Analisa Pengaruh Qawaid Ushuliyah Dan Fi

Analisa Pengaruh Qawaid Ushuliyah Dan Fiqhiyah Terhadap Perbedaan Pendapat
Dalam Fiqih (kasus hukuman untuk tindak pidana korupsi)
LEO SATRIA
Universitas Negeri Islam Jakarta
Email :Leosatria18@gmail.com
Abstract
Corruption is a very phenomenal form of crime in Indonesia, corruption with its various
understandings (such as stealing, taking away its rights, bribery, etc.) is basically often done
by state officials. These increasingly unstoppable acts of corruption necessitate the existence
of a criminal offense to give a deterrent effect against the perpetrators. Laws with various
articles that have been determined to criminalize perpetrators of corruption are perceived as
lacking a deterrent effect for the perpetrators of corruption, hence the need for a new set of
laws to bring a deterrent effect on Islamic corruptors as a peaceful religion comes with the
same source of law along with tools to understand its resources in order to provide direction
for a decent human life, as well as to regulate the rules of ownership (a property of equal
dignity) in order to avoid fraudulent deeds (in this case it can be said to be corruption).
Islamic law which contains various methods to determine the law may produce a new theory
to provide a deterrent effect for the perpetrators of corruption, in this case, then a set of
methods of Ushuliyyah rules and rules Fiqhiyyah used to give law applicable to the corrupt.
Keywords: Corruption, Rules of Ushuliyyah and Fiqhiyyah, Law


Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi adalah tindakan melawan hokum yang sangat merugikan baik
secara pribadi maupun masyarakat, bangsa dan Negara secara luas. Hal ini disebabkan Karena
korupsi mengandung unsur-unsur seperti pencurian, pemerasan, penyogokan, pemaksaan,
perampokkan, dan pengkhianatan. Adapun definisi Korupsi secara umum adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak
sesuai dengan hak-hak dan kewajiban dari pihak lain (seseorang maupun korporasi) secara
salah menggunakan jabatannya, atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk
dirinya sendiri maupun untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari
pihak lain.1
Mardzuki Wahid dalam karyanya Jihad NU Melawan Korupsi meyatakna bahwa
korupsi Sebagai istilah tindak pidana dengan segala bentuknya merupakan sesuatu yang baru
dalam khazanah fiqih. Namun tindakan sejenis yang memiliki arti yang sama sebetulnya
telah banyak dibahas dengan istilah-istilah yang berbeda.2 Seperti misalnya terdappat
beberapa jenis tindak pidana yang mendekati terminology korupsi, diantaranya yaitu:
1

Lihat Marwan Effendi, Korupsi dan Strategi Nasional, Pencegahan serta Pemberantasannya, (Jakarta: Referensi,
2013), h. 14. Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: dalam Perspektif Fiqih Jinayah (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Departement Agama RI, 2009), h. 36

2
Mardzuki wahid, Jihad NU Melawan Korupsi, (Jakarta: LAKPESDAM PBNU, 2016), h. 51.

LEO SATRIA

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

risywah3 (penyuapan)4, ghulul5 (penggelapan/pengkhianatan terhadap kepercayaan/amanah),
ghasab (mengambil paksa harta orang lain)6, sariqah (pencurian), khianat (segala sesuatu
yang bersifat melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan, al-Hirabah
(perampokan atau mengambil harta seseorang secara sembunyi-sembunyi dengan tipu daya),
al- Maks (pungutan liar/), al-Ikhtilas (pencopetan), dan, al-Ihtihab (perampasan) 7, al-Suht
(makan makanan yang haram).8
1.

Ghulul (Qs. Al-Imran ayat 161)
Artinya: “tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan
perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiaptiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan)
setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”


2.

Risywah (Qs. Al-Baqarah ayat 188)
Artinya: “Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka
Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

3.

Ghasab (Qs. Al-Kahfi ayat 79)
Artinya:“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di
laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang merampas tiap-tiap bahtera.”

4.

Sariqahi (Qs. Al-Maidah ayat 38)
Artinya:“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan

dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

5.

