SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN USULAN PEMB
SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN
USULAN PEMBERDAYAAN MAJELIS TAKLIM
DI DESA NELAYAN*
DIFLA NADJIH
Dosen FAI UCY
F. SETIAWAN SANTOSO
Dosen FAI UCY
Abstract
This paper intends to introduce more about the environmental
Jurisprudence. In Indonesia, this new field of jurisprudence needs to be
disseminated to support the culture of pro-environment within fishermen
communities with which they depend fully on natural conditions for their
welfare life. Through the empowerment of majelis taklim, teaching
environmental Jurisprudence can be well done. To that end, it is fully
necessary to strengthen the understanding of the jurisprudence through a
series of training and sosialization for the board of majelis taklim. Thus,
they can disseminate to the congregation.
Keywords: environmental Jurisprudence, pro-environment, majelis
taklim, fishing communities
”Samudera, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban,
masa depan dan tulang punggung ekonomi kita” (Presiden Joko
Widodo, SU MPR, 20 Oktober 2014).
A. Pendahuluan
Pemerintah Jokowi-JK telah mencanangkan kebijakan nasional
sebagai Poros Maritim Dunia. Potensi laut Indoensia yang besar itu akan
dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat, dengan menyeimbangkan
kepentingan ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi. Kepentingan ekonomi
yang bertautan dengan pendapatan; menyangkut akses, kesempatan
berusaha, tata kelola yang baik arif; dan pembudayaan yang dapat
menjamin keberlanjutan ekosistem. Budaya yang ramah lingkungan
kemudian merupakan pemenuhan kebutuhan ekonomi, ekologi, politik
dan budaya tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang dan
spesies lain di luar manusia dalam relasi yang kompromistis. Kehidupan
pro-lingkungan berdampak langsung bahkan berkelanjutan bagi generasi
manusia sekarang dan masa depan.
Dalam pembudayaan ramah lingkungan dalam masyarakat
memerlukan dorongan pemaksa atau driving force yang sesuai dengan
kondisi masyarakat. Karyanto menguraikan strategi analisis masalah
Difla Nadjih dan F. Setiawan Santoso
lingkungan terpadu menunjukkan bahwa masalah lingkungan dapat
terjadi karena perilaku atau ‘pressure’.1
Perilaku manusia dalam mengelola lingkungan digerakkan oleh
kompleks daya penggerak tertentu atau ‘driving force’. CapacityIncentive/Environmental Degradation dari Reardon dan Vosti dalam
Karyanto menjadi derajat tertentu atas ‘capacity’ dan ‘incentive’ yang
dimiliki yang meliputi kemampuan akses atas lima modal dasar meliputi
modal finansial, sarana prasarana, modal alam, modal manusia dan modal
sosial. faktor penggerak yang terdapat dalam kerangka konseptual DPSIR
memiliki kesamaan substantif dengan motivasi. Motivasi tersebut
merupakan penggerak yang mendorong individu atau institusi dan
memunculkan ‘pressure’ atau perilaku lingkungan tertentu. Theory of
Planned Behavior menjelaskan bahwa perilaku -dalam hal ini adalah
perilaku
lingkungan
tertentumuncul
karena
kesiapan
berperilaku/Behavioral Intention. Kesiapan tersebut dideterminasi oleh
behavioral attitude/attitude towards behavior atau sikap, subjective
norm atau norma sosial/nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dan
perceived behavioral control/self efficacy yang berhubungan dengan
analisis pribadi menyangkut potensi dan sumber daya yang dimiliki.
Salah satu modal yang bisa menjadi penggerak adalah modal sosial
yang berhubungan dengan peran makhluk sosial atau profil sosial
masyarakat tertentu. Modal sosial menurut Amsberg dalam Karyanto
didefinisikan sebagai struktur sosial yang dapat memfasilitasi koordinasi
dan kerjasama yang kemudian dapat mengarahkan pada aktivitas kolektif
tertentu. Modal itu menjamin aksesibilitas atas sumber daya dan
kesempatan melalui ikatan sosial yang ada melalui koordinasi dan
kerjasama melalui pembentukan relasi saling percaya/trust, kemauan
untuk berbagi dan peduli/reciprocity and exchange, keberadaan norma
dan nilai bersama di masyarakat/common rule norm and sanction dan
kemampuan membentuk hubungan dan jejaring/connectedness network
and group. Melalui kepercayaan, perilaku lingkungan dapat terarahkan.
Kepercayaan terhadap ketokohan dan institusi dapat menggiring
kepatuhan, sehingga setiap program lingkungan yang direncanakan dapat
terlaksana dengan konflik yang minimal. Melalui kebersamaan dalam
berbagi dan peduli, kendala modal fisik, modal finansial dan modal
manusia dapat diturunkan kesulitannya, sehingga sumber daya dan
peluang menjadi lebih dapat diakses secara merata. Dengan kemampuan
membangun jejaring, individu maupun kolektif dapat mengakses modal
sosial dari struktur sosial yang lain, sehingga difusi kebijakan, program,
inovasi dan informasi dapat terfasilitasi. Kekuatan percaya, kepedulian
sosial dan kemampuan membangun jejaring kemudian dapat membentuk
66
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN, USULAN PEMBERDAYAAN
MAJELIS TAKLIM DI DESA NELAYAN
nilai-nilai dalam masyarakat yang kemudian dapat ditetapkan sebagai
kode etik bersama sebagai aturan-aturan sosial, norma atau sangsi.2
Agama adalah salah norma dan modal sosial yang bisa mendukung
pengingkatan keyakinan terhadap budaya ramah lingkungan dengan
penyebaran pengetahuan dan ajaran yang dibutuhkan dalam bersikap dan
persepsi masyarakat menuju perilaku individu dan norma sosial yang
ramah lingkungan. Tahapan penyebaran itu digambarkan oleh Jimenez
sebagai berikut;3
Dalam konteks tersebut, fikih lingkungan sebagai salah satu sumber
penting dalam ajaran Islam untuk mendukung budaya ramah lingkungan
yang menyejahterakan masyarakat secara berkelanjutan bisa
dikedepankan. Di Indonesia, penyebarannya bisa dilakukan melalui
pendidikan berbasis masyarakat berciri khas Islam di indonesia, yaitu
majelis taklim. Tulisan ini bermaksud menjelaskan upaya mengenalkan
lebih jauh tentang lingkungan sebagai bidang fikih yang masih baru guna
mendukung budaya ramah lingkungan di masyarakat pedesaan nelayan
yang bergantung penuh pada kondisi alam dalam kesejahteraan hidupnya
melalui pemberdayaan majelis taklim.
