WAWASAN Antologi Esai Pengajaran Bahasa

WAWASAN

ANTOLOGI ESAI PENGAJARAN

BAHASA DAN SASTRA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL PUSAT BAHASA BALAI BAHASA YOGYAKARTA

WAWASAN ANTOLOGI ESAI PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA (LOMBA PENULISAN ESAI PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA BAGI GURU SD SE-DIY, 2009)

Penanggung Jawab

Kepala Balai Bahasa Yogyakarta

Penyunting:

Tarti Khusnul Khotimah Imam Budi Utomo

Penerbit:

Balai Bahasa Yogyakarta Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224 Telepon (0274) 562070, Faksimile (0274)580667 Pos-el: balaibahasayk@plasa.com Laman: www.balaibahasa.org

Cetakan Pertama: Agustus 2009

ISBN: 978-979-188-197-5

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banya\k Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

SAMBUTAN KEPALA BALAI BAHASA YOGYAKARTA

Pepatah Latin mengatakan: verba valent scripta manent. Arti- nya, ucapan itu akan segera hilang dan musnah, sedangkan tulisan itu akan abadi dan dikenang. Tanpa harus memandang rendah budaya oral (ucapan, lisan), tanpa harus menganggap budaya literal (tulisan) lebih tinggi, kita tentu akan tetap dungu dan buta terhadap siapa itu Plato, Aristoteles, Mangkunegara, Rangga- warsita, dan atau filsuf-filsuf besar lainnya tanpa menjumpai dan membaca tulisan-tulisan atau karangan mereka. Dengan begitu, sangatlah jelas, tulisan, terutama tulisan yang didokumentasikan dan diabadikan, merupakan rantai yang tidak pernah putus yang menjadi jembatan ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya, suatu produk yang berupa “tulisan” (artikel, esai, feature, kolom, cerpen, novel, puisi, drama, atau apa pun) perlu mendapatkan tempat yang layak di dalam hati dan kehidupan kita; dan suatu proses yang disebut “menulis” perlu dibina, dikembangkan, dievaluasi, dan direvitalisasi secara terus-menerus agar hasil akhirnya menyem- purnakan hati dan kehidupan kita.

Demikian pulalah kiranya, antara lain, yang diharapkan dan akan diusahakan terus oleh Balai Bahasa Yogyakarta melalui pe- nerbitan buku ini. Sebagai sebuah lembaga pemerintah yang ber- gerak di bidang kebahasaan dan kesastraan, Balai Bahasa Yogya- karta mencoba mengabadikan tulisan-tulisan atau karangan- karangan ini yang –walau seberapa pun kadar atau makna muatan- Demikian pulalah kiranya, antara lain, yang diharapkan dan akan diusahakan terus oleh Balai Bahasa Yogyakarta melalui pe- nerbitan buku ini. Sebagai sebuah lembaga pemerintah yang ber- gerak di bidang kebahasaan dan kesastraan, Balai Bahasa Yogya- karta mencoba mengabadikan tulisan-tulisan atau karangan- karangan ini yang –walau seberapa pun kadar atau makna muatan-

Yogyakarta, Agustus 2009

Drs. Tirto Suwondo, M. Hum.

CATATAN DEWAN JURI

Tampaknya ada benarnya suara yang terdengar selama ini bahwa salah satu persoalan besar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SD terletak pada gurunya. Salah satu buktinya ialah ditunjukan oleh hasil Lomba Penulisan Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra bagi Guru SD se-DIY, yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Paparan tulisan mereka sangat normatif (teore- tis) yang berupa kompilasi pendapat orang yang diambil dari satu/ dua sumber. Mereka belum dapat menunjukkan ide-ide baru atau pemikiran yang cemerlang tentang pembelajaran bahasa dan sastra di SD. Dilihat dari sisi penggunaan bahasanya pun masih jauh dari harapan, sesuai dengan konteks penggunaan bahasa Indone- sia yang baik dan benar: dari persoalan ejaan, bentuk dan pilihan kata, pengalimatan, hingga pemaragrafannya. Akan tetapi, saya belum yakin jika tulisan-tulisan itu menggambarkan pola pikir para guru dan pengimplementasiannya dalam pembelajaran bahasa dan sastra di SD.

Pemahaman para guru tentang bentuk tulisan esai juga kurang tepat (salah). Entah di mana pangkal permasalahannya sehingga tulisan mereka hampir-hampir tidak ada yang dapat dikategori- kan sebagai jenis esai. Tulisan mereka lebih tepat digolongkan sebagai jenis makalah (kuliah). Akan tetapi, penghargaan yang tinggi tetap layak diberikan kepada mereka atas usahanya untuk menulis. Yang jelas bahwa kondisi seperti itu menjadi tantangan Pemahaman para guru tentang bentuk tulisan esai juga kurang tepat (salah). Entah di mana pangkal permasalahannya sehingga tulisan mereka hampir-hampir tidak ada yang dapat dikategori- kan sebagai jenis esai. Tulisan mereka lebih tepat digolongkan sebagai jenis makalah (kuliah). Akan tetapi, penghargaan yang tinggi tetap layak diberikan kepada mereka atas usahanya untuk menulis. Yang jelas bahwa kondisi seperti itu menjadi tantangan

Yogyakarta, Agustus 2009 a.n. Dewan Juri

Drs. Umar Sidik, S.I.P., M.Pd.

Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

Menumbuhkan Budaya Membaca-Menulis Melalui Media Berkarya untuk Siswa

 Yayan Rika Harari

1. Kompetensi Membaca-Menulis dan Era Informasi- Komunikasi

Membaca dan menulis merupakan dua kompetensi berba- hasa yang berperan sangat penting dalam dunia yang sudah me- masuki budaya membaca-menulis. Urgensi membaca dan menulis itu lebih-lebih semakin kuat kita rasakan ketika kemajuan teknologi informasi-komunikasi seperti saat ini mencapai taraf yang begitu mencengangkan. Media massa, baik yang konven- sional (seperti koran, majalah, jurnal, dan buku-buku) maupun yang mutakhir (situs-situs di dunia maya), tidak lain berisi tulisan. Kini kita benar-benar dikepung dan harus bergelut dengan tulis- an. Dalam tingkatan tertentu, misalnya komunikasi via pos elek- tronik atau disingkat pos-el (e-mail), sepenuhnya telah mengganti- kan aktivitas dengar-cakap.

Dari segi pengembangan kecakapan berpikir dan sikap men- tal, situasi tersebut sesungguhnya menguntungkan kita. Komuni- kasi tertulis yang kurang spontan dibandingkan dengan komuni- kasi lisan mengondisikan orang untuk “berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara”. Hal ini tentu sangat baik bagi pengembangan sikap mental agar kita tidak menjadi gegabah. Selain itu, komu- nikasi tulisan juga menuntut orang untuk menyampaikan sesuatu secara lebih lengkap dan tertib.

