PENEGAKAN HUKUM ATAS PELANGGARAN IZIN LI

LIBRARY RESEARCH
“PENEGAKAN HUKUM ATAS PELANGGARAN IZIN LINGKUNGAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 DAN
UNDANG-UNDANG TERKAIT DI INDONESIA”

Disusun oleh :
1. Aisah Rahma Wati
2. Nindi Anindya Putri

(8111416034)
(8111416039)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017
1

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya kami
dapat menyelesaikan Tugas Hukum Lingkungan yang berjudul


“Pencegahan

Hukum Atas Pelanggaran Izin Lingkungan Berdasarkan UU no 32 Tahun 2009
dan UU Terkait di Indonesia”. Di dalam makalah ini kami membahas tentang
sistem perizinan lingkungan hidup dalam Undang – Undang Lingkungan Hidup
di Indonesia, penegakan hukum atas pelanggaran izin lingkungan di Indonesia,
dan faktor penghambat penegakan hukum lingkungan.
Kami berharap semoga makalah ini dapat memenuhi tugas hukum
Lingkungan dengan baik dan dapat bermanfaat bagi kami maupun bagi orang
lain untuk menambah wawasan atau ilmu. Kami juga mohon maaf jika ada
kesalahan penulisan kata dalam makalah ini.

Semarang, 08 Oktober 2017

Penulis

2

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL


i

KATA PENGANTAR

ii

DAFTAR ISI

iii

DAFTAR TABEL/GAMBAR

iv

DAFTAR PUTUSAN/KASUS

v

BAB I PENDAHULUAN


1

A. LATAR BELAKANG

1

B. RUMUSAN MASALAH

2

C. METODE PENULISAN

2

BAB II PEMBAHASAN

3

A. Sistem Perizinan Lingkungan Hidup

dalam UU Lingkungan Hidup di Indonesia

3

B. Penegakan Hukum atas Pelanggaran Izin Lingkungan

6

C. Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan
11
BAB III KESIMPULAN

13

DAFTAR PUSTAKA

15

3


DATA KONFLIK ANTARA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DI SEKITAR
WILAYAH TAMBANG DI INDONESIA SEPANJANG TAHUN 2011
NO
.
1.

DAERAH

ISSU

Bima, NTB

Tambang

PERISTIWA

SUMBER

Sejak senin (14/2) pagi, Liputan6.com, 14satu pleton tentara dari 02-2011
Kodim


1608

Bima,

bersenjata senapan M-16
disiagakan
fasilitas

di

sejumlah

milik

Negara,

seperti

kantor


kecamatan, kantor desa,
dan

markas

Parado,

Polsek

Bima,

Nusa

Tenggara Barat. Hal ini
dilakukan sebagai buntut
dari tindakan masyarakat
yang

membakar


camp

perusahaan

tambang
2.

Gresik,
Jawa Timur

Galian. C

base

di

Parado.
Puluhan
galian


Kecamatan
penambang Surabaya Pos, 14-

C

di

wilayah 02-2011

Kabupaten Gresik akan di
tutup sementara, hingga
dibentuk

regulasi

baru

berupa peraturan daerah
(perda) yang disesuaikan

dengan

Peraturan

Pemerintah

(PP)

juga

ditetapkan.

baru

Kebijakan

ini

penolakan


dari

yang
menuai
warga
4

3.

Yogyakarta

Tambang

masyarakat.
Pemerintah

Pasir

Gunungkidul, Yogyakarta, 13-02-2011

Kabupaten OKEZONE.com,

mengeluarkan

surat

edaran nomor 540/0196
tertanggal
2011

7

Februari

yang

melarang

pertambangan di daerah
tersebut.
surat

Penerbitan

ini

merupakan

respon pemerintah atas
maraknya penambangan
4.

Aceh

Tambang

kars.
Oknum

Pasir Besi

raya motor (KRM) sebuah 14-02-2011

pengurus

organisasi

yang

menaungi

armada

pengangkutan
biji

besi

material
PT.

PSU,

menyandra
angkutan

sebuah
umum

ditumpangi
warga
5.

kluet HarianGlobal.com,

yang

beberapa
menggamat,

Jawa

Galian Titik

minggu (13/2).
Sejumlah

Tengah

C.

swadaya masyarakat di om, 21-01-2011
Jawa

Tengah

lembaga MediaIndonesia.c
terus

berjuang menyelamatkan
kars

pegunungan

Kendeng, Kabupaten Pati,
tetap

sebagai

kawasan

lindung geologi dan tidak
berubah
6.

Kalimantan
Timur

menjadi

kawasan pertambangan.
Pencemaran Warga yang berada di 18 Detik.com, 04-01Desa

di

Kecamatan 2011
5

Tabang, Kbupaten Kutai
Krtanegara,

Kalimantan

Timur (KalTim), terserang
lumpuh

serta

gatal



gatal. Hal ini di duga
akibat zat kimia merkuri
dari
penambangan

aktivitas
emas

di

sungai kiau.
Tabel 1. Data Konflik Masyarakat dan Tambang Tahun 2011. Sumber: Wahana Lingkungan
Hidup.

