Pengaruh Kepribadian dan Kepuasan Kerja Terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB) di PT. PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara Area Binjai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Teoritis

2.1.1 Pengertian Kepribadian

   Para psikolog cenderung mengartikan kepribadian sebagai suatu konsep

  dinamis yang mendeskripsikan pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem psikologis seseorang. Definisi kepribadian yang paling sering digunakan dibuat oleh Gordon Allport hampir 70 tahun yang lalu. Ia mengatakan bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam sistem psikofisiologis individu yang menentukan caranya untuk menyesuaikan diri secara unik terhadap lingkungannya (Robbins 2008:126-127).

  Menurut Sujanto dkk (2004), menyatakan bahwa kepribadian adalah suatu totalitas psikofisis yang kompleks dari individu, sehingga nampak dalam tingkah lakunya yang unik. Sementara menurut Kartono dan Gulo dalam Sjarkawim (2006) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat, pendirian, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai diri seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain.

  Jadi dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah seluruh pola tingkah laku dan kebiasaan individu yang khas atau berbeda yang tampak dalam lingkungannya dalam berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan individu lain.

2.1.1.1 Faktor-faktor Penentu Kepribadian

  Menurut Robbins (2008:127) Kepribadian dihasilkan oleh faktor keturunan dan lingkungan.

  1. Faktor Keturunan Keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tingkat fisik, bentuk wajah, gender, tempramen, komposisi otot dan refleks, tingkat energi, dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial, dipengaruhi oleh siapa orangtua anda, yaitu komposisi biologis, psikologis dan psikologis bawaan mereka. Pendekatan keturunan berpendapat bahwa penjelasan pokok mengenai kepribadian seseorang adalah struktur molekul dari gen yang terdapat dalam kromosom.

  2. Faktor Lingkungan Faktor lain yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap pembentukan karakter kita adalah lingkungan di mana kita tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman-teman, dan kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang kita alami. Faktor-faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian kita.

2.1.1.2 Tipe-tipe Kepribadian

  Robbins (2008:130) memaparkan bahwa terdapat sejumlah upaya awal untuk mengidentifikasi sifat-sifat utama yang mengatur perilaku. Akan tetapi, seringnya, upaya ini sekedar menghasilkan daftar panjang sifat yang sulit untuk digeneralisasikan dan hanya memberikan sedikit bimbingan praktis bagi para pembuat keputusan organisasional. Dua pengecualian adalah Myers-Briggs Type

  

Indicator dan Model Lima Besar. Selama 20 tahun terakhir, dua pendekatan ini

  telah menjadi kerangka kerja yang dominan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sifat-sifat seseorang.

1. Myers-Briggs Type Indicator

  Adalah tes kepribadian yang menggunakan empat karakteristik dan empat karakteristik tersebut adalah sebagai berikut.

  a.

  Ekstraver versus Introver Individu dengan karakteristik ekstraver digambarkan sebagai individu yang ramah, suka bergaul dan tegas, sedangkan individu dengan karakteristik introver digambarkan sebagai individu pendiam dan pemalu.

  b.

  Sensitif versus Intuitif Individu dengan karakteristik sensitif digambarkan sebagai individu yang praktis dan lebih menyukai rutinitas dan urutan. Mereka berfokus pada detail.

  Sebaliknya, individu dengan karakter intuitif mengandalkan proses-proses tidak sadar dan melihat “gambaran umum”.

  c.

  Pemikir versus Perasa Individu yang termasuk dalam karakteristik pemikir menggunakan alasan dan logika untuk menangani berbagai masalah, sedangkan individu dengan karakteristik perasa mengandalkan nilai-nilai pribadi mereka.

  d.

  Memahami versus Menilai Individu yang cendrung memiliki karakteristik memahami menginginkan kendali dan lebih suka dunia mereka teratur dan terstruktur, sedangkan individu dengan karakteristik menilai cendrung lebih fleksibel dan spontan.

2. Model Lima Besar (the Big Five Model of Personality)

  Model Lima Dimensi Kepribadian (the Big Five Model of Personality) menjelaskan bahwa pada dasarnya kepribadian dapat diidentifikasi dari lima jenis perilaku yang terdapat dalam setiap individu.

