, tindakan-tindakan diplomasi menjadi langkah kaum moderat bagi kemerdekaan.
Dengan melihat lebih lanjut, moderat maupun radikal masing-masing telah menyumbangkan
kontribusi besar bagi pembebasan Nusantara. Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan pernah
terjadi jika tidak ada tekanan kaum radikal, yang diwakili oleh kelompok pemuda, untuk
disegerakan proklamasi. Aksi penculikan Soekarno-Hatta di Rengasdengklok merupakan
tindakan radikal bagi kelompok pemuda untuk menjadi jalan pembuka perubahan tersebut. Jadi
perubahan selalu dimotori oleh gerakan radikal. Meskipun begitu, 27 Desember 1949 menjadi
momen penting dalam perjuangan moderat Nusantara. Melalui jalan diplomasi, penjajah
akhirnya mengakui kekalahannya dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Tidak hanya
memperoleh pengakuan dari luar, langkah tersebut juga menjadi jalan konsolidasi ke dalam
negeri sendiri.
Tidak hanya keberhasilan dan kejayaan yang diraih oleh moderat dan radikal, kedua entitas ini
juga pernah melakukan tindakan khilaf atau blunder. Sebagai contoh beberapa perjanjian pasca
kemerdekaan (Linggajati, Renville, Roem-Royen), dimana sebenarnya telah terjadi ‘kekalahan
diplomasi’, yang berakibat muncul beberapa pemberontakan (baca: pembangkangan) sebagai
reaksi atas isi perjanjian tersebut. Dari beberapa perjanjian itu, sesungguhnya berisi klausul yang
merugikan pihak kita. Bagaimana tidak? Wilayah Republik yang pernah dibebaskan oleh
gerakan bersenjata kaum radikal, dilepas begitu saja oleh para diplomat moderat yang
menandatangani perjanjian itu hanya karena takut dengan gertak (sambal) kaum kolonis. Para
diplomat moderat tersebut tidak mengetahui kekuatan Belanda sebenarnya, padahal kekuatan riil
Belanda saat itu masih terseok-seok dan compang-camping pasca Perang Eropa. Maka tak heran
dan tidak sepenuhnya suatu kesalahan jika pada masa itu banyak timbul pembangkangan
bersenjata, seperti Madiun Affair, DI/TII, gerilya Soedirman, dll. Disisi lain, blunder yang
pernah dilakukan oleh kaum radikal tercatat pada tahun 1926, ketika sebuah aksi sepihak yang
dilakukan oleh rakyat jelata. Aksi yang dimotori oleh Ulama (juga Ulama Kiri) bersama Kaum
Kiri tersebut melakukan aksi sepihak dengan merebut tanah dan aset milik pemerintah kolonial,
para tuan tanah kolonis, dan perusahaan asing, sebagai puncak kemarahan kepada Kaum Kolonis
atas perlakuannya yang semena-mena kepada pribumi selama ini. Aksi sepihak tsb sebenarnya
mendapat dukungan dari grass-root pribumi, terlihat dari pelaku aksi yang semakin banyak
semakin harinya, terutama golongan yang dirugikan selama ini, petani dan buruh. Namun aksi
sepihak tersebut dengan mudahnya digerus oleh KNIL dan Politie karena kesalahan kalkulasi
kekuatan. Volksraad sebagai satu-satunya lembaga yang juga menampung pribumi, menjadi
sangat elitis dan ikut menuding aksi sepihak rakyat jelata tsb sebagai biang-kerok perusuh
harmonisasi koloni. Blunder dari tindakan radikal seperti ini disebut dengan Putsch.
