Latar Belakang Penggelontoran Outward Di

LATAR BELAKANG PENGGELONTORAN OUTWARD DIRECT INVESTMENT
CHINA DI AFRIKA

Makalah Akhir
Pembangunan Internasional

Disusun oleh:
Genta Maulana Mansyur

1406618833

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2016

1

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sejak tahun 2000 China telah berkembang sebagai mitra dagang terbesar Afrika yang ditandai
oleh Investasi langsung China dan pinjaman kepada negara-negara Afrika.1 Keterlibatan China
di Afrika ini secara tidak langsung berkontribusi pada pertumbuhan dan pengentasan
kemiskinan lebih cepat di sana dengan tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi perkapita di
Afrika melonjak dari 0,6% per tahun pada 1990-an menjadi 2,8% di tahun 2000-an.2 Di satu
sisi, negara-negara Afrika telah memperkuat lembaga-lembaga dan kebijakan ekonomi makro
yang merupakan salah satu faktor dalam percepatan pertumbuhan, tetapi permintaan ekspor
China pada komoditas utama benua tersebut, seperti: minyak, besi, tembaga, seng, dan produkproduk primer lainnya menyebabkan peningkatan perdagangan dan volume ekspor yang lebih
tinggi, yaitu faktor yang memegang peran lebih penting dalam percepatan pertumbuhan.3
Dalam survei Pew Global Attitudes pada tahun 2015,4 responden dari negara-negara
Afrika memiliki signifikan pandangan yang lebih positif terhadap China (70% dengan
pandangan positif) dari dibandingkan responden di wilayah lain seperti Eropa (41%), Asia
(57%), atau Amerika Latin (57%). Ini Hasil ini mencerminkan dampak positif dari keterlibatan
China pada pertumbuhan Afrika. Pada saat yang sama, keterlibatan China di Afrika juga
menimbulkan kontroversi dan perdebatan baik dalam ranah akademisi maupun politisi global,
karena seperti yang diwartakan oleh beberapa berita utama khas dari pers Barat: "To Africa:
China’s Wild Rush”,5 "China in Africa: Investment or Exploitation?"6; "Clinton warns against
‘new colonialism’ in Africa."7 Dan lain sebagainya. Kritik yang datang tidak hanya berasal dari


Leonard Cheng dan Zihui Ma, China’s Outward FDI: Past and Future. In China’s Growing Role in World Trade,
diedit oleh Robert Feenstra and Shangjin Wei (Chicago: University of Chicago Press, 2007)
2
Ibid.,
3
Ibid.,
4
Richard Wike, Bruce Stokes, dan Jacob Pousher, “Views of China and the Global Balance of Power,” Pew
Research Center, diakses pada 15 Desember 2016, http://www.pewglobal.org/2015/06/23/2-views-of-chinaand-the-global-balance-of-power/
5
Howard W. French, “Into Africa: China’s Wild Rush,” New York Times, diakses pada 15 Desember 2016,
http://www.nytimes.com/2014/05/17/opinion/into-africa-chinas-wild-rush.html?_r=0
6
“China in Africa: investment or exploitation?” Al Jazeera, diakses pada 15 Desember 2016,
http://www.aljazeera.com/programmes/insidestory/2014/05/china-africa-investment-exploitation201454154158396626.html
7
Andrew Quinn and Mark Heinrich, “Clinton warns against "new colonialism" in Africa,” Reuters, diakses pada
15 Desember 2016, http://www.reuters.com/article/2011/06/11/us-clinton-africa-idUSTRE75A0RI20110611
1


2

penulis-penulis Barat; dalam sebuah esai yang ditulis tahun lalu di The Financial Times,
Lamido Sanusi, yang baru-baru ini ditangguhkan sebagai gubernur bank sentral Nigeria,
menulis:8 "Dalam banyak bagian di Afrika, mereka (China) telah menyiapkan operasi
pertambangan besar. Mereka juga telah membangun infrastruktur pertambangan. Tetapi
dengan pengecualian, mereka telah melakukannya dengan menggunakan peralatan dan tenaga
kerja yang diimpor dari rumah mereka sendiri (China), tanpa mentransfer keterampilan untuk
masyarakat lokal. Jadi China mengambil barang-barang utama kami dan menjual kami yang
diproduksi. Ini juga esensi dari kolonialisme."
Pada makalah ini, penulis akan menjabarkan beberapa aspek keputusan China untuk
berkiprah di Afrika dalam Outward Direct Investment (ODI) yang dikucurkan. Penulis akan
menjelaskan alokasi investasi China di ke 49 negara Afrika dan membandingkannya dengan
total Foreign Direct Investment (FDI) yang diterima oleh Afrika. Sebuah poin yang penting
adalah di akhir 2012, Pemegangan saham China di Afrika berksiar pada 3,2%.9 Meskipun
investasi yang diberikan bertambah dengan pesat, angka tersebut masih cukup kecil apabila
dibandingkan dengan mayoritas pendapatan FDI Afrika yang berasal dari negara-negara
Barat.10 Penjabaran ini dibuat untuk menunjukkan bawaha investasi China dan Barat ialah sama
satu sama lain dan bahwa keduanya tertarik pada pasar yang lebih besar dengan kekayaan
sumber daya alam. Untuk mengkontrol faktor tersebut, investor Barat cenderung untuk

menjauh dari negara-negara dengan tata kelola pemerintahan yang buruk dalam hal hak milik
properti dan supremasi hukum.11 Investasi China di sisi lain, acuh tak acuh terhadap sistem
pemerintahan, dengan hasil bahwa negara-negara di mana angka investasi China besar
cenderung merupakan negara-negara dengan tata kelola pemerintahan yang lemah.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, timbul pertanyaan yang akan
menjadi dasar penelitian makalah ini, yaitu “Apa yang melatarbelakangi investasi besarbesaran melalui ODI perusahaan China di negara-negara Afrika?”