  Selama beberapa tahun terakhir, sejumlah penelitian mendukung bahwa lima dimensi dasar saling mendasari dan mencangkup sebagian besar variasi yang signifikan dalam kepribadian manusia. Kelima jenis perilaku tersebut adalah: a.

  Sifat berhati-hati (Conscientiousness) Dimensi ini merupakan ukuran kepercayaan individu yang bertanggungjawab, teratur, dapat diandalkan, dan gigih. Sebaliknya, individu dengan sifat berhati-hati yang rendah cendrung mudah bingung, tidak teratur, dan tidak bisa diandalkan.

  Individu dengan kepribadian Conscientiousness yang tinggi didalam organisasi, akan menjadi karyawan teladan karena memiliki disiplin diri yang tinggi dan menjadi karyawan yang dapat diandalkan jika diberi tugas-tugas yang cukup berat.

  b.

  Stabilitas Emosi (Emotional Stability) Sering juga disebut berdasarkan kebalikannya, yaitu Neurotiscm. Dimensi ini menilai kemampuan seseorang untuk menahan stress. Individu dengan stabilitas emosi yang positif cendrung tenang, percaya diri, dan memiliki pendirian diri yang teguh. Sementara itu, individu dengan stabilitas emosi yang negatif cendrung mudah gugup, khawatir, depresi, dan tidak memiliki pendirian yang teguh.

  Didalam organisasi, individu dengan stabilitas emosi tinggi akan mudah menyelesaikan tugas maupun konflik didalam organisasi tersebut karena memiliki kepribadian yang rileks dan tidak mudah khawatir.

  c.

  Terbuka terhadap hal-hal baru (Openness to Experience) Dimensi ini merupakan dimensi terakhir yang mengelompokkan individu berdasarkan lingkup minat dan ketertarikannya terhadap hal-hal baru. Individu yang sangat terbuka cendrung kreatif, ingin tahu, dan sensitif terhadap hal-hal yang bersifat seni. Sebaliknya, mereka yang sifat keterbukaanya kurang cendrung memiliki sifat konvensional dan merasa nyaman dengan hal-hal telah ada.

  d.

  Mudah akur atau mudah bersepakat (Agreeableness) Dimensi ini merujuk pada kecendrungan individu untuk patuh terhadap individu lainnya. Individu yang sangat mudah bersepakat adalah individu yang senang bekerja sama, hangat dan penuh kepercayaan. Sementara itu, individu yang tidak mudah bersepakat cendrung bersikap dingin, tidak ramah dan suka menentang.

  Dalam organisasi, karyawan yang memiliki agreeableness yang tinggi dapat bekerjasama dengan karyawan lain dengan baik karena memiliki sifat yang sopan, ramah, dan peduli sehingga meningkatkan produktivitas kinerja didalam organisasi itu.

  e.

  Ekstraversi (Ekstraversion) Dimensi ini mengungkapkan tingkat kenyamanan seseorang dalam berhubungan dengan individu lain. Individu yang memiliki sifat ektraversi cendrung suka hidup berkelompok, tegas dan mudah bersosialisasi. Sebaliknya, individu yang memiliki sifat introvert cendrung suka menyendiri, penakut dan pendiam.

  Individu dengan karakteristik ini memiliki kepribadian yang outgoing, banyak bicara dan sangat mudah bersosialisasi sehingga jika melihat kepribadiannya, individu dengan karakteristik extraversionakan memiliki banyak teman. Begitu pula didalam organisasi, karyawan dengan kepribadian seperti ini akan mudah beradaptasi terhadap lingkungan kerja nya.

  Dari kelima tipe kepribadian diatas, yang mendominasi timbulnya perilaku ekstra adalah sifat berhati-hati (Conscientiouness) dan Ektraversi (Ekstraversion) dimana karyawan yang memiliki sifat berhati-hati (Conscientiouness) yang tinggi menandakan bahwa karyawan bersedia bekerja keras menyelesaikan pekerjaanya hingga tuntas. Karyawan merasa antusias serta sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan dan sukarela mengambil tanggung jawab ekstra dalam pekerjaan (Robbins, 2001). Selain itu, karyawan yang memiliki Ektraversi (Ekstraversion) yang tinggi menandakan bahwa karyawan mampu menjadi teman yang baik bagi, mudah bergaul, aktif dan banyak bicara sehingga seringkali menciptakan ikatan keluarga dengan orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah tetapi secara sosial dekat dengan karyawan lainnya (Motowildo, 1996).

  Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat dari kelima perilaku tersebut maka menunjukkan indikasi positif bagi organisasi. Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat kelima perilaku diatas rendah maka menunjukkan kepribadian yang negatif bagi organisasi.

2.1.2 Pengertian Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)

  Pada pikiran yang paling mendasar, kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang (Malthis dan Jackson, 2001:98). Kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dengan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima (Robbins, 2003:78).

  Greenberg dan Baron (2003:148) mendeskripsikan kepuasan kerja sebagai sikap positif atau negatif yang dilakukan individual terhadap pekerjaan mereka.

  Pandangan senada dikemukakan oleh Gibson (2000:106) yang menyatakn kepuasan kerja sebagai sikap yang dimiliki pekerja tentang pekerjaan mereka. Hal tersebut merupakan hasil dari persepsi mereka tentang pekerjaan.

  Jadi dari defenisi para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan senang atau positif seseorang atas pencapaian kerja yang mereka harapkan dengan kenyataan yang ada.

2.1.2.1 Dimensi Kepuasan Kerja

  Smith, Kendal dan Hulin (Munandar, 2004:74), menyatakan ada lima dimensi dari kepuasan kerja yaitu: a.

  Kepuasan terhadap pekerjaan itu sendiri, dimana hal itu terjadi bila pekerjaan tersebut memberikan kesempatan individu untuk belajar sesuai dengan minat serta kesempatan untuk bertangung jawab.

  b.

  Kepuasan terhadap imbalan, dimana sejumlah uang gaji yang diterima sesuai dengan beban kerjanya dan seimbang dengan karyawan lain pada organisasi tersebut. c.

  Kesempatan promosi yaitu kesempatan untuk meningkatkan posisi pada struktur organisasi.

  d.

  Kepuasan terhadap supervis, bergantung pada kemampuan atasannya untuk memberikan bantuan teknis dalam memotivasi.

  e.

  Kepuasan terhadap rekan kerja yaitu seberapa besar rekan sekerja memberikan bantuan teknis serta dorongan sosial.

2.1.2.2 Faktor-faktor Penentu Kepuasan Kerja

  Robbins (2001:149), menyatakan bahwa faktor-faktor yang lebih penting yang mendorong kepuasan kerja adalah: a.

  Kerja yang secara mental menantang Karyawan cendrung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang.

  Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.

  b.

  Ganjaran yang pantas Para karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan dan segaris dengan pengharapan mereka. c.

  Kondisi kerja yang mendukung Karyawan peduli akan lingkungan kerja baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan fisik sekitar yang tidak berbahaya dan merepotkan.

  d.

  Rekan sekerja yang mendukung Orang-orang mendapatkan lebih daripada sekedar uang atau prestasi yang berwujud dari pekerjaan mereka. Bagi kebanyakan karyawan, kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung dan menghantar ke kepuasan kerja.

  e.

  Kesesuaian antara kepribadian-pekerjaan Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dan pekerjaan akan menghasilkan individu yang lebih terpuaskan. Pada hakikatnya logika adalah: orang-orang yang tipe kepribadiannya kongruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang mereka pilih seharusnya mendapatkan bahwa mereka mempunyai bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan mereka; dengan demikian lebih besar kemungkinan untuk berhasil pada pekerjaan tersebut; dan karena sukses ini, mempunyai probabilitas yang lebih besar untuk mencapai kepuasan yang tinggi dari pekerjaan mereka.

2.1.2.3 Konsekuensi Kepuasan Kerja

  Menurut Robbins dan Judge (2007:112) konsekuensi dari kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja ada enam yaitu: a.

  Kepuasan Kerja dan Kinerja Sebuah tinjauan dari 300 penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja pekerjaan menunjukkan korelasi yang cukup kuat.

  Ketika kita pindah dari tingkat individual ke tingkat organisasi, kita juga menemukan dukungan untuk hubungan kepuasan-kinerja (Ostroff, 1992). Ketika data produktivitas dan kepuasan secara keseluruhan dikumpulkan untuk organisasi, kita menemukan bahwa organisasi yang mempunyai karyawan yang lebih puas cendrung lebih efektif bila dibandingkan organisasi yang mempunyai karyawan yang kurang puas.

  b.