Baik moderat maupun radikal, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan, namun dalam
perkara ini sebenarnya bukan soal mana yang baik dan mana yang buruk, akan tetapi ‘kapan’
waktu yang tepat untuk menjalaninya. Mengapa? Sebab hakikat kedua entitas ini adalah sarana
untuk mewujudkan dan melestarikan keberadaan ide (ideologi) itu sendiri. Keduanya
mempunyai fungsi yang berbeda akan menjadi sangat efektif ketika digunakan pada saat yang
tepat, selain itu keduanya tidak akan bisa saling meniadakan. Kekuatan radikal dan moderat
sama-sama dibutuhkan oleh pergerakan untuk meraih tujuannya, mereka saling melengkapi,
saling membutuhkan, dan tak terpisahkan. Jadi moderat dan radikal laksana sebuah koin yang
memiliki dua sisi, keduanya pasti ada, hanya saja ada masanya ketika kita bisa moderat, dan ada
kalanya kita harus menjadi radikal.
Bilamana kaum moderat dan radikal bekerja?
Sebelumnya perlu kita pahami terlebih dahulu bahwa moderat maupun radikal hanyalah metode
untuk mewujudkan ide. Sebuah ide yang sama dapat diwujudkan dengan kedua jalan ini
tergantung dengan keadaan dan kebutuhan ketika itu. Dalam hal ini adalah soal masa ketika
kaum moderat atau kaum radikal yang dibutuhkan dalam menjalankan sistem untuk mengatasi
permasalahan. Tempo menjadi kunci atas berjalannya kedua entitas ini. Ketika situasi dan
kondisi mendukung, maka secara alamiah kedua entitas ini akan bekerja dengan sendirinya. Baik
moderat maupun radikal akan bekerja dengan masing-masing parameter yang berbeda. Banyak
faktor yang menjadi penentu parameternya, seperti sistem sosial, politik, ekonomi, hukum, dsb.
Dengan sifat dan kekhasannya itu pulalah baik moderatisme maupun radikalisme menjadi solusi
ketika jaman membutuhkannya. Ketika sistem dalam kehidupan masih dapat mengakomodasi
ide, maka akan ditempuh jalan moderat untuk mewujudkannya, karena sifatnya yang lebih
kooperatif. Sebaliknya, ketika sistem dalam kehidupan kita sudah tidak dapat mengakomodasi
ide lagi maka jalan radikal akan ditempuh untuk mewujudkan ide tersebut secara non-kooperatif.
Adapun tolok ukur terakomodasinya suatu ide di dalam sistem kehidupan tergantung pada
sistem
yang
sedang
berlaku
ketika
itu.
Untuk lebih mudahnya, bisa kita lihat secara gamblang dalam beberapa dimensi.
Kaum moderat akan mendominasi ketika: Sistem kehidupan secara umum berjalan
dengan lebih mapan dan statis. Nilai-nilai normatif dalam sistem sosial masih berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat (baca: idealisme). Hal ini diikuti dengan kondisi
perpolitikan yang biasanya sedang didominasi hanya oleh salah satu entitas politik,
sehingga lebih stabil. Entitas politik mayoritas biasanya lebih kooperatif terhadap
minoritas. Demikian juga situasi ekonomi yang lebih pasti, tumbuh dan merata. Dan juga
hukum yang masih dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sedangkan dalam hal
keamanan dan ketertiban cenderung minim konflik (horisontal) dan ancaman. Ketika
masa ini terjadi, memang seharusnya moderatisme yang bekerja, karena segala
permasalahan yang terjadi ketika itu akan bisa diatasi dengan dialog yang kompromistis.
Jika radikalisme dipaksakan untuk bekerja pada masa ini maka yang terjadi adalah
putsch.
Kaum radikal akan dibutuhkan ketika: Sistem kehidupan sedang berjalan sangat dinamis.
Nilai dan norma dalam sistem sosial sudah diabaikan dan hanya menjadi jargon dimulut
saja, pragmatisme lebih diutamakan. Kondisi perpolitikan sangat dinamis, tidak ada
entitas politik yang mendominasi sistem politik sehingga yang terjadi adalah saling
memperebutkan (atau koalisi) kekuasaan guna memenuhi aspek formalitas belaka.
