BAB I PENDAHULUAN - Implementasi Kebijakan dalam Pengadaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah (Studi Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan

  dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasikan dalam Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan Daerah dalam pengaturan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 telah mengakui adanya keragaman dan hak asal-usul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun Negara Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, maka desentralisasi atau distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat perlu dialirkan kepada daerah yang berotonom.

  Sejak kemerdekaan sampai saat ini distribusi kekuasaan/kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda. Perbedaan ini sangat jelas terlihat dengan menggunakan konsep bandul, yang selalu bergerak secara sistematis pada dua sisi yaitu pusat dan daerah. Dengan kata lain, bahwa pada suatu waktu bobot kekuasaan terletak pada Pemerintah Pusat, pada kesempatan lain bobot kekuasaan ada pada Pemerintah Daerah. Kondisi yang demikian ini disebabkan karena dua hal. Pertama, karena pengaturan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, sejak kemerdekaan sampai tahun 2005 (1945-2005) Indonesia telah memiliki delapan undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Masing-masing Undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut memiliki ciri dan karakteristik tersendiri, termasuk pengaturan tentang seberapa besar pembagian bobot kekuasaan antara pusat dan daerah. Jika kita cermati secara analitis terlihat bahwa titik berat bobot kekuasaan ternyata berpindah-pindah pada masing-masing kurun waktu berlakunya suatu Undang-undang Pemerintahan Daerah. Kedua, disebabkan adanya perbedaan interpretasi dan implementasi terhadap Undang-undang Pemerintah Daerah yang disebabkan kepentingan penguasa pada masa berlakunya UU Pemerintahan Daerah. Undang- undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan produk dan diimplementasikan selama Orde Baru. UU Nomor 5 Tahun 1974 diproses dalam waktu yang cukup lama melalui pembahasan yang intensif dengan berbagai pihak. Selain itu perjalanan panjang pemerintahan sebelum Proklamasi dan setelah Proklamasi telah menjadi masukan yang sangat berarti untuk melahirkan Pemerintahan Daerah yang kuat dan stabil karena kepentingan politis, atau karena konflik antara eksekutif dengan legislatif, atau karena dominannya Pemerintah Pusat dari Pemerintah Daerah.

  Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru, yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberikan warna tersendiri sebagai sebuah produk perundang-undangan di masa yang penuh dengan perubahan. Misalnya dalam undang-undang tersebut diberikan penegasan tentang makna otonomi daerah, seperti pada pasal 1 ayat 5 : “bahwa Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

  Dalam konteks Pemerintahan Daerah, di era otonomi luas dituntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan kreativitas dari segenap jajaran birokrasi publik.

  Dalam dunia yang penuh kompetitif, sangat diperlukan kemampuan birokrasi dan sumber daya aparatur untuk memberikan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif.

  Sehubungan dengan itu Pemerintah Daerah perlu meningkatkan penyiapan Sumber Daya Manusia yang mempunyai keterampilan profesional. Pendidikan serta latihan-latihan manajemen yang profesional bagi aparat dan masyarakat sudah harus lebih ditingkatkan.

  Termasuk profesionalisme manajemen pendidikan dan pelatihan masyarakat maupun aparatur, juga etos kerja dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan masyarakat yang memiliki etika profesional yang tinggi.

  Dari hasil pengamatan selama pelaksanaan otonomi daerah, masih banyak kelemahan dan masalah dalam bidang sumber daya aparatur pemerintah daerah, antara lain dibidang kualitas. Pemerintah daerah masih dihadapkan dengan masalah masih banyaknya aparatur yang belum memenuhi kompetensi dan profesionalisme yang memadai dengan bidang tugas masing-masing, seperti tingkat pendidikan yang tidak memadai, tidak memiliki keahlian dan keterampilan yang cukup. Meskipun aparatur yang berpendidikan sarjana (S1) berjumlah cukup besar, namun komposisinya menurut bidang-bidang keahlian belum seimbang, sehingga banyak jabatan yang diduduki oleh aparatur yang kurang tepat kompetensinya.