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

Orang yang terbiasa menulis, cara berpikirnya pun akan lebih lengkap (komprehensif), runtut, dan berhati-hati. Bukankah tulisan bersifat lebih permanen dan tidak hilang begitu saja dan bisa menjadi bukti yang sukar dibantah? Pendek kata, dunia membaca-menulis seharusnya membuat sikap mental dan kecakapan berpikir kita berkembang ke arah yang positif.

Di sisi lain tradisi baca-tulis itu pun terkait dengan perkem- bangan serta penguasaan ilmu dan pengetahuan, baik secara ko- lektif maupun individual. Sudah cukup dipahami bahwa tulisan merupakan alat untuk menyimpan dan mengabadikan pengeta- huan, gagasan, dan karya intelektual manusia. Bisa dipastikan bahwa semua informasi penting di dunia ini disusun secara ter- tulis. Oleh karena itu, membaca berarti juga membuka khazanah pengetahuan. Adapun menulis adalah upaya menambatkan dan menata pengetahuan sehingga pengetahuan tersebut menjadi lebih kekal dan lebih mudah disebarkan dan diwariskan nyaris tanpa batas. Berkat tulisan kita bisa menerima dan memelajari banyak pengetahuan dan gagasan para pemikir Yunani, misalnya. Akan tetapi, di tengah kepungan dunia yang penuh dengan tulisan itu, muncul banyak keluhan bahwa tradisi membaca kita masih le- mah, apalagi tradisi menulis. Di luar kebutuhan praktis-pragma- tis, sebagian besar masyarakat kita masih jarang membaca. Yang mereka baca tidak lebih dari sekadar buku telepon, iklan lowong- an kerja, resep masakan, atau pengumuman promosi dan obral di mal-mal. Yang mereka tulis adalah seputar nota pemesanan menu di rumah makan, kuitansi, dan slip penarikan tabungan.

Di luar itu, kebiasaan menulis mereka tidak lebih dari seka- dar memindahkan percakapan ke dalam tulisan. Mereka memang menulis, tetapi pada hakikatnya tidak lebih dari sekadar “meng- obrol”; mereka chatting melalui handphone dan internet. Jadi, alih- alih merasuk ke dalam budaya baca-tulis secara pelan-pelan, kultur kelisanan mereka saat ini malah dipertegas lagi oleh “kelisanan sekunder”, yaitu budaya lisan yang tumbuh karena difasilitasi oleh media informasi-komunikasi audiovisual, seperti radio, televisi, film, dan telepon.

Yayan Rika Harari

Kondisi tersebut merupakan suatu masalah yang cukup mendasar sebab terkait dengan sikap mental dan pola pikir yang belum sepadan dengan situasi zamannya. Upaya untuk mengatasi masalah ini tentu saja tidak mudah dan dibutuhkan kesabaran, selain diperlukan jangka waktu yang panjang untuk melakukan- nya. Selain itu, upaya ini memerlukan kemampuan untuk mem- baca perubahan zaman yang pesat yang kurang disadari bahwa manusia hidup di dalam perubahan zaman itu sendiri. Hal ini di- ibaratkan sebagai upaya seorang penumpang kapal raksasa yang akan melihat bahwa kapal yang ditumpanginya sedang melaju, atau bisa juga sebagai upaya untuk melihat bahwa bumi tempat berpijak sedang berputar.

Salah satu upaya untuk melakukan perubahan yang menyang- kut pola pikir dan sikap mental adalah melalui pendidikan. Sejauh menyangkut pendidikan, peranan orang tua dan guru tidak bisa ditinggalkan.

2. Peran Guru dalam Menumbuhkan Minat Membaca- Menulis

Bersama dengan orang tua, guru memegang peranan utama dalam pendidikan anak, yang salah satunya adalah upaya mena- namkan budaya membaca dan menulis. Sama seperti upaya pen- didikan pada umumnya, penumbuhan budaya membaca-menulis ini menuntut seorang guru untuk mampu menjadi inspirator, motivator, sumber informasi, fasilitator, apresiator, pengevaluasi, dan pengarah bagi siswa-siswanya. Demikianlah, peran guru me- mang lebih dari sekadar pemberi ilmu pengetahuan (bdk. DePorter, 2008:11).

2.1 Guru sebagai Inspirator

Sebagai inspirator, guru harus mampu menumbuhkan ke- sadaran dan membukakan wawasan bagi siswa-siswanya bahwa kemampuan membaca dan menulis merupakan dua hal yang sangat penting pada saat ini. Berbagai cara dapat ditempuh agar siswa

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

terinspirasi, misalnya, dengan menceritakan tokoh-tokoh besar yang umumnya adalah juga seorang penulis.

Dalam kapasitasnya sebagai inspirator pula, guru tidak hanya bisa menyuruh siswa untuk sering membaca dan menulis. Guru sepantasnya memberi teladan bagi siswa-siswanya dalam melakukan aktivitas baca-tulis. Guru dituntut menghasilkan banyak karya tulis. Dengan demikian, siswa-siswa terinspirasi untuk meng- ikuti apa yang telah dilakukan oleh gurunya.

2.2 Guru sebagai Motivator

Sebagai motivator, guru harus mampu mendorong anak didiknya untuk menguasai kemampuan membaca dan menulis. Berbagai cara dapat ditempuh agar siswa terdorong untuk me- nulis, misalnya dengan menugasi siswa untuk membaca biografi tokoh terkenal beserta karya-karya tulisnya, atau guru memper- kenalkan penulis-penulis sukses.

2.3 Guru sebagai Sumber Informasi

Guru yang memunyai kemampuan menulis yang baik, berwawasan luas, dan sekaligus memunyai sikap mental manusia pembaca-penulis tentu merupakan guru ideal yang dapat menjadi sumber informasi. Namun, jika kondisi ideal itu tidak terpenuhi secara baik, orang tua atau guru setidaknya memunyai kesadaran dan sikap mental bahwa dirinya hidup dalam dunia baca-tulis. Dengan demikian, guru setidaknya mampu memberikan inspirasi dan arahan agar anak didiknya mampu membaca dan menulis karena kedua kompetensi tersebut sangat diperlukan jika orang tidak ingin ketinggalan zaman.

2.4 Guru sebagai Fasilitator

Sebagai fasilitator, guru harus bisa memberikan fasilitas dan wadah atau media bagi siswa untuk memupuk kemampuan mem- baca dan menulis. Fasilitas ini tidak hanya berupa sarana fisik, seperti media tempat berkarya, tetapi juga berupa waktu, kesem- patan untuk bertemu penerbit, dan lain-lain.

Yayan Rika Harari

2.5 Guru sebagai Apresiator dan Penilai

Sebagai apresiator dan penilai, guru dituntut untuk bisa mem- berikan tanggapan yang memadai terhadap hasil-hasil yang telah dicapai siswa dalam kaitannya dengan kemampuan membaca dan menulis. Misalnya, guru dapat mendiskusikan karya tulis anak di dalam kelas. Apresiasi ini tidak hanya dilakukan oleh guru, tetapi juga melibatkan siswa. Misalnya, guru menugasi siswa untuk me- ngomentari karya tulis temannya, kemudian mendiskusikannya di kelas.

