A. Pendahuluan - KORELASI BAHASA DAN ESTETIKA SASTRA: DOMINASI NEGARA TERHADAP KARYA-KARYA REALISME SEBAGAI BENTUK LEGITIMASI KEKUASAAN PADA MASA ORDE BARU DI INDONESIA

  

“KORELASI BAHASA DAN ESTETIKA SASTRA: DOMINASI

NEGARA TERHADAP KARYA-KARYA REALISME SEBAGAI

BENTUK LEGITIMASI KEKUASAAN PADA MASA ORDE BARU DI

  

INDONESIA”

Hary Sulistyo

  

Mahasiswa S2 Ilmu Sastra

Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Gadjah Mada

E-mail: sulistyohary@yahoo.com

  

Abstrak

Permasalahan bahasa yang menjadi media kritik dan isu-isu kritis

dalam dunia sastra mendapatkan lawan yang tangguh pada era Orde Baru.

  

Sastrawan yang “membahasakan” kritik dan ideologi berbeda dengan faham

negara, banyak yang berujung jeruji besi. Salah satu tokoh terkenal pada

waktu itu adalah Pramoedya Ananta Toer yang dianggap sebagai tokoh

Lekra, yaitu lembaga kebudayaan PKI yang sering mewacakanan karya

bergaya realisme. Selain itu, pengarang yang menarik untuk dibahas adalah

Wiji Thukul. Melihat pemikiran yang ia tuangkan di dalam karya-karyanya, Wiji

Thukul memang sangat frontal. Pemilihan bahasa yang lugas dan mengandung

pesan perlawanan terhadap kekuasaan, tentu tidak disukai oleh rezim Orde

Baru yang berkuasa saat itu. Salah satu puisi Wiji Thukul yang mengkritisi

pemerintahan adalah puisi berjudul “Tentang Sebuah Gerakan” (1989).

Pemilihan judul ini tentu sudah menjadi persoalan ketika rezim pada waktu itu

berkuasa. Melihat karakteristik karya-karyanya yang kritis dan penuh dengan

nuansa perlawanan, menjadi masuk akal apabila hilangnya Wiji Thukul sering

dihubungkan dengan rezim Orde Baru. Dominasi negara terhadap Wiji Thukul

yang vokal melalui puisi-puisi dan pergerakan realisme sosialisnya yang

mengangkat persoalan kemiskinan di kota Solo, merupakan catatan sejarah

yang penting bagi Indonesia. Dalam sudut pandang kenegaraan, akan selalu

diingat bahwa negara ini tidak akan pernah segan “memakan” anak-anaknya

atas nama politik dan legitimasi kekuasaan.

  Kata Kunci: Wiji Thukul, realisme sosialis, dan dominasi Orde Baru.

A. Pendahuluan

  pesan yang ada di dalam karya sastra 1 melalui proses komunikasi .

  Bahasa adalah media, tidak terkecuali dalam dunia sastra. Seperti Kurun waktu tahun 1911 sampai halnya, Umberto Ecco mendefinisikan pertengahan tahun 1950-an, muncul bahwa karya sastra adalah seperangkat sebuah lembaga kesusastraan yang 2 tanda bermediakan bahasa. Relevan bernama Balai Pustaka di Indonesia . tentunya dengan persoalan ini apabila Lembaga bentukan Belanda yang secara bahasa dianggap sebagai saluran tidak langsung berfungsi mengontrol komunikasi yang difungsikan untuk

  1 Lihat penjelasan Rien T. Segers terjemahan Sum- into A Sayuti, tahun 2000.

  menyampaikan tanda yang akan 2 Persoalan ini dapat dilihat pada http://remajasampit. dipahami oleh pembaca sebagai sebuah

  blogspot.co.id/2012/12/sejarah-balai-pustaka.html/ ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123 diakses pada 4/11/2015/21.37 .

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123

  penerbitan dan perkembangan kesusastraan di Indonesia. Politisasi sastra yang dilakukan oleh Belanda melalui Balai Pustaka relevan karena pada waktu itu, dunia sastra merupakan hiburan sekaligus media yang paling masuk akal, baik dalam penyebaran ideologi maupun propaganda, mengingat teknologi belum maju, seperti masa kini.