  Untuk mengatasi kondisi sumber daya aparatur yang demikian itu diperlukan upaya-upaya yang sistematis dalam meningkatkan kualitas sumber daya aparatur pemerintah daerah agar lebih mampu bekerja secara optimal dalam melaksanakan tugas. Hal itu hanya mungkin tercapai melalui pengembangan sumber daya aparatur pemerintah daerah dalam berbagai aspek, baik aspek intelektual, aspek manajerial, aspek teknis, maupun aspek sikap dan prilaku. Ke empat aspek ini harus dilakukan upaya pengembangannya dikalangan aparatur karena sangat menentukan kinerja mereka, sehingga diperlukan kebijakan yang tepat dan efektif dari semua pihak yang terkait dengan pengembangan sumber daya aparatur pemerintah daerah.

  Melihat masalah-masalah yang sering dialami oleh kebanyakan organisasi mengenai SDM, maka yang harus diperbaiki adalah proses penerimaan atau rekrutmennya. Dalam hal ini untuk mencapai proses yang maksimal diperlukan banyak metode. Baik itu dalam hal seleksi, wawancara, serta bahkan penempatan-penempatan yang tepat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang-orang yang nantinya akan bekerja di dalam organisasi. Sehingga kita dapat lebih mudah melakukan penilaian hasil kerja dari orang-orang yang ada dalam organisasi. Salah satu cara dalam mencari sumber daya manusia yang berkualitas yaitu melalui sistem rekrutmen dan seleksi pegawai.

  Proses rekrutmen dan seleksi sumber daya manusia tidak boleh diabaikan, hal ini disebabkan untuk menjaga supaya tidak terjadi ketidaksesuaian antar apa yang diinginkan dan apa yang didapat. Artinya organisasi tersebut tidak memperoleh pegawai yang tidak tepat, dalam arti kualitas dan kuantitasnya. Apabila terjadi hal yang tidak diinginkan oleh organisasi tersebut dapat dikatakan kemungkinan aktifitas kerja kurang efektif dan efisien, maka organisasi tersebut akan mengalami kegagalan. Agar dapat memperoleh sumber daya manusia yang berkualitas dan dengan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan, dibutuhkan suatu metode rekrutmen yang dapat digunakan dalam proses penarikan dengan dilandasi suatu perencanaan yang benar-benar matang.

  Rekrutmen sebagai suatu proses pengumpulan calon pemegang jabatan yang sesuai dengan sumber daya manusia untuk menduduki suatu jabatan dalam fungsi pemekerjaan (employee function). SDM-PNS ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2013 tentang pengadaan pegawai negeri sipil. Meskipun sistem rekrutmen telah diatur dalam peraturan pemerintah sebagai upaya untuk menjaring SDM-PNS yang kompeten namun dalam implementasinya belum mempunyai kebutuhan yang dapat menunjang keberhasilan kinerja dan profesionalisme SDM-PNS. Kondisi SDM-PNS demikian ini antara lain disebabkan oleh perencanaan kepegawaian saat ini belum didasarkan pada kebutuhan nyata sesuai dengan kebutuhan organisasi. Hal tersebut bukan saja karena proses rekrutmen & seleksi itu sendiri telah menyita waktu, biaya dan tenaga, tetapi juga karena menerima orang yang salah untuk suatu jabatan akan berdampak pada efisiensi, produktivitas, dan dapat merusak moral kerja pegawai yang bersangkutan dan orang-orang di sekitarnya Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian di

  Kantor Badan Kepegawaian Daerah Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara. Untuk itu penulis mengambil judul penelitian : “Implementasi Kebijakan dalam Pengadaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah

  

Daerah ( Studi pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Gunung Tua Kabupaten

Padang Lawas Utara).”

1.2. Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian di atas maka penulis dalam melakukan penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut :

  “Bagaimana Implementasi Kebijakan dalam Pengadaan Sumber Daya Aparatur

Pemerintah Daerah pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Gunung Tua Kabupaten

Padang Lawas Utara?”

I.3. Tujuan Penelitian

  Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah mempunyai jalan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penyelenggaraannya. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.

  Untuk mengetahui kebijakan pemerintah dalam upaya melakukan pengadaan pegawai di instansi-instansi pemerintah di Kabupaten Padang Lawas Utara.

2. Untuk mengetahui proses pelaksanaan pengadaan calon pegawai negeri sipil pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah di Kabupaten Padang Lawas Utara.

