Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Sumber Pendapatan Asli Daerah (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) Dalam Kerangka Otonomi Daerah (Studi pada Kabupaten Nias Barat)

(1)

TESIS

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGATURAN

SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH

(PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH) DALAM

KERANGKA OTONOMI DAERAH

(STUDI PADA KABUPATEN NIAS BARAT)

OLEH : AGNES GULO

107005026/HK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS HUKUM

MEDAN 2013


(2)

Judul Tesis : KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM

PENGATURAN SUMBER PENDAPATAN ASLI DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH

Nama Mahasiswa : Agnes Gulo Nomor Pokok : 107005026 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH)

(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Suhaidi, SH,MH) (Prof. Dr. Runtung, SH,M.Hum)


(3)

Telah diuji pada Tanggal 8 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS 2. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum 3. Dr. Agusmidah, SH, M.Hum


(4)

ABSTRAK

Prof. Muhammad Abduh, SH1 Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS2 Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum3

Agnes Gulo4

Kabupaten Nias Barat sebagai daerah otonom baru dituntut untuk mampu mengeluarkan kebijakan dalam pengaturan sumber pendapatan asli daerah agar tidak sepenuhnya bergantung pada dana dari pemerintah pusat. Dalam penelitian ini terdapat beberapa rumusan masalah yang dibahas yaitu pengaturan sumber-sumber keuangan daerah secara umum dalam kerangka otonomi daerah, kebijakan dan implementasi kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nias Barat, hambatan-hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Nias Barat. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori desentralisasi politik dan fiskal sebagai teori utama serta teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman sebagai teori pendukung.

Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder, penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan dan teknik wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara yakni berupa kuesioner, yang selanjutnya dianalisis secara kualitiatif.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaturan sumber-sumber keuangan daerah khususnya pendapatan asli daerah telah dibentuk dengan memberikan kewenangan luas kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, kebijakan Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali potensi pendapatan asli daerah telah dibentuk dengan cara mengeluarkan produk hukum daerah walaupun belum semua produk hukum tersebut dibentuk. Dalam menjalankan kebijakannya tersebut Pemerintah Kabupaten Nias Barat menghadapi hambatan ekstern dan intern.

Berdasarkan penelitian ini disarankan untuk melengkapi peraturan bupati tentang pajak daerah dan retribusi daerah, selain itu memberikan sanksi administrasi kepada pegawai negeri sipil yang tidak dapat bekerja sesuai target, dan memberikan penghargaan kepada masyarakat yang membayar pajak daerah dan retribusi daerah tepat waktu sehingga memotivasi masyarakat lainnya untuk membayar pajak daerah dan retribusi daerah tepat waktu.

Kata kunci : Kebijakan Pemerintah Daerah, Pendapatan Asli Daerah.

1 Ketua Komisi Pembimbing. 2 Dosen Pembimbing Kedua . 3 Dosen Pembimbing Ketiga .


(5)

ABSTRACT Prof. Muhammad Abduh, SH Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

1

Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum

2

Agnes Gulo

3 4

West Nias Regency as a new autonomous regions is required to issue a policy in the regulation of local revenue sources that are not entirely dependent on central government funding. In this study, there are several issues to be discussed include the formulation of regulation of financial resources within the framework of the general areas of regional autonomy, policy and policy implementation has been done by the Government of West Nias, the obstacles faced by the Government of West Nias Regency. This study was analyzed by using the theory of political and fiscal decentralization as the main theory and the theory of the legal system by Lawrence M. Friedman as the supporting theory

The method used in this thesis is a normative study, using secondary data, this studied used research literature and by using interview guidelines in the form of a questionnaire, which was then analyzed qualitative.

.

Based on the results of research on the regulation of financial resources especially regional revenue has been established to provide broad authority to local goverments to levy local taxes and retribution, the policy of goverment west nias regency explore potential revenue has been estabished by means of issue a local regulation although not all of these legal products formed. The Policy of Government West Nias in running facing external and internal obstacles

Based on this research are suggested to complete the regents of regulation about local taxes and retribution, than give to adminstrative sanctions for civil servant who can not work on target, and give to appreciation to society of west nias who pay local taxes and retribution on time so that motivate other society in west nias to pay lacal taxes and retributions on time.

.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala kasihNYA kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis yang berjudul : “Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Sumber Pendapatan Asli Daerah (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) Dalam Kerangka Otonomi Daerah (Studi pada Kabupaten Nias Barat).

Pada kesempatan yang berbahagia ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak yang telah membantu penulis dalam rangka menyelesaikan tesis ini. Dengan segala hormat penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH&H, CTM (K), Sp.A (K) yang telah sudi memberikan cuti akademik kepada penulis sehingga penulis dapat terus melanjutkan program studi pasca sarjana ilmu hukum.

2. Bapak Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum yang telah sudi memberikan rekomendasi penelitian kepada penulis sehingga dapat meniliti di Kabupaten Nias Barat.

3. Bapak Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak meluangkan waktu untuk mendidik penulis ketika mata perkuliahan metode penelitian hukum sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini.


(7)

4. Prof. Muhammad Abduh, SH sebagai dosen pembimbing pertama yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan selalu berkesempatan hadir di setiap seminar tesis penulis.

5. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS sebagai dosen pembimbing kedua yang telah bersedia untuk membimbing penulis dan selalu berkesempatan hadir dalam setiap seminar tesis penulis.

6. Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum sebagai dosen pembimbing ketiga yang telah berkenan untuk mengarahkan penulis dan selalu berkesempatan hadir dalam setiap seminar tesis penulis.

7. Dr. Mirza Nasution, SH, M.Hum sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dalam penyempurnaan tesis ini dan selalu berkesempatan hadir dalam seminar tesis penulis.

8. Dr. Agusmidah, SH, M.Hum sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dalam penyempurnaan tesis ini dan selalu berkenan hadir dalam setiap seminar tesis penulis.

9. Bupati Nias yang telah memberikan izin belajar kepada penulis sehingga penulis bisa melanjutkan program pasca sarjana ilmu hukum di Universitas Sumatera Utara.

10.Bupati Nias Barat yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian pada instansi yang beliau pimpin dan telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi kepada penulis berkaitan dengan materi penelitian tesis ini.


(8)

11.Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Nias Barat dan Kepala Bidang Pengembangan dan Pendapatan pada Dinas Pendapatan Kabupaten Nias Barat yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi terkait dengan materi tesis ini. 12.Teristimewa Pertama kepada orangtuaku dan adikku mimo yang telah banyak

memberikan dukungan terutama dukungan finansial dan motivasinya dengan tulus ikhlas kepada penulis sehingga penulis bisa melanjutkan strata dua (S2) dan bertahan dalam penyelesaian tesis ini.

13.Teristimewa Kedua kepada para sahabatku kak kartina pakpahan, kak heni widiyani, kak novi andriani kusuma, fajar, roy, rizal, kak susi sitompul, anak kelas A angkatan 2011 dan anak kelas Hukum Administrasi Negara angkatan 2011 serta seluruh teman yang tidak dapat disebutkan namanya masing-masing yang telah memberikan tenaga, pikiran dan waktunya untuk membantu penulis dalam menyusun tesis ini serta selalu setia menghadiri seminar penulis.

Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari berbagai kekurangan atau ketidaksempurnaan, oleh karena itu penulis tetap menerima saran dan kritik guna penyempurnaan tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih memberikan curahan kasihaNYA kepada kita.

Hormat Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK...i

ABSTRACT...ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 11

C. Tujuan Penelitian... 11

D. Manfaat Penelitian... 12

E. Keaslian Penelitian... 13

D. Kerangka Teori dan Konsepsional... 13

1. Kerangka Teori... 13

2. Kerangka Konsepsional... 29

G. Metode Penelitian... 32

1. Spesifikasi Penelitian... 32

2. Sumber Data... 32

3. Teknik Pengumpulan Data... 33

4. Alat Pengumpulan Data... 34


(10)

BAB II PENGATURAN SUMBER-SUMBER KEUANGAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH

A. Defenisi Hukum Keuangan Daerah... 36 B. Pengaturan Sumber-Sumber Keuangan Daerah Dalam Kerangka

Otonomi Daerah... 38 1. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah... 38 2. Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah... 46

BAB III KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

PEMERINTAH KABUPATEN NIAS BARAT DALAM MENGGALI POTENSI PAD

A. Pengertian Kebijakan... 77 B. Kebijakan dan Implementasi Kebijakan Pemerintah Kabupaten

Barat Dalam Menggali Potensi PAD... 84

BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM MENGGALI POTENSI PAD

DI KABUPATEN NIAS BARAT

A. Hambatan Intern... 91 B. Hambatan Ekstren... 105 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 109 B. Saran... 110 DAFTAR PUSTAKA... 112


(11)

DAFTAR TABEL

TABEL 1. Kecamatan di Kabupaten Nias Barat... 75

TABEL 2. Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Nias Barat... 82


(12)

ABSTRAK

Prof. Muhammad Abduh, SH1 Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS2 Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum3

Agnes Gulo4

Kabupaten Nias Barat sebagai daerah otonom baru dituntut untuk mampu mengeluarkan kebijakan dalam pengaturan sumber pendapatan asli daerah agar tidak sepenuhnya bergantung pada dana dari pemerintah pusat. Dalam penelitian ini terdapat beberapa rumusan masalah yang dibahas yaitu pengaturan sumber-sumber keuangan daerah secara umum dalam kerangka otonomi daerah, kebijakan dan implementasi kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nias Barat, hambatan-hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Nias Barat. Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teori desentralisasi politik dan fiskal sebagai teori utama serta teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman sebagai teori pendukung.

Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder, penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan dan teknik wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara yakni berupa kuesioner, yang selanjutnya dianalisis secara kualitiatif.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaturan sumber-sumber keuangan daerah khususnya pendapatan asli daerah telah dibentuk dengan memberikan kewenangan luas kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, kebijakan Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali potensi pendapatan asli daerah telah dibentuk dengan cara mengeluarkan produk hukum daerah walaupun belum semua produk hukum tersebut dibentuk. Dalam menjalankan kebijakannya tersebut Pemerintah Kabupaten Nias Barat menghadapi hambatan ekstern dan intern.

Berdasarkan penelitian ini disarankan untuk melengkapi peraturan bupati tentang pajak daerah dan retribusi daerah, selain itu memberikan sanksi administrasi kepada pegawai negeri sipil yang tidak dapat bekerja sesuai target, dan memberikan penghargaan kepada masyarakat yang membayar pajak daerah dan retribusi daerah tepat waktu sehingga memotivasi masyarakat lainnya untuk membayar pajak daerah dan retribusi daerah tepat waktu.

Kata kunci : Kebijakan Pemerintah Daerah, Pendapatan Asli Daerah.

1 Ketua Komisi Pembimbing. 2 Dosen Pembimbing Kedua . 3 Dosen Pembimbing Ketiga .


(13)

ABSTRACT Prof. Muhammad Abduh, SH Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

1

Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum

2

Agnes Gulo

3 4

West Nias Regency as a new autonomous regions is required to issue a policy in the regulation of local revenue sources that are not entirely dependent on central government funding. In this study, there are several issues to be discussed include the formulation of regulation of financial resources within the framework of the general areas of regional autonomy, policy and policy implementation has been done by the Government of West Nias, the obstacles faced by the Government of West Nias Regency. This study was analyzed by using the theory of political and fiscal decentralization as the main theory and the theory of the legal system by Lawrence M. Friedman as the supporting theory

The method used in this thesis is a normative study, using secondary data, this studied used research literature and by using interview guidelines in the form of a questionnaire, which was then analyzed qualitative.

.

Based on the results of research on the regulation of financial resources especially regional revenue has been established to provide broad authority to local goverments to levy local taxes and retribution, the policy of goverment west nias regency explore potential revenue has been estabished by means of issue a local regulation although not all of these legal products formed. The Policy of Government West Nias in running facing external and internal obstacles

Based on this research are suggested to complete the regents of regulation about local taxes and retribution, than give to adminstrative sanctions for civil servant who can not work on target, and give to appreciation to society of west nias who pay local taxes and retribution on time so that motivate other society in west nias to pay lacal taxes and retributions on time.

.


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kabupaten Nias Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Nias yang terdiri dari delapan kecamatan yaitu Kecamatan Lahomi, Kecamatan Sirombu, Kecamatan Mandrehe Barat, Kecamatan Moro’o, Kecamatan Ulu Moro’o, Kecamatan Lolofitu Moi, Kecamatan Mandrehe, dan Kecamatan Mandrehe Utara. sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Nias Barat Di Provinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan data dari Nias Barat Dalam Angka 2011 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Barat dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Nias Barat dijabarkan secara singkat tentang keadaan Kabupaten Nias Barat secara keseluruhan yaitu sebagai berikut :

Kabupaten Nias Barat adalah salah satu daerah kabupaten di Provinsi Sumatera Utara yang berada dalam satu pulau dengan Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Utara, Kabupaten Nias Selatan dan Kota Gunungsitoli yang disebut sebagapi Pulau Nias. Kabupaten Nias Barat berada di sebelah barat Pulau Nias yang berjarak ± 60 km (enam puluh kilometer) dari Kota Gunungsitoli. Kabupaten Nias Barat berbatasan dengan :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tugala Oyo Kabupaten Nias Utara.


(15)

b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Lolowau Kabupaten Nias Selatan.

c. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Botomuzoi, Kecamatan Ma’u, Kecamatan Hiliserangkai, dan Kecamatan Gido Kabupaten Nias.

d. Sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia.

Keadaan topografi wlayah Kabupaten Nias Barat yakni berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan dengan ketinggian dari permukaan laut bervariasi antara 0-800 m. Selain itu terdiri dari dataran rendah sampai tanah bergelombang mencapai 48 % (empat puluh delapan persen), 35 % (tiga puluh lima persen) dengan tanah bergelombang sampai berbukit-bukit, 16 % (enam belas persen) dari keseluruhan luas daratan adalah bukit dan pegunungan.

Keadaan kondisi topografi yang demikian maka bentuk jalan di Kabupaten Nias Barat yang berbelok-belok sehingga banyak kecamatan di Kabupaten Nias Barat umumnya terletak di daerah perbukitan.

Dari segi pemerintahan, Kabupaten Nias Barat terdiri dari 8 (delapan) kecamatan dengan 105 desa. Seluruh desa-desa di Kabupaten Nias Barat tergolong dalam klasifikasi Desa Swadaya, dikatakan desa swadaya adalah apabila tingkat kemajuan indikator tersebut di bawah tingkat kemajuan kota dan nasional.

Sebagai suatu pemerintahan daerah yang baru, Kabupaten Nias Barat dituntut untuk mampu menata kabupatennya ke arah pembangunan yang berkesinambungan. Sebagai daerah otonom baru, Kabupaten Nias Barat harus mampu melaksanakan


(16)

otonominya dengan baik. Terdapat beberapa hal yang menunjukkan keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan otonomi daerahnya yakni :5

1. Kemampuan daerah dalam menyelenggarakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan.

2. Kemampuan daerah menyelenggarakan efisiensi pelaksanaan pemerintahan termasuk dalam hal ini penerimaan dan pengeluaran sumber-sumber pembiayaan daerah.

3. Kemampuan daerah dalam mengatasi masalah pemenuhan kesejahteraan rakyat daerah.

4. Kemampuan daerah dalam memperkuat dan kesatuan nasional.

Oleh karena itu guna mencapai keberhasilan dalam menjalankan otonominya, maka pemerintah daerah harus mampu memenuhi 4 (empat) point di atas. Penyelenggaraan pemerintah di daerah tidak terlepas dari persoalan keuangan. Suatu pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik apabila faktor keuangan tidak dapat dipenuhi.

Dalam penyelenggaran pemerintahan daerah, faktor keuangan daerah sangat erat hubungannya dengan pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat sehingga di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membagi urusan pemerintah daerah menjadi urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib merupakan hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan dasar sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintah yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,

5 Faisal Akbar Nasution, Pemerintahan Daerah dan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah, (Jakarta : Sofmedia, 2009), hal. 12.


(17)

kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan6. Adapun yang menjadi urusan wajib daerah yakni :7

1. Pendidikan.

2. Kesehatan.

3. Lingkungan hidup. 4. Pekerjaan umum. 5. Penataan ruang.

6. Perencanaan pembangunan. 7. Perumahan.

8. Kepemudaan dan olah raga. 9. Penanaman modal.

10.Koperasi dan usaha kecil dan menengah. 11.Kependudukan dan catatan sipil.

12.Ketenagakerjaan. 13.Ketahanan pangan.

14.Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. 15.Keluarga berencana dan keluarga sejahtera. 16.Perhubungan.

17.Komunikasi dan informatika. 18.Pertahanan.

19.Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri.

20.Otonomi daerah, pemerintahan umum, administasi umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian.

21.Pemberdayaan masyarakat dan desa. 22.Sosial.

23.Kebudayaan. 24.Statistik. 25.Kearsipan. 26.Perpustakan.

Sedangkan yang menjadi urusan pilihan daerah adalah : 1. Kelautan dan perikanan.

2. Pertanian. 3. Kehutanan.

4. Energi dan sumber daya mineral. 5. Pariwisata.

6 Josef Riwu Kaho, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, (Yogyakarta : Polgov Fisipol UGM, 2012), hal. 131.


