HUKUM INTERNASIONAL ANALISA DAYA IKAT HU

HUKUM INTERNASIONAL
ANALISA DAYA IKAT HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP HUBUNGAN
INTERNASIONAL
(Studi Kasus : Anak yang memiliki status kewarnanegaraan ganda)

Dosen Pengampu : Ari Ratna Kurniatuti, MH.

Oleh

Regina Goldie Jolinda Amoreka

(155120401111078)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2016

BAB I
Latar Belakang
Dalam perkembangan hukum dimasyarakat bahwa manusia adalah sebagai subyek

hukum selain badan hukum, makhluk Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa, yang dilahirkan
mandiri namun mempunyai naluri untuk selalu hidup bersama dengan sesamanya. Oleh
karena itu, terjadilah hubungan satu sama lain, baik yang berbentuk orang perseorangan
maupun yang berbentuk kelompok manusia. Dalam melakukan hubungan itu, masing-masing
manusia mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, baik kepentingan yang bersifat materiil
maupun immateriil dan selalu berusaha atau berjuang untuk memperoleh kepentingan itu,
demi kebutuhan hidupnya. Untuk memperoleh kebutuhan hidup yang aman dan tertib
terdapat kaedah-kaedah hukum yang dapat menimbulkan akibat hukum termasuk dalam
masalah kewarganegaraan.
Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter yang mungkin dalam dunia akademis
Hukum Internasional sendiri masih dianggap baru. Sementara menyadari kondisi dunia yang
juga menjadi tanggung jawab manusia secara tidak langsung mesti ada aturan yang
membatasi kewenangan manusia dalam mengelolahnya. Hal ini tentu tidak menjadi tanggung
jawab sebagian orang atau untuk lebih luas menjadi tanggung jawab beberapa negara besar.
Namun sudah selayaknya setiap negara memandang isu-isu global sebagai tanggung jawab
bersama guna menciptakan bumi yang aman untuk dihuni generasi mendatang.
Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat memang pada dasarnya diperlukan suatu
aturan sehingga antara kepentingan yang satu dengan yang lain setidaknya dapat
diminimalisir tidak terjadi. Manusia sebagai subjek hukum merupakan bagian penting dalam
suatu negara yang dikenal sebagai subjek hukum internasional. Kendati demikian, aturan atau

hukum yang ada belum tentu secara keseluruhan dapat menjawab kepentingan semua orang.
Untuk itu diperlukan lagi pengetahuan atas aturan yang mengatur hak yang melekat pada diri
individu tersebut. Dalam makalah ini dibahaslah mengenai masalah kewenegaraan ganda
yang dimiliki sebagian orang.

BAB II
Isi
Pada awalnya Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan
antar negara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin
kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi
struktur dan perilaku organisasi internasional dan, pada batas tertentu, perusahaan
multinasional dan individu. Hukum Internasional dalam sejarahnya hampir berumur 4 abad,
namun akar-akarnya telah terdapat semenjak zaman Yunani Kuno dan zaman Romawi. Di
zaman Yunani Kuno ahli-ahli pikir seperti Aristoteles, Socrates dan Plato telah mengemukan
gagasan-gagasan mengenai wilayah, masyarakat dan individu. Lebih dari 2000 tahun yang
lalu city-states di Yunani walaupun didiami oleh bangsa dengan bahasa yang sama, hubungan
mereka telah diatur oleh ketentuan-ketentuan yang kemudian bernama Hukum Internasional.
Ketentuan-ketentuan tersebut menyangkut pengaturan-pengaturan perang dan penghormatan
terhadap utusan-utusan negara. Namun, pada waktu itu ketentuan-ketentuan tersebut belum
lagi didasarkan atas prinsip hukum yang mengikat, tetapi atas percampuran moral, agama dan

hukum.1
Sedikit berbeda dengan zaman Yunani Kuno, pada zaman Romawi hubungan
internasional sudah mengarah kepada hal yang sebenarnya, kerajaan Romawi sudah membuat
bermacam-macam perjanjian (seperti perjanjian perdamaian, persahabatan dan persekutuan)
dengan negara lain. Konsep hubungan diplomatik (hukum diplomatik-salah satu kajian dalam
Hukum Internasional) juga berkembang dari “tanah Romawi”. Pada Abad ke-15 dan 16 citystates di Italia seperti Venice, Genoa, dan Florence mengembangkan praktek pengiriman