  Meski sensor yang dikemukakan oleh Balai Pustaka terkait Nota Ringkes lebih menyoroti unsur-unsur pornografi, SARA, dan penyebar kebencian atau permusuhan, tetapi definisi bahasa yang digunakan juga merupakan sebuah bentuk standar politik. Adanya istilah Melayu rendah yang dianggap “tidak memiliki” nilai sastrawi sehingga banyak karya yang bermediakan bahasa tersebut ditolak oleh redaksi. Sejatinya, penggunaan standar tersebut juga merupakan status quo . Menghegemoni bahwa karya yang baik tidak mengandung unsur porno, tidak “kritis”, dan tidak melawan (Belanda). Satu sisi, kesusastraan picisan pada waktu itu banyak mengangkat persoalan nasionalisme dan semangat kebangkitan sehingga cukup menghawatirkan.

  Setelah Indonesia merdeka, permasalahan-permasalahan bahasa yang menjadi media kritik dan isu- isu kritis dalam dunia sastra kembali mendapatkan lawan yang tangguh pada era Orde Baru. Tidak tanggung-tanggung, para sastrawan yang “membahasakan” kritik dan ideologi yang berbeda dengan paham negara di dalam karya-karyanya, banyak yang berujung jeruji besi. Salah satu tokoh terkenal pada waktu itu adalah Pramoedya Ananta Toer yang dianggap sebagai tokoh Lekra, yaitu lembaga kebudayaan PKI yang sering mewacakanan karya bergaya realisme.

  Alexander Supartono dalam skripsi berjudul “Lekra Vs Manikebu Perdebatan

  Kebudayaan Indonesia 1950-1965”,

  memaparkan persoalan identitas yang termuat dalam karya sastra, sebagai cerminan konflik antara kelompok Lekra dan Manikebu pada waktu itu.

  “Gejolak yang terkenal dengan “Peristiwa Manikebu” ini, kemudian diartikan bermacam-macam, sesuai dengan kepentingan masing- masing interpertator, dan terutama sesuai dengan tingkat kesempatan (atau kemampuan) mengakses bahan sejarah sezaman. Ada yang mengartikan pergolakan tersebut sebagai perdebatan antara penganut realisme sosialis dan pendukung humanisme universal, pertarungan antara Lekra dan kubu Manifes Kebudayaan. Lainnya mengatakan sebagai penindasan Lekra yang merupakan lembaga kebudayaan dominan pada masa itu, terhadap paham-paham lain, terutama kelompok Manikebu yang secara frontal menghadang. Ada juga yang menyatakan bahwa pergolakan itu tidak lain dari sebuah pertarungan politik yang mengambil wilayah kebudayaan, (2000, 1-2)”.

  Melalui kutipan di atas, persoalan ideologi kelompok sudah masuk ke dalam dunia kebudayaan sehingga menjadi persoalan yang cukup beralasan apabila dalam tulisan ini, karya sastra yang tentunya “hanya” bermediakan bahasa, memiliki peran dan fungsi secara politis. Karakteristik antara karya bergaya realisme dan humanisme universal sebagaimana pada kutipan di atas, menjadi parameter bahwa karya sastra mencerminkan dirinya dan bagaimana ia akan dinilai. Secara kasat mata, wacana-wacana realisme sosialis tentu digambarkan dengan sistem bahasa yang ringan dan vulgar. Secara konten atau isi, wacana-wacana ini tentu memiliki muatan

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123

  kritik yang ingin disampaikan pengarang dengan media bahasa sebagai bentuk sikap politis.

  Pasca persoalan Balai Pustaka dan Polemik Lekra Vs Manikebu sebagai prahara konflik kebudayaan pada masa akhir pemerintahan Orde Lama, persoalan belum final dalam hal persaingan ideologi antarkelompok pada ranah kebudayaan, khususnya sastra Indonesia. Pasca Orde Lama, yaitu di era Orde Baru, persaingan ideologi, dan bentuk-bentuk dominasi yang dilakukan oleh pemerintah masih kerap muncul dalam kesusastraan Indonesia. Politik selalu mempermasalahkan “estetika” tidak serta merta dari keapikan cerita itu secara otonom, tetapi lebih pada kehidupan yang dibahasakan di dalam karya sastra. Hal itu sebagaimana konflik yang terjadi antara STA dan Armijn Pane pada era Pujangga Baru 3 .

B. Metode Penelitian

  Jenis penelitan ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang menggambarkan data dengan kata-kata atau kalimat yang dipisahkan menurut kategori untuk memperoleh simpulan (Moleong, 2008). Metode ini digunakan karena data yang dikumpulkan berupa kata dan kalimat.

  Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dari karya- karya sastra Wiji Thukul. Adapun Metode pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik pustaka dan teknik simak dan catat. Dalam penelitian ini, proses analisis data bersifat interaktif (interactive

  model of analysis),

  yaitu analisis data dengan menggunakan langkah-langkah reduksi data, sajian data, dan verivikasi. Dengan demikian, dalam kajian pemikiran Gramsci, perlu dilihat mengenai historis perebutan kekuasaan dan kelompok mana yang akhirnya memenangkan 3 Lihat Foulcher, Keith tahun 1991. momentum untuk berkuasa, terkait momentum politik yang sedang berkuasa pada suatu negara seperti tingkatan hegemoni masyarakat terhadap aturan negara dan bagaimana bentuk-bentuk penegakan kekuasaan negara dalam mengatur rakyatnya melalui aparatus- aparatus yang ada apabila mengalami perlawanan sehingga memunculkan bentuk dominasi (Suriasumantri, 1978: ;4).

  Jadi, penelitian ini akan melihat sejauh mana hubungan antara karya sastra dan ideologi atau budaya masyarakat pada suatu negara, seperti halnya pandangan Marx yang mengatakan bahwa karya sastra merupakan bentuk refleksi atau struktur dari ideologi kebudayaan pada suatu masa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwasanya karya sastra dianggap sebagai alat untuk melihat kecenderungan refleksi kelas yang dicerminkan oleh pengarang di dalam karyanya. Oleh karena itu, dampak penerbitan, karya sastra, dan sikap pengarang di dalam karyanya selalu dimonitoring oleh negara karena menjadi parameter tentang kondisi pemerintahan di mata masyarakat sebagai upaya untuk meminimalisir munculnya ideologi yang dianggap membahayakan negara, yaitu kelompok pemerintahan yang berkuasa. Oleh karena itu, harus dilihat pula secara kontekstual keterkaitan momentum politik suatu pemerintahan dengan tingkatan hegemoninya dan dalam bentuk seperti apa pemerintahan tersebut melakukan tindakan-tindakan hukum untuk melanggengkan kekuasaannya dengan aparatus-aparatus yang dimiliki.

  C. Pembahasan

  1. Narasi Realisme di dalam Karya Sastra Indonesia .

  Seperti wabah, pemerintah selalu membenci wacana-wacana sastra dengan gaya realisme. Ada korelasi logis

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123

  tentunya terkait dengan gaya realisme sering kali memaparkan persoalan yang ada dalam masyarakat sehingga menjadi sindiran untuk pemerintah karena besifat resisten. Di luar itu, karakteristik bahasa dalam karya model-model tersebut menggunakan bahasa yang lugas dan kritis sehingga menjadi momok untuk pemerintah yang berkuasa.

  Banyak karya sastra dengan model realisme berdampak pada konsekuensi- konsekuensi yang harus diterima oleh pengarang. Persoalan mendasar tidak berada pada ideologi dari seorang pengarang, tetapi lebih pada cara ideologi 4 itu dibahasakan dalam sebuah karya sastra. Sebagaimana penulis kemukakan pada bagian awal, bahasa adalah media. Di satu sisi, baik buruknya isi sering kali dikaitkan dengan pembahasaan isi yang ada di dalam karya itu. Artinya, pemilihan diksi menjadi penting dan terkadang cukup menohok terutama bagi pemerintah Indonesia yang sering kali anti terhadap kritik.

  Salah satu pengarang yang menarik untuk dibahas terkait judul dan permasalahan yang diangkat melalui tulisan ini adalah Wiji Thukul. Karya- karya pengarang yang “hilang” entah di mana keberadaannya ini memiliki relevansi yang kuat dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang sering kali “melenyapkan” para aktivis atau orang- orang yang berseberangan secara politis. Hal itu terjadi sebagai cerminan perlawanan oleh kelompok tertentu terhadap hegemoni yang dilakukan oleh pemerintah. Wiji Thukul merupakan perwakilan dan refleksi dari endapan ideologi yang tidak dapat dikuasai oleh negara ketika mereka memenangkan momentum.

  Di luar puisi-puisinya yang cukup kritis dan tampak jujur mengangkat

  persoalan sosial dan kemiskinan yang ada di sekitarnya, Wiji Thukul bisa dibilang sebagai intelektual organik bagi “wong cilik” di kota Solo. Selain melalui puisi-puisinya, Wiji Thukul sering kali mengkoordinasi demonstrasi dan puncaknya adalah pembacaan puisinya. Demonstrasi menyuarakan kemiskinan terutama terkait kebijakan pabrik yang sering merugikan buruhnya.

  Melihat pemikiran yang ia tuangkan di dalam karya-karyanya, kritik-kritik Wiji Thukul memang sangat frontal. Pemilihan bahasa yang lugas dan mengandung pesan perlawanan terhadap kekuasaan, tentu tidak disukai oleh rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu.