6

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum lingkungan hidup merupakan instrumen yuridis yang memuat
kaidah – kaidah tentang pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk
mencegah penyusutan dan kemerosotan mutu lingkungan. Makna penegakan
di dalam hukum lingkungan dimaksudkan sebagai upaya menegakkan hukum
material khususnya yang terdapat pada Undang – Undang Nomor 32 Tahun
2009

tentang

Perlindungan

dan

Pengelolaan

Lingkungan

Hidup

yang

selanjutnya disingkat dengan UU-PPLH. Penegakan hukum dalam UU-PPLH
terdiri dari: penegakan hukum administrasi, penegakan hukum perdata, dan
penegakan hukum pidana. Upaya preventif dalam rangka pengendalian
dampak lingkungan hidup perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan secara
maksimal instrumen pengawasan dengan memperhatikan syarat – syarat yang
tercantum dalam peizinan. Ketentuan Pasal 36 UU-PPLH menetapkan bahwa
setiap usaha dan/atau kegiatan wajib memiliki Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan

(UPL)

dalam

izin

lingkungan.

Izin

lingkungan

diterbitkan

berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 UUPPLH atau rekomendasi UKL-UPL. Izin lingkungan wajib
mencantumkan

persyaratan

yang

dimuat

dalam

keputusan

kelayakan

lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL. Izin lingkungan diterbitkan oleh
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib
diintregasikan ke dalam izin lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak
Undang – Undang ini ditetapkan. Sistem perizinan lingkungan sebagai
instrumen pencegahan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup
hakikatnya merupakan pengendalian aktivitas pengelolaan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan perizinan lingkungan hidup
harus di dasarkan norma keterpaduan pada UU-PPLH. Perizinan terpadu bidang
lingkungan hidup dalam hal ini tidak hanya tentang teknis aministrasi
(prosedur, waktu, dan biaya) namun juga berkaitan dengan aspek substansi
perizinan bidang lingkungan hidup itu sendiri.
1

Jadi terdapat kaitan yang erat antara izin lingkungan dengan izin usaha
dan/ atau kegiatan. Kedudukan AMDAL sendiri merupakan syarat memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan merupakan satu kesatuan sistem perizinan dalam
UU-PPLH. Kewajiban pemegang izin usaha dan/atau kegiatan lingkungan hidup
yaitu menaati persyaratan dan kewajiban – kewajiban yang terdapat di dalam
izin pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Watt v. Jamieson, Lord President
Cooper mengamati bahwa:
“The balance in all cases has to be held between the freedom of a
proprietor to use his property as he pleases, and the duty on a proprietor not
to inflict material loss or inconvenience on adjoining proprietors or adjoining
property; and in every case the answer depends on considerations of fact and
degree”.1
Yang berarti kesimbangan dalam semua kasus harus diadakan antara
kebebasan

pemilik

untuk

menggunakannya

sesuai

keinginannya,

dan

kewajiban pada pemilik untuk tidak menimbulkan kerugian material atau
ketidaknyamanan pada pemilik yang berdampingan; dan dalam setiap kasus
jawabannya tergantung pada pertimbangan fakta dan derajat. Jadi setiap
pemilik usaha dan/atau kegiatan wajib menaati apa yang seharusnya dilakukan
dalam izin lingkungan, sehingga tidak akan terjadi kerugian yang menimbulkan
dampak bagi lingkungan maupun orang lain.
UU-PPLH

yang

juga

merupakan

“payung

hukum”

pengelolaan

lingkungan hidup, maka Undang – Undang sektoral bidang lingkungan hidup
diantaranya kehutanan, perkebunan, dan pertambangan harus memenuhi
beberapa kondisi. Antara lain, pertama, UU tersebut harus tunduk pada UUPPLH. Kedua, pelaksanaan UU sektoral bidang lingkungan hidup tidak boleh
bertentangan dengan UU-PPLH. Ketiga, segala penegakan hukum yang
berkaitan dengan lingkungan hidup harus berpedoman kepada UU-PPLH.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem perizinan lingkungan hidup dalam Undang –
Undang Lingkungan Hidup di Indonesia ?
2. Bagaimana penegakan hukum atas pelanggaran izin lingkungan di
Indonesia ?
3. Apa saja faktor penghambat dalam penegakan hukum lingkungan ?
2

C. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi
pustaka atau studi literatur, yaitu penulis mengambil sumber penulisan dari
buku, perpustakaan, jurnal hukum, dan Undang – Undang yang terkait.