  Kepuasan Kerja dan OCB Tampaknya, adalah logis untuk menganggap bahwa kepuasan kerja seharusnya menjadi faktor penentu utama dari perilaku kewargaan organisasional

  (organizational citizenship behaviour) seorang karyawan (Luthan dan Stajkovic, 2003). Karyawan yang puas tampaknya cendrung berbicara secara postif tentang organisasi, membantu individu lain, dan melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka. Selain itu, karyawan yang puas mungkin lebih mudah berbuat lebih dalam pekerjaan karena mereka ingin merespon pengalaman postif mereka.

  c.

  Kepuasan Kerja dan Kepuasan Pelanggan Karyawan dalam pekerjaan jasa sering berinteraksi dengan pelanggan karena manajemen organisasi jasa harus menyenangkan pelanggan. Dalam organisasi jasa, pemeliharaan dan peninggalan pelanggan sangat bergantung pada bagaimana karyawan garis depan berhubungan dengan pelanggan. Karyawan yang merasa puas cendrung lebih ramah, ceria, dan responsif-yang dihargai oleh para pelanggan. Karena karyawan yang puas tidak mudah berpindah kerja, pelanggan kemungkinan besar menemui wajah-wajah familiar dan menerima layanan yang berpengalaman.

  d.

  Kepuasan Kerja dan Ketidakhadiran Seorang yang puas dengan pekerjaannya akan memiliki tingkat absensi yang rendah, namun tidak menutupi kemungkinan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan dalam bekerja juga dapat memiliki absensi yang tinggi. Supaya tidak terjadi hal demikian, sebaiknya perusahaan memberikan kompensasi yang menarik seperti pemberian cuti masa kerja di luar hari besar/hari libur nasional.

  e.

  Kepuasan Kerja dan Perputaran Karyawan Salah satu cara yang digunakan perusahaan untuk mempertahankan karyawannya yang handal yaitu dengan memberikan kepuasan dalam bekerja kepada karyawan tersebut. Dengan demikian, karyawan yang memiliki kepuasan kerja yang tinggi tidak akan keluar/meninggalkan perusahaan.

  f.

  Kepuasan Kerja dan Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja Ketidakpuasan kerja memprediksi banyak perilaku khusus, termasuk upaya pembentukan serikat pekerja, penyalahgunaan hakikat, pencurian ditempat kerja, pergaulan yang tidak pantas, dan kelambanan. Apabila karyawan tidak menyukai lingkungan kerja maka respon yang muncul adalah keluar dari pekerjaan, menggunakan jam kerja untuk menjelajahi internet, membawa pulang persediaan di tempat kerja untuk penggunaan pribadi, dan sebagainya.

2.1.3 Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

  Konsep OCB pertama kali didiskusikan dalam literatur penelitian organisasional pada awal 1980an (Bateman dan Organ, 1983; Smith et al., 1983; dalam Bienstock et al. (2003:360), OCB merupakan perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif (Robbins, 2006:31).

  Daft (2003:7) menyatakan bahwa Organizational Citizenship Behaviour (OCB) adalah perilaku kerja yang melebihi persyaratan kerja dan turut berperan dalam kesuksesan organisasi. Seorang karyawan mendemonstrasikan OCB dengan cara membantu rekan sekerja dan pelanggan, melakukan kerja ekstra jika dibutuhkan, dan mencari jalan untuk memperbaiki produk dan prosedur. Dipola dan Hoy (dalam Yusop, 2007:33) menjelaskan bahwa OCB adalah perilaku karyawan yang mempraktikan peranan tambahan dan menunjukkan sumbangannya kepada organisasi melebihi peran spesifikasinya dalam kerja. Menurut mereka juga, kesediaan dan keikutsertaan untuk melakukan usaha yang melebihi tanggung jawab formal dalam organisasi merupakan sesuatu yang efektif untuk meningkatkan fungsi sebuah organisasi.

  Dari defenisi beberapa ahli diatas dapat disimpulkan bahwa OCB adalah perilaku sukarela karyawan dalam membantu rekan sekerja diluar kewajiban kerja formalnya.

2.1.3.1 Dimensi OCB

  Dimensi OCB menurut Organ, dkk (2006:120) adalah sebagai berikut: a. Altruism (Kerjasama tim)

  Perilaku karyawan dalam menolong rekan kerjanya yang mengalami kesulitan dalam situasi yang sedang dihadapi baik mengenai tugas dalam organisasi maupun masalah pribadi orang lain. Dimensi ini mengarah kepada memberi pertolongan yang bukan merupakan kewajiban yang ditanggungnya.

  b.

