Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

(1)

TESIS

Oleh

SIEKMY NGASERIN

117011060/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SIEKMY NGASERIN

117011060/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 2. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum


(5)

Nim : 117011060

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERHADAP KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM WARIS MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA MEDAN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :SIEKMY NGASERIN Nim :117011060


(6)

angkat merupakan anak yang berada dalam pemeliharaan sehingga kasih sayang, kebutuhan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih kepada orang tua angkat. Namun dalam adat Tionghoa perbuatan pengangkatan anak tidak langsung memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandung dan anak tersebut dapat mewarisi dari orang tua kandung dan orang tua angkat.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Teknik pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Alat pengumpulan data adalah studi kepustakaan dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan logika berfikir induktif – deduktif.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, Dasar hukum pengangkatan anak pada warga Tionghoa di Kota Medan dilakukan melalui Penetapan Pengadilan Negeri atau akta notaris dan/ atau upacara adat yaitu sembahyang kepada Tuhan dan leluhur yang telah meninggal. Kedua, Kedudukan anak angkat dalam hukum waris adat pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan, baik anak angkat laki-laki maupun perempuan dalam keluarga angkatnya mempunyai hak pemeliharaan yang sama dan mewaris bersama-sama dengan ahli waris dari orang tua angkat seperti layaknya anak kandung.Ketiga,Motivasi pengangkatan anak yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa adalah demi penerusan marga (she), pemujaan arwah nenek moyang (voorouder verrering), demi kepentingan anak itu sendiri, kesejahteraan anak, membantu keluarga, sebagai pancingan untuk mendapatkan anak kandung dan juga demi kelangsungan perkawinan.

Kemudian disarankan, pertama, Untuk pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat etnis Tionghoa, alangkah baiknya jika pengangkatan yang dilakukan tidak hanya terhenti pada pengangkatan anak menurut adat/kebiasaan masyarakat Tionghoa, tapi dilanjutkan dengan perbuatan hukum sebagaimana telah diatur dalam SEMA No. 6 Tahun 1983. Kedua, Perlunya proses penetapan/ pengesahan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri dan melakukan pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Ketiga, Perlu dibuat lembaga perlindungan anak angkat jika orang tua angkat tidak menjalankan kewajibannya.


(7)

care so that love and affection, his daily needs, his education etc., will be the responsibility of his adoptive parents. However, in the Chinese tradition, adoption does not directly break off blood relationship between the child and his biological parents, and he can gets inheritance both from his biological parents and from his adoptive parents.

The research was descriptive with judicial sociological approach. The data were gathered by conducting library research and field research by distributing questionnaires and conducting interviews and analyzed qualitatively, using inductive-deductive logical thinking.

The result of the research showed that, first, the legal basis for adopting a Chinese child in Medan was done through the Ruling of District Court or a Notarial Deed and/or a traditional ceremony like worship to God or ancestors; secondly, the position of an adopted child in traditional law of inheritance in the Chinese community in Medan is that both adopted boys and girls have the same right as heirs with the biological children of their abortive parents; thirdly, motivation of the Indonesian citizens of Chinese descent to adopt children is for the sake of the continuation of clan (‘she’), ancestor worship (voorouder verrering), for the sake the children themselves, the children’s welfare, helping relatives, as a bait for having biological children, and for the sake of the continuance of marriage.

It is recommended that, first, in order to adopt a child in the traditional Chinese ethnic group, the adoption should not be for the sake of the tradition of the Chinese community per se; it should be followed by legal act as it is stipulated in SEMA No. 6/1983; secondly, adoption should need promulgating/validation of the adoption in the District Court and registration in the Registry of Birth, Death, and Marriage Office; thirdly, adopted child protection agency should be established, in case the adoptive parents do not take the responsibility.


(8)

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan yang tidak luput dari kekurangan dan kesalahan, meskipun demikian penulis masih memiliki harapan bahwa tulisan ini dapat dipergunakan sebagai sajian ilmu pengetahuan yang dapat membantu penulis khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai anak angkat sebagai tambahan ilmu pengetahuan sesuai dengan judul tesis penulis yaitu : “Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini penulis menghadapi berbagai tantangan dan hambatan akan tetapi banyak pihak-pihak yang memberikan bantuan baik secara moril maupun mateil, memberikan sumbangsih pemikiran kepada penulis sehingga memudahkan penulis dalam menulis tesis ini. Oleh karena itu, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan rasa terima kasih dan rasa hormat saya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing pertama yang telah meluangkan waktu dalam membimbing saya dan atas masukan dan arahan serta membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku


(9)

selaku Dosen Pembimbing kedua yang telah membimbing dan membina Penulis dalam penyelesaian tesis ini serta membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi, semoga Ibu tetap dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.

5. Bapak Notaris Dr. H. Syahril Sofyan, SH, MKn selaku Dosen Pembimbing ketiga yang banyak membimbing penulis dalam pembuatan tesis ini, yang telah memberikan semangat kepada penulis dan banyak memberikan ilmu tanpa pamrih kepada penulis.

6. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum selaku Dosen Pembanding yang telah memberikan arahan dan masukan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini. 7. Selruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

khususnya Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah memberikan ilmu pengetahuan, jasa dan budi yang tidak terbalaskan oleh penulis.

8. Para pegawai/ staf pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu penulis dalam menyelesaikan studi.

9. Kedua orang tua saya yang tercinta, yang telah membesarkan dengan penuh kasih saying dan banyak memberikan bimbingan dan dorongan, baik moril maupun materi, serta doa restu untuk keberhasilan saya selama kuliah.

10. Abang kandung saya, William Ngaserin dan Alexander Ngaserin dan pacar saya dr. Randy Susanto, yang telah memberikan nasehat, dukungan, semangat dan menyayangi Penulis selama ini.

11. Teman-teman seangkatanku, antara lain : Pak Aswin, Ibu Safrida, Kak Vira, Kak Yanti, Kak Nyanya, Lucy, Lisa, Ermel, Syahnida, Sumen, Thio, Puji, dan teman


(10)

12. Seluruh pihak yang telah memberikan saran dan pendapat ilmiah sebagai bahan masukan penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya saya berharap tesis ini akan memberikan manfaat bagi diri saya sendiri dan juga bagi masyarakat, maupun bagi pengembangan ilmu hukum. Saya menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sekalian.

Medan, Januari 2014 Penulis,


(11)

Nama : Siekmy Ngaserin Tempat/ Tanggal Lahir : Medan/ 03 April 1988 Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Warna nomor 28

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Budha

II. IDENTITAS KELUARGA

Nama Ayah : Muliadi Ngaserin

Nama Ibu : Linna Gunawan

Pekerjaan Ayah : Wiraswasta

Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga Nama Saudara Kandung : 1. William Ngaserin

2. Alexander Ngaserin

III. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : ST. Yoseph, Medan Sekolah Menengah Pertama : ST. Thomas I, Medan Sekolah Menengah Atas : ST. Thomas I, Medan

Universitas : S1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Universitas : S2 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan


(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 13

E. Keaslian Penulisan ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsep ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Kerangka Konseptual ... 20

G. Metode Penelitian ... 21

1. Spesifikasi Penelitian ... 21

2. Metode Pendekatan ... 22

3. Lokasi Penelitian ... 23

4. Alat Pengumpulan Data ... 24

5. Analisis Data ... 25

BAB II PENGATURAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK PADA WARGA TIONGHOA DI KOTA MEDAN ... 26

A. Kedudukan Hukum Anak Dalam Hukum Keluarga ... 26


(13)

2. Penetapan Pengadilan ... 58

BAB III MOTIVASI MASYARAKAT KETURUNAN TIONGHOA .... 61

A. Hukum Waris dan Hukum Adat ... 61

B. Pengangkatan Anak di Indonesia ... 79

C. Motivasi Masyarakat Warga Keturunan Tionghoa Mengangkat Anak ... 84

BAB IV AKIBAT HUKUM DARI PENGANGKATAN ANAK DALAM HUKUM ADAT MASYARAKAT TIONGHOA ... 94

A. Pewarisan dan Kewarisan Menurut KUHPerdata ... 95

B. Syarat Terjadinya Pewarisan... 97

C. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Dalam Keluarga ... 100

1. Staatsblad1917 Nomor 129 ... 100

2. Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia ... 102

3. Berdasarkan Putusan Pengadilan ... 103

4. Hukum Islam ... 104

5. Hukum Adat Tionghoa ... 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 108

A. Kesimpulan ... 108

B. Saran ... 109


(14)