Berbagai metode dan media dapat digunakan oleh guru untuk menjalankan peranannya tersebut. Setiap metode dan media me- munyai keunggulan dan kelemahan. Tidak ada metode dan media yang unggul dan cocok untuk segala keadaan. Setiap situasi dan keadaan membutuhkan metode dan media tersendiri.

3. Praktik Langsung (Learning by Doing)

Sebagai guru, penulis telah mempraktikkan berbagai cara untuk mendorong dan menggairahkan siswa dalam membaca dan me- nulis, misalnya dengan penugasan, ceramah, diskusi, dan praktik langsung.

Di antara berbagai metode tersebut, menurut pengalaman penulis, metode praktik langsung merupakan satu cara yang efek- tif untuk menumbuhkan dan menggairahkan anak didik dalam menulis. Untuk melakukan metode ini penulis melakukan lang- kah-langkah berikut: (1) mengondisikan siswa sebagai penulis dengan menciptakan “Hari Menulis”, (2) menyediakan media berkarya seperti buletin dan mading (majalah dinding), (3) mem- berikan apresiasi karya dan penghargaan, seperti komentar dan diskusi tentang karya siswa di kelas, serta pemuatan karya siswa di buletin kelas, dan (4) memberikan tindak lanjut atas hasil karya siswa, misalnya dengan mengikutkan dalam lomba dan mengirim- kan karya ke penerbit.

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

3.1 Hari Menulis: Mengondisikan Siswa sebagai Penulis

Menulis sering dianggap sebagai kegiatan yang cukup mem- bosankan di berbagai sekolah. Siswa ditugasi mengarang dengan topik yang tidak menarik sehingga kesenangan dalam menulis pun hilang. Berangkat dari kenyataan itu, terciptalah ide membuat “Hari Menulis” saat pelajaran Bahasa Indonesia.

“Hari Menulis” merupakan nama sebuah program pembe- lajaran menulis. Ide untuk melakukan hal itu saya peroleh dari seorang rekan guru bernama Ibu Weda Arum Winarni, yang telah menjalankan program tersebut terlebih dahulu. Program “Hari Menulis” ini sebenarnya sederhana saja.

Sebagaimana telah tergambar dari namanya, “Hari Menulis” merupakan sebuah hari dalam satu minggu ketika jam pelajaran Bahasa Indonesia yang kami gunakan sepenuhnya untuk mem- buat karya tulis. Pada hari tersebut kami sebagai guru dan siswa, boleh dikatakan “bersenang-senang dan berpesta-pora” membuat karya tulis. Suasana senang ini penting karena merupakan salah satu aspek yang berperan untuk membangkitkan motivasi belajar (bdk. Hernowo, 2005:7). Siswa dibebaskan dalam menggunakan waktu pelajaran Bahasa Indonesia untuk membuat karya tulis berbentuk apa saja sesuai dengan minat mereka di dalam sebuah buku khusus yang disebut “Buku Karya”. Siswa dapat berkreasi tanpa ada beban kewajiban untuk memenuhi atau menyelesaikan tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hasil karya tulis siswa pun tidak memengaruhi penilaian mata pelajaran Bahasa Indo- nesia. Tidak menjadi masalah apa saja jenis tulisan siswa. Makin banyak tulisan yang mereka buat, apa pun jenisnya, akan mem- buat siswa makin terampil menulis. Meskipun demikian, di “Hari Menulis” itu kami mengharapkan “Buku Karya” sebagai wadah siswa mempraktikkan materi pokok yang telah kami ajarkan, se- perti membuat pantun, menulis surat pribadi, membuat pengumum- an, membuat petunjuk menggunakan alat, membuat petunjuk melakukan sesuatu, dan membuat petunjuk melakukan percoba- an. Oleh karena itu, hasil belajar yang diharapkan dari standar

Yayan Rika Harari

kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia pun bisa terpenuhi. Ibaratnya, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Siswa berbahagia, guru pun berbahagia.

Walaupun hasil karya tulis siswa tidak memengaruhi penilai- an, guru akan memberikan apresiasi dengan membaca dan mem- berikan tanggapan terhadap karya siswa. Di sinilah guru sebagai apresiator dan penilai berperanan. Tentu saja untuk memberikan kebanggaan, motivasi dan pujian merupakan cara yang efektif supaya siswa terus menulis. Setelah siswa terampil menulis, guru menawarkan saran dan kritik (Leonhardt, 2002:32).

3.2 Media Berkarya Siswa

Setelah berhasil mengondisikan siswa untuk menulis, guru memfasilitasi siswa untuk “memublikasikan” karya-karya siswa dengan membuat buletin kelas. Materi buletin tersebut diambil- kan dari bank karya yang sangat melimpah dari “Buku Karya” setiap siswa. Karya-karya siswa itu diseleksi. Yang layak dimuat kemudian digunakan untuk mengisi rubrik-rubrik dalam buletin yang diterbitkan.

Setelah mendapatkan karya yang layak dimuat, naskah di- ketik lalu dibuat tata letaknya (lay-out). Untuk itu, guru diharap- kan memunyai keterampilan menggunakan komputer. Akan tetapi, misalkan tidak menguasai, cukup banyak jasa yang dapat mem- bantu guru dalam me-lay out sebuah buletin.

Siswa yang karyanya dimuat pasti akan merasa bangga dan termotivasi untuk membuat karya lagi. Adapun siswa lain yang kar- yanya belum dimuat akan terdorong membuat karya dan mening- katkan kualitas karyanya supaya dapat dimuat dalam buletin. Selain itu, untuk lebih membanggakan, disediakan pula hadiah bagi siswa yang karyanya dimuat dalam buletin. Hadiah ini sema- cam honor seperti layaknya media massa memberikan apresiasi kepada para penulis yang tulisannya dimuat. Seberapa pun hadiah yang didapat, siswa pasti akan menerima dengan bahagia.

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

Dalam proses penerbitan buletin, guru diharapkan memu- nyai waktu dan tenaga khusus di luar kesibukannya sebagai guru. Seperti telah kita ketahui bahwa guru harus memenuhi jam meng- ajar dan mengerjakan administrasi guru yang sesungguhnya telah banyak menyita waktu dan perhatian guru kepada siswa.

3.3 Tindak Lanjut atas Karya dan Pencapaian Siswa

Setelah siswa berkarya dan layak dianggap sebagai penulis profesional, karya-karya mereka didiskusikan layaknya para ahli sastra mendiskusikan suatu karya sastra, kemudian karya itu diterbitkan dan dibaca serta dinilai seperti layaknya penikmat sastra, saya merasa bahwa itu semua belum cukup.