duta-duta besar residen ke ibukota masing-masing.2
Sejak saat abad 15 dan 16 itulah, perubahan dan perkembangan Hukum Internasional
terus berlangsung sampai dengan saat ini. Dimulai pada masa renaissance yang banyak
melahirkan tokoh-tokoh dengan karya-karyanya terutama di bidang hukum antar bangsa
(Hukum Internasional) yang mempengaruhi perkembangan dunia pada saat itu, seperti Bodin,
Hugo de Groot (Grotius), Hobbes Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez, JJ Rousseau,
Emerich de Vattel, Jeremy Bentham dan banyak lagi lainnya. Kemudian seiring dengan
munculnya tokoh-tokoh dan karyanya, mulai bermunculan pula negara-negara merdeka yang
1

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung :
Alumni, 2000, hlm: 5
2

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Jakarta : Sinar Grafika, 2001, hlm : 9-10.

bermunculan pula negara-negara merdeka yang berdaulat, dimana hal ini juga memberikan
pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan dan perkembangan Hukum Internasional.
Dalam hubungan internasional, negara-negara telah memainkan peranan penting
dalam berbagai bidang untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya ditingkat
internasional. Hubungan internasional tersebut tidak mungkin dapat berlangsung dengan baik
jika tidak didukung instumen hukum internasional yang mengikat dan dipatuhi negara-negara.
Keberadaan hukum internasional bukan saja sangat penting melainkan sebagai kebutuhan
yang tidak dapat diabaikan dalam masyarakat internasional.
Hingga saat ini Hukum Internasional merupakan keseluruhan kaidah yang sangat
diperlukan untuk mengatur sebagian besar hubungan-hubungan antar negara-negara, tanpa
adanya kaidah-kaidah ini sungguh tidak mungkin bagi mereka untuk melakukan tetap terus
menerus. Sesungguhnya Hukum Internasional merupakan persoalan dengan keperluan
hubungan timbal balik antar negara-negara. Dalam hal ini tidak adanya suatu sistem Hukum
Internasional merupakan persoalan dengan keperluan hubungan timbal balik antar negaranegara tidak dapat menikmati keuntungan-keuntungan perdagangan dan komersial, saling
pertukaran gagasan dan komunikasi rutin yang sewajarnya.3
Sebagai suatu peraturan hukum yang memiliki cakupan begitu luas, hukum
internasional terdiri dari prinsip-prinsip, peraturan-peraturan, dan kebiasaan internasional
tentang tingkah laku negara-negera yang terikat untuk mematuhinya dan melaksanakanya.

Utamanya terkait dengan (1) pengaturan hubungan antara satu negara dengan negara lainnya,
yang di dalamnya termasuk peraturan hukum terkait dengan fungsi-fungsi, lembaga-lembaga,
organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka dengan sesamanya, atau hubungan
mereka dengan negara-negara dan individu-individu, dan (2) peraturan-peraturan hukum
tertentu terkait antara individu-individu dengan subyek hukum non-negara (non-state entities)
dan aktor-aktor negara yang baru (new state actor). Dalam hukum internasional diatur pula
hak-hak dan kewajiban-kewajiban setiap individu dan subyek hukum non-negara juga
tergolong menjadi bagian dari hukum internasional atau juga hubungan internasional.4Hukum
internasional publik memiliki sistem negara sendiri keunikan dalam penegakan peraturannya.
Oleh karena hukum internasional juga terpisah dari suatu negara municipal law, tidak sedikit
hukum internasional ini diragukan sebagai sesuatu yang bukan peraturan hukum. Tentu saja
kritik ini muncul dari aliran John Austin yang memahami hukum internasional sebagai
3
4

Ibid, Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Jakarta : Sinar Grafika, 2001, hlm : 16-17.
Ibid, Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Jakarta : Sinar Grafika, 2001, hlm : 3.