Situasi ekonomi juga dalam keadaan yang tidak pasti, pertumbuhan tidak ajeg dan tidak
merata, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Hukum hanya berlaku pada
kelas masyarakat tertentu, tajam menghujam masyarakat kelas bawah. Friksi-friksi
horisontal pada masyarakat kelas bawah semakin intens dan meruncing. Jika kaum
radikal tidak dibiarkan bekerja pada masa itu, yang terjadi adalah kebuntuan dalam
segala dimensi kehidupan yang akhirnya akan menghancurkan sistem itu sendiri.
Kemudian timbul pertanyaan, mengapa mereka harus ada dimasa itu? Tentu saja ini berkaitan
dengan kebutuhan dan fungsinya berdasarkan kondisi saat itu. Kaum moderat akan dibutuhkan
untuk menjalankan sistem yang telah mapan, selain itu moderatisme juga dibutuhkan untuk
konsolidasi. Sedangkan kaum radikal dibutuhkan untuk mendobrak kebuntuan ketika sistem
tidak bisa berjalan lagi sebagaimana mestinya atau mengganti sistem lama dengan yang baru.
Kemunculannya untuk mendominasi pun juga tidak bisa dihalang-halangi atau diprematur.
Sebagai perbandingan, di situasi dan kondisi yang statis dengan sendirinya kaum radikal akan
berkurang karena tindakan-tindakan radikal akan dianggap menjadi tindakan berlebihan yang
sia-sia, sebaliknya disituasi dan kondisi dinamis, kaum radikal dengan sendirinya akan semakin
banyak karena jalan moderat dianggap tidak mampu lagi mengatasi permasalahan yang ada.
Inilah yang dimaksud dengan kedua entitas akan bekerja dengan sendirinya secara alamiah.
Menilik kondisi kini, saatnya moderat atau radikal?
Mari kita lihat lagi indikasi-indikasi yang sudah dijabarkan sebelumnya dengan keadaan terkini
Indonesia. Perlu kita renungkan dan kita rasakan. Berbagai dimensi dari sistem sudah mulai
menunjukkan sarat permasalahan. Dalam dimensi hukum, hal yang paling gamblang adalah
maraknya tindak korupsi hampir disemua lapisan masyarakat. Hal ini terjadi karena korupsi
menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat kita. Kebutuhan akan apa? Kebutuhan akan materi
dan non-materi. Kebutuhan akan materi hanya karena satu hal: untuk mendapatkan kekayaan,
baik untuk mendapatkan yang baru atau untuk mengganti yang telah dikeluarkan sebelumnya.
Biasanya korupsi macam ini dilakukan oleh seseorang yang memiliki otoritas atau jabatan,
karena selalu berkaitan dengan fungsi yang dijalankannya. Sedangkan untuk kebutuhan nonmateri selalu berkaitan dengan prosedur, dimana seseorang ketika terjebak oleh suatu prosedur,
apalagi turut dimain-mainkan oleh prosedur tersebut, maka biasanya akan memilih ‘jalan
mudah’ untuk mengakali prosesnya. Korupsi macam ini mahfum dilakukan hampir semua
masyarakat, bukan hanya ketika membuat KTP, tetapi juga tercermin dengan minimnya
kepatuhan dalam berlalu lintas (juga kompromistis ketika ditilang).
Dimensi politik juga memiliki dampak yang sangat nyata. Jika kita lihat yang terjadi sekarang
adalah hal yang yang dianggap ‘wajar’ ketika perpolitikan kita dipandang secara sempit dan
berjalan secara elitis, pragmatis, dan korup. Elitis karena partai telah terpisah dari konstituennya
dan hanya dibutuhkan saat menjelang pemilu saja. Partai menjadi kehilangan ruh-nya, dan
bertindak hanya sebagai alat berorientasi individu demi pencapaian reputasi pribadi. Tindakan
partai di parlemen tidak pernah lagi mewakili konstituennya. Pragmatis karena partai maupun
parlemen bertindak hanya untuk memenuhi faktor formal belaka, untuk mengisi kursi dan
jabatan tanpa memikirkan lagi idealisme. Selain itu, takaran mereka dalam bertindak hanya
mempertimbangkan sisi untung tidaknya bagi mereka secara pribadi. Maka tak jarang konstituen
‘digadaikan’ oleh mereka hanya untuk mendapatkan sedikit remeh-remah dari ‘proyek’ yang
diperebutkan. Korup karena tindakan-tindakannya telah menyimpang. Maksudnya ialah mereka
telah menyalahgunakan kewenangannya hanya untuk memperoleh tahta, harta, dan wanita.