Semua itu tidak boleh berhenti di kelas begitu saja. Tiba saat- nya saya keluar sekolah untuk membawa dan menguji karya-karya siswa kepada publik yang sesungguhnya. Ya, kami “go public!” Ini saya tempuh sebagai upaya untuk memberikan tindak lanjut atas antusiasme siswa dalam berkarya.

Ada berbagai cara yang telah saya tempuh untuk menguji karya-karya siswa di hadapan publik di luar kelas. Pertama, saya mengikutkan siswa dan hasil karya siswa dalam berbagai lomba yang berkaitan dengan kompetensi membaca dan menulis, seperti lomba menulis atau membaca puisi, lomba menulis cerpen, lomba mading, dan lomba menulis buku. Kedua, saya mengirimkan nas- kah-naskah terbaik siswa ke penerbit, antara lain naskah novelet berjudul 5 Sekawan in Memory yang dikirimkan ke Penerbit Mizan.

Meskipun belum mendapatkan hasil yang maksimal, usaha itu tidak sia-sia. Kami berhasil memenangi berbagai lomba, antara lain (1) Juara 1 Lomba Menulis Buku Raksasa dalam “Pesta Buku Ikapi Jogja 2009”, (2) Juara II s.d. Harapan II Pemilihan “Raja dan Ratu Buku” oleh Badan Perpusda 2006, (3) Juara I s.d. III Pemi- lihan “Raja dan Ratu Buku” oleh Badan Perpusda 2007, (4) Juara

II Lomba “Menulis Surat untuk Ibu” Tingkat Provinsi yang dise- lenggarakan oleh Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) dan Harian Kedaulatan Rakyat 2006, (5) Juara Harapan I Lomba

Yayan Rika Harari

“Minat Baca” Tingkat Kabupaten Sleman yang diselenggarakan oleh Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah 2007, (6) Lomba “Cipta dan Baca Puisi dalam Festival Kompetensi dan Kreativitas SD/MI” Kabupaten Sleman 2008, (7) Juara II “Mengarang Cerpen dalam Festival Kompetensi dan Kreativitas SD/MI” Kecamatan Depok 2009, (8) Juara II “Lomba Mading” Tingkat Kabupaten Sleman yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Sleman 2008, dan (9) Juara I “Lomba Mading” Tingkat Kabupaten Sleman yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Sleman 2009.

Sejumlah kemenangan itu belum menjadi tolok ukur keber- hasilan yang memadai. Namun, setidak-tidaknya hal itu merupa- kan pengakuan secara tidak langsung atas efektivitas pembelajar- an menulis yang telah kami tempuh. Sekecil apa pun, pengakuan itu membuat kami untuk terus melakukan pembelajaran mem- baca dan menulis.

Daftar Pustaka

DePorter, Bobbi et al. 2008. Quantum Teaching; Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas . Diterjemahkan oleh Ary Nilandary dari Quantum Teaching: Orchestrating Student Succes . Cetakan ke-22. Bandung: Kaifa.

Hernowo. 2005. Menjadi Guru yang Mau dan Mampu Mengajar Seca- ra Menyenangkan . Cetakan ke-1. Bandung: Mizan Learning Center.

Leonhardt, Mary. 2002. 99 Cara Menjadikan Anak Anda Bergairah Menulis. Diterjemahkan oleh Eva Y. Nukman dari 99 Ways to Get Kids Love Writing . Cetakan ke-3. Bandung: Kaifa.

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

Lampiran

Contoh media berkarya untuk siswa di SD Muhammadiyah Condongcatur, Depok, Sleman.

Gambar 1: Majalah dinding Daun milik siswa kelas V

Gambar 2: Buletin Tiga dan Sekawan milik siswa kelas III dan IV

Gambar 3: Tim redaksi majalah dinding Pena dalam suatu lomba

Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

Dapatkah Bahasa dan Sastra Indonesia Menjadi Pelajaran Favorit di SD?

 Bambang Sukisno

Pada saat ini bahasa Indonesia telah menjadi bahasa utama bagi mayoritas siswa di Indonesia. Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sendiri merupakan mata pelajaran strategis. Penguasaan Bahasa dan Sastra Indonesia sejak awal, bahkan di tingkat SD, akan menentukan kesuksesan belajar siswa selan- jutnya. Hal ini disebabkan oleh pendidik (guru) menggunakan bahasa Indonesia dalam menularkan ilmu pengetahuan, tekno- logi, seni, dan informasi kepada siswa.

Goodman (dalam Santoso, 2007:2—3) menyebutkan bahwa anak–anak telah belajar dan menguasai bahasa jauh sebelum mereka bersekolah. Sebelum bersekolah, anak-anak tidak mengalami kesulitan dalam belajar bahasa Indonesia secara nonformal di rumah. Keadaan menjadi terbalik ketika anak mulai bersekolah dan men- dapatkan pelajaran bahasa. Bahasa yang semula merupakan hal yang mudah dan mengasyikkan berubah menjadi pelajaran yang menjenuhkan.

Realitas menunjukkan bahwa pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SD bukan termasuk pelajaran yang difavorit- kan oleh siswa. Siswa lebih menyukai pelajaran lain, seperti IPA, IPS, atau Matematika. Ini terlihat dari menurunnya rata-rata nilai pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia pada UASBN tahun ajaran 2008/2009. Prof. Suwarsih Madya, Ph.D., selaku Kepala Dinas

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

Pendidikan Propinsi DIY, memaparkan bahwa penurunan terjadi pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, yakni dari rata-rata nilai 8,22 menjadi 7,89 (DIKPORA, 2009).

Mengingat peran strategis mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SD, siswa sudah seharusnya didorong agar menyu- kai pelajaran tersebut. Beberapa permasalahan mendasar yang menyebabkan pelajaran itu kurang atau tidak digemari sama se- kali oleh siswa, muncul dalam kegiatan pembelajaran. Permasa- lahan tersebut terlihat dari aspek psikologis siswa atau guru, aspek pembelajaran, aspek kompetensi ujian, dan aspek kepopuleran.

1. Permasalahan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Pelajaran Favorit

1.1 Aspek Psikologis

Aspek psikologis ini berupa sikap mental meremehkan pela- jaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia cenderung dianggap remeh dan dianggap kurang pen- ting oleh siswa ataupun guru. Sikap meremehkan ini dimungkin- kan karena adanya anggapan bahwa Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan pelajaran yang mudah, tidak seperti pelajaran berhi- tung dan IPA. Guru juga lebih terfokus pada mata pelajaran se- perti Matematika. Matematika dianggap sebagai pelajaran yang favorit meskipun sebagian siswa sulit memahaminya. Di sisi lain, sikap meremehkan ini timbul karena siswa dan guru merasa seba- gai penutur asli bahasa Indonesia yang bisa menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

1.2 Aspek Pembelajaran

Tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah adalah mengembangkan keterampilan berbahasa, baik secara tertulis maupun lisan. Keterampilan berbahasa yang dimaksud berupa keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa tujuan pembe- lajaran Bahasa dan Sastra Indonesia tersebut masih sulit di-

Bambang Sukisno

wujudkan di lapangan. Antara gagasan dan kenyataan dalam ke- giatan pembelajaran ibarat ‘masih jauh panggang dari api’. Per- masalahan pada segi pembelajaran itu sendiri merupakan aspek terbesar penyebab kurang favoritnya pelajaran ini di mata siswa SD. Salah satu faktor penyebab kegagalan aspek pembelajaran adalah kurang bervariasinya metode pembelajaran yang dilaksa- nakan dalam kegiatan pembelajaran.

