MEMBACA ANOMALI POLITIK MENJELANG PEMILI

1|Membaca Anomali Politik

Membaca anomali politik menjelang pemilihan umum:
Perilaku perdukunan dikancah politik

Teguh Hindarto

Menarik mengamati panggung politik Indonesia khususnya menjelang
pemilihan umum. Fenomena perdukunan politik sudah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan setiap menjelang pemilihan umum. Demikian pula
menjelang pemilihan umum 2014 ini, berbagai media melaporkan
bagaimana sejumlah dukun politik mengalami peningkatan pesanan dari
berbagai pejabat dan politisi, dari level lurah sampai pejabat eksekutif,
legislatif bahkan yudikatif1.
Anomali Politik
Fenomena pemilihan legislatif, eksekutif, yudikatif dengan melibatkan jasa
paranormal dan dukun politik nampaknya khas Indonesia dan tidak
ditemui di negara-negara penjunjung demokrasi seperti Amerika atau
Eropa. Jika tahun lalu saya memberikan istilah “Anomali Sosial”2 terkait
berbagai perilaku irasional di masyarakat kita, maka fenomena
perdukunan menjelang pemilihan umum saya istilahkan dengan “Anomali

Politik”. Mengapa saya katakan anomali politik? Karena jika pemilihan
umum mensyaratkan kemampuan personal dan mesin politik pengusung
untuk menaikkan elektabilitas seseorang secara rasional, maka perilaku
1

Tak terhitung banyak caleg dan politikus datangi dukun Diajeng
http://www.merdeka.com/peristiwa/tak-terhitung-banyak-caleg-dan-politikusdatangi-dukun-diajeng.html
2

Teguh Hindarto, Anomali Sosial & Tendensi-tendensi Irasional
http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/04/anomali-sosial-dan-tendensitendensi_25.html

2|Membaca Anomali Politik

anomali politik justru menekankan pada peranan-peranan kekuatan gaib
untuk menaikkan eletabilitas dan keterpilihan dirinya menduduki jabatan
publik.
Nampaknya Indonesia belum menuntaskan fase-fase pertumbuhan
dirinya, sehingga fase-fase yang seharusnya sudah ditinggalkan jauh
justru masih tetap dipertahankan. Beberapa ahli kebudayaan seperti Prof.

C.A. van Peurseun pernah menuliskan tahapan dan fase pertumbuhan
kebudayaan manusia menjadi “tahap mistis, tahap ontologis, tahap
fungsionil”. Beliau menjelaskan ketiga tahapan tersebut sbb:
“Yang dimaksudkan dengan tahap mistis ialah sikap manusia yang
merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya,
yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya atau kesuburan, seperti
dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa
primitif…Yang dimaksudkan dengan tahap kedua atau ontologis ialah
sikap manusia yang tidak hidup lagi dalam kepungan kekuasaan mitis,
melainkan yang secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal.
Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dulu
dirasakan sebagai kepungan. Ia mulai menyusun suatu ajaran atau
teori mengenai dasar hakikat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai
segala sesuatu menurut perinciannya (ilmu-ilmu)…Tahap ketiga atau
fungsionil ialah sikap dan alam pikiran yang makin nampak dalam
manusia modern. Ia tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya
(sikap mistis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap
obyek penyelidikannya (sikap ontologis)” 3

Sekalipun fakta sosial kita telah memasuki zaman modern dengan

penanda tahapan ontologis dan fungsionil, dengan melewati beberapa
rezim pemerintahan – Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi – namun
perilaku yang mencerminkan tahapan mitis masih terjadi, termasuk
menggunakan jasa gaib melalui praktek perdukunan untuk memperoleh
kedudukan dan jabatan politis.
3

Prof. C.A. van Peurseun, Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius 1992, hal
18