Menggunakan jabatan untuk menumpuk harta dan dikelilingi wanita.
Kemudian dimensi ekonomi memiliki dampak yang langsung dirasakan oleh kita semua. Kita
tahu bahwa harga-harga melambung tinggi mulai dari harga kebutuhan pokok hingga tarif
pelayanan jasa. Bukan hanya terbebani dengan harga-harga tersebut namun juga tercekik dengan
macam-macam pajak. Membuat kita semua semakin sulit untuk hidup. Padahal kita berdiri
diatas kekayaan alam alam yang cukup melimpah, apakah mungkin kita harus mati kelaparan di
dalam lumbung sendiri yang penuh dengan hasil panen? Tentunya kita tidak ingin itu terjadi,
karena memang tidak logis. Yang terjadi sekarang adalah kekayaan alam kita sedang diangkut
keluar negeri sedangkan rakyat kita hanya memperebutkan remeh-remahnya saja. Pemerintah
juga mulai meninggalkan tugasnya sebagai penyelenggara kesejahteraan (welfare state), terlihat
dari kesejahteraan rakyatnya yang kini tidak merata, yang kaya semakin kaya dan yang miskin
semakin miskin.
Lalu dalam dimensi sosial, terlihat dari perangai masyarakatnya yang berubah. Sikap dalam
masyarakat kita sudah menjadi individualistis. Pemuda pada semua lini tumbuh menjadi
pemuda-pemudi hedonis yang mengejar kesenangan dan kebanggaan individu. Perilaku antisosial seperti homoseksual, biseksual, dan transgender semakin merebak. Friksi-friksi horisontal
semakin meruncing, dengan berbagai macam latar belakang. Social value akhirnya mulai
ditinggalkan dan asing ditengah-tengah kita.
Setelah kita perhatikan sedikit contoh dari beberapa dimensi, kita dapat menilai apa yang
sebenarnya
terjadi
disekitar
kita.
Dalam dimensi hukum, terlihat dengan jelas bahwa kejahatan dan kriminal yang terjadi dalam
masyarakat kita telah berlangsung secara sistematik, artinya kejahatan telah berhimpun menjadi
terorganisir. Terorganisirnya kejahatan itu bukan menjadi organ yang berdiri sendiri, namun
telah ‘menumpang’ pada sistem hukum yang berlaku, ini mengakibatkan sulitnya melawan
kejahatan secara formal, karena sistemnya telah ‘diakali’ oleh para penjahat tersebut untuk dapat
luput dari jeratan legal formal. Hanya orang-orang radikal saja yang juga berani untuk bertindak
diluar jalur legal formal yang dapat mengatasi kejahatan macam itu.
Kemudian, jika kita lihat juga pada dimensi politik, dimana ketiga sifat elitis, pragmatis, dan
korup (el-prakor); telah hinggap hampir disetiap lini birokrat. Eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif sama-sama diisi oleh para el-prakor. Lembaga negara tidak akan bisa bersih dari para
el-prakor, sebab rumusnya seperti ini: para el-prakor akan berteman dengan el-prakor, dan para
el-prakor hanya akan digantikan oleh para el-prakor lainnya, maka jadilah lingkaran setan elprakor. Siapakah yang akan menderita? Kita semua, rakyat jelata. Hanya orang-orang yang
bersih dari sifat el-prakor dan berani bertindak secara radikal saja yang dapat menyingkirkan
para el-prakor dan memutus lingkaran setan el-prakor.