1

John Lowry and Rod Edmunds, “Environmental Protection and the Common Law”, (Oxford and

Portland, Oregon:
Hart Publishing, 2000), hlm. 243.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Perizinan Lingkungan Hidup dalam UU Lingkungan Hidup
di Indonesia
Izin merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis preventif, dan
digunakan sebagai instrumen administrasi untuk mengendalikan perilaku
masyarakat. Oleh karena itu, sifat suatu izin adalah preventif, karena dalam
instrumen izin, tidak bisa dilepaskan dengan pemerintah dan kewajiban yang
harus ditaati oleh pemegang izin.2 Selain itu fungsi izin adalah represif. Izin
dapat berfungsi sebagai instrumen untuk menanggulangi masalah lingkungan
disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar perizinan. Artinya,
suatu usaha yang memperoleh izin atas pengelolaan lingkungan, dibebani
kewajiban untuk melakukan penanggulangan pencemaran atau perusakan
lingkungan yang timbul dari aktivitas usahanya.
Dalam
perlindungan

UU-PLH,
dan

izin

merupakan

pengelolaan

hidup

instrumen
di

Indonesia.

pengendalian
Sebagai

dalam

instrumen

pengendalian, izin lingkungan hidup menentukan berhasil tidaknya pelestarian
fungsi lingkungan hidup untuk kelangsungan hidup manusia dan ekosistem.
Seperti telah dikemukakan, dalam UU-PPLH terdapat 2 (dua) konsep izin, yakni
pertama, izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam
3

rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat
untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 35). Kedua, izin
usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk
melakukan usaha dan/atau kegiatan (Pasal 1 angka 36). Kedua izin ini
disebutkan sebagai izin lingkungan hidup.3 Yang berwenang dalam menerbitkan
izin lingkungan adalah Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya. Izin lingkungan diterbitkan berdasarkan surat keputusan
kelayakan lingkungannya atau rekomendasi UKL-UPL (Pasal 36 ayat (2)
UUPPLH). Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012
Tentang Izin Lingkungan, izin lingkungan diperoleh melalui tahapan kegiatan
yang meliputi:
a. Penyusunan Amdal dan UKL-UPL;
b. Penilaian Amdal dan Pemeriksaan UKL-UPL; dan
c. Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan.
Karena terkait dengan Amdal, UKL-UPL, usaha dan/atau kegiatan
pengelolaan

lingkungan

memperhatikan

ketentuan

hidup,
Pasal

izin
14

lingkungan

UUPLH,

yakni

hidup

juga

beberapa

harus

instrumen

pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang terdiri
atas:
a. KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis);
b.Tata ruang;
c. Baku mutu lingkungan hidup;
d. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. Amdal;
f. UKL-UPL;
g. Perizinan;
h. Instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. Peraturan perundang – undangan berbasis lingkungan hidup;
j. Anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. Analisis resiko lingkungan hidup;
l. Audit lingkungan hidup; dan
m. Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu
pengetahuan.
4

Berdasarkan Pasal 35 ayat 1 menegaskan bahwa izin lingkungan bagian dari
mata rantai perizinan usaha/ kegiatan. Berpijak pada jenis perizinan dalam
peraturan perundang – undangan yang harus dipenuhi penanggungjawab
usaha/kegiatan, setidaknya mencakup:4
a. Izin lokasi;
b. Izin mendirikan bangunan (IMB);
c. Izin berdasarkan ordonansi ganguan (izin HO);
d. Izin lingkungan;
e. Izin usaha/kegiatan (seperti: izin usaha industry, dll);
Izin lingkungan dengan izin usaha dan/atau kegiatan mempunyai
keterkaitan yang erat. Pasal 40 UU-PPLH menyatakan, izin lingkungan
merupakan syarat untuk mendapatkan izin usaha atau kegiatan pengelolaan
lingkungan hidup. Kemudian untuk mendapatkan izin lungkungan, pelaku
usaha atau kegiatan diwajibkan membuat Amdal atau UKL-UPL. Dalam hal izin
lingkungan di cabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. Dalam hal usaha
dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.
Dalam UU-PPLH ditentukan, izin lingkungan dapat dibatalkan apabila (Pasal
37 ayat (2)):
a. Persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat
hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau
pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. Penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam
keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi
UKL-UPL; atau
c. Kewajiban yang diterapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38 menentukan, izin lingkungan juga dapat dibatalkan melalui
keputusan. Ketentuan yang juga penting mengenai perizinan bidang
lingkungan hidup adalah Pasal 123, yakni:
“Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah
dikeluarkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/walikota sesuai dengan
5

kewenangannya wajib diintregrasikan ke dalam izin lingkungan paling lama
1 tahun sejak undang – undang ini diterapkan”.
Ketentuan di atas, menegaskan pertama, setiap usaha dan/atau kegiatan
yang wajib Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Kedua, Amdal
atau UKL dan UPL merupakan instrumen penting dalam rangka perlindungan
dan pengelolaan lingkungan yakni instrumen pencegahan kerusakan atau
pencemaran lingkungan hidup. Ketiga, Amdal atau UKL dan UPL merupakan
syarat wajib untuk penerbitan keputusan izin suatu usaha dan/atau kegiatan
pengelolaan bidang lingkungan hidup.
Mencermati ketentuan – ketentuan yang berkaitan dengan perizinan
dalam UU-PPLH ini, pada satu sisi, yang dimaksudkan adalah izin lingkungan
sebagai syarat untuk mendapat izin usaha dan/atau kegiatan (sektoral). Pada
saat yang sama juga merupakan suatu ketentuan pelanggaran terhadap suatu
aturan/ persyaratan (kewajiban - kewajiban) hukum administrasi, seperti
kewajiban – kewajiban yang dicantumkan dalam izin, atau melakukan tindakan
tersebut dengan tidak memiliki izin. Formulasi kebijakan – kebijakan di dalam
hukum administrasi ikut mendorong konkritisasi unsur melawan hukum dari
suatu perbuatan, sehingga dalam tingkat tertentu ketergantungan hukum
pidana lingkungan terhadap hukum administrasi harus diterima sebagai suatu
keharusan guna mendukung pandangam “kesatuan tertib hukum” dari sudut
pandang

