Konstelasi Politik di Eropa Pasca Kekala
Konstelasi Politik di Eropa Pasca Kekalahan Pasukan Napoleon Pada Periode Perang
Koalisi VII (Pertempuran Waterloo Tahun 1815)
Fathurrahman1
NIM. 1402045164
Perang merupakan salah satu hal yang tidak dapat terlepas dari perkembangan sejarah
dunia hubungan internasional, hal ini disebabkan karena dalam interaksi yang terjadi antar
negara terdapat beberapa negara yang memiliki kekuatan lebih besar cenderung akan
melakukan penaklukan, perebutan kekuasaan, ekspansi, dan invasi ke negara lain yang
memiliki kekuatan lebih kecil untuk tujuan-tujuan tertentu, sehingga perang menjadi akibat
dari adanya berbagai upaya penaklukan tersebut. Biasanya perang dilandasi oleh adanya
kepentingan politik, ekonomi, dan sosial. Berbagai peristiwa perang yang pernah terjadi,
secara tidak langsung berdampak pada kondisi dan keadaan politik di negara-negara yang
ikut terlibat dalam perang tersebut.
Salah satu perang besar yang pernah terjadi dalam catatan sejarah dunia ialah perang
yang terjadi di kawasan Eropa, yaitu Perang Napoleon. Perang Napoleon (Napoleonic Wars;
Guerres Napoleoniennes) merupakan perang yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte
melawan koalisi negara-negara Eropa dengan anggota yang bervariasi, namun selalu diisi
oleh Inggris sebagai salah satu anggota penyusunnya. 2 Perang Napoleon (1799-1815) terjadi
selama Napoleon memerintah sebagai pemimpin negara yang terjadi di Eropa dan beberapa
tempat di benua lainnya, disebut juga sebagai kelanjutan dari perang yang dipicu oleh
Revolusi Perancis pada tahun 1789. Perang Napoleon diawali dengan Perang Koalisi I pada
tahun 1805 yang dimana Austria bergabung dengan aliansi Inggris dan Rusia.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Trissusilo bahwa:
“Terjadinya Perang Koalisi bukan merupakan suatu hal yang terjadi secara tiba-tiba,
namun itu merupakan akhir dari suatu proses pengangkatan Napoleon menjadi kaisar
Perancis. Perkembangan negara Perancis yang dipimpin oleh Kaisar Napoleon membuat
situasi politik di kawasan Eropa semakin memanas dengan diwarnai ketegangan yang
mendorong terjadinya perang koalisi. Perancis bergerak di hampir seluruh kawasan
Eropa melawan negara-negara yang dianggap penting dan strategis. Hal ini diakibatkan
adanya ambisi Napoleon untuk menaklukan Kawasan Eropa dan menjadikan Perancis
sebagai negara yang paling kuat di Eropa.”3
Secara umum, apa yang dikemukakan oleh Trissusilo menunjukkan pembenaran atas
teori Balance of Power yang menekankan pada efektifitas kontrol terhadap kekuatan sebuah
negara oleh kekuatan negara-negara lain.4 Dalam hal ini, Perancis sebagai negara yang
dominan dengan melakukan peningkatan kekuatan secara agresif sehingga menimbulkan
1 Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Angkatan 2014 (Kelas HI B), Universitas
Mulawarman, Samarinda. Email: [email protected]
2 Republik Eusosialis Tawon, Perang Napoleon, Ketika Perancis Menjadi Pengganyang Eropa, http://www.retawon.com/2016/01/perang-napoleon-ketika-perancis-menjadi.html, diakses pada 27 Oktober 2016, pukul 02.09
WITA
3 Ario Trissusilo, 2015, Perang Koalisi VI: Suatu Kajian Mengenai Kekalahan Pasukan Napoleon dalam
Pertempuran Di Rusia (1812), Tesis Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, diakses pada 27 Oktober 2016
pukul 02.59 WITA, Perpustakaan UPI, http://repository.upi.edu/17665/3/S_SEJ_0901763_chapter1.pdf
1
respon dari negara-negara yang merasa terancam. Negara-negara ini membentuk aliansi atau
koalisi untuk menjaga keamanan negara dari ancaman Perancis. Namun, upaya perlawanan
terhadap Perancis akhirnya gagal, sehingga di bawah pemerintahan Napoleon Perancis
tumbuh menjadi the first class yang hampir menguasai seluruh daratan Eropa (sebagian besar
Jerman, Belanda, Swiss, Polandia, dan Finlandia).5
Keberhasilan Perancis menguasai sebagian besar wilayah Eropa didukung oleh
kekuatan militer yang dimiliki Perancis di bawah kekuasaan Napoleon. Selama masa
hidupnya, Napoleon melakukan penyusunan strategi perang secara terus menerus yang pada
akhirnya berdampak pada perubahan besar pada sistem militer di Eropa terutama pada artileri
dan organisasi militer.6 Pada masa menjadi kaisar Perancis pada tahun 1804-1814, Napoleon
menjadi semakin agresif dengan cita-cita nasionalismenya dalam bentuk slogan liberty,
equality, dan fraternity, berusaha mengusik negara-negara kawasan Eropa lainnya yang
dianggap strategis seperti Austria, Spanyol, Belanda, Prusia, Swiss, dan Rusia.
Berbagai keberhasilan Napoleon untuk menaklukan berbagai negara di kawasan Eropa
telah mengakibatkan perubahan peta politik Eropa. Napoleon juga telah merusak batas-batas
internasional yang sudah diatur sebelum perang terjadi. Wilayah Spanyol membentang
hingga perbatasan Rusia telah jatuh ke tangan Napoleon pada tahun 1808. Namun, masih ada
satu wilayah yang belum dapat dikuasai oleh Napoleon, yaitu Rusia. Napoleon sangat
berambisi ingin menguasai Rusia dengan berbagai cara, bahkan Napoleon mengerahkan
ratusan ribu pasukan untuk menyerang Rusia. Namun, upaya Napoleon untuk menguasai
Rusia tidak berhasil dan hal ini menjadi salah satu momentum menurunnya kekuatan militer
Perancis di bawah kekuasaan Napoleon yang telah dipertahankan selama bertahun-tahun.