Ternyata dalam dimensi ekonomi juga telah terjadi kebuntuan luar biasa. Sedikitnya ada 4
macam penjahat yang berperan didalamnya.
Para birokrat pembuat kebijakan el-prakor, penjual kekayaan negeri ini untuk negara lain
dan membiarkan rakyatnya sendiri menderita.
Para spekulan komoditas, sehingga harga-harga mencekik demi keuntungan pribadinya.
Para bankir penyebar riba, yang mana riba adalah penyebab terbesar inflasi.
Dan yang terakhir adalah para pelaku shadow economy, yaitu para penggiat ekonomi
ilegal yang turut mempengaruhi kestabilan ekonomi legal.
Keempat macam penjahat ekonomi ini tumbuh subur pada negara yang menganut sistem
ekonomi liberal-kapitalis. Padahal negara kita menganut ekonomi kerakyatan seperti yang
disepakati oleh para founding fathers. Namun jelas-jelas sistem ekonomi kita sudah berubah
haluan menjadi sistem ekonomi liberal-kapitalis. Lalu bagaimana cara memperbaiki hal ini?
Mau tidak mau, hanya orang-orang yang mau bertindak secara radikal untuk mengembalikan
sistem ekonomi kerakyatan atau bila perlu menggantinya dengan yang lebih baik. Caranya:
memutus lingkaran birokrat el-prakor, mengawasi distribusi, menghapus riba, dan menekan
shadow economy.
Sementara dalam dimensi sosial, dengan berubahnya masyarakat kita menjadi individualis
menunjukan bahwa kita tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan sosial yang dihadapi oleh
kita. Sebab permasalahan sosial hanya bisa diselesaikan secara sosial, bukan individual. Sudah
saatnya kita berkumpul untuk membentuk tatanan masyarakat lagi. Tatanan masyarakat yang
bisa memberikan sanksi bukan hanya sebagai penganjur kebaikan saja. Seharusnya, perilaku
anti-sosial menjadi lawan dari tatanan masyarakat kita, nilai-nilai anti-sosial dapat tersaring
dengan penolakan secara tegas. Hanya orang-orang yang bersedia bertindak radikal secara tegas
untuk mengatasi permasalahan sosial seperti itu.
Setelah melihat beberapa situasi di atas, semuanya diperoleh kesimpulan yang sama, terjadi
kebuntuan untuk mengatasi permasalahan yang kita hadapi. Menjadi buntu karena permasalahan
yang terjadi tidak bisa diselesaikan begitu saja mengikuti sistem yang ada, sebab bisa jadi dua
hal: permasalahan yang terjadi telah berlangsung secara masal sehingga menjadi maklum atau
aturan yang ada telah dimanipulasi untuk mengakomodasi permasalahan tersebut. Artinya ada
dua hal yang pasti terjadi, masyarakatnya yang ‘sakit’ dan sistemnya yang ‘sakit’. Hal ini
menjadi logis, sebab ketika masyarakat menjadi ‘sakit’ karena terlalu permisif dengan
‘penyakitnya’, pasti akan menghasilkan sistem yang ‘sakit’ pula dengan mengakomodasi
‘penyakit’ tersebut. Jika keadaan ini terus berlangsung yang akan terjadi adalah bencana sosial
yang menghancurkan seluruh tatanan. Sehingga ketika masyarakat dan sistemnya sudah sangat
permisif dengan keadaan ini, maka tidak lain dan tidak bukan harus ada tindakan radikal untuk
memperbaikinya. Kaum radikal saja yang dapat mendobrak sistem yang sakit itu.
Kamu berada dimana? Radikalkah?