hukum

administratif

maupun

sudut

pandang

hukum

pidana. 5

Perbuatan apa yang dinyatakan sebagai terlarang oleh penguasa/ pemerintah
(pelanggaran terhadap syarat/ persyaratan izin) harus juga dipandang oleh
hukum pidana sebagai perbuatan melawan hukum.
Bahwa

alasan

mengapa

hukum

pidana

lingkungan

sangat

ketergantungan pada hukum administrasi dikarenakan yang mengeluarkan izin
dan/atau mengetahui adanya pelanggaran adalah lembaga administrasi.
Misalkan apabila ada suatu ambang baku mutu yang ditetapkan, namun
kemudian perusahaan mendapatkan izin untuk melewati ambang batas
tersebut, maka hal tersebut tidak dapat dipidana. Atau dengan kata lain
tindakan yang seharusnya tindak pidana menjadi bukan tindak pidana karena
sifat melawan hukumnya hilang.
B. Penegakan Hukum atas Pelanggaran Izin Lingkungan
6

Penegakan hukum untuk masing – masing instrumen berbeda, yaitu
instrumen administratif oleh pejabat administratif atau pemerintahan, perdata
oleh pihak yang dirugikan sendiri, baik secara individual maupun secara
kelompok bahkan masyarakat atau negara sendiri atas nama kepentingan
umum (algemeen belang; public interest). Adapun hukum pidana yang
penuntutannya dimonopoli oleh negara yang alatnya adalah jaksa sebagai
personifikasi

negara.

Tujuan

tempat

melapor

kepada

Bapedal

Kantor

Lingkungan Hidup juga bermacam – macam karena dapat diketahui apakah
benar terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan. Dari kantor LH ini dapat
dipilih proses selanjutnya. Kalau masih ragu, tentang ketentuan mana yang
dilanggar, apakah ketentuan administrasi (pelanggaran perizinan), apakah
bersifat perdata (misalnya perbuatan melanggar hukum) ataukah perlu
dilanjutkan ke proses hukm pidana misalnya jika pelanggar adalah residivis.6
Berdasarkan penjelasan Pasal 123 UU-PPLH, jenis – jenis izin lingkungan
adalah izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), izin
pembuangan air limbah ke laut, dan izin pembuangan air limbah ke sumber air.
Izin lingkungan termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, menggabungkan proses
pengurusan keputusan kelayakan lingkungan hidup, izin pembuangan limbah
cair, dan izin limbah bahan beracun berbahaya. Sebelumnya, berdasarkan UU
No. 23 Tahun 1997, keputusan kelayakan lingkungan hidup diurus di awal
kegiatan usaha. Setelah kontruksi selesai, pengusaha harus mengurus izin
pembuangan limbah cair dan B3. Sekarang ketiga perizinan itu digabungkan,
diurus satu kali menjadi izin lingkungan. Syaratnya yaitu, amdal, atau upaya
pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup
(UPL). Tanpa ketiga dokumen tersebut, izin lingkungan tidak akan diberikan.
Penolakan pengusaha terhadap izin lingkungan karena perubahan tata urutan
pemberian izin kegiatan atau usaha. Izin lingkungan menjadi persyaratan izin
usaha. Jika ada pejabat publik yang memberikan izin usaha kepada pemohon
yang tidak memiliki izin lingkungan, maka pejabat publik itu bisa dipidana
penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak 3 miliar rupiah,
sebagaimana Pasal 111 ayat (2) UU-PPLH.

2

N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan, (Jakarta: Pancuran Alam, 2009), hlm. 239.

3

Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 165.

7

4

Kartono, “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Undang – Undang Perlindungan

Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Dinamika Hukum, 09, hlm. 254.
5

Sulistyono, “Pengaruh Izin Lingkungan Sebagai Upaya Preventif Terhadap Perlindungan Dan

Pengelolaan
Lingkungan Hidup Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan Hidup”, Forum Teknologi, 06, hlm.
74.
6

Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 50-51.

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN ADMINISTRASI
Dibandingkan dengan UU No. 23 Tahun 1997, dalam UU No. 32 Tahun
2009 terdapat beberapa pasal yang mengatur sanksi administratif yang tidak
terbatas pada sanksi paksaan pemerintahan, pembayaran sejumlah uang dan
pencabutan

izin

saja,

tetapi

mengatur

sanksi

administratif

yang

lain

sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (2):
Sanksi administratif terdiri atas:
a. Teguran tertulis;
b. Paksaan pemerintah;
c. Pembekuan izin lingkungan; atau
d. Pencabutan izin lingkungan.
Pihak Pemerintah Pusat dapat mencampuri pihak Pemerintah Daerah yang
tidak menjatuhkan sanksi yang disebutkan dalam Pasal 77:
“Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah
daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup”.
Dalam hal ini dijatuhi sanksi pencabutan izin lingkungan menurut Pasal
76