(18)

6. Industri. 7. Perdagangan. 8. Ketransmigrasian.

Keberadaan pemerintah daerah sangat diperlukan dalam memainkan atau menjalankan urusan-urusannya baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan-urusannya tersebut apabila didukung oleh kemampuan pembiayaan yang dijabarkan dalam anggaran.8

1. Pendapatan asli daerah (PAD) terdiri dari :

Pemerintah daerah tidak hanya mengandalkan pemberian dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), namun pemerintah daerah juga harus mampu menggali potensi-potensi yang ada di daerahnya. Menurut Pasal 157 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, diatur mengenai sumber-sumber pendapatan daerah yakni :

a. Hasil pajak daerah. b. Hasil retribusi daerah.

c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

2. Dana perimbangan.

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, diatur juga sumber pendapatan daerah yang mana sumber-sumbernya sejalan dengan undang-undang Pemda. Tidak dapat dipungkiri bahwa PAD merupakan salah satu sumber keuangan penting daerah, atau dengan kata lain menempati posisi paling strategis bila dibandingkan dengan sumber keuangan daerah lainnya. Alasan PAD dikatakan mempunyai posisi yang

8 Rahardjo Adisasmita, Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah, ( Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), hal. 15.


(19)

strategis sebab sumber keuangan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah inilah yang dapat membuat daerah mempunyai kebebasan untuk memaksimalkan menggali potensi daerahnya masing-masing.9

Peran PAD sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan harus ditingkatkan seoptimal mungkin dalam rangka mewujudkan semangat kemandirian lokal. Mandiri diartikan sebagai semangat dan tekad yang kuat untuk membangun daerahnya sendiri dengan tidak semata-mata menggantungkan pada fasilitas atau faktor yang berasal dari luar.

Pengaruh dari faktor keuangan dapat mencerminkan kualitas keberadaan dari suatu pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraannya10. Apabila keberadaan keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah dalam menjalankan keorganisasian negara baik dalam rangka melaksanakan urusan pemerintah dalam melayani kepentingan masyarakatnya maupun dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk mensejahterakan warganya akan bertambah stabil.11

Mengingat eksistensi keuangan demikian vital bagi pemerintah daerah, maka segala daya upaya akan dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan dan

Sebaliknya, suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi berbagai problema pelik dalam mempelancar pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan jika tidak didukung oleh kondisi keuangan yang baik pula.

9 Faisal Akbar Nasution, op.cit, hal. 123.

10 Adrian Sutendi, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 22.


(20)

memanfaatkan segenap sumber keuangan yang ada. Hasil-hasil yang diperoleh selanjutnya akan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran kegiatan pemerintahan dan pembangunan.

Berbagai cara dilakukan pemerintah daerah dalam meningkatkan kemampuan keuangan daerahnya agar dapat melaksanakan otonomi. Pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tujuan dari undang-undang ini yakni memberikan kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah sehingga dapat mendorong Pemerintah Daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan pendapatan asli daerah, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Selain itu juga, di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang RI No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Derah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kesempatan atau peluang kepada Pemerintah Daerah guna meningkatkan penerimaan daerahnya, karena sudah terdapat payung pelaksananya.12

Namun, sekarang yang menjadi suatu persoalan adalah mengenai kemampuan daerah otonom untuk mengali kemampuan potensi di daerahnya tanpa bergantung sepenuhnya terhadap keuangan yang bersumber dari Pemerintah Pusat. Kemampuan

12 Ghozali Maskie dkk, Peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Langsung Untuk Mendukung Kemandirian Daerah (Studi Kasus Pemerintah Kota Malang), diakses dari http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/32838/peranan-pendapatan-asli-daerah-pad-terhadap-belanja-daerah-langsung-untuk-mendukung-kemandirian-daerah.doc. tanggal 27/01/2013 pukul 20:06.


(21)

setiap daerah untuk dapat mencukupi semua pengeluarannya dapat dilihat dari besarnya peranan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pengeluaran daerah. Semakin tinggi presentase PAD dibanding pengeluaran daerah ini berarti kemampuan daerah untuk mencukupi kebutuhannya semakin besar atau dapat dikatakan daerah yang bersangkutan semakin mandiri. Sebaliknya jika PAD yang digunakan untuk pembiayaan pengeluaran daerah presentasenya kecil dibandingkan total pengeluaran daerah, maka dapat dikatakan bahwa daerah yang bersangkutan kemampuan untuk membiayai pengeluarannya dari PAD nya masih kecil atau dengan kata lain daerah yang bersangkutan tergantung pada Pemerintah Pusat dalam membiayai pengeluaran daerahnya.

Meskipun tingkat ketergantungan keuangan daerah otonom terhadap pemerintah pusat masih sangat tinggi, namun diharapkan kepada setiap daerah otonom untuk mengidentifikasi seluruh potensi sumber-sumber PAD yang dimiliki untuk ditingkatkan secara intensif dan ekstensif disamping peningkatan pengelolaan sumberdaya alam di daerah sebagai hasil pelaksanaan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Meningkatnya penerimaan daerah tersebut akan meningkatkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Kemandirian suatu daerah tersebut dapat terlaksana apabila pemerintah daerah menggunakan kewenangannya. Kewenangan yang begitu luas tentu akan membawa


(22)

konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan kewenangannya13

Pemerintah daerah yang terdiri dari gubernur/bupati/walikota beserta perangkat daerah merupakan pihak-pihak yang menjalankan kewenangan daerahnya. Di dalam menjalankan kewenangannya seorang kepala daerah memiliki tugas dan wewenang serta kewajiban, adapun yang menjadi tugas dan wewenang kepala daerah yakni:

. Kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal dan agama.

14

1. Memimpin penyelenggaran pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.

2. Mengajukan rancangan Perda.

3. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD.

4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama.

5. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah.

6. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

7. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang menjadi kewajiban kepala daerah adalah sebagai berikut: 15

1. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.

3. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

13 Peranan Pendapatan Asli Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, diakses dari http://reviewtesis.blogspot.com/2008/02/peranan-pendapatan-asli-daerah-dalam.html, tanggal 29/01/2-13 pukul 22:42 Wib.

14 Pasal 25 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 15 Pasal 27 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda.


(23)

4. Melaksanakan kehidupan demokrasi.

5. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. 6. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. 7. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah.

8. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik.

9. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah. 10.Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua

perangkat daerah.

11.Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD.

Tugas dan wewenang serta kewajiban kepala daerah dapat implementasikan dalam bentuk kegiatan-kegiatan administrasi negara yakni : 16

1. Penetapan (beschikking, administrative discretion). 2. Rencana (plan).

3. Norma jabaran (concrete normgeving). 4. Legislasi-semu (pseudo-wetgeving).

Oleh karena itu, dengan adanya kegiatan-kegiatan administrasi negara tersebut diharapkan daerah dapat mendapatkan haknya yakni memungut pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerinthan Daerah.

Penelitian tesis ini berfokus untuk menyelidiki dan/atau menganalisis bagaimana cara aparat dalam hal ini kepala daerah dan perangkat daerah di Kabupaten Nias Barat dalam menjalankan kewenangannya berdasarkan undang-undang, sebab kajian dalam tesis ini adalah mengenai hukum administrasi negara, yang mana hukum administrasi negara mengatur tentang wewenang, tugas dan fungsi

16 Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara cet. ke 10 ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994), hal. 87


(24)

serta tingkah laku para pejabat administrasi negara,17

B. Rumusan Masalah

khususnya dalam menggali potensi pendapatan asli daerah terutama pajak daerah dan retribusi daerah di Kabupaten Nias Barat yang merupakan daerah otonom baru, maka hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk membahas tentang “Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Sumber Pendapatan Asli Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah” .

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan sumber-sumber keuangan daerah secara umum dalam kerangka otonomi daerah ?

2. Bagaimanakah kebijakan dan implementasi kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali potensi PAD ?

3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali potensi PAD ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yakni : 1. Untuk mengetahui pengaturan sumber-sumber keuangan daerah secara umum

dalam kerangka otonomi daerah.

2. Untuk mengetahui kebijakan dan implementasi kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali potensi PAD.


(25)

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam menggali PAD.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan yang diuraikan di atas, maka penulisan karya ilmiah ini juga bermanfaat antara lain untuk :

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah ilmu pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran mengenai pengaturan sumber-sumber keuangan daerah dan mengenai kebijakan pemerintah daerah dalam pengaturan sumber PAD di Kabupaten Nias Barat yang merupakan daerah otonom baru serta implementasi kebijakan Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam pengaturan sumber PAD di Kabupaten Nias Barat.

b. Sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lanjutan. 2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan :

a. Memberi kontribusi pemikiran kepada masyarakat tentang kebijakan Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam pengaturan sumber PAD yang merupakan daerah otonom baru.

b. Memberikan masukan kepada Pemerintah Kabupaten Nias Barat dalam hal pengaturan sumber PAD sehingga berdampak dalam perolehan PAD di Kabupaten Nias Barat yang merupakan daerah otonom baru.


