Aktivitas Manusia Prasejarah dalam Pemuk

AKTIVITAS MANUSIA PRASEJARAH
DALAM PEMUKIMAN PRASEJARAH GUA NON-GAMBAR
SITUS SONG KEPLEK, JAWA TIMUR
Prita Permatadinata (1406612451)
prita.permatadinata@ui.ac.id

Abstrak
Situs Song Keplek yang terletak di Gunung Sewu, Jawa Timur, memiliki beragam tinggalan,
mulai dari kerangka manusia, sisa fauna, hingga alat. Diperkirakan ramainya bukti ini
didukung kuat oleh faktor-faktor layak huni gua, sehingga manusia prasejarah menetap di Song
Keplek dan melakukan beragam aktivitas di gua ini. Ketiga macam tinggalan yang sudah
disebutkan sebelumnya saling berasosiasi, terutama sisa fauna. Terdapat sisa fauna dari
beragam spesies dan beragam jejak; jejak domestikasi, jejak konsumsi, dan jejak produksi
sebagai alat.

Latar belakang
Song Keplek terletak pada ketinggian 300 m di atas permukaan laut, di lereng salah satu
bukit karst Gunung Sewu. Gua ini berada sekitar 20 meter di atas sebuah aliran sungai yang
berbelok-belok dalam jaringan karst (Kali Punung). Gua Song Keplek berukuran tinggi 7 m,
lebar 24 m, dan panjang 15 m. Bongkahan-bongkahan yang merupakan runtuhan atap gua
memenuhi bagian dalam dan sebagian depan gua. Keberadaan bongkahan-bongkahan ini

sangat menguntungkan karena membekukan sedimen dan sisa kehidupan masa lampau di
dalam gua. Gua yang terletak sekitar 5 km dari desa Punung ke arah Baturetno ini merupakan
salah satu dari tiga puluh situs yang sampai saat ini terdaftar pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Arkeologi Nasional Indonesia (Forestier, 2007:89-92). Situs ini juga terletak
tidak jauh dari situs gua prasejarah lainnya seperti Song Terus, Song Gupuh, dan Gua
Braholo. Temuan di keempat gua ini juga cenderung mirip. Song Keplek menghadap ke
tenggara, pada ketinggian 333 meter di atas permukaan laut. Berbagai runtuhan blok-blok
gamping yang saat ini memenuhi ruangan utama gua, menyebabkan tertutupnya loronglorong gua yang terdapat di dalamnya sehingga ruangan yang tersisa saat ini leibh
mengesankan sebagai sebuah ceruk payung (rock-shelter). Dari sudut keruangan, gua ini
tergolong luas dengan lantai yang relatif datar dan kering. Ukuran minimal ruang gua adlaah
1

20 x 7 meter, dengan tinggi langit-langit mencapai 7 meter. Aspek keruangan yang dmeikian
tersebut membuat sirkulasi udara dan penyinaran sangat baik. Di samping itu, keletakan gua
yang berada di lereng bawah bukit juga membuat gua ini mudah dicapai. Di depan gua
membentang lereng sempit yang diapit oleh dua bukit karst dan menurun hingga Kali Pasang
yang berjarak sekitar 200 meter di sebelah tenggaranya. Sungai ini memasuki terowongan di
bawah bukit karst lainnya hingga tembus kembali di arah barat laut (Widianto, 2013).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Wuryantari pada 2003 (dalam Tempo, 2003)
mengungkapkan bahwa kerangka manusia yang terdapat di sana sudah berusia 7000 tahun,