3|Membaca Anomali Politik

Kita masih ingat beberapa bulan lalu salah satu televisi swasta
mengundang seorang dukun politik yang sangat dikenal. Namanya Dr. KH
Desembrian Rosyady S.Ag, SH, SE, MM, MBA. Dengan keyakinan tinggi
dirinya menjanjikan kepastian keberhasilan jika seseorang memakai jasa
dirinya agar mendapatkan jabatan publik. Bahkan dirinya membagibagikan brosur-brosur yang mengiklankan kemampuannya tersebut. Salah
satu media sosial mencatat tarif atas jasanya dari ratusan juta sampai
milyaran bahkan trilyunan sebagaimana dikatakan:
“Tarif yang dipasang Rosyadi seperti berikut: Rp 1 triliun untuk

seorang capres, calon gubernur minimal Rp 5 miliar, untuk bupati
atau wali kota harus disediakan Rp 2 miliar. Untuk caleg tingkat
kabupaten/kota mencapai Rp 100 juta, tingkat provinsi Rp 200 juta
dan untuk DPR pusat dapat mencapai Rp 300 juta”4.

Desembrian Rosyady mengaku bahwa, “dibandingkan pemilu empat tahun
lalu, permintaan jasanya lebih meningkat sekarang” 5. Bukan hanya
Desembrian Rosyady namun sejumlah paranormal terkenal lainnya
mengaku kebanjiran job baik dari kalangan artis maupun politisi yang
menginginkan dirinya menduduki jabatan politis di legislatif maupun
eksekutif.
Membaca Perilaku Perdukunan
Dramaturgis Erving Goffman

Politik

Menurut

Analisis


Bagaimana kita memberikan analisis dan penilaian terhadap perilaku
anomali politik tersebut? Saya akan menggunakan pendekatan Analisis
Dramaturgis Sosiolog bernama Erving Goffman yang berasal dari Kanada
4

Jelang Pemilu 2014, Dukun Politik Kian Marak
http://shoutussalam.com/2013/11/jelang-pemilu-2014-dukun-politik-kian-marak/
5

Permintaan Jasa Dukun Melonjak Jelang Pemilu
http://finance.detik.com/read/2013/11/14/105153/2412724/10/permintaan-jasadukun-melonjak-jelang-pemilu

4|Membaca Anomali Politik

untuk mendapatkan penjelasan rasional mengenai perilaku anomali politik
di atas. Goffman adalah Sosiolog Mazhab Interaksionis Simbolisme.
Margaret M. Poloma dalam bukunya, Sosiologi Kontemporer
menjelaskan mengenai Analisis Dramaturgy buah pikir Goffman sbb:
Kehidupan sosial seperti sebuah arena pertunjukkan teater dimana ada
bagian depan (front region) dan bagian belakang (back region).

“Panggung depan adalah bagian penampilan individu yang secara
teratur berfungsi di dalam mode yang umum dan tetap untuk
mendefinisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan penampilan itu.
Di dalamnya termasuk setting dan personal front, yang selanjutnya
dapat dibagi mejadi penampilan (appearance) dan gaya (manner)”6.

Ambillah contoh kehidupan seorang dokter. Setting seorang dokter adalah
kantor. Penampilannya memperlihatkan status sosialnya sebagai seorang
dokter yaitu mengenakan jas putih dengan tas dan stetoskop. Gaya
seorang dokter memperlihatkan sikap tenang dan persuasif dan
meyakinkan pasien untuk memperoleh kesembuhan. Bagian depan
kehidupan seorang dokter selalu mengetengahkan sosok ideal.
Margaret M. Poloma melanjutkan:
”Disamping panggung depan yang merupakan tempat melakukan
pertunjukkan tersebut, terdapat juga daerah belakang layar.
Identifikasi daerah belakang ini tergantung pada penonton yang
bersangkutan. Pada saat istirahat, kantor pribadi seorang dokter bisa
merupakan sebuah ruangan dimana dia dapat melepaskan jas
putihnya, duduk santai dan bercanda dengan para juru rawatnya.
Sekalipun juru rawatnya dapat menyaksikan sang dokter di dalam

keadaannya yang demikian di dalam panggung belakang, tidaklah
demikian halnya dengan para pasien. Beberapa menit kemudian,

6

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010, hal 232

5|Membaca Anomali Politik
kantor ini akan berubah menjadi ruang konsultasi dan oleh karenanya
menjadi panggung depan”7 .