   Concientiousness (Disiplin dalam bekerja)

  Perilaku yang ditunjukkan dengan berusaha melebihi yang diharapkan perusahaan. Perilaku sukarela yang bukan merupakan kewajiban atau tugas karyawan. Dimensi ini menjangkau jauh diatas dan jauh ke depan dari panggilan tugas.

  c.

  Sportmanship (Toleransi) Perilaku yang memberikan toleransi terhadap keadaan yang kurang ideal dalam organisasi tanpa mengajukan keberatan-keberatan. Seseorang yang mempunyai tingkatan yang tinggi dalam sportmanship akan meningkatkan iklim yang positif diantara karyawan, karyawan akan lebih sopan dan bekerja sama dengan yang lain sehingga akan menciptkan lingkungan kerja yang lebih menyenangkan.

  d.

  Courtessy (Menjaga citra perusahaan) Menjaga hubungan baik dengan rekan kerjanya agar terhindar dari masalah- masalah interpersonal. Seseorang yang memiliki dimensi ini adalah orang yang menghargai dan memperhatikan orang lain, yaitu membantu teman kerja, mencegah timbulnya masalah sehubungan dengan pekerjaanya dengan cara memberi konsultasi dan informasi serta menghargai kebutuhan mereka.

  e.

  Civic Virtue (Profesional dalam menggunakan aset) Perilaku yang mengindikasikan tanggung jawab pada kehidupan organisasi

  (mengikuti perubahan dalam organisasi, mengambil inisiatif untuk merekomendasikan bagaimana operasi atau prosedur-prosedur organisasi dapat diperbaiki, dan melindungi sumber-sumber yang dimiliki oleh organisasi). Dimensi ini mengarah pada tanggung jawab yang diberikan organisasi kepada seseorang untuk meningkatkan kualitas bidang pekerjaan yang ditekuni.

2.1.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi OCB

  Ada beberapa faktor yang melandasi seorang karyawan melakukan OCB, diantaranya:

1. Kepuasan Kerja

  Seorang karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaan serta komitmennya kepada organisasi tempatnya bekerja akan cendrung menunjukkan performa kerja yang lebih baik dibandingkan karyawan yang merasa tidak puas terhadap pekerjaan dan organisasinya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada korelasi yang negatif antara OCB dengan perilaku counterproductive karyawan (Robbins dan Judge, 2007:40).

  OCB hanya dapat dicapai jika didukung oleh faktor dalam organisasi memungkinkan hal itu, dimana yang paling utama adalah adanya kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan selama bekerja dalam organisasi. Dennis Organ sebagai tokoh penting mengemukakan OCB, menyatakan bahwa karyawan yang merasa puas akan membalas kenyamanan bekerja yang dirasakannya kepada organisasi yang telah memperlakukan dirinya dengan baik dan memenuhi kebutuhannya selama ini dengan cara melaksanakan tugasnya secara ekstra melebihi standar yang ada. Hal ini ditunjukkan dengan kesediaan karyawan dalam berbagai bentuk perilaku OCB secara sukarela demi kemajuan perusahaannya (George dan Jones, 2002:95).

  2. Keadilan Karyawan harus merasa diperlakukan secara adil oleh organisasi baru ia akan menunjukkan perilaku OCB. Hal ini termasuk juga bahwa karyawan dapat merasakan prosedur kerja dan hasil kerja yang diperolehnya adalah sesuatu yang adil. Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara keadilan dengan OCB. Tampaknya keadilan prosedural berpengaruh pada karyawan, yaitu mempengaruhi dukungan organisasi yang mereka rasakan dan selanjutnya mendorong mereka untuk membalas dengan OCB, yakni melakukan tugas diluar persyaratan kerja tertentu (Luthans, 2006:251).

  3. Motivasi Intrinsik OCB muncul sebagai perwujudan dari motivasi intrinsik yang ada dalam diri seseorang, misalnya kepribadian serta minat tertentu.