meski teori sebelumnya mengatakan bahwa ras Mongoloid baru bermigrasi ke daerah
kepulauan Nusantara 4000 tahun yang lalu. Penelitian lain, dari Forestier pada 1999
melaporkan bahwa alat tulang yang ditemukan di situs ini bertanggal 5174±160 cal. tahun
yang lalu (Rabett, 2012:42). Pada penelitian selanjutnya oleh Simanjuntak dan Asikin pada
2004, alat ini ditetapkan lebih tua lagi, yaitu 9952±299 cal. tahun yang lalu (Rabett, 2012:42).
Industri di Song Keplek ini merupakan sebuah tekno-kompleks di antara tekno-kompleks
lainnya yang belum dikenal sampai saat ini dan kemungkinan besar sezaman dengannya,
tetapi berbeda karena tidak terdapat kegiatan pembentukan melainkan kegiatan pemangkasan
(Forestier, 2007:271).
Eksploitasi sumber daya fauna dalam kehidupan di Song Keplek terlihat dalam
banyaknya sisa fauna yang ditemukan. Dalam Widianto, 2013, dirincikan bahwa sisa-sisa
fauna berupa fragmen tengkorak, tulang-tulang panjang yang masih utuh ataupun
fragmentaris, dan gigi-geligi tersebar dengan kepadatan yang bervariasi di dalam gua,
bercampur dengan akumulasi artefak dan ekofak lainnya. Identifikasi terhadap sisa fauna ini
telah memperjelas jenis-jeis fauan yang pernah hidup di daerah ini. kelas mamalia paling
dominan meliputi Bovidae (sapi, kerbau, banteng), Suidae (babi), Elephantidae (gajah),
Cervidae (rusa), Viveridae (musang), Mustelidae (lingsang), Chiroptidae (kalong),
Rhinoceros

(badak),


Hystricidae

(landak),

Muridae

(tikus),

Sciuridae

(tupai),

Cercopithecidae (monyet) sangat dominan, umumnya berupa rahang yang masih lengkap
atau sebagian gigi-geliginya. Jenis reptilia terdiri atas Chelonidae (penyu laut) dan Testu
dinidae (kura-kura darat). Terdapat pula jenis moluska dan temuan lain dari kelas Gastropoda
(Widianto, 2013).
Keberadaan sisa fauna dalam konteks budaya dan hunian di Song Keplek menunjukkan
keterikatan yang erat dengan manusia pendukung budayanya. Fauna-fauna tersebut
2


kemungkinan diperoleh dari daerah sekitarnya melalui perburuan dan pencarian di sungai dan
telaga yang saat itu pernah ada. Adanya unsur kerang laut menunjukkan upaya eksploitasi
manusia hingga daerah pantai sejauh antara 15-20 km untuk pemanfaatan sumber daya laut
(Widianto, 2013).
Banyaknya sisa fauna menunjukkan bahwa ada aktivitas tertentu yang dilakukan manusia
prasejarah terhadap berbagai spesies fauna pada masa itu. Artikel ini akan mengupas apa saja
yang dilakukan manusia penghuni Song Keplek prasejarah terhadap fauna yang kini
ditemukan sisa tulangnya.

Perumusan masalah
1. Bagaimana hubungan eksternal situs Song Keplek dengan lingkungan Gunung Sewu
secara keseluruhan?
2. Bagaimana hubungan internal situs Song Keplek dengan gua-gua sekitarnya dan
keruangan Song Keplek itu sendiri?
3. Bentuk budaya seperti apa yang bisa dijelaskan Song Keplek melalui tinggalannya?

Kerangka teoritis
Jika dilihat dari konsep arkeologi pemukiman oleh Rouse, analisis yang dilakukan
terhadap situs ini mencakup hubungan eksternal dan internal. Hubungan eksternal adalah

melihat hubungan antara distribusi pemukiman spasial dengan lingkungan, yang
dimaksudkan sebagai penentu bagaimana pola pemukiman terbentuk (Rouse, 1968); dan
hubungan internal, melihat hubungan antara tipe struktural, pola intrasitus, dan pola
intersitus, termasuk menentukan sebaran pemukiman satu dengan pemukiman lainnya
(Rouse, 1968).
Hubungan eksternal Song Keplek dengan lingkungan tergambar dalam Song Keplek
yang memenuhi beberapa syarat utama bagi sebuah gua untuk dihuni, yaitu (Widianto, 2013):
1. ruangan yang cukup luas dengan lantai yang relatif datar,
3

2. akses yang mudah,
3. sirkulasi udara dan sinar yang baik,
4. lantai kering dan tidak terlalu lembab,
5. lingkungan yang dekat dengan sumber air.
Selain itu, ada pula tahapan untuk mengemukakan masalah budaya melalui tinggalannya:
a. Recovery of the Remains
Mengumpulkan sampel dari tinggalan untuk kemudian direkonstruksi berdasarkan
gambaran mengenai tinggalan tersebut.
b. Classification of the Remains
Mengklasifikasi material untuk mengubah data mentah menjadi data konseptual

(Rouse, 1960).
c. Recontruction from the Remains
Rekonstruksi dari sesuatu yang sudah tidak ada (bentuk fisiknya sudah hilang)
bentuk tinggalan dimana artefak itu dibuat dan telah digunakan. (Rouse, 1968: 16)
d. Interpretation of the Remains
Interpretasi untuk memahami setiap artefak dan jenis lain dari peninggalan budaya,
orang-orang prasejarah harus menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi sifat
mereka, manufaktur, dan kegunaan. (Rouse, 1968: 16)
Keempat tahapan ini akan digunakan dalam analisis aktivitas manusia prasejarah di Song
Keplek.

Data
Pulau Jawa terletak tepat di selatan khatulistiwa antara 6° hingga 9° Lintang Selatan serta
105° hingga 114° Bujur Timur. Jumlah penduduknya kini melebihi 120 juta orang, dengan
luas permukaan 134.000 km2 . Penyebab kepadatan penduduk di Pulau Jawa ini adalah
4

kesuburan tanah vulkanisnya yang sejak dulu terus-menerus menarik banyak penduduk. Di
sebelah utara, Pulau Jawa dibatasi oleh Laut Jawa, di sebelah selatan oleh Samudera Hindia,
di sebelah timur oleh Selat Bali yang pendek dan di sebelah barat oleh Selat Sunda. Pulau

Jawa, yang memanjang pada arah timur-barat, membentang sepanjang 1.000 km dengan lebar
antara 100-180 km. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya diketahui bahwa sejarah
geologis Pulau Jawa masih relatif muda, tersusun dari tanah zaman Tersier, zaman Kuarter,
dan zaman sekarang. Terdapat juga beberapa tanda pra-Tersier (van Bemmelen, 1949, dalam
Forestier, 2007). Strukturstruktur pulau ini terbentuk dari deretan perbukitan dan depresi
(dataran rendah) (Forestier, 2007:81).
Van Bemmelen (1949) membagi Pulau Jawa dalam tujuh satuan fisiografis, yakni dari
selatan ke utara:
1. Pegunungan Selatan merupakan sebuah zona gamping dan vulkanis dari zaman
Miosen yang telah mengalami beberapa pengangkatan hingga zaman Kuarter.
2. Zona vulkanis zaman Kuarter memiliki banyak gunung berapi dengan ketinggian
yang sering mencapai 2.000 m atau lebih dan beberapa di antaranya masih aktif.
3. Depresi tengah merupakan poros utama pulau di mana terbentuk dua depresi besar,
yaitu depresi Bandung di sebelah barat dan depresi Solo di sebelah timur. Pada
depresi Solo terdapat kubah Sangiran, situs terkenal tempat penemuan fosit-fosil
Pithecanthropus.
4. Zona antiklinal tengah, terdiri atas endapan-endapan zaman Mio-Plestosen dengan
perbukitan Kendeng yang memanjang dari barat ke timur.
5. Depresi Randublatung, di kaki perbukitan Kendeng, yang terbentuk dari
endapanendapan laut dan daratan dari periode Mio-Plestosen.

6. Antiklinorium Rembang-Madura yang merupakan sebuah formasi pegunungan
gamping dari zaman Miosen.
7. Dataran-dataran rendah aluvial yang berbentuk delta dan merupakan unsur utama
pemandangan di pesisir utara pulaunya.

5

Ilustrasi 1. Pembagian fisiograis Jawa menurut van Bemmelen (1949)

Pegunungan Selatan terletak di tepi Samudera Hindia dan merupakan salah satu dari
tujuh pembagian fisiografis Pulau Jawa di atas. Di wilayah batu gamping Pegunungan
Selatan, dengan panjang sekitar 300 km, terdapat daerah yang dinamai Gunung Seribu
(Gunung Sewu dalam bahasa Jawa), tidak jauh dari kota Pacitan (Forestier, 2007:83-85).
Tahun 1930-an, ekspedisi-ekspedisi geologi dan arkeologi telah menemukan artefakartefak
paleolitik pertama yang dinamai Pacitanian di Sungaî Baksoko dekat Punung (von
Koenigswald, 1936, dalam Forestier, 2007:83-85). Pada tahun yang kurang-lebih sama,
Escher telah mengemukakan ada 40.000 gua di daerah ini (Bartstra, 1976, dalam Forestier,
2007:83-85).
Pegunungan Gunung Sewu dikelilingi jaringan hidrografis besar dan membentang
berbentuk jalur sempit dengan panjang lebih kurang 100 km dan lebar lebih kurang 30 km, di

antara Sungai Opak dan Teluk Pacitan. Luas permukaan Gunung Sewu diperkirakan hampir
1.300 km2. Gunung Sewu terletak di luar sumbu barisan vulkanis Jawa yang memanjang
pada arah timur-barat, berbatasan dengan pantai Samudera Hindia. Pegunungan tersebut
dikelilingi dataran aluvial dan barisan pegunungan yang ketinggiannya tidak me1ebihi 800 m,
contohnya (Bartstra, 1976, dalam Forestier, 2007:83-85).
Gunung Sewu yang terbentuk oleh batu gamping koral telah mengalami pengangkatan
secara berturut-turut sejak kala Miosen dari Wonosari di barat sampai Pacitan di timur.

6

Pengangkatan-pengangkatan terakhir berlangsung pada kala Plestosen tengah (Forestier,
2007:83-85).
Wilayah Gunung Sewu merupakan kompleks hunian prasejarah yang sangat luas,
intensif, dan berkesinambungan dalam rentang Plestosen-Holosen. Proses adaptasi terhadap
lingkungan dan pengaruh luar telah menciptakan dinamika budaya yang berkembang, mulai
dari yang bercorak Paleolitik, Preneolitik, Neolitik, hingga Paleometalik pada masa
protosejarah. Manusia datang ke wilayah ini dan mendiami lembah-Iembah sempit di antara
perbukitan karst dan daerah aliran sungaisungai. Ketersediaan berbagai sumber daya, seperti
batuan yang baik untuk peralatan, air, fauna, dan flora di lingkungan sekitarnya menjadi
penopang kehidupan berkelanjutan dalam rentang ratusan ribu bahkan mungkin jutaan tahun

(Forestier, 2007:15). Daerah yang memanjang dari barat (Wonosari) ke timur (Pacitan) ini
memiliki bentang morfologi tersendiri yang khas, yang dicirikan oleh perbukitan karst
berbentuk sinoid. Di salah satu lereng perbukitan inilah yan gsecara dministrasi termasuk
dalam wilayah Desa Pagersari, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Song Keplek terletak
sekitar 300 meter di sebelah barat daya jalan Wonogiri – Pacitan (Widianto, 2013)..
Pada tahun 1992, sebuah penelitian yang dipimpin oleh T. Simanjuntak telah berhasil
mengumpulkan sekitar 13 kg batu rijang dan sejumlah alat pangkasan yang sebagian besar
aspeknya cenderung mengarah pada "paleolitik" daripada neolitik. Dari jumlah besar alat-alat
litik dan sisa tulang yang dikumpulkan, dapat diduga tentang keberadaan aktivitas manusia
masa lampau di gua ini (Forestier, 2007:89-92).
Ketebalan sedimen isian gua di Song Keplek mencapai sekitar 3 meter. Seratus lima
puluh sentimeter pertama merupakan lapisan arkeologi, yang besar kemungkinannya terdiri
atas beberapa fase hunian yang mencakup masa antara sekitar 8.000-4.500 tahun yang lalu
(Forestier, 2007:93).
Penemuan di Song Keplek dan Gua Braholo di wilayah Gunung Sewu memperlihatkan
alat tulang mulai diperkenalkan menjelang Pleistosen Atas. Alat-alat tersebut umumnya
berupa spatula yang masih kasar dengan bekas-bekas pemangkasan yang tidak dihaluskan
(Abdullah, 2012).
Song Keplek telah diekskavasi sebanyak lima kali oleh Bidang Prasejarah Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional. Potensi arkeologis yang dimilikinya menuntut bentuk

penelitian yang sistematis yang menunjukkan mekanisme kehidupan di Song Keplek
7

ditemukan di lapisan ke-2 dan ke-3, yang berupa lempung wana cokelat, tidak kompak,
mengandung sisipan gamping terbakar, akumulasi serpihan rijang, sisa fauna, dan fragmenfragmen marginal walaupun terkadang terdapat retus memanjang secara sporadis. Keletakan
retus di berbagai bagian alat menghasilkan tipe serut samping dan serut ujung, sedangkan
ukuran dan jumlah retus melahirkan tipe serut cekung dan serut gigir. Juga terdapat serut
ujung meruncing atau berpunggung tinggi, serut membulat, atuapun serut perpunggung
korteks (Widianto, 2013).
Serpih tanpa retus jumlahnya paling dominan di antara kelompok alat. Temuan lainnya:
serpiih dengan retus, bilah dengan retus, bor dengan bagian runcing, lancipan, dan mata
panah yang umumnya bleum selesai (Widianto, 2013).
Penemuan sisa-sisa kerangka rusa yang terbilang lengkap di gua Braholo dan Song
Keplek (Gunung Sewu) dalam hubungan dengan alat litik menunjukkan bahwa kadangkadang hewan dibantai dalam gua. Penemuan kumpulan litik seperti alat batu, alat inti, dan
serpih limbah di lapisan kerja di gua-gua biasanya menunjukkan bahwa gua juga berfungsi
sebagai tempat untuk membuat alat. Bukti terbaru dari pembuatan alat ini ditemukan di gua
Song Terus dalam bentuk serpih terbuat dari rijang dan batu kapur, serta alat-alat inti dalam
hubungan dengan tulang hewan patah (Simanjuntak, 2006:374). Temuan di area Gunung
Sewu, khususnya pada Braholo dan Song Keplek, menunjukkkan karakter unik. Himpunan
alat batu di gua-gua ini berasosiasi dengan keberadaan kelompok alat dengan teknik
manufaktur yang sederhana (Simanjuntak, 2006:376).

Analisis
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Keduanya saling
berinteraksi dan hasil interaksi tersebut memberi corak, baik terhadap kehidupan manusia
maupun pada kondisi lingkungannya. Ada kalanya lingkungan leibh berpengaruh terhadap
manusia sehingga manusia harus mengadaptasikan diri terhadapnya. Hasil adaptasi akan
memengaruhi corak kebudayaannya. Pada masa yang tua ketika kemampuan berpikir dan
penguasaan teknologi masih terbatas, kehidupan manusia masih sepenuhnya tergantung pada
alam. Dalam kondisi ini proses adaptasi manusia lebih menonjol dan lingkungan cenderung
lebih memengaruhi kehidupan manusia (Abdullah, 2012).

8

Kondisi di atas lambat laun berubah seiring dengan kemajuan pemikiran dan teknologi
manusia. pada masa yang lebih muda manusia tidak lagi hanya dipengaruhi lingkungan,
tetapi sudah mulai memengaruhi lingkungan. Manusia mulai mengeksploitasi lingkungan
untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia tidak lagi puas dengan sumber daya yang tersedia,
tetapi telah melakukan upaya-upaya untuk mmeperoleh dan mengembangkan sumber daya
lingkungan. Upaya adapasi terhadap lingkungan sudah sepakin berkurang, sementara upaya
kesploitasi semakin menonjol (Abdullah, 2012).
Umumnya, manusia memanfaatkan hewan sebagai sumber maknaan, yaitu untuk diambil
daging dan sumsumnya, tetapi dari beberapa hasil penelitian arkeologi dapat diketahui bahwa
hewan juga dimanfaatkan oleh manusia untuk keperluan yang lain. Hal tersebut terbukti
dengan ditemukannya beberapa alat yang terbuat dari tulang hewan (Purnomo, 1998).
Gua Song Keplek menyediakan keadaan geoarkeologis yang ideal untuk melaksanakan
ekskavasi arkeologi dengan baik dan penelitian tentang tinggalan-tinggalan litik. Gua ini
telah menyimpan bekas-bekas hunian yang dihubungkan dengan Homo sapiens sapiens
sepanjang urutan stratigrafis luar biasa dengan kedalaman enam meter yang mencakup antara
kira-kira 24.000 tahun yang lalu dan masa kini. Ekskavasi-ekskavasi pertama di gua ini
dimulai sejak tahun 1992 di bawah pimpinan Prof. T. Simanjuntak dan timnya dari Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Pada tahun 1995, Forestier bergabung
untuk melakukan penelitian S3 dalam program penelitian Prancis-Indonesia, dalam rangka
misi "Kuarter dan Prasejarah di Indonesia" yang dipimpin oleh Prof. F. Sémah (Forestier,
2007:20).
Pemilihan gua sebagai lokasi hunian masyarakat prasejarah tentu tidak sembarangan.
Terdapat beberapa pertimbangan. Dalam Abdullah (2012), dikatakan bahwa gua dan ceruk
merupakan tempat hunian yang lebih ideal dibandingkan dengan hunian alam terbuka karena
memiliki ruang permanen yang dapat menampung berbagai aktivitas sehari-hari. Kehidupan
di dalam gua akan lebih terlindung dari berbagai kondisi cuaca—panas, dingin, hujan, badai,
dll.-dan gangguan binatang buas jika dibandingkan dengan kehidupan di alam terbuka yang
tidak dilengkapi dengan bangunan memadai untuk berlindung. Di dalam gua, penghuninya
dapat menalan api unggun untuk menghangatkan ruangan dan mengatasi kelembaban. Letak
geografi situs-situs beserta kondisi lingkungannya memperlihatkan dua karakter pokok
hunian purba, yaitu kedetakannya dengan sumber air dan kehidupan di alam terbuka.
Pemilihan lingkungan hunian seperti ini merupakan fenomena universal yang berlaku di
9

seluruh dunia (Abdullah, 2012). Dari segi spasial dan arsitektural, gua dan ceruk adalah
tempat yang lebih ideal dibanding alam terbuka, karena memiliki ruang-ruang yang bisa
mengakomodasi aktivitas harian, melindungi dari cuaca dan binatas buas (Simanjuntak,
2006:374).
Pemanfaatan gua sebagai pusat kegiatan tentu berkaitan dengan berbagai aktivitas
kehidupan sehari-hari penghuninya. Selain sebagai tempat tinggal yang cenderung bersifat
sementara, bukti-bukti yang ditemukan juga memperlihatkan pemanfaatan gua untuk fungsifungsi lain. Penemuan kerangka rusa yang tergolong lengkap di Gua Braholo dan Song
Keplek (Gunung Sewu) berasosiasi dengan peralatan litik menunjukkan gua juga
dimanfaatkan sebagai tempat penyembelihan binatang buruan (Abdullah, 2012).
Berdasarkan data yang sudah dijabarkan, analisis yang dilakukan menggunakan konsep
hubungan eksternal dan internal dari Rouse, dan empat tahapan mengemukakan masalah
budaya melalui tinggalannya.
Hubungan eksternal Song Keplek dengan lingkungannya terlihat dari topografi Jawa,
khususnya Pegunungan Selatan atau Gunung Sewu. Letak situs yang tidak jauh dari Pacitan,
pusat industri alat prasejarah, juga menjadi salah satu faktor terdapat banyak tinggalan di
situs ini.
Hubungan internal Song Keplek dengan melihat pola intrasitus dan pola intersitusnya
tergambarkan dari daerah sekitar yang penuh dengan gua-gua yang layak huni, seperti Song
Terus, Song Gupuh, dan Gua Braholo. Tinggalan yang ditemukan di ketiga gua tersebut dan
Song Keplek kurang lebih sama.
Empat tahapan mengemukakan budaya melalui tinggalannya (Rouse, 1968) di situs Song
Keplek adalah:
a. Recovery of the Remains
Mengumpulkan sampel dari tinggalan, berupa artefak dan ekofak dari beragam jenis
bahan.
b. Classification of the Remains
Mengklasifikasi material, di situs ini terdapat alat, sisa fauna, dan kerangka manusia.

10

c. Recontruction from the Remains
Rekonstruksi dari sesuatu yang sudah tidak ada, bahwa alat yang terbuat dari tulang
hewan adalah salah satu bentuk pemanfaatan fauna, selain untuk domestikasi; bahwa
alat batu yang terdapat di Song Keplek merupakan alat untuk mengolah fauna menjadi
makanan, semisal untuk menguliti dan memotong daging.
d. Interpretation of the Remains
Interpretasi adalah bentuk lanjut dari rekonstruksi. Interpretasi akan sesuatu hal butuh
teori sebagai landasannya dan data sebagai pendukung utamanya.

Kesimpulan
Song Keplek, gua prasejarah di Punung, Gunung Sewu, Jawa Timur, merupakan situs
hunian dan industri sekaligus. Ini tampak dari tinggalan alat batu, sisa fauna, dan kerangka
manusia yang ditemukan pada ekskavasi di Song Keplek. Tinggalan-tinggalan ini saling
berasosiasi. Terutama sisa fauna, menunjukkan bahwa di gua itu ada domestikasi fauna,
konsumsi fauna, dan pemanfaatan tulang fauna menjadi alat.

Daftar pustaka
—.

(2003)

Testing

song

keplek

man.

(2003,

Nov

03). Tempo. Retrieved

from

https://search.proquest.com/docview/198934532?accountid=17242
Abdullah, T., & Adrian, B. L. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah. Jilid II.
Bartstra, G. J., & Basoeki. (1989). Recent Work on the Pleistocene and the Palaeolithic of
Java. Current Anthropology, 30(2), 241-244.
Forestier, H. (2007). Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah Song Keplek, Gunung
Sewu, Jawa Timur (No. 7). Kepustakaan Populer Gramedia.
Purnomo, Andri. (1998). Pemanfaatan Hewan sebagai Sumber Makanan dan Alat Tulang di
Situs Song Keplek Punung, Jawa Timur. Skripsi UI

11

Rabett, R. J., & Piper, P. J. (2012). The emergence of bone technologies at the end of the
Pleistocene in Southeast Asia: regional and evolutionary implications. Cambridge
Archaeological Journal, 22(01), 37-56.
Simanjuntak, T. (2006). Indonesia–Southeast Asia: Climates, settlements, and cultures in Late
Pleistocene. Comptes Rendus Palevol, 5(1), 371-379.
Widianto, Harry, dkk. (2013). Atlas Prasejarah Indonesia. Jakarta: Kharisma Ilmu

12