I.4. Manfaat Penelitian

  Adapun manfaat yang diambil dari penelitian ini adalah : 1.

  Manfaat secara ilmiah Untuk menambah pengetahuan dan informasi serta bahan referensi untuk penelitian berikutnya.

2. Manfaat secara praktis

  Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan kontribusi terhadap pemecahan permasalahan yang ada.

  3. Manfaat secara akademis sebagai tahap dalam mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah dan sebagai syarat dalam menyelesaikan pendidikan Strata Satu Departemen Ilmu Administrasi Negara.

I.5 Kerangka Teori

  Kerangka teori diperlukan untuk memudahkan penelitian, sebab teori merupakan pedoman berfikir bagi peneliti. Oleh karena itu seorang peneliti harus terlebih dahulu menyusun suatu kerangka teori sebagai landasan berfikir untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti tersebut menyoroti masalah yang dipilihnya. Menurut (Singarimbun, 1995:25), teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstruksi, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.

1.5.1 Kebijakan Publik

  1.5.1.1 Pengertian Kebijakan Publik

  James E. Anderson (1979:3) mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Walaupun disadari bahwa kebijakan publik dapat dipengaruhi oleh para aktor dan faktor pemerintah dari luar pemerintah. Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan, dan sebagainya.

  Kebijakan publik menurut Thomas Dye (1981:1) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan. Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa (1) kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta (2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah.

  1.5.1.2 Pendekatan dalam Studi Kebijakan Publik Dalam studi kebijakan publik terdapat dua pendekatan, yakni : pertama dikenal dengan istilah analisis kebijakan, dan kedua kebijakan publik politik (Hughes, 1994: 145).

  Pada pendekatan pertama, studi analisis kebijakan lebih terfokus pada pembuatan keputusan dan penetapan kebijakan dengan menggunakan model-model statistik dan matematika yang canggih. Sedangkan pada pendekatan kedua, lebih menekankan pada hasil dan outcome dari kebijakan publik daripada penggunaan metode statistik, dengan melihat interaksi politik sebagai faktor penentu, dalam berbagai bidang, seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan lingkungan.

  Pada pendekatan pertama, pendekatan kuantitatif digunakan dalam pembuatan keputusan. Dengan demikian, keputusan yang diambil benar-benar rasional menurut pertimbangan untung rugi. Keputusan yang diambil adalah keputusan yang memberikan manfaat bersih paling optimal.

  1.5.1.3 Proses Kebijakan Publik Proses analisis kebijakan publik menurut William N. Dunn adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.

  Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan yakni; (1) Membangun persepsi dikalangan stakeholders bahwa sebuah fenomena benar-benar dianggap sebagai masalah. Sebab bisa jadi suatu gejala oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah, tetapi oleh sebagian masyarakat yang lain atau elite politik bukan dainggap sebagai masalah; (2) Membuat batasan masalah; dan (3) Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah. Memobilisasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media massa dan sebagainya.

  Pada tahap formulasi dan legimitasi kebijakan, analisis kebijakan perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi yang berhubungan dengan masalah yang bersangkutan, kemudian berusaha mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan dan melakukan negoisasi, sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.

  Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan. Pada tahap ini perlu dukungan sumberdaya, dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. Dalam proses implementasi sering ada mekanisme insentif dan sanksi agar implementasi suatu kebijakan berjalan dengan baik.

  Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan dampak kebijakan, dan proses selanjutnya adalah evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan. Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru di masa yang akan datang, agar kebijakan yang akan datang lebih baik dan lebih berhasil.

1.5.2. Implementasi Kebijakan

  1.5.2.1 Pengertian implementasi Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan. Artinya yang dilaksanakan dan diterapkan adalah yang telah dirancang atau didesain untuk kemudian dijalankan sepenuhnya.

  Implementasi kebijakan adalah tahap pembuatan keputusan diantara pembentukan sebuah peraturan eksekutif, pelolosan keputusan pengadilan, atau keluarnya standar peraturan dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat yang mempengaruhi beberapa aspek kehidupannya. Jika kebijakan diambil secara tepat, maka kemungkinan kegagalan pun masih bisa terjadi, jika proses implementasi tidak tepat.

  Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102) mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan- keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dlam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.

  1.5.2.2 Model-model Implementasi Kebijakan

  A.

  Model George C. Edwards III (1980) Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, dan (4) struktur birokrasi.

  Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain. (1). Komunikasi

  Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementator mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi. Apabila tujuan dan sasaran sautu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

  Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secar jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial. Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

  (3). Disposisi Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

  (4). Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi standar (standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

  B.

  Model Merilee S. Grindle (1980) Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (1980) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Variabel isi kebijakan ini mencakup : (1) Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) Jenis manfaat yang diterima oleh target group; (3) Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) Apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

  Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup : (1) Seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

  C.

  Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983) Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni : (1) Karakteristik dari masalah (2) Karakteristik kebijakan/undang-undnag (3) Variabel lingkungan.

1.5.3 Sumber Daya Aparatur

  1.5.3.1 Sumber Daya Manusia Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal dasar dalam proses pembangunan nasional, oleh karena itu maka kualitas SDM senantiasa harus dikembangkan dan diarahkan supaya tercapai tujuan yang diharapkan. Hal ini bertujuan agar organisasi dapat mengelola sumber daya manusia yang baik, sehingga diperoleh tenaga kerja yang benar-benar diandalkan dalam mencapai sasaran. Selain itu aktivitas manajemen sumber daya manusia dapat di lihat dari dua aspek yaitu, aspek kualitas dan aspek kuantitas. Aspek kualitas mencakup sumber daya manusia baik secara fisik maupun non fisik dan juga meliputi kecerdasan mental dalam pelaksanaan pembangunan. Sedangkan aspek kuantitas mencakup jumlah sumber daya manusia yang tersedia.

  Sumber Daya Manusia yang besar hanya akan berguna dan bermanfaat bilamana mereka benar-benar dapat mengabdikan dirinya dan berkarya besar untuk mengisi perjuangan kemerdekaan dengan pembangunan.

  1.5.3.2 Pengertian Sumber Daya Aparatur Secara umum aparatur dapat diartikan sebagai alat “negara” namun ada juga yang beranggapan bahwa aparatur diartikan sebagai “pegawai negeri” yang mengandung pengertian sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada pasal 1 ayat 2 berbunyi :

  Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah

pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh

pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau

diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.

  Pengertian sumber daya aparatur menurut Badudu dan Sutan dalam kamus umum Bahasa Indonesia, adalah terdiri dari kata sumber yaitu, tempat asal dari mana sesuatu datang, daya yaitu usaha untuk meningkatkan kemampuan, sedangkan aparatur yaitu pegawai yang bekerja di pemerintahan. Jadi, sumber daya aparatur adalah kemampuan yang dimiliki oleh pegawai untuk melakukan sesuatu (Badudu dan Sutan, 1996).

  Berdasarkan pendapat di atas, bahwa sumber daya aparatur merupakan sesuatu yang dimiliki seorang pegawai yang berkemampuan untuk melakukan pekerjaan yang telah dibebankan kepadanya. Sumber daya aparatur merupakan faktor penting untuk meningkatkan kinerja suatu pemerintahan. Untuk itu sumber daya aparatur perlu dikelola melalui pemberian pendidikan dan pelatihan yang diterapkan oleh pemerintah, untuk mengembangkan sumber daya aparatur.

  1.5.3.3 Proses Pengadaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah. Pengadaan Pegawai Negeri Sipil adalah proses kegiatan untuk mengisi formasi yang lowong. Lowongan formasi dalam suatu satuan organisasi Negara pada umumnya disebabkan

  berhenti atau adanya perluasan

  oleh 2 (dua) yaitu, adanya Pegawai Negeri Sipil yang

  organisasi. Karena pengadaan Pegawai Negeri Sipil ini adalah untuk keperluan, baik dalam arti jumlah, maupun dalam arti mutu. Kebijakan pengadaan PNS ini diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2013 tentang Pengadaan Pegawai Negeri sipil.