Drs. Wagiyo, MS. dalam bukunya Teori Sosiologi Modern mengatakan:
“di panggung depan (front region), terjadi manipulasi sebagaimana
terjadi di tempat-tempat penjualan mobil. Sebaliknya, bagian
belakang (the back region) merupakan tempat tertutup dan
tersembunyi dari pengamatan penonton dimana teknik-teknik dari
„impression management‟ dipraktikkan. Di back stage (belakang
panggung) ini pula sang aktor dapat dengan santai beristirahat,
sebagaimana dikatakan oleh Goffman dibelakang panggung itu sang

aktor dapat meninggalkan bagian depan, dapat berbicara di luar skrip
dan keluar dari karakter yang dimainkannya”8

Mengikuti pendekatan Goffman di atas, maka kita dapat memberikan
penilaian dan analisis terhadap perilaku sejumlah politisi yang
menggunakan jasa dukun politik sebagai bentuk penampilan seorang
politisi di wilayah belakang (the backstage region). Bukankah sebagai
mana kehidupan pribadi, percakapan di rumah adalah wilayah personal
yang jauh dari peliputan publik dan bersifat informal, demikian pula
aktifitas dan perilaku politisi menggunakan jasa perdukunan untuk
mensukseskan karir politiknya merupakan aktifitas non formal yang tidak
ditampilkan kepada publik melainkan disembunyikan di bagian belakang
kehidupannya. Seorang politisi akan menampilkan citra dirinya sebagai
seorang yang egaliter, demokratis, cerdas, peka terhadap isyu sosialuntuk
dikonsumsi oleh publik namun menyembunyikan realitas dirinya yang lain
di wilayah belakang, yaitu interaksinya dengan dukun politik.

7

Ibid., hal 234

Wagiyo, Teori Sosiologi Modern, Tangerang: Universitas Terbuka 2012, hal
10.13-10.15

8

6|Membaca Anomali Politik

Benarlah penjelasan Drs. Wagiyo MS., berikut ini:
“Dengan memusatkan perhatian kita pada panggung bagian belakang
(the backstage region), Goffman menolong kita untuk memahami
semua kegiatan yang tersembunyi dalam upaya melengkapi
keberhasilan acting atau penampilan diri (self) sang aktor di hadapan
publik. Goffman memperlihatkan kepada kita bagaimana, dalam dunia
kehidupan sehari-hari, seseorang itu selalu terlihat baik saat mereka
tampil di hadapan orang lain baik itu di rumahnya, di sekolah, di
kantornya di RT-nya, di lingkungan sosial yang lebih tinggi atau di
manapun dia berada dalam kaitannya dengan berbagai situasi kondisi
hubungan mikro lainnya”9

Mengapa Masih Merebak?

Sejak kapan praktek perdukunan politik ini merebak dan mengapa praktek
perdukunan politik masih merajalela sampai hari ini? Kita tidak memiliki
kepastian sejak kapan praktek perdukunan politik tersebut mulai merebak.
Soegeng Sarjadi pendiri lembaga riset independent bernama Soegeng
Sarjadi Syndicate mengatakan bahwa maraknya perdukunan politik terjadi
sejak tahun 1965. Bahkan Soegeng mengklaim bahwa telah terjadi
penururunan praktek-praktek perdukunan politik:
“Menurutnya sejak 15 tahun lalu dukun politik mulai ditinggalkan dan
tidak seperti ketika di era tahun 1965 yang marak bermunculan dukun
politik. Menjelang Pemilu 2014 grafik aktifitas masyarakat sekarang
semakin meningkat dengan pemahaman pendidikan yang tinggi.
Salah satunya adalah ilmu pengetahuan seperti stastistik perhitungan
yang bisa mengantikan kampanye”10.