Lamido Sanusi, “Africa must get real about Chinese ties,” Diakses pada 15 Desember 2016,
http://www.ft.com/cms/s/0/562692b0-898c-11e2-ad3f-00144feabdc0.html#axzz3ZaBFDod4
9
Richard Wike, Bruce Stokes, dan Jacob Pousher, “Views of China and the Global Balance of Power,” Pew
Research Center, diakses pada 15 Desember 2016, http://www.pewglobal.org/2015/06/23/2-views-of-chinaand-the-global-balance-of-power/
10
John Romalis, “Factor Proportions and the Structure of Commodity Trade,” American Economic Review, Vol.
94, No. 1 (2004): 67-97.
11
Ibid.,
8


3

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai melalui pembuatan makalah ini didasari oleh 2
aspek, yaitu tujuan empirik dan tujuan konseptual. Tujuan empiriknya adalah untuk
mengetahui latar belakang China melakukan ODI kepada negara-negara di Afrika. Kemudian,
tujuan konseptualnya adalah untuk memahami adakah suatu pola kebijakan negara China yang
diterapkan sebagai upaya mendukung proses pembangunan di Afrika.
1.4 Kerangka Konsep
1.4.1 Konsep Klasik Multinational Enterprises
Dalam menganalisis data yang dijadikan bahan pembahasan makalah ini, penulis akan
menggunakan konsep klasik Multinational Enterprises (MNEs) mengenai bagaimana
perusahaan sebagai aktor Internasional menggunakan kapabilitas dan sumber daya mereka
untuk menciptakan competitive advantage12 pada perusahaan lokal di negara tujuan.13 Hasil
penemuan terbaru menunjukkan bahwa selain memfasilitasi penjualan asing, perusahaan yang
mengaktualisasikan ODI dapat mendapatkan sumber daya, aset, dan teknologi untuk
mengembangkan competitive advantage mereka dan menciptakan pembangunan ekonomi di
negara tujuannya.14 Konsep klasik MNEs ini dapat dilaksanakan berdasarkan beberapa
pertimbangan, yakni: stabilitas situasi politik negara tujuan, kekayaan sumber daya alam
negara tujuan, dan keberadaan saingan di negara tujuan.15 Pada pandangan umum konsep ini,

terdapat kecenderungan perusahaan melakukan tindakan kerjasama ekonomi dengan negaranegara yang memiliki stabilitas politik domestik yang lebih baik, memiliki kekayaan sumber
daya yang lebih melimpah, dan tidak memiliki perusahaan lain dari negara asal lain yang
berperan sebagai pesaing usaha. Dalam kasus ini, penulis juga akan membandingkan analisis
kebijakan ODI China dengan kebijakan FDI yang dilakukan oleh negara barat untuk dapat
menjawab pertanyaan penelitian dan mencapai tujuan penelitian.

12

Competitive Advantage adalah kondisi yang memungkinkan sebuah perusahaan atau negara untuk
memproduksi barang atau jasa pada harga yang lebih rendah atau kondisi yang diinginkan oleh konsumen.
Kondisi ini menyebabkan badan penjualan menciptakan peningkatan penjualan atau margin harga yang lebih
besar dibandingkan kompetisinya. CA diatribusikan pada beberapa variasi faktor termasuk struktur harga, brand,
kualitas produk yang disediakan, distribusi jaringan, properti intelektual dan support konsumen.
“Competitive
Advantage,”
Investopedia,
diakses
pada
16
Desember

2016,
http://www.investopedia.com/terms/c/competitive_advantage.asp
13
Jean-François Hennart, "Theories of the multinational enterprise," The Oxford handbook of international
business (2001): 127-149.
14
Ibid.,
15
Ibid.,

4

1.4.2 Investasi Besar-Besaran China di Afrika dalam CABC
CABC merupakan sebuah bentuk institusi kerjasama antara Pemerintah China (melalui China
International Centre for Economics and Technic) bersama UNDP yang membahas mengenai
kebijakan luar negeri China yang memiliki misi untuk secara aktif mengarahkan dan
memfasilitasi perusahaan China untuk berproses “go internasional”.16 Adapun proses tersebut
khususnya melalui pembangunan hubungan dekat dalam bidang perdagangan antara
perusahaan China dan negara-negara di Afrika melalui kunjungan bisnis, investasi proyek,
pelayanan informasi, pelayanan keuangan, pelayanan SDM, dan pelayanan eksibisi.17

Kerjasama ini diinisiasi pada tahun 2005 yang merupakan bentuk persetujuan yang sejak tahun
2000 pada forum China-Afrika yang pertama telah dibahas.18 Pembahasan forum pertama
tersebut juga merupakan bentuk tindak lanjut dari lima poin proposal yang diajukan oleh Jiang
Zemin pada tahun 1996 di mana kelima poin proposal tersebut berpusat pada persahabatan,
persamaan kedaulatan, non-intervensi, dan pembangunan yang saling menguntungkan juga
kerjasama internasional.19 Forum kedua ini, di mana CABC ini didirikan, juga menandai
puncak hubungan China dengan Afrika di mana kegiatan yang bertemakan “Year of Africa”
ini dihadiri oleh 40 pemimpin negara-negara Afrika yang oleh China diberikan pinjaman
sebesar 3 Milyar USD dan 2 Milyar USD untuk kredit ekspor ke Afrika selama tiga tahun
berikutnya.20 Hubungan yang diinisiasi pada CABC ini kemudian memunculkan berbagai
bentuk investasi langsung yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan China dalam berbagai
aspek ekonomi yang akan dijelaskan di bagian lain dari tulisan ini.
Investasi China di Afrika termasuk beberapa kerjasama besar yang telah dipublikasikan
secara luas. Di negara Republik Demokratik Kongo, misalnya, tambang besi Sicomines
melibatkan perusahaan milik negara China Railway Engineering Corporation dan Sinohydro
dan perusahaan swasta Zhejiang Huayou Cobalt,21 yang bermitra dengan perusahaan milik
negara. Kerjasama dengan angka profit yang tinggi lainnya termasuk investasi gas CNPC di
Mozambik, investasi pertambangan Chinalco di Guinea, dan akuisisi minyak dan gas Sinopec
“About CABC,” China-Africa Business Council, diakses pada 17 Desember 2016,
http://www.cabc.org.cn/detail_ef.php?cid=61

17
Ibid.,
18
John Mathews, “Dragon Multinationals: New Players in 21st Century Globalization,” Asia Pacific Journal of
Management, Vol. 23, No. 1 (2006):5–27.
19
China-Africa Business Council, LocCit.,
20
Matthews, OpCit.,
21
Huaichuan Rui dan George Yip, “Foreign Acquisitions by Chinese Firms: A Strategic Intent Perspective,” Journal
of World Business, Vol. 43, no. 2 (2008):213–27

16

5

di Angola.22 Dalam data pada saham investasi China di negara-negara Afrika yang berbeda,
kerjasama antar negara yang berskala cukup besar tidak diragukan lagi memainkan peran
penting. Selanjutnya penulis juga akan menjelaskan berbagai jenis sumber data. Semua

perusahaan Cina yang ingin membuat investasi luar negeri langsung harus mendaftar kepada
Kementerian Perdagangan China. Database yang dihasilkan memberikan rincian investasi
perusahaan lokasi di Cina dan bidang usaha nya. Data ini juga termasuk negara mana saja yang
menerina aliran investasi, dan deskripsi proyek investasi China. Namun data ini tidak
memasukan jumlah investasi. Investasi China ke Afrika selama periode 1998 - 2012 meliputi
sekitar 2000 perusahaan China yang tersebar di 49 negara Afrika. Penulis melihat pemasukan
umum (typical entry) perusahaan yang jauh lebih kecil daripada perusahaan besar milik negara
yang terlibat dalam kerjasama berskala besar. Data ini memberikan wawasan tentang apa saja
sektor swasta Cina yang dilakukan di Afrika. Berdasarkan deskripsi dari investasi luar negeri,
penulis mengkategorikan proyek menjadi 25 industri yang mencakup semua sektor ekonomi
(primer, sekunder, dan tersier). Alokasi proyek di seluruh negara dan lintas sektor memberikan
gambaran tentang investasi swasta China di Afrika.
Selanjutnya penulis akan menjelaskan mengenai alokasi proyek yaitu dengan
menganalisis apakah faktor sokongan dan karakteristik negara yang lain akan memengaruhi
angka dan tipe proyek investasi dari investor China. Apabila investasi China berkarakteristik
sama dengan investasi yang berorientasi profit lainnya, makan angka dan kondisi proyek yang
dilaksanakan harus berketerkaitan dengan faktor sokongan dan karakteristik lainnya dari
negara tujuan. Maka dari itu, penulis akan menjelaskan ketika ODI China kurang lazim
terlaksana pada sektor skill-intensive di Afrika, atau lebih lazim di negara dengan yang
memiliki angka keterampilan yang berlimpah, maka dapat diasumsikan investor China

bertujuan untuk mengeksploitasi comparative advantage lokal. Penulis juga akan menjelaskan
bahwa ODI lebih terkonsentrasi pada sektor yang sarat dengan modal di dalam negara yang
lebih langka memiliki sumber kaptal, sehingga dapat ditemukan bahwa kepentingannya utama
ODI adalah sebagai sumber keuangan eksternal bagi Afrika. Pola ini paling banyak diobservasi
pada negara-negara yang kondisi politiknya tidak stabil, yang berimplikasi pada lebih kuatnya
insentif perusahaan China dalam mencari keuntungan pada lingkungan yang lebih sulit. Penulis
juga menemukan kelaziman ODI China dalam bidang jasa juga berhubungan secara positif
kepada jumlah sumber daya alam negara penerima.

22

Ibid.,

6

BAB II
STUDI LITERATUR

Dalam membuat tulisan ini penulis merujuk kepada beberapa tulisan lain mengenai ODI yang
dikeluarkan perusahaan China. Pada kebanyakan pembahasan literatur mengenai ODI China,
penelitian sebelumnya bersifat deskriptif dan kadang kali bertumpu pada sebatas studi
kasus.2324 Cai dalam tulisannya merujuk perusahaan China yang berinvestasi di luar negeri
utamanya untuk mencari pasar, sumber daya alam, teknologi, keterampilan governance negara,
dan modal finansial.25 Penelitian terbaru lebih berfokus pada pembahasan empiris dari
determinan ODI26 tetapi kebanyaan masih bergantung pada agregat data untuk analisis.
Terdapat beberapa pengecualian yang menggunakan data berlevel mikro27yang menunjukan
secara empiris bahwa ODI oleh perusahaan swasta China telah memulai suatu eksploitasi
kentungan spesifik bagi masing-masing perusahaan. Hal ini dilihat untuk mengatasi
ketidaksempurnaan pasar atas kurang terbangunnya institusi domestik China. Makalah ini
bertujuan untuk menunjukkan bahwa investasi di Afrika oleh peruahaan swasta yang
mendominasi database menteri perdagangan China ditenggarai oleh motivasi yang berorientasi
pada profit yang mendorong investasi luar negeri.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Alokasi ODI China dan total FDI di negara-negara Afrika
Data statistik resmi China pada ODI di Afrika menunjukan beberapa paradoks.
Sederhananya, investasi China di Afrika itu besar tetapi kecil. Kecil karena China merupakan

Ping Deng, “Foreign Direct Investment by Transnationals from Emerging Countries: The Case of China,” Journal
of Leadership and Organizational Studies, Vol. 10, No. 2, (2003):113–24.
24
Hsiu-Ling Wu dan Chien-Hsun Chen, “An Assessment of Outward Foreign Direct Investment from China’s
Transitional Economy,” Europe-Asia Studies, Vol. 53, No. 8 (2001):1235–54.
25
Kevin Cai, “Outward Foreign Direct Investment: A Novel Dimension of China’s Integration into the Regional
and Global Economy,” China Quarterly, Vol. 160 (1999): 856–880.
26
Peter Buckley, L. Jeremy Clegg, Adam Cross, Xin Liu, Hinrich Voss, dan Ping Zheng, “The Determinants of
Chinese Outward Foreign Direct Investment,” Journal of International Business Studies, No. 38, Vol. 4
(2007):499–518.
27
Yadong Luo, Hongxin Zhao, Yagang Wang, dan Youmin Xi, “Venturing Abroad by Emerging Market Enterprises:
A Test of Dual Strategic Intents,” Management International Review, Vol. 51, No. 4 (2011):433–59.
23

7

pendatang baru dalam ranah investasi Afrika dan kiprahnya masih terbilang kecil dari total FDI
yang diterima Afrika.28 Di akhir 2011, total nilai dana yang digelontorkan sebesar 629 miliar
dolar di mana China hanya memegang 3,2% di antaranya.29 Investasi China di Afrika telah
tumbuh dengan pesat dan angkanya akan bertambah seiring berjalannya waktu, tetapi secara
perlahan, dari dasar yang rendah. Seluruh dunia mengeluarkan 6 kali direct investment
digelontorkan kepada Amerika Serikat dibandingkan yang diberikan pada Afrika sehingga
menunjukkan bahwa kebanyakan FDI justru turun kepada ekonomi yang maju.30 Tetapi, pola
investasi China memang berbeda. Pada akhir 2013, China memiliki lebih banyak ODI di Afrika
(26 Miliar USD) daripada di Amerika Serikat (22 Miliar USD).31 Maka, fokus relatif China
bertumpu pada Afrika terhitung besar, meskipun masih merupakan angka yang kecil dalam
keseluruhan investasi.
Bagaimana dengan alokasi investasi China di antara negara-negara Afrika? Apakah
sama atau berbeda dengan pola yang dapat dilihat dari investor Barat yang telah banyak hadir
di Afrika? Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis menggunakan data saham ODI China
di 49 negara Afrika di akhir 2012 dari kementerian perdagangan China. 32 Dalam menjelaskan
alokasi FDI China menggunakan kerangka konsep klasik MNEs, digunakan beberapa variabel
perhitungnan sebagai berikut:33 1. Ukuran pasar, 2. Sumber daya alam sebagai bagian dari
kapabilitas ekonomi, dan 3. Pemerintahan. Pada pemerintahan penulis menggunakan dua
pertimbangan utama berdasarkan indikator governance dunia:34 1. “Rule of law” melihat
persepsi atau pandangan di mana agen memiliki kepercayaan dan mau tunduk kepada peraturan
di masyarakat, dan secara khusus kualitas kontrak kekuatan, hak properti, polisi, institusi
hukum, serta kemungkinan tindakan kriminal dan kekerasan; 2. “Stabilitas Politik dan
ketiadaan kekerasan/terorise” yang menghitung persepsi kemungkinan pemerintah dabat
tersestabilisasi dan/atau digulingkan oleh berbagai upaya kekerasan dan terorisme politis.

28

Wika, OpCit.,
Ibid.,
30
Charles Kindleberger, American Business Abroad: Six Lectures on Direct Investment (New Haven, Connecticut:
Yale University Press, 1999).
31
John Burnett, “China is Besting the U.S. in Africa,” U.S. News, diakses pada 18 Desember 2016,
http://www.usnews.com/opinion/economic-intelligence/2015/03/24/china-beating-us-in-race-to-invest-inafrica
32
Ministry of Commerce of China and National, Statistical Bulletin of China’s Outward Foreign Direct Investment
(Beijing: China Statistics Press, 2012).
33
Richard Caves, “International Corporations: The Industrial Economics of Foreign Investment,” Economica, Vol.
38, No. 149 (1971):1–27.
34
Daniel Kaufmann, Aart Kraay, danMassimo Mastruzzi, "The worldwide governance indicators: methodology
and analytical issues," Hague Journal on the Rule of Law, Vol. 3, no. 02 (2011): 220-246.
29

8

Regresi35 1 pada tabel 1 menunjukkan bahwa alokasi FDI di 49 negara Afrika mengikuti
pola global. FDI lebih tertarik pada pasar yang lebih besar dengan elatisitas 0.74; negara
dengan sumber daya alam yang lebih menerima FDI yang lebih pula. Standar deviasi diantara
negara-negara Afrika dari variabel sumber daya ialah sebesar 17.6 sehingga koefisien tersebut
menunjukkan satu deviasi standar kekayaan sumber daya menarik 49% FDI lebih banyak.
Maka, FDI lebih tertarik pada situasi yang memiliki hak properti yang lebih baik dan
pengukuhan kekuatan hukum (rule of law). Di seantero negara Afrika, deviasi standar pada
indeks hukum ialah 0.49 sehingga satu standar deviasi yang lebih baik pada kekuatan hukum
menarik 31% investasi yang lebih banyak. Tabel 1, sebagai sebagian data repesentatif dari
seluruh total FDI dan index kekuatan hukum menunjukkan hubungan yang kuat.
Bagaimana alokasi ODI China dapat dibandingkan? Spesifikasi 2 pada tabel 1
menunjukkan bahwa ODI China secara positif berkorelasi dengan ukuran pasar dan kekayaan
sumber daya alam, dengan koefisien yang sama dengan persamaan keseluruhan FDI. Meskipun
begitu, ODI China memiliki sedikit korelasi negatif pada indeks kekuatan hukum (di spesifikasi
3). Ketika hak properti tidak terlalu penting ODI China secara positif berkorelasi dengan indeks
stabilitas politik (spesifikasi 4). Selain itu, populasi juga memiliki peran sebagai ukuran
ekonomi, tidak hanya total GDP (spesifikasi 5). Dalam membandingkan persamaan FDI pada
spesifikasi 1 dan alokasi ODI pada spesifikasi 5: China memiliki ketertarikan yang lebih kuat
pada sumber daya alam dan dalam hal kepemerintahan lebih tertarik pada stabilitas politik
dibandingkan hak properti dan kekuatan hukum. Sebagian persebaran pada log ODI China
dengan stabilitas politik ditunjukkan pada gambar 2. Hubungan ini dapat dimengerti karena
beberapa bagian signifikan pada volume investasi China di Afrika berkaita dengan kerjasama
antar negara. China lebih concern pada stabilitas politik pemerintahnya daripada lingkungan
hukum yang kuat dalam ekonomi domestik negara tersebut. Stabilitas politik dan kekuatan
hukum cukup meiliki korelasi yang tinggi (0.59 di seluruh wilayah Afrika). Namun tetap saja
terdapat banyak negara yang juga dinilai lebih baik pada stabilitas politiknya dibandingkan
kekuatan hukum seperti Angola, Eritrea, Madagascar, Zambia, dan Zimbabwe di mana terdapat
angka investasi yang lebih banyak secara signifikan dengan rata-rata FDI yang diberikan.
Dollar (2015) menemukan bahwa hubugnan ini terjadi secara global” total FDI dipengaruhi

35

Regresi merupakan sebuah alat analisis dan perencanaan finansial, dengan memetakan kovarian dan
korelasi lalu membuat intepretasi pata hasil regresi. Intinya, proses regresi adalah hubungan antara dua
variabel yang bernama dependen dan independen.
Joseph Nguyen, “Regression Basics for Business Analysis,” Investopedia, diakses pada 19 Desember 2016,
http://www.investopedia.com/articles/financial-theory/09/regression-analysis-basics-business.asp

9

oleh hak properti yang baik dan kekuatan hukum di mana odi China lebih tertarik pada kondisi
politik yang stabil tanpa referensi pada kekuatan hukum.
Mengetahui bahwa investasi China tidak mengindahkan hak properti dan kondisi
kekuatan hukum, terdapat kesamaan jumlah investasi China di antara negara yang memiliki
governance yang baik dan buruk. Sebagai contoh, apabila dibagi ke 49 negara Afrika pada tiga
kelompok berdasarkan indeks kekuatan hukum di tahun 2012, saham ODI China hampir sama
pada negara dengan good governance seperti di negara dengan poor governance (gambar 3).
Sedangkan di sisi lain, hampir 60% saham FDI berpusat di negara-negara good governance
dibandingkan 25% di negara-negara poor governance (gambar 4). Pola-pola ini menunjukkan
bahwa negara-negara yang China berikan investasi cenderung besar pada negara-negara
dengan governance yang buruk meskipun angka pada kondisi tersebut masih minoritas.
3.2 Data ODI China
Data transaksi ODI China didapatkan dari Kementerian perdagangan China termasuk
kerjasama yang disetujui oleh kementerian di antara 1 Januari 1998 dan 31 Desember 2012.
Pada setiap kerjasama ODI, data yang ada menunjukkan laporan nama perusahaan yang
berinvestasi, sektor bisnis perusahaan tersebut, provinsi asal, dan negara penerima gelontoran
ODI. Tetapi, dalam data yang didapatkan tidak terdapat informasi mengenai angka jumlah
transaksi atau nama target dari merger dan akuisisi. Data mentah yang dihimpun terdiri dari
2.005 kerjasama pada level perusahaan, meliputi 49 negara di benua Afrika. Lima negara
tujuan utama ODI China ialah: Nigeria, Afrika Selatan, Zambia, Ethiopia, dan Mesir dengan
Nigeria yang memimpin dengan 12% dari total semua kerjasama. Gambar 5 menunjukkan
distribusi geografis jumlah kerjasama pernegara. Kerjasama yang terbentuk cenderung terjadi
di bagian timur dan selatan Afrika, di mana Afrika tengah dan barat, dengan pengecualian
Nigeria secara relatif memiliki kerjasama yang lebih sedikit. Di Afrika timur, negara-negara
seperti Ethiopia, dan pada Kenya juga Tanzania secara relatif merupakan negara yang miskin
sumberdaya alamnya dibandingkan negara-negara di selatan Afrika seperti Zambia, Angola,
dan Afrika Selatan. Beberapa alasan mengapa Afrika timur menjadi tujuan populer pada
investasi swasta ini ialah atas infrastruktur yang telah lebih berkembang, termasuk pelabuhan,
dan kedekatan relatif geografis China. Komunitas Afrika Timur, secara khusus membentuk
suatu institusi single market yang telah banyak berinvestasi pada infrastruktur, khususnya dari
pinjaman yang diberikan pemerintah China seperti proyek Standard Gauge Rail yang
dilaksanakan di Kenya juga proyek Karuma Hydroelectric di Uganda. Proyek-proyek ini akan
kemudian meningkatkan konektivitas antara negara-negara tersebut dan menyokong
10

persediaan energi di masa yang akan datang sehingga menyebabkan wilayahnya menjadi tujuan
yang atraktif bagi calon investor.
Dalam setiap transaksi yang tercatat, penulis mengkategorikan tipe proyek yang
dilaksanakan investor perusahaan China di negara tujuan. Dengan mengunakan kata kunci
yang tersedia dalam deskripsi kerjasama yang terdapat dalam data yang tersedia dari
Kementerian Perdagangan China, penulis mengkategorikan proyek dalam industri yang
berbeda. Karena kebanyakan kerjasama melibatkan beberapa proyek, kadangkala dalam
beberapa industri yang berbeda, penulis menemukan 3.989 proyek. Untuk sisa analisis, penulis
menggunakan sampel berbasis proyek yang dikategorikan dalam berbagai industri yang diatur
oleh 34 klasifikasi sektor industri PBB36, yang kemudian penulis satukan dalam 17 sektor
manufaktur, 7 sektor jasa, dan 1 sektor pertambangan. Tabel 2 menunjukkan breakdown negara
dalam hal jumlah perusahaan pemberi investasi dan jumlah proyek yang diidentifikasi
berdasarkan kerjasama di level perusahaan. Tabel 3 merepresentasikan distribusi sektoral
dalam jumlah proyek.
Penulis menemukan bahwa 60% proyek yang dilaksanakan ialah merupakan sektor
jasa, dengan sisa porsi data yang ada terbagi menjadi dua nilai yang hampir sama antara
manufaktur dan sumberdaya alam. Kedua sektor yang menerima ODI China paling banyak
dalam hal jumlah kerjasama adalah kerjasama bisnis (dengan total 1053 kerjasama) dan imporekspor (539 kerjasama). Maka, berlawanan dengan persepsi umum, kebanyakan ODI China
tidak berhubungan dengan proyek yang berbasis sumber daya mentah, tetapi lebih banyak pada
sektor jasa. Seperti misalnya di negara kaya minyak Nigeria, hampir dua pertiga proyek yang
dilaksanakan ialah sektor jasa. Pada gambar 6, penulis membagi negara dalam hal intensitas
sumberdaya pada ekspor mereka. Mengikuti kategori IMF untuk eksportir minyak, negara nonminyak, dan sisa ekonomi Afrika lainnya, dapat dilihat bahwa diluar intensitas ekspor bahan
mentah negara, kebanyakan proyek ODI China bergerak pada sektor jasa.
3.3 Distribusi Sektoral Investasi China di Afrika
Selanjutnya, penulis akan menganalisis data pada level transaksi untuk menjelaskan
distribusi ODI China di Afrika. Secara spesifik, penulis memeriksa apakah distribusi ODI
China di seluruh negara dan sektor terpaut pada banyak karakteristik negara dan sektor itu
sendiri. pada karakteristik negara, penulis berfokus pada level faktor sokongan dan
perkembangan institusional. Penulis mengukur limpahan modal suatu nagara sebagai (log) dari
“International Standard Industrial Classification of All Economic Activities, Rev. 3,” United Nations Statistics
Division, diakses pada 19 Desember 2016, http://unstats.un.org/unsd/cr/registry/regcst.asp?Cl=2

36

11

modal sokongan per pekerja, menggunakan data dari Penn World Tables.37 Penulis menghitung
limpahan sumber daya manusia negara pada bagian lulusan Sekolah Menengah Atas dalam
angkatan kerja, dengan menggunakan data dari Barro dan Lee.38 Level perkembagan
institusional negara diukur berdasarkan kekuatan hukum dan stabilitas politik seperti yang telah
dibahas sebelumnya.
Pada karaktersitik sektor, penulis melihat variasi intesitas faktor pada kegiatan produksi
antar sektor. Penulis mengukur intensitas pekerja pada suatu sektor sebagai rasio dari total nilai
tambah dari semua perusahaan di sektor tersebut, mengikuti Romalis (2004)/ intensitas modal
didefiisikan sebagai satu dikurangi intensitas pekerja. Intensitas keterampilan didefinisikan
sebagai pembagian pekerja non-produksi dalam sektor ketenagakerjaan, dikalikan dengan
intensitas pekerja. Untuk mengkonstruksi perhitungan ini, penulis menggunakan data level
industry dari database dan diletakkan bersama oleh National Bureau of Economic Research
dan US Cencus Bureau’s Center for Economic Studies (CES).39 Karena terdapat kekurangan
data untuk mengonstruksi faktor intensitas untuk sektor jasa, penulis mengeluarkannya dari
garis basis analisis dan menyatukannya hanya paa bagian akhir analisis dengan menganalisis
determinan ODI China yang memiliki spesialisasi dalam bidang jasa. Maka dari itu, garis basis
analisis ini berfokus pada menjelaskan distribusi ODI manufaktur di Afrika. Meskipun peran
proyek ODI China dalam sektor cukup penting, analisis manufaktur tetap penting karena dapat
menunjukkan level rendah industrialisasi di sana.
Tanpa adanya informasi mengenai angka nensaran transaksi pada setiap kerjasama
FDI, penulis mempelajari determinan pola investasi dengan dua variabel dalam analisis regresi
berikut ini: 1. Variabel dummy untuk mengindikasikan apakah terdapat ODI dalam sektornegara selama periode sampel (sebagai margin ekstensif) dan 2. Angka (log) kerjasama ODI
pada level sektor-negara (sebagai margin intensif). Pada tabel 4, penulis meregresi kedua
variabel pada efek pasti negara dan interaksi antara sokongan modal negara (modal manusia)
dan intensitas modal sektor (keterampilan). Pada kolom (1)-(3), penilis menggunakan dummy
ODI sebagai variabel dependen dan menghitung spesifikas. Penulis menemukan koefisien
negatif yang signifikan pada rentang waktu intensitas keterampilan sektor, namun terdapat

“Penn World Table 8.0,” PWT, diakses pada 19 Desember 2016, https://knoema.com/PWT2014/penn-worldtable-8-0?country=1001350-south-africa
38
Barro dan Jong-Wha Lee, 2010. “A New Data Set of Educational Attainment in the World, 1950-2010,” Journal
of Development Economics, Vol. 104 (2011):184-198
39
Eric Bartlesman, Randy A. Becker, dan Wayne B. Gray, NBER-CES manufacturing industry database. National
Bureau of Economic Research (NBER) and U.S. Census Bureau's Center for Economic Studies (CES), (2000)

37

12

koefisien positif yang signifikan pada interaksi antara sokongan keterampilan negara dan
intensitas keterampilan sektor. Hasil ini menunjukkan bahwa saat perusahaan China tidak
cenderung berinvestasi pada sektor skill-intensive di Afrika secara umum, kebanyakan lebih
cenderung berinvestasi pada negara-negara yang memiliki keterampilan yang lebih besar.
Dalam kata lain, negara-negara Afrika yang lebih sukses dalam berinvestasi pada modal
manusia lebih menarik ODI pada sektor-sektor yang intensif keterampilannya. Penulis juga
menemukan koefisien negatif pada interaksi antara sokongan modal negara dan intensitas
modal sektor, meskipun tidak signifikan secara statistik.
Pada kolom (4)-(6), penulis menggunakan (log) angka kerjasama ODI pada level
sektor-negara sebagai variabel dependen. Penulis menambahkan angka 1 pada jumlah
kerjasama untuk memasukan sektor-negara tanpa kerjasama ODI pada sampel regresi. Penulis
menemukan koefisien positif dan signigikan pada interaksi antara sokongan skill negara dan
intensitas skill sektor, setelah mengkontrol efek pasti negara. Hasil ini menunjukkan bahwa
ketika ODI China cenderung berkonsentrasi di sektor-sektor low-skill secara umum di Afrika,
angka ini bias pada sektor intensive-sectors di negara-negara yang kaya keterampilan. Dengan
hasil dengan margin ekstensif ODI China, hasil ini menyunjukkan bahwa Perusahaan China
cenderung mengeksploitasi comparative advantage negara saat berinvestasi di luar negeri.
Menariknya, penulis menemukan bahwa perusahaan China lebih tidak cenderung
berinvestasi pada sektor intensif modal pada negara-negara tujuan dengan limpahan modal.
Saat hasil ini terlihat berkontradiksi dengan prediksi berdasarkan teori Heckscher-Ohlin, hasil
ini konsisten dengan pemikiran bahwa ODI China berperan sebagai sumber bantuan finansial
eksternal bagi negara-negara di Afrika, khususnya pada negara-negara tujuan yang langka
modal. Pada cakupan modal lebih mobile dibandingkan pekerja, tanda-tanda berlawanan pada
kedua interaksi menyajikan potret koheren pada hipotesis utama makalah ini yaitu Investor
China kebanyakan memiliki motif profit dan juga responsif kepada kondisi pasar seperti
investor dari negara-negara lain.
Telah ditunjukkan pada tabel 1 bahwa ODI China tertarik pada negara-negara Afrika
yang stabil secara politik. Yang dapat dipelajari lebih lanjut dari analisis level sektor, penulis
membagi sample menjadi dua subsample berdasarkan apakah negara memiliki kekuata hukum
diatas atau dibawah median benua. Secara bersaman, penulis juga membagi sampel pada
apakah negara memiliki stabilitas politik diatas atau dibawah median benua. Penulis kemudian
menggunakan dua subsampel untuk mengulangi analisis pada tabel 4.

13

Tabel 5 melaporkan hasil analisis regresif pada kolom (1)-(4), penulis menelisik angkat
probabilitas ODI China lintas sektor dan negara. Mensupport temuan pada analisis antar
negara, penulis menemukan tingkat kekuatan hukum negara bukan merupaan suatu isu pada
investasi perusahaan China di Afrika; sedangkan stabilitas politik lebih krusial. Secara khusus,
penulis menemukan bahwa hasil yang ditunjukkan pada tabel sebelumnya mengenai
bagaimana perusahaan China merespon kondisi pasar lebih banyak diobservasi pada kelompok
negara dengan stabilitas politik yang rendah (kolom (3)). Penjelasan potensial yang dapat
dikemukakan ialah bahwa pada kondisi bisnis yang tidak stabil secara politik, investasi sangat
beresiko namun hasil yang dihasilkan dapat diproyeksikan tinggi. Insentif investasi yang
demikian berimplikasi bahwa investor akan lebih termotivasi untuk mengeksploitasi
comparative advantage negara tujuan. Hasil yang menujukkan kerjasama ODI lebih banyak
dilakukan pada sektor intensif skill pada negara berlimpah skill, khususnya pada negara yang
tidak stabil secara politik, mengkonfirmasi hipotesis ini. Untuk alasan yang sama juga, investor
perlu diatur untuk mencari proyek yang menjanjikan hasil yang lebih besar pada kondisi yang
lebih beresiko. Hipotesis ini dikonfirmasi dengan koefisien positif pada interaksi antara
limpahan modal negara dan intensitas modal sektor, seperti yang ditunjukkan pada kolom (3),
saat digunakan pada sampel negara dengan kekuatan hukum di bagian bawah median. Dalam
kata lain, ODI China terkonsentrasi pada sektor intensif-modal pada negara yang tidak stabil
secara politik dan juga langka modal. Tidak terdapat pola yang sama pada negara yang stabil
secara politik.
Dengan menggunakan (log) jumlah kerjasama sebagai variabel dependen, penulis
menemukan bukti yang mengkonfimasi kesamaan pola ODI China pada margin ekstensif.
Empat kolom terakhir pada tabel 5 melaporkan hasil regresi berdasarkan model tobit. Tidak
hanya ditemukan bahwa Investor China lebih responsif terhadap kondisi pasar di negara
dengan instabilitas politik, dapat juga diobservasi kesamaan pola pada negara yang memiliki
kekuatan hukum yang lemah.
Sejauh ini, analisis level sektor yang dilaksanakan terbatas pada setor manufaktur, atas
terbatasnya data dalam menghitung intensitas faktor sektor. Pada tabel 6, penulis meluaskan
analisis pada sampel berbeda yang mencakup sektor manufaktur dan jasa. Dapat dilihat
pevalensi sektor jasa dalam ODI China pada tabel 3. Penulis kemudian memeriksa apakah dan
bagaimana konsentrasi ODI China dalam jasa di Afrika brekaitan dengan pondasi ekonomi
negara tujuan itu sendiri. Pada akhir ini, penulis mengualngi analisis tabel 4, namun alih-alih
melibatkan interaksi antara fator penyokong negara dan intensitas faktor sektor sebagai
14

regresor tujuan penulis, karena tidak ada faktor intensitas yang daat mengukur sektor jasa,
penulis menggunakan interaksi antara faktor penyokong negara dengan dummy pada sektor
jasa. Hasil regresi dari analisis ini disajikan pada tabel 6. Panel A menunjukkan hasil saat ODI
dummy digunakan sebagai variabel dependen sedangkan Panel B menunjukkan hasil ketika
(log) kerjasama ODI digunakan. Seperti yang dapat dilihat pada Panel A, penulos menemukan
koefisien positif dan signifikan pada dummy sektor jasa setelah mengkontrol efek pasti negara.
Hasil ini konsisten dengan poin awal penulis tentang predominansi ODI jasa China di Afrika.
Pondasi ekonomi negara (modal, SDM, dan limpahan SDA) tidak terlihat memiliki efek
tambahan pada probabilitas ODI China pada sektor jasa. Tetapi, saat dibagi sampel menjadi
dua subsampel sejalan dengan angka median pada kekuatan hukum negara, penulis
menemukan bahwa perusahaan China cenderung berinvestasi pada jasa dalam negara-negara
kaya sumber daya yang juga memiliki kekuatan hukum yang rendah. Hasil ini dapat berkaitan
dengan hasil antar negara yang menunjukkan saat investasi dari negara maju lebih cenderung
terkonsentrasi di negara dengan kekuatan hukum, perusahaan China di sisi lain, tidak bertindak
diskriminatif pada hal ini.
Penemuan-penemuan yang menyatakan bahwa perusahaan China lebih cenderung
berinvestasi pada sektor jasa pada negara dengan kekayaan SDA yang melimpah namun secara
institusional mengalami kekurangan tidak dapat dijelaskan pada teori faktor proporsi standar,
seperti yang telah digunakan pada penjelasan tingginya intensitas keterampilan ODI China
pada negara yang melimpah keterampilannya. Maka, pola tersebut konsisten dengan berbagai
wacana mengenai kolokasi pertambangan dan jasa ODI dari China. Saat perusahaan China dan
pemerintah berinvestasi pada proyek pertambangan di Afrika, mereka seringkali memasukan
beberapa jenis jasa yang berbeda untuk difasilitasi FDI tidak hanya pada pertambangan (seperti
konstruksi), namun juga memenuhi permintaan pekerja China dan pengusaha yang bekerja di
wilayah terseut (seperti bisnis wholesale-retail, hotel, restoran, dll). Fakta bahwa bisnis jasa,
wholesail dan retail, juga impor-ekspor merupakan tiga sektor jasa yang paling banyak dalam
ODI China dapat berhubungan dengan alasan tersebut.
Pada panel B tabel 7, dijelaskan secara lebih lanjut hubungan antara pondasi akonomi
negara dan spesialsiasi ODI China di bidang jasa, menggunakan log(1+jumlah kerjasama)
sebagai variabel dependen. Penulis menemukan bukti yang mengkonfirmasi bahwa ODI China
lebih lazim dalam sektor jasa dibandingkan alam sektor manufaktur secara rata-rata, tanpa
melihat pondasi ekonomi negara. Dapat dikatakan juga saat dibagi sampel dalam dua
subsampel bersaaan dengan nilai median kekuatan hukum negara, sekali lagi ditemukan bahwa
15

negara dengan kekuatan hukum yang lebih rendah, sokongan modal manusia dan sumber daya
alam menunjukkan keterhubungna positif dengan jumlah kerjasama ODI China pada sektor
jasa. Tidak terdapat pola tersebut saat dibagi negara berdasarkan stabilitas polotiknya.

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Analisis makalah ini menyediakan pandangan luas pada Investasi langsung China ke negaranegara di Afrika. Pertama, menggunakan data Agregat pada investasi langsung China ke setiap
negara Afrika, makalah ini menunjukkan negasi dari mitos umum yang mengomentari aktivitas
China dalam benua Afrika. Berdasarkan pada data yang paling baru, peran China pada saham
FDI yang di Afrika berjumlah 3% yang berarti meski angka investasi terus bertambah, angka
tersebut masih merupakan angka yang kecil porsinya. Investasi China tertarik pada kekayaan
sumber daya alam, namun tidak berbeda dengan kecenderungan investasi negara-negara Barat.
Poin akhir atas alokasi investasi China secara umum adalah bahwa China tidak mengindahkan
hak properti ataupun kekuatan hukum, di mana investasi Barat cenderung menjauhi atau
menghindari lingkungan negara dengan kekurangan good governance. Sejak diketahui bahwa
investasi China secara merata terdistribusi diantara lingkungan negara dengan good
governanve & bad governance, di mana investasi Barat lebih berfokus pada yang baik,
pembagian investasi China pada lingkungan dengan poor governance cenderung lebih besar.
Maka dari itu, terdapat kecenderungan penggelontoran investasi di mana terdapat sedikit
pesaing karena pihak investor Barat enggan menurunkan investasi di mana Investor China
menurunkan investasi.
Data agregat ini secara alami dipengaruhi oleh berbagai kerjasama besar yang
cenderung melibatkan investasi negara-perusahaan pada proyek sumber daya alam. Kontribusi
kedua makalah ini adalah penggunaan database kementerian perdagangan China pada semua
perusahaan yang berinvestasi di Afrika antara tahun 1998 dan 2012. Penulis berargumen bawha
database ini memberikan gambaran yang akurat pada apa yang dilaksanakan oleh perusahaaan
China berukuran kecil dan menengah di Afrika. Pada database ini ditemukan bahwa investasi
yang ada relatif rendah pada sektor sumber daya alam. Sektor jasa mendominasi, dan terdapat
angka signifikan pada investasi dalam manufaktur juga. Investasi-investasi tersebut tersebar ke
seluruh bagian Afrika.

16

Menggunakan data unik ODI level transaksi perusahaan, penulis menemukan
bagaimana ODI China didistribusikan berdasarkan karakteristik negara dan sektor yang
bersangkutan. Penulis menemukan bahwa ODI China tertarik pada negara-negara yang lebih
stabil secara politik namun tidak perlu memiliki kekuatan hukum yang baik. Dapat pula
disimpulkan bahwa ODI China merupakan investasi yang bertujuan mencari profit seperti
investor dari negara lain. Secara spesifik, regresi antar sektor yang dilakukan meunjukkan
bahwa perusahaan China berinvesasi pada sektor intensive-skill dalam negara yang berlimpah
keterampilannya, namun sektor yang kurang memiliki modal pada negara dengan limpahan
modal. Pola-pola ini kebanyakan diobservasi dalam negara-negara yang tidak stabil secara
politik, yang menunjukkan adanya insenif yang lebih kuat untuk memaksimalisasikan
keuntungan dalam lingkungan yang lebih beresiko. Pada akhirnya, predominansi ODI China
dalam sektor jasa terlihat berkaitan dengan kekayaan sumber daya alam negara tujuan, bukan
semata-mata dilakukan untuk menciptakan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di Afrika
namun juga bukan untuk melakukan kuasa atas sumber daya alam yang ada di Afrika.

REFERENSI
Antkiewicz, Agata dan John Whalley. 2007. Recent Chinese Buyout Activity danthe
Implications for Wider Global Investment Rules. Canadian Public Policy 33(2):207–26.
Barro, Robert dan Jong-Wha Lee. 2010. A New Data Set of Educational Attainment in the
World, 1950-2010. Journal of Development Economics (104): 184-198.
Bartelsman, Eric, Randy A. Becker, dan Wayne B. Gray. 2000. NBER-CES manufacturing
industry database. National Bureau of Economic Research (NBER) danU.S. Census
Bureau's Center for Economic Studies (CES).
Buckley, Peter, L. Jeremy Clegg, Adam Cross, Xin Liu, Hinrich Voss, danPing Zheng. 2007.
The Determinants of Chinese Outward Foreign Direct Investment. Journal of International
Business Studies 38(4):499–518
Cai, Kevin. 1999. Outward Foreign Direct Investment: A Novel Dimension of China’s
Integration into the Regional and Global Economy. China Quarterly (160): 856–80
Caves, Richard. 1971. International Corporations: The Industrial Economics of Foreign
Investment. Economica 38(149):1–27.
Chen, Wenjie dan Heiwai Tang. 2014. The Dragon is Flying West: Micro-level Evidence of
Chinese Outward Direct Investment. Asian Development Review 31(2):109-140.
Cheng, Leonard, danZihui Ma. 2007. China’s Outward FDI: Past and Future. In China’s
Growing Role in World Trade, edited by Robert Feenstra and Shangjin Wei. Chicago:
University of Chicago Press
Cheung, Yin-Wong, dan Xinwang Qian. 2009. Empirics of China’s Outward Direct
Investment. Pacific Economic Review, 14(3):312–41.
17

Child, John, dan Rodrigues, Suzana. 2005. The Internationalization of Chinese Firms: A Case
for Theoretical Extension?. Management and Organization Review 1(3):381–410.
Deng, Ping. 2003. Foreign Direct Investment by Transnationals from Emerging Countries: The
Case of China. Journal of Leadership and Organizational Studies 10(2):113–24.
Dollar, David. 2015. United States-China Two-way Direct Investment: Opportunities and
Challenges. John L. Thornton China Center Working Paper. Brookings Institution.
Hennart, Jean-François. 2011. Theories of the multinational enterprise. The Oxford handbook
of international business :127-149.
Hymer, Stephen H. 1976. The International Operations of National Firms: A Study of Direct
Foreign Investment. Cambridge, Mass.: MIT Press.
Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, dan Massimo Mastruzzi. 2011. The worldwide governance
indicators: methodology dananalytical issues. Hague Journal on the Rule of Law 3(02):
220-246.
Kindleberger, Charles. 1999. American Business Abroad: Six Lectures on Direct Investment.
New Haven, Connecticut: Yale University Press.
Kindleberger, Charles, ed. 1970. The International Corporation: A Symposium. Cambridge,
Mass.: MIT Press.
Lane , Philip R. Dan Gian Maria Milesi-Ferretti. 2007. The external wealth of nations mark II:
Revised and extended estimates of foreign assets and liabilities, 1970–2004. Journal of
International Economics (73): 223-250.
Luo, Yadong, Hongxin Zhao, Yagang Wang, dan Youmin Xi. 2011. Venturing Abroad by
Emerging Market Enterprises: A Test of Dual Strategic Intents. Management International
Review 51(4):433–59.
Makino, Shige, Lau Chung-Ming, dan Yeh Rhy-Song. 2002. Asset-exploitation versus Asset
Seeking: Implications for Location Choice of Foreign Direct Investment from Newly
Industrialized Economies. Journal of International Business Studies 33(3):403–21.
Mathews, John. 2006. Dragon Multinationals: New Players in 21st Century Globalization.
Asia Pacific Journal of Management 23(1):5–27.
Ministry of Commerce of China and National. 2012. Statistical Bulletin of China’s Outward
Foreign Direct Investment. Beijing: China Statistics Press.
Rajan, R. Dan L. Zingales 1998. Financial Dependence and Growth. American Economic
Review (88):559-86.
Romalis, John. 2004. Factor Proportions and the Structure of Commodity Trade. American
Economic Review 94(1): 67-97.
Rui, Huaichuan, dan George Yip. 2008. Foreign Acquisitions by Chinese Firms: A Strategic
Intent Perspective. Journal of World Business 43(2):213–27.
Wu, Hsiu-Ling, danChien-Hsun Chen. 2001. An Assessment of Outward Foreign Direct
Investment from China’s Transitional Economy. Europe-Asia Studies 53(8):1235–54.
_____. China in Africa: investment or exploitation? 2014. Al Jazeera. Diakses pada 17
Desember 2016. http://www.aljazeera.com/programmes/insidestory/2014/05/china-africainvestment-exploitation-201454154158396626.html
_____. Competitive Advantage. Investopedia. diakses pada 16 Desember 2016.
http://www.investopedia.com/terms/c/competitive_advantage.asp
18

_____. International Standard Industrial Classification of All Economic Activities, Rev. 3.
United Nations Statistics Division. diakses pada 19 Desember 2016.
http://unstats.un.org/unsd/cr/registry/regcst.asp?Cl=2
Burnett, John. China is Besting the U.S. in Africa. U.S. News. diakses pada 18 Desember 2016.
http://www.usnews.com/opinion/economic-intelligence/2015/03/24/china-beating-us-inrace-to-invest-in-africa
French, Howard W. 2014. Into Africa: China’s Wild Rush. New York Times. Diakses pada 19
Desember 2016. http://www.nytimes.com/2014/05/17/opinion/into-africa-chinas-wildrush.html?_r=0
Nguyen, Joseph. Regression Basics for Business Analysis. Investopedia. diakses pada 19
Desember 2016. http://www.investopedia.com/articles/financial-theory/09/regressionanalysis-basics-business.asp
Penn
World
Table
8.0.
PWT.
diakses
pada
19
Desember
2016.
https://knoema.com/PWT2014/penn-world-table-8-0?country=1001350-south-africa
Quinn, Andrew danMark Heinrich. 2011. Clinton warns against "new colonialism" in Africa.
Reuters. Diakses pada 18 Desember 2016.. http://www.reuters.com/article/2011/06/11/usclinton-africa-idUSTRE75A0RI20110611
Sanusi, Lamido. 2013. Africa must get real about Chinese ties. Diakses pada 19 Desember
2016.
http://www.ft.com/cms/s/0/562692b0-898c-11e2-ad3f00144feabdc0.html#axzz3ZaBFDod4
Wike, Richard, Bruce Stokes, dan Jacob Pousher. Views of China danthe Global Balance of
Power.
Pew
Research
Center,
diakses
pada
15
Desember
2016,
http://www.pewglobal.org/2015/06/23/2-views-of-china-and-the-global-balance-ofpower/

19