Adopt : adopsi

She : marga

Familie recht : hukum keluarga

Law of family : hukum keluarga

Volkgeist : kepribadian/ jiwa bangsa

Inter country adoption : pengangkatan anak antara WNI oleh orang tua angkat WNA

Private adoption : pengangkatan secara langsung antara orang tua angkat dengan orang tua kandung

Single parent adoption : pengangkatan anak yang dilakukan oleh WNI yang belum menikah

Domestic adoption : pengangkatan anak antar WNI

Voluntair : suka rela

Hereditatis Petitio : hak dari ahli waris untuk menuntut semua yang termasuk dalam harta peninggalan dari si pewaris terhadap orang yang yang menguasai harta warisan tersebut untuk diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris

Posthumous adoptie : pengangkatan anak yang dilakukan oleh janda

Saisine : peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal

dunia kepada ahli warisnya

Uit eigenhoofde : mewaris berdasarkan kedudukan sendiri


(15)

Immateriele goederen : barang-barang yang tidak berwujud benda

Ouderlijke macht : kekuasaan orang tua

Voorouder verrering : pemujaan arwah nenek moyang

Khe kia : anak angkat

Kue pang : pergantian marga


(16)

Stbl : Staatsblaad

BW : Burgerlijk Wetboek

Jo : Juncto

SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung

RT : Rukun Tetangga

PN : Pengadilan Negeri

MDN : Medan

UU : Undang-undang

TYME : Tuhan Yang Maha Esa RI : Republik Indonesia WNI : Warga Negara Indonesia WNA : Warga Negara Asing


(17)

angkat merupakan anak yang berada dalam pemeliharaan sehingga kasih sayang, kebutuhan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih kepada orang tua angkat. Namun dalam adat Tionghoa perbuatan pengangkatan anak tidak langsung memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandung dan anak tersebut dapat mewarisi dari orang tua kandung dan orang tua angkat.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Teknik pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Alat pengumpulan data adalah studi kepustakaan dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan logika berfikir induktif – deduktif.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, pertama, Dasar hukum pengangkatan anak pada warga Tionghoa di Kota Medan dilakukan melalui Penetapan Pengadilan Negeri atau akta notaris dan/ atau upacara adat yaitu sembahyang kepada Tuhan dan leluhur yang telah meninggal. Kedua, Kedudukan anak angkat dalam hukum waris adat pada masyarakat Tionghoa di Kota Medan, baik anak angkat laki-laki maupun perempuan dalam keluarga angkatnya mempunyai hak pemeliharaan yang sama dan mewaris bersama-sama dengan ahli waris dari orang tua angkat seperti layaknya anak kandung.Ketiga,Motivasi pengangkatan anak yang dilakukan oleh Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa adalah demi penerusan marga (she), pemujaan arwah nenek moyang (voorouder verrering), demi kepentingan anak itu sendiri, kesejahteraan anak, membantu keluarga, sebagai pancingan untuk mendapatkan anak kandung dan juga demi kelangsungan perkawinan.

Kemudian disarankan, pertama, Untuk pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum adat etnis Tionghoa, alangkah baiknya jika pengangkatan yang dilakukan tidak hanya terhenti pada pengangkatan anak menurut adat/kebiasaan masyarakat Tionghoa, tapi dilanjutkan dengan perbuatan hukum sebagaimana telah diatur dalam SEMA No. 6 Tahun 1983. Kedua, Perlunya proses penetapan/ pengesahan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri dan melakukan pencatatan di Kantor Catatan Sipil. Ketiga, Perlu dibuat lembaga perlindungan anak angkat jika orang tua angkat tidak menjalankan kewajibannya.


(18)

care so that love and affection, his daily needs, his education etc., will be the responsibility of his adoptive parents. However, in the Chinese tradition, adoption does not directly break off blood relationship between the child and his biological parents, and he can gets inheritance both from his biological parents and from his adoptive parents.

The research was descriptive with judicial sociological approach. The data were gathered by conducting library research and field research by distributing questionnaires and conducting interviews and analyzed qualitatively, using inductive-deductive logical thinking.

The result of the research showed that, first, the legal basis for adopting a Chinese child in Medan was done through the Ruling of District Court or a Notarial Deed and/or a traditional ceremony like worship to God or ancestors; secondly, the position of an adopted child in traditional law of inheritance in the Chinese community in Medan is that both adopted boys and girls have the same right as heirs with the biological children of their abortive parents; thirdly, motivation of the Indonesian citizens of Chinese descent to adopt children is for the sake of the continuation of clan (‘she’), ancestor worship (voorouder verrering), for the sake the children themselves, the children’s welfare, helping relatives, as a bait for having biological children, and for the sake of the continuance of marriage.

It is recommended that, first, in order to adopt a child in the traditional Chinese ethnic group, the adoption should not be for the sake of the tradition of the Chinese community per se; it should be followed by legal act as it is stipulated in SEMA No. 6/1983; secondly, adoption should need promulgating/validation of the adoption in the District Court and registration in the Registry of Birth, Death, and Marriage Office; thirdly, adopted child protection agency should be established, in case the adoptive parents do not take the responsibility.


(19)

Keluarga dapat diartikan sebagai suatu wadah yang dipergunakan dalam rangka pembinaan dan kesejahteraan setiap orang dan merupakan sarana untuk dapat melanjutkan silsilah keluarga dengan mempunyai keturunan, yakni seorang anak dengan jalan melakukan perkawinan yang sah. Perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga ini, di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang disebutkan “perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KetuhananYang Maha Esa”.1

Pelengkap dari suatu keluarga adalah dengan kelahiran anak. Apabila dalam keluarga telah dikaruniai anak, hendaknya keluarga tersebut memperhatikan kepentingan seorang anak, baik secara rohani, jasmani, maupun perkembangan dalam lingkungan sosialnya.

Anak merupakan tumpuan harapan bagi kedua orang tuanya. Keberadaan anak adalah wujud keberlangsungan suatu keluarga. Keinginan mengembangkan keturunan adalah naluri setiap manusia.2 Untuk kepentingan itu perlu melakukan pernikahan.

1Pasal 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

2Edison,Mengangkat Anak, Dimuat Dalam Majalah Bulanan Jurnal Renvoi, No. 23 Tahun II, April 2010, hal. 4.


(20)

Keluarga tanpa kehadiran seorang anak dapat menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami isteri. Akan tetapi, karena berbagai hal atau alasan tertentu keinginan memperoleh anak tidak dapat tercapai.3 Keadaan demikian berbagai perasaan dan pikiran akan timbul dan pada tataran tertentu tidak jarang perasaan dan pikiran tersebut berubah menjadi kecemasan. Kecemasan tersebut, selanjutnya diekspresikan oleh salah satu pihak atau kedua pihak, suami isteri.

Ketika keturunan berupa anak yang didambakan tidak diperoleh secara natural maka dilakukan dengan cara mengambil alih anak orang lain. Selanjutnya anak tersebut dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut.4 Hal ini sesuai dengan pendapat Tan Pen Wei yang menyatakan bahwa:

“memiliki keturunan merupakan hal yang didambakan oleh setiap keluarga guna meneruskan keturunan dan menambah kebahagiaan keluarga. Terkadang keinginan tersebut tidak dapat terwujud karena terdapat kekurangan dan hambatan diantara pasangan tersebut, sehingga dimungkinkan bagi mereka untuk melakukan pengangkatan anak”.5

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal lembaga adopsi, yang diatur dalam KUHPerdata adalah pengakuan anak luar kawin yaitu dalam bab XII bagian ke III Pasal 280 sampai 290 KUHPerdata, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, pemerintah Belanda pada tahun 1917 mengeluarkan staatblad nomor 129 yang mengatur masalah adopsi bagi golongan masyarakat Tionghoa (Pasal 5 – Pasal 15).6

3Ibid 4Ibid

5Tan, Pen Wei,Masyarakat Tionghoa. www.waspada.co.id, Diakses tanggal 6 April 2013 6Soeroso,Perbandingan hukum perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 178


(21)

Sejak diundangkannya Staatsblaad 1917 No. 129 yo Stbl. 1924-557, maka bagi golongan Timur Asing Tionghoa dinyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam KUH Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa termasuk hukum keluarganya juga memuat ketentuan-ketentuan tentang pengangkatan anak khusus bagi golongan Timur Asing. Hal ini perlu diciptakan di Indonesia karena bagi golongan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa lembaga pengangkatan anak dianggap masih berakar kuat dalam tradisi mereka.7

Hakekatnya perlindungan anak dalam bidang hukum perdata meliputi banyak aspek hukum, diantaranya:

1. Kedudukan anak. 2. Pengakuan anak.

3. Pengangkatan anak (Adopsi). 4. Pendewasaan.

5. Kuasa asuh (hak dan kewajiban) orang tua terhadap anak. 6. Pencabutan dan pemulihan kuasa asuh orang tua.

7. Perwalian (termasuk Balai Harta Peninggalan).

8. Tindakan untuk mengatur yang dapat di ambil guna perlindungan anak. 9. Biaya hidup anak yang ditanggung orang tua akibat perceraian(alimentasi).8

Pengangkatan anak itu pada asasnya semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus (Pasal 14 Stbl 1917 No. 129) dan timbul hubungan kekeluargaan dengan keluarga orang tua angkat, yang semula mungkin saja bukan apa-apanya (Pasal 12 Stbl 1917 No. 129).