Al-Suht (Qs. Al-Maidah ayat 42)
Artinya:“mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta
putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari
mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat
kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah
(perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
3

Pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dengan maksud meluluskan atau melancarkan suatu
perbuatan yang tidak benar menurut syariat atau membatilkan perbuatan yang hak. Lihat Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram
dalam Islam terj. Wahid Ahmadi, dkk, (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 462. Abdullah bin Abd Muchsin at-Tariqi, Suap
dalam Pandangan Islam, Terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, (Jakarta: Gema Insani Press. 2011), h. 11
4
Al-Baqarah ayat 188
5

ghulul disini juga dapat diartikan sebagai pengkhianatan/penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi
atau pencurian melalui penipuan dalam situasi
6
Lihaat H.M. Harahap, Ayat-Ayat Korupsi, (Yogyakarta: Gama Media, 2009),
h. 50. Adapun ayat yang sering dipakai dalam penggunaan korupsi adalah Qs. Al-Kahfi ayat 79
7
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta: Amzah, 2012) h. 78
8
Qs. Al-Maidah ayat 42

LEO SATRIA

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

yang adil.”
Yusuf Qardhawi yang merupakan salah satu cendekiawan muslim ternama
mendefinisikan korupsi sebagai rishwah (suap), yaitu sesuatu yang diberikan oleh seseorang
kepada penguasa agar menghasilkan kebijakan tertentu sesuai dengan keinginannya.9 Berbeda
dengan Sayyid Quthub yang mendefinisikan korupsi dengan khianat sesuai dengan apa yang
ia tafsirkan dalam Qs. Al-Imran ayat 161.10

Dua pengertian korupsi diatas yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh cendekiawan
muslim tidak menjadikan pengertian korupsi secara terbatas, melainkan ini membuktikan
bahwa pengertian korupsi sendiri berbagai macam pengertian.
Dari berbagai penertian tentang korupsi yang telah disebutkan diatas, maka dapat
dirumuskan bahwa korupsi adalah:
1. Penyuapan atau memberi atau menerima hadiah
2. Penggelapan
3. Pemerasan
4. Gratifikasi, dan lain sebagainya.
Dengan berbagai definisi yang disebutkan di atas, maka korupsi dapat dikatagorikan
sebagai:
1. Tindakan yang berlawanan dengan hokum
2. Penyalahgunaan wewenang, baik sarana maupun kekuasaan
3. Memperkaya diri sendiri ataupun kelompok tertentu
4. Merugikan keuangan negara
Hukum Perbuatan Korupsi Dalam Islam
Pada dasarnya Kasus korupsi telah banyak berdampak luas pada berbagai segmen
kehidupan, meliputi (1) penurunan kualitas hidup dan kehidupan umat manusia, (2)
perusakan nilai-nilai kemanusiaan, (3), penurunan kualitas pelayanan public (4) kehancuran
sendi-sendi ketatanegaraan dan kehidupan demokrasi, (5) pengabaian hak-hak dasar warga

Negara, (6) perusakan sendi-sendi principal dari system pengelolaan keuangan Negara, (7)
lunturnya etos kerja, dll.11 Dimana dari kesemuanya itu secara langsung berdampak bagi
pribadi koruptor, korporasi maupun masyarakat banyak, oleh sebab itu, kiranya merasa perlu
merumuskan hokum yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut.
Hokum perbuatan korupsi dalam Islam, khususnya menurut pendapat ulama fiqih
adalah haram karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keislaman (maqasid syariah),
keharaman perbuatan korupsi tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya, perbuatan
korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi merugikan pribadi,
sekelompok orang, dan negara yang kemudian dikecam oleh Allah Swt12 atas dampak yang
ditimbulkannya.
Keharaman korupsi dalam Islam yang oleh para ulama dianggap haram menjadikan
9

Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam terj. Wahid Ahmadi, dkk. h. 462
Sayyid Quthub, Fii Zhilalil Quran terj. As’ad Yasin, dkk jilid 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 300
11
Mardzuki wahid, Jihad NU Melawan Korupsi, h. 17
12
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Press Insani, 2003), h.
10