adalah

apabila

penanggung

jawab

usaha

dan/atau

kegiatan

tidak

melaksanakan paksaan pemerintah. Paksaan pemerintah tersebut dijelaskan
dalam Pasal 80 ayat (1) UU-PPLH.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa untuk menjatuhkan sanksi
paksaan pemerintah harus didahului peringatan, namun untuk hal tertentu
tidak diperlukan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 80 ayat (2). Apabila
paksaan pemerintah tidak dilaksanakan maka dapat ditambah sanksi lain yaitu
8

dikenai

denda

atas

setiap

keterlambatan

pelaksanaan

sanksi

paksaan

pemerintah. Untuk pemulihan lingkungan diatur dalam Pasal 82 UU-PPLH.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara hukum administrasi dan
pidana. Hukum administrasi dapat diterapkan sebelum ada kejadian, atau
ketika sudah ada indikasi terjadinya pencemaran. Berbeda dengan hukum
pidana yang boleh diterapkan setelah ada kejadian (Setyo Rahardjo, 2007). Di
samping itu, dalam penegakan hukum administrasi juga masih bisa dilakukan
tawar – menawar, serta langkah penyelesaiannya juga bermacam – macam,
yang tidak ditemukan dalam hukum pidana. Ini berarti jika pelaku tindak
pencemaran lingkungan mendapat sanksi administrasi, misalnya denda atau
pembekuan, sementara sanksi administrasi menjadikan perusahaan dapat
melakukan perbaikan terhadap lingkungan yang rusak akibat perbuatannya.7
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PERDATA
Penyelesaian

sengketa

lingkungan

hidup

dapat

ditempuh

melalui

pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pemilihan secara suka rela para
pihak yang bersengketa. Ketentuan tersebut diatur dalam UU-PPLH Pasal 84
dan Pasal 85.
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Dalam

sengketa

lingkungan

bahwa

penyelesaian

sengketa

dapat

menggunakan jasa pihak ketiga netral, baik yang memiliki kewenangan
mengambil keputusan (Arbitrase) maupun yang tidak memiliki kewenangan
mengambil keputusan (Mediasi dan Konsiliasi), untuk membantu penyelesaian
sengketa

lingkungan.

Terdapat

rumusan

“dapat”

dan

“membantu”

penyelesaian konflik lingkungan di luar pengadilan tidak harus menggunakan
jasa pihak ketiga (netral), baik mediasi maupun arbitrasi, tetapi boleh
dilakukan sendiri oleh pihak bersengketa (negosiasi). Penggunaan jasa pihak
ketiga tergantung pada kebutuhan para pihak yang bersengketa. Pemerintah
dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (Pasal 86 UUPPLH).8
FORUM PSLH DI LUAR PENGADILAN
9
Mediasi, Negosiasi,
Arbitrasi, Fasilitasi

Tidak Melalui
LPJP2SLH

TIDAK MEMAKAI JASA
PIHAK KETIGA
PSLH DI LUAR
PENGADILAN
(Ps. 32-33)
MEMAKAI JASA PIHAK
KETIGA

NEGOSIASI, FASILITASI

MEDIASI (pihak ke 3
Berwenang ambil
keputusan)

Arbitrasi (Pihak ke 3
Berwenang ambil
keputusan)
Melalui LPJP2SLH
(PP 54/2000)

MEDIASI,
ARBRITASI

Gambar 1. Sumber: DIKLAT ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LH SERPONG, 17 –
20 NOPEMBER 2008

Penyelesain Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan
Pada umumnya tanggung gugat tersebut adalah penyelesaian melalui
pengadilan dengan cara mengajukan gugatan. Dalam hubungannya dengan
penyelesaian

tersebut,

maka

ketentuan

yang

lazim

dipakai

adalah

sebagaimana yang diatur dalam BW dengan mendalilkan Pasal 1365 BW.
Pengaturan mengenai ganti kerugian yang diatur oleh Pasal 1365 adalah
mengenai

tanggung

gugat

karena

perbuatan

melanggar

hukum

yang

membawa kerugian kepada orang lain, yang mewajibkan orang karena
salahannya menerbitkan kerugian itu untuk mengganti kerugian tersebut.
Tanggung gugat ini meniadakan syarat – syarat: sifat melanggar hukum
dan unsur kesalahan. Ia bertanggung gugat, meskipun di pihaknya sama sekali
tidak terdapat sifat melanggar hukum atau unsur kesalahan. Jenis tanggung
gugat ini tertuang dalam:
a. Pasal 1367 ayat (3) BW tentang tanggung gugat majikan
b. Pasal 1369 BW mengenai tanggung gugat pemilik gedung.9
Pembayaran ganti kerugian kepada penderita bukan berarti pemilik
kegiatan dan/atau usaha bebas dari kewajibannya untuk melakukan tindakan
10

hukum

tertentu

memulihkan

lingkungan

yang

telah

tercemar

oleh

perbuatannya itu. Kewajiban ini diatur dalam Pasal 87 UU-PPLH. Dari rumusan
Pasal 87 ayat (1) dapat diketahui bahwa “pencemaran, perusak lingkungan
hidup” adalah perbuatan melanggar hukum.10 Tindakan hukum itu dapat
berupa: memasang atau memperbaiki unit pengelolaan limbah sehingga
limbah