Kegiatan pembelajaran membaca dan menulis cenderung monoton dan kaku. Dalam pembelajaran membaca, pada umumnya guru meminta siswa membaca nyaring atau dalam hati. Guru kemudian meminta siswa menjawab beberapa pertanyaan tentang isi bacaan atau menceritakan isi bacaan secara tulis atau lisan. Demikian pula dengan soal UASBN SD tahun 2009 yang terkait dengan kompetensi membaca terfokus pada pemahaman bentuk dan isi cerita. Siswa dituntut harus mencari gagasan utama dari bagian-bagian paragraf hingga tema atau topik cerita. Ironisnya, sebagian guru jarang melatih siswa setiap hari agar siap terhadap kompetensi tersebut. Padahal, rata-rata siswa SD merasa kesulitan pada bagian tersebut.

Dalam pembelajaran menulis, misalnya, para siswa dibiar- kan langsung berpraktik menulis tanpa diajarkan bagaimana cara- nya menulis. Praktik ini sangat kentara pada kegiatan mengarang. Pada umumnya, guru menyediakan beberapa topik karangan, lalu siswa disuruh memilih salah satu untuk dikerjakan. Setelah siswa selesai menulis, hasil karangan dikumpulkan, dikoreksi, dan di- nilai oleh guru. Permasalahan mengarang timbul karena pengua- saan kosakata siswa yang masih terbatas. Di sisi lain, guru dapat mengalami kejenuhan saat melakukan koreksi terhadap karya tulis siswa. Jika dalam satu kelas terdapat tiga puluh anak, berarti guru harus membaca dan menilai tiga puluh karya tulis. Hal tersebut sering berakibat pada penilaian guru yang hanya melihat seberapa panjang tulisan atau halaman karangan tanpa membacanya. Itu belum termasuk keterbacaan tulisan anak yang berbeda–beda. Masalah bentuk tulisan siswa yang beragam karena pada kelas

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

rendah (kelas 1—3) tidak ada lagi pelajaran menulis halus (tegak bersambung). Dampaknya, tulisan siswa menjadi beragam, bahkan memunculkan istilah cowhek (diwoco dhewek), tulisan yang hanya bisa dibaca oleh siswa itu sendiri.

Sebagian besar guru SD juga jarang melakukan pembelajaran berbicara, apalagi menyimak. Kalau pun dilaksanakan, pembelajar- an itu hanya sepintas lalu. Para guru menganggap bahwa siswa sudah mampu melakukannya. Hal ini dikuatkan dengan peneli- tian Syamsi (2007:4) yang menyebutkan bahwa para guru umum- nya berpendapat jika melatih siswa berpidato, berceramah, ber- cerita, atau bertelepon hanya membuang-buang waktu, padahal evaluasi pembelajaran (tes sumatif, EBTA, ataupun EBTANAS (UAN atau UN) tidak pernah melakukan evaluasi keterampilan berbicara siswa.

Selain pembelajaran bahasa, pembelajaran sastra di SD juga memprihatinkan. Siswa banyak dijejali materi jenis-jenis karya sastra tanpa mendapatkan kesempatan untuk mengenal, menik- mati, dan menghayati karya sastra. Siswa seringkali hanya diper- kenalkan cuplikan novel atau prosa. Siswa juga hanya diperkenal- kan unsur-unsur karya sastra tanpa ada telaah lebih jelas dari guru. Oleh sebab itu, wajar bila sastra menjadi bagian pelajaran yang asing bagi siswa.

Jatah jam pertemuan untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat SD sudah banyak. Namun, peningkat- an kuantitias jam pertemuan dengan siswa ternyata kurang ber- dampak pada peningkatan kualitas pembelajaran mata pelajaran itu. Metode pembelajaran yang monoton dan terus-menerus dilakukan guru telah menyebabkan siswa menjadi jenuh dan ku- rang menyenangi kegiatan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indo- nesia. Pada akhirnya, siswa berpendapat bahwa pelajaran Bahasa dan Sastra Indones merupakan suatu beban yang memberatkan.

1.3 Aspek Kompetensi Ujian

Hasil ujian pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk kelas 6 SD tahun ajaran 2008/2009 di Propinsi DIY, meskipun

Bambang Sukisno

mengalami penurunan, rata-rata nilainya masih terbilang luma- yan. Hal tersebut lebih disebabkan oleh bentuk seluruh soal yang berupa pilihan ganda. Kelemahan terbesar dari soal jenis tersebut adalah siswa tidak memahami uraian prinsip bahasa dan sastra, seperti menulis kalimat, mengungkapkan kata-kata yang baik, membuat puisi, dan sebagainya. Ujian yang ada selama ini masih berupa aspek kemampuan membaca soal. Aspek keterampilan berbahasa yang lain belum terbidik, seperti menulis dan menyi- mak. Bahkan, untuk kompetensi menyimak, rata-rata SD tidak melaksanakannya dalam ujian praktik. Pengujian aspek berbicara memang sudah ada, tetapi praktik di lapangan masih terdapat ketimpangan di sana-sini. Ujian berbicara (ujian praktik) yang men- jadi kewenangan guru dan sekolah berdampak pada guru yang cenderung memudahkan ujian karena aspek ini tidak menentukan kelulusan. Hal itu terjadi karena tidak adanya standar kompetensi lulusan secara nasional untuk ujian praktik berbahasa. Padahal, ujian praktik diharapkan dapat memenuhi kompetensi bahasa dan sastra yang tidak tercakup dalam Ujian Akhir Sekolah Ber- standar Nasional (UASBN).

1.4 Aspek Kepopuleran Studi

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:889) mendefinisikan salah satu makna kata populer ialah dikenal dan disukai orang banyak (umum) . Syarat populer adalah dikenal dan harus disukai banyak orang. Sesuatu tidak bisa disebut sebagai populer jika hanya salah satu aspek saja yang terpenuhi. Sesuatu yang hanya dikenal saja atau sesuatu yang hanya disukai saja tidak bisa disebut sebagai populer.

Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di jenjang SD sudah ada sejak dulu, tetapi untuk era globalisasi saat ini masih kalah popu- ler dibandingkan dengan studi eksakta. Tidak terhitung lomba diadakan untuk memopulerkan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tanpa mengesampingkan niat baik penyelenggara lomba, sebagai seorang guru, dengan jujur saya merasa langkah tersebut masih

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

dalam bentuk ‘fragmen-fragmen kecil’. Hal tersebut dapat dilihat dari ‘warna’ lomba Bahasa dan Sastra Indonesia yang “kurang menantang”. Lomba yang diselenggarakan bagi siswa jenjang SD berkisar pada lomba baca dan cipta puisi, lomba mengarang, dan lomba pidato.