(26)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dari hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai masalah Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Sumber PAD Dalam Kerangka Otonomi Daerah (Studi pada Kabupaten Nias Barat) belum pernah dilakukan penelitian dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat saya pertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Namun sebagai bahan perbandingan, terdapat tesis yang berkaitan dengan PAD yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pedagang Kaki Lima dan Kontribusinya Terhadap PAD di Kabupaten Deli Serdang” atas nama Eli Esra S. Tarigan, mengangkat beberapa permasalahan yakni mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap pedagang kaki lima sebagai pembayar retribusi sesuai dengan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2000, apakah pemberian izin usaha tempat berjualan bagi pedagang kaki lima (PKL) memberi kontribusi terhadap PAD di Kabupaten Deli Serdang? serta upaya apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Deli Serdang untuk mengoptimalkan penerimaan retribusi pasar pedagang kaki lima?. F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

Kajian pustaka merupakan aktivitas penelitian yang sangat berguna dalam menemukan teori-teori yang relevan dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan. Kajian pustaka diperoleh melalui buku teks, monograf, jurnal, disertasi


(27)

maupun hasil-hasil penelitian yang terdokumentasikan. Setelah masalah penelitian dirumuskan, langkah berikutnya yang dilakukan adalah mencari teori, konsep serta generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan landasan teoritis untuk penelitian yang dilakukan18. Penyusunan kerangka teori menjadi keharusan, agar masalah yang diteliti dapat dianalisis secara komprehensif dan objektif. Kerangka teori disusun untuk menjadi landasan berpikir yang menunjukkan sudut pandang pemecahan masalah yang telah disusun.19

Kegiatan penelitian senantiasa berkaitan erat dengan teori. Dengan penelitian, pengkaji dapat menguji teori dan mengembangkannya sesuai dengan keluasan dan ruang lingkup yang dibahas. Teori akan mengarahkan kegiatan penelitian dalam upaya memperluas cakrawala pengetahuan secara teoritis.20 Teori juga bermanfaat untuk memberi dukungan analisis atas topik yang sedang dikaji21 serta bermanfaat sebagai pisau analisis dalam pembahasan terhadap masalah penelitian, berupa fakta dan peristiwa hukum yang terjadi.22

18 Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 18.

Dengan demikian teori dapat digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi sekaligus berfungsi sebagai wacana yang memperkaya dan mempertajam argumentasi dalam memahami masalah yang menjadi objek penelitian.

19 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010) hal. 93.

20 Agus Salim, Bangunan Teori : Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), hal. 84.

21 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, op.cit, hal. 44 22 Ibid, hal. 146


(28)

Teori menempati tempat yang terpenting dalam penelitian, sebab teori memberikan sarana untuk merangkum dan memahami masalah yang dikaji secara lebih baik. Hal-hal yang pada awalnya terlihat tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditujukan kaitannya satu sama lain secara bermakna, sehingga teori berfungsi memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistematisasikan masalah yang dikaji.23

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori desentralisasi politik dan fiskal sebagai teori utama serta teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman sebagai teori pendukung . Teori-teori dimaksud untuk dijadikan sebagai pisau analisis sekaligus wacana dalam menganalisis dan menjelaskan masalah yang akan diteliti, dimana desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal mengkaji bagaimana kewenangan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan khususnya dalam menggali potensi PAD di Kabupaten Nias Barat, sebab desentralisasi fiskal tidak akan bermanfaat apabila tidak diikuti dengan kemampuan finansial yang memadai dari suatu pemerintahan daerah, sedangkan teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman digunakan untuk mengkaji hambatan-hambatan yang terjadi dalam menjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Membahas mengenai desentralisasi maka akan berkaitan dengan susunan negara, hal ini disebabkan esensi pemerintahan di daerah berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya. Kewenangan pemerintah daerah berkaitan dengan pembagian kekuasaan dalam


(29)

penyelenggaran pemerintahan sehingga terpola dalam sistem pemerintahan negara federal dan negara kesatuan. Pola sistem negara federal terpola dalam tiga struktur yakni pemerintah federal (pusat), pemerintah negara bagian (provinsi), dan pemerintah daerah otonom, sedangkan sistem negara kesatuan terpola dalam dua struktur tingkatan utama yakni pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota).

Negara kesatuan merupakan bentuk negara yang paling kukuh apabila dibandingkan dengan negara federasi atau konfederansi. Dalam negara kesatuan terdapat bentuk persatuan maupun kesatuan. Untuk hal-hal tertentu negara federasi berbeda dari negara kesatuan. Menurut Prof. Kranenbug terdapat perbedaan mencolok dari dua bentuk negara ini. Pertama, negara bagian dari suatu federasi mempunyai wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri dalam rangka konstitusi federal sedangkan dalam negara kesatuan organisasi bagian-bagian negara dalam garis-garis besarnya telah ditetapkan oleh pembentuk undang-undang.24

24 Muhammad Dekosaputra, Pengertian Desentralisasi Politik, diakses dari

http://muhammaddekosaputra.blogspot .com/2012/05/pengertian-desentralisasi-politik-dan.html, tanggal 15/02/2013, pukul 19:53 Wib.

Kedua, dalam negara federal wewenang pembentuk undang-undang pusat yang mengatur hal-hal tertentu telah diperinci satu persatu dalam konstitusi federal, sedangkan dalam negara kesatuan wewenang pembentuk undang-undang yang lebih rendah


(30)

tingkatannya atau setempat/lokal tergantung pada badan pembentuk undang-undang pusat itu.25

Negara Republik Indonesia ialah negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Ide negara kesatuan termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar yang tersirat yakni “ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...”.26

Pembagian tugas oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan distribusi kekuasaan. Distribusi kekuasaan dibagi menjadi dua kategori yakni :27

1. Distribusi vertikal adalah pembagian kekuasaan atau fungsi antara pemerintah pusat atau pemerintah nasional dengan konstituennya atau subsidiary level of goverment (pemerintah daerah atau negara bagian).

2. Distribusi horizontal adalah pembagian fungsi kekuasaan atau kekuasaan di antara cabang-cabang pemerintahan (the branches of goverment) seperti misalnya fungsi atau kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif (trias politica). Dalam distribusi inilah terbentuk dua kategori sistem pemerintahan yang tekanannya pada kekuasaan eksekutif yang selanjutnya disebut sistem pemerintahan presidensial dan yang tekanannya pada legislative dikenal pada sistem parlementer.

Selain itu pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga secara tegas dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

25 Pengertian Desentralisasi Fiskal, diakses dari http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-desentralisasi-fiskal.html., tanggal 15/02/2013, pukul 20:06 Wib.

26 Pembukaan Undang-undang Dasar RI 1945, alinea ke-4

27 Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia, ( Yogyakarta : Matapena Institute, 2012), hal. 132.


(31)

pembantuan”, selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Dengan adanya pasal yang mengatur tentang pembagian tugas dari pusat ke daerah maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah guna pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar 1945.

Otonomi berkaitan erat dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah melalui sistem desentralisasi. Desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom sehingga setiap pembicaraan mengenai desentralisasi akan selalu dipersamakan atau dengan sendirinya berarti membicarakan otonomi.

Desentralisasi seringkali diinterprestasikan sebagai antitesa dari sentralisasi, antara dua kutub itu dalam perkembangannya tidak jarang diletakkan pada kutub yang saling berlawanan, seyogiyanya di dalam negara kesatuan di samping keliru untuk mempertentangkan keduanya juga antara keduanya tidak bisa ditiadakan sama sekali. Artinya kedua konsep, sistem, bahkan teori dimaksud saling melengkapi dan membutuhkan dalam kerangka yang ideal sebagai sendi negara demokratis.

Desentralisasi pemerintahan yang pelaksanaannya diwujudkan dengan pemberian otonomi kepada daerah-daerah bertujuan untuk penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksaanaan pembangunan.28

28 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2011), hal. 57.

Dengan demikian, daerah perlu diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya, serta


(32)

sekaligus memiliki pendapatan daerah seperti pajak-pajak daerah, retribusi daerah dan lain-lain pendapatan yang sah.

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dsentralisasi melahirkan daerah otonom, baik daerah provinsi, kabupaten, dan kota, ciri terpenting bagi badan atau organ yang didesentralisasikan ialah mempunyai sumber-sumber keuangan sendiri untuk membiayai pelaksanaan tugasnya29. Dalam masyarakat yang majemuk secara etnis, regional, agama, dan sejarah, desentralisasi diharapkan dapat menghilangkan kendala dalam pengambilan keputusan, penerimaan publik atas keputusan pemerintah, serta memfasilitasi tindakan dan kerjasama kolektif30

Desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan keinginan pemerintah untuk merespon permintaan masyarakat lokal dengan mempromosikan kompetisi antarpemerintah daerah

. Hal ini terjadi karena kepercayaan yang besar, tindakan kolektif, dan keputusan yang memiliki legitimasi akan diperoleh dalam lingkungan yang lebih homogen.