7

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan,Hukum Orang dan Keluarga, Airlangga University Press, Surabaya, 1995, hal. 194.

8

Sholeh Soeaidy, & Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001 hal. 17


(22)

Akibat hukum yang paling nyata adalah dalam hukum waris. Anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya ia mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkat dirinya.9

DalamStaatsblaadNomor 129 Tahun 1917, akibat hukum pengangkatan anak tersebut, antara lain:

1) Adopsi menyebabkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan orang tua yang mengangkatnya. Termasuk, jika yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat (adoptandus) tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suaminya.

2) Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal:

a) Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan;

b) Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan; c) Mengenai perhitungan biaya perkara dan penyanderaan; d) Mengenai pembuktian dengan saksi;

e) Mengenai saksi alam pembuatan bukti autentik; 10

Penggolongan penduduk yang diatur dalam Pasal 131 jo Pasal 163 IS tersebut, masih tetap berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : “Segala peraturan perundang-undangan yang ada

9J. Satrio,Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 244


(23)

masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Penggolongan penduduk dan aturan hukumnya masing-masing tersebut di atas oleh Undang-Undang Perkawinan Nasional, yaitu Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga diakui. Hal itu dapat dilihat dalam rumusan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan Nasional tersebut yang mengatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Harta bersama yang dimaksud tersebut dijelaskan oleh Pasal 35 yaitu harta yang diperoleh suami-istri selama mereka masih terikat dalam tali perkawinan yang sah. Sedangkan harta bawaan dan harta yang diperoleh selama masih dalam ikatan perkawinan sah sebagai hadiah atau warisan termasuk harta pribadi suami-istri dan masing-masing suami-istri mempunyai kewenangan untuk mengatur harta benda tersebut, kecuali para pihak menentukan sebaliknya.11

Etnik Tionghoa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia dan khususnya mempunyai keyakinan keagamaan yang lain sama sekali dengan masyarakat yang terdapat di Indonesia.

Sebagai salah satu etnik yang ada di Kota Medan, maka etnik Tionghoa dalam melakukan pengangkatan anak juga berbeda dengan adat etnik lainnya. Berdasarkan data yang diperoleh di Pengadilan Negeri Deli Serdang, bahwa pengangkatan anak, dari data 3 (tiga) tahun terakhir dimulai tahun 2010 sampai 2012 telah terjadi dua

11 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 3-4.


(24)

penetapan pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang Islam pribumi, sedangkan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak ada melakukan permohon penetapan pengangkatan anak tersebut.12

Perbuatan pengangkatan anak bukanlah merupakan perbuatan yang terjadi pada suatu saat, seperti halnya dengan penyerahan barang, melainkan merupakan suatu rangkaian kejadian hubungan kekeluargaan yang menunjukkan adanya cinta kasih, kesadaran yang penuh dan segala akibat yang ditimbulkan dari pengangkatan anak tersebut.

Pengangkatan anak di kalangan masyarakat Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa merupakan suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan karena menurut tradisi seorang anak laki-laki harus mempunyai anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan(patrilineal).13

Keinginan untuk membahas dan mengerti masalah pengangkatan anak menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional demi pengayoman di bidang hukum dan kesejahteraan sosial yang bersangkutan, patut disambut dan di hargai.14

Menurut hukum adat Tionghoa, seharusnya yang masuk dalam preferensi

pertama diadopsiadalah keluarga sedarah dari generasi yang tepat di bawah generasi

adoptan, seperti anak laki-laki dari seorang saudara laki-laki, kemudian lebih jauh,

12Wawancara dengan Rusman Nasution, Pegawai Kasi Urusan Perdata di Pengadilan Negeri Deli Serdang , tertanggal 13 Mei 2013. Ditambahkan juga bahwa dengan tidak dilakukan permohonan penetapan pengangkatan anak tersebut, hak anak tersebut tidak dapat dilindungi secara hukum.

13Lilik Mulyadi, Adopsi Menurut Tradisi Tionghoa, http://www.etnispikiranrakyat.com, diakses pada tanggal 10 April 2013.


(25)

anak laki-laki dari sepupu laki-laki dari paman, karena nantinya anak adopsi dan anak-anak adoptan sendiri akan berada dalam generasi yang sama.

Masyarakat Tionghoa yang telah mengenal lembaga adopsi berdasarkan hukum keluarga Tionghoa sangat kental dengan tradisi adopsi, terutama bagi keluarga yang tidak mempunyai anak atau tidak memiliki keturunan laki-laki demi meneruskan eksistensi marga keluarga dan pemujaan atau pemeliharaan abu leluhur.15

Perkembangan hukum dan masyarakat dimungkinkan pengangkatan anak perempuan, dalam hal ini secara otomatis kedudukan anak angkat perempuan ini dipersamakan dengan anak angkat laki-laki. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 907/1963 tertanggal 29 Mei 1963 yang menetapkan tentang pengangkatan anak perempuan. Adapun dasar pertimbangan tersebut dikarenakan hukum adat Tionghoa mengenai pengangkatan anak telah lama meninggalkan sifat patrilineal, sehingga sekarang lebih bercorak parental.16

Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak tersebut berbeda–beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain.

15Lilik Mulyadi,Op.Cit.

16Soedharyo Soimin, SH, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 78.


(26)

Masyarakat Indonesia telah mengenal sistem pengangkatan anak yang bersifat informal yang pengaturannya sesuai hukum adat yang berlaku di lingkungan adatnya masing-masing. Pengaturan pengangkatan anak secara formal dilakukan berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 dan SEMA Nomor 6 Tahun 1983 jo SEMA Nomor 4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak yang Berlaku bagi Warga Negara Indonesia.

Menurut adat, alasan dilakukannya pengangkatan anak adalah sebagai berikut:17

1) Karena tidak mempunyai anak

2) Karena belas kasihan kepada anak, disebabkan orang tuanya tidak mampu membiayai.

3) Karena yatim piatu.

4) Telah mempunyai anak kandung sendiri tetapi semua laki-laki atau semua perempuan.

5) Atas dasar kepercayaan sebagai pemancing bagi yang tidak atau belum punya anak kandung.

6) Untuk mempererat hubungan kekeluargaan. 7) Untuk menjamin hari tua

Praktek pengangkatan anak telah lama melembaga di berbagai suku bangsa di tanah air, akan tetapi aturan hukum yang mengatur mengenai hal itu sampai saat ini

17


(27)

belum memadai. Di sisi lain, pengesahan pengangkatan anak tersebut telah diklaim sebagai lembaga hukum yang menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Negeri.

Pengangkatan anak pada mulanya dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam sebuah keluarga yang tidak mempunyai anak atau sebagai pancingan agar setelah mengangkat anak, diharapkan keluarga tersebut dapat dikaruniai anak. Tetapi dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuanadopsilebih ditujukan demi kesejahteraan anak, seperti yang telah diatur dalam Pasal 28 B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tercantum pula dalam Pasal 12 ayat (1) Undang– Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, yang menyatakan “pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.18

Jadi pelaksanaan pengangkatan anak atauadopsidi Indonesia diselenggarakan bukan hanya dengan memperhatikan kepentingan orang tua angkatnya saja, tetapi juga dengan memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan anak yang akan dijadikan sebagai anak angkat. Dan untuk menjamin kepastian hukum dari pelaksanaan pengangkatan anak tersebut, maka hal ini diatur dalam undang-undang.19

Pengangkatan anak bagi masyarakat Tionghoa dimaksudkan supaya anak itu menjadi anak dari orang tua angkatnya dan pengangkatan anak itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak itu baik secara lahir maupun batin merupakan anak sendiri. Struktur keluarga yang ideal dalam masyarakat Tionghoa adalah keluarga

18Pasal 12 ayat (1) Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak 19Djaja S. Meliala, Adopsi (Pengangkatan Anak) Dalam Jurisprudensi,Tarsito, Bandung, 1996, hal. 18.