  Salah satu puisi Wiji Thukul yang dalam pemilihan judulnya sudah terlihat mengkritisi pemerintahan adalah puisi berjudul Tentang Sebuah Gerakan yang ia tulis pada tahun 1989. Pemilihan judul ini tentunya sudah menjadi persoalan ketika rezim Orde Baru berkuasa. Paul Tickell dalam seminarnya 5 menjelaskan mengenai penggunaan bahasa dalam setiap negara, selalu memiliki indikasi yang berbeda-berbeda, baik sesuai dengan konsep budaya maupun politik pada era-nya. Apabila dikaitkan dengan judul puisi Wiji Thukul di atas, patut diduga puisi ini mencerminkan sikap perlawanan terhadap rezim yang berkuasa, yaitu pemerintahan Orde Baru dengan penekanan diksi “sebuah gerakan”. Hal itu diperkuat dengan isi puisi berikut ini.

  “tadinya aku pengin bilang aku butuh rumah tapi lantas kuganti dengan kalimat setiap orang butuh tanah ingat: setiap orang!.”

  Melalui kutipan bait pertama 5 Diseminarkan oleh Paul Tickell di FIB UGM pada bulan September 2015.

4 Lihat Ritzer, George tahun 2013, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian, halaman 70-72.

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123

  puisi di atas, Wiji Thukul melakukan pembahasaan atas maksudnya yang ditulis menggunakan penulisan bergaya realisme. Yang menjadi menarik adalah, selain ia mengkritisi pemerintah dalam hal ketidakmerataan ekonomi sehingga menyatakan “butuh rumah”, tentu permasalahan ini satu sisi menggambarkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan fungsinya untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap rakyat. Kemiskinan terus berkembang dan ketimpangan sosial terjadi tentunya sehingga pada baris 5 dan 6, semacam menyuarakan permasalahan yang dialami orang-orang di sekitarnya. Menyuarakan bahwa setiap warga negara membutuhkan rumah ataupun tanah.

  Orang-orang yang dimaksud adalah masyarakat seperti dirinya. Masyarakat yang miskin, tidak memiliki rumah atau tanah sehingga dengan kesadarannya, ketika pada awalnya ia hanya mengatakan bahwa dirinya saja yang membutuhkan rumah, Wiji Thukul semacam tersadar bahwa tidak hanya dirinya yang membutuhkan rumah. Dalam hal ini, secara verbal Wiji Thukul memaparkan bahwa secara umum setiap orang memang ingin memiliki rumah. Namun, hal yang perlu dicermati adalah setiap orang yang dimaksud bisa diartikan dirinya yang mewakili kelasnya, yaitu orang-orang bawah sebagaimana ia banyak bergaul dan tinggal dengan mereka.

  Pada bait ke dua, konsepsi setiap orang yang Wiji Thukul maksud semakin jelas. Semakin mengerucut dan mengarah pada orang-orang yang senasib dengan dirinya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan puisinya pada bait kedua seperti berikut ini.

  “aku berpikir tentang sebuah gerakan tapi mana mungkin aku nuntut sendiri?”.

  Pemikiranya tentang “sebuah gerakan” mengacu pada keinginannya akan perubahan. Namun lebih dari itu, perubahan tidak akan muncul tanpa ada wacana kritis yang dapat dijadikan sebagai bentuk tuntutan. Pemikiran tentang sebuah gerakan tentu berkonotasi mengajak orang menyuarakan ketidakadilan sebagaimana ia rasakan. Hal itu dapat dilihat dari dua baris terakhir yang mempertanyakan “mana mungkin hal itu dapat ia lakukan sendirian?”. Dengan demikian, Wiji Thukul mengajak orang-orang mendukungnya melakukan tuntutan akan adanya perubahan.

  Sebagai orang dengan kultur Jawa dan tinggal di Solo, kata-kata itu semacam sindiran yang bersisi ajakan kepada masyarakat untuk berpikir seperti dirinya. Melakukan sebuah gerakan yang membutuhkan dukungan orang-orang di sekitarnya terutama yang senasib dengan dirinya.

  Pada bait selanjutnya, kritik semakin terlihat atas persoalan ekonomi yang dihadapi oleh orang sepertinya atau masyarakat kelas bawah. Ketika pada bait pertama ia menyoalkan mengenai rumah dan tanah, pada bagian ini ia menyoalkan hal yang lebih mendasar, yaitu terkait

  pangan dan sandang

  . Ia semacam menyindir pemikiran masyarakat yang selalu sabar dan pasrah dalam menghadapi kehidupan. Hal itu seperti yang ada dalam kutipan di bawah ini.