31

. Menurut Ormar Azfar terdapat enam faktor yang mempengaruhi kinerja desentralisasi yakni :32

1. Kerangka kerja hukum dan politik. 2. Kebijakan fiskal.

3. Transparansi dalam tindakan pemerintah. 4. Partisipasi warga dalam penyediaan jasa publik. 5. Masyarakat sipil dan struktur sosial.

6. Kapasitas pemerintah daerah.

29 Adrian Sutendi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2008), hal. 3. 30 Ibid.

31 Ibid. 32 Ibid.


(33)

Oleh karena itu desentralisasi harus di dukung oleh instrumen hukum dan politik yang demokratis, kebijakan fiskal yang jelas dan tidak disortif, pemerintahan yang transparan, partisipasi warga, masyarakat sipil yang kuat dan idependen, serta kapasitas pemerintah yang memadai. Semakin lengkap faktor pendukung yang dimiliki oleh suatu daerah, maka semakin dapat kebijakan desentralisasi mencapai tujuan yang diharapkan. Sebaliknya apabila minim faktor pendukung desentralisasi yang dimiliki oleh suatu daerah maka semakin besar peluang kebijakan desentralisasi33

Teori desentralisasi awalnya dipelopori oleh Van Der Pot yang ditulis dalam bukunya “Hanboek van Nederlands Staatsrech”, Van Der Pot membedakan desentralisasi atas desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional

.

34

. Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah (gebeidcorporatie), berbentuk “otonomi” dan “tugas pembantuan”.35 Desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan tertentu (doelcorporatie).36

Irwan Soedjito membedakan desentralisasi dalam tiga kategori yakni desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan desentralisasi administratif atau

33 Ibid.

34 Lukman Hakim, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah-Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi Dalam Penyelenggaraan Pemernitah Negara Hukum dan Kesatuan, ( Malang : Setara Press, 2012) hal. 13.

35 Ibid. 36 Ibid.


(34)

dekonsentrasi.37

Litvack dan Sedon, mengkategorikan desentralisasi secara teoritis menjadi empat tipe yang meliputi :

Pengertian desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional sama dengan pengertian yang telah lazim diikuti (pendapat Van der Pot) di atas, sedangkan desentralisasi administratif atau dekonsentrasi (ombtelijk decentralisatie) mengandung arti bahwa pemerintah pusat melimpahkan sebagian dari kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ pemerintah sendiri di daerah yakni pejabat-pejabat pemerintah yang ada di daerah untuk dilaksanakan.

38

1. Desentralisasi politik

2. Desentralisasi administratif yang memiliki tiga bentuk yaitu : a. Dekonsentrasi.

b. Delegasi. c. Devolusi.

3. Desentralisasi fiskal. 4. Desentralisasi politik.

Litvack dan Sedon mengemukakan desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal merupakan teori yang searah dengan penulisan tesis ini. Kebijakan pemerintah daerah dalam pengaturan sumber pendapatan asli daerah merupakan pelaksanaan dari tugas pemerintah daerah dalam mensejahterahkan masyarakatnya. Kebijakan dibuat bukan hanya berlandaskan demi kepentingan hukum semata, namun juga berlandaskan kepentingan politik.

Pengertian desentralisasi politik oleh Amrah Muslimin adalah pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat yang menimbulkan hak mengurus kepentingan

37 Irawan Soedjito, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, (Jakarta : Bina Aksara, 1981), hal. 29.


(35)

rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu.39 Perspektif desentralisasi politik mendefenisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan (devolution of power) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan juga sebagai substansi utama desentralisasi, kendati devolusi kekuasaan tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan.40

Pengertian desentralisasi politik oleh Rondineli merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bertujuan guna meningkatkan kekuasaan kepada penduduk dan perwakilan politik mereka dalam pembuatan kebijakan publik.41

Robert A. Simanjuntak membagi desentralisasi menjadi atas tiga yakni desentralisasi politik, fiskal, dan administrasi, yang mana ketiga jenis desentralisasi ini saling berkaitan satu sama lain yang dilaksanakan secara bersama-sama agar tujuan dari otonomi daerah dapat tercapai misalnya peningkatan pelayanan publik dapat dilaksanakan. 42

39 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung : Nusa Media, 2012), hal.65 40 Syarif Hidayat, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State society Relation, diakses dari www.unas.ac.id, tanggal 15/02/2013, pukul 22:12 Wib.

41 Ahmad Burhanudin Taufiz, Konsep Desentralisasi, diakses dari lontar.ui.ac.id, tanggal 20/02/2013 pukul 11:26 Wib.


(36)

Pengertian desentralisasi politik oleh Brian C. Smith merupakan penyerahan wewenang untuk mengambil keputusan dalam bidang kebijaksanaan publik kepada lembaga perwakilan rakyat ditingkat lokal dengan undang-undang.43

Pengertian desentralisasi politik oleh A.H. Hanson yakni wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengambil keputusan politik dan administrasi.44

John R. Nellis menyatakan bahwa dengan adanya desentralisasi politik maka pemerintah daerah menjadi daerah otonom yang bebas karena dengan desentralisasi politik membuat pemerintah daerah menjadi terpisah dari pemerintah pusat yang tentunya keterpisahan ini diiringi oleh kemandirian yang baik dari segi finansial dan hukum dari pemerintah daerah itu sendiri.45

Berbagai pendapat para ahli tentang desentralisasi politik maka prespektif desentralisasi politik lebih menekankan tujuan yang hendak dicapai pada aspek politis yaitu meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan masyarakat, serta mempertahankan integritas nasional demi terciptanya kepentingan nasional (pemerintah pusat) dan kepentingan pemerintah daerah yang pada akhirnya dihasilkannya suatu kebijakan demi kepentingan umum.

Dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat maka terdapat beberapa tujuan dari desentralisasi politik yaitu dari sisi masyarakat belajar mengenali dan memahami

43 Mulia Darmawan, Kelebihan dan kekurangan Desentralisasi di Berbagai Negara, diakses dari muliadarmawan.blogspot.com/2012/03/kelebihan-dan kekurangan-desentralisasi.html.

44 Ibid. 45 Ibid.


(37)

berbagai persoalan politik yang mereka hadapi, menghindari atau bahkan menolak untuk memilih calon legislatif yang tidak memiliki kualifikasi kemampuan politik dan belajar mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, termasuk mengenai penerimaan dan belanja daerah. Sedangkan dari sisi kepentingan pemerintah daerah tujuan dari desentralisasi politik ini adalah untuk mewujudkan political equality sehingga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal guna mempraktikan bentuk-bentuk partisipasi politik misalnya menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan, mendapatkan kebebasan mengekspresikan kepentingan dan aktif dalam proses pengambilan kebijakan.

Penyelenggaran pemerintahan daerah melalui berbagai jenis desentralisasi yang berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak di dalam negara demokrasi. Dengan artian lain bahwa desentralisasi bukan sekedar pemencaran wewenang tetapi mengandung juga pembagian kekuasaan guna mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tingkatan lebih rendah. Ini disebabkan desentralisasi senantiasa berkaitan dengan status mandiri atau otonom, sehingga setiap pembicaraan tentang desentralisasi akan selalu disamakan dengan membicarakan otonomi.

Dalam menjalankan kewenangannya untuk menggali potensi daerah, bukannya hanya ditinjau dari desentralisasi politik saja namun juga ditinjau dari segi desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk


(38)

mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.46 Hubungan fiskal antara pemerintahan dapat tergambar sebagai berikut :47

1. Pendanaan bagi sebagian besar belanja selama masa transisi yang sulit.

2. Penjelasan bagaimana menilai kapasitas belanja dan penerimaan dalam pemberian hibah secara seimbang.

3. Peletakan dasar-dasar bagi peningkatan PAD melalui perpajakan daerah, potensi-potensi yang bisa dipakai untuk meningkatkan pertanggungjawaban. 4. Sistem informasi untuk memonitor keuangan daerah.

Gagasan dasar desentralisasi fiskal ialah penyerahan beban tugas pembangunan, penyediaan layanan publik dan sumber daya keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sehingga tugas-tugas itu akan lebih dekat dengan masyarakat.

Bahl dan Linn berpendapat bahwa ada tiga argumentasi yang dapat dikemukakan mengenai desentralisasi fiskal yakni:48

1. Jika unsur-unsur belanja dan tingkat pajak ditentukan pada jenjang pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat ke masyarakat akan lebih puas dengan layanan yang diberikan pemerintah.

2. Pemerintah daerah yang lebih kuat akan menunjang pembangunan bangsa karena masyarakat lebih mudah mengidentifikasi diri dengan pemerintah daerah ketimbang pemerintah pusat. Apabila tanggungjawab mengenai perpajakan, kebijakan keuangan, dan layanan publik diserahkan kepada pemerintah daerah, maka pemerintah daerah akan saling bersaing untuk melakukan yang terbaik bagi rakyat yang akan memperbaiki pembangunan bangsa.