(28)

yang terdiri dari suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga dan dilengkapi anak-anak sebagai anggota keluarga. Oleh karena itu kehadiran anak dalam keluarga merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam struktur keluarga yang bahagia. Dengan hadirnya anak suasana keluarga dalam rumah tangga terasa ceria penuh canda dan kemanjaan.

Pengangkatan anak dalam waktu terakhir ini banyak diperbincangkan dalam masyarakat karena motif melakukan pengangkatan anak bukan saja karena pasangan suami isteri itu tidak mempunyai anak tetapi terdapat motif-motif lain orang melakukan pengangkatan anak.20

Pengangkatan anak dimaksudkan untuk melanjutkan keturunan atau sebagai generasi penerus. Bahkan menurut hukum adat masyarakat Tionghoa anak sebagai upaya memancing kelahiran anak kandung berikut atau dengan pengangkatan.21Anak yang diangkat tersebut diperlakukan sebagai anak sendiri, tidak dirasakan lagi dari mana asal anak tersebut dengan demikian diberi status anak dari orangtua yang mengangkatnya.

Pengangkatan anak menurut masyarakat keturunan Tionghoa kebanyakan berdasarkan:

a. Apabila anak yang akan diangkat berasal dari lingkungan keluarga sendiri atau kerabat dari orang yang mengangkat maka pada umumnya pengangkatan

20B. Bastian Tafal,Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya Di Kemudian Hari, Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hal. 18.

21Sistem Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Indonesia,

http://burgerawa.wordpress.com/2012/12/31/sistem-pengangkatanadopsi-anak-dalam-hukum-adat-indonesia/, diakses pada tanggal 10 April 2013.


(29)

dilakukan secara diam-diam yang dirahasiakan oleh anggota keluarga. Artinya tanpa diadakan acara syukuran tapi diketahui oleh ketua adat dan ketua RT setempat.

b. Jika anak yang diangkat berasal dari luar lingkungan keluarga orang tua yang mengangkat, biasanya dilakukan secara terang dan tunai. Artinya pengangkatan itu diramaikan oleh keluarga terdekat dan para tetangga dengan mengadakan acara syukuran. Maksudnya agar sewaktu-waktu anak tersebut tidak dapat ditarik oleh orang tua kandungnya.22

Fakta yang terjadi dilapangan bahwa pengangkatan anak tersebut pada umumnya dilakukan dengan tradisional tanpa melalui Pengadilan setempat. Menghadapi dilema tersebut, bahwa tidak selalu perbuatan yang diatur itu berarti dilarang atau dibolehkan, tetapi harus dilihat secara kasuistis.23

Pengadilan negari Medan dari tahun 2012 sampai 2013 sekitar 11 pemohon pengangkat anak yang dilakukan pemohon ke Pengadilan, hanya satu pemohon yang dilakukan warga keturunan cina (pemohonan Nomor 7547/ PDPT.2012/PN MDN) yang sudah ditetapkan oleh Mejelis Hakim.24

Pengangkatan anak sebenarnya bukanlah merupakan suatu hal aneh bagi masyarakat Indonesia karena tujuan dan akibat hukum pengangkatan anak ini sangat

22 Risko El Windo Al Jufri, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada

Masyarakat Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa di Jambi,

http://eprints.undip.ac.id/24512/1/RISKO_EL_WINDO_AL_JUFRI-01.pdf , diakses pada tanggal 10 April 2013.

23Sudikno Mertokusumo,Op.Cit,hal. 64.

24Wawancara dengan Rita Staf Pegawai Pengadilan Negeri Medan , tanggal 20 Oktober 2013.


(30)

penting dalam kehidupan masyarakat baik sebagai suatu cara untuk meneruskan keturunan, maupun sebagai perwujudan dari perasaan kasihan.25 Pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum baik terhadap anak yang diangkat maupun bagi orang yang mengangkat. Salah satu akibat hukum itu adalah terhadap harta waris orangtua yang mengangkat anak tersebut jika meninggal dunia.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul: “Analisis Hukum Terhadap Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum pengangkatan anak pada warga Tionghoa di Kota Medan ?

2. Bagaimana akibat hukum dari pengangkat anak dalam hukum adat masyarakat Tionghoa di Kota Medan ?

3. Apa motivasi masyarakat warga keturunan Tionghoa mengangkat anak di Kota Medan ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

25Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak,Bumi Aksara, Jakarta, 1999 hal. 36.


(31)

1. Untuk mengkaji pengaturan hukum pengangkatan anak terhadap warga Tionghoa di Kota Medan

2. Untuk mengkaji akibat hukum dari pengangkat anak dalam hukum adat masyarakat Tionghoa di Kota Medan.

3. Untuk mengkaji motivasi masyarakat warga keturunan Tionghoa mengangkat anak di Kota Medan.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat secara teoritis, dapat memperkaya kasanah pengetahuan di bidang hukum perdata khususnya mengenai pelaksanaan pengangkatan anak dan pewarisan pada keluarga Tionghoa di Kota Medan, sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan hukum perdata Indonesia.

2. Manfaat praktis, hasil dari penulisan tesis ini diharapkan akan memberikan pemahaman yang jelas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan masalah pelaksanaan pengangkatan anak serta pola kewarisan pada keluarga Tionghoa di Kota Medan, serta dapat berguna bagi para pembaca yang tertarik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak atauadopsi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Analisis Hukum


(32)

Terhadap Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan“ belum ada yang membahasnya.

Namun ada beberapa judul penelitian sebelumnya yang membahas masalah harta bersama, seperti penelitian yang dilakukan oleh :

1. M. Rizal (992105055), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Adat, KUH Perdata Dan Hukum Islam”.

2. Laila Rohani (002105013), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Dalam Waris Bagi Masyarakat Melayu Tanjung Pura Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan KUH Perdata”.

3. Desmiyarni (002111005), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Hak Dan Kedudukan Anak Angkat Atas Harta Peninggalan Orang Tua Angkatnya Pada Masyarakat Minangkabau (Kajian di Jorong Seberang Piruko Kecamatan Koto Baru Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung)”.

4. Rahmat Jhowanda (087011012), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat)”.

5. Johan Agustian (117011090), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Adat Minangkabau di Negeri Ampang Kuranji Kabupaten Dharmasraya”.

6. Denilah Shofa Nasution (017011010), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin Yang


(33)

Diakui Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya (Kajian Pada Etnis Tionghoa Di Kota Tebing Tinggi)”.

7. Rehbana (017011052), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Kedudukan Anak Terhadap Harta Warisan Orangtuanya Yang Perkawinannya Tidak Dicatatkan Di Kantor Catatan Sipil Pada Masyarakat Tionghoa Di Kota Medan”.

Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.26

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan-penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.27

26

M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Penerbit Mandar Madju, 1994, hal. 80. 27


(34)

Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori perlindungan hukum, khususnya teori perlindungan hukum terhadap kedudukan anak angkat dalam hukum waris. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles dan Zeno, yang menyatakan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.28

Perlindungan hukum menurut Hadjon meliputi dua macam perlindungan hukum bagi rakyat meliputi:

1. Perlindungan Hukum Preventif : dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

2. Perlindungan Hukum Represif; dimana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.29

Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri Negara Hukum Pancasila ialah:

28Ninik Wauf, Kajian Teori Perlindungan Hukum,

www.hnikawawz.blogspot.com/2011/11/kajian-teori-perlindungan-hukum.html, diakses pada tanggal 3 Mei 2013.

29Fauzie Yusuf Hasibuan, Teori Perlindungan Hukum,

http://fauzieyusufhasibuan.wordpress.com/2009/12/12/peranan-lembaga-anjak-piutang-dalam-ekonomi-indonesia/,diakses pada tanggal 20 April 2013.


(35)

a. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan.

b. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan Negara c. Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan

sarana terakhir.