  • a)

  Proses pengadaan pada dasarnya meliputi kegiatan-kegiatan:

  Pengidentifikasian kebutuhan untuk melakukan pengadaan;

  b) Mengindentifikasi persyaratan kerja;

  c) Menetapkan sumber-sumber kandidat;

  d) Menyeleksi kandidat;

  e) Memberitahukan hasilnya kepada para kandidat; dan

f) Menunjuk kandidat yang lolos seleksi.

  Instansi yang menetapkan jumlah pegawai yang direkrut, yaitu Badan Kepegawaian Negara dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) karena terkait dengan anggaran yang masih menanggung semua gaji PNS. Sedangkan instansi yang berwenang melakukan rekrutmen pada pemerintah pusat adalah biro/bagian kepegawaian dari masing-masing instansi, sedang di daerah yang bertanggung jawab adalah Badan Kepegawaian Derah (BKD).

  1.5.3.4 Manajemen Sumber Daya Aparatur Manajemen sumber daya aparatur adalah suatu kegiatan pengelolaan yang meliputi pengadaan, pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa bagi manusia sebagai individu anggota organisasi pemerintahan. Manajemen sumber daya aparatur juga menyangkut cara-cara mendesain sistem perencanaan, penyusunan karyawan, pengelolaan karir, evaluasi kinerja, kompensasi karyawan dan hubungan ketenaga kerjaan.

  Kemudian dapat dikatakan lebih lanjut, proses yang digunakan dalam pengadaan sumber daya aparatur yakni dengan proses rekrutmen/penarikan pegawai. Rekrutmen/penarikan pegawai adalah proses untuk mendapatkan orang yang tepat b agi suatu jabatan tertentu, sehingga orang tersebut mampu bekerja secara optimal dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

  Rekrutmen merupakan serangkaian aktivitas untuk mencari dan memikat pelamar kerja dengan motivasi, kemampuan, keahlian, dan pengetahuan yang di perlukan guna menutupi kekurangan yang di identifikasi dalam perencanaan kepegawaian. Rekrutmen dapat juga dilakukan untuk menambah pegawai baru ke dalam suatu satuan kerja yang kegiatannya semakin menuntut aktivitas yang tinggi.

  Mengingat sangat pentingnya proses rekrutmen/penarikan bagi organisasi Pemerintahan diharapkan dengan adanya proses rekrutmen yang baik dan efektif berdampak bagi perkembangan organisasi kedepannya untuk memperoleh sumberdaya manus ia yang berkuliatas.

  Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS)/ Aparatur Sipil Negara di negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa. Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS/ASN sangat diperlukan. Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan PNS/ASN. Apabila tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga desentralisasi dan otonomi terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, maka PNS/ASN pada daerah-daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat setempat. Ketiga, PNS harus mampu mengelola pemerintahan. Artinya pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi utama PNS. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut. Dalam hubungan ini maka manajemen dan administrasi PNS harus dilakukan secara terpusat, meskipun fungsi- fungsi pemerintahan lain telah diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten dalam rangka otonomi daerah yang diberlakukan saat ini.

  1.5.4 Pengertian Pemerintah Daerah Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan demikian peran pemerintah daerah adalah segala sesuatu yang dilakukan dalam bentuk cara tindak baik dalam rangka melaksanakan otonomi daerah sebagai suatu hak, wewenang, dan kewajiban pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Selain itu, peran pemerintah daerah juga dimaksudkan dalam rangka melaksanakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan sebagai wakil pemerintah di daerah otonom yaitu untuk melakukan: 1.

  Desentralisasi yaitu melaksanakan semua urusan yang semula adalah kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  2. Dekonsentrasi yaitu menerima pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu untuk dilaksanakan; dan 3. Tugas pembantuan yaitu melaksanakan semua penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

  1.5.5 Badan Kepegawaian Daerah Badan ini dibentuk setelah pelaksanaan otonomi daerah tahun 1999. Badan ini yang mengurusi administrasi kepegawaian pemerintah daerah baik di pemerintah daerah kabupaten/kota maupun pemerintah daerah provinsi. Hampir sebagian besar BKD hanya di tingkat kabupaten/kota sedangkan di tingkat provinsi banyak yang masih menggunakan biro yakni Biro Kepegawaian.

  Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan kewenangan mengatur kepegawaian mulai dari rekrutmen sampai dengan pensiun berada di kabupaten/kota. Pembentukan BKD pada umumnya didasarkan pada Peraturan Daerah masing-masing. Sebelum pelaksanaan otonomi daerah semua urusan kepegawaian berada di pemerintah pusat adapun yang ada di daerah hanya sebagai pelaksana administrasi kepegawaian dari kebijakan pemerintah pusat.

1.6 Definisi Konsep

  Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menjabarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial.

  Melalui konsep, dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan yang lainnya.

  1. Menurut Robert Eyestone Kebijakan publik dapat didefinsikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya. Definisi ini dapat diklasifikasikan sebagai democratic governance, dimana didalamnya terdapat interaksi negara dengan rakyatnya dalam rangka mengatasi persoalan publik.

  2. Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam keseluruhan struktur kebijakan. Tahap ini menentukan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah benar-benar aplikabel di lapangan dan berhasil menghasilkan output dan outcomes seperti yang direncanakan. Untuk dapat mewujudkan output dan outcomes yang ditetapkan, maka kebijakan publik perlu diimplementasikan. Dalam pandangan George III menjelaskan bahwasanya implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu:

  Komunikasi -

  • Sumber Daya - Disposisi Struktur Birokrasi - 3.

  Sumber Daya Aparatur adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam suatu lembaga pemerintahan disamping faktor lain seperti uang, alat-alat yang berbasis teknologi misalnya komputer dan internet. Oleh karena itu, sumber daya aparatur harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi pemerintahan dalam me- wujudkan pegawai yang profesional dalam melakukan pekerjaan.

  4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Selain itu, peran pemerintah daerah juga dimaksudkan dalam rangka melaksanakan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan sebagai wakil pemerintah di daerah otonom.

  5. Badan Kepegawaian Daerah merupakan badan yang mengurusi adminis- trasi kepegawaian pemerintah daerah baik di pemerintah daerah kabupaten/kota maupun pemerintah daerah provinsi.

1.7 Sistematika Penulisan

BAB I: PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, dan sistematika penulisan. BAB II: METODE PENELITIAN Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknikpengumpulan data, dan teknik analisis data. BAB III: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini memuat gambaran lokasi penelitian berupa sejarah singkat Badan Kepegawaian Daerah Padang Lawas Utara, visi, misi dan struktur organisasi Badan Kepegawaian Daerah Padang Lawas Utara. BAB IV : PENYAJIAN DATA Bab ini memuat hasil penelitian lapangan dan dokumentasi yang diperoleh yang akan di analisis. BAB V : ANALISIS DATA Bab ini berisikan analisa data dari setiap data yang disajikan yang diperoleh setelah melakukan penelitan di lapangan. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisi mengenai kesimpulan yang diperoleh dari seluruh hasil penelitian

  dan didalamnya terdapat juga saran-saran yang berguna dan bermanfaat serta sifatnya membangun terkiat dengan hasil penelitian.

Dokumen yang terkait

Implementasi Kebijakan dalam Pengadaan Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah (Studi Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara)

0 63 85

Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Sumber Pendapatan Asli Daerah (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) Dalam Kerangka Otonomi Daerah (Studi pada Kabupaten Nias Barat)

0 65 130

Pengaruh Penerapan Pelayanan Prima Terhadap Kinerja Pegawai (Studi Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kuantan Singingi)

3 87 95

Peranan Badan Kepegawaian Daerah Dalam Pelaksanaan Rekrutmen Pegawai Negeri Sipil (Studi Pada Badan Kepegawaian Daerah Kota Pematangsiantar)

9 73 80

Pengaruh Kemampuan Aparatur Pemerintah Daerah Pelaksanaan Otonomi Daerah (Di Sekretariat Daerah Kabupaten Nias)

0 60 139

Sistem Informasi Data Gaji Pegawai Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Aceh Tengah

1 83 117

Peranan Sistem Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah Dan Penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Kualitas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Di Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli Sela

3 58 114

Implementasi Kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahuan 2000 Tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil Di Bidang Kepegawaian Pendidikan Dan pelatihan Daerah (BKPPD) Kabupaten Cianjur

0 15 68

Pengembangan Aparatur Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat

0 4 60

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang - Koordinasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)Kabupaten Karo dalam Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Sinabung

0 0 11