20

LEO SATRIA

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

tindakan korupsi menjadi tindakan yang dilarang dan tidak semestinya dikerjakan oleh
seseorang maupun kelompok mengingat bahwa dampak dari perbuatan korupsi sangat
merugikan bagi Negara.
Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah
Kaidah ushuliyyan dah fiqhiyyah merupakan seperangkat metode yang digunakan oleh
para ulama untuk menetapkan hokum yang sudah tertulis didalam nash maupun yang belum
tertulis didalam nas dengan sumbernya berupa al-Quran dan Sunnah Rasulullah, adapun
pengertian antara keduanya akan dibahas pada paragraph selanjutnya.
kaidah Ushuliyyah adalah kaidah-kaidah umum yang dapat diaplikasikan kepada
seluruh unsurnya dan objek pembahasannya tanpa terkecuali.13 Pada dasarnya kaidah
ushuliyah merupakan jembatan antara hokum denngan sumber-sumber hokum berupa alQuran, Sunnah, Ijtihad dan Sunnah.
Jenis-jenis daripada kaidah ushuliyyah dapat dibagi diantaranya adalah kaidah al14
Aam dan al-Khas15, kaidah al-Amr16dan an-Nahy17, kaidah Mujmal18 dan Mubayyan19, serta

kaidah Mutlaq dan Muqayyad20.
Sedangkan kaidah Fiqhiyyah adalah sesuatu yang merupakan kumpulan hokum
(kaidah-kaidah umum) yang serupa, dimana antara satu hokum dengan hokum lainnya
dipertemukan oleh satu illat21. Adapun Tujuan akhir dari kaidah-kaidah Fiqhiyyah adalah
untuk memberi isyarat dalam rangka mengidentifikasi metode yang dipakainya terdahulu,
bukan untuk beristidlal dengannya.22
Para ulama pada umumnya merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyyah kedalam beberapa
kaidah, yang dimana masing-masing para ulama mempunyai berbagai macam kaidah,
diantara kaidah-kaidah yang paling umum adalah: segala sesuatu bergantung pada niat,
keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, kesulitan dapat mendataangkan
kemudahan, adat dapat dijadikan landasan hokum, kemudharatan harus dihilangkan, dan
masih banyak lainnya yang belum disebutkan pada pembahasan ini.
Pendekatan Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah dalam Tindak Pidana Korupsi (hudud,
qiyas, dan ta’dzir
Dalam hokum Islam, tindak pidana disebut dengan jinayah, yaitu perbuatan yang
13

Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 36
Lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam lafal itu. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Derektoral Jendral Pendidikan Islam Kementrian Agama RI. 2012), H. 178

15
Lafal yang menunjukkan pengertian khusus. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul Fiqh, h. 186
14

16
17

Lafal yang bermakna perintah. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul Fiqh, h. 196
Lafal yang bermakan larangan atau perintah untuk meninggalkan. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul Fiqh,

h. 200
18

Lafal yang belum belum jelas, atau yang tidak dapat menunjukkan arti yang sebenarnya. Lihat. Andrerw Suharti,
Ushul Fiqh,), h. 173
19
Penjelasan atau lafa lyang tidak membutuhkan penjelasan. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul Fiqh, H. 175
20
Mutlaq adalah Lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan tanpa dibatasi oleh sesuatu hal, sedangkan
Muqayyad adalah Lafal yang mrnunjukkan dengan dibatasi oleh sesuatu hal dari batas-batas tertentu. Lihat. Andrerw Suharti,

Ushul Fiqh, , H. 175
21
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), Cet ke-1, h. 86
22
Dr. H. Toha Andiko, M. Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Panduan Praktis dalam Merespon Problematika Hukum
Islam Kontemporer, Cet. 1, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), h. 23