3. Keseluruhan mobilisasi sumber daya akan bertambah baik karena pihak pemerintah daerah dapat lebih tanggap dan mudah menarik pajak dari

46 Juli Panglima Saragih, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003), hal. 83.

47 Adrian Sutendi, op.cit, hal. 40.

48 Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal - Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 6.


(39)

sektor ekonomi yang tumbuh cepat jika dibanding pemerintah pusat. Dalam memobilisasi sumber daya, pemerintah pusat biasanya terkendala oleh kondisi geografis dan rentang kendali. Oleh karena itu, apabila pemerintah daerah diberi tanggungjawab yang lebih besar maka mobilisasi sumber daya akan dapat dilakukan dengan baik.

Desentralisasi fiskal menurut Ebel adalah suatu desentralisasi yang terkait dengan masalah pembagian peran dan tanggungjawab antarjenjang pemerintah, transfer antarjenjang pemerintahan, penguatan sistem pendapatan daerah atau perumusan sistem pelayanan publik di daerah, swastanisasi perusahaan milik pemerintah (terkadang menyangkut tanggungjawab pemerintah daerah), penyediaan jaring pengaman sosial.49

Hubungan keuangan pada intinya berkaitan dengan penyerahan kewenangan dibidang keuangan dari pemerintah pusat ke daerah. Oleh karena itu, dikenallah hubungan keuangan ini sebagai desentralisasi fiskal. Untuk pemerintah daerah, desentralisasi fiskal ini bertujuan untuk menetapkan jumlah uang yang akan digunakan pemerintah daerah guna memberikan pelayanan kepada masyarakat. Apabila ada kepastian mengenai jumlah alokasi dana yang akan ditransfer, yang selanjutnya ditentukan bagaimana mekanisme pembagian dan penyalurannya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah supaya pelayanan publik dapat terlaksana secara efesien dan efektif.

Kepastian mengenai jumlah alokasi dan mekanisme penyaluran akan menjadi bahan pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah untuk merencanakan jenis dan tingkat pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat yang semuanya bertujuan


(40)

agar desentralisasi fiskal ini memberikan jaminan kepastian bagi pemerintah daerah bahwa ada penyerahan kewenangan dan sumber pendapatan yang memadai untuk memberikan pelayanan publik dengan standar yang ditentukan.

Keterkaitan otonomi daerah dengan desentralisasi fiskal pada dasarnya adalah pengejawantahan dari prinsip money follows function yakni pendanaan mengikuti fungsi pemerintah.50

Dalam menjalankan desentralisasi fiskal, alat utama yang digunakan adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) dan transfer ke daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah masih sangat terbatas, maka pemerintah melakukan transfer ke daerah untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan fungsi-fungsi yang telah diserahkan ke daerah.

Dengan penyerahan kewenangan kepada daerah maka daerah diberikan sumber-sumber pendanaan untuk melaksanakan kewenangan.

51

Dari penjabaran di atas mengenai desentralisasi fiskal, maka yang menjadi tujuan pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu sebagai berikut :

52

1. Meningkatkan efesiensi pengalokasian sumber daya nasional maupun kegiatan pemerintah daerah.

2. Diharapkan dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal dan memobilisasi pendapatan daerah maupun nasional.

3. Meningkatkan akuntabilitas, transparasi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah.

50 Nota Keuangan dan RAPBN 2011, diakses dari www.depkeu.go.id., tanggal 15/02/2013, pukul 22:56 Wib.

51 Nota Keuangan dan RAPBN 2011, diakses dari www.depkeu.go.id., tanggal 15/02/2013, pukul 22:56 Wib.


(41)

4. Memperbaiki keseimbangan fiskal antardaerah dan memastikan adanya pelayanan masyarakat yang berkualitas di setiap daerah.

5. Menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.

Oleh karena itu dengan adanya desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal, Pemerintah Kabupaten Nias Barat dituntut untuk dapat membuat kebijakan yang dapat membawa kemajuan terutama dari segi keuangan melalui PAD, hal ini dikarenakan agar pembangunan Kabupaten Nias Barat yang baru terbentuk lebih dari tiga tahun ini mampu terlaksana denga baik sesuai dengan visi dan misi Pemerintah Kabupaten Nias barat.

Dalam menjalankan kebijakannya dalam menggali potensi PAD, Pemerintah Kabupaten Nias Barat mengalami berbagai hambatan baik hambatan dari dalam maupun dari luar, hal ini tentunya membuat semakin sulitnya terciptanya pembangunan yang berkesinambungan. Oleh karena itu dikaitkan antara hambatan-hambatan yang terjadi di Pemerintah Kabupaten Nias Barat dengan meminjam teori sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman yang membagi sistem hukum itu ke dalam tiga komponen yakni:53

1. Struktur yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas jumlah serta ukuran pengadilan, juridiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif.

2. Substansi yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu, termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun.

53 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction-Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta : Tatanusa, 2001), hal. 9.


(42)

3. Budaya hukum yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuataan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum juga dirumuskan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, termasuk sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum, atau dengan kata lain budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Lawrence M. Friedman mengumpamakan sistem hukum sebagai suatu pabrik, jika substansi itu adalah produk yang dihasilkan, dan aparatur adalah mesin yang menghasilkan produk sedangkan budaya hukum adalah manusia yang mengetahui kapan mematikan dan menghidupkan mesin dan mengetahui produksi barang yang dikehendaki.54

2. Kerangka Konsepsional

Pemerintah daerah menghasilkan berbagai produk hukum dan menjalankan produk yang dibentuknya sendiri, kemudian masyarakat memberi tanggapan terhadap produk yang dibentuk oleh pemerintah daerah tersebut apakah menjalankan atau tidak menjalankan produk hukum tersebut, sebaliknya juga dengan pemerintah daerah, apakah menjalankan atau tidak menjalankan produk yang dibentuknya sendiri.

Kerangka konsep atau konsepsional perlu dirumuskan dalam penelitian sebagai pegangan atas konsep yang digunakan dalam penelitian. Biasanya kerangka


(43)

konsepsional dirumuskan sekaligus dengan defenisi-defenisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.55

Konsep yang dipergunakan dalam penelitian adalah konsep yang terkait langsung dengan variabel penelitian dan untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap kerangka konsep yang digunakan, oleh karena itu di di dalam tesis ini dirumuskan konsep dengan mempergunakan model defenisi operasional.

Dimungkinkan untuk menyusun kerangka konsep yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau bahan hukum tertier lainnya, seperti kamus hukum dan ensklopedia.

56

1. Kebijakan adalah seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan tertentu demi kepentingan masyarakat.57 Kebijakan (policy) ini tertuang dalam bentuk dokumen resmi misalnya di dalam GBHN, Repelita Nasional, Repelita Daerah dan lain-lain, bahkan dalam beberapa bentuk peraturan hukum yang tersirat dan terkandung pokok kebijaksanaan seperti di dalam Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Menteri (Permen), Peraturan Daerah (Perda) dan lain-lain58

55 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1985), hal. 137.

.

56 Fotocopy : Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum SPS USU, (Medan : Universitas Sumatera Utara), hal. 5.

57 M.Solly Lubis, Kebijakan Publik, (Bandung : Mandar Maju, 2007), hal. 5 58 Ibid.


(44)

2. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.59

3. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.60

4. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.61

5. Peraturan daerah (Perda) adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota dengan persetujuan bersama kepala daerah.62

6. Daerah otonom (daerah) adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.63

59 Pasal 1 angka (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 60 Pasal 1 angka (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

61 Pasal 1 angka (17) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

62 Pasal 1 angka (9) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah 63 Pasal 1 angka (6) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


(45)

7. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.64

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian dalam proposal tesis ini adalah penelitian deskriptif analisis yang bersifat kualitatif dengan penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan menganalisis permasalahan yang ada dalam penelitian ini melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum65

2. Sumber Data

serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur dan berkaitan dengan penulisan proposal tesis ini.

Data dalam penelitian ini adalah menggunakan data sekunder yakni data atau informasi yang diperoleh dari hasil penelahaan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan tesis ini. Bahan hukum atau data sekunder terbagi dalam beberapa tingkatan yakni :66

1. Bahan hukum primer antara lain : peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan daerah, peraturan bupati nias barat . Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tesis ini antara lain

64 Pasal 1 angka (5) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

65 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 14 66 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 155.


(46)

Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda, Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Retribusi Daerah, Undang-Undang No. 46 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Barat di Provinsi Sumatera Utara, Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Perda, Perbup, dan surat edaran yang berkaitan dengan PAD.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku atau jurnal hukum yang berisi mengenai prinsip-prinsip dasar (asas hukum), pandangan para ahli hukum (doktrin), hasil penelitian hukum, kamus hukum dan ensklopedia hukum serta wawancara yang mana terdapat kaitannya dengan tesis ini.