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.30

Hukum merupakan suatu kaedah atau norma yang berfungsi untuk mengatur berbagai kepentingan dan tuntutan di dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa setiap warga memiliki kepentingan dan tuntutan yang harus disesuaikan antara warga masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Pokok-pokok ajaran mahzab historis yang diuraikan Savigny dan beberapa pengikutnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

a) Hukum ditemukan tidak dibuat. Pertumbuhan hukum pada dasarnya adalah proses yang tidak disadari dan organis, oleh karena itu Perundang-undangan adalah kurang penting dibandingkan dengan adat kebiasaan.

b) Karena hukum berkembang dari hubungan-hubungan hukum yang mudah dipahami dalam masyarakat primitif ke hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern kesadaran umum tidak dapat lebih lama lagi menonjolkan dirinya secara langsung, tetapi disajikan oleh para ahli hukum yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis. Tetapi ahli hukum tetap merupakan suatu organ dari kesadaran umum terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang ia temukan sebagai bahan mentah (Kesadaran umum ini tampaknya oleh Scholten disebut sebagai kesadaran hukum). Perundang-undangan menyusul pada tingkat akhir; oleh karena ahli hukum sebagai pembuat undang-undang relatif lebih penting daripada pembuat undang-undang.

c) Undang-undang tidak dapat berlaku atau diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa adat-istiadat dan konstitusi yang khas. Savigny menekankan bahwa bahasa

30 Teori Perlindungan Hukum, http://anamencoba.blogspot.com/2011/04/teori-perlindungan-hukum-dalam-melihat.html, diakses pada tanggal 22 April 2013.


(36)

dan hukum adalah sejajar juga tidak dapat diterapkan pada masyarakat lain dan daerah-daerah lain. Volkgeist dapat dilihat dalam hukumnya oleh karena itu sangat penting untuk mengikuti evolusi Volkgeist melalui penelitian hukum sepanjang sejarah.31

Roscoe Pound memandang hukum sebagai realitas sosial yang mengatur warga masyarakatnya. Adapun definisi Roscoe Pound yang menyatakan bahwa dalam kehidupan setiap orang dalam masyarakat akan memiliki 3 (tiga) tuntutan yaitu: a) Untuk menguasai harta benda dan kekayaan alam termasuk tanah.

b) Untuk dapat memperoleh pemenuhan keuntungan.

c) Adanya jaminan terhadap campur tangan orang lain yang dapat menimbulkan gangguan.32

Tuntutan dan kepentingan manusia tersebut mengalami perkembangan sehingga muncul adanya 2 (dua) teori yang menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk individu (teori kodrat, teori psikologis) dan teori yang menyatakan manusia sebagai makhluk sosial (teori historis, teori positif, dan teori sosiologis).

Masyarakat Tionghoa memiliki cara tersendiri dalam mengembangkan dan mempertahankan komunitas mereka, diantaranya dan lazim adalah melalui pernikahan secara adat dan kultur kebudayaan yang diyakini dan semua terangkum sebagai Hukum Adat Tionghoa.

Sistem kewarisan dalam hukum adat terbagi atas 3 (tiga) bagian yaitu: a) Sistem Pewarisan Individual.

31Abdul Kadir Muhammad. Hukum Perdata Indonesia.PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2000, hal. 26


(37)

Misalnya:Pada susunan kekeluargaanbilateral(Jawa) dan susunan kekeluargaan

patrilineal(Batak). b) Sistem Pewarisan Kolektif

Misalnya: Harta pusaka tinggi di Minangkabau,Tanah datidi Ambon. c) Sistem PewarisanMayorat.

Misalnya: di Bali, Lampung, dan lain-lain.33

Pernikahan berdasarkan adat istiadat yang dianut sering kali tidak dapat mencapai tujuan suatu pernikahan, yaitu untuk membangun dan membina keluarga serta untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan. Seharusnya suatu perkawinan diikuti dengan keinginan untuk memiliki keturunan, dan hal tersebut sering terwujud dengan keturunan dan masyarakat Tionghoa mengakui keturunan tersebut merupakan titipan Tuhan Yang Maha Esa. Namun ada kalanya perkawinan dimaksud gagal memiliki keturunan.

Perkawinan yang telah memiliki keturunan ataupun tidak, dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa sering melakukan upaya-upaya pendorong guna mengadopsi, mengasuh, memelihara, ataupun merawat seorang anak dengan berbagai alasan. Andi Hamzah, menyatakan bahwa alasan dan tujuan pengangkatan anak ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk melangsungkan keturunan

2) Untuk melanjutkan dan memelihara harta benda

3) Dapat juga anak angkat dilakukan untuk pemeliharaan belaka


(38)

4) Untuk memasukkan seorang kedalam masyarakat hukum.34

Sholeh Soeaidy dan Zulkhair menyebutkan alasan pengangkatan anak yaitu: 1) Tidak memiliki keturunan sama sekali atau pun belum memiliki anak laki-laki. 2) Kesetiakawanan sosial.

3) Pancingan untuk memperoleh keturunan dalam perkawinan. 4) Mengurus masa hari tua karena tidak memiliki.35

Pada penulisan tesis ini akan dibahas dan diteliti mengenai pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (domestic adoption), khususnya golongan WNI keturunan Tionghoa.

2. Kerangka Konseptual

1. Anak angkat adalah anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.36

2. Adopsiadalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

3. Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang tua yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.37

34

Andi Hamzah,Kedudukan Anak Angkat Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum Adat, Fakultas Hukum USU.Deli Serdang, 1995, hal. 10

35

Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001, hal. 25

36WJS.Poerwadarminta.Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN.Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 31 37

Soerojo Wignjodipoero,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1990, hal. 117


(39)

4. Hukum waris adat adalah keseluruhan pertaturan hukum dan peraturan-peraturan adat yang mengatur tentang peralihan maupun penerusan harta warisan dengan segala akibatnya baik dilakukan semasa pewaris masih hidup maupun sesudah meninggal dunia.38

5. Masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.39

6. Tionghoa adalah masyarakat yang berasal dari timur asing (Tionghoa) yang bermukim di wilayah Indonesia baik telah menjadi WNI ataupun belum.40

7. Masyarakat Tionghoa adalah suatu perkumpulan/ komunitas yang berasal dari timur asing (Tionghoa) yang masuk dan bermukim diwilayah Indonesia kemudian secara langsung disamakan sebagai WNI ataupun kemudian hari atas inisiatif sendiri bermaksud menjadi WNI.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah upaya untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan dimana usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.41

1. Spesifikasi Penelitian

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan ini menggunakan jenis penelitian hukum yuridis normatif.

38Febbe Joesiaga, SH, Pelaksanaan Pembagian Warisan Secara Adat Pada Masyarakat Tionghoa di Kota Surakarta,www.eprints.undip.ac.id/17357/1/FEBBE_JOESIAGA.pdf, diakses pada tanggal 3 Mei 2013.

39WJS. Poerwadarminta,Op.Cit, hal. 281 40Tan Pen Wei,Op.Cit.


(40)

Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yaitu meneliti terhadap bahan pustaka atau bahan sekunder. Penelitian hukum normatif atau yuridis normatif merupakan penelitian yang terdiri dari:

1) Penelitian terhadap asas-asas hukum 2) Penelitian terhadap sistematika hukum 3) Penelitian sejarah hukum

4) Penelitian perbandingan hukum.42 b. Sifat Penelitian

Penelitian ini adalah deskriptif analitis karena hanya akan memaparkan obyek yang diteliti, diselidiki dengan menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori–teori hukum dan praktek pelaksanaan perundang– undangan yang menyangkut permasalahan di atas.

2. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif didukung dengan data yuridis sosiologis.

Abdulkadir Muhammad, mengatakan bahwa :

Penelitian hukum normatif didukung data empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Implementasi secara

in action tersebut merupakan fakta empiris dan berguna untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh negara atau oleh pihak-pihak dalam kontrak. Implementasi secara in action diharapkan akan berlangsung


(41)

sempurna apabila rumusan ketentuan hukum normatifnya jelas dan tegas serta lengkap.43

Pendekatan yuridis sosiologis (socio legal research) digunakan agar dapat diungkap dan didapatkan makna yang mendalam dan rinci terhadap objek penelitian dan narasumber.

Sehubungan dengan metode penelitian yang digunakan tersebut, yaitu dengan cara meneliti peraturan-peraturan, perundang-undangan, keputusan-keputusan Pengadilan, surat-surat edaran maupun yurisprudensi, majalah-majalah hukum, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para sarjana hukum terkemuka yang merupakan data sekunder, kemudian dikaitkan dengan keadaan yang sebenarnya, yaitu dalam praktek notariat dilapangan, serta mempelajari gejala-gejala permasalahan yang timbul dalam praktek kaitannya dengan perlindungan hukum hak waris anak angkat keturunan Tionghoa.