  4. Gaya Kepemimpinan Dukungan dan gaya kepemimpinan atasan sangat mempengaruhi munculnya

  OCB pada karyawan, hal ini dapat dipahami melalui proses modeling ataupun

  

vicarious learning yang dilakukan oleh atasan yang kemudian menginspirasi para

  karyawan untuk melakukan juga OCB, sehingga atasan dapat menjadi agen model

  OCB. Namun hal ini harus didukung juga dengan kualitas interaksi yang baik antara atasan dan bawahannya. Dengan begitu, atasan akan berpandang positif terhadap bawahan, sebaliknya bawahan pun akan merasa bahwa atasannya memberi dukungan dan motivasi sehingga mereka akan menunjukkan rasa hormat dan berusaha berbuat lebih untuk organisasinya (Graham dan Gibson, 2003:110).

  5. Iklim Organisasi Iklim organisasi didefenisikan sebagai pendapat karyawan terhadap keseluruhan lingkungan sosial dalam perusahaannya yang dianggap mampu memberikan suasana mendukung bagi karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Istilah ini juga digunakan untuk mengambarkan bagaimana sejumlah subsistem dalam organisasi berinteraksi dengan anggota organisasi serta lingkungan eksternalnya. Konsep iklim organisasi ini sering kali didasarkan pada persepsi individu (Organ dalam Novliadi, 2007:12).

  6. Jenis Kelamin Studi terbaru menunjukkan bahwa ada pengaruh jenis kelamin terhadap kinerja

  OCB. Perilaku kerja seperti menolong orang lain, bersahabat dan bekerja sama lebih menonjol dilakukan oleh wanita daripada pria. Oleh karena itu, perilaku OCB lebih menonjol dilakukan oleh wanita dibanding pria karena mereka merasa bahwa OCB merupakan bagian dari kewajiban pekerjaan dan bukanlah suatu tugas ekstranya (Lovell dalam Luthans, 2006:251).

  7. Masa Kerja Karyawan yang telah lama bekerja di suatu organisasi akan memiliki keterikatan yang lebih mendalam, baik dengan organisasi maupun dengan rekan kerjanya sehingga individu memiliki orientasi kolektif dalam bekerja. Dengan kata lain, mereka akan lebih mengutamakan kepentingan bersama dibanding ambisi pribadinya sehingga mereka lebih cendrung bersedia menolong rekan kerjanya dan berbuat lebih terhadap pencapaian organisasi (Konovsky dan Pugh, dalam Ivancevich dan Matteson, 2002:157).

2.1.3.3 Manfaat OCB terhadap Organisasi

  Melalui sejumlah riset, OCB diyakini dan terbukti dapat memberikan manfaat yang besar terhadap organisasi, diantaranya adalah sebagai berikut ini, yaitu (Organ, dkk, 2006:199) : a.

  OCB dapat meningkatkan produktivitas rekan kerja.

  b.

  OCB juga mempu meningkatkan produktivitas manajer.

  c.

  OCB dapat menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara keseluruhan.

  d.

  OCB menjadi sarana yang efektif untuk mengkordinasi kegiatan tim kerja secara efektif.

  e.

  OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk merekrut dan mempertahankan karyawan dengan kualitas performa yang baik.

  f.

  OCB dapat mempertahankan stabilitas kinerja organisasi.

  g.

  OCB membantu kemampuan organisasi untuk bertahan dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 Daftar Penelitian Terdahulu

  Peneliti Judul Variabel Metode Analisis Hasil Purba dan Seniati

  (2004) Pengaruh Kepribadian dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB)

  1.Kepribadian

  2.Komitmen Organisasi

  3. OCB Analisis kualitatif. analisis kuantitatif, yaitu uji realibilitas, uji validitas, uji asumsi klasik, dan analisis regresi linear berganda yang terdiri uji-t, uji-F, dan koefisien determinasi (R²)

  Terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepribadian dan komitmen organisasi terhadap OCB.

  Triyanto (2009) Organizational Citizenship Behaviour (OCB) dan Pengaruhnya terhadap Keinginan Keluar dan Kepuasan Kerja

1. OCB 2.

  Soegandhi dkk (2013) Pengaruh Kepuasan

  3. Kinerja Analisis regresi linier berganda, uji asumsi klasik, uji normalitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, uji-t, uji-F, dan koefisien determinasi (R²) Kepuasan Kerja memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap OCB dan kinerja dimana variabel terikat OCB memiliki pengaruh yang kuat.

  Keinginan keluar

  Dimensi Courtesy dan Alturism yang tertinggi mempengaruhi kepuasan kerja terhadap OCB sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.