B. Fiqih Lingkungan
Hamdi mengungkapkan, dalam bahasa Arab, fikih lingkungan
hidup dipopulerkan dengan istilah fikih al-bi`ah. Kata majemuk itu terdiri
dari fikih dan al-bi`ah. Secara bahasa fikih berasal dari kata faqiha –
yafqahu - fikihan yang berarti al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap
sesuatu) al-fahmu (pemahaman). Sedangkan secara istilah, fikih adalah
ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang
diambil dari dalil-dalil tafshili (terperinci). Adapun kata al-bi`ah dapat
diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.4
Kemunculan lingkungan dalam khasanah fikih Islam sebagai bagian
dari perluasan dimaksudkan agar fikih tidak hanya berpusat pada masalah
ibadah dan ritual saja. Kebutuhan interaksi manusia sangat luas hingga
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
67
Difla Nadjih dan F. Setiawan Santoso
relasi dengan sesama dan alam sehingga persoalan yang harus
diselesaikan melalui disiplin ini harus lebar dan mencakup untuk menjadi
hamba-Nya. Dengan demikian realitas sosial yang berkembang hingga
kapanpun tercakup didalamnya termasuk permasalahan kekrusakan
lingkungan yang sekarang menjadi kritik pokok terhadap keterlibatan
agama Islam dalam mengatasinya.
Abdillah mempertegas kebutuhan terhadap fikih lingkungan dari
disiplin Qurani. Eksplorasi konsep lingkungan dalam al-Qur’an melalui
empat kata kunci. Yakni, al-'alamin, as-sama', al-ard dan al-bi'ah. Ia
menjelaskan, lafad al-'alamin memiliki dua konotasi yakni, bermakna
seluruh spesies (umum) dan bermakna manusia (khusus). Kata as-sama'
(langit) yang berkonotasi pada tiga makna di antaranya jagad raya, ruang
udara dan ruang angkasa. Lafad al-'ard (bumi) ada yang memiliki
makna ekosistem bumi, lingkungan hidup, dan siklus ekosistem. Dan
yang ke-empat lafad al-bi'ah merujuk kepada lingkungan hidup sebagai
ruang kehidupan. Empat kata kunci tersebut membuktikan bahwa Islam
memiliki andil dalam pelestarian lingkungan sehingga bernuansa ramah
terhadap lingkungan.5
Dalam penjelasan Gain, kajian lingkungan dalam Islam mulai
muncul sejak negara-negara Islam menjalankan pembangunan ekonomi
industri yang berpotensi bencana kerusakan lingkungan guna
meningkatkan kesejahteraan warganya.6 Di Indonesia, Muhammad dkk.
menegaskan kebutuhan fikih lingkungan pada lokakarya Mengagas Fikih
Lingkungan tahun 2004.
Dengan pertemuan ini diharapkan rumusan mengenai fikih
lingkungan (fikih al bi’ah) yang digali dari al-Qur’an, sunnah,
dan kitab salaf. Hasil dari rumusan ini diharapkan kelak bisa
menjadi sebuah pedoman praktis dalam kehidupan muslim
sehari-hari yang diawali dari pesantren. Dalam melangkah jauh
ke depan, pesantren dengan potensi sumber daya manusia
(para santri sebagai kader tokoh masyarakat dan ulama) dan
sistem yang dimilikinya, diharapkan mampu memberikan
pencerahan kepada komunitas muslim di segala tingkatan.
Kemudian pada ujungnya juga mampu memberikan
pencerahan dan penyadaran secara luas tentang pentingnya
konservasi alam dan pemeliharaan lingkungan kepada seluruh
komunitas muslim yang ada di Indonesia.7
Perluasan disiplin fikih hingga wilayah lingkungan memperjelas
Islam sebagai sebuah jalan (as syirath-syariat) hidup yang merupakan
konsekuensi dari pernyataan atau persaksian (syahadah) tentang keesaan
Tuhan (tauhid). Di situ, posisi syariat jelas berlaku sebagai sistem pusatnilai untuk mewujudkan secara menyeluruh nilai yang melekat dalam
konsep (nilai normatif), yakni tauhid, khilafah, amanah, adil dan
68
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN, USULAN PEMBERDAYAAN
MAJELIS TAKLIM DI DESA NELAYAN
istishlah. Untuk menjaga agar manusia yang telah memilih atau
mengambil jalan hidup ini bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya
maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2
(dua) rambu utama yakni : 1) halal dan 2) haram. Kelima pilar dan dua
rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah “bangunan” untuk
menempatkan paradigma lingkungan secara utuh dalam perspektif Islam.8
Pertemuan antara dasar-dasar fikih lingkungan dengan realitas
kebutuhan umat-Nya dalam berinteraksi dengan alam telah menyadarkan
umat agar aktif dan konsisten dalam perlindungan melalui pembentukan
budaya ramah lingkungan sebagai kebutuhan. Hal itu menjadi semakin
terasa ketika umat yang mendasarkan kehidupan pada mata pencaharian
yang sangat tergantung kepada alam termasuk para nelayan.
C. Majelis Taklim di Pedesaan Nelayan
Di Indonesia, Majelis taklim (MT) merupakan salah satu institusi
modal sosial yang berpengaruh bagi masyarakat nelayan. Untuk
pengembangan budaya ramah lingkungan kelautan yang menjadi wahana
utama pemenuhan kebutuhan hidup mereka, maka perlu penyebaran
pengetahuan dan ketrampilan yang mempengaruhi sikap dan norma
subyektif nelayan dan keluarga demi kesejahteraan hidup yang
berkelanjutan.
Majelis Taklim (MT) bisa bermakna tempat orang berkumpul untuk
memberikan dan mendapatkan ilmu pengetahuan. dalam penggunaannya
di Indonesia ternyata mengealami penyempitan makna. MT telah
dikhususkan kepada majelis tempat penyebaran ilmu-ilmu keagamaan
terutama Islam. Zuharini mendefinisikannya sebagai organisasi
pendidikan luar sekolah (non formal) yang bercirikan keagamaan
Islami.9 Dengan mengutip dari berbagai sumber, Winn mengemukakan
definisinya sebagai berikut;
Islamic study or reading groups, majelis taklim are also
described as religious learning forums, preaching gatherings,
public meetings for Islamic and/or Qur'anic studies, private
gatherings for religious teaching, and as salon-style religious
discussion groups.10
Perbedaan yang ada tidak mengecilkan eksistensi MT, bahkan
tekanan yang sama diberikan sebagai pendidikan non-formal dalam
berbagai definisi MT telah terungkap jelas. Majelis kemudian telah
menjadi tempat pengajaran atau pendidikan agama islam yang paling
fleksibel dan tidak terikat oleh waktu. MT bersifat terbuka terhadap
segala usia, lapisan atau strata sosial, dan jenis kelamin. Waktu
penyelenggaraan pun tidak terikat. Pembelajaran bisa pagi, siang, sore,
ataupun malam tergantung kesepakatan antar jama’ah, pengurus maupun
pendidik (ustaz). Tempat pengajarannya pun bisa diselenggarakan
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
69
Difla Nadjih dan F. Setiawan Santoso
dimana saja. Sebagian MT rutin diselenggarakan secara bergiliran di
rumah jama’ah secara bergiliran. MT lain telah menetapkan masjid dan
musalla sebagai tempat pengajiannya. Bagi MT yang tidak berkenan di
rumah jama’ah ataupun masjid, gedung atau aula pertemuan bisa
disepakati sebagai tempat penyelenggaraan MT.
Fleksibilitas MT bisa memberikan perannya di dalamnya, namun
tidak bisa menyandarkan material lingkungan sebatas kepada material
agama yang sudah mapan. Relasi agama dengan pengetahuan tentang
tatanan alam seperti perubahan lingkungan laut sebagaimana yang
dialami nelayan merupakan kondisi nyata yang berbanding lurus dengan
tingkat kesejahteraan keluarga. Pengetahuan dan aturan fikih lingkungan
belum permanen menanggapinya. Pengetahuan itu juga perlu didukung
pemahaman kebijakan-kebijakan negara tentang lingkungan kelautan
maritim dan kehidupan nelayan sebagai muatan lokal yang harus
dipahami agar daya dukung fikih lingkungan terhadap kesejahteraan
nelayan bisa berjalan baik.
Kekurangan pengetahuan fikih lingkungan guna peningkatan
kesadaran tentang pentingnya pembudayaan ramah lingkungan bisa
dimaklumi ketika ruang fikih lingkungan masih harus perlu diperluas agar
setara dengan bidang fikih yang lain. Penggalian harus diperdalam karena
khazanah Islam sangat sarat dengan pemeliharaan lingkungan sekitar.
Sosialiasasi fikih lingkungan juga diperluas ke seluruh lapisan umat untuk
menjawab kebutuhan hidup umat yang sesuai syariat. Pada poin inilah,
dua kekuatan yaitu khazanah fikih lingkungan dan eksistensi Majelis
Taklim bagi masyarakat nelayan dapat dipadukan guna pembudayaan
ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
D. Usulan Pemberdayaan Majelis Taklim Dalam Sosialisasi
Fikih Lingkungan
Karakter khas Majelis taklim menjadi harapan sebagai motor
penggerak sosial dalam mengelola pembelajaran peduli ramah lingkungan.
Proses belajar majelis taklim akan dipantik untuk diarahkan mencakup
bagaimana membaca peristiwa alam, menjawab bencana, mengelola
lingkungan keluarga, dan mengapresiasi berubahnya lingkungan sosial
dan kebijakan negara.
Oleh karena itu, MT diharapkan mampu meningkatkan lapisanlapisan pengetahuan warga nelayan untuk bersikap dan bertindak, yaitu
dari tidak tahu menjadi tahu serta mengapresiasi kebermaknaan fiqih
lingkungan yang beranjak dari pengalaman diri sebagai muslim. Berdasar
lapisan pengetahuan ini, warga dan keluarga nelayan menjadi lebih bijak
di dalam membuat keputusan sehari-hari. Proses selama dampingan
menjadi model sumber belajar untuk mengoptimalkan fiqih lingkungan.
70
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN, USULAN PEMBERDAYAAN
MAJELIS TAKLIM DI DESA NELAYAN
Di dalam konteks inilah, MT berpeluang untuk mengoptimalkan
proses belajar sosial peduli lingkungan sekaligus pengembangan fiqih
lingkungan yang beranjak dari pengalaman warga yang nelayan. Melalui
proses belajar bersama, tumbuh berkembang suatu budaya ramah
lingkungan pada komunitas nelayan.
Di lingkungan masyarakat dengan kondisi sosial, budaya dan
ekonomi yang khas seperti kampung nelayan desa Poncosari kecamatan
Srandakan, pendekatan partisipatif berpengaruh langsung untuk
meningkatkan Pengetahuan, Keterampilan dan Perubahan Sikap terhadap
lingkungan kelautan sebagai sandaran hidupnya. Didalam pendekatan ini,
para peserta MT diperlakukan sebagai narasumber utama, dengan
menggali potensi Cipta, Rasa dan Karsa sehingga menghasilkan produk
yang bersumber dari pengalaman pribadi mereka dalam proses
pemberdayaan yang digunakan sebagai sumber informasi utama untuk
mencapai tujuan pembelajaran guna menciptakan budaya ramah
lingkungan di kampung sendiri. Kegiatan yang dilakukan antara lain :
1. Menyelenggarakan Focus Group Discussion serial, lokakarya fiqih
lingkungan dan pendampingan ke majelis taklim dan masyarakat.
2. Pengembangan materi fikih lingkungan berbasis lokalitas masyarakat
nelayan
3. Merumuskan modul fikih lingkungan sebagai sumber referensi majelismajelis taklim
4. Distribusi materi fiqih lingkungan melalui majelis taklim-majelis .
5. Pelatihan dan Best Practice
E. Penutup
Fikih lingkungan masih menjadi hal yang baru dalam disiplin fikih
namun sudah menjadi kebutuhan bagi umat. Peningkatan pengetahauan
dan perluasan wiayah sosialisasi fikih lingkungan menjadi menjadi
strategi penting untuk mempercepat posisinya setara dengan bidang fikih
yang lain. Optimalisasi fikih lingkungan dengan memberdayakan majelis
taklim bisa menjadi hal penting bagi umat berprofesi nelayan untuk segera
memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan profesi sehari-hari.
Keterlibatan pihak lain yang berpengaruh di kehidupan desa
nelayan juga harus dipertimbangkan. Pembelajaran fikih lingkungan tidak
bisa melepaskan dari Institusi keagamaan dari pemerintah bagi kehidupan
pedesaan, yaitu Kantor Urusan Agama selain melibatkan tokoh dan kyai di
lokasi. Instansi pemerintah yang terlibat adalah Muspika (Musyawarah
Pimpinan Kecamatan) yang terdiri Camat maupun kepolisian sebagai
pendamping unsur pemerintah untuk fungsi penguatan pengetahuan
warga nelayan dari sisi kebijakan pemerintah. Peran tak kalah penting bisa
diberikan oleh Perguruan Tinggi guna mendampingi pelaksanaan program
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
71
Difla Nadjih dan F. Setiawan Santoso
ramah lingkungan. Pendampingan itu berfungsi memelihara lingkungan
kelautan bagi nelayan dapat berjalan secara keberlanjutan dan sesuai
tujuan yang dimaksud dalam fikih lingkungan.
Catatan Akhir
*Artikel ini merupakan revisi dari usulan Program Bantuan Peningkatan Mutu
Pengabdian Kepada Masyarakat Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Tahun 2015 oleh Fattah Setiawan Santoso, Diflah Nadjih dan Imam
Samroni. Tambahan ada di bab: fikih lingkungan hidup dan majelis taklim di pedesaan
nelayan.
1Puguh Karyanto, “Kerangka Konseptual (Conceptual Framework) Untuk Analisis
Pertanian Upland Berkelanjutan,” Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP
UNS 2010, h. 244-281
2 Ibid.
3Manuel
Jimenez Sanchez, “Defining And Measuring Environmental
Consciousness,” Revista Internacional De Sociologia (RIS) Vol.68, no 3, SeptiembreDiciembre, 2010, h. 731-755.
4 Fahmi Hamdi, “Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Fikih Islam,” Ta’lim
Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013, h. 75-90
5 Muijiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, Perspektif Al-Quran, (Jakarta
: Penerbit Paramadina, 2001), h. xi
6 Abu Bakr Ahmad Bagader dkk, Environemental Protection In Islam, 2nd. ed,
(UK: IUCN, 1994), h. viii.
7 Ahsin Sakho Muhammad, dkk.,
Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah), cet.2,
(Jakarta : Conservation International Indonesia, 2006), h. 4.
8 Bagader dkk, Environemental…, h. 5
9 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. ke-2
hal. 76
10Phillip Winn, “Majelis Taklim and Gendered Religious Practice in Northern
Ambon” Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, Issue 30, November
2012
Daftar Pustaka
Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan, Perspektif Al-Quran.
Jakarta : Penerbit Paramadina, 2001
Abu Bakr Ahmad Bagader dkk. Environmental Protection In Islam, 2nd.
ed, (UK: IUCN, 1994), h. 5
Ahsin Sakho Muhammad, Husein Muhammad, Roghib Mabrur, Ahmad
Sudirman Abbas, Amalia Firman, Fachruddin Mangunjaya, Kamal
IB. Pasha dan Martha Andriana. Fiqih Lingkungan (Fikih al-Bi’ah),
cet.2, Jakarta : Conservation International Indonesia, 2006.
Fattah Setiawan Santoso, Diflah Nadjih dan Imam Samroni, Penguatan
Budaya Ramah Lingkungan Berbasis Fikih Di Kampung Nelayan
Wilayah Poncosari Srandakan Bantul-DIY, Laporan Akademik
Program Bantuan Peningkatan Mutu Pengabdian Kepada
Masyarakat Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam tahun 2015
Hamdi, Fahmi. “Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Fikih Islam.” Ta’lim
Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013, h. 75-90
Karyanto, Puguh. “Kerangka Konseptual (Conceptual Framework) Untuk
Analisis Pertanian Upland Berkelanjutan.” Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010, h. 244-281
72
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN, USULAN PEMBERDAYAAN
MAJELIS TAKLIM DI DESA NELAYAN
Sanchez, Manuel Jimenez. “Defining And Measuring Environmental
Consciousness,” Revista Internacional De Sociologia (RIS) Vol.68,
no 3, Septiembre-Diciembre, 2010, h. 731-755.
Winn, Phillip.“Majelis Taklim and Gendered Religious Practice in
Northern Ambon.” Intersections: Gender and Sexuality in Asia and
the Pacific, Issue 30, November 2012
Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
73
USULAN PEMBERDAYAAN MAJELIS TAKLIM
DI DESA NELAYAN*
DIFLA NADJIH
Dosen FAI UCY
F. SETIAWAN SANTOSO
Dosen FAI UCY
Abstract
This paper intends to introduce more about the environmental
Jurisprudence. In Indonesia, this new field of jurisprudence needs to be
disseminated to support the culture of pro-environment within fishermen
communities with which they depend fully on natural conditions for their
welfare life. Through the empowerment of majelis taklim, teaching
environmental Jurisprudence can be well done. To that end, it is fully
necessary to strengthen the understanding of the jurisprudence through a
series of training and sosialization for the board of majelis taklim. Thus,
they can disseminate to the congregation.
Keywords: environmental Jurisprudence, pro-environment, majelis
taklim, fishing communities
”Samudera, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban,
masa depan dan tulang punggung ekonomi kita” (Presiden Joko
Widodo, SU MPR, 20 Oktober 2014).
A. Pendahuluan
Pemerintah Jokowi-JK telah mencanangkan kebijakan nasional
sebagai Poros Maritim Dunia. Potensi laut Indoensia yang besar itu akan
dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat, dengan menyeimbangkan
kepentingan ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi. Kepentingan ekonomi
yang bertautan dengan pendapatan; menyangkut akses, kesempatan
berusaha, tata kelola yang baik arif; dan pembudayaan yang dapat
menjamin keberlanjutan ekosistem. Budaya yang ramah lingkungan
kemudian merupakan pemenuhan kebutuhan ekonomi, ekologi, politik
dan budaya tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang dan
spesies lain di luar manusia dalam relasi yang kompromistis. Kehidupan
pro-lingkungan berdampak langsung bahkan berkelanjutan bagi generasi
manusia sekarang dan masa depan.
Dalam pembudayaan ramah lingkungan dalam masyarakat
memerlukan dorongan pemaksa atau driving force yang sesuai dengan
kondisi masyarakat. Karyanto menguraikan strategi analisis masalah
Difla Nadjih dan F. Setiawan Santoso
lingkungan terpadu menunjukkan bahwa masalah lingkungan dapat
terjadi karena perilaku atau ‘pressure’.1
Perilaku manusia dalam mengelola lingkungan digerakkan oleh
kompleks daya penggerak tertentu atau ‘driving force’. CapacityIncentive/Environmental Degradation dari Reardon dan Vosti dalam
Karyanto menjadi derajat tertentu atas ‘capacity’ dan ‘incentive’ yang
dimiliki yang meliputi kemampuan akses atas lima modal dasar meliputi
modal finansial, sarana prasarana, modal alam, modal manusia dan modal
sosial. faktor penggerak yang terdapat dalam kerangka konseptual DPSIR
memiliki kesamaan substantif dengan motivasi. Motivasi tersebut
merupakan penggerak yang mendorong individu atau institusi dan
memunculkan ‘pressure’ atau perilaku lingkungan tertentu. Theory of
Planned Behavior menjelaskan bahwa perilaku -dalam hal ini adalah
perilaku
lingkungan
tertentumuncul
karena
kesiapan
berperilaku/Behavioral Intention. Kesiapan tersebut dideterminasi oleh
behavioral attitude/attitude towards behavior atau sikap, subjective
norm atau norma sosial/nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dan
perceived behavioral control/self efficacy yang berhubungan dengan
analisis pribadi menyangkut potensi dan sumber daya yang dimiliki.
Salah satu modal yang bisa menjadi penggerak adalah modal sosial
yang berhubungan dengan peran makhluk sosial atau profil sosial
masyarakat tertentu. Modal sosial menurut Amsberg dalam Karyanto
didefinisikan sebagai struktur sosial yang dapat memfasilitasi koordinasi
dan kerjasama yang kemudian dapat mengarahkan pada aktivitas kolektif
tertentu. Modal itu menjamin aksesibilitas atas sumber daya dan
kesempatan melalui ikatan sosial yang ada melalui koordinasi dan
kerjasama melalui pembentukan relasi saling percaya/trust, kemauan
untuk berbagi dan peduli/reciprocity and exchange, keberadaan norma
dan nilai bersama di masyarakat/common rule norm and sanction dan
kemampuan membentuk hubungan dan jejaring/connectedness network
and group. Melalui kepercayaan, perilaku lingkungan dapat terarahkan.
Kepercayaan terhadap ketokohan dan institusi dapat menggiring
kepatuhan, sehingga setiap program lingkungan yang direncanakan dapat
terlaksana dengan konflik yang minimal. Melalui kebersamaan dalam
berbagi dan peduli, kendala modal fisik, modal finansial dan modal
manusia dapat diturunkan kesulitannya, sehingga sumber daya dan
peluang menjadi lebih dapat diakses secara merata. Dengan kemampuan
membangun jejaring, individu maupun kolektif dapat mengakses modal
sosial dari struktur sosial yang lain, sehingga difusi kebijakan, program,
inovasi dan informasi dapat terfasilitasi. Kekuatan percaya, kepedulian
sosial dan kemampuan membangun jejaring kemudian dapat membentuk
66
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN, USULAN PEMBERDAYAAN
MAJELIS TAKLIM DI DESA NELAYAN
nilai-nilai dalam masyarakat yang kemudian dapat ditetapkan sebagai
kode etik bersama sebagai aturan-aturan sosial, norma atau sangsi.2
Agama adalah salah norma dan modal sosial yang bisa mendukung
pengingkatan keyakinan terhadap budaya ramah lingkungan dengan
penyebaran pengetahuan dan ajaran yang dibutuhkan dalam bersikap dan
persepsi masyarakat menuju perilaku individu dan norma sosial yang
ramah lingkungan. Tahapan penyebaran itu digambarkan oleh Jimenez
sebagai berikut;3
Dalam konteks tersebut, fikih lingkungan sebagai salah satu sumber
penting dalam ajaran Islam untuk mendukung budaya ramah lingkungan
yang menyejahterakan masyarakat secara berkelanjutan bisa
dikedepankan. Di Indonesia, penyebarannya bisa dilakukan melalui
pendidikan berbasis masyarakat berciri khas Islam di indonesia, yaitu
majelis taklim. Tulisan ini bermaksud menjelaskan upaya mengenalkan
lebih jauh tentang lingkungan sebagai bidang fikih yang masih baru guna
mendukung budaya ramah lingkungan di masyarakat pedesaan nelayan
yang bergantung penuh pada kondisi alam dalam kesejahteraan hidupnya
melalui pemberdayaan majelis taklim.
B. Fiqih Lingkungan
Hamdi mengungkapkan, dalam bahasa Arab, fikih lingkungan
hidup dipopulerkan dengan istilah fikih al-bi`ah. Kata majemuk itu terdiri
dari fikih dan al-bi`ah. Secara bahasa fikih berasal dari kata faqiha –
yafqahu - fikihan yang berarti al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap
sesuatu) al-fahmu (pemahaman). Sedangkan secara istilah, fikih adalah
ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang
diambil dari dalil-dalil tafshili (terperinci). Adapun kata al-bi`ah dapat
diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.4
Kemunculan lingkungan dalam khasanah fikih Islam sebagai bagian
dari perluasan dimaksudkan agar fikih tidak hanya berpusat pada masalah
ibadah dan ritual saja. Kebutuhan interaksi manusia sangat luas hingga
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
67
Difla Nadjih dan F. Setiawan Santoso
relasi dengan sesama dan alam sehingga persoalan yang harus
diselesaikan melalui disiplin ini harus lebar dan mencakup untuk menjadi
hamba-Nya. Dengan demikian realitas sosial yang berkembang hingga
kapanpun tercakup didalamnya termasuk permasalahan kekrusakan
lingkungan yang sekarang menjadi kritik pokok terhadap keterlibatan
agama Islam dalam mengatasinya.
Abdillah mempertegas kebutuhan terhadap fikih lingkungan dari
disiplin Qurani. Eksplorasi konsep lingkungan dalam al-Qur’an melalui
empat kata kunci. Yakni, al-'alamin, as-sama', al-ard dan al-bi'ah. Ia
menjelaskan, lafad al-'alamin memiliki dua konotasi yakni, bermakna
seluruh spesies (umum) dan bermakna manusia (khusus). Kata as-sama'
(langit) yang berkonotasi pada tiga makna di antaranya jagad raya, ruang
udara dan ruang angkasa. Lafad al-'ard (bumi) ada yang memiliki
makna ekosistem bumi, lingkungan hidup, dan siklus ekosistem. Dan
yang ke-empat lafad al-bi'ah merujuk kepada lingkungan hidup sebagai
ruang kehidupan. Empat kata kunci tersebut membuktikan bahwa Islam
memiliki andil dalam pelestarian lingkungan sehingga bernuansa ramah
terhadap lingkungan.5
Dalam penjelasan Gain, kajian lingkungan dalam Islam mulai
muncul sejak negara-negara Islam menjalankan pembangunan ekonomi
industri yang berpotensi bencana kerusakan lingkungan guna
meningkatkan kesejahteraan warganya.6 Di Indonesia, Muhammad dkk.
menegaskan kebutuhan fikih lingkungan pada lokakarya Mengagas Fikih
Lingkungan tahun 2004.
Dengan pertemuan ini diharapkan rumusan mengenai fikih
lingkungan (fikih al bi’ah) yang digali dari al-Qur’an, sunnah,
dan kitab salaf. Hasil dari rumusan ini diharapkan kelak bisa
menjadi sebuah pedoman praktis dalam kehidupan muslim
sehari-hari yang diawali dari pesantren. Dalam melangkah jauh
ke depan, pesantren dengan potensi sumber daya manusia
(para santri sebagai kader tokoh masyarakat dan ulama) dan
sistem yang dimilikinya, diharapkan mampu memberikan
pencerahan kepada komunitas muslim di segala tingkatan.
Kemudian pada ujungnya juga mampu memberikan
pencerahan dan penyadaran secara luas tentang pentingnya
konservasi alam dan pemeliharaan lingkungan kepada seluruh
komunitas muslim yang ada di Indonesia.7
Perluasan disiplin fikih hingga wilayah lingkungan memperjelas
Islam sebagai sebuah jalan (as syirath-syariat) hidup yang merupakan
konsekuensi dari pernyataan atau persaksian (syahadah) tentang keesaan
Tuhan (tauhid). Di situ, posisi syariat jelas berlaku sebagai sistem pusatnilai untuk mewujudkan secara menyeluruh nilai yang melekat dalam
konsep (nilai normatif), yakni tauhid, khilafah, amanah, adil dan
68
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN, USULAN PEMBERDAYAAN
MAJELIS TAKLIM DI DESA NELAYAN
istishlah. Untuk menjaga agar manusia yang telah memilih atau
mengambil jalan hidup ini bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya
maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2
(dua) rambu utama yakni : 1) halal dan 2) haram. Kelima pilar dan dua
rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah “bangunan” untuk
menempatkan paradigma lingkungan secara utuh dalam perspektif Islam.8
Pertemuan antara dasar-dasar fikih lingkungan dengan realitas
kebutuhan umat-Nya dalam berinteraksi dengan alam telah menyadarkan
umat agar aktif dan konsisten dalam perlindungan melalui pembentukan
budaya ramah lingkungan sebagai kebutuhan. Hal itu menjadi semakin
terasa ketika umat yang mendasarkan kehidupan pada mata pencaharian
yang sangat tergantung kepada alam termasuk para nelayan.
C. Majelis Taklim di Pedesaan Nelayan
Di Indonesia, Majelis taklim (MT) merupakan salah satu institusi
modal sosial yang berpengaruh bagi masyarakat nelayan. Untuk
pengembangan budaya ramah lingkungan kelautan yang menjadi wahana
utama pemenuhan kebutuhan hidup mereka, maka perlu penyebaran
pengetahuan dan ketrampilan yang mempengaruhi sikap dan norma
subyektif nelayan dan keluarga demi kesejahteraan hidup yang
berkelanjutan.
Majelis Taklim (MT) bisa bermakna tempat orang berkumpul untuk
memberikan dan mendapatkan ilmu pengetahuan. dalam penggunaannya
di Indonesia ternyata mengealami penyempitan makna. MT telah
dikhususkan kepada majelis tempat penyebaran ilmu-ilmu keagamaan
terutama Islam. Zuharini mendefinisikannya sebagai organisasi
pendidikan luar sekolah (non formal) yang bercirikan keagamaan
Islami.9 Dengan mengutip dari berbagai sumber, Winn mengemukakan
definisinya sebagai berikut;
Islamic study or reading groups, majelis taklim are also
described as religious learning forums, preaching gatherings,
public meetings for Islamic and/or Qur'anic studies, private
gatherings for religious teaching, and as salon-style religious
discussion groups.10
Perbedaan yang ada tidak mengecilkan eksistensi MT, bahkan
tekanan yang sama diberikan sebagai pendidikan non-formal dalam
berbagai definisi MT telah terungkap jelas. Majelis kemudian telah
menjadi tempat pengajaran atau pendidikan agama islam yang paling
fleksibel dan tidak terikat oleh waktu. MT bersifat terbuka terhadap
segala usia, lapisan atau strata sosial, dan jenis kelamin. Waktu
penyelenggaraan pun tidak terikat. Pembelajaran bisa pagi, siang, sore,
ataupun malam tergantung kesepakatan antar jama’ah, pengurus maupun
pendidik (ustaz). Tempat pengajarannya pun bisa diselenggarakan
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
69
Difla Nadjih dan F. Setiawan Santoso
dimana saja. Sebagian MT rutin diselenggarakan secara bergiliran di
rumah jama’ah secara bergiliran. MT lain telah menetapkan masjid dan
musalla sebagai tempat pengajiannya. Bagi MT yang tidak berkenan di
rumah jama’ah ataupun masjid, gedung atau aula pertemuan bisa
disepakati sebagai tempat penyelenggaraan MT.
Fleksibilitas MT bisa memberikan perannya di dalamnya, namun
tidak bisa menyandarkan material lingkungan sebatas kepada material
agama yang sudah mapan. Relasi agama dengan pengetahuan tentang
tatanan alam seperti perubahan lingkungan laut sebagaimana yang
dialami nelayan merupakan kondisi nyata yang berbanding lurus dengan
tingkat kesejahteraan keluarga. Pengetahuan dan aturan fikih lingkungan
belum permanen menanggapinya. Pengetahuan itu juga perlu didukung
pemahaman kebijakan-kebijakan negara tentang lingkungan kelautan
maritim dan kehidupan nelayan sebagai muatan lokal yang harus
dipahami agar daya dukung fikih lingkungan terhadap kesejahteraan
nelayan bisa berjalan baik.
Kekurangan pengetahuan fikih lingkungan guna peningkatan
kesadaran tentang pentingnya pembudayaan ramah lingkungan bisa
dimaklumi ketika ruang fikih lingkungan masih harus perlu diperluas agar
setara dengan bidang fikih yang lain. Penggalian harus diperdalam karena
khazanah Islam sangat sarat dengan pemeliharaan lingkungan sekitar.
Sosialiasasi fikih lingkungan juga diperluas ke seluruh lapisan umat untuk
menjawab kebutuhan hidup umat yang sesuai syariat. Pada poin inilah,
dua kekuatan yaitu khazanah fikih lingkungan dan eksistensi Majelis
Taklim bagi masyarakat nelayan dapat dipadukan guna pembudayaan
ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
D. Usulan Pemberdayaan Majelis Taklim Dalam Sosialisasi
Fikih Lingkungan
Karakter khas Majelis taklim menjadi harapan sebagai motor
penggerak sosial dalam mengelola pembelajaran peduli ramah lingkungan.
Proses belajar majelis taklim akan dipantik untuk diarahkan mencakup
bagaimana membaca peristiwa alam, menjawab bencana, mengelola
lingkungan keluarga, dan mengapresiasi berubahnya lingkungan sosial
dan kebijakan negara.
Oleh karena itu, MT diharapkan mampu meningkatkan lapisanlapisan pengetahuan warga nelayan untuk bersikap dan bertindak, yaitu
dari tidak tahu menjadi tahu serta mengapresiasi kebermaknaan fiqih
lingkungan yang beranjak dari pengalaman diri sebagai muslim. Berdasar
lapisan pengetahuan ini, warga dan keluarga nelayan menjadi lebih bijak
di dalam membuat keputusan sehari-hari. Proses selama dampingan
menjadi model sumber belajar untuk mengoptimalkan fiqih lingkungan.
70
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN, USULAN PEMBERDAYAAN
MAJELIS TAKLIM DI DESA NELAYAN
Di dalam konteks inilah, MT berpeluang untuk mengoptimalkan
proses belajar sosial peduli lingkungan sekaligus pengembangan fiqih
lingkungan yang beranjak dari pengalaman warga yang nelayan. Melalui
proses belajar bersama, tumbuh berkembang suatu budaya ramah
lingkungan pada komunitas nelayan.
Di lingkungan masyarakat dengan kondisi sosial, budaya dan
ekonomi yang khas seperti kampung nelayan desa Poncosari kecamatan
Srandakan, pendekatan partisipatif berpengaruh langsung untuk
meningkatkan Pengetahuan, Keterampilan dan Perubahan Sikap terhadap
lingkungan kelautan sebagai sandaran hidupnya. Didalam pendekatan ini,
para peserta MT diperlakukan sebagai narasumber utama, dengan
menggali potensi Cipta, Rasa dan Karsa sehingga menghasilkan produk
yang bersumber dari pengalaman pribadi mereka dalam proses
pemberdayaan yang digunakan sebagai sumber informasi utama untuk
mencapai tujuan pembelajaran guna menciptakan budaya ramah
lingkungan di kampung sendiri. Kegiatan yang dilakukan antara lain :
1. Menyelenggarakan Focus Group Discussion serial, lokakarya fiqih
lingkungan dan pendampingan ke majelis taklim dan masyarakat.
2. Pengembangan materi fikih lingkungan berbasis lokalitas masyarakat
nelayan
3. Merumuskan modul fikih lingkungan sebagai sumber referensi majelismajelis taklim
4. Distribusi materi fiqih lingkungan melalui majelis taklim-majelis .
5. Pelatihan dan Best Practice
E. Penutup
Fikih lingkungan masih menjadi hal yang baru dalam disiplin fikih
namun sudah menjadi kebutuhan bagi umat. Peningkatan pengetahauan
dan perluasan wiayah sosialisasi fikih lingkungan menjadi menjadi
strategi penting untuk mempercepat posisinya setara dengan bidang fikih
yang lain. Optimalisasi fikih lingkungan dengan memberdayakan majelis
taklim bisa menjadi hal penting bagi umat berprofesi nelayan untuk segera
memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan profesi sehari-hari.
Keterlibatan pihak lain yang berpengaruh di kehidupan desa
nelayan juga harus dipertimbangkan. Pembelajaran fikih lingkungan tidak
bisa melepaskan dari Institusi keagamaan dari pemerintah bagi kehidupan
pedesaan, yaitu Kantor Urusan Agama selain melibatkan tokoh dan kyai di
lokasi. Instansi pemerintah yang terlibat adalah Muspika (Musyawarah
Pimpinan Kecamatan) yang terdiri Camat maupun kepolisian sebagai
pendamping unsur pemerintah untuk fungsi penguatan pengetahuan
warga nelayan dari sisi kebijakan pemerintah. Peran tak kalah penting bisa
diberikan oleh Perguruan Tinggi guna mendampingi pelaksanaan program
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
71
Difla Nadjih dan F. Setiawan Santoso
ramah lingkungan. Pendampingan itu berfungsi memelihara lingkungan
kelautan bagi nelayan dapat berjalan secara keberlanjutan dan sesuai
tujuan yang dimaksud dalam fikih lingkungan.
Catatan Akhir
*Artikel ini merupakan revisi dari usulan Program Bantuan Peningkatan Mutu
Pengabdian Kepada Masyarakat Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Tahun 2015 oleh Fattah Setiawan Santoso, Diflah Nadjih dan Imam
Samroni. Tambahan ada di bab: fikih lingkungan hidup dan majelis taklim di pedesaan
nelayan.
1Puguh Karyanto, “Kerangka Konseptual (Conceptual Framework) Untuk Analisis
Pertanian Upland Berkelanjutan,” Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP
UNS 2010, h. 244-281
2 Ibid.
3Manuel
Jimenez Sanchez, “Defining And Measuring Environmental
Consciousness,” Revista Internacional De Sociologia (RIS) Vol.68, no 3, SeptiembreDiciembre, 2010, h. 731-755.
4 Fahmi Hamdi, “Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Fikih Islam,” Ta’lim
Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013, h. 75-90
5 Muijiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, Perspektif Al-Quran, (Jakarta
: Penerbit Paramadina, 2001), h. xi
6 Abu Bakr Ahmad Bagader dkk, Environemental Protection In Islam, 2nd. ed,
(UK: IUCN, 1994), h. viii.
7 Ahsin Sakho Muhammad, dkk.,
Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah), cet.2,
(Jakarta : Conservation International Indonesia, 2006), h. 4.
8 Bagader dkk, Environemental…, h. 5
9 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. ke-2
hal. 76
10Phillip Winn, “Majelis Taklim and Gendered Religious Practice in Northern
Ambon” Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, Issue 30, November
2012
Daftar Pustaka
Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan, Perspektif Al-Quran.
Jakarta : Penerbit Paramadina, 2001
Abu Bakr Ahmad Bagader dkk. Environmental Protection In Islam, 2nd.
ed, (UK: IUCN, 1994), h. 5
Ahsin Sakho Muhammad, Husein Muhammad, Roghib Mabrur, Ahmad
Sudirman Abbas, Amalia Firman, Fachruddin Mangunjaya, Kamal
IB. Pasha dan Martha Andriana. Fiqih Lingkungan (Fikih al-Bi’ah),
cet.2, Jakarta : Conservation International Indonesia, 2006.
Fattah Setiawan Santoso, Diflah Nadjih dan Imam Samroni, Penguatan
Budaya Ramah Lingkungan Berbasis Fikih Di Kampung Nelayan
Wilayah Poncosari Srandakan Bantul-DIY, Laporan Akademik
Program Bantuan Peningkatan Mutu Pengabdian Kepada
Masyarakat Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam tahun 2015
Hamdi, Fahmi. “Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Fikih Islam.” Ta’lim
Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013, h. 75-90
Karyanto, Puguh. “Kerangka Konseptual (Conceptual Framework) Untuk
Analisis Pertanian Upland Berkelanjutan.” Prosiding Seminar
Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010, h. 244-281
72
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN, USULAN PEMBERDAYAAN
MAJELIS TAKLIM DI DESA NELAYAN
Sanchez, Manuel Jimenez. “Defining And Measuring Environmental
Consciousness,” Revista Internacional De Sociologia (RIS) Vol.68,
no 3, Septiembre-Diciembre, 2010, h. 731-755.
Winn, Phillip.“Majelis Taklim and Gendered Religious Practice in
Northern Ambon.” Intersections: Gender and Sexuality in Asia and
the Pacific, Issue 30, November 2012
Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Jurnal Ulumuddin Volume 5, Nomor 2, Desember 2015
73