9

Ibid., hal 10.16

10


Capres Pemilu 2014 Tak Butuh Dukun Politik
http://www.jurnas.com/news/119905/Capres_Pemilu_2014_Tak_Butuh_Dukun_P
olitik/1/Nasional/Pemilu_2014

7|Membaca Anomali Politik

Benar tidaknya pernyataan Soegeng Sarjadi yang mengklaim bahwa telah
terjadi penurunan aktifitas perdukunan politik, masih harus dibuktikan di
lapangan mengingat faktanya sampai hari ini kita masih melihat sejumlah
praktek perdukunan politik menjelang pemilihan umum.
Permadi, politikus Partai Gerindra menilai pertemuan dunia politik dan
perdukunan terkait budaya dan cara menghormati alam11. Artinya,
keterlibatan para dukun politik dan interaksi para pejabat politik dengan
pelaku jasa kesuksesan secara gaib, terkait kultur atau kebudayaan
masyarakat kita yang memang tidak bisa melepaskan diri dari berbagai
intervensi hal-hal yang gaib untuk mempengaruhi kehidupan mereka,
khususnya terhadap kepentingan kesuksesan mereka menduduki jabatan
politis. Bahkan Permadi mengatakan bahwa para pemimpin negeri ini
selalu memiliki interaksi dengan kekuatan gaib baik sejak Soekarno,
Suharto bahkan Abdurahman Wahid.
Beberapa media sosial menuliskan sejumlah tempat yang pernah
disambangi Presiden Sukarno untuk bertapa 12. Bahkan pemilihan tanggal
17 Agustus sebagai hari kemerdekaan pun dihubungkan dengan
kepercayaan mistis13. Keberadaan tongkat Presiden Sukarno pun tidak
luput dari persoalan magis14.

11

Perdukunan dalam politik Indonesia
http://m.merdeka.com/pemilu-2014/perdukunan-dalam-politik-indonesia-orangsakti-dan-politik-1.html
12

Misteri Tempat Bertapa Bung Karno
http://forum.viva.co.id/aneh-dan-lucu/959078-misteri-tempat-bertapa-bungkarno.html
13

Alasan mistis Soekarno pilih 17 Agustus 1945
http://www.merdeka.com/peristiwa/alasan-mistis-soekarno-pilih-17-agustus1945.html
14

Mistery Tongkat Komando Ir. Soekarno
http://terselubung.in/misteri/mistery-tongkat-komando-ir-soekarno.html

8|Membaca Anomali Politik

Sekalipun Sukarno memiliki sejumlah aktifitas dan interaksi dengan hal-hal
yang bersifat metafisika dan mistis namun saya tidak menemukan catatan
dimana beliau melakukan interaksi dengan perdukunan atau paranormal
tertentu yang menjadi penasihat spiritualnya. Berbeda dengan Presiden
Suharto. Presiden Suharto bukan hanya memiliki kebiasaan lelaku mistis
sebagai bagian dari alam pikir orang Jawa namun beliau pun
membentengi dirinya dengan sejumlah para normal atau dukun dalam
jumlah yang banyak. Arwan Tuti Artha dalam bukunya menuliskan:
“Belakangan orang tahu, hal itu bukan lagi rahasia: selama 32 tahun,
Soeharto punya lebih dari seribu dukun, paranormal, wong pinter
serta guru spiritual”15

Jika sudah berbicara soal kultur (kebudayaan), maka tidak mudah untuk
berharap keberadaan dukun politik akan lenyap dalam kancah
perpolitikan, karena kultur merupakan bagian dari jati diri seseorang dan
cara seseorang untuk menidentifikasikan dirinya sebagai pewaris sebuah
kultur.
Selain persoalan kultur, merebaknya jasa perdukunan politik bisa
dikarenakan bentuk ketidakpercayaan diri para politisi yang akan bersaing
dan menduduki jabatan politis. Pengamat Politik di Kabupaten Lombok
Tengah, Lalu Ading Buntaran Satria menyatakan:
“Banyaknya calon pejabat negara yang menggunakan jasa “Dukun
Politik” jelang perhelatan politik 2014 karena mereka tidak memiliki
rasa percaya diri ketika harus bertarung memperebutkan simpati
masyarakat guna memperebutkan kursi sebagai wakil rakyat” 16