  “aku bukan orang suci yang bisa hidup dengan sekepal nasi dan air sekendi aku butuh celana dan baju untuk menutup kemaluanku”.

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123

  Melalui kutipan di atas, Wiji Thukul membandingkan dirinya dengan konsepsi orang sabar dalam perspektif masyarakat Jawa. Sebagaimana orang Jawa terutama golongan bawah selalu atau bahkan harus berpikir “nrima ing pandum” yang kurang lebih artinya menerima akan takdir atau kodrat. Dalam konsepsi Gramsci, hal itu merupakan bentuk hegemoni 6 , di mana masyarakat dengan sadar menerima keadaan yang terus direproduksi dengan istilah konsensus.

  Pada bagian ini, Wiji Thukul tampak menunjukkan ideologinya terkait konsepsi materialisme historis. Ia mengkontestasikan pemikirannya dengan pemikiran-pemikiran orang Jawa atau beragama, dengan pertentangan antara Materialisme vs Imaterialisme. Materialisme yang mengedepankan bahwa pemenuhan kebutuhan material adalah persoalan pertama sebelum bisa berpikir untuk yang lain dan hal itu terjadi karena kondisi-kondisi masa lalu yang terus direproduksi terutama dalam persoalan kelas. Persoalan kelas yang dimaksud adalah dengan adanya dikotomi adanya kaum bawah dalam mayarakat Jawa khususnya di Kota Solo yang tentu menjadi oposisi biner bagi golongan atas, baik kaum borjuis maupun kaum ningrat di Kota Solo. Sedangkan imaterialisme baik untuk orang Jawa atau golongan taat beragama pada umumnya adalah konsepsi meyakini bahwa hal yang dijalani manusia adalah konsepsi kodrat atau takdir, di mana di luar sana, di luar yang materi ada kekuatan-kekuatan yang menstrukturkan kehidupan.

  Orang suci yang dimaksud oleh Wiji Thukul tentu terkait dengan orang sabar dan legowo

  . “Sekepal nasi” menunjukan makna bahwa orang seperti dirinya atau orang yang senasib dengan dirinya, 6 Hegemoni menurut Gramsci lebih pada kesadaran

  masyarakat untuk mereproduksi wacana yang sudah ada.

  hanya memiliki kemampuan untuk mendapatkan sekepal nasi, pun minum air dari kendi yang jauh dari manisnya teh dan hangatnya kopi. Air dalam kendi juga mencerminkan kesederhanaan, bahkan kemelaratan karena di dalamnya hanya berisi air putih yang hambar.

  Baris ke 4 dan 5 dalam bait di atas, mempertegas bahwa kemiskinan sebenarnya adalah aib yang seharusnya “diatasi” bersama-sama. Membeli celana untuk menutupi kemaluan bisa diartikan bahwa orang yang dicerminkan oleh Wiji Thukul di dalam puisinya adalah orang yang benar-benar hidup dalam kekurangan. Di sisi lain, negara kembali gagal memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Lebih dari itu, posisi negara melalui penceritaan Wiji Thukul tentang rumah, sekepal nasi, air kendi, dan celana untuk menutupi kemaluan, digambarkan telah gagal untuk memenuhi harkat martabat masyarakat yang paling mendasar sebagai manusia.

  Kutipan bait terakhir, yaitu bait ke empat, merupakan konklusi dari puisinya yang berjudul Tentang Sebuah Gerakan. Bait ini merupakan inti atau maksud utama yang ingin disampaikan Wiji Thukul di dalam puisinya. Hal itu seperti yang ada dalam kutipan di bawah ini.

  “aku berpikir tentang gerakan tapi mana mungkin kalau diam?”.

  Wiji Thukul dalam bait terakhir puisinya, mencoba mempertentangkan antara ide dan materi. Ide adalah “berpikir tentang gerakan”, sedangkan materi adalah kontradiksi yang dipertanyakan, yaitu “kalau diam adakah perubahan?”. Artinya, melalui puisinya Wiji Thukul menghendaki dan menyadari bahwa perubahan hanya akan terjadi melalui sebuah pergerakan menyeluruh. Tidak hanya melalui pemikiran atau

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123

  pembicaraan, tetapi dengan bentuk barisan yang dirapatkan, meminta keadilan kepada pemerintah. Hal ini seperti pemikiran Antonio Gramsci tentang keberhasilan revolusi Rusia karena gerakan menyeluruh dari rakyat 7 . Melalui salah satu puisinya, jelas bahwa Wiji Thukul mengharapkan adanya perubahan atas persoalan kemiskinan dan ketidakadilan yang muncul karena ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan pemerataan terhadap rakyat, yang ia contohkan dengan orang seperti dirinya atau orang yang berada di sekitarnya. Puisi ini satu sisi menjabarkan mengenai kondisi yang ada di sekitarnya, sisi lainnya merupakan himbauan terutama ingin membuka kesadaran masyarakat untuk melakukan perubahan secara nyata untuk menuntut keadilan sosial.

  Hilangnya Wiji Thukul adalah persoalan. Memunculkan dua persoalan yang harus dicermati. Pertama, adanya kecurigaan bahwa ia dihilangkan oleh Orde Baru sehingga peristiwa ini menjadi preseden buruk bagi Indonesia dalam persoalan kemanusiaan terutama konsep-konsep dominasi negara atas nama kekuasaan memang dilakukan demi legitimasi kekuasaan 8

  . Kedua, apabila hal itu memang terjadi, preseden tersebut menjadi nilai lebih bagi kesusastraan Indonesia dan dunia tentunya karena kembali terulang, bahwa karya sastra yang “hanya” bermediakan bahasa memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan bernegara. Sebagaimana 7 Lihat Patria, Nezar dan Andi Arif tahun 2009.

  8 Menurut Antoino Gramsci, dominasi negara terha dap lawan politik atau rakyatnya terjadi apabila hegemoni gagal tercapai sebagai upaya untuk mengkontrol legitimasi negara yang sedang berkuasa.

  penulis-penulis Lekra tentunya yang dianggap berbahaya dan banyak yang dipenjara.

  Keterkaitan korelasi antara karya sastra dan dunia politik memang sudah ada sebelumnya. Max Havelaar karya Multatuli nama pena Douwes Decker akhirnya mempengaruhi kebijakan tanam paksa di Hindia Belanda setelah karya itu diterbitkan karena memicu protes besar-besaran di Belanda. Kesadaran munculnya nasionalisme di India yang muncul setelah terbitnya karya E.M. Foster yang berjudul A Passage to India. Lebih dari itu, Lu Xun, pengarang Cina yang pada awalnya kuliah di jurusan kedokteran bedah di Jepang, memilih pindah ke jurusan sastra karena ia menyadari bahwa masyarakat China yang sakit bukan badannya, melainkan jiwanya 9 . Kembali pada konteks hilangnya Wiji Thukul yang kini tidak diketahui rimbanya. Melihat karakteristik karya-karyanya yang kritis dan penuh dengan nuansa perlawanan, menjadi masuk akal apabila hilangnya Wiji Thukul memang karena dihilangkan oleh rezim yang berkuasa yaitu Orde Baru. Setelah peristiwa memanas dan dirinya dijadikan target operasi, ia berpindah-pindah tempat baik di Jogja maupun di Kalimantan.

2. Dominasi Negara: Konsekuensi terhadap Penulisan Realitas Sosial pada Masa Orde Baru.

  Peristiwa di Kalimantan ketika ia melarikan diri, terekam dalam sebuah puisinya yang berjudul Malam

  di Kota Katulistiwa

  (1996). Puisi itu menggambarkan dirinya sebagai orang baru di tempat tersebut. Menceritakan kekagumannya terhadap daerah yang menurutnya sangat kompleks dan jauh dari pemberitaan media-media di Indonesia yang waktu itu hanya mencitrakan hal-hal yang baik. Dalam puisi tersebut Wiji Thukul menceritakan mengenai kehidupan dunia malam yang 9 Lihat Susanto, Dwi. Pengantar Teori Kesusastraan tahun 2012.

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123

  harus berbagi tempat dengan pasar tradisional di keesokan harinya.

  Selain puisi-puisinya yang realis dan aktif dalam organisasi buruh terutama mengkoordinasi demonstrasi, Wiji Thukul akhirnya bergabung dengan sebuah partai politik, yaitu Partai Rakyat Demokratik 10 . Wiji Thukul dengan membaca puisi-puisinya yang realis dan kritis, seakan menjadi senjata bagi partai tersebut untuk melawan rezim yang berkuasa pada waktu itu karena partai tersebut memang berhaluan “kiri”, dan menentang rezim penguasa. Secara ideologi 11 , Wiji Thukul sudah berada pada fase realisme sosialis, yaitu menyuarakan ideologi realismenya melalui pergerakan politik yang mengangkat wacana sosialis. Hal inilah yang tampaknya menjadi puncak dominasi negara terhadap dirinya sehingga ia sebagai intelektual organik yang lahir dari “rahim” masyarakat, yaitu masyarakat kelas bawah di kota Solo harus dihilangkan.

  Peristiwa di atas seperti narasi tentang tokoh Srintil dalam novel

  Ronggeng Dukuh Paruk 12

  yang dianggap anggota Lekra karena sering pentas untuk kampanye PKI. Srintil yang terkenal sebagai ikon ronggeng pada masanya dimanfaatkan oleh partai untuk menarik masa. Ketidakmujuran Srintil hadir karena keluguannya sehingga ia disangkutpautkan atas politik praktis dan dipenjara. Di luar itu, Ahmad Tohari sebagai pengarang, sempat diamankan selama dua minggu oleh aparatus negara, yaitu kepolisian/militer karena dianggap pro PKI dan telah melakukan perlawanan terhadap negara melalui narasinya 13 .

  10 Lihat pada http://bukuygkubaca.blogspot. co.id/2013/05/para-jenderal-marah-marah-wiji- thukul.html

  11 Ideologi dalam karya sastra oleh Terry Eagleton dengan judul Marxisme dan Kritik Sastra terbit tahun 2002.

  12 Trilogi novel ini terbit pada tahun 1986 dengan judul Ronggeng Dukuh Paruk .

  13 Lihat pada http://snb.or.id/article/27/ahmad-to

  Kondisi Wiji Thukul memang berbeda tentunya dengan Srintil dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Ketika Ahmad Tohari di dalam novelnya menggambarkan Srintil sebagai sosok yang tidak memahami akan dampak aktivitas meronggengnya untuk kampanye partai pada waktu itu, Wiji Thukul melalui pembacaan puisi dalam kampanye PRD, tentu dengan penuh kesadaran. PRD menjadi kendaraan untuk menyuarakan aspirasinya yang selama ini kurang memiliki afiliasi. Dalam kampanye-kampanye tersebut, Wiji Thukul yang selama ini seperti “bekerja” sendirian, telah menemukan partner yang tepat, yaitu partai dengan visi-misi seperti dirinya. Visi-misi itu terlihat dari pembahasaan ideologinya yang ia kemas di dalam puisi-puisinya, terkait wacana menuntut keadlian dan perlawanan terhadap negara.

  Wiji Thukul tidak hanya menuliskan puisi bermediakan bahasa di dalam karyanya, Akan tetapi karakteristik bahasa di dalam puisi-puisinya sudah mencerminkan nilai atau sikap terhadap definisi estetika sastra menurut versinya. Pusi-puisi Wiji Thukul memberikan kesan bahwa keindahan bahasa dalam sebuah karya sastra, khususnya puisi terletak pada pengambaran realitas kehidupan yang mengalami ketidakadilan atas negara dalam melindungi rakyatnya. Hal itulah yang dimaknai sebagai simbol perlawanan tentunya oleh rezim yang berkuasa, yaitu Orde Baru sehingga melakukan dominasi terhadap dirinya.

  Posisi Wiji Thukul dalam dunia kesusastraan di Indonesia menarik dicermati. Namanya dalam genre puisi memang tidak sebesar W.S. Rendra, Taufik Ismail, maupun Chairil Anwar. Namun keberanian dan kejujurannya dalam menyuarakan persoalan masyarakat

  hari--sastrawan-anti-feodalisme-dan-kapitalisme

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123

  kelas bawah yang ada di sekitarnya selalu akan terkenang sebagai sastrawan rakyat. Terlebih peristiwa hilangnya Wiji Thukul yang hingga dan tidak diketahui kepastian akan keberadaannya ini, membuat namanya akan selalu diingat dan selalu menghadirkan rasa penasaran untuk mempelajari karya-karya dan biografi tentang dirinya.

  Peristiwa besar hilangnya Wiji Thukul selalu meninggalkan pertanyan, baik bagi para aktivis maupun pecinta dan pengamat kesusastraan Indonesia. Puisinya merekam jejak-jejak budaya masyarakat dan kehidupan di sekitarnya, terkait kemiskinan dan kehidupan masyarakat bawah di kota Solo. Karya- karyanya menjadi rekam jejak etnografi masyarakat yang sering kali kritis terhadap pemerintahan Orde Baru dan dinarasikan secara minor sehingga harus dibungkam dan didominasi agar tetap manut dan pasrah sebagaimana wong cilik dalam konsep masyarakat Jawa pada waktu itu. Selain cerita tentang dirinya dan puisi- puisinya yang khas, ia telah melahirkan sebuah warisan yang sangat besar bagi para penuntut keadilan dan aktivis di Indonesia dengan semboyan; “maka hanya satu kata, lawan! 14 ”.

  Estetika sastra pada masa Orde Baru tidak hanya berdasar pada kualitas dalam karya. Penghakiman baik dan buruknya sebuah karya bagi rezim yang berkuasa, tidak hanya berdasar pada kualitas narasi atau penceritaan dari karya itu sendiri. Banyak karya sastra yang harus mengalami persoalan karena narasi kritik yang dikemas dengan bahasa oleh pengarang, memunculkan stigma tertentu dan memberikan sebuah persoalan, baik berupa pencekalan maupun pembreidelan karyanya. Bahkan,

  terjadi konsekuensi yang lebih besar terhadap pengarang sebagaimana yang dialami oleh Wiji Thukul. Pemilihan judul, pemilihan tema atau isi, dan konsekuensi pemilihan diksi atau bahasa, memiliki makna tersendiri yang barang tentu menghadirkan konsekuensi dari setiap pemaknaannya. Dalam hal ini, estetika kesusastraan yang terimplementasikan melalui bahasa, dihakimi secara politis oleh kekuasaan yang anti terhadap gaya bahasa kritis dan vulgar berikut isi minor yang dicerminkan di dalam karya-karya realisme.

  Dominasi negara terhadap Wiji Thukul yang vokal melalui puisi dan pergerakan realisme sosialisnya, merupakan catatan sejarah yang penting bagi Indonesia. Dalam sudut pandang kenegaraan, akan selalu diingat bahwa negara ini tidak akan pernah segan “memakan” anak-anaknya sebagai bentuk dominasi atas nama politik dan legitimasi kekuasaan. Dalam dunia sastra, selain tokoh-tokoh Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer yang terjadi pada masa awal berdirinya rezim Orde Baru, dominasi negara terhadap aktivitas sastra masih selalu direproduksi hingga akhir hayat rezim itu berkuasa, yaitu pada kurun tahun 90-an.

D. Penutup

  Harus dicermati bersama bahwa karya sastra semacam peluru yang terus- menerus menghujani penguasa apabila dikemas dengan bahasa lugas dengan implikasi pesan yang berisi tentang perlawanan. Terkait kegagalan negara dalam memberikan keadilan sosial dan perlakuan semena-mena terhadap rakyatnya dalam hal ini masyarakat kecil. Menariknya, menyikapi edaran Kapolri terbaru mengenai penghinaan dalam media sosial, rasa-rasanya negeri ini sudah mundur satu langkah kembali pada masa “kegelapan”. Negara memanfaatkan aparatus hukumnya untuk

14 Bagian dari puisi yang berjudul Peringatan yang ditulis pada tahun 1986.

  melakukan dominasi. Seperti halnya yang merujuk pada penyebaran unsur karakteristik berbahasa Wiji Thukul kebencian dan SARA, poin dari aturan itu dalam karya-karyanya yang tentu tidak adalah; “salah berbahasa dalam media, disukai oleh rezim yang berkuasa, rezim berujung penjara!”. sekarang pun demikian, berdalih untuk meminimalisir penyalahgunaan media

  

Daftar Pustaka

  Alexander, Supartono. 2000. “Lekra Vs Manikebu Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965”.

  Skripsi. Jakarta: STF Driyarkarya. Eagleton, Terry. 2001. Marxisme dan Kritik Sastra. Yogkakarta: Sumbu. Foulcher, Keith. 1991. Pujangga Baru Kesusastraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942.

  Jakarta: PT. Girimukti Pasaka. Gramsci, Antonio. 2011. Prison Note Books. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ke 25. Bandung: Remaja Rosdakarya.

  Patria, Nezar dan Andi Arif. 2009. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2013. Teori Marxis dan Berbagai Ragam

  Teori Neo-Marxian . Bantul: Kreasi Wacana.

  Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Suriasumantri, Junjun S. 1978. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

  Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Kesusastraan. Yogyakarta: CAPS. Thukul, Wiji. 2000. Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang: Indonesia Tera. Tohari, Ahmad. 2011. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123

  

Daftar Laman

  Terkait Bahasa dan Kekuasaan, Dipresentasikan oleh Paul Tickell dalam Seminar bulan September 2015, di FIB UGM. Terkait Ahmad Tohari dapat dilihat pada:

  http://snb.or.id/article/27/ahmad-tohari--sastrawan-anti-feodalisme-dan-kapitalisme

  Terkait Wiji Thukul bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik dapat dilihat pada:

http://bukuygkubaca.blogspot.co.id/2013/05/para-jenderal-marah-marah-wiji-thukul.

  html

  Terkait kebijakan Balai Pustaka dapat dilihat pada:

  

http://remajasampit.blogspot.co.id/2012/12/sejarah-balai-pustaka.html/diakses pada

4/11/2015/21.37 .

  ETNOGRAFI / Vol. XVI / No. 2 / 2016/ 59-123