Lomba-lomba ‘berwarna’ monoton tersebut justru membuat siswa jenuh dan bosan. Hal inilah yang menyebabkan mata pe- lajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kurang terdengar gaung ke- populerannya. Siswa, guru, dan pihak sekolah yang mengirimkan delegasi, berpendapat bahwa membaca puisi atau pidato mudah karena cukup dihapalkan dan dibaca saja. Pihak sekolah dan guru merasa lebih bangga mendidik dan mengirimkan siswa untuk meng- ikuti lomba sains atau matematika, bahkan hingga level olimpiade nasional. Salah satu faktornya, olimpiade sains atau matematika begitu populer dan lebih menantang. Bahkan, lomba tersebut di- selenggarakan hingga jenjang SMA.

2. Beberapa Langkah Menuju Gelar Favorit

Beberapa aspek permasalahan tersebut perlu dipecahkan ja- wabannya dalam praktik di lapangan. Hal ini dimaksudkan agar ‘gelar’ pelajaran favorit tidak selalu melekat pada pelajaran IPA ataupun Matematika. Bahasa dan Sastra Indonesia pun diharap- kan dapat menjadi pelajaran favorit di kalangan siswa SD.

2.1 Mengatasi Aspek Psikologis Meremehkan Pelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia

Cara pertama mengatasi sikap para siswa yang meremehkan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah dengan memberi- kan terapi kejut (shock therapy) terlebih dahulu, khususnya terha- dap siswa kelas VI yang akan menempuh UASBN. Caranya ada- lah dengan memberi soal yang tingkat kesulitannya tinggi sehing-

ga menyebabkan siswa penasaran. Hasil jawaban siswa dinilai lalu dipresentasikan pada saat pertemuan guru dan orang tua/ wali siswa. Presentasi dilakukan di hadapan para siswa dan orang

Bambang Sukisno

tua/wali siswa. Harapannya, siswa mengetahui bahwa pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang selama ini cenderung diremeh- kan karena dianggap mudah untuk dikerjakan ternyata sulit. Di sisi lain, orang tua/wali siswa dapat lebih terpacu mendorong buah hatinya untuk menekuni pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai mata pelajaran UASBN.

Strategi penekanan di masa-masa awal kelas VI tentunya juga menuntut konsekuensi guru. Siswa tidak boleh dibiarkan terus tertekan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Langkah selanjutnya setelah strategi ini adalah menginovasikan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indo- nesia. Pembelajaran yang lebih kreatif setelah ‘tekanan’ diberikan diharapkan dapat membuat siswa lebih tertarik.

2.2 Memperbaiki Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia

Salah satu ciri kurikulum KTSP yang diberlakukan pada saat ini adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Muslich (2007:43) dan Hardiningtyas (2008:120--121) mengungkapkan ciri pembelajaran berdasarkan KTSP melibatkan tujuh komponen utama, yaitu (1) konstruktivisme (membangun pemahaman), (2) bertanya, (3) menemukan, (4) masyarakat belajar, (5) pemodelan, (6) refleksi, dan (7) penilaian autentik. Pembelajaran berdasarkan tujuh komponen tersebut menuntut peranan aktif siswa. Sesuai dengan komponen konstruktivisme, guru hanya membantu siswa memperoleh pengetahuan melalui sarana metode yang inovatif. Konstruktivisme adalah paham pembelajaran yang menuntut siswa membangun pemahaman sendiri terhadap suatu bidang studi. Dengan demikian, proses pembelajaran diharapkan tidak sekadar mentransfer ilmu dari guru ke siswa, tetapi lebih pada kemampu- an siswa dalam bekerja, mengalami, dan memahami.

Tulang punggung kesuksesan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia terletak pada metode pembelajaran yang dijalankan oleh guru. Di atas kertas, rangkaian inovasi metode pembelajaran

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

Bahasa dan Sastra Indonesia perlu dilaksanakan setiap guru, khu- susnya di tingkat SD. Permasalahan justru terletak pada pelak- sanaan di lapangan. Mayoritas guru masih menjalankan metode yang monoton, seperti metode ceramah, metode tanya-jawab, atau metode penugasan. Metode-metode pembelajaran tersebut lebih terpusat pada guru, bukan terpusat pada siswa.

Praktik di lapangan menunjukkan sebagian besar guru SD merasa kesulitan untuk menerapkan tujuh komponen KTSP da- lam metode pembelajaran yang inovatif. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan (ketika menjadi pemandu guru SEQIP tingkat propinsi), khususnya di UPT wilayah Yogyakarta Selatan, hal ter- sebut kemungkinan disebabkan oleh (1) kurangnya pemahaman guru SD terhadap KTSP, (2) sebagian guru SD (agak egois) sudah merasa ‘nyaman’ menggunakan metode-metode monoton, pa- dahal metode tersebut telah sukses membuat siswa jenuh dan bosan, (3) sebagian guru sudah ada yang ingin dan ‘berniat’ untuk melakukan inovasi, tetapi kesulitan bagaimana cara melakukan- nya.

Dari hal tersebut, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa titik tolak permasalahan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia terletak pada kekurangpahaman dan kompetensi guru SD. Guru SD perlu diberikan pendidikan dan pelatihan (diklat). Diklat yang telah diselenggarakan sangat baik manfaatnya bagi guru SD. Na- mun, diklat yang dilaksanakan secara masif dan dalam jangka waktu yang pendek, masih dipandang kurang efektif. Hal itu hanya akan menghasilkan mayoritas guru SD berkompetensi karbitan karena guru dipaksa dan ditekan untuk bisa menguasai inovasi pembe- lajaran modern dalam waktu yang singkat.

Depdiknas, dalam hal mata pelajaran IPA di SD, telah me- nyelenggarakan program SEQIP. Dalam program SEQIP, awalnya di setiap wilayah UPT SD (unit pelaksana teknis sekolah dasar) kabupaten/kota dipilih guru-guru yang memiliki potensi. Guru- guru tersebut dibimbing dan dilatih metode pembelajaran modern yang inovatif. Hasil diklat lalu diberi penilaian oleh asesor

Bambang Sukisno

pendamping dari dosen LPTK dan guru pemandu senior tingkat propinsi. Guru-guru tersebut diseleksi, dan guru yang lulus akan diberi tugas membimbing pembelajaran IPA dengan jumlah mini- mal tiga SD di kecamatan masing-masing. Guru-guru tersebut dalam memandu sekolah binaannya tetap dipantau dan dinilai. Guru yang sukses akan diangkat menjadi guru pemandu tingkat kabupaten/kota, lalu diseleksi kembali untuk menjadi guru pe- mandu tingkat propinsi. Proses berjenjang dan mengacu pada konsep peer teaching yang memanfaatkan jaringan UPT ini dirasa- kan lebih terlihat keefektifannya dalam membuka wawasan dan melatih kompetensi para guru SD.