Digunakan juga bahan-bahan hukum yang berupa sumber hukum dalam arti formil (peraturan perundang-undangan) dan studi kepustakaan, pendekatan yang bertujuan untuk memperoleh peraturan-peraturan yang berlaku dan pengetahuan tentang keadaan masyarakat pada waktu itu, sehingga peraturan itu dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

3. Lokasi Penelitian

Pentingnya penjelasan mengenai gambaran umum lokasi penelitian dikarenakan lokasi penelitian memiliki aspek penting yang menentukan dimana fokus

43Abdul Kadir Muhammad,Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 134


(42)

penelitian dilakukan, dimana lokasi penelitian ini terletak di wilayah administratif Kota Medan.

Dipilihnya Kota Medan sebagai lokasi penelitian dengan alasan bahwa Kota Medan adalah salah satu Kota yang banyak dihuni oleh etnik Tionghoa.

4. Alat Pengumpul data

Informan yang akan diteliti oleh penulis dalam hal ini adalah pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak di Kota Medan, yakni:

1) Data primer:

a) Orang tua yang melaksanakan pengangkatan anak pada keluarga keturunan Tionghoa di Kota Medan.

b) Pemuka adat Tionghoa di Kota Medan.

Adapun alat yang dipergunakan untuk memperoleh data tersebut adalah:

a) Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dan diajukan terhadap informan yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu 5 (lima) anak atau orang tua angkat.

b) Observasi, yaitu mengadakan penelitian langsung pada obyek yang diteliti. Data yang diperoleh dari hasil observasi dianalisis dan disimpulkan.

2) Data sekunder adalah data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam dokumen dan publikasi.44 Dengan kata lain data tersebut didapat melalui studi


(43)

kepustakaan maupun dokumen-dokumen yang diperoleh pada waktu awal penelitian, maupun pada saat penelitian dilapangan.

5. Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh disusun secara sistematis, kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari secara utuh.45

Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan mengambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.46

45H.B. Sutopo. Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta. 1998, hal. 37

46Ronny Hanitijo Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 51


(44)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK PADA WARGA TIONGHOA DI KOTA MEDAN

A. Kedudukan Hukum Anak Dalam Hukum Keluarga

Menurut M. Yahya Harahap yang dikutip oleh Denilah Shofa Nasution bahwa dari defenisi perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditemui beberapa pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu :

1) Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

2) Ikatan lahir batin dan ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera.

3) Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.47

Dari pengertian di atas jelas terlihat bahwa perkawinan itu bukanlah semata-mata sekedar hubungan keperdataan, akan tetapi merupakan ikatan yang suci yang melibatkan agama dan sosial sebagai suatu indikator keabsahan suatu perkawinan. Hal ini juga dapat diperhatikan dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa :

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kepercayaan, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai

47Denilah Shofa Nasution,Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Yang Diakui Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya (Kajian Pada Etnis Tionghoa di Kota Medan),Tesis Program


(45)

peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familie recht (Belanda) ataulaw of family(Inggris). Ali Afandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.48

Sedangkan menurut Algra, dkk, yang dikutip oleh Salim HS, menyebutkan bahwa hukum keluarga adalah mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan keluarga. Yang termasuk dalam hukum keluarga ialah peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian.49

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 298 disebutkan bahwa: tiap-tiap anak dalam umur berapa pun juga, wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap Bapak dan Ibunya. Si Bapak dan si Ibu keduanya wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 45 sampai dengan Pasal 49, mengatur tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak, sebagai berikut:

1. Pasal 45 mengatakan “kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak-anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri”.

48Ali Afandi,Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian,Rieneka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 93.


(46)

2. Pasal 46 mengatakan “anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik dan jika telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya”.

3. Pasal 47 mengatakan “anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya dan orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.

4. Pasal 48 mengatakan “orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan pembatasan apakah hal tersebut hanya berlaku terhadap anak sah, anak angkat ataupun anak di luar kawin. Kondisi ini merupakan kondisi yang ideal yang diharapkan oleh undang-undang untuk hubungan antara seorang anak dengan orang tuanya.


(47)

B. Pengangkatan Anak Angkat

Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”50.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyebutkan :

“Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan Pengadilan”.

Hukum adat mengenal 2 (dua) macam pengangkatan anak, yaitu51:

1. Pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap keluarga, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai). Akibatnya hubungan hukum antara anak dengan orang tua biologisnya putus.

2. Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat.

50Muderis Zaini,Adopsi (Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum),Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 32

51Suci Wulansari,Pengangakatan Anak,

http://forumadopsianak.wordpress.com/2012/04/11/pengangkatan-anak/ , diakses pada tanggal 10 Agustus 2013.


(48)

Pengangkatan anak model ini, akibatnya tidak memutuskan hubungan antara anak tersebut dengan orang tua aslinya. Oleh karena itu ia mewaris dari 2 (dua) sumber yaitu dari orang tua asli atau orang tua biologisnya dan orang tua angkatnya. Pelaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam lazimnya dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.52

Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya, yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, hubungan anak tersebut dengan orang tua biologisnya putus dan ia masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya serta mewaris dari orang tua angkatnya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak mewaris dari orang tua aslinya.

Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi.

1. Pengertian secara etimologi, pengangkatan anak merupakan terjemahan dari kata “adoptie” (bahasa Belanda) atau “adopt” (bahasa Inggris). Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. Sedangkan dalam bahasa Inggris berarti pengangkatan anak dalam keluarga.

2. Pengertian secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa


(49)

pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.53 Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak adalah “suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.54

Berdasarkan tuntutan masyarakat dan karena dalam KUHPerdata tidak ada aturan tentang pengangkatan anak, sedang pengangkatan anak itu sendiri sangat lazim terjadi di masyarakat, maka pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri tentang pengangkatan anak.

Pada tahun 1917, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl. No. 129, khusus Pasal 5 sampai 15 mengatur masalah pengangkatan anak untuk golongan masyarakat Tionghoa. Sejak saat itulah Stbl. 1917 No. 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur adopsi bagi kalangan masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing.55

Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum yang termasuk perbuatan hukum di bidang hukum perdata dan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, bagaimanapun juga lembaga pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan.

Pengangkatan anak dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu pengangkatan anak dari aspek kepastian hukum status anak yang diangkat dan aspek kesejahteraan sosial, yaitu meningkatkan kesejahteraan anak.

Adapun ketentuan hukum tentang pengangkatan anak yang dapat dikategorikan berlaku bagi anak angkat golongan WNI keturunan Tionghoa adalah:

53WJS. Poerwadarmina,Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1998,, hal. 4

54Iman Sudiyat,Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 102 55Muderis Zaini,Op. Cit., hal. 33


(50)

1. Stbl. 1917 No. 129.

Pengangkatan anak yang khusus berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa (istilah yang digunakan untuk pengangkatan anak dalam ketentuan ini adalah

“adoptie”). Menurut ketentuan ini yang dapat mengangkat anak adalah seorang laki-laki atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya.56

Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 disebutkan bahwa yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri dan tidak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain. Orang yang diangkat harus paling sedikitnya 18 tahun lebih muda dari pada suami dan paling sedikitnya 15 tahun lebih muda dari pada si isteri atau janda yang mengangkatnya.57

Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya serta terputus hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak bagi orang-orang golongan Warga Negara Indonesia

56Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5.


(51)

keturunan Tionghoa sebagaimana diatur dalam Stbl. 1917 No. 129 adalah untuk meneruskan atau melanjutkan keturunan dalam garis laki-laki.58

Namun ketentuan-ketentuan dalam Staatsblaad 1917 telah mengalami perubahan dan perkembangan antara lain dengan adanya putusan dari beberapa Pengadilan Negeri seperti yang dikemukakan dalam media ‘PROJUSTITIA’ yang antara lain disebutkan:59

a. Pada tahun 1963 telah terjadi pengangkatan anak perempuan yang dilakukan oleh Pengadilan Negei Istimewa Jakarta dalam putusannya tanggal 29 Mei 1963 Nomor 907/1963;

b. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 17 Oktober 1963 Nomor 588/1963 G, yang sering disebut Jurisprudensi untuk pengangkatan anak perempuan;

c. Penetapan Pengadilan Negeri Bandung dalam penetapannya tanggal 26 Pebruari 1970 Nomor 32/1970 mengenai pengangkatan anak perempuan oleh seorang wanita yang tidak menikah, dengan pertimbangan sebagai berikut:

“menimbang, bahwa menurut hemat kami yang harus dipertimbangkan lebih dari segalanya adalah kepentingan dari pada si anak dan seterusnya” 2. UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam ketentuan UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dengan jelas disebutkan bahwa motif pengangkatan anak yang dikehendaki dalam

58 Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, CV. Pionir Jaya, Bandung, 2000, hal. 18


(52)

pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu demi kepentingan kesejahteraan anak. Dapat diketahui dari perumusan ketentuan Pasal 12 yang selengkapnya berbunyi:

(a)Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.