3. Bahan non hukum adalah bahan penelitian yang terdiri atas buku teks bukan hukum yang terkait dengan penelitian ini seperti buku politik, buku ekonomi, dan data keuangan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik penelitian kepustakaan (library research) dan teknik wawancara (interview), wawancara dilakukan dengan pejabat Pemerintah Kabupaten Nias Barat yang memiliki keterlibatan langsung dengan materi penelitian yaitu Bupati Nias Barat, Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Nias Barat serta Kepala Bidang Pengembangan dan Pendapatan pada Dinas Pendapatan Kabupaten Nias Barat. Dalam penggunaan teknik kepustakaan ini dilakukan pengumpulan data


(47)

melalui studi kepustakaan yang merupakan buku-buku, jurnal, dokumen-dokumen, serta sumber teoritis lainnya sedangkan teknik wawancara dilakukan guna membuat deskripsi atau eksplorasi terhadap rumusan masalah yang telah ada. Kemudian keseluruhan dari pada data tersebut digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli dan pihak lain berupa informasi formal maupun melalui naskah resmi.

4. Alat Pengumpulan Data

Di dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen yang mana pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih. Selain itu juga dilakukan wawancara dengan menggunakan suatu pedoman wawancara yakni dengan mengajukan daftar pertanyaan kepada Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Nias Barat dan Kepala Bidang Pengembangan dan Pendapatan pada Dinas Pendapatan Kabupaten Nias Barat serta melakukan wawancara secara langsung mengenai jawaban terhadap daftar pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya, sedangkan untuk wawancara kepada Bupati Nias Barat dilakukan wawancara secara langsung mengenai topik pertanyaan yang sama.


(48)

5. Analisis Data

Data yang telah diperoleh selanjutnya akan disusun dan dianalisis secara kualitatif. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian disajikan secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas pokok permasalahan dalam penelitian tesis ini.


(49)

BAB II

PENGATURAN SUMBER-SUMBER KEUANGAN DAERAH DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH

A. Defenisi Hukum Keuangan daerah

Sebelum membahas defenisi hukum keuangan daerah maka terlebih dahulu diketahui tentang pengertian keuangan daerah. Defenisi keuangan daerah dapat ditinjau dari beberapa sisi yaitu :67

1. Dari sisi objek, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah, dalam kerangka APBD. Pengertian ini sejalan dengan penjelasan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berbunyi sebagai berikut : “Semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

2. Dari sisi subjek, keuangan daerah adalah mereka yang terlibat dalam pengelolaan keuangan daerah dalam hal ini pemerintah daerah dan perangkatnya, perusahaan daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan daerah, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

3. Dari sisi proses, keuangan daerah adalah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek mulai dari perumusan kebijakan sampai dengan pertanggungjawaban.

4. Dari sisi tujuan, keuangan daerah adalah keseluruhan kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan keuangan daerah di atas pada dasarnya berada pada satu kegiatan yang disebut dengan pengelolaan keuangan

67 Hendra Karianga, Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, ( Bandung : Alumni, 2011), hal. 37.


(50)

daerah. Pengelolaan dimaksud mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan,

penguasaan, penggunaan, pengawasan dan pertanggungjawaban.68 Dalam

menjalankan pengelolaan tersebut dikenal adanya kekuasaan pengelola. Pemegang kekuasaan mengelola keuangan di daerah adalah gubernur/bupati atau walikota selaku kepala pemerintahan daerah.69 Pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah tersebut dilaksanakan oleh dua komponen yaitu Kepala Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola APBN dan Kepala SKPD selaku Pejabat Anggaran/Barang Negara.70

Penjabaran pengertian dari keuangan daerah tidak jauh berbeda dengan defenisi hukum keuangan daerah. Hukum keuangan daerah merupakan hukum yang mengatur masalah-masalah keuangan daerah atau dengan kata lain hukum keuangan daerah adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan penyelenggaraan keuangan daerah yang meliputi segala aspek, dilihat dari segi esensi dan eksistensinya, serta hubungannya dengan bidang kehidupan pemerintahan yang lain71. Dari rumusan pengertian diatas, berarti pengaturan di bidang keuangan daerah akan menyangkut yang antara lain adalah :72

1. Dasar- dasar keuangan daerah menyangkut kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, asas-asas pengelolaan keuangan daerah seperti norma efisiensi, keefektifan, akuntabilitas, profesionalisme pelaksana keuangan daerah, maksud dan tujuan dari penyelenggaraan keuangan daerah, serta yang berkaitan dengan perbendaharaan.

68 Ibid.

69 Pasal 6 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 70 Pasal 10 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

71 Muhamad Djumhana, Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keuangan Daerah, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal.12. 72 Ibid.


(51)

2. Kedudukan hukum pejabat keuangan daerah seperti kaidah-kaidah mengenai bendahara umum daerah, pengguna anggaran dan kuasa pengguna anggaran ataupun pihak yang terafiliasi dalam kegaiatan keuangan daerah juga mengenai bentuk badan pelayanan umum, perusahaan daerah, pengelolaan barang daerah dan barang daerah yang dipisahkan serta mengenai kepemilikannya.

3. Kaidah-kaidah keuangan daerah yang secara khusus memperhatikan kepentingan umum, seperti kaidah-kaidah yang mencegah persaingan yang tidak wajar dalam penyediaan dan pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah, keadilan anggaran untuk masyarakat untuk memerhatikan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan unsur-unsur pemerataan pembangunan dalam penganggaran, dan lainnya.

4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur organisasi yang mendukung kebijakan keuangan daerah, seperti DPRD, BPK, serta hubungan keuangan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan daerah dan juga pihak lainnya. 5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan penyelenggaraan keuangan daerah yang berupa

dasar-dasar untuk perwujudan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya melalui penetapan sanksi, insentif, dan sebagainya, misalnya pertanggungjawaban pelaksanaan keuangan daerah, pengenaan sanksi pidana, sanksi administrasi dan ganti rugi.

Dengan demikian hukum keuangan daerah yang merupakan satu sistem akan mengandung pengertian-pengertian dasar berupa orientasi pada tujuan, berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yakni hukum pemerintahan, hukum tata negara, hukum keuangan negara, atau hukum secara keseluruhan.

B. Pengaturan Sumber-Sumber Keuangan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah

1. Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah

Dengan adanya Undang-Undang Dasar, maka Negara Indonesia merupakan negara yang berdasar atas hukum sehingga tidak berdasar atas kekuasaan semata. Pemerintah yang berdasarkan sistem konstitusi tidak bersifat absolutisme sehingga kebijaksanaan Pemerintah Pusat untuk menyerahkan sebagian urusan-urusannya untuk menjadi kewenangan daerah, garis-garis besarnya diserahkan melalui


(52)

peraturan-peraturan perundang-undangan.73

Oleh karena itu, sejak proklamasi kemerdekaan dapat dilihat bahwa pemerintah daerah beberapa kali membentuk undang-undang tentang pemerintahan daerah. Perubahan-perubahan terlihat karena masing-masing undang-undang menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Terdapat beberapa Undang-Undang Pemerintahan Daerah setelah kemerdekaan yakni:

Sebagai pelaksanaan Pasal 18 UUD 1945 di bidang ketatanegaraan, pemerintah Republik Indonesia melaksanakan pembagian daerah-daerah dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

74

1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berlaku mulai tanggal 23 Juli 1974, undang-undang ini dinamakan pokok-pokok pemerintahan di daerah sebab dalam undang-undang ini diatur tentang pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintahan berdasarkan atas desentralisasi, dekosentrasi dan tugas pembantuan di daerah75

73 Josef Riwu Kaho, Analisis, op.cit hal. 29.

. Dasar hukum otonomi ini ialah Pasal 18 UUD 1945 dengan rujukan Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966 yang di dalamnya ditetapkan bahwa pemerintahan otonomi adalah seluas-luasnya kepada daerah. Pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah berdasarkan pengalaman dapat menimbulkan kecenderungan yang membahayakan

74 Nomensen Sinamo, Hukum Tata Negara-Suatu Kajian Kritis Tentang Kelembagaan Negara, ( Jakarta : Permata Aksara, 2012) hal. 157.


(53)

keutuhan Negara Kesatuan RI, dengan demikian pemberian otonomi kepada daerah didasarkan kepada otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Dikatakan nyata dalam arti pemberian otonomi kepada daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitunga-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin derah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan dikatakan bertanggung jawab dalam artian bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok negara dan serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah. Pada masa berlakunya undang-undang ini, demokrasi tidak berkembang bahkan pemerintah sering mencurigai aktifitas masyarakat. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, Pemerintahan daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD.

