LAPORAN PENDAHULUAN DIARE . docx

LAPORAN PENDAHULUAN DIARE

A. DEFINISI
§ Diare atau penyakit diare (Diarrheal disease) berasal dari bahasa Yunani yaitu
“diarroi” yang berarti mengalir terus, merupakan keadaan abnormal dari
pengeluaran tinja yang terlalu frekuen (Yatsuyanagi, 2002).
§ Diare adalah peningkatan dalam frekuensi buang air besar (kotoran), serta pada
kandungan air dan volume kotoran itu. Para Odha sering mengalami diare. Diare
dapat menjadi masalah berat. Diare yang ringan dapat pulih dalam beberapa hari.
Namun, diare yang berat dapat menyebabkan dehidrasi (kekurangan cairan) atau
masalah gizi yang berat (Yayasan Spiritia, 2011)
§ Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau
lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Sementara
untuk bayi dan anak-anak, diare didefnisikan sebagai pengeluaran tinja >10
g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal bayi sebesar 5-10 g/kg/
24 jam (Juffrie, 2010).
§ Diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu
hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Orang yang mengalami
diare akan kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh. Hal ini
membuat tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa,
khususnya pada anak dan orang tua (USAID, 2009)

§ Diare merupakan penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi
defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja
(menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Suraatmaja, 2007). Diare
disebabkan oleh transportasi air dan elektrolit yang abnormal dalam usus. Di
seluruh dunia terdapat kurang lebih 500 juta anak yang menderita diare setiap
tahunnya, dan 20% dari seluruh kematian pada anak yang hidup di negara
berkembang berhubungan dengan diare serta dehidrasi. Gangguan diare dapat
melibatkan lambung dan usus (gastroenteritis), usus halus (enteritis), kolon (colitis)
atau kolon dan usus (enterokolitis). Diare biasanya diklasifkasikan sebagai diare
akut dan kronis (Wong, 2009).
§ Terdapat beberapa pendapat tentang defnisi penyakit diare. Menurut
Hippocrates defnisi diare yaitu sebagai suatu keadaan abnormal dari frekuensi dan
kepadatan tinja, Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, diare atau penyakit diare
adalah bila tinja mengandung air lebih banyak dari normal. Menurut Direktur
Jenderal PPM dam PLP, diare adalah penyakit dengan buang air besar lembek/ cair
bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya
(biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari) (Sinthamurniwaty, 2006).

§ Menurut Simadibrata (2006) diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja
berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih

banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
§ Menurut World Health Organization (WHO), penyakit diare adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai
mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasa, yaitu 3
kali atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai dengan muntah atau tinja
yang berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada
3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode
diare berat (Simatupang, 2004).
§ Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang air besar
yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari
biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari
4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari 1 bulan dan anak, frekuensinya
lebih dari 3 kali (Simatupang, 2004)
§ Diare adalah suatu keadaan meningkatnya berat dari fases (>200 mg/hari) yang
dapat dihubungkan dengan meningkatnya cairan, frekuensi BAB, tidak enak pada
perinal, dan rasa terdesak untuk BAB dengan atau tanpa inkontinensia fekal.1-4
Diare terbagi menjadi diare Akut dan Kronik.Diare akut berdurasi 2 minggu atau
kurang, sedangkan diare kronis lamanya lebih dari 2 minggu. Selanjutnya
pembahasan dikhususkan mengenai diare kronis (Hooward, 1995 cit Sutadi 2003)
§ Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau

setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. Defnisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu
buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut
dapat/tanpa disertai lendir dan darah (Guerrant, 2001; Ciesla, 2003)
§ Menurut Boyle (2000), diare adalah keluarnya tinja air dan elektrolit yang hebat.
Pada bayi, volume tinja lebih dari 15 g/kg/24 jam disebut diare. Pada umur 3 tahun,
yang volume tinjanya sudah sama dengan orang dewasa, volume >200 g/kg/24 jam
disebut diare. Frekuensi dan konsistensi bukan merupakan indikator untuk volume
tinja.

B. KLASIFIKASI
1. Menurut Simadibrata (2006), diare dapat diklasifkasikan berdasarkan :
a.

Lama waktu diare

1) Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Sedangkan
menurut World Gastroenterology Organization Global Guidelines (2005) diare akut

didefnisikan sebagai pasase tinja yang cair atau lembek dengan jumlah lebih

banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari. Diare akut biasanya sembuh
sendiri, lamanya sakit kurang dari 14 hari, dan akan mereda tanpa terapi yang
spesifk jika dehidrasi tidak terjadi (Wong, 2009).
2)

Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari.

b.