(b)Kepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

(c)Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.60

Sedangkan yang dimaksud dengan kesejahteraan anak dalam UU ini adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.61 3. UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak Indonesia. Kenyataan yang kita jumpai sehari-hari di dalam masyarakat masih banyak kita jumpai anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan yang kompleks yang memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat.

60Pasal 12 UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak


(53)

Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Yang mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak yang dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.

Dalam Bab VIII bagian kedua ketentuan UU ini, yaitu yang mengatur tentang pengangkatan anak. Dalam Pasal 39 disebutkan bahwa:

(a) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(b) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.

(c) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

(d) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

(e) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.62


(54)

Sedangkan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak diatur dalam ketentuan Pasal 41 yang berbunyi:

(a)Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.

(b)Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah).

4. Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan No. JHA 1/1/2 tanggal 24 Pebruari 1978 tentang Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia oleh Orang Asing.

Berdasarkan Surat Edaran tersebut, pengangkatan anak Warganegara Indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan Pengadilan Negeri. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta Notaris yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri.63 Selanjutnya dalam Surat Edaran tersebut ditentukan pula syarat-syarat permohonan pengangkatan anak WNI oleh orang asing dan ditentukan bahwa: a. Permohonan itu harus diajukan di Pengadilan Negeri di Indonesia (di mana

anak yang akan diangkat berdiam).

b. Pemohon harus berdiam atau berada di Indonesia, dan pemohon beserta isteri harus menghadap sendiri dihadapan hakim, agar hakim memperoleh keyakinan bahwa pemohon betul-betul cakap dan mampu untuk menjadi orang tua angkat.

63Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 , hal. 29


(55)

c. Pemohon beserta isteri berdasarkan peraturan perundang-undangan negaranya mempunyai surat izin untuk mengangkat anak.64

Surat Edaran ini ditujukan kepada semua Notaris, wakil Notaris sementara dan Notaris pengganti di seluruh Indonesia serta berdasarkan alasan karena pada saat itu jumlah pengangkatan anak WNI oleh orang asing ternyata makin meningkat.

5. SEMA RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak.

Dalam Surat Edaran ini ditentukan antara lain tentang syarat-syarat permohonan pengesahan/ pengangkatan anak antara WNI oleh orang tua angkat WNA (inter country adoption), pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption) dan juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang Warga Negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption).65

Surat Edaran tersebut ditujukan kepada semua Ketua, Wakil Ketua, Hakim-hakim Pengadilan Tinggi dan semua Ketua, Wakil Ketua, Hakim-Hakim-hakim Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia.

Surat Edaran ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan pengamatan Mahkamah Agung yang menghasilkan kesimpulan bahwa

64Ibid, hal. 30

65Rahmat Jhowanda,Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh (Studi Kabupaten Aceh Barat),Tesis, Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan, 2010, hal. 47.


(56)

permohonan pengesahan pengangkatan anak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak semakin hari semakin bertambah baik yang merupakan suatu bagian tuntutan gugatan perdata, maupun yang merupakan permohonan khusus pengesahan pengangkatan anak. Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum untuk itu hanya didapat setelah memperoleh suatu keputusan Pengadilan.66

6. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984, tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak.

Surat Keputusan Menteri Sosial yang mengatur tentang petunjuk pelaksanaan perizinan pengangkatan anak ini dirasa perlu untuk melengkapi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983.

Dalam Bab II, lampiran Keputusan Menteri tersebut menyebutkan bahwa petunjuk pelaksanaan ini merupakan suatu pedoman dalam rangka pemberian izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat adanya kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.67

Pengangkatan anak dalam petunjuk pelaksanaan ini meliputi:

66Husnah,Pelaksanaan Pengangkatan Anak (adopsi) yang Dilakukan oleh Warga Masyarakat di Indonesia,Skripsi Universitas Indonesia,Depok, 2009


(57)

d. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia khusus yang berada dalam asuhan organisasi sosial.

e. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing. f. Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia. 7. SEMA RI No. 4 tahun 1989, tentang Pengangkatan Anak.

Dalam SEMA ini, menyebutkan bahwa mengulang-tegaskan kepada seluruh Pengadilan Negeri untuk mengirimkan salinan putusan/penetapan Pengadilan Negeri mengenai pengangkatan anak kepada instansi terkait dan satu salinan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.68

Dalam SEMA ini juga menyebutkan bahwa sehubungan dengan pengangkatan anak, yaitu untuk lebih mengetahui dan meneliti keadaan para pemohon, anak yang akan diangkat dan orang tua kandung beserta kelengkapan dan kebenaran surat-surat bukti yang harus dipenuhi, maka dalam hal menerima, memeriksa dan mengadili permohonan/pengesahan pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (domestic adoption), harus disertai surat keterangan/ laporan sosial atas dasar penelitian petugas/pejabat social setempat dari pemohon/calon orang tua angkat WNI, anak yang akan diangkat dan orang tua kandung WNI sebagai salah satu alat/surat bukti.69

68Ibid, hal. 40 69Ibid


(58)

C. Prosedur dan Syarat-Syarat Pengangkatan Anak.

Di negara Indonesia belum ada ketentuan hukum tentang pengangkatan anak yang bersifat nasional. Sedangkan dalam praktek, prosedur pengangkatan anak dilakukan dengan dua cara yaitu melalui:

1) Prosedur formal, yaitu dengan adanya penetapan dari PN. 2) Prosedur informal, yaitu menurut adat/kebiasaan masyarakat.

Pengangkatan anak secara informal sering menimbulkan sengketa di kemudian hari dalam penetapan apakah anak angkat tersebut menjadi ahli waris atau bukan dari subjek yang mengangkat (adoptan) karena tidak adanya bukti tertulis.

Pengangkatan anak WNI keturunan Tionghoa menggunakan prosedur pengangkatan anak secara formal, yaitu melalui penetapan dari Pengadilan Negeri.70

Prosedur formal pengangkatan anak bagi WNI golongan Tionghoa sebelum dikeluarkan SEMA No. 2 tahun 1979, yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak, yang berwenang melakukan pengangkatan anak adalah Notaris.71 Dalam Stbl. 1917 nomor 129, Bab II Pasal 10 ayat (1), diatur tentang pengangkatan anak, yang berisikan bahwa pengangkatan anak hanya dapat terjadi dengan adanya akta Notaris dan Pasal 10 ayat (4) Stbl. 1917 No. 129 menentukan bahwa “Setiap orang yang berkepentingan dapat meminta agar pada akta kelahiran orang yang diangkat, pada sisi akta itu dicantumkan tentang pengangkatan anak itu”.

70Edison,Op.Cit, hal. 5.


(59)

Penetapan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak adalah salah satu dokumen hukum pengangkatan anak yang sangat penting, karena dengan ditetapkannya seorang anak menjadi anak angkat dari suatu pasangan suami isteri sebagai orang tua angkatnya, maka dapat dipandang bahwa anak angkat tersebut seolah-olah sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga itu, dengan segala hak dan kewajibannya yang dipersamakan dengan anak kandung.72

Setelah dibuatnya akta Notaris mengenai pengangkatan anak, akta tersebut di daftarkan di Kantor Catatan Sipil dan di Kantor Catatan Sipil akta tersebut di catat pada margin/pinggir akta lahir anak tersebut, kemudian akan dikeluarkan petikan akta kelahiran yang baru yang menyebutkan bahwa anak tersebut adalah anak dari orang tua angkat yang mengangkatnya.73

Dalam hal terjadinya pemalsuan pada Akta Kelahiran misalnya merubah tempat kelahiran dan tahun kelahiran, dapat dikategorikan sebagai perbuatan memasukan sebuah keterangan yang tidak benar atau palsu ke dalam akta otentik, dimana akta lahir anak tersebut berisi keterangan yang tidak benar dapat diancam dengan ancaman pidana Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Namun hal penting yang harus diingat disini ialah, Akta kelahiran yang dikeluarkan tersebut harus tetap dianggap benar isinya sampai ada putusan

72Rahmat Jhowanda,Op.Cit,hal. 42.