Dikutip dalam tulisan Trissusilo mengenai pemikiran Lanza, 7 dikatakan tentang maksud dari
Napoleon ingin menguasai Rusia pada tahun 1812, yaitu ‘ ... dengan maksud memaksa Kaisar
Alexander I tetap mengikuti sistem kontinental yang diterapkannya dan memperkecil
kemungkinan ancaman Rusia yang akan menginvasi Polandia’.8
Kemunduran kekuatan militer pasukan Napoleon pada saat menyerang Rusia
diakibatkan oleh keadaan alam di Rusia yang beriklim “Continental” (suhu sangat panas jika
musim panas, dan sangat dingin jika musim dingin). Keadaan alam yang tidak biasa bagi
pasukan Napoleon dengan cuaca yang sangat dingin akhirnya membuat Napoleon menarik
pasukannya kembali dan hal ini menjadi titik balik kekalahan Napoleon dalam Perang Rusia
Tahun 1812. Kekalahan Napoleon dalam perang ini, menjadi kesempatan bagi Prusia,
Swedia, Austria, dan beberapa negara kecil di Jerman untuk ikut kembali dalam peperangan.
Namun, Napoleon tidak tinggal diam menanggapi hal ini, ia dengan cepat kembali
membentuk tentara baru mencapai 400.000 tentara pada awalnya, namun pada tahun 1814
pasukan Napoleon berkurang menjadi 70.000 tentara akibat dari beberapa kekalahan
Napoleon pada perang-perang kecil yang terjadi setelah Perang Rusia 1812 sampai tahun
4 Mohamad Havid, Balance of Power, https://www.academia.edu/7912444/Balance_Of_Power, diakses pada
27 Oktober 2016, pukul 03.22 WITA
5 Yuniarti S.IP., M.Si, 2016, Perebutan Kekuasaan Pasca Westphalia 1648 sampai dengan Perang Dunia I,
lembaran kuliah berupa Power Point dibagikan pada Mata Kuliah HI di Eropa, Universitas Mulawarman,
Gedung Pascasarjana FISIP Ruang 12, Samarinda, 03 Oktober
6 Ario Trissusilo, loc. cit.
7 Penulis buku Napoleon and Modern War, His Military Maxims: Napoleon dan Strategi Perang Modern
(2010)
8 Ario Trissusilo, op. cit., h. 3
2
1814 saat Napoleon mulai memasuki wilayah Paris. Akhirnya, Napoleon kalah dan turun
takhta pada tanggal 06 April 1814, tetapi pasukannya di Italia, Spanyol, dan Belanda masih
terus melakukan perlawanan selama musim semi tahun 1814.9 Kekalahan Napoleon ini
menjadi momentum berakhirnya Perang Koalisi VI yang berlangsung dari tahun 1812 hingga
tahun 1814.
Babak perang baru dimulai kembali pada tahun 1815 pada saat pasukan Napoleon
berhasil menggulingkan kekuasaan raja Louis XVIII. Pihak koalisi yang terdiri dari Inggris,
Rusia, Prusia, Swedia, Austria, dan Belanda serta sejumlah negara kecil di Jerman
mengumpulkan pasukan kembali untuk melawan pasukan Napoleon. Pada pertempuran kali
ini, Napoleon berhasil membuat Prusia mundur dari peperangan akibat adanya serangan
kejutan Napoleon ke posisi pasukan koalisi yang berada di Belgia. Kekalahan Prusia
membuat Jenderal Wellington yang merupakan sekutu Prusia juga mundur dan kembali ke
posisi semula di tebing Gunung Santa Jean, beberapa mil di selatan desa Waterloo. Napoleon
yang semakin optimis dan yakin akan dapat menguasai Eropa kembali, membuat ia berusaha
mengejar pasukan Wellington. Namun, usaha Napoleon untuk mengejar Wellington berhasil
digagalkan oleh pasukan Prusia yang sempat bersatu kembali dan akhirnya mampu
menyerang sayap kanan Perancis dalam jumlah besar, strategi Napoleon untuk memecah
koalisi pun gagal.10 Kekalahan Napoleon dalam perang kali ini, menjadi penutup sejarah
kekaisaran Napoleon di Perancis. Pertempuran ini dicatat dalam sejarah sebagai penutup dari
seratus hari sejak larinya Napoleon dari pulau Elba. Pertempuran yang terjadi pada tanggal 18
Juni 1815 di dekat desa Waterloo (sekitar 15 km selatan ibu kota Belgia, Brussels) ini disebut
sebagai Pertempuran Waterloo 1815,11 yang mana merupakan bagian dari Perang Koalisi VII
tahun 1815.
Setelah kekalahan pasukan Napoleon pada periode Perang Koalisi VII, khususnya pada
Pertempuran Waterloo 1815 akhirnya membawa perubahan besar dalam berbagai aspek di
kawasan Eropa. Pertanyaan besar dalam permasalahan ini ialah bagaimana kemudian
konstelasi politik di Eropa pasca kekalahan pasukan Napoleon pada Pertempuran Waterloo
1815. Dalam hal ini, penulis berusaha menggambarkan berbagai perubahan yang terjadi
dalam tatanan atau pun konstelasi politik di Eropa pasca berakhirnya Perang Napoleon,
khususnya Pertempuran Waterloo 1815.
Walau pun semasa Napoleon menjabat sebagai pemimpin negara berhasil menaklukan
sebagian besar wilayah Eropa, namun setelah Perang Napoleon berakhir dominasi Perancis di
Eropa secara otomatis lenyap dan kembali lagi seperti pada masa Louis XIV. Inggris pun
muncul sebagai negara superpower di dunia dan tidak dapat dibantah lagi bahwa angkatan
laut Inggris menjadi yang terkuat di dunia, demikian juga mereka menjadi negara maju di
bidang ekonomi dan industri. Kuatnya pengaruh Inggris bukan berarti hilangnya pengaruh
Perancis di kawasan Eropa. Cita-cita Revolusi Perancis yang pernah dibawa oleh Napoleon
(seperti demokrasi, hak dan persamaan dalam bidang hukum, dll.) mulai diadopsi di banyak
negara kawasan Eropa. Hal ini membuat para raja di Eropa kesulitan untuk mengembalikan
hukum lama mereka dan terpaksa tetap memegang hukum-hukum yang diterapkan oleh
9
Wikipedia, “Peperangan Era Napoleon”, Ensiklopedia Bebas Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Peperangan_era_Napoleon diakses pada 27 Oktober 2016, pukul 04.55 WITA
10 Ibid.
11
Wikipedia, “Pertempuran Waterloo”, Ensiklopedia Bebas Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Waterloo diakses pada 27 Oktober 2016, pukul 05.25 WITA
3
Napoleon. Bahkan hingga saat ini pun, beberapa dari hukum tersebut masih dipakai di Eropa
yang secara jelas mengadopsi kode Napoleon.12 Beberapa hukum tersebut walau pun
sebenarnya merupakan sumbangan Romawi pada bidang sistem hukum, namun sumbangan
pemikiran Romawi tersebut semakin konkrit dengan adanya pengaruh kuat dari Napoleon,
beberapa hukum tersebut di antaranya:
a. Ius Civile, hukum sipil khusus diberlakukan bagi warga sipil Romawi (atau saat ini
Eropa), bukan warga lain;
b. Ius Gentium, hukum sipil yang diberlakukan tanpa memandang kewarganegaraan
seseorang; dan
c. Ius Naturale, prinsip hukum yang memandang keadilan dan kebenaran sesuai
dengan rasionalitas dan hakikat alam.
Ketiga hukum di atas, dapat dilacak di Perancis, Italia, Swiss, Jerman, Belanda, AS, dan
beberapa negara jajahan dari negara yang mengadopsi sistem tersebut.13 Faham nasionalisme
yang relatif baru pada saat itu berkembang dan mempengaruhi alur sejarah Eropa, mulai dari
berdirinya negara baru atau berakhirnya suatu negara. Peta Politik di Eropa berubah drastis
setelah Perang Napoleon, tidak lagi berbasis aristokrasi atau monarki mutlak, namun telah
berubah menjadi sistem kerakyatan atau demokrasi.14 Tentu, perubahan peta politik Eropa ini
sangat berlawanan dari masa sebelumnya dengan masa sekarang, sebab jika kita mencoba
melihat pada pemikiran para filsuf Yunani Kuno yaitu Plato dan Aristoteles, maka dikatakan
oleh mereka bahwa bentuk negara ideal yaitu negara yang menganut sistem aristokrasi dan
monarki, sedangkan negara terburuk bagi mereka ialah negara yang menganut sistem
demokrasi dan tirani.15 Pada faktanya, justru kebanyakan negara-negara di Eropa saat ini
menganut sistem demokrasi. Padahal, sistem hukum dan lembaga politik Eropa lebih banyak
dipengaruhi Yunani-Romawi, Napoleon pun lebih banyak mengadopsi pemikiran Romawi.
Ada pun, dalam pembagian wilayah, berakhirnya Perang Napoleon menyebabkan
negara Jerman modern dan Italia modern berdiri dengan bergabungnya negara-negara bagian
dan juga kerajaan-kerajaan kecil. Ide lain yang diadopsi dari Napoleon (walau pun dia sendiri
gagal mewujudkannya) adalah harapan untuk mewujudkan Eropa yang bersatu (ide ini
digulirkan lagi setelah Perang Dunia II) dan saat ini ide tersebut telah diwujudkan dengan
adanya mata uang tunggal Uni Eropa yaitu Euro. 16 Selain itu, Perancis mendapatkan kembali
wilayahnya seperti semula sebelum terjadinya Perang Napoleon, Belanda merdeka dan
wilayahnya diperluas (sistem hukum sipil Belanda juga mengikuti Code Civil Napoleon),
Swiss merdeka dan mendapat jaminan keamanan dari negara-negara Eropa lainnya, Finlandia
dan Polandia diserahkan ke Rusia, dan Eastern Rhineland dikembalikan kepada Prusia.17
Dari segi hukum internasional, setelah Pertempuran Waterloo 1815 berakhir, beberapa
negara di kawasan Eropa kemudian melakukan perjanjian dengan tujuan untuk menciptakan
keamanan, perdamaian, dan perimbangan kekuasaan di Eropa yang diwadahi dalam suatu
kongres bernama “Congress of Vienna” (Kongres Wina) pada tahun 1815. Kongres ini
12 Ibid.
13 Etha Pasan, S.IP., MA, 2016, Pilar-Pilar Pemikiran Politik Barat, lembaran kuliah berupa Power Point
dibagikan pada mata kuliah Pemikiran Politik Barat, Universitas Mulawarman, FISIP Ruang 04, Samarinda, 07
September
14 Wikipedia, loc. cit.
15 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2007) h. 25-48
16 Wikipedia, loc. cit.
17 Yuniarti S.IP., M.Si, op. cit., h. 13
4
dipelopori oleh 5 tokoh penting yang mewakili masing-masing negara dalam suatu koalisi
yang sama yaitu Von Matternich dari Austria, Alexander I dari Rusia, Lord Caslereagh dari
Inggris, Pangeran Karl August von Hadenberg dari Prusia, dan Charles Maurice de
Talleyrand-Perigrod dari Perancis. Kongres ini diharapkan mampu memantapkan ide-ide
nasionalisme dan demokrasi di kawasan Eropa akan tetapi pada kenyataannya kongres ini
menjadi bentuk reaksi terhadap Perancis dan bahkan kongres ini justru dijadikan alat untuk
memperluas wilayah kekuasaan melalui peperangan.18 Kongres Wina 1815 ini dirasa
merugikan pihak Perancis akibat dari adanya beberapa keputusan yang merugikan Perancis,
diantaranya Perancis harus membayar biaya perang sebesar 700 juta Franc, angkatan perang
Perancis harus diistirahatkan selama 5 tahun, dan Perancis kembali ke bentuk asal, yaitu
Monarkhi.19 Namun, tak ada satu pun keputusan yang dituruti oleh Perancis dari Kongres
Wina ini, sebab bagi Perancis hal tersebut sangat merugikan negaranya.
Gagasan yang terbentuk untuk menciptakan Balance of Power dalam Kongres Wina
mendorong lahirnya sistem Concert of Europe yang memiliki tujuan untuk memelihara
persebaran teritori antar negara-negara Eropa.20 Konstelasi politik di Eropa menimbulkan
adanya revolusi industri yang juga merubah keadaan dunia dan perkembangan sejarah
hubungan internasional dengan mendorong lahirnya kolonisasi. Hingga pada akhirnya, sistem
Councert of Europe yang telah dibentuk perlahan-lahan mengalami degidrasi dan keadaan
dunia menjadi tidak stabil sejak tahun 1914 dikarenakan konflik yang mempengaruhi situasi
internasional pada masa itu dan adanya Revolusi Industri oleh pihak Inggris yang hanya
berfokus pada ekonomi dan produksi.21 Sejak saat itulah, pengaruh Perancis sudah mulai
hilang dan didominasi oleh pengaruh Inggris dalam beberapa aspek seperti ekonomi, sosial,
dan politik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konstelasi politik di Eropa pasca
kekalahan pasukan Napoleon dalam Pertempuran Waterloo 1815 mengalami berbagai
dinamika dan konsekuensi yang cukup besar yang dapat dilihat dari berbagai aspek mulai
dari pelimpahan kekuasaan, pembagian wilayah, tatanan politik, hukum internasional,
kehidupan sosial, dan keadaan ekonomi masing-masing negara di Eropa yang mempengaruhi
jalannya perpolitikan di kawasan tersebut. Adanya perjanjian yang dilakukan oleh negaranegara yang terlibat pasca berakhirnya Perang Napoleon ditujukan untuk menciptakan
perdamaian terbukti dengan diadakannya Kongres Wina 1815 dan pembentukan sistem
Councert of Europe. Namun, perdamaian yang didambakan dalam bentuk penyatuan Eropa
secara utuh tidak dapat terwujud sejak Napoleon memerintah sampai Eropa saat ini. Hal ini
dapat terlihat dari berbagai konstelasi politik Eropa yang berubah-ubah dan saling melakukan
pengaruh satu sama lain. Pada akhirnya, Perancis yang dulu berjaya di bawah kekuasaan
Napoleon, saat ini harus menurunkan pengaruhnya akibat dari kekuatan Inggris yang saat ini
semakin terlihat pasca Revolusi Industri terjadi dan dampak yang dihasilkan pun juga
mempengaruhi politik internasional di kawasan lain di luar Eropa.
18 Yuniarti S.IP., M.Si, op. cit. h. 9
19 Ibid., h. 12
20 Charles Seignobos, 1815-1915 From The Congress of Vienna to The War of 1914, diterjemahkan oleh P.E.
Matheson, Librairie Armand Colin, dan Boulevard Saint-Michael dengan judul yang sama (Paris, 1915) h. 1-38
21 Dina Arumsari Laksono, Diplomasi Concert of Europe sampai dengan Perang Dunia I, https://dindaarumsari-laksono-fisip14.web.unair.ac.id, diakses pada 27 Oktober 2016 pukul 12.13 WITA
5
Referensi:
Havid,
Mohamad,
Balance
of
Power,
https://www.academia.edu/7912444/Balance_Of_Power, diakses pada 27 Oktober 2016,
pukul 03.22 WITA
Laksono, Dina Arumsari, Diplomasi Concert of Europe sampai dengan Perang Dunia I,
https://dinda-arumsari-laksono-fisip14.web.unair.ac.id, diakses pada 27 Oktober 2016 pukul
12.13 WITA.
Pasan, Etha, 2016, Pilar-Pilar Pemikiran Politik Barat, lembaran kuliah berupa Power Point
dibagikan pada mata kuliah Pemikiran Politik Barat, Universitas Mulawarman, FISIP Ruang
04, Samarinda, 07 September
Seignobos, Charles, 1915, 1815-1915 From The Congress of Vienna to The War of 1914,
diterjemahkan oleh P.E. Matheson, Librairie Armand Colin, dan Boulevard Saint-Michael
dengan judul yang sama, Paris.
Suhelmi, Ahmad, 2007, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia.
Tawon, Republik Eusosialis, Perang Napoleon, Ketika Perancis Menjadi Pengganyang
Eropa,
http://www.re-tawon.com/2016/01/perang-napoleon-ketika-perancis-menjadi.html,
diakses pada 27 Oktober 2016, pukul 02.09 WITA
Trissusilo, Ario, 2015, Perang Koalisi VI: Suatu Kajian Mengenai Kekalahan Pasukan
Napoleon dalam Pertempuran Di Rusia (1812), Tesis Sarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, diakses pada 27 Oktober 2016 pukul 02.59 WITA, Perpustakaan UPI,
http://repository.upi.edu/17665/3/S_SEJ_0901763_chapter1.pdf
Wikipedia, “Peperangan Era Napoleon”, Ensiklopedia Bebas Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Peperangan_era_Napoleon diakses pada 27 Oktober 2016, pukul
04.55 WITA
Wikipedia, “Pertempuran Waterloo”, Ensiklopedia Bebas Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Waterloo diakses pada 27 Oktober 2016, pukul
05.25 WITA
Yuniarti, 2016, Perebutan Kekuasaan Pasca Westphalia 1648 sampai dengan Perang Dunia
I, lembaran kuliah berupa Power Point dibagikan pada Mata Kuliah HI di Eropa, Universitas
Mulawarman, Gedung Pascasarjana FISIP Ruang 12, Samarinda, 03 Oktober
6
Koalisi VII (Pertempuran Waterloo Tahun 1815)
Fathurrahman1
NIM. 1402045164
Perang merupakan salah satu hal yang tidak dapat terlepas dari perkembangan sejarah
dunia hubungan internasional, hal ini disebabkan karena dalam interaksi yang terjadi antar
negara terdapat beberapa negara yang memiliki kekuatan lebih besar cenderung akan
melakukan penaklukan, perebutan kekuasaan, ekspansi, dan invasi ke negara lain yang
memiliki kekuatan lebih kecil untuk tujuan-tujuan tertentu, sehingga perang menjadi akibat
dari adanya berbagai upaya penaklukan tersebut. Biasanya perang dilandasi oleh adanya
kepentingan politik, ekonomi, dan sosial. Berbagai peristiwa perang yang pernah terjadi,
secara tidak langsung berdampak pada kondisi dan keadaan politik di negara-negara yang
ikut terlibat dalam perang tersebut.
Salah satu perang besar yang pernah terjadi dalam catatan sejarah dunia ialah perang
yang terjadi di kawasan Eropa, yaitu Perang Napoleon. Perang Napoleon (Napoleonic Wars;
Guerres Napoleoniennes) merupakan perang yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte
melawan koalisi negara-negara Eropa dengan anggota yang bervariasi, namun selalu diisi
oleh Inggris sebagai salah satu anggota penyusunnya. 2 Perang Napoleon (1799-1815) terjadi
selama Napoleon memerintah sebagai pemimpin negara yang terjadi di Eropa dan beberapa
tempat di benua lainnya, disebut juga sebagai kelanjutan dari perang yang dipicu oleh
Revolusi Perancis pada tahun 1789. Perang Napoleon diawali dengan Perang Koalisi I pada
tahun 1805 yang dimana Austria bergabung dengan aliansi Inggris dan Rusia.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Trissusilo bahwa:
“Terjadinya Perang Koalisi bukan merupakan suatu hal yang terjadi secara tiba-tiba,
namun itu merupakan akhir dari suatu proses pengangkatan Napoleon menjadi kaisar
Perancis. Perkembangan negara Perancis yang dipimpin oleh Kaisar Napoleon membuat
situasi politik di kawasan Eropa semakin memanas dengan diwarnai ketegangan yang
mendorong terjadinya perang koalisi. Perancis bergerak di hampir seluruh kawasan
Eropa melawan negara-negara yang dianggap penting dan strategis. Hal ini diakibatkan
adanya ambisi Napoleon untuk menaklukan Kawasan Eropa dan menjadikan Perancis
sebagai negara yang paling kuat di Eropa.”3
Secara umum, apa yang dikemukakan oleh Trissusilo menunjukkan pembenaran atas
teori Balance of Power yang menekankan pada efektifitas kontrol terhadap kekuatan sebuah
negara oleh kekuatan negara-negara lain.4 Dalam hal ini, Perancis sebagai negara yang
dominan dengan melakukan peningkatan kekuatan secara agresif sehingga menimbulkan
1 Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Angkatan 2014 (Kelas HI B), Universitas
Mulawarman, Samarinda. Email: [email protected]
2 Republik Eusosialis Tawon, Perang Napoleon, Ketika Perancis Menjadi Pengganyang Eropa, http://www.retawon.com/2016/01/perang-napoleon-ketika-perancis-menjadi.html, diakses pada 27 Oktober 2016, pukul 02.09
WITA
3 Ario Trissusilo, 2015, Perang Koalisi VI: Suatu Kajian Mengenai Kekalahan Pasukan Napoleon dalam
Pertempuran Di Rusia (1812), Tesis Sarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, diakses pada 27 Oktober 2016
pukul 02.59 WITA, Perpustakaan UPI, http://repository.upi.edu/17665/3/S_SEJ_0901763_chapter1.pdf
1
respon dari negara-negara yang merasa terancam. Negara-negara ini membentuk aliansi atau
koalisi untuk menjaga keamanan negara dari ancaman Perancis. Namun, upaya perlawanan
terhadap Perancis akhirnya gagal, sehingga di bawah pemerintahan Napoleon Perancis
tumbuh menjadi the first class yang hampir menguasai seluruh daratan Eropa (sebagian besar
Jerman, Belanda, Swiss, Polandia, dan Finlandia).5
Keberhasilan Perancis menguasai sebagian besar wilayah Eropa didukung oleh
kekuatan militer yang dimiliki Perancis di bawah kekuasaan Napoleon. Selama masa
hidupnya, Napoleon melakukan penyusunan strategi perang secara terus menerus yang pada
akhirnya berdampak pada perubahan besar pada sistem militer di Eropa terutama pada artileri
dan organisasi militer.6 Pada masa menjadi kaisar Perancis pada tahun 1804-1814, Napoleon
menjadi semakin agresif dengan cita-cita nasionalismenya dalam bentuk slogan liberty,
equality, dan fraternity, berusaha mengusik negara-negara kawasan Eropa lainnya yang
dianggap strategis seperti Austria, Spanyol, Belanda, Prusia, Swiss, dan Rusia.
Berbagai keberhasilan Napoleon untuk menaklukan berbagai negara di kawasan Eropa
telah mengakibatkan perubahan peta politik Eropa. Napoleon juga telah merusak batas-batas
internasional yang sudah diatur sebelum perang terjadi. Wilayah Spanyol membentang
hingga perbatasan Rusia telah jatuh ke tangan Napoleon pada tahun 1808. Namun, masih ada
satu wilayah yang belum dapat dikuasai oleh Napoleon, yaitu Rusia. Napoleon sangat
berambisi ingin menguasai Rusia dengan berbagai cara, bahkan Napoleon mengerahkan
ratusan ribu pasukan untuk menyerang Rusia. Namun, upaya Napoleon untuk menguasai
Rusia tidak berhasil dan hal ini menjadi salah satu momentum menurunnya kekuatan militer
Perancis di bawah kekuasaan Napoleon yang telah dipertahankan selama bertahun-tahun.
Dikutip dalam tulisan Trissusilo mengenai pemikiran Lanza, 7 dikatakan tentang maksud dari
Napoleon ingin menguasai Rusia pada tahun 1812, yaitu ‘ ... dengan maksud memaksa Kaisar
Alexander I tetap mengikuti sistem kontinental yang diterapkannya dan memperkecil
kemungkinan ancaman Rusia yang akan menginvasi Polandia’.8
Kemunduran kekuatan militer pasukan Napoleon pada saat menyerang Rusia
diakibatkan oleh keadaan alam di Rusia yang beriklim “Continental” (suhu sangat panas jika
musim panas, dan sangat dingin jika musim dingin). Keadaan alam yang tidak biasa bagi
pasukan Napoleon dengan cuaca yang sangat dingin akhirnya membuat Napoleon menarik
pasukannya kembali dan hal ini menjadi titik balik kekalahan Napoleon dalam Perang Rusia
Tahun 1812. Kekalahan Napoleon dalam perang ini, menjadi kesempatan bagi Prusia,
Swedia, Austria, dan beberapa negara kecil di Jerman untuk ikut kembali dalam peperangan.
Namun, Napoleon tidak tinggal diam menanggapi hal ini, ia dengan cepat kembali
membentuk tentara baru mencapai 400.000 tentara pada awalnya, namun pada tahun 1814
pasukan Napoleon berkurang menjadi 70.000 tentara akibat dari beberapa kekalahan
Napoleon pada perang-perang kecil yang terjadi setelah Perang Rusia 1812 sampai tahun
4 Mohamad Havid, Balance of Power, https://www.academia.edu/7912444/Balance_Of_Power, diakses pada
27 Oktober 2016, pukul 03.22 WITA
5 Yuniarti S.IP., M.Si, 2016, Perebutan Kekuasaan Pasca Westphalia 1648 sampai dengan Perang Dunia I,
lembaran kuliah berupa Power Point dibagikan pada Mata Kuliah HI di Eropa, Universitas Mulawarman,
Gedung Pascasarjana FISIP Ruang 12, Samarinda, 03 Oktober
6 Ario Trissusilo, loc. cit.
7 Penulis buku Napoleon and Modern War, His Military Maxims: Napoleon dan Strategi Perang Modern
(2010)
8 Ario Trissusilo, op. cit., h. 3
2
1814 saat Napoleon mulai memasuki wilayah Paris. Akhirnya, Napoleon kalah dan turun
takhta pada tanggal 06 April 1814, tetapi pasukannya di Italia, Spanyol, dan Belanda masih
terus melakukan perlawanan selama musim semi tahun 1814.9 Kekalahan Napoleon ini
menjadi momentum berakhirnya Perang Koalisi VI yang berlangsung dari tahun 1812 hingga
tahun 1814.
Babak perang baru dimulai kembali pada tahun 1815 pada saat pasukan Napoleon
berhasil menggulingkan kekuasaan raja Louis XVIII. Pihak koalisi yang terdiri dari Inggris,
Rusia, Prusia, Swedia, Austria, dan Belanda serta sejumlah negara kecil di Jerman
mengumpulkan pasukan kembali untuk melawan pasukan Napoleon. Pada pertempuran kali
ini, Napoleon berhasil membuat Prusia mundur dari peperangan akibat adanya serangan
kejutan Napoleon ke posisi pasukan koalisi yang berada di Belgia. Kekalahan Prusia
membuat Jenderal Wellington yang merupakan sekutu Prusia juga mundur dan kembali ke
posisi semula di tebing Gunung Santa Jean, beberapa mil di selatan desa Waterloo. Napoleon
yang semakin optimis dan yakin akan dapat menguasai Eropa kembali, membuat ia berusaha
mengejar pasukan Wellington. Namun, usaha Napoleon untuk mengejar Wellington berhasil
digagalkan oleh pasukan Prusia yang sempat bersatu kembali dan akhirnya mampu
menyerang sayap kanan Perancis dalam jumlah besar, strategi Napoleon untuk memecah
koalisi pun gagal.10 Kekalahan Napoleon dalam perang kali ini, menjadi penutup sejarah
kekaisaran Napoleon di Perancis. Pertempuran ini dicatat dalam sejarah sebagai penutup dari
seratus hari sejak larinya Napoleon dari pulau Elba. Pertempuran yang terjadi pada tanggal 18
Juni 1815 di dekat desa Waterloo (sekitar 15 km selatan ibu kota Belgia, Brussels) ini disebut
sebagai Pertempuran Waterloo 1815,11 yang mana merupakan bagian dari Perang Koalisi VII
tahun 1815.
Setelah kekalahan pasukan Napoleon pada periode Perang Koalisi VII, khususnya pada
Pertempuran Waterloo 1815 akhirnya membawa perubahan besar dalam berbagai aspek di
kawasan Eropa. Pertanyaan besar dalam permasalahan ini ialah bagaimana kemudian
konstelasi politik di Eropa pasca kekalahan pasukan Napoleon pada Pertempuran Waterloo
1815. Dalam hal ini, penulis berusaha menggambarkan berbagai perubahan yang terjadi
dalam tatanan atau pun konstelasi politik di Eropa pasca berakhirnya Perang Napoleon,
khususnya Pertempuran Waterloo 1815.
Walau pun semasa Napoleon menjabat sebagai pemimpin negara berhasil menaklukan
sebagian besar wilayah Eropa, namun setelah Perang Napoleon berakhir dominasi Perancis di
Eropa secara otomatis lenyap dan kembali lagi seperti pada masa Louis XIV. Inggris pun
muncul sebagai negara superpower di dunia dan tidak dapat dibantah lagi bahwa angkatan
laut Inggris menjadi yang terkuat di dunia, demikian juga mereka menjadi negara maju di
bidang ekonomi dan industri. Kuatnya pengaruh Inggris bukan berarti hilangnya pengaruh
Perancis di kawasan Eropa. Cita-cita Revolusi Perancis yang pernah dibawa oleh Napoleon
(seperti demokrasi, hak dan persamaan dalam bidang hukum, dll.) mulai diadopsi di banyak
negara kawasan Eropa. Hal ini membuat para raja di Eropa kesulitan untuk mengembalikan
hukum lama mereka dan terpaksa tetap memegang hukum-hukum yang diterapkan oleh
9
Wikipedia, “Peperangan Era Napoleon”, Ensiklopedia Bebas Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Peperangan_era_Napoleon diakses pada 27 Oktober 2016, pukul 04.55 WITA
10 Ibid.
11
Wikipedia, “Pertempuran Waterloo”, Ensiklopedia Bebas Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Waterloo diakses pada 27 Oktober 2016, pukul 05.25 WITA
3
Napoleon. Bahkan hingga saat ini pun, beberapa dari hukum tersebut masih dipakai di Eropa
yang secara jelas mengadopsi kode Napoleon.12 Beberapa hukum tersebut walau pun
sebenarnya merupakan sumbangan Romawi pada bidang sistem hukum, namun sumbangan
pemikiran Romawi tersebut semakin konkrit dengan adanya pengaruh kuat dari Napoleon,
beberapa hukum tersebut di antaranya:
a. Ius Civile, hukum sipil khusus diberlakukan bagi warga sipil Romawi (atau saat ini
Eropa), bukan warga lain;
b. Ius Gentium, hukum sipil yang diberlakukan tanpa memandang kewarganegaraan
seseorang; dan
c. Ius Naturale, prinsip hukum yang memandang keadilan dan kebenaran sesuai
dengan rasionalitas dan hakikat alam.
Ketiga hukum di atas, dapat dilacak di Perancis, Italia, Swiss, Jerman, Belanda, AS, dan
beberapa negara jajahan dari negara yang mengadopsi sistem tersebut.13 Faham nasionalisme
yang relatif baru pada saat itu berkembang dan mempengaruhi alur sejarah Eropa, mulai dari
berdirinya negara baru atau berakhirnya suatu negara. Peta Politik di Eropa berubah drastis
setelah Perang Napoleon, tidak lagi berbasis aristokrasi atau monarki mutlak, namun telah
berubah menjadi sistem kerakyatan atau demokrasi.14 Tentu, perubahan peta politik Eropa ini
sangat berlawanan dari masa sebelumnya dengan masa sekarang, sebab jika kita mencoba
melihat pada pemikiran para filsuf Yunani Kuno yaitu Plato dan Aristoteles, maka dikatakan
oleh mereka bahwa bentuk negara ideal yaitu negara yang menganut sistem aristokrasi dan
monarki, sedangkan negara terburuk bagi mereka ialah negara yang menganut sistem
demokrasi dan tirani.15 Pada faktanya, justru kebanyakan negara-negara di Eropa saat ini
menganut sistem demokrasi. Padahal, sistem hukum dan lembaga politik Eropa lebih banyak
dipengaruhi Yunani-Romawi, Napoleon pun lebih banyak mengadopsi pemikiran Romawi.
Ada pun, dalam pembagian wilayah, berakhirnya Perang Napoleon menyebabkan
negara Jerman modern dan Italia modern berdiri dengan bergabungnya negara-negara bagian
dan juga kerajaan-kerajaan kecil. Ide lain yang diadopsi dari Napoleon (walau pun dia sendiri
gagal mewujudkannya) adalah harapan untuk mewujudkan Eropa yang bersatu (ide ini
digulirkan lagi setelah Perang Dunia II) dan saat ini ide tersebut telah diwujudkan dengan
adanya mata uang tunggal Uni Eropa yaitu Euro. 16 Selain itu, Perancis mendapatkan kembali
wilayahnya seperti semula sebelum terjadinya Perang Napoleon, Belanda merdeka dan
wilayahnya diperluas (sistem hukum sipil Belanda juga mengikuti Code Civil Napoleon),
Swiss merdeka dan mendapat jaminan keamanan dari negara-negara Eropa lainnya, Finlandia
dan Polandia diserahkan ke Rusia, dan Eastern Rhineland dikembalikan kepada Prusia.17
Dari segi hukum internasional, setelah Pertempuran Waterloo 1815 berakhir, beberapa
negara di kawasan Eropa kemudian melakukan perjanjian dengan tujuan untuk menciptakan
keamanan, perdamaian, dan perimbangan kekuasaan di Eropa yang diwadahi dalam suatu
kongres bernama “Congress of Vienna” (Kongres Wina) pada tahun 1815. Kongres ini
12 Ibid.
13 Etha Pasan, S.IP., MA, 2016, Pilar-Pilar Pemikiran Politik Barat, lembaran kuliah berupa Power Point
dibagikan pada mata kuliah Pemikiran Politik Barat, Universitas Mulawarman, FISIP Ruang 04, Samarinda, 07
September
14 Wikipedia, loc. cit.
15 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: Gramedia, 2007) h. 25-48
16 Wikipedia, loc. cit.
17 Yuniarti S.IP., M.Si, op. cit., h. 13
4
dipelopori oleh 5 tokoh penting yang mewakili masing-masing negara dalam suatu koalisi
yang sama yaitu Von Matternich dari Austria, Alexander I dari Rusia, Lord Caslereagh dari
Inggris, Pangeran Karl August von Hadenberg dari Prusia, dan Charles Maurice de
Talleyrand-Perigrod dari Perancis. Kongres ini diharapkan mampu memantapkan ide-ide
nasionalisme dan demokrasi di kawasan Eropa akan tetapi pada kenyataannya kongres ini
menjadi bentuk reaksi terhadap Perancis dan bahkan kongres ini justru dijadikan alat untuk
memperluas wilayah kekuasaan melalui peperangan.18 Kongres Wina 1815 ini dirasa
merugikan pihak Perancis akibat dari adanya beberapa keputusan yang merugikan Perancis,
diantaranya Perancis harus membayar biaya perang sebesar 700 juta Franc, angkatan perang
Perancis harus diistirahatkan selama 5 tahun, dan Perancis kembali ke bentuk asal, yaitu
Monarkhi.19 Namun, tak ada satu pun keputusan yang dituruti oleh Perancis dari Kongres
Wina ini, sebab bagi Perancis hal tersebut sangat merugikan negaranya.
Gagasan yang terbentuk untuk menciptakan Balance of Power dalam Kongres Wina
mendorong lahirnya sistem Concert of Europe yang memiliki tujuan untuk memelihara
persebaran teritori antar negara-negara Eropa.20 Konstelasi politik di Eropa menimbulkan
adanya revolusi industri yang juga merubah keadaan dunia dan perkembangan sejarah
hubungan internasional dengan mendorong lahirnya kolonisasi. Hingga pada akhirnya, sistem
Councert of Europe yang telah dibentuk perlahan-lahan mengalami degidrasi dan keadaan
dunia menjadi tidak stabil sejak tahun 1914 dikarenakan konflik yang mempengaruhi situasi
internasional pada masa itu dan adanya Revolusi Industri oleh pihak Inggris yang hanya
berfokus pada ekonomi dan produksi.21 Sejak saat itulah, pengaruh Perancis sudah mulai
hilang dan didominasi oleh pengaruh Inggris dalam beberapa aspek seperti ekonomi, sosial,
dan politik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konstelasi politik di Eropa pasca
kekalahan pasukan Napoleon dalam Pertempuran Waterloo 1815 mengalami berbagai
dinamika dan konsekuensi yang cukup besar yang dapat dilihat dari berbagai aspek mulai
dari pelimpahan kekuasaan, pembagian wilayah, tatanan politik, hukum internasional,
kehidupan sosial, dan keadaan ekonomi masing-masing negara di Eropa yang mempengaruhi
jalannya perpolitikan di kawasan tersebut. Adanya perjanjian yang dilakukan oleh negaranegara yang terlibat pasca berakhirnya Perang Napoleon ditujukan untuk menciptakan
perdamaian terbukti dengan diadakannya Kongres Wina 1815 dan pembentukan sistem
Councert of Europe. Namun, perdamaian yang didambakan dalam bentuk penyatuan Eropa
secara utuh tidak dapat terwujud sejak Napoleon memerintah sampai Eropa saat ini. Hal ini
dapat terlihat dari berbagai konstelasi politik Eropa yang berubah-ubah dan saling melakukan
pengaruh satu sama lain. Pada akhirnya, Perancis yang dulu berjaya di bawah kekuasaan
Napoleon, saat ini harus menurunkan pengaruhnya akibat dari kekuatan Inggris yang saat ini
semakin terlihat pasca Revolusi Industri terjadi dan dampak yang dihasilkan pun juga
mempengaruhi politik internasional di kawasan lain di luar Eropa.
18 Yuniarti S.IP., M.Si, op. cit. h. 9
19 Ibid., h. 12
20 Charles Seignobos, 1815-1915 From The Congress of Vienna to The War of 1914, diterjemahkan oleh P.E.
Matheson, Librairie Armand Colin, dan Boulevard Saint-Michael dengan judul yang sama (Paris, 1915) h. 1-38
21 Dina Arumsari Laksono, Diplomasi Concert of Europe sampai dengan Perang Dunia I, https://dindaarumsari-laksono-fisip14.web.unair.ac.id, diakses pada 27 Oktober 2016 pukul 12.13 WITA
5
Referensi:
Havid,
Mohamad,
Balance
of
Power,
https://www.academia.edu/7912444/Balance_Of_Power, diakses pada 27 Oktober 2016,
pukul 03.22 WITA
Laksono, Dina Arumsari, Diplomasi Concert of Europe sampai dengan Perang Dunia I,
https://dinda-arumsari-laksono-fisip14.web.unair.ac.id, diakses pada 27 Oktober 2016 pukul
12.13 WITA.
Pasan, Etha, 2016, Pilar-Pilar Pemikiran Politik Barat, lembaran kuliah berupa Power Point
dibagikan pada mata kuliah Pemikiran Politik Barat, Universitas Mulawarman, FISIP Ruang
04, Samarinda, 07 September
Seignobos, Charles, 1915, 1815-1915 From The Congress of Vienna to The War of 1914,
diterjemahkan oleh P.E. Matheson, Librairie Armand Colin, dan Boulevard Saint-Michael
dengan judul yang sama, Paris.
Suhelmi, Ahmad, 2007, Pemikiran Politik Barat, Jakarta: Gramedia.
Tawon, Republik Eusosialis, Perang Napoleon, Ketika Perancis Menjadi Pengganyang
Eropa,
http://www.re-tawon.com/2016/01/perang-napoleon-ketika-perancis-menjadi.html,
diakses pada 27 Oktober 2016, pukul 02.09 WITA
Trissusilo, Ario, 2015, Perang Koalisi VI: Suatu Kajian Mengenai Kekalahan Pasukan
Napoleon dalam Pertempuran Di Rusia (1812), Tesis Sarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, diakses pada 27 Oktober 2016 pukul 02.59 WITA, Perpustakaan UPI,
http://repository.upi.edu/17665/3/S_SEJ_0901763_chapter1.pdf
Wikipedia, “Peperangan Era Napoleon”, Ensiklopedia Bebas Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Peperangan_era_Napoleon diakses pada 27 Oktober 2016, pukul
04.55 WITA
Wikipedia, “Pertempuran Waterloo”, Ensiklopedia Bebas Wikipedia Bahasa Indonesia,
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Waterloo diakses pada 27 Oktober 2016, pukul
05.25 WITA
Yuniarti, 2016, Perebutan Kekuasaan Pasca Westphalia 1648 sampai dengan Perang Dunia
I, lembaran kuliah berupa Power Point dibagikan pada Mata Kuliah HI di Eropa, Universitas
Mulawarman, Gedung Pascasarjana FISIP Ruang 12, Samarinda, 03 Oktober
6