Mekanisme patofsiologik

1)

Osmolalitas intraluminal yang meninggi, disebut diare sekretorik.

2)

Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.

3)


Malabsorbsi asam empedu.

4)

Defek sisitem pertukaran anion atau transport elektrolit aktif di enterosit.

5)

Motilitas dan waktu transport usus abnormal.

6)

Gangguan permeabilitas usus.

7)

Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik.

8)


Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi.

c.

Penyakit infektif atau non-infektif.

d.

Penyakit organik atau fungsional

2. Menurut WHO (2005) diare dapat diklasifkasikan kepada:
a.

Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.

b.

Disentri, yaitu diare yang disertai dengan darah.


c.

Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari.

d.

Diare yang disertai dengan malnutrisi berat (Simatupang, 2004).

3. Menurut Ahlquist dan Camilleri (2005), diare dibagi menjadi
a. Akut apabila kurang dari 2 minggu, persisten jika berlangsung selama 2-4
minggu. Lebih dari 90% penyebab diare akut adalah agen penyebab infeksi dan
akan disertai dengan muntah, demam dan nyeri pada abdomen. 10% lagi
disebabkan oleh pengobatan, intoksikasi, iskemia dan kondisi lain.
b. Kronik jika berlangsung lebih dari 4 minggu. Berbeda dengan diare akut,
penyebab diare yang kronik lazim disebabkan oleh penyebab non infeksi seperti
allergi dan lain-lain.

4. Menurut Kliegman, Marcdante dan Jenson (2006), dinyatakan bahwa
berdasarkan banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh, diare dapat
dibagi menjadi :

a.

Diare tanpa dehidrasi

Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi karena frekuensi diare
masih dalam batas toleransi dan belum ada tanda-tanda dehidrasi.
b.

Diare dengan dehidrasi ringan (3%-5%)

Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare 3 kali atau lebih, kadang-kadang
muntah, terasa haus, kencing sudah mulai berkurang, nafsu makan menurun,
aktiftas sudah mulai menurun, tekanan nadi masih normal atau takikardia yang
minimum dan pemeriksaan fsik dalam batas normal.
c.

Diare dengan dehidrasi sedang (5%-10%)

Pada keadaan ini, penderita akan mengalami takikardi, kencing yang kurang atau
langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu, mata dan ubun-ubun besar menjadi

cekung, turgor kulit berkurang, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak
kering, air mata berkurang dan masa pengisian kapiler memanjang (≥ 2 detik)
dengan kulit yang dingin yang dingin dan pucat.
d.

Diare dengan dehidrasi berat (10%-15%)

Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan dari tubuh dan
biasanya pada keadaan ini penderita mengalami takikardi dengan pulsasi yang
melemah, hipotensi dan tekanan nadi yang menyebar, tidak ada penghasilan urin,
mata dan ubun-ubun besar menjadi sangat cekung, tidak ada produksi air mata,
tidak mampu minum dan keadaannya mulai apatis, kesadarannya menurun dan
juga masa pengisian kapiler sangat memanjang (≥ 3 detik) dengan kulit yang
dingin dan pucat.

C. ETIOLOGI
1. Penyebab diare Yaitu: (Tantivanich, 2002; Sirivichayakul, 2002; Pitisuttithum,
2002)
a.


Virus :

Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 – 80%). Beberapa jenis
virus penyebab diare akut :
§ Rotavirus serotype 1,2,8,dan 9: pada manusia. Serotype 3 dan 4 didapati pada
hewan dan manusia. Dan serotype 5,6, dan 7 didapati hanya pada hewan.

§ Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibat food borne atau
water borne transmisi, dan dapat juga terjadi penularan person to person.
§ Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa
§ Adenovirus (type 40, 41)
§ Small bowel structured virus
§ Cytomegalovirus
b.

Bakteri :

§ Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktor virulensi yang penting yaitu
faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada enterosit pada usus
halus dan enterotoksin (heat labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan

sekresi cairan dan elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak
menyebabkan kerusakan brush border atau menginvasi mukosa.
§ Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare belum jelas.
Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan kerusakan dari
membrane mikro vili yang akan mengganggu permukaan absorbsi dan aktiftas
disakaridase.
§ Enteroaggregative E.coli (EAggEC). Bakteri ini melekat kuat pada mukosa usus
halus dan menyebabkan perubahan morfologi yang khas. Bagaimana mekanisme
timbulnya diare masih belum jelas, tetapi sitotoksin mungkin memegang peranan.
§ Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia mirip dengan Shigella.
Seperti Shigella, EIEC melakukan penetrasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon.
§ Enterohemorrhagic E.coli (EHEC). EHEC memproduksi verocytotoxin (VT) 1 dan 2
yang disebut juga Shiga-like toxin yang menimbulkan edema dan perdarahan
diffuse di kolon. Pada anak sering berlanjut menjadi hemolytic-uremic syndrome.
§ Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon,
menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk
kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk : smooth lipopolysaccharide cell-wall
antigen yang mempunyai aktiftas endotoksin serta membantu proses invasi dan
toksin (Shiga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik
dan mungkin menimbulkan watery diarrhea
§ Campylobacter jejuni (helicobacter jejuni). Manusia terinfeksi melalui kontak
langsung dengan hewan (unggas, anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan
feses hewan melalui makanan yang terkontaminasi seperti daging ayam dan air.
Kadang-kadang infeksi dapat menyebar melalui kontak langsung person to person.
C.jejuni mungkin menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus

besar.Ada 2 tipe toksin yang dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heat-labile enterotoxin.
Perubahan histopatologi yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis.
§ Vibrio cholerae 01 dan V.choleare 0139. Air atau makanan yang terkontaminasi
oleh bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan melalui person to person jarang
terjadi.
§ V.cholerae melekat dan berkembang biak pada mukosa usus halus dan
menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan diare. Toksin kolera ini sangat mirip
dengan heat-labile toxin (LT) dari ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin
yang lain yang mempunyai karakteristik tersendiri, seperti accessory cholera
enterotoxin (ACE) dan zonular occludens toxin (ZOT). Kedua toksin ini
menyebabkan sekresi cairan kedalam lumen usus.
§ Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi sel epitel usus.
Enterotoksin yang dihasilkan menyebabkan diare. Bila terjadi kerusakan mukosa
yang menimbulkan ulkus, akan terjadi bloody diarrhea
c.

Protozoa :

§ Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme patogensis masih
belum jelas, tapi dipercayai mempengaruhi absorbsi dan metabolisme asam
empedu. Transmisi melalui fecal-oral route. Interaksi host-parasite dipengaruhi oleh
umur, status nutrisi,endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan endemisitas
yang tinggi, giardiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan
atau tanpa malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas rendah, dapat terjadi wabah
dalam 5 – 8 hari setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang disertai mual,
nyeri epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai malabsorbsi dengan faty
stools,nyeri perut dan gembung.
§ Entamoeba histolytica. Prevalensi Disentri amoeba ini bervariasi,namun
penyebarannya di seluruh dunia. Insiden nya mningkat dengan bertambahnya
umur,dan teranak pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang
disebabkan oleh E.histolytica non patogenik (E.dispar). Amebiasis yang simtomatik
dapat berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri yang fulminant.
§ Cryptosporidium. Dinegara yang berkembang, cryptosporidiosis 5 – 15% dari
kasus diare pada anak. Infeksi biasanya siomtomatik pada bayi dan asimtomatik
pada anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe
watery diarrhea, ringan dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan gangguan
sistim kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS, cryptosporidiosis merupakan
reemerging disease dengan diare yang lebih berat dan resisten terhadap beberapa
jenis antibiotik.
§ Microsporidium spp
§ Isospora belli

§ Cyclospora cayatanensis
d.

Helminths :

§ Strongyloides stercoralis. Kelainan pada mucosa usus akibat cacing dewasa dan
larva, menimbulkan diare.
§ Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai organ
termasuk intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan perdarahan
usus..
§ Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama jejunu,
menyebabkan inflamasi dan atrof vili dengan gejala klinis watery diarrhea dan
nyeri abdomen.
§ Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, caecum, dan appendix. Infeksi
berat dapat menimbulkan bloody diarrhea dan nyeri abdomen.
2. Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan 6 besar,
tetapi yang sering ditemukan di lapangan ataupun klinis adalah diare yang
disebabkan infeksi dan keracunan. Untuk mengenal penyebab diare yang
dikelompokan sebagai berikut: (Lebenthal, 1989; Daldiyono, 1990; Dep Kes RI,
1999; Yatsuyanagi, 2002)
a.

Infeksi :

1) Bakteri (Shigella, Salmonella, E.Coli, Golongan vibrio, Bacillus Cereus,
Clostridium perfringens, Staphilococ Usaurfus,Camfylobacter, Aeromonas)
2)

Virus (Rotavirus, Norwalk + Norwalk like agent, Adenovirus)

3)

Parasit

a) Protozoa (Entamuba Histolytica, Giardia Lambia, Balantidium Coli, Crypto