LEO SATRIA

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

dilarang didalam hokum islam, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta maupu lainnya. Para
ahli hokum islam telah membuat terminology khusus untuk mengkategorikan tindak pidana
itu kedalam beberapa bagian, daintaranya adalah, jarimah hudud, yaitu tindak pidana dengan
hukuman pidana had , jarimah qiyas/diyat, yaitu tindak pidana dengan hukuman qisas, dan
jarimah ta’zir, yaitu tindak pidana dengan hukuman ta’zir.
Dari ketiga tindak pidana di atas, lantas dimanakah tindak pidana korupsi
dikategorikan, apakah bisa dikategorikan kedalam had, diyat atau ta’zir?
Dalam hokum Islam tindak pidana khususnya korupsi bisa di lihat landasan
hukumnuya dalam bentuk ta’zir yang hukumannya bisa berupa pemecatan dalam jabatan,
penjara seumur hidup, potong tangan dan bahkan bisa berupa hirabah yaitu bentuk pidana
hukuman maksimal semisal hukuman mati, hal ini secar umum diatur dalam al-Quran23
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik [414], atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar”
Melihat dampak yang ditimbulkan oleh korupsi merupakan dampak yang sangat besar,
lantas seperti yang ditulis pada paragraph yang sebelumnya, tindak pidana yang seperti
apakah yang layak untuk diterapkan kepada tindak pidana korupsi? Dilihat dari banyaknya
istilah-istilah yang digunakan dalam korupsi, seperti pencurian, penipuan, suap dan khianat,
maka tentu hukuman yang berlaku pun bermacam-macam , tidak dapat dikhususkan hanya
pada satu hukuman saja.24 Dalam fiqh jinyah, memang tidak ada nash yang secara khusus
mencatat dengan jelas sanksi dari perbuatan korupsi. Namun bukan berarti tidak ada nash
yang berkaitan dengan korupsi, Islam mengkaitkan perbuatan korupsi ini diidentifikasi
dengan beragam bentuknya seperti yang telah disebutkan sebelumnya berupa Ghulul, sariqah,
khianat dan lain sebagainya.
Hokum korupsi yang didefinisikan diantaranya yang berupa ghulul oleh Sayydi Sabiq
merupakan tindak pidana dengan hukuman disiksa dan atau kekayaanya dibakar dengan
tujuan agar membuat jera25 sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud, yang artinya “jika kamu menemui orang yang melakukan ghulul, maka
bakarlah kekayaannyya dan pukullah. Ditempat lain beliau juga berkata bahwa orang yang
melakukan ghulul maka tidak harus baginya hukuman potong tangan, hal ini didasari pada
beberapa riwayat yang menegaskan bahwa pelaku ghulul tidak berhak untuk dijatuhi hokum
potong tangan, karena ia masih mempunyai hak terhadap harta baitul mal, hal ini berdasarkan
keterangan dai Ali abi Abi Thalib, yaitu, “sesungguhnya ia (pencuri) itu mempunyai saham
dalam baitul mal. Sebab itu jangan kamu potong tangannya.26
Lain halnya dengan Sayyid Sabiq, ulama lainnya yang mengomentari masahal hukuman
23

Mardzuki wahid, Jihad NU Melawan Korupsi, h. 92
Mardzuki wahid, Jihad NU Melawan Korupsi, h. 104
25
Pendapat sayyid Sabiq ini diambil dari Sunan Abu Dawud, untuk lebih jelasnya silahkan merujuk pada Abu Dawud,
Sunan Abu Dawud, Juz 1 (Beirut: Dar al- Fikr, 1994), h. 627
26
Sayyid Sbiq, Fiqh al-Sunah, jilid 9, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 209
24