sesuai

dengan

baku

mutu

lingkungan

hidup

yang

ditentukan,

memulihkan fungsi lingkungan hidup, menghilangkan atau memusnahkan
penyebab timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Oleh
karena sengketa lingkungan adalah pencemaran, maka masyarakat yang
mengajukan klaim

harus dapat membuktikan apakah misalnya limbah air

tambang mencemari lahan perkebunan, debu mencemari tempat tinggal,
kebisingan sudah diatas ambang batas. Atas dasar Pasal 65 ayat (1) UU-PPLH
tersebut korban pencemaran dapat menuntut pihak pencemar atas ganti rugi.

7

Harry Agung Ariefianto, “Penerapan Sanksi Administrasi Pencemaran Lingkungan Hidup Akibat

Kegiatan
Industri (Studi Kasus Di CV. Slamet Widodo di Semarang)”, UNNES LAW JOURNAL, 04, 2015,
hlm.81.
8

Hadin Muhjad, Hukum Lingkungan Sebuah Pengantar untuk Konteks Indonesia, (Yogyakarta:

Genta Publishing,
2015), hlm. 209.
9

Ibid, hlm. 210

10

Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia,

(Jakarta: PT. SOFMEDIA,
2012), hlm. 150.

Dalam Pasal 88 UU-PPLH mengandung apa yang dinamakan dengan
strict liability, adalah asas tanggung jawab mutlak atau asas tanggung jawab
mutlak. Pasal 90 ayat (1) UU-PPLH mengatur hal yang baru bahwa Instansi
Pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang
lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan
tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran
dan/atau

kerusakan

lingkungan

lingkungan

hidup

yang

mengakibatkan

kerugian lingkungan hidup.
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN PIDANA
11

Suatu perbuatan yang diatur dalam hukum pidana lingkungan untuk
dapat dinyatakan sebagai tindak pidana selalu dikaitkan dengan pengaturan
lebih lanjut di dalam hukum administrasi, oleh karena itu dalam rumusan
tindak pidana lingkungan, suatu perbuatan dinyatakan sebagai suatu tindak
pidana

jika

dilakukan

bertentangan

dengan

persyaratan



persyaratan

administrasi (misalnya syarat pemberian izin maupun kewajiban – kewajiban
yang harus dilaksanakan). Sanksi pidana diatur dalam Pasal 97 sampai dengan
Pasal 120 UU-PPLH dan menurut Pasal 97 bahwa tindak pidana dalam undang –
undang ini merupakan kejahatan.
Dari ketentuan pidana yang terdapat dalam UU-PPLH, maka dapat
disimpulkan bahwa tindak pidana lingkungan hidup terdiri dari:
1.

Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara

ambien, bau mutu
air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
2. Perbuatan melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau
baku mutu
Gangguan.
3. Perbuatan

melepaskan

dan/atau

mengedarkan

produk

rekayasa

genetik ke media
lingkungan hidup.
4. Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun tanpa izin.
5. Kegiatan/usaha yang menghasilkan limbah bahan berbahaya dan
beracun (B3) yang
kemudian tidak dilakukan pengelolaan atas limbah B3 tersebut.
6. Perbuatan dumping limbah tanpa izin,
7. Perbuatan memasukkan limbah B3 ke dalam lingkungan wilayah
Indonesia,
8. Pembukaan lahan dengan cara membakar,
9.

Melakukan

usaha/kegiatan

yang

tidak

dilengkapi

dengan

izin

lingkungan.
Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan “Penegakan
hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang
mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir
12

setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemindanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah,
emisi, dan gangguan.” Penjelasan umum UU-PPLH tersebut, hanya memandang
hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana
formil tertentu, yaitu pemindanaan terhadap pelanggaran baku mutu air
limbah, emisi, dan gangguan, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU-PPLH.
Sementara untuk tindak pidana lainnya yang diatur selain Pasal 100 UU-PPLH,
tidak berlaku asas ultimum remedium, yang diberlakukan asas premium
remideum (mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum pidana).11
C. Penghambat Penegakan Hukum Lingkungan
Ada

beberapa

faktor

yang

menjadi

penghambat

penegakan

hukum

lingkungan di Indonesia, antara lain:12
1. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat terkait hukum lingkungan
Secara umum penegakan hukum lingkungan jauh lebih rumit daripada
delik lain, karena seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa hukum
lingkungan menempati titik silang berbagai pendapat hukum klasik. Proses
penegakan hukum administrative akan lain daripada proses penegakan hukum
perdata maupun pidana. Menurut Hamzah (2005:51) pada umumnya suatu
masalah dimulai

pada

satu titik, yaitu terjadinya

pelanggaran hukum

lingkungan. Dari titik perangkat ini dapat dimulai dari orang pribadi, anggota
masyarakat, korban penegakan hukum yang mengetahui langsung terjadinya
pelanggaran tanpa adanya laporan atau pengaduan. Tujuan tempat pelapor
kepada Bapedal, LSM, atau organisasi lingkungan hidup jika ingin memilih jalan
perdata terutama tuntutan perbuatan melanggar hukum dapat melakukan
gugatan sendiri kepada hakim perdata atas nama masyarakat. Jika mereka
kurang mampu memikul biaya perkara, berdasarkan pasal 25 Keppres No. 55
Tahun 1991 dapat meneruskan kepada jaksa yang akan mengguggat perdata
atas nama kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Di kejaksaan
terdapat bidang khusus untuk ini, yaitu Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata
Usaha Negara (Hamzah,2005:51).