73Pasal ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A, Pitlo dan M. Isa Marif, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda,Intermasa, Jakarta, Cetakan I, 1989.

Adi, Rianto,Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004.

Afandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rieneka Cipta, Jakarta, 1997.

Amanat, Anisitus, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Ashshofa, Burhan,Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2004. Dellyana, Shanty,Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004. Djojodiguno, M dan R. Tirtawinata dalam Irma Setyowati Soemitro, Aspek

Hukum Perlindungan Anak,Bumi Aksara, Semarang , 1990.

Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset, Andi Offset, Yogyakarta, 1989

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung, 1993.

---, Hukum Waris Indonesia Menurut : Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Hindu-Islam,Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Hamzah, Andi, Kedudukan Anak Angkat Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum

Adat, Fakultas Hukum USU.Deli Serdang, 1995.

HS, Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Penerbit Sinar Grafika, 2001

Kamil, Ahmad dan H.M Fauzan,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Krisnawati, Ermeliana, Aspek Hukum Perlindungan Anak, CV.Utomo, Bandung, 2005


(2)

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Madju, Bandung, 1994.

Meliala, Djaja S, Adopsi (Pengangkatan Anak) Dalam Jurisprudensi,Tarsito, Bandung, 1996.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia.PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

---, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Parangin, Effendi,Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PN.Balai Pustaka, Jakarta, 1998.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Marthalena Pohan,Hukum Orang dan Keluarga, Airlangga University Press, Surabaya, 1995.

Prawirohamidjojo, Soetojo, Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000.

Prodjodikoro, Wirjono,Hukum Waris Indonesia,Sumur, Bandung, 2006

Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2001.

Satrio, J, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah,Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang,Prenada Media, Jakarta, 2004.

Soeaidy, Sholeh dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, CV. Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2001.

Soekanto, Soerjono ,Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta, 1986

Soemitro, Irma Setyowati , Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.

Soemitro, Ronny Hanitijo , Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.


(3)

Soepomo, R,Bab-Bab Tentang Hukum adat, Pradnya Paramita, Jakarta,1996. Soeroso,Perbandingan hukum perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 1999.

Soimin, Soedharyo, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Subekti, R,Pokok-Pokok Hukum Perdata,PT. Intermasa, Jakarta, 1995. Sudiyat, Iman ,Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981.

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Sutopo, H.B, Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, 1998.

Tafal, B. Bastian, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibat Hukumnya Di Kemudian Hari, Rajawali Pers, Jakarta, 1990.

Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, CV. Pionir Jaya, Bandung, 2000.

Ter Haar Bzn., Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991.

Vollmar, HFA,Pengantar Studi Hukum Perdata, CV. Rajawali, Jakarta,1992

Wignjodipoero, Soerojo , Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1990.

Zaini, Muderis , Adopsi Suatu Tinjauan dari Segi Tiga Sistem Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1999.

Undang-undang

Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Staatblad Nomor 129 Tahun 1917

Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


(4)

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

Jurnal, Makalah, Skripsi, Tesis

Edison,Mengangkat Anak, Dimuat Dalam Majalah Bulanan Jurnal Renvoi, No. 23 Tahun II, April 2010.

Rahmat Jhowanda, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh,Tesis Universitas Sumatera Utara Medan, 2010.

Husnah, Pelaksanaan Pengangkatan Anak (adopsi) yang Dilakukan oleh Warga Masyarakat di Indonesia,Skripsi Universitas Indonesia,Depok, 2009

Runtung Sitepu, Pluralisma Hukum Mengenai Pengangkatan Anak Di Indonesia, Qanun, Jurnal Ilmu Hukum, Unsyiah Banda Aceh No. 39, Edisi Agustus 2004

Denilah Shofa Nasution, Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Yang Diakui Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya (Kajian Pada Etnis Tionghoa di Kota Medan),Tesis Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2004. Makalah yang dibawakan oleh Tim Delegasi Mahasiswa Notariat Universitas

Padjadjaran Bandung Tentang Kewenangan Notaris Terhadap Pembuatan Akta Pengangkatan Anak.

Makalah Universitas Diponegoro Semarang, Temu Ilmiah Badan Kerja Sama Organisasi Notariat Se-Indonesia, Tentang Kewenangan Notaris Terhadap Pembuatan Akta Pengangkatan Anak, Batu-Malang, 1995.

Heru Kuswanto, Hukum Waris, Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya, 2011.

Orsika Siahaan, Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Hukum Dan Hak-Hak Anak Angkat Pada Keluarga Yang Mengangkatnya, Depok : Program Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, 2005.

Tetty Ruslie Naulibasa, Peranan Notaris Pada Lembaga Pengangkatan Anak, Jurnal, Medan : Universitas Sumatera Utara, Magister Kenotariatan.


(5)

Internet

Tan, Pen Wei, Masyarakat Tionghoa. www.waspada.co.id, Diakses tanggal 6 April 2013

Lilik Mulyadi, Adopsi Menurut Tradisi Tionghoa,

http://www.etnispikiranrakyat.com, diakses pada tanggal 10 April 2013. Sistem Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Indonesia,

http://burgerawa.wordpress.com/2012/12/31/sistem-pengangkatanadopsi-anak-dalam-hukum-adat-indonesia/, diakses pada tanggal 10 April 2013. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31739/4/Chapter%20I.pdf,

diakses pada tanggal 10 April 2013.

Ninik Wauf, Kajian Teori Perlindungan Hukum,

www.hnikawawz.blogspot.com/2011/11/kajian-teori-perlindungan-hukum.html, diakses pada tanggal 3 Mei 2013.

Fauzie Yusuf Hasibuan, Teori Perlindungan Hukum,

http://fauzieyusufhasibuan.wordpress.com/2009/12/12/peranan-lembaga-anjak-piutang-dalam-ekonomi-indonesia/, diakses pada tanggal 20 April 2013.

Teori Perlindungan Hukum, http://anamencoba.blogspot.com/2011/04/teori-perlindungan-hukum-dalam-melihat.html, diakses pada tanggal 22 April 2013.

Febbe Joesiaga, SH, Pelaksanaan Pembagian Warisan Secara Adat Pada

Masyarakat Tionghoa di Kota Surakarta,

www.eprints.undip.ac.id/17357/1/FEBBE_JOESIAGA.pdf, diakses pada tanggal 3 Mei 2013.

Suci Wulansari, Pengangakatan Anak,

http://forumadopsianak.wordpress.com/2012/04/11/pengangkatan-anak/ , diakses pada tanggal 10 Agustus 2013.

Reza Adhiyatma Tanjuang, Matrilineal,

http://kopiapung.blogspot.com/2013/05/sistem-kekerabatan-matrilineal-sistem_3176.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.


(6)

Sistem Kekerabatan Parental, http://ermamonicaerma.blogspot.com/2012/11/sistem-kekerabatan- parental-ips.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013

Alutsyah, Pengertian, Azas dan Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat,

http://alutsblog.blogspot.com/2011/08/pengertian-azas-dan-sistem-pewarisan.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013

Blog KMN-UGM, http://kmn-ugm.blogspot.com/2008/09/sistem-kewarisan-dan-kedudukan-suami.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013

Rizky Soe, Sistem Kewarisan Islam, http://rizkysoe.blogspot.com/p/sistem-kewarisan-islam.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.

Wawancara

Wawancara dengan Rusman Nasution, Pegawai Kasi Urusan Perdata di Pengadilan Negeri Deli Serdang, tertanggal 13 Mei 2013.

Wawacara dengan Rita, Staf Pegawai Pengadilan Negeri Medan , tanggal 20 Oktober 2013.

Hasil Wawancara dengan Mohamad Abror SH.MKn, Notaris di Kabupaten Serang, tanggal 24 Oktober 2013

Wawancara dengan Sun Basana Hutagalung SH.MH, Hakim Pengadilan Negeri Medan, pada tanggal 16 Oktober 2013

Wawancara dengan Halim Loe, SE, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Angsapura, pada tanggal 30 Agustus 2013

Wawancara dengan Jessica selaku anak angkat, pada tanggal 20 Oktober 2013 Wawancara dengan Linna selaku orang tua angkat, pada tanggal 22 Oktober 2013 Wawancara dengan F selaku anak dari A dan B, pada tanggal 12 Januari 2014. Wawancara dengan DT selaku keponakan, pada tanggal 22 Oktober 2013