produk putusan dari penguasa, sebagaimana halnya negara. Padahal hukum internasional
tidak didukung oleh sistem pemerintahan global. Sebagaimana dalam suatu negara didukung

oleh institusi politik legislative, eksekutif, dan yudikatif, kaum positivis memandang Hukum
Internasional mengikat karena ada kesepatan antara kehendak negara (State Will). Karena itu,
menurut David J. Bedermen seluruh bangunan teori dan praktek hukum internasional sangat
tergantung pada beberapa penjelasan yang koheren mengapa aktor-aktor internasional harus
mematuhi sekumpulan hukum yang boleh jadi menyimpang dari kepentingan negara-negara.
Secara lebih eksplisit alasan-alasan negara patuh pada hukum internasional karena para ahli
hukum memerlukan gambaran suatu kesimpulan yang penting terkait sumber-sumber, prosesproses, dan doktrin-doktrin hukum internasional.5
Di era globalisasi seperti sekarang ini, dimana batas-batas suatu negara seakan-akan
sudah terhapus, kepentingan ekonomi guna kesejahteraan rakyat menyebabkan warga negara
asing ramai menanamkan modalnya di Indonesia beriringan dengan masuknya tenaga ahli
yang berkewarganegaraan asing bertempat tinggal di kota besar maupun kota kecil yang
menyebabkan kontak antara warga negara asli dengan warga negara asing di dalam negeri
terjadi ataupun karena tugas belajar atau tugas kedinasan ke luar negeri, baik antara laki-laki
maupun perempuan adalah suatu hal yang manusiawi. Apalagi apabila hubungan-hubungan
khusus tersebut berlanjut kejenjang perkawinan.
Meluasnya interaksi manusia di dunia memberi peluang terjadinya perkawinan antar
bangsa yang berbeda kewarganegaraan. Keadaan ini sulit dibendung karena merupakan
bagian dari Hak Asasi Manusia bagi seseorang untuk memilih pasangan hidupnya.
Perkawinan campuran antar bangsa ini tidak jarang memunculkan suatu masalah,
permasalahan kerap muncul ketika menentukan status kewarganegaraann sebagai akibat

perbedaan sistem azas kewarganegaraan yang di anut.6
Persoalan tentang perbedaan sistem hukum kewarganegaraan yang dianut oleh
pasangan suami-isteri yang melakukan perkawinan campuran, juga berpengaruh pada status
kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran. Perkawinan campuran adalah perkawinan
antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA), baik antara
perempuan Indonesia dengan laki-laki asing ataupun sebaliknya, cukup memberikan dampak

5

David J. Baderman, The Spirit of International Law, London: Athen (The University of George Press, 2002,
hlm : 4
6
Abdul Irsa , Prospek dan Implikasi RUU Kewarganegaraan dan RUU Keimigrasian Dalam Hubungan Luar
Negeri”, Makalah pada Lokakarya RUU Kewarga egaraa da RUU Kei igrasia , oleh BPHN-Departemen
Hukum dan HAM RI, Jakarta, 18-19 September 2002, hal.6

yang berarti terhadap status kewarganegaraan anak yang dihasilkan dari perkawinan
campuran tersebut dan bagi perjalanan hukum kewarganegaraan Indonesia.
Menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, perkawinan campuran yang
melibatkan status kewarganegaraan para pihak, pada dasarnya menyangkut dua bidang

hukum, yaitu bidang hukum perkawinan (huwelijksrecht) dan bidang hukum
kewarganegaraan (nationaliteitsrecht). Kewarganegaraan merupakan suatu masalah yang
sangat penting bagi hidup seseorang karena menyangkut kehidupan sehari-hari seseorang
dalam lapangan hukum publik dan lapangan hukum privat.7
Dalam praktik setiap Negara pada umumnya penggunaan asas ini dipergunakan secara
simultan. Bedanya, ada Negara yang lebih menitikberatkan pada penggunaan ius sanguinis,
dengan ius soli sebagai pengecualian. Sebaliknya, adapula negara yang lebih menitikberatkan
pada penggunaan ius soli, dengan ius sanguinis sebagai pengecualian. Penggunaan kedua
asas ini secara simultan mempunyai tujuan agar status apatride atau tanpa kewarganegaraan
(stateless) dapat terhindari.8 Sebaliknya, karena pelbagai negara menganut asas
kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat menimbulkan masalah
bipatride atau dwi-kewarganegaraan bahkan multipatride. Contoh terjadinya bipatride

karena asas berdasarkan kelahiran sebagai berikut, Negara menganut asas ius sanguinis,
sedangkan Negara B menganut asas ius soli. Maka setiap orang yang lahir di Negara B dari
orangtua yang berkewarganegaraan A, akan mempunyai status baik sebagai warganegara B
maupun warganegara A. Ia memperoleh status warganegara A, karena ia keturunan warga
Negara A. ia pun memperoleh status warga Negara B, karena ia lahir dinegara B.
Yang dimaksud asas ius soli adalah asas yang menentukan kewarganegraan seseorang
berdasarkan tempat kelahirannya. Seseorang adalah warga negara suatu negara karena ia lahir

di suatu negara. Berdasarkan prinsip ius soli seseorang yang dilahirkan di wilayah hukum
suatu negara, secara hukum dianggap memiliki kewarganegraan dari tempat kelahirannya. Ius
sanguinis adalah yaitu asas kewarganegraan yang mendasarkan diri pada faktor pertalian

seseorang dengan status orang tua yang berhubungan darah dengannya. Maka seseorang yang
lahir dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu Negara, maka anak tersebut
berhak mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya.

7

J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, Cet. 3, Jakarta : Gunung Agung,
1957) hlm: 9.
8
B.P. Paulus, Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945 (Khususnya Kewarganegaraan Peranakan
Tionghoa), Cet.1, Jakarta : Pradnya Paramita,1983, hlm : 50.

Namun dalam dinamika pergaulan antar bangsa sering terjadi perkawinnan campuran
yang melibatkan status kewarganegraan yang berbeda-beda antara pasangan suami isteri.
Dengan terjadinya perkawinan mapuran tersebut kemungkinan besar menimbukan persolan
berkenan dengan status kewarganegraan dari anak-anak mereka. Bahkan dalam

perkembangannya di kemudian hari, timbul pula kebutuhan baru bedasarkan pengalaman di
berbagai negara. Bahwa kedua asas tersebut harus di ubah dengan asas lain yang atau yang
harus di terapkan secara bersamaan, untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan dwi
kenegaraan atau sebaliknya sama sekali berstatus tanpa kewarganegaraan. Dengan
munculnya masalah tersebut, dalam praktik ada pula negara yang akhirnya menganut asas
keduanya. Karena pertimbangan lebih menguntungkan bagi kepentingan negara yang
bersangkutan. Sistem terakhir inilah yang biasa disebut asas campuran. Asas yang dipakai
bersifat campuran, sehingga dapat menyebabkan terjadinya bipatride.
Karena perselisihan undang-undang kewarganegaraan dan kurangnya keseragaman
dari undang-undang tersebut, maka sering timbul bahwa individu-individu tertentu memiliki
dwi kewarganegaraan (double nationality). Dwi-kewarganegaraan juga dapat muncul dari
kelahiran di wilayah suatu negara, yang bukan negara kewarganegaraan orang tuanya,
meskipun biasanya seorang yang belum dewasa diberikan kesempatan diberikan kesempatan
untuk memilih kewarganegaraan yang satu atau yang lain setelah mencapai kedewasaannya.
Hak untuk memilih kewarganegaraan yang satu atau yang lain, dapat diberikan oleh traktat.9
Pada waktu perkembangan mazhab Italia, di Perancis juga berkembang hal serupa
dengan dilakukan sekelompok ahli di bawah pimpinan Sigaud. Mazhab Perancis dikenal pula
dengan sebutan morfologi konstitusional. Dasar-dasar penggolangannya adalah (1) Dasar
penggolongan:Dominansi suatu fungsi fisiologi dalam diri individu. (2) Unsur-unsur
lingkungan mempengaruhi kepribadian individu.10


9

Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Jakarta : Sinar Grafika, 2001, hlm : 462.

10

Buku Latihan Ujian Hukum Pidana Prof. Drs. C.S.T. Kansil SH. Cetakan ketiga, 2007.

BAB III
Kesimpulan
Hukum Internasional menghormati kedaulatan (hukum nasional) negara-negara.
Contoh sebaliknya juga bisa dilihat dalam bidang hukum hak asasi manusia, hukum
lingkungan atau hukum perdangangan internasional, dimana negara-negara tunduk dan
mengkomodasikan ketentuan-ketentuan internasional bidang-bidang terserbut dalam hukum
nassional masing-masing. Pada intinya, negara-negara modern saat ini mengakui
membutuhkan adanya hukum internasional dengan tetap memperhatikan kepentingankepentingan (hukum) nasionalnya.
Hukum Internasional didasarkan atas pikiran adanya masyrakat internasional yang
terdiri atas sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri
sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan lain sehingga merupakan suatu tertib hukum
koordinasi antara anggota masyarakat internasional yang sederajat.

Hukum kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan seperangkat kaidah yang
mengatur tentang muncul dan berakhirnya hubungan antara Negara dan warganegara.
Dengan kata lain, hukum kewarganegaraan mempunyai ruang lingkup cara-cara memperoleh
dan cara-cara kehilangan kewarganegaraan.
Masalah kewarganegaraan erat kaitannya dengan masalah pengakuan atas status
seseorang sebagai warganegara oleh negaranya, masalah kewarganegaraan muncul dalam
bentuk adanya dikriminasi, kurang terjaminnya hak asasi manusia dan kurang terjaminnya
keseimbangan hak antar warganegara. Dilatarbelakangi oleh adanya perubahan UUD 1945
tersebut yang memberi tempat yang luas bagi perlindungan HAM yang berkait dengan
terjadinya perubahan atas pasal-pasal mengenai hal-hal yang terkait dengan kewarganegaraan
dan hak-haknya.11 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan
mendefinisikan kewarganegaraan sebagai segala hal ikhwal berhubungan dengan warga
negara. Dari segi hukum satatus kewarganegaraan seseorang amat menetukan hak dan
kewajiban seseorang selaku warganegara. Orang yang memiliki status kewarganegaraan akan
berbeda dengan orang yang tidak berstatus warganegara.
Karena sesuai dengan ajaran Mazhab Perancis yang mengatakan bahwa unsur-unsur
lingkungan mempengaruhi kepribadian individu maka anak yang memiliki status dwi
kewarganegaraan (double nationality) maka diberikan kesempatan diberikan kesempatan
untuk memilih kewarganegaraan yang satu atau yang lain setelah mencapai kedewasaannya.

11

Koerniatmanto Soetoprawiro, 1996 : 9

Saran
1.

Perlunya adanya pengaturan yang secara lengkap mengenai
kewarganegaraan yang sesuai dengan perkembangan zaman di era
globlalisasi seperti sekarang ini tanpa harus merugikan kepentingan negara.

2.

Untuk menjamin suatu kepastian hukum sebaiknya pengaturan yang sudah
ada saat ini Undang-Undang kewarganegaraan khususnya dalam Pasal yang
berkaitan dengan pemberian kewarganegaraan secara terbatas perlu ditelaah
kembali supaya perlu adanya harmonisasi dengan kaidahkaidah hak asasi
manusia hingga akhirnya peraturan itu harus di revisi.

Daftar Pustaka

Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Bandung : Alumni, 2000.
Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh, Jakarta : Sinar Grafika, 2001.
David J. Baderman, The Spirit of International Law, London: Athen (The University of
George Press, 2002.
Abdul Irsan,“Prospek dan Implikasi RUU Kewarganegaraan dan RUU Keimigrasian Dalam
Hubungan Luar Negeri”, Makalah pada Lokakarya RUU Kewarganegaraan dan RUU
Keimigrasian,”oleh BPHN-Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 18-19 September
2002.
Buku Latihan Ujian Hukum Pidana Prof. Drs. C.S.T. Kansil SH. Cetakan ketiga, 2007.