Disamping itu, jika anggota masyarakat,

korban, LSM, Organisasi Lingkungan hidup, bahkan siapa saja dapat membuat
laporan pidana kepada polisi. Jika semua jalur akan ditempuh berhubung
pelanggaran telah demikian serius dan menyinggung semua dimensi, misalnya
13

melanggar syarat-syarat suatu izin menimbulkan kerugian finansial kepada
orang

atau

masyarakat,

lagipula

ia

seorang

residivis

bahkan

telah

menimbulkan korban luka atau mati, penegak hukum dan yang berkepentingan
melakukan tugasnya agar sanksi yang dijatuhkan tidak tumpang tindih
misalnya denda (berdasarkan sanksi administrative dan pidana) maka penegak
hukum perlu bermusyawarah sehingga tindakan yang dilakukan masing-masing
terkoordinasi dengan baik.
2. Kendala dalam pembuktian
Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia tidak hanya
memberikan dampak positif, tetapi juga dampak negatif (misalnya terjadinya
pencemaran). Produsen tidak memasukkan eksternalitas sebagai unsur biaya
dalam kegiatannya, sehingga pihak lain yang dirugikan. Masalah pencemaran
ini jika tidak ditanggulangi akan mengancam kelestarian fungsi lingkungan
hidup. Untuk dapat membuktikan bahwa suatu perbuatan telah menimbulkan
pencemaran perlu penyidikan, dan oenyidikan ini dilakukan oleh aparat POLRI.
Untuk itu disamping diperlukan kemampuan dan keuletan setiap petugas, juga
diperlukan suatu modal yang dapat digunakan untuk menentukan apakah
suatu perbuatan telah memenuhi unsur pelanggaran (pasal 22 UU Nomor 4
Tahun 1982).
3. Insfrastruktur penegak hukum
Kesulitan utama yang kerap dinyatakan oleh pemerintah atau aparat penegak
hukum

dalam

mengatasi

pembakaran

hutan

adalah

minimnya

aparat

pemantau, atau minimnya alat bukti. Dalam hal tertangkap tangan maka yang
dijerat adalah para operator yang notabene adalah pekerja harian. Perusahaan
selalu dapat lepas dari jeratan hukum. Negara harusnya memiliki power untuk
mencabut izin operasi atau konsesi atas perusahaan yang dikekuasannya
terdapat titik api. Hanya ada 2 kemungkinan jika terjadi kebakaran didalam
satu konsesi kehutanan atau perkebunan, yaitu mereka sengaja membakar
atau mereka tidak serius menjaga kawasannya agar bebas dari kebakaran. Jika
ada

kekuasaan

pemerintah

seperti

itu,

maka

dapat

dipastikan

angka

pembakaran hutan akan turun secara drastis . untuk itu diperlukan suatu
aturan perpu atau peraturan pemerintah, karena aturan hukum yang ada saat
ini belumlah memadai.
4. Budaya Hukum yang masih buruk
14

Pada beberapa kasus, kejahatan lingkungan terjadi karena masih kentalnya
budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme antara perusahaan-perusahaan dengan
pemerintah maupun DPR. Lobby-lobby illegal masih sering terjadi. Memang
bukanlah pekerjaan yang mudah untuk memberantas praktek KKN yang kerap
kali terjadi, namun hal tersebut bukanlah tidak mungkin.
11

Arga Pramusti, “Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Undang – Undang Yang Bersifat

Administrasi Dalam
Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup”.
12

Sulistyono, “Pengaruh Izin Lingkungan Sebagai Upaya Preventif Terhadap Perlindungan Dan

Pengelolaan
Lingkungan Hidup Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan Hidup”, Forum Teknologi, 06, hlm.
77-78.

BAB III
KESIMPULAN
Sistem perizinan lingkungan hidup dalam Undang – Undang Lingkungan
Hidup di Indonesia yaitu Izin Merupakan alat pemerintah yang bersifat yuridis
prefentif, dan digunakan sebagai instrument administrasi untuk mengendalikan
perilaku masyarakat. Oleh Karena itu, sifat suatu ijin adalah preventif karena
dalam instrument izin, tidak bisa dilepaskan dengan pemerintah

dan

berkewajiban yang harus ditaati oleh pemegang izin. Selain itu fungsi izin
adalah represif. Izin dapat berfungsi sebagai instrumen untuk menanggulangi
masalah lingkungan disebabkan aktivitas manusia yang melekat dengan dasar
perijinan. Artinya, suatu usaha yang memperoleh izin atas pengelolaan
lingkungan, dibebani kewajiban untukmelakukan pennaggulangan pencemaran
atau perusakan lingkungan yang timbul dari aktivitas usahanya. Izin lingkungan
dengan izin usaha dan/atau kegiatan mempunyai keterkaitan yang erat. Pasal
40

UU-PPLH

mendapatkan

menyatakan,
izin

usaha

izin

atau

lingkungan
kegiatan

merupakan

pengelolaan

syarat

untuk

lingkungan

hidup.