LEO SATRIA

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

terhadap pelaku korupsi adalah Musthafa al-Maraghi, al- Maqaghi menilai bahwa pelaku
korupsi (risywah) jika dilihat dari tindak pidana maka dijatuhi hukuman had yaitu hukuman
potong tanga. Hal ini sesuai dengan nash-nash yang berkaitan dengan masalah pencurian.27
Jika dilihat dari bentuk jinayah terhadap korupsi, dari kedua ulama yang disebutkan di
atas bisa diambil beberapa kesimpulan, yaitu tindak pidana korupsi bisa dikategorikan sebagai
bentuk pidana ta’zir seperti yang dilakukan oleh Sayyid Sabiq dam bentuk pidana hudud
seperti yang dikemukakan oleh al- Maraghi Melihat metode yang dipakai oleh Sayyid Sabiq
dan al-Maraghi, nampaknya keduanya menggunakan kaidah ‫( ﻳـﺰﺍﻝ ﺍﻟﻀﺮﺭ‬Kemudharatan harus
dihilangkan) dalam tindak pidana korupsi, dengan melihat atas dampak yang ditimbulkan oleh
korupsi itu sendiri yaitu merusak pribadi diri seorang koruptor, merusak dan merusak
berbagai kelompok maupun Negara yang tentunya didalamnya terdpat banyak sekali
kemudharatan.
Dilihat dari segi bahasa yang digunakan oleh kedua tokoh di atas (Sayyid sabiq dan alMaraghi), nampaknya para tokoh tersebut memahami pengertian korupsi dengan berbagai
pengertian yang berbeda, yang kemudian menghasilkan hukuman pidana yang berbeda-beda
pula, ghulul yang merupakan perbuatan korupsi yang dipahami oleh Sayydi Sabiq
menhasilkan pidana hukum berupa disiksa dan dibakar kekayaannya, sedangkan Musthafa alMaraghi memahami korupsi sebagai bentuk dari pada risywah, yang kemudian dari
pemahaman tersebut menghasilkan bentuk pidana berupa hukuman had yaitu hukuman
potong tangna.
Dari perbedaan pendapat para tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, hukuman
pidana bagi pelaku korupsi tidak mesti harus dengan satu bentuk tindak pidana berupa, had,
ta’zir atau atau qiyas. Hukuman Tindak pidana terhadap pelaku korupsi harus dilihat terlebih
dahulu dari jenis pemahaman terhadap korupsi tersebut, apakah korupsi tersebut dimaknai
sebagai pencurian, penghianatan, atau penyuapan dan lan sebagainya yang kemudian dari
pengertian tersebut barulah ditrentukan hukuman pidana yang pantas bagi pelaku korupsi
tersebut,
Kaidah lain yang digunakan dalam menentukan hokum pidana tehhadap korupsi adalah
kaidah mubayyan jika merujukun makna korupsi kepada makna pencurian, seperti dalam alQuran Surat al-Maidah ayat 38 yang artinya “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. AlMaidah : 38).
Kaidah mubayyan yang terkandung didalam ayat ini sungguh jelas, yaitu, hukuman had
berupa potong tangan bagi pelaku korupsi (dalam hal ini korupsi diistilahkan dengan pencuri),
ayat ini tidak lagi membutuhkan penjelasan, dalam lafal yang disebutkan didalam ayat
tersebut secara jelas menjelaskan tentang hokuman terhadap pelaku korupsi.

27

Ahmad Djazali, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa,
2000), h. 187

LEO SATRIA

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR PUSTAKA
Toha Andiko, , Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Panduan Praktis dalam Merespon Problematika
Hukum Islam Kontemporer, Cet. 1, Yogyakarta: Sukses Offset, 2011
Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004, Cet
ke-1
Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema
Press Insani, 2003
Marwan Effendi, Korupsi dan Strategi Nasional, Pencegahan serta Pemberantasannya,
Jakarta: Referensi, 2013
Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: dalam Perspektif Fiqih Jinayah,
Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departement Agama RI, 2009
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam terj. Wahid Ahmadi, dkk, Solo: Era
Intermedia, 2003
Abdullah bin Abd Muchsin at-Tariqi, Suap dalam Pandangan Islam, Terj. Muchotob Hamzah
dan Subakir Saerozi, Jakarta: Gema Insani Press. 2011
M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Jakarta: Amzah, 2012
H.M. Harahap, Ayat-Ayat Korupsi, Yogyakarta: Gama Media, 2009 Abu Dawud, Sunan Abu
Dawud, Juz 1, Beirut: Dar el-Fikr, 1994 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut: Daar alFikr, 1983
Mardzuki wahid, Jihad NU Melawan Korupsi, Jakarta: LAKPESDAM PBNU, 2016
Khaeron Sirin, Jurnal Hukum Islam, “Istinbath”, Vol. 12, No. 1. Juni 2013, h. 74
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati; Perbedaan Pendapat
Hakim Konstitusi, Jakarta: Gramedia Kompas, 2007

LEO SATRIA

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

LEO SATRIA

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta