Penerbit dan Alamat Redaksi

JURNAL ILMIAH TRANSFORMASI GLOBAL LABORATORIUM HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA

ISSN: 2406-9531

Jurnal Transformasi Global adalah Jurnal Hubungan Internasional yang terbit dua kali dalam setahun (setiap bulan Juni dan Desember). Penebitan jurnal ini dimaksudkan untuk meningkatkan apresiasi dan menyebarluaskan konsep serta teori dalam kajian Ilmu Hubungan Internasional.

Susunan Pengurus

Penanggung Jawab : Ketua Program Studi Hubungan Internasional

Dian Mutmainah

Pemimpin Redaksi

: Lia Nihlah Najwah

Anggota Redaksi

: M. Riza Hanafi

P.M Erza Killian Dewa Ayu Putu Eva Wishanti

Redaktur Pelaksana

: Yustika Citra Mahendra

Mitra Bestari

: Abubakar Eby Hara

Siti Muti’ah Setiawati Nur Rachmat Yuliantoro

Adminitrasi dan Distribusi: Muhammad Farayunanda R.

Kharisma Ridho Anugrah Nurul Lailiy

Layout/Printing

: Nessya Sidya R.S.

Nublah Fillah Iskandar Rachmadea Aisyah

Penerbit dan Alamat Redaksi

Jurnal Transformasi Global Laboratorium Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Jl. Veteran Malang 65145 Indonesia

Telp. (0341)551611 Psw. 250 Prodi HI (0341) 575755 Fax. (0341) 570038

Daftar Isi

Halaman Sampul Susunan Redaksi i Daftar Isi

ii Editorial iii

1. Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di

Kawasan Asia Timur

2. Konvensionalisme Ilmu Hubungan Internasional: Sebuah Proyeksi

23

untuk Metode Terintegrasi

3. Natuna dan Transformasi Eksternal

Regional Security Supercomplexes Laut China Selatan 39

4. ASEAN sebagai Instrumen Adaptasi Singapura terhadap Globalisasi 55

5. Pembangunan era Desentralisasi: Kedaulatan Ekonomi dan

75

Kelestarian Alam yang Terabaikan

6. Multicultural Coexistence Migran Brazil di Hamamatsu, Jepang,

sebagai Respon terhadap Krisis Ekonomi Global 2008 91

EDITORIAL

Jurnal Transformasi Global Volume 1 No. 1 berisikan artikel-artikel ilmiah tentang kajian Ilmu Hubungan Internasional dengan topik yang menarik, bervariasi, dan kritis. Dimana beberapa diantaranya mengulas analisis kritis mengenai fenomena-fenomena Hubungan Internasional dari berbagai perspektif. Kita diajak untuk memahami situasi terkini mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi khususnya di kawasan Asia, mulai dari isu ekonomi, politik identitas, hingga tinjauan kritis. Keberagaman permasalahan tersebut ditunjang pula oleh keberagaman latar belakang dan kapabilitas penulis yang tentunya akan memperkaya wawasan dan referensi bagi para pengkaji, peneliti, pelajar, dan praktisi Ilmu Hubungan Internasional di tingkat nasional, regional, dan global.

Artikel pertama ditulis oleh Dewa Ayu Putu Eva Wishanti menyoroti transisi kebijakan negara China dari abad ke-19 hingga abad ke-21 yang memberikan implikasi adanya perubahan peta kekuatan ekonomi di wilayah Asia Timur sebagai regionalisme kompetitif secara dominasi dibidang ekonomi. Penulis mengulas urgensi China untuk sangat aktif dalam catur perekonomian di Asia Timur ditinjau dari pendekatan behavioralis memahami perilaku negara dalam suatu regionalisme. Dimana pasca Perang Dingin, kerja sama ekonomi Asia Timur banyak diwarnai dengan kerangka regionalisme. Regionalisme tersebut terbangun dalam konteks bahwa keberadaan negara tertentu berperan sebagai inti dari kerja sama, yang masih mengarahkan strategi pembangunan yang berbasis pada negara pemegang posisi terkuat sebagai pengendali. Dengan berorientasi pada tingkat ekspansi sektor industri China di Asia Timur, serta mengidentifikasi faktor-faktor internal dalam perluasan pengaruh China, artikel ini menekankan pola kebijakan China yang berfokus pada penguatan manufaktur dan perdagangan sektor barang konsumsi sebagai strategi menjadi hegemon ekonomi di kawasan Asia Timur. Tambahan data yang menarik adalah uraian penulis dalam menjabarkan terciptanya rivalitas melalui cara yang sama, seperti Jepang dan Korea Selatan yang dikupas melalui kapabilitas perekonomian masing-masing negara.

Artikel kedua ditulis oleh Ziyad Falahi yang melakukan analisis kritis terhadap pendekatan teoritis kajian Ilmu Hubungan Internasional dengan menempatkan benturan potensi pada paham reflektivis dan positivis. Tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi pentingnya konvensionalisme sebagai upaya mencapai kolekivitas metode dalam Ilmu Hubungan Internasional. Ditambah lagi untuk menjawab dialektika mencari objektivitas Ilmu Hubungan Internasional, karena pada awal perkembanganya mendapat kritikan tidak dapat mengembangkan suatu koridor berpikir obyektif sebagaimana kaidah ilmu baik secara ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Bongkar-pasang ulang diperagakan penulis dengan menjabarkan kritik terhadap perspektif aliran behavioralis dengan menggunakan metode filsafat ilmu. Sehingga Ilmu Hubungan Internasional kedepannya tidak lagi terjebak hanya dalam perdebatan antara dua sisi, melainkan memiliki sense of problem solving fenomena-fenomena Hubungan Internasional.

Artikel ketiga ditulis oleh Mely Noviryani menjelaskan bagaimana Regional Security Supercomplexes di wilayah Laut China Selatan terjadi yang pada perkembangannya klaim terbaru atas wilayah Kepulauan Natuna mengubah distribusi power keamanan dikawasan. Menggunakan teori yang ditawarkan oleh Barry Buzan dan Ole Weever, penulis menjabarkan sikap negara-negara dikawasan Asia Tenggara dan Asia Timur yang menjadikan Laut China Selatan dan wilayah disekitarnya sebagai salah satu perairan konfliktual terhadap kompleksitas keamanan kawasan. Perairan yang menjadi sengketa negara-negara di dua kawasan, Asia Timur dan Asia Tenggara, yaitu antara China, Taiwan, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Bertambah rumit dengan masuknya Indonesia yang selama ini adalah mediator menjadi claimant states dalam konflik Laut China Selatan mengakhiri peran dan kredibilitasnya sebagai mediator karena Indonesia memiliki kepentingan dalam konflik Laut China Selatan yang menjadikannya tidak lagi memiliki netralitas sekaligus meningkatkan kompleksitas dinamika keamanan antar kawasan semakin kuat khususnya diantara Asia Timur dan Asia Tenggara. Sedangkan bagi China, ini memperkecil kemungkinan penyelesaian konflik Laut China Selatan melalui mekanisme multilateral dan penggunaan hukum internasional yang selama ini dihindari China untuk menyelesaikan konflik.

Artikel ke empat ditulis oleh Rindi Eka Rachmawati dan Dian Mutmainah, membahas bahwa pada dasarnya fenomena globalisasi menuntut adanya peningkatan intensitas hubungan politik, ekonomi, dan budaya lintas negara. Dalam penjelasan penulis, Singapura dapat dilihat sebagai negara anggota regional ASEAN yang mampu untuk meningkatkan kapasitas negaranya bahkan memperluas pasarnya dalam persaingan global. Fenomena tersebut dapat dijelaskan dengan bentuk fokus Singapura merespon upaya perluasan akses pasar dalam regionalisme ASEAN dan perkembangan ekonomi global. Penulis menjelaskan bagaimana keberhasilan Singapura memaikan peran integrasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan terhadap ASEAN.

Artikel ke lima ditulis oleh Joko Purnomo menjelaskan orientasi pembangunan dimasa rezim Orde Baru yang lebih mengejar pada pencapaian pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kelestarian lingkungan membuat proses desentralisasi menjadi fokus utama bagaimana kuasa ekonomi atas lingkungan melalui laju koorporasi global. dalam rezim orde baru yang telah berjalan lebih dari 30 tahun, desentralisasi lahir sebagai bentuk baru pembingkaian kekuasaan ekonomi politik Indonesia pasca tumbuhnya disparitas antara pusat dan daerah. Dari keadaan yang paradoks tersebut, penulis mencoba menganalisis proses eksploitasi hutan di era otonomi daerah dengan mengambil kasus alih fungsi hutan di Kabupaten Banyuwangi.

Artikel terakhir ditulis oleh Henny Rosalinda yang menjelaskan analisis studi kasus hubungan Jepang dan Brazil dalam mengembangkan aktivitas migrasi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui perkembangan kota Hamamatsu. Dengan menggunakan metode studi literatur, wawancara, dan observasi langsung, penulis mencoba menganalisis program multicultural coexistence. Program tersebut menggerakan sebuah kebijakan yang menjelaskan bagaimana salah satu kota di Jepang tersebut mampu membangun sebuah keharmonisan pendatang asing dengan masyarakat lokal melalui proses historis kebijakan multikultural.

Melalui cetakan pertama Jurnal Transformasi Global oleh Laboratorium Hubungan Internasional Universitas Brawijaya dengan kolaborasi kerja akademisi Ilmu Hubungan Internasional, kami mengharapkan keenam artikel ini dapat Melalui cetakan pertama Jurnal Transformasi Global oleh Laboratorium Hubungan Internasional Universitas Brawijaya dengan kolaborasi kerja akademisi Ilmu Hubungan Internasional, kami mengharapkan keenam artikel ini dapat

Tentunya kritik, saran, dan masukan dari Anda akan sangat bermanfaat bagi keberlangsungan serta kualitas jurnal ilmiah ini.

Selamat Membaca, Malang, Juni 2014

Tim Penyusun

Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi

Internasional di Kawasan Asia Timur

Dewa Ayu Putu Eva Wishanti 1

Abstract

East Asian economic characteristics that involve the role of the state as well as the development of the industry, has been relatively creates confidence in the market so that the flow of capital, goods, and services began to lead to the region since the late 20th century. The excess of the advance of China as the new political economic power is also growing wider market in Southeast Asia. The emergence of China as the dominant country in the world political economy are not purely derived from the ability of domestic governance, but also factor disclosure strategy in East Asian economies led by the extractive industry transformation towards manufacturing industry. This expansion translates into core industry sectors in East Asia.

This article is intended as a preliminary study on the degree of China's industrial sector expansion in East Asia, as well as identifying the internal factors in the expansion of China's influence. By using the approach as well as the extended behavioralism regionalism as a tool of analysis , this article finds that China is a state actor who is more emphasis on manufacturing and trade sectors of consumer goods as

a strategy into an economic hegemon in its own region , formerly controlled by Japan.

Keywords; China, East Asia, economic expansion, industrial economy regionalism

Pendahuluan

Kebangkitan ekonomi China merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut secara khusus tercermin dari kebutuhan China akan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai penanda kebangkitannya. Pada abad ke-20, China mulai mengalami berbagai revolusi yang membuat stabilitas ekonomi domestiknya bergejolak, sehingga China melalui kepemimpinan sentralistiknya berupaya memodernisasi perekonomiannya dan menghasilkan kebijakan yang pragmatis. Pada masa pasca pemerintahan Mao Zedong, China mulai tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang terbuka bagi kerja sama internasional. Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping setelahnya, keterbukaan ini semakin longgar, utamanya untuk merekonstruksi krisis ekonomi yang disebabkan oleh isolasi

Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Pada abad-21, keterbukaan ini semakin menjurus pada tujuan kebijakan ekonomi politik internasional China yang ekspansif dan hegemonik. Hu Jintao mewujudkan tujuan ini dengan mencanangkan The Peaceful Rise of China, yakni kebangkitan China yang damai, pada 22 Desember 2005 dalam dokumen China Peaceful Development Road (yang dikenal dengan istilah heping fazhan dalam bahasa Mandarin). Oleh Amerika Serikat (AS), dalam dokumen tersebut China dipersepsikan memiliki lima strategi untuk meraih keunggulan ekonomi dalam kerangka pembangunan (The State Council Information Office, 2006 : 1- 2), yakni a) Pembangunan yang berkedamaian merupakan cara yang tidak terhindarkan dalam menuju modernisasi China; b) mempromosikan perdamaian dan pembangunan dunia seiring dengan pertumbuhan China sendiri; c) reformasi dan inovasi dalam pencarian keuntungan bersama dan pembangunan umum dengan negara-negara lain; d) pengembangan dengan bergantung pada kekuatan sendiri; serta e) membangun dunia yang harmonis dalam perdamaian yang berkesinambungan dan kesejahteraan bersama.

China juga mulai memasuki era perdagangan multilateral setelah memasuki World Trade Organization (WTO) secara resmi pada tahun 2005. Hal ini merupakan manuver penting bagi China, karena China secara penuh telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pasar. Namun pada praktiknya, China ditengarai tengah membangun keunggulan untuk menyaingi kekuatan ekonomi AS.

Lini pertama untuk membangun persaingan itu ialah di kawasan Asia Timur, karena secara geopolitis menguntungkan bagi China, akumulasi modal AS yang cukup besar di kawasan tersebut, dan juga faktor beberapa negara penting yang menjadi aliansi AS. Untuk itu China berusaha mendefinisikan ulang tentang identitas Asia Timur seiring pula dengan kepentingan ekonominya. Hal ini tercermin dari upaya-upaya China untuk menjadi pemimpin dalam kerja sama ekonomi regional di Asia Timur pada abad ke-21 yang akan dijabarkan selanjutnya dalam artikel ini.

Terdapat tiga karakteristik yang patut diperhatikan di Asia Timur (Yoshimatsu, 2008 : 8-9) menyebutkan, yakni a) politik great power yang mengkonstruksi kerangka kerja dinamika regional di Asia Timur, yang sebelumnya didirikan oleh AS melalui perang Pasifik; b) negara-negara besar Asia Timur memiliki ketahanan yang kuat terhadap kedaulatannya masing- masing dalam ranah sosial budaya, sehingga menghambat terbentuknya identitas regional (Pempel, 2005 : 257 dalam Yoshimatsu, 2008); serta c) superioritas negara dalam mengontrol masyarakat dan komunitas di dalamnya. Hal yang tersirat dari karakteristik tersebut ialah bahwa Asia Timur merupakan suatu kawasan yang memiliki relasi langsung dengan kepentingan AS, dan hubungan tersebut difasilitasi oleh negara. Implikasi dari karakteristik tersebut secara langsung dari segi globalisasi ekonomi ialah pertumbuhan pasar uang dan transaksi keuangan yang secara simultan juga memberi dampak pada restrukturisasi produksi transnasional dalam skala global. Bagi negara, akan sangat menguntungkan apabila dapat memanfaatkan kedekatan geografis dengan negara-negara besar di sekitarnya, karena akan mengurangi biaya perdagangan dan pembangunan. Namun tidak selalu demikian dengan aliansi politik yang relatif sulit dibangun, khususnya karena faktor karakteristik yang telah dibahas sebelumnya. Untuk itu, sangat wajar jika China memiliki beberapa strategi integrasi ekonomi yang memberi warna politik baru dalam pembentukan Asia Timur dari kacamatanya sendiri sebagai suatu cara untuk mempromosikan kebangkitan China ini.

Urgensi Kepemimpinan China di Asia Timur

Asia Timur merupakan kawasan yang sangat luas secara geografis dan beragam secara demografis dan ideologis. Definisi mengenai kawasan Asia Timur sangat beragam, baik secara geografis maupun definisi sosial politiknya. Terdapat beberapa pemahaman mengenai kewilayahan Asia Timur dalam artikel ini; yakni hanya China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan; hingga perluasan area yang juga melingkupi wilayah Rusia bagian timur, Korea Utara, dan Asia Tenggara dalam ASEAN +3. Artikel ini menggunakan pemahaman yang disebut terakhir, karena kedekatan hubungan geo-ekonomi dengan wilayah Asia Timur merupakan kawasan yang sangat luas secara geografis dan beragam secara demografis dan ideologis. Definisi mengenai kawasan Asia Timur sangat beragam, baik secara geografis maupun definisi sosial politiknya. Terdapat beberapa pemahaman mengenai kewilayahan Asia Timur dalam artikel ini; yakni hanya China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan; hingga perluasan area yang juga melingkupi wilayah Rusia bagian timur, Korea Utara, dan Asia Tenggara dalam ASEAN +3. Artikel ini menggunakan pemahaman yang disebut terakhir, karena kedekatan hubungan geo-ekonomi dengan wilayah

Terdapat beberapa peluang strategi kerja sama ekonomi yang telah terbangun sebelumnya di Asia Timur. Peluang-peluang ini juga mencerminkan opsi-opsi politik yang memiliki konsekuensi bagi sektor ekonomi. Pasca Perang Dingin, kerja sama ekonomi Asia Timur banyak diwarnai dengan kerangka regionalisme. Regionalisme tersebut terbangun dalam konteks bahwa keberadaan negara tertentu berperan sebagai inti dari kerjasama yang masih mengarahkan strategi pembangunan yang berbasis pada negara pemegang posisi terkuat sebagai pengendali (Grimes, 2009 : 107).

Terdapat beberapa pendapat mengenai konsep Asia Timur, misalnya sejatinya konsep Asia Timur sebagai suatu kawasan merupakan pemikiran yang relatif baru, demikian juga dengan kepemimpinan di kawasan tersebut. Konsep East Asia Economic Caucus (EAEC) yang dicetuskan Mahathir Mohammad pada era 1990-an, Perdana Menteri Malaysia ketika itu, gagal dalam realisasi (Terada, 2003 : 255-256) .

EAEC mengarahkan kerja sama ekonomi Asia Timur yang dimotori oleh Jepang, karena Jepang sebagai negara anggota G7 dan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Karena orientasi politik luar negerinya yang koheren dengan AS, usulan Mahathir menjadi tidak berjalan, walaupun Malaysia sangat membutuhkan tampilnya Jepang karena kesamaan orientasi kebijakan ekonomi kedua negara. Jepang juga enggan untuk kembali memimpin secara politik atau militer di Asia Timur, utamanya karena faktor sejarah Perang Pasifik yang secara politis tidak akan menguntungkan bagi Jepang. Jepang banyak mengarahkan kepentingannya dalam sektor ekonomi dan teknologi inovasi.

Integrasi Asia Timur harus dimulai dengan menganggap bahwa Asia Timur adalah sebuah pabrik Factory Asia, yang setiap sub-wilayahnya berfungsi baik sehingga menghasilkan produk yang bermutu. Namun Asia Timur menghadapi kerentanan dalam pandangan tersebut, jika meninjau beberapa faktor (Baldwin, 2008 : 449-478) yakni, (a) daya saing tiap negara yang hanya akan meningkat jika perdagangan intra-regional di Asia Timur juga meningkat; (b) masing-masing negara tidak dapat memotong tarif perdagangan secara Integrasi Asia Timur harus dimulai dengan menganggap bahwa Asia Timur adalah sebuah pabrik Factory Asia, yang setiap sub-wilayahnya berfungsi baik sehingga menghasilkan produk yang bermutu. Namun Asia Timur menghadapi kerentanan dalam pandangan tersebut, jika meninjau beberapa faktor (Baldwin, 2008 : 449-478) yakni, (a) daya saing tiap negara yang hanya akan meningkat jika perdagangan intra-regional di Asia Timur juga meningkat; (b) masing-masing negara tidak dapat memotong tarif perdagangan secara

Gagasan mengenai ASEAN+3 tersusun berdasarkan konteks tatanan resistensi tehadap resiko krisis. ASEAN+3 diharap mampu menjadikan dirinya wadah bagi pertukaran budaya, bisnis, dan bahkan praktik diplomasi ekonomi dan diplomasi komersial. Pasca krisis Asia 1997-1998, Chiang Mai Initiatives (CMI) muncul sebagai alternatif menghadapi gelombang krisis yang mungkin akan menyerang kembali, dalam kerangka kerja ASEAN+3 tahun 2000. Kerja sama ini baru diperbarui menjadi Chiang Mai International Initiatives (CMII) pada 2010 (Peterson Institute of International Economics, 2011). CMI adalah usulan kerja sama currency swap atau pertukaran mata uang dalam konteks

finansial, terutama mengenai cadangan devisa suatu negara. Jika mata uang suatu negara sedang lemah karena krisis, maka mekanisme konversi mata uang dalam cadangan devisa ini menjadi pilihan yang bijak untuk tidak mengurangi kuantitas nilai cadangan devisa. Melalui salah satu contoh tersebut, masalah finansial merupakan masalah makro-ekonomi yang tak terhindarkan lagi untuk dipertimbangkan kala menghadapi krisis.

Terdapat wacana pembentukan East Asian Economic Community (EAEC), yang sekiranya diprediksikan akan terjadi pada tahun 2050. Kerangka East Asian Economic Caucus terdahulu yang hanya berbasiskan negara-negara Asia Timur, lebih menguntungkan bagi negara-negara kecil. Pasalnya, jika harus membentuk sebuah kerja sama regional, bentuk East Asian Cooperation akan lebih diutamakan, karena lebih bernuansa “Asia” daripada “Pasifik” yang

diusung oleh APEC. Karena agenda liberalisasi ekonomi yang dikemukakannya, tentu akan berujung pada pembukaan pasar bebas yang luas. Sementara jika AS dan Kanada juga telah tergabung dalam North American Free Trade Area (NAFTA) yang telah mantap sebagai suatu pasar bebas regional. Hal tersebut akan mungkin menjadikan posisi tawar negara Asia Timur lain menjadi tersubordinasi.

Keempat peluang tersebut merupakan peluang bagi China untuk mengembangkan dominasi di Asia Timur, karena secara perlahan China menjadi Keempat peluang tersebut merupakan peluang bagi China untuk mengembangkan dominasi di Asia Timur, karena secara perlahan China menjadi

Grafik 1. Prediksi Pembagian GDP Nominal Dunia tahun 2020

Sumber : WEO, 2007 dan Winters & Yusuf, 2007 dalam Baldwin & Carpenter, 2008

Dalam sektor keamanan regional, China masih terbelenggu beberapa konflik teritorial yang cukup mengakar dengan negara-negara tetangganya, namun melihat beberapa peluang di atas, China tetap berdiri sebagai entitas yang masuk dalam perhitungan utama. China harus memperluas pasarnya secara konstan untuk memperoleh pengaruh politik. Fungsi perluasan pasar ini dijalankan di Asia Tenggara dengan meyakinkan negara-negara ASEAN untuk mengikuti pola perdagangannya dengan strategi diplomasi regional dan dorongan berupa insentif ekonomi (China Report 48, 3, 2012: 317 –326) seperti yang terjadi dalam kerangka ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Namun hal ini bukan berarti wilayah di sekitar China mulai berorientasi sinosentris Dalam sektor keamanan regional, China masih terbelenggu beberapa konflik teritorial yang cukup mengakar dengan negara-negara tetangganya, namun melihat beberapa peluang di atas, China tetap berdiri sebagai entitas yang masuk dalam perhitungan utama. China harus memperluas pasarnya secara konstan untuk memperoleh pengaruh politik. Fungsi perluasan pasar ini dijalankan di Asia Tenggara dengan meyakinkan negara-negara ASEAN untuk mengikuti pola perdagangannya dengan strategi diplomasi regional dan dorongan berupa insentif ekonomi (China Report 48, 3, 2012: 317 –326) seperti yang terjadi dalam kerangka ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Namun hal ini bukan berarti wilayah di sekitar China mulai berorientasi sinosentris

Status Ekonomi-Politik China di Kawasan Asia Timur

Kebijakan luar negeri China di abad ke-21 lebih mengemukakan prinsip non konfrontasi namun tetap proaktif. Hal tersebut ditujukan untuk mencitrakan China yang tidak agresif dan dapat bekerja sama dengan mudah. Prinsip tersebut merupakan refleksi dari kepentingan domestik China dan Partai Komunis China (PKC) melalui internal balancing dan soft balancing American Power. China menitikberatkan pembangunan ekonomi sebagai upaya membendung unipolaritas AS pasca Perang Dingin. Selain itu, penting bagi PKC untuk mempertahankan legitimasinya melalui politik kesejahteraan setelah komunisme mulai luntur di China (Wang, 2010 : 557-558).

Pembangunan ekonomi merupakan langkah mundur perlahan dari kebijakan ekonomi terkendali, dimana negara mengatur pasar, dan pasar mengatur badan-badan usaha. Kebijakan ini terwujud dalam penyelenggaraan perdagangan, investasi, dan zona khusus perusahaan di provinsi-provinsi pesisir (Hasan, 2008 : 580-587). Namun terdapat beberapa kondisi yang harus diperhatikan perkembangannya sebagai barometer ambisi China untuk mengejar posisi sentral di sektor ekonomi Asia Timur.

Pertama, China yang sedang bangkit juga mengejar strategi institusional dan multilateral di luar kawasannya untuk mendesain kembali keteraturan orderdi bidang ekonomi-politik. Kerja sama multilateral tersebut menempatkan pemerintah Beijing sebagai titik sentralnya, misalnya China –Africa Cooperation, the China –Caribbean Economy and Trade Cooperation Forum, dan juga China –Arab Nations Cooperation Forum. Sebagai pendukung pengaruh, China bahkan terlibat dalam pemberian konsultasi politik pada Andean Community , Rio Group, dan MERCOSUR. Terlihat bahwa China lebih

memilih untuk membuka kerja sama baru daripada mengandalkan yang telah terbangun (Sohn, 2012:77-82). Hal ini juga mencerminkan mentalitas great memilih untuk membuka kerja sama baru daripada mengandalkan yang telah terbangun (Sohn, 2012:77-82). Hal ini juga mencerminkan mentalitas great

Sementara itu, China melihat wilayah Asia sebagai saluran strategis untuk merangkul masyarakat internasional, dengan prinsip hexie yazhou yakni

“Asia yang Harmonis” baik secara multilateral, sub-regional, maupun bilateral. China membidik Asia Selatan, Asia Tengah dan wilayah timur laut Asia, dengan menawarkan konsep kesejahteraan bersama di kawasan dengan pendekatan bilateral (Hwang dan Chen, 2010:109-110).

Kedua, China juga memainkan peranan penting dalam stabilitas perdagangan dan finansial pasca krisis ekonomi global tahun 2008. Cadangan devisanya yang besar memudahkan China bermanuver dalam hal ini. Pilihan antara China dan Asia Timur untuk kerja sama kawasan ialah dengan mengukuhkan new regionalism (Pangestu dan Gooptu, 2003:107). Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain a) motivasi negara-negara Asia Timur untuk tidak terlarut dalam krisis finansial, b) negara-negara Asia Timur cenderung ingin bekerja sama lebih erat dengan China, c) kepentingan bisnis masing-masing negara untuk lebih terintegrasi ke pasar internasional, dan d) pergerakan ekonomi skala sedang berkembang untuk meningkatkan daya saing. Sementara itu, China lebih memilih untuk bermain aman dalam setiap gelaran East Asia Summit karena masalah keanggotaan East Asia Community (EAC), dimana negara-negara seperti India, Australia, dan Pasifik selalu terlihat dibendung oleh China dalam upaya mereka untuk dimasukkan menjadi anggota.

Pasca krisis ekonomi global seputaran 2007-2008, negara anggota G3 yakni Uni Eropa, Jepang, dan AS mengalami perlambatan ekonomi. Padahal pertumbuhan ekonomi agregat di Asia Timur saja telah mencapai rata-rata 8% per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi dunia hanya 4% per tahun pada 2010 (UNESCAP, 2011). Momentum perlambatan ekonomi AS juga merupakan peluang besar bagi China untuk menumbuhkan kepercayaan Korea Selatan dan Jepang sebagai sekutu utama di kawasan.

Ketiga , Pasca krisis finansial global, China juga mendapat kepercayaan yang lebih baik untuk menanamkan modal asing, demikian pula dengan jumlah Ketiga , Pasca krisis finansial global, China juga mendapat kepercayaan yang lebih baik untuk menanamkan modal asing, demikian pula dengan jumlah

Tabel 1.

Sebaran Aliran Investasi Asing di Antara Ekonomi Kawasan Asia Timur (2012)

Sumber : United Nations Conference on Trade and Development, 2013

Manuver China untuk menarik investasi pasca krisis perlu dicermati sebagai upaya untuk menjadi hegemon ekonomi-politik di kawasan, bukan hanya sebagai aksi profit-taking belaka, China memberikan pinjaman lunak kepada negara-negara Asia Tenggara, sementara AS masih bersikukuh mempertahankan kebijakan neoliberalnya untuk mendevaluasi mata uangnya. Kepemimpinan China didominasi oleh soft-power utamanya sejak 1990-an, dengan menampilkan kebijakan luar negeri yang merangkul dan lebih konstruktif (Sohn, 2010:504-505).

Keempat , rivalitas China-Jepang dalam mendominasi kawasan Asia Timur. Jepang sebagai perpanjangan kepentingan AS sangat mendominasi dalam hal perkembangan teknologi, perindustrian, dan bantuan pembangunan di kawasan ini pasca Perang Dingin. Terkait titik sentral dominasi tersebut, Kroeber (2006) menyebutkan bahwa China merintis posisi dominan di periode Keempat , rivalitas China-Jepang dalam mendominasi kawasan Asia Timur. Jepang sebagai perpanjangan kepentingan AS sangat mendominasi dalam hal perkembangan teknologi, perindustrian, dan bantuan pembangunan di kawasan ini pasca Perang Dingin. Terkait titik sentral dominasi tersebut, Kroeber (2006) menyebutkan bahwa China merintis posisi dominan di periode

ASEAN dan Asia Tenggara menjadi medan perebutan pasar antara kedua negara, sehingga ASEAN juga menjadi prioritas politik luar negeri China. Pada tahun 2000, ACFTA diimplementasikan, dan satu dekade kemudian, China telah menyumbangkan jumlah simpanan yang sama dengan Jepang (38,4 juta Dolar AS) kepada Asian Currency Crisis Fund (120 milyar Dolar AS) di bawah Chiang Mai Initiative Multilateralisation Agreement . China juga berupaya menyeimbangkan posisi tawar dengan Jepang di berbagai forum multilateral. Tabel di bawah ini berusaha menunjukkan kecenderungan tersebut.

Tabel 2.

Keanggotaan China dan Jepang dalam Organisasi Internasional/Multilateral

Sumber : Yang, 2010

Proyeksi Strategi Ekonomi Multilateral China di Asia Timur

Dalam mempertimbangkan kesesuaian bentuk kerja sama, maka sangat penting untuk melihat kembali kompleksitas suatu kawasan. Regionalisme, harusnya menjadi sebuah bentuk kerja sama yang mencerminkan persamaan identitas dan persamaan nasib, serta diikuti dengan pembentukan institusi yang mencerminkan collective action. Namun, para aktor (terutama negara) di Asia Timur terkesan lebih melihat ke arah mana konstelasi politik global akan mengarah. Melihat kondisi tersebut, integrasi Asia Timur masih dalam bentuk regionalisme terbuka atau open regionalism, dimana belum terdapat kesepakatan yang mengikat dalam hal teknis maupun substansial. Asia Timur juga masih dalam tahap pencarian bentuk kerja sama regional yang sesuai. Ketidakpastian ini nampaknya dimanfaatkan secara afirmatif oleh China, dengan menampilkan beberapa inisitaif yang menguntungkan negara tersebut.

Pertama, krisis ekonomi membawa banyak negara bersikap pragmatis dan lebih proteksionis terhadap ekonominya, namun kawasan Asia Timur justru

mulai berbenah untuk membentuk “monetary regionalism” (Dieter dan Higgot, 2002). Hal tersebut juga dapat ditentang dengan berbagai argumen, namun perlu untuk melihat celah perkembangan lain yang terdapat di dalamnya, dan apa saja faktor penggeraknya. Namun China juga tetap berupaya mengamankan kepemimpinannya di sektor keuangan dan investasi. Wakil Menteri Keuangan China, Zhu Guangyao, menegaskan bahwa China mendukung terbentuknya Asian Infrastructure Investment Bank, serta menyatakan niatan politik untuk membangun infrastrukturnya di negara berkembang di Asia Timur (Xinhua, Oktober 2013).

China memiliki lembaga yang tergabung dalam tiga serangkai formulator kebijakan finansialnya seperti kebanyakan negara lain; yakni sektor perbankan, sektor asuransi, dan komisi regulasi sekuritas. Namun standar kebijakan keuangan China tidak berdasar pada neraca pembayaran foreign direct investment (FDI) yang umum, sehingga laporan investasi China tidak seluruhnya mencerminkan arus investasi riilnya (UNCTAD, 2007).

Grafis 2. Arus FDI menuju China (1990-2005)

Sumber : UNCTAD, 2007

Inisiatif China untuk mengembangkan kerja sama regional di bawah pengaruhnya akan memerlukan struktur finansial yang kuat, terlebih lagi pertumbuhan ekonomi sebagai strategi sentralnya. Sebelumnya, jumlah FDI yang masuk ke dalam negeri terbanyak diraih oleh Jepang, dimana China merespon secara reaktif pada masa pemerintahan Deng Xiaoping tanpa strategi tertentu dengan kebijakan Open Door Policy-nya. Hingga 2008, China telah mampu menjadi negara dengan perekonomian yang didorong oleh produksi dan mengalami pertumbuhan GDP sebesar 10% (Wang, 2011:200-201). Menariknya, China juga menjadi anggota WTO, namun lebih memilih menjalankan kerja sama ekonomi regional daripada multilateral karena mempertimbangkan stagnasi WTO yang berkepanjangan (Zhang, 2010).

Strategi investasi tersebut juga disokong oleh kebijakan China menginternasionalisasi mata uang Yuan Renminbi (RMB). Hal ini dibuktikan dengan konsistensi China untuk tidak mendevaluasi RMB pasca krisis Asia tahun 1997-1998 yang lalu, dimana nilai tukar RMB relatif stabil. Pengaruhnya, negara-negara Asia Timur mampu memberikan kepercayaan yang lebih dalam berinvestasi, utamanya investasi modal. Hal ini dilakukan untuk mengikis Strategi investasi tersebut juga disokong oleh kebijakan China menginternasionalisasi mata uang Yuan Renminbi (RMB). Hal ini dibuktikan dengan konsistensi China untuk tidak mendevaluasi RMB pasca krisis Asia tahun 1997-1998 yang lalu, dimana nilai tukar RMB relatif stabil. Pengaruhnya, negara-negara Asia Timur mampu memberikan kepercayaan yang lebih dalam berinvestasi, utamanya investasi modal. Hal ini dilakukan untuk mengikis

Tidak jelas mengapa China terkesan kurang transparan dalam pemaparan nilai investasi riilnya, namun justru anggaran pertahanan China yang meningkat dapat diketahui dengan estimasi dalam berbagai rilis yang mengarah pada peningkatan yang tajam. Kecenderungan yang dapat diamati ialah bahwa negara-negara di kawasan Asia Timur mengalami China Shock karena pertumbuhan ekonomi dan militernya yang berbasis nilai-nilai.

Kedua, inisiatif industri dan perdagangan. Kebanyakan dari seluruh bentuk rezim kerja sama regional memiliki kekuatan dominan yang mengarahkan prospek kerja sama itu sendiri, baik dari aktor negara maupun poros aliansi tertentu. Kekuatan dominan tersebut akan relatif memengaruhi peta persaingan, konflik, dan pola-pola interaksi antar aktor di dalamnya secara umum. Demikian pula dengan wilayah Asia Timur, yang menitikberatkan peran China yang sangat signifikan dalam menentukan pola hubungan antara delapan wilayah ekonomi inti di Asia Timur. Kedelapan wilayah tersebut terdapat di negara China (Zhujiang, Changjiang, Jing-Jin-Ji); Jepang (Kanto, Chubu, Kinki); dan Korea Selatan (Seoul dan wilayah Yeongnam).

Grafis 2. Delapan Wilayah Inti Industri Asia Timur

Sumber : Kim, 2010

Kim mengutip Akamatsu (1961) bahwa transfer teknologi dapat terjadi dari impor produk yang dilakukan oleh negara-negara kurang berkembang dari negara maju. Sedangkan Vernon (1966) memfokuskan bahwa industri hanya berkembang di negara maju yang berpendapatan tinggi, yang berkembang karena ekspornya meningkat. Namun terdapat kekurangan dalam konsep tersebut, yang meminggirkan realita bahwa perdagangan saat ini terbingkai dalam globalisasi ekonomi, yang melibatkan kerja sama multilateral. Kim mempertegasnya dengan mengutip Bernard dan Ravenhill (1995) bahwa terlah terbentuk jaringan produksi global yang melampaui batas-batas negara, sehingga strategi kerja sama perlu bergeser dari inter-state menjadi inter-region. Kim menyimpulkan, terdapat 3 level difusi sektor industri sebagai salah satu inti aktivitas ekonomi di Asia Timur, yakni domestik, supranasional, dan inter- regional relations .

Kedelapan wilayah tersebut terpencar dalam tiga negara : China, Jepang, dan Korea Selatan. Jika melihat angka pendapatan bersih domestik regional/ gross regional domestic product (GDRP), daerah Kanto di Jepang unggul jauh. Namun hal tersebut diukur dengan indikator nilai tukar mata uang. Di sisi lain, jika diukur menggunakan ukuran daya beli masyarakat, Jepang disaingi secara ketat oleh China. Padahal selama beberapa dekade Jepang telah merajai sektor jaringan industri dan perdagangan di Asia Timur laut dan Asia Tenggara. Tulisan ini juga memetakan bahwa sejak tahun 1980an China mulai sukses berkecimpung di produksi manufaktur mengalahkan Jepang, namun Jepang masih unggul di sektor jasa, dan bersama Korea, Jepang terdepan dalam sektor finansial. Pada 2007, terdapat klasifikasi landscape ekonomi, yakni besar (Kanto), sedang (Changjiang, Zhujiang termasuk Hong Kong), dan 5 daerah sisanya yang termasuk memiliki pengaruh ekonomi kecil. Ukuran besar kecilnya skala ekonomi dilihat dari persen sumbangan mereka terhadap agregat GDRP.

Namun terdapat perkiraan bahwa pada tahun 2020, akan terdapat pergeseran klasifikasi di atas, landscape ekonomi besar adalah Kanto dan Changjiang, ekonomi sedang hanya Zhujiang, dan sisanya tergolong skala terkecil. Terlihat bahwa China sangat dominan dan semakin mengecilkan peran wilayah lain. Untuk itu China hampir dapat dipastikan akan mengontrol kawasan Namun terdapat perkiraan bahwa pada tahun 2020, akan terdapat pergeseran klasifikasi di atas, landscape ekonomi besar adalah Kanto dan Changjiang, ekonomi sedang hanya Zhujiang, dan sisanya tergolong skala terkecil. Terlihat bahwa China sangat dominan dan semakin mengecilkan peran wilayah lain. Untuk itu China hampir dapat dipastikan akan mengontrol kawasan

Perluasan pengaruh politik di luar kawasan Asia Timur dapat dipandang sebagai faktor penarik investasi. Strategi lain untuk meningkatkan keunggulan China di Asia Timur adalah dengan ikut menerapkan pengelompokan sektor industri atau cluster, yang melibatkan pemerintah lokal dan nasional. Di Jepang, terdapat pengelompokan wilayah industri yang kuat dan terspesialisasi, dengan fokus industri automobil, mengejar transformasi industri berteknologi tinggi termasuk robot, luar angkasa, dan nano teknologi. Sementara Korea, berkutat dalam teknologi informasi, perkapalan, dan lingkungan. China merespon dengan membangun cluster dalam automobil, petrokimia, permesinan, elektronik, baja, pakaian, tekstil dan makanan. Pemerintah China berencana menjadikan Beijing sebagai pusat politik, keuangan, dan teknologi industri; beserta perangkat industri lain yang berbasis pengetahuan.

Sementara itu, China berkembang menjadi mitra dagang teratas bagi kebanyakan negara Asia Timur, dan kebanyakan hubungan dagang tersebut digerakkan oleh delapan wilayah ekonomi inti di Asia Timur. Antara 2000-2007, volume perdagangan Korea dan Jepang ke China makin meningkat, dan sekali lagi berpusat pada kedelapan wilayah inti ekonomi itu. Namun bagi China, Korea dan Jepang menjadi kurang diprioritaskan sebagai mitra dagang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wilayah pantai China merupakan aktor terpenting dalam hubungan antar regional industri di Asia Timur, dan menjadi penghubung inti setiap hubungan inter-regional domestik di kawasan.

China juga menjadi aktor penting dalam kerja sama ekonomi Selatan- Selatan. Bukan hanya di wilayah Asia namun juga Amerika Latin, China membuat konstelasi perdagangan dan regionalisme tidak lagi dibatasi oleh faktor geografis, yang juga disebut the new geography of trade (UNCTAD, 2005) yang dicirikan oleh a) naiknya pangsa pasar negara-negara berkembang dalam perdagangan dunia; b) perdagangan komoditi dan manufaktur dan kerja sama China juga menjadi aktor penting dalam kerja sama ekonomi Selatan- Selatan. Bukan hanya di wilayah Asia namun juga Amerika Latin, China membuat konstelasi perdagangan dan regionalisme tidak lagi dibatasi oleh faktor geografis, yang juga disebut the new geography of trade (UNCTAD, 2005) yang dicirikan oleh a) naiknya pangsa pasar negara-negara berkembang dalam perdagangan dunia; b) perdagangan komoditi dan manufaktur dan kerja sama

Penerapan strategi open regionalism juga menjadi ciri pendekatan pemerintah China dalam merangkul kawasan (Carl, 2001 dalam Jilberto dan Hogenboom, 2007:324). Pendekatan ini juga dilakukan di kawasan Asia Timur, sehingga upaya-upaya politik China menjadi lebih fleksibel, mengingat China juga memiliki berbagai problem keamanan regional serta sengketa teritorial yang mampu memberi konsekuensi negatif jika Asia Timur berada dalam regionalisme tertutup.

Dalam bingkai perdagangan, China sangat konsisten dalam berekspansi baik antar sub regional maupun hubungan langsung dari kota ke kota. Terdapat dua poin unik dalam hubungan regional ini. Pertama adalah Jepang, yang mengintensifkan perdagangan antar sub regional domestik Jepang dengan area Kinki sebagai pusatnya. Hal ini tidak dilakukan di China maupun Korea. Sedangkan yang kedua, Korea tidak dalam posisi memperluas pengaruh terhadap wilayah lain, serta sangat pasif dalam menerima pengaruh wilayah lain. Pemerintah China sendiri dikatakan tidak terlalu terpengaruh apakah Jepang dan Korea intens berdagang ke negaranya. Wilayah Jing-Jin-Ji dan Chanjiang adalah dua area pesisir China yang sangat berpengaruh di kawasan, karena mampu meminimalisasi resiko bisnis dengan menjalin banyak kerja sama industrial.

Kesimpulan

Dari Grafik 1 di atas, dengan asumsi bahwa pada 2020 ekonomi China akan menjadi pemimpin di Asia Timur, menarik untuk melihat bagaimana China akan mencapainya daripada capaian China pada 2020. Pertumbuhan ekonomi China akan semakin pesat di masa depan, karena kawasan pesisir China mendominasi keseimbangan kekuatan (power balance) di Asia Timur. Akan terjadi restrukturisasi dan penyesuaian terhadap segala pergerakan kawasan ekonomi pesisir China sebagai motor ekonomi-politik di kawasan Asia Timur. Penyesuaian tersebut juga akan terasa berat di sisi Chubu, Seoul, dan Yeongnam Dari Grafik 1 di atas, dengan asumsi bahwa pada 2020 ekonomi China akan menjadi pemimpin di Asia Timur, menarik untuk melihat bagaimana China akan mencapainya daripada capaian China pada 2020. Pertumbuhan ekonomi China akan semakin pesat di masa depan, karena kawasan pesisir China mendominasi keseimbangan kekuatan (power balance) di Asia Timur. Akan terjadi restrukturisasi dan penyesuaian terhadap segala pergerakan kawasan ekonomi pesisir China sebagai motor ekonomi-politik di kawasan Asia Timur. Penyesuaian tersebut juga akan terasa berat di sisi Chubu, Seoul, dan Yeongnam

Namun memasuki abad ke-21, pergerakan globalisasi, perjanjian perdagagan bebas, serta aktivitas transnasionalisme dalam politik global berperan signifikan dalam membentuk perilaku para aktor di dalamnya, terutama para pengambil keputusan. Untuk itu, Kim memberi spekulasi bahwa pemenang dalam persaingan ekonomi regional ini adalah para aktor yang memiliki “bakat”

atau talent, serta teknologi. Hal tersebut dirasanya lebih penting bagi pertumbuhan ekonomi daripada sekedar memerhatikan pembagian kerja atau division of labor .

China memang menjadi aktor yang tangguh dalam bidang ekonomi dengan meminimalisasi biaya produksi dan segala macam efisiensi yang terkait. Sejak tahun 1978 pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, China mulai terbuka bagi perdagangan luar negeri yang tidak ekslusif walaupun hanya dalam beberapa konteks. Hal tersebut kemudian diikuti oleh doktrin politik luar negeri The Peaceful Rise of China yang dicanangkan pada tahun 2000-an untuk memberi kesan pada dunia bahwa China bukan berdiri sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra negara-negara di dunia. Dengan mengedepankan soft power diplomacy , China mengembangkan konsep negara yang bersahabat dan turut bertanggung jawab terhadap perdamaian dunia.

Kesimpulan mengenai artikel ini dapat dimulai dari analisa situasional kontemporer. Menilik keadaan politik terkini di Asia Timur dan sekitarnya, berkembangnya China menyebabkan terjadinya dominasi dan hubungan luar negeri yang asimetrik antar negara di Asia Timur, bahkan di belahan dunia lain. Perilaku aktor lain di dalam kerangka delapan wilayah ekonomi regional inti, sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil China. Pertanyaan besarnya adalah, apakah dominasi ekonomi China akan semakin mengintegrasikan kawasan Asia Timur, ataukah sebaliknya. Hal ini bisa menjadi paradoks yang rentan berbalik pada China setiap waktu, jika tidak diimbangi dengan kalkulasi perilaku di bidang keamanan regional yang diharapkan tidak agresif.

Aspek-aspek mengenai unggulnya China tak terbantahkan dalam tulisan tersebut, namun pada kenyataannya negara-negara terbesar di Asia Timur seperti

Jepang dan Korea Selatan seakan terabsorpsi, selain karena krisis ekonomi global dan bencana alam telah merenggut kemajuan ekonomi mereka.

Intensitas perdagangan di wilayah Asia Timur cukup besar sejalan dengan naiknya popularitas China di dunia. Tak pelak jika China menjadi sentra dari perumusan kebijakan luar negeri berbagai negara. Pola interaksi dan kerja sama di Asia Timur telah dalam kendali China. Dominasi wilayah zona industri inti ini menjadikan konstelasi ekonomi-politik di Asia Timur menjadi statis, karena kekurangan warna kompetisi terutama dalam menghadapi daya saing China.

China memang fleksibel dalam pembangunan ekonomi dengan mekanisme penyesuaian dirinya yang sangat cepat. Hal tersebut berarti transformasi ekonomi juga mengalami penguatan. Namun berkaitan dengan ekonomi-politik, cerminan sikap bandwagoning Jepang dan Korea dari artikel ini mencerminkan kuatnya politik luar negeri China dalam bidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan.

Unifikasi regional dalam bidang ekonomi-politik nampaknya memiliki kemungkinan, hanya apabila jika China mengarahkan dominasi ekonominya ini kepada integrasi kawasan. Bentuk yang cukup sesuai dengan cita-cita politik seperti ini ialah regionalisasi, yang didefinisikan sebagai ekspresi meningkatnya transaksi komersial dan transaksi-transaksi lain yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan regionalisme kurang cocok dijadikan tujuan integrasi, jika tidak hendak menafikan kemungkinan akan diwujudkan. Regionalisme merupakan bentuk integrasi yang lebih canggih lagi, di mana terdapat perasaan persamaan identitas dan persamaan nasib, serta diikuti dengan pembentukan institusi yang mencerminkan collective action.

Sedangkan, dapat dikatakan bahwa karakteristik dari dominasi wilayah pesisir China pada awalnya adalah suatu bentuk interdependence, dimana China sangat membutuhkan pasar untuk produknya yang seringkali dihasilkan secara massal. Sementara Jepang dan Korea juga perlu mengurangi ongkos produksi di dalam negeri untuk bertahan dari kelesuan ekonomi yang belakangan menimpa ekonomi global. Tidak mengherankan bila kemudian China juga tidak terlalu berfokus untuk memasarkan produk industrinya ke Korea dan Jepang, serta Sedangkan, dapat dikatakan bahwa karakteristik dari dominasi wilayah pesisir China pada awalnya adalah suatu bentuk interdependence, dimana China sangat membutuhkan pasar untuk produknya yang seringkali dihasilkan secara massal. Sementara Jepang dan Korea juga perlu mengurangi ongkos produksi di dalam negeri untuk bertahan dari kelesuan ekonomi yang belakangan menimpa ekonomi global. Tidak mengherankan bila kemudian China juga tidak terlalu berfokus untuk memasarkan produk industrinya ke Korea dan Jepang, serta