  2.OCB Analisis linear sederhana, uji validitas, uji reabilitas, uji hipotesis dan koefisien determinasi (R 2 ) Pengaruh kepuasan kerja terhadap OCB lemah.

  1.Kepuasan Kerja

  Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap OCB studi terhadap pegawai Institut Bisnis Dubai

  Farhanmehb oob dan Bhutto (2012)

  2.OCB

  Kerja dan Loyalitas Kerja terhadap Organizational Citizenship Behaviour (OCB) pada karyawan PT. Surya Timur Sakti Jatim

  1.Kepuasan Kerja

  Naami (2009) Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap OCB dan Kinerja pada Ahvas Factory Workers .

  Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara Kepuasan Kerja dan Loyalitas Kerja terhadap OCB Shokorn dan

  3. OCB Analisis kualitatif. analisis kuantitatif, yaitu uji realibilitas, uji validitas, uji asumsi klasik, dan analisis regresi linear berganda yang terdiri uji-t, uji-F, dan koefisien determinasi (R²)

  3. Kepuasan Kerja Analisis regresi linier sedehana, uji validitas, uji reabilitas, uji hipotesis dan koefisien determinasi (R 2 ) Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara OCB terhadap keinginan keluar dan kepuasan kerja.

  1. Kepuasan Kerja

  2. Loyalias Kerja

2.3 Kerangka Konseptual

  Studi perilaku organisasi (PO), mengemukakan ada tiga faktor penentu perilaku dalam organisasi yaitu individu, kelompok, dan struktur. Ketiga hal tersebut dipelajari pengaruhnya pada organisasi dengan tujuan untuk menerapkan ilmu pengetahuan guna meningkatkan keefektifan suatu organisasi. Salah satu perilaku ekstra guna meningkatkan keefektifan suatu organisasi adalah Organizational Citizenship Behavior (OCB).

  Dalam setiap melakukan pekerjaannya, idealnya setiap orang ingin memahami faktor-faktor disekelilingnya. Terutama pemahaman tentang kepribadian sesama karyawan atau manajer nya. Dengan demikian hubungan kerja diantara karyawan dan dengan manajer akan berjalan efektif. Untuk saling memahami sesama kolega kerja dan manajer maka diperlukan pemahaman tentang beragam tipe kepribadian seseorang (Cole, 2005). Organ dan Ryan (1995) telah menemukan adanya keterkaitan antara OCB dengan beberapa faktor Kepribadian Lima Besar (The Big Five Personality) yang meliputi

  

Conscientiousness , Emotional Stability, Openness to Experience, Agreeableness,

Ekstraversion .

  Kecocokan yang tinggi antara kepribadian seorang karyawan dan pekerjaan akan menghasilkan individu yang lebih terpuaskan. Seorang karyawan yang merasa puas terhadap pekerjaan serta komitmennya kepada organisasi tempatnya bekerja akan cendrung menunjukkan performa kerja yang lebih baik dibandingkan karyawan yang merasa tidak puas terhadap pekerjaan dan organisasinya. (Robbins dan Judge, 2007:40). Spector (1997) menambahkan kepuasan kerja seharusnya menjadi faktor penentu utama dari perilaku OCB seorang karyawan. Karyawan yang puas tampaknya cendrung berbicara positif tentang organisasi, membantu individu lain, dan melewati harapan normal dalam pekerjaan mereka. Selain itu, karyawan yang puas mungkin lebih mudah berbuat lebih dalam pekerjaan karena mereka ingin merespon pengalaman positif mereka.

  Berdasarkan uraian diatas maka model kerangka konseptual dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Kepribadian (X )

1 Organizational

  Citizenship Behaviour

  (OCB) Kepuasan Kerja (X

  2 )

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis

  Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2012:63). Berdasarkan konsep-konsep yang dipaparkan penulis di atas maka penulis merumuskan hipotesis yaitu:

  H

  1 . Kepribadian berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB pada karyawan PT. PLN (Persero) Area Binjai.

  H . Kepuasan Kerja bepengaruh positif dan signifikan terhadap OCB pada

  2

  karyawan PT. PLN (Persero) Area Binjai H

  3 . Kepribadian dan Kepuasan Kerja Berpengaruh Positif dan signifikan terhadap OCB pada karyawan PT. PLN (Persero) Area Binjai.