Kemudian untuk mendapatkan izin lungkungan, pelaku usaha atau kegiatan
diwajibkan membuat Amdal atau UKL-UPL. Dalam hal izin lingkungan di cabut,
izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan
mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
memperbarui izin lingkungan.
15

Penegakan hukum atas pelanggaran hukum lingkungan di Indonesia yaitu
Penegakan

hukum

untuk

masing



masing

instrumen

berbeda,

yaitu

(1)instrumen administratif oleh pejabat administratif atau pemerintahan
penegakan hukum lingkungan administratif dengan cara teguran tertulis,
paksaan

pemerintah,

pembekuan

izin

lingkungan

dan

pencabutan

izin

lingkungan, (2)perdata oleh pihak yang dirugikan sendiri, baik secara individual
maupun secara kelompok bahkan masyarakat atau negara sendiri atas nama
kepentingan umum (algemeen belang; public interest) melalui instrument ini
penegakan hukumnya yaitu penyelesaiannya melalui pengadilan dan diluar
pengadilan. Penyelesaian diluar pengadilan dapat ditempuh dengan pihak
ketiga atau melalui mediasi, pihak ketiga dalam hal ini yaitu baik yang memiliki
kewenangan mengambil keputusan dan yang tidak memiliki kewenangan
mengambil keputusan. tetapi jika penyelasaian diluar pengadilan ini dapat
diselesaikan sendiri oleh pihak yang terkait tanpa bantuan pihak ketiga, hal ini
sesuai kebutuhan. Penyelesaian melalui pengadilan yaitu dipakai sebagaimana
yang diatur didalam BW dengan mendalilkan pasal 1365 BW. Pengaturan
mengenai ganti rugi yang diatur dalam pasal 1365 BW adalah mengenai
tanggung gugat karena perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
bagi orang lain, yang mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian
untuk mengganti kerugian itu. (3)Adapun hukum pidana yang penuntutannya
dimonopoli oleh negara yang alatnya adalah jaksa sebagai personifikasi
negara.nksi pidana diatur dalam pasal 97 sampai dengan pasal 120 UU-PPLH.
And menurut pasal 97 tersebut termasuk kejahatan. Suatu perbuatan dalam
hukum pidana lingkungan untuk dapat dinyatakan sebagai tindak pidana selalu
dikaitkan dengan pengaturan lebih lanjut didalam hukum administrasi, oleh
karena ini dalam rumusan hukum lingkungan suatu tindak pidana dilakukan jika
bertentangan dengan persyaratan-persyaratan administrasi. sTujuan tempat
melapor kepada Bapedal Kantor Lingkungan Hidup juga bermacam – macam
karena dapat diketahui apakah benar terjadi pencemaran atau perusakan
lingkungan. Dari kantor LH ini dapat dipilih proses selanjutnya. Kalau masih
ragu, tentang ketentuan mana yang dilanggar, apakah ketentuan administrasi
(pelanggaran

perizinan),

apakah

bersifat

perdata

(misalnya

perbuatan

melanggar hukum) ataukah perlu dilanjutkan ke proses hukm pidana misalnya
jika pelanggar adalah residivis.
16

Penghambat

penegakan

hukum

lingkungan,

ada

beberapa

faktor

penghambat penegakan hukum lingkungan. (1) kurangnya sosialisasi kepada
masyarakat terkait hukum lingkungan. (2) kendala dalam pembuktian. (3)
kendala penegak hukum. (4) budaya hukum yang amsih buruk.

DAFTAR PUSTAKA
Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi. 2008. Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika.
Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam.
Muhjad, Hadin. 2015. Hukum Lingkungan Sebuah Pengantar untuk Konteks
Indonesia.
Yogyakarta: Genta Publishing.
Arifin, Syamsul. 2012 Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
di Indonesia.
Jakarta: PT. SOFMEDIA.

17

Kartono. 2009. “Penegakan Hukum Lingkungan Administratif Dalam Undang –
Undang
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Dinamika
Hukum,
Volume 09, Nomor 03, 254.
Sulistyono. “Pengaruh Izin Lingkungan Sebagai Upaya Preventif Terhadap
Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan
Hidup”.
Forum Teknologi, Volume 06, Nomor 04, 74.
Pramusti, Arga. “Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Undang – Undang Yang
Bersifat
Administrasi Dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. 7.
Lowry, John and Rod Edmunds. 2000. “Environmental Protection and the
Common Law”,
Oxford and Portland, Oregon: Hart Publishing, 243.
Ariefianto, Harry Agung. 2015. “Penerapan Sanksi Administrasi Pencemaran
Lingkungan
Hidup Akibat Kegiatan Industri (Studi Kasus Di CV. Slamet Widodo di
Semarang)”,
UNNES LAW JOURNAL, Volme 04, Nomor 01, 81.
Undang – Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang – Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan.
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa
Pelayanan
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan.

18