Setelah mengetahui uraian sebelumnya, kini saatnya kita bertanya pada diri kita sendiri, dimana
posisi kita saat ini? Disinilah kita menentukan peran kita dalam tatanan masyarakat. Kita bisa
menjadi moderat atau radikal, itu hanya merupakan pilihan. Keduanya memiliki kedudukan
yang setara, bisa memiliki tujuan yang sama, namun hanya berbeda jalan dan metode yang justru
saling melengkapi. Dari perbedaan itulah, masing-masing memiliki waktunya sendiri, ada
saatnya kaum moderat yang berkarya, akan tetapi ada kalanya kaum radikal yang harus
bertindak. Dan waktu yang dimaksud kini adalah waktunya kaum radikal untuk meraih
kesempatan itu. Akan tetapi bukan berarti seorang moderat harus berubah menjadi radikal, dan
bukan pula menghalangi seorang moderat untuk berubah menjadi radikal. Yang moderat tetaplah
moderat, namun ketika situasi mengharuskan untuk radikal, berikan kaum radikal ruang dan
waktu untuk bekerja. Janganlah takut atau malu untuk menjadi radikal. Menjadi radikal
bukanlah suatu kejahatan, bukan hal tabu, bukan pula hal yang hina-dina. Keberadaan kaum
radikal juga merupakan sunnatullah, keniscayaan. Tidak bisa binasa, tidak bisa ditunda, dan
tidak bisa diprematur. Jika kesempatan itu datang kepada kaum radikal, harus dipergunakan
sebaik-baiknya yang akhirnya bisa menjadi bukti bahwa menjadi radikal bukan merupakan
stigma buruk seperti yang telah orang kira kebanyakan. Menjadi radikal bukan berarti identik
dengan kekerasan, sekali lagi bukan itu, kaum radikal pun harus menjadikan kekerasan sebagai
jalan terakhir untuk beladiri. Perjuangan paling baik adalah ketika kita memenangkan ide tanpa
ada pertumpahan darah. Akan tetapi dalam kenyataan, akan ada pihak-pihak yang berusaha
menjegal bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan, yang artinya mau tak mau kita
harus siap terlibat dalam kekerasan untuk alasan beladiri. Dan radikalisme pun tidak identik
dengan anarkisme. Itu merupakan dua hal yang berbeda. Radikalisme adalah tindakan
berdasarkan tatanan, sedangkan anarkisme ialah tindakan tanpa tatanan. Sehingga untuk
memperbaiki tatanan harus dengan tatanan pula agar bisa pulih, jika tidak maka yang terjadi
adalah hilangnya tatanan. Kita pun harus menjaga diri agar tidak terjebak dengan anarkisme.
Karena harus kita ingat satu hal: Kejahatan yang tak terorganisir dapat dikalahkan dengan
mudah oleh kebaikan yang terorganisir, namun kejahatan terorganisir dapat mengalahkan
kebaikan yang sama terorganisirnya, kecuali kebaikan itu terorganisir dengan lebih baik. Inilah
arti penting dari tindakan harus memiliki tatanan yang tertata rapi.
Ingin PERUBAHAN? Jadilah RADIKAL!
Dengan berlangsungnya keadaan yang seperti ini, maka akan ada dua macam manusia, mereka
yang ingin hal ini terus berlangsung dan mereka yang menginginkan perubahan lebih baik.
Orang-orang yang menginginkan berlangsungnya keadaan ini adalah mereka yang mendapatkan
manfaat dan kenikmatan atas situasi ini, merekalah yang dinamakan kaum konservatif. Dijaman
yang penuh dengan penjahat ini, kaum konservatifnya terdiri dari dua golongan; yaitu
penjahatnya itu sendiri dan mereka yang cukup puas hidup dari remeh-remah para penjahat ini.
Sedangkan mereka yang menginginkan perubahan adalah mereka yang pasti dirugikan dan
tertindas atas situasi ini. Mereka ini adalah kaum dhuafa, kaum lemah yang butuh pembelaan,
dan bersama kaum yang ingin melawan keadaan ini. Mereka yang melawan inilah yang harus
menjadi kaum radikal. Dan perubahan pasti terjadi.