Melihat dari strategisnya pelajaran Bahasa dan Sastra Indo- nesia, khususnya di tingkat SD, perlu dilakukan terobosan dalam pembinaan guru. Pelatihan guru model SEQIP perlu dilakukan dengan kerja sama antarlembaga, seperti universitas, dinas pen- didikan, LPMP, balai/kantor bahasa di setiap propinsi, serta prak- tisi bahasa, seperti jurnalis. Harapannya, pengembangan kompe- tensi guru SD dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia lebih terjamin kualitasnya dan dapat terlihat hasilnya di lapangan.

2.3 Melengkapi Kompetensi Ujian dengan Standardisasi

secara Nasional pada Ujian Praktik

KTSP memiliki karakteristik menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa (Muslich, 2007:21). Mengacu pada KTSP, sudah seharusnya kompetensi siswa lulusan SD untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat terpenuhi. Pemenuhan kompe- tensi dapat diukur dari UASBN dan ujian praktik. Ujian praktik diselenggarakan untuk melengkapi kompetensi yang tidak ter- cakup dalam UASBN, seperti menulis, menyimak, dan berbicara. Selama ini, ujian praktik diselenggarakan setiap sekolah. Pada umumnya, ujian praktik lebih mengarah pada kompetensi menu- lis dan berbicara. Kompetensi menyimak masih belum tersentuh. Bahkan, acuan ujian praktik di setiap sekolah tidak sama. Agar terjadi pemerataan siswa lulusan SD yang memiliki kompetensi

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

Bahasa dan Sastra Indonesia, sudah seharusnya dilakukan stan- dardisasi ujian praktik tingkat nasional.

2.4 Menyelenggarakan Olimpiade Bahasa dan Sastra Indonesia (OBSI)

Agaknya, berbagai pihak yang berwenang dan peduli ter- hadap Bahasa dan Sastra Indonesia perlu belajar sejenak dari bidang studi lain yang difavoritkan dan populer di kalangan siswa SD, seperti Matematika dan IPA. Ada Olimpiade Matematika, Olim- piade IPA, tetapi mengapa Olimpiade Bahasa dan Sastra Indo- nesia belum pernah diselenggarakan? Padahal, Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan salah satu mata pelajaran ujian nasional. Sudah seharusnya kita membuat terobosan. Memanfaatkan mo- men bulan bahasa, sudah selayaknya Bahasa dan Sastra Indonesia disejajarkan kepopulerannya dengan diselenggarakannya Olim- piade Bahasa dan Sastra Indonesia (OBSI). Penyelenggaraannya harus disejajarkan dengan olimpiade bidang studi lainnya, mulai dari tingkat kecamatan hingga nasional. Dengan adanya OBSI, diharapkan menjadi salah satu faktor pendorong populernya Ba- hasa dan Sastra Indonesia, khususnya di kalangan siswa SD. Apa- bila sudah populer, siswa lebih mudah didorong untuk menjadi- kan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai mata pelajaran favorit.

Suksesnya Bahasa dan Sastra Indonesia di SD menjadi pela- jaran favorit tidak terlepas dari peranan guru di lapangan dan pihak berwenang yang mendukung dari luar lapangan. Kedua pihak tersebut memegang peranan kunci. Pembelajaran Bahasa dan Sas- tra Indonesia yang masih membuat siswa jenuh perlu ditinggal- kan. Tentunya, guru sebagai ujung tombak pembelajaran di la- pangan perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Beberapa langkah berikut dapat membuat pelajaran Bahasa dan Sastra Indo- nesia menjadi pelajaran favorit, yaitu (1) memberikan soal sulit di awal pembelajaran kelas VI untuk mengatasi sikap meremeh- kan, (2) memperbaiki metode pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan pelatihan guru ala SEQIP, (3) melengkapi kom-

Bambang Sukisno

petensi ujian dengan standarisasi secara nasional pada ujian prak- tik, dan (4) menyelenggarakan Olimpiade Bahasa dan Sastra Indo- nesia. Langkah-langkah tersebut diharapkan dapat menumbuh- kan semangat siswa untuk belajar Bahasa dan Sastra Indonesia.

Daftar Pustaka

DIKPORA, 2009. Dalam http://www.pendidikan-diy.go.id. Diunduh pada tanggal 22 Juni 2009. Hardiningtyas, Puji Retno. 2008. “Implementasi Pengajaran Sastra Indonesia di Sekolah: Upaya Pemahaman Berbasis Kompe- tensi dan Pendekatan Kontekstual.” Dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia XVI . Yogyakarta: HPBI Cabang Yogyakarta.

Muslich, Masnur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual . Jakarta: Bumi Aksara. Santoso, Puji. 2007. Materi dan Pembelajaran Bahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Syamsi, Kastam. 2007. Inovasi Model Pembelajaran Bahasa Indonesia. Yogyakarta: UNY. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia . Edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

Guru Bahasa Indonesia Harus Bisa Menulis: Sebuah Soliloqui Otokritik

 Arif Rahmanto

Beberapa hari ini saya benar-benar gelisah. Banyak hal yang ternyata belum saya kuasai dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Kegelisahan itu lebih mengusik hati ketika banyak teman guru yang berdiskusi dan mencari tahu apa dan bagaimana menulis esai. Usut punya usut, akar diskusi para guru itu ternyata adalah sebuah lomba menulis esai yang sangat menarik yang diseleng- garakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Sebelum saya bergabung berdiskusi dengan mereka, saya bertanya dalam hati, apa motivasi mereka mencari tahu cara menulis esai. Toh, selama ini mereka adem ayem saja. Tak pernah ada lonjakan diskusi tentang menulis. Paling jauh teman-teman bertanya dan berdiskusi tentang arti awalan, cara menulis ejaan yang benar, maksud kalimat utama, dan pertanyaan-pertanyaan struktural kebahasaan lainnya. Saya curiga jangan-jangan kehebohan ini diakibatkan karena mereka tertarik akan hadiah yang dijanjikan panitia? Tapi, tak apalah itu sah-sah saja, toh semua itu juga dapat merangsang daya kreatif para guru dalam menulis, bahkan sebenarnya even seperti inilah yang diperlukan untuk “memaksa” para guru untuk menulis.