2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,

berdasarkan undang-undang ini daerah diberi kesempatan luas untuk mengatur daerahnya dengan ditopang pendanaan yang lebih memadai. Melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 terdapat prinspi-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :


(54)

a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.

b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.

c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.

d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antara daerah.

e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonomi, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi. Demikian pula kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah ekonomi.

f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi


(55)

pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

g. Pelaksanaan asas dekonsentralisasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

h. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepala daerah tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjwabkan kepada yang menugaskannya.

3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,kebutuhan untuk menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dalam rangka perbaikan dan pembenahan pengaturan di bidang pemerintahan derah merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan, baik itu kebutuhan rekonstruksi hubungan antara DPRD dengan Kepala Daerah, kebutuhan esensi pengawasan, demokrasi dan otonomi daerah, kebutuhan efesiensi anggaran, politik, struktur hubungan antar tingkat pemerintahan, pusat, propinsi dan kabupaten dan kota maupun kebutuhan penyesuaian terhadap prinsip dan sistem pemerintahan presidensil yang terdapat dalam UUD 1945 pasca amandemen maka atas kebutuhan-kebutuhan tersebut pada tanggal 15 Oktober 2004 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 disahkan dan diundangkan


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Adisasmita, Rahardjo, Pengelolaan Pendapatan & Anggaran Daerah, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011.

Anggriani, Jum, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2012.

Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Jakarta : Gahlia Indonesia, 1999.

Brotodihardjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung : Refika Aditama, 2003

Darwin, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta : Mitra Wacana Media, 201. Djumhana, Muhamad, Pengantar Hukum Keuangan Daerah dan Himpunan

Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keuangan Daerah, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.

Dunn, William N, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta : Gadjah Mada University Perss, 2003.

Hakim, Lukman, Filosofi Kewenangan Organ Lembaga Daerah –Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara Hukum dan Kesatuan, Malang : Setara Press, 2012.

Huda, Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Bandung : Nusa Media, 2009.

Ismawan, Indra, Memahami Reformasi Perpajakan 2000, Jakarta : Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, 2001.

Kaho, Josef Riwu, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia-Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Jakarta : Raja Grafindo, 2010.

---, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Yogyakarta : Polgov Fisipol UGM, 2012.


(2)

Kumorotomo, Wahyudi, Desentralisasi Fiskal-Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, Jakarta : Kencana, 2008.

Kuncoro, Mudrajad, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Jakarta : Erlangga, 2004. Lubis, M. Solly, Kebijakan Publik, Bandung : Mandar Maju, 2007.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2008

Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Administrasi Negara, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.

Mustaqiem, Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah, Yogyakarta : FH UII Press, 2008.

Nasution, Faisal Akbar, Pemerintahan Daerah dan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah, Jakarta : Sofmedia, 2009.

ND, Mukti Fajar, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.

Rahardjo, Sajipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.

Ranggawidjaja, Rosjidi, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1998.

Ridwan, Juniarto, dkk, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung : Nuansa, 2010.

Salim, Agus, Bangunan Teori : Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006.

Sakti Hadiwijoyo, Suryo, Gubernur, Kedudukan, Peran dan Kewenangannya, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011.

Saragih, Juli Panglima, Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003.

Siahaan, Marihot P, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005.

Sinamo, Nomensen, Hukum Tata Negara-Suatu Kajian Kritis Tentang Kelembagaan Negara, Jakarta : Permata Aksara, 2012.


(3)

Suryabrata, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta : Rajawali Press, 2010.

Sutendi, Adrian, Implikasi Hukum Atas Sumber Pembiayaan Daerah Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

---, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2008.

Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Jakarta : Prestasi Pustaka, 2010.

Soedjito, Irawan, Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Jakarta : Bina Aksara, 1981.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1985.

---, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

Syafiie, Inu Kencana, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, 2011. Thoha, Miftah, Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia, Yogyakarta :

Matapena Institute, 2012.

Trijono, Rachmat, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Jakarta : Papas Sinar Sinanti, 2013.

Winarno, Budi, Kebijakan Publik- Teori, Proses, dan Studi Kasus, Yogyakarta : CAPS, 2012.

B. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.

Undang-Undang Darurat No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Pajak Daerah.

Undang-undang Darurat No. 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah.

Undang-Undang No. 18 Tahun 18 Tahun 1997 jo Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.


(4)

Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Peraturan Pemerintah No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Peraturan Daerah Kabupaten Nias barat No. 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Nias Barat No. 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum.

Peraturan Daerah Kabupaten Nias Barat No. 4 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha.

Peraturan Daerah Kabupaten Nias Barat No. 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu.

Peraturan Bupati Nias Barat No. 13 Tahun 2011 tentang Penjabaran Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Nias Barat Tahun Anggaran 2011. Peraturan Bupati Nias Barat No. 17 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pemungutan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Peraturan Bupati Nias Barat No. 18 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pemungutan Pajak Restoran.

Peraturan Bupati Nias Barat No. 19 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pemungutan Retribusi Pelayanan Pasar.

Peraturan Bupati Nias Barat No. 20 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pemungutan Retribusi Rumah Potong Hewan.


(5)

Peraturan Bupati Nias Barat No. 38 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Peraturan Bupati Nias Barat No. 43 Tahun 2012 tentang Penjabaran Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Nias Barat Tahun Anggaran 2012. Surat Edaran No. 970/105/Dispenda tentang Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan.

C. Makalah, Karya Ilmiah, Jurnal, Naskah resmi, dan lain-lain

USU, Pedoman Penulisan Tesis Program Studi Ilmu Hukum SPS USU, Medan.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Kabupaten Nias Barat Tahun 2011.

Rancangan Laporan Auntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Kabupaten Nias Barat Tahun 2012.

Nias Barat Dalam Angka 2011 Kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Nias Barat.

D. Website

Ghozali Maskie dkk, Peranan Peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Daerah Langsung Untuk Mendukung Kemandirian Daerah (Studi

Kasus Pemerintah Kota Malang, http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/32838/

peranan-pendapatan- asli-daerah-pad-terhadap-belanja-daerah-langsung-untuk-mendukung-kemandirian-daerah, diakes tanggal 27/01/2013 pukul 20:06 Wib.

Nota Keuangan dan RAPBN 2011, www.anggaran.depkeu.go.id, diakses tanggal 29/01/2013 pukul 21:53 Wib.

Peranan Pendapatan Asli Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah, diakses dari http://reviewtesis.blogspot.com/2008/02/peranan-pendapatan-asli-daerah-dalam.html, diakses tanggal 29/01/2013 pukul 22:42 Wib.

Muhammad Dekosaputra, Pengertian Desentralisasi Fiskal, diakses dari


(6)

Pengertian Desentralisasi Fiskal, diakses dari

http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-desentralisasi-fiskal-html,diakses tanggal 15/02/2013, pukul 20:06 Wib.

Syarif Hidayat, Desentralisasi dan Otonomi Dalam Perspektif State Society Relation, diakses dari www.unas.ac.id, tanggal 15/02/2013, pukul 22:12 Wib.

Y.Simonsen Sianturi, Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Ketimpangan Pendapatan Antara Wilayah (Studi kasus Kab/Kota Propinsi Sumut), diakses dari eprints.undip.ac.id/29286/I/skripsi021.pdf, tanggal 20/2/2013, pukul 11:26 Wib.

Ahmad Burhanudin Taufiz, Konsep Desentralisasi, diakses dari lontar.ui.ac.id, tanggal 20/02/2013, pukul 11:26 Wib.

Nurfadillah, Pengelolaan Pajak Reklame Untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, diakses dari repository.unhas.ac.id, tanggal 23/05/2013, pukul 22:22 Wib.


Dokumen yang terkait

Kontribusi Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Belanja Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Pemerintahan Kabupaten Samosir

7 105 84

Kontribusi Penerimaan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pada Pemkab/Pemko di SUMUT.

3 62 88

Pengaruh Pemungutan Pajak Reklame Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Studi Pada Dinas Pendapatan Kabupaten Nias)

7 96 50

Peranan Pajak Daerah Terhadap Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Pematang Siantar sesudah otonomi daerah.

9 104 90

Kebijakan Perpajakan Daerah Dalam Pengelolaan Pajak Hiburan Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah ( Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Medan )

3 62 199

Analisis pengaruh penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD); studi empiris pada Propinsi Bengkulu

12 81 98

Analisis perbandingan penerimaan pajak Daerah dan restribusi daerah terhadap peningkatan pada sebelum dan sesudah otonomi periode 2006-2010 pada kota tangerang selatan

1 8 53

Kontribusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten dan kota di Indonesia tahun 2006-2010

0 5 0

Kontribusi Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi di Tiga Daerah Di Propinsi Sumatera Barat).

0 1 35

Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengaturan Sumber Pendapatan Asli Daerah (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah) Dalam Kerangka Otonomi Daerah (Studi pada Kabupaten Nias Barat)

0 0 11