15

Dunia Spiritual Soeharto: Menelusuri Laku Ritual, Tempat-tempat dan Guru
Spiritualnya, Yogyakarta: Galang Press 2007, hal 31
16

Pemilu Legislatif 2014 dan Fenomena Dukun Politik
http://www.lombokita.com/blog-warga/pemilu-legislatif-2014-dan-fenomenadukun-politik#.Uuh330qyRkg

9|Membaca Anomali Politik

Menghentikan Perdukunan Politik, Mungkinkah?
Dari penjelasan di atas kita mendapatkan keterangan bahwa masih
merebaknya praktek perdukunan politik menjelang pemilihan umum baik
Pileg (pemilihan legislatif) dan Pilpres (pemilihan presiden), disebabkan
dua faktor yaitu faktor kultural dan faktor ketidakpercayaan diri.
Jika faktor kultural, memang tidak mudah untuk mengubah dan
memberantasnya. Sama dengan memberantas judi dan minuman keras
dimana di beberapa wilayah kebudayaan tertentu, baik judi maupun
meminum minuman keras bagian dari warisan kultural mereka. Namun
jika faktor penyebabnya adalah ketidakpercayaan diri, maka tugas partai
politik untuk mencerdaskan anggota-anggotanya melalui pendidikan
politik yang rasional. Pendidikan politik bukan hanya berisikan konsep dan
norma politik melainkan sampai kepada persoalan etika politik serta
membangun mentalitas seorang politisi yang memiliki kapabilitas
(kemampuan), integritas (kejujuran), kompetensi (keahlian) saat dirinya
berkiprah di panggung politik dan pemerintahan untuk mengatasi
persoalan sosial dan pemerintahan.
Pencerdasan dan pembelajaran politik, bukan satu-satunya solusi untuk
menghentikan anomali politik berupa interaksi seorang politisi dan calon
legislatif serta calon eksekutif dengan jasa seorang dukun politik untuk
memenangkan dirinya menduduki jabatan-jabatan politis yang strategis.
Karena toch mereka yang terlibat dan melibatkan diri pada perdukunan
politik adalah orang-orang cerdas dan bertitel tinggi, baik strata satu
sampai strata tiga.
Perilaku perdukunan sesungguhnya berkaitan dengan kualitas
pemahaman dan penghayatan seseorang akan nilai-nilai Ketuhanan.
Keagamaan yang hanya menekankan aspek formal (syariat, hukum
agama) namun mengabaikan aspek hubungan personal dan spiritual
seseorang dengan Tuhannya akan melahirkan sikap-sikap beragama yang
bersifat simbolik belaka. Secara lahiriah mereka mengenakan pakaian
pakaian yang mewakili simbol-simbol keagamaan dan mengucapkan

10 | M e m b a c a A n o m a l i P o l i t i k

jargon-jargon keagamaan namun batiniah mereka tidak memiliki
hubungan personal dengan Tuhannya. Ketiadaan hubungan personal
dengan Tuhannya inilah yang menyebabkan mereka tidak memiliki
keyakinan diri dan tidak melibatkan Realitas Absolut yang mengatasi
dirinya dan ketakutan serta ketidakpercayaan dirinya. Saya istilahkan
perilaku ini dengan “beragama namun tidak beriman”.
Kiranya para politisi dan calon legislatif serta calon eksekutif baik pusat
maupun daerah yang terlibat dan melibatkan perdukunan politik,
menyadari dosa politiknya dan melakukan pertobatan politik dengan jalan
memaksimalkan potensi dirinya secara rasional dan berjuang dalam
pertarungan politik dengan cara yang normal dan menjauhkan diri dari
anomali politik.

Teguh Hindarto, MTh.
Peminat Kajian Teologi dan Sejarah serta Fenomena Sosial
Email: nafyah_min@yahoo.com
Blog:
teguhhindarto.blogspot.com
historyandlegacy-kebumen.blogspot.com
bet-midrash.blogspot.com

11 | M e m b a c a A n o m a l i P o l i t i k