Nah, permasalahan kegelisahan saya bukan pada motivasi mereka, tetapi karena sebenarnya diam-diam saya juga tertarik mengikuti lomba tersebut entah karena ingin hadiahnya ataukah sebuah panggilan kreativitas sebagai guru Bahasa Indonesia. Ah,

Arif Rahmanto

tak tahulah sepertinya beda antara keduanya amatlah tipis. Lebih gelisah lagi karena saya sendiri tidak tahu pasti apa dan bagai- mana menulis esai itu. Belum sempat kegelisahan saya reda, tiba- tiba saya dikagetkan oleh pertanyaan beberapa murid saya kelas

IV dan kelas V tentang hal yang sama, yaitu apa yang disebut esai dan bagaimana cara menulis esai. Ini benar-benar cobaan yang ber- tubi-tubi bagi saya sebagai guru Bahasa Indonesia. Mereka, murid saya itu; membaca sebuah iklan di salah satu stasiun TV swasta tentang adanya lomba esai untuk siswa SD, SMP, dan SMA. Terus terang saya sempat glagepen. Untunglah saat itu jam pelajaran sudah akan usai. Jadi, ada kesempatan saya untuk mencari lagi referensi lengkap tentang esai. Jawaban pun saya tunda hari berikutnya dengan alasan waktu habis dan menerangkan esai membutuhkan waktu lebih banyak.

Mulailah saya bergerilya, membuka buku-buku di rumah yang lama tersimpan di rak dan belum sempat saya baca. Meskipun sebenarnya buku itu sudah tersimpan hampir 4 tahun lamanya. Pertama, saya buka sebuah buku yang lumayan tebal terbitan Pusat Bahasa, Jakarta yang berjudul Jendela Terbuka (Antologi Esai Mastera). Pada halaman pengantar ada tulisan Budi Darma dengan judul “Esai Sebuah Jendela Terbuka”, di sana esai didefinisikan: Bagai- kan filsafat dan sastra, esai adalah rhapsody. Rhapsody adalah pemi- kiran cemerlang yang dituangkan dengan cemerlang pula, seba- gaimana karya sastra yang cemerlang (Darma, 2005:xi).

Lebih jauh digambarkan juga tentang esai sebagai karya seni yang tentu saja memiliki formula lama yang pernah dikemukakan oleh Horace atau Horatio, yaitu dulce atau kenikmatan yang dapat dipetik dari karya seni tersebut dan utile, yaitu manfaat yang dapat diambil dari karya seni. Salah satu karakter esai dengan demikian adalah indah, menyenangkan, menarik, dan memberi kepuasan. Oleh karena itu, jika seseorang membaca esai, ia akan mendapat- kan sesuatu yang bermanfaat dan memperkaya pengalaman batin serta kecendekiaannya (Darma, 2005:xi).

Definisi Budi Darma ini masih menggelisahkan saya karena definisinya benar-benar merupakan “jendela yang terbuka” dan

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

sedikit membingungkan saya. Lebih dari tiga kali saya membaca definisi itu tetapi saya baru dapat melihat tentang kriteria isi dari sebuah esai sedangkan bentuknya belum dapat saya temukan. Di halaman-halaman berikutnya saya dapat membaca contoh- contoh model esai dari tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dari model-model penulisan esai ternyata benar-benar terbuka dan sedikit ada perbedaan gaya serta format dari masing-masing negara. Saya mengistilahkan bahwa esai ternyata sebuah ruangan yang terbuka. Begitu lebar, luas, dan kita dapat bergaya apa saja asal dapat dinikmati dan bermanfaat.

Kemudian saya melanjutkan perburuan tentang esai di buku karya Ismail Marahimin yang berjudul Menulis Secara Populer, ter- bitan Pustaka Jaya. Sungguh luar biasa menarik, berbagai cara me- nulis dan contoh jenis tulisan, mulai dari tulisan deskripsi, narasi, eksposisi, dan artikel terpampang di sana. Setidaknya buku ini mem- beri gambaran kepada saya tentang gaya menulis, meskipun belum saya dapatkan pencerahan tentang menulis esai.

Saya acak-acak lagi rak buku. Siapa tahu ada buku yang ter- selip dan masih dapat memberikan keterangan tentang apa dan bagaimana menulis esai. Terlihat sebuah buku berwarna hitam dengan warna judul merah. Tertulis dalam warna merah itu MOZAIK: Upaya Pemasyarakatan Bahasa dan Sastra , terbitan Balai Bahasa Yogyakarta. Mulai saya buka lembar demi lembar. Dari buku ini saya melihat model penulisan yang sepertinya mengarah pada sebuah jurnal. Tulisan-tulisan di dalamnya merupakan mo- zaik kumpulan karya ilmiah. Saya kemudian dapat menyimpul- kan persamaan dan perbedan antara karya ilmiah dan esai. Dalam karya ilimah terdapat berbagai kajian objektif berdasarkan data, fakta, dan analisis serta pengkajian rujukan pustaka. Adapun dalam esai cenderung subjektif sesuai pendapat dan ide penulis walaupun masih harus dalam ranah logika dan alur yang runtut. Persamaannya adalah adanya sistematika yang urut seperti pem- bukaan, latar belakang masalah, pembahasan masalah, dan kesim- pulan meskipun di dalam esai urutan itu tidak eksplisit seperti

Arif Rahmanto

halnya karya ilmiah. Referensi ini sedikit membuka wawasan saya. Setidaknya saya sudah dapat menjawab pertanyaan dari para siswa tentang menulis esai. Namun, wawasan ini ternyata belum mem- buat saya cukup percaya diri untuk menulis. Rasanya masih sangat mengambang apa yang disebut esai itu.

Tiba-tiba saya teringat sebuah “mainan” baru di internet. Se- buah jejaring sosial yang sedang marak, yaitu facebook. Di sini kita dapat mencari orang dan kemudian menghubunginya. Orang per- tama yang saya hubungi adalah Putu Wijaya, kemudian Ahma- dun Yosi Herfanda, dan Sutardji Calzoum Bachri. Namun, mereka barangkali sedang sibuk sehingga saya tidak segera mendapatkan konformasi. Alhasil, pertanyaan saya tentang esai tidak terjawab. Perburuan di dunia maya pun saya lanjutkan dengan mencari Mas Agus R. Sarjono, seorang sastrawan yang juga penulis esai hebat di negeri ini. Bermodalkan foto saya bersama beliau bebe- rapa waktu lalu, saya pun memberanikan diri menyapa. Betapa senang hati saya karena beliau mau menjawab di inbox saya. Begini percakapannya:

Arif Rahmanto May 13 at 8:42am: Mas Agus saya peserta workshop bengkel sastra di Pusat Bahasa tahun 2006 yang lalu... moga masih ingat. cerita tentang pedagang telor selalu memberi inspirasi bagi saya.... moga saya dapat menimba ilmu lagi melalui facebook ini

Agus R. Sarjono May 14 at 12:08am : ingat dong, salam kreatif selalu ya

Arif Rahmanto May 14 at 8:50am: terimakasih mas agus. o iya saya langsung mau nanya ini.. di bulan juni saya akan mencoba ikut lomba essay untuk guru di Yogyakarta temanya tentang pembelajaran Bahasa Indonesia. waduh saya bingung. bingung tentang ben- tuk essay tuh loh mas? apa bedanya essay dan kolom

WAWASAN: Antologi Esai Pengajaran Bahasa dan Sastra

seperti kolomnya umar kayam? dan juga beda essay dengan karya ilmiah? he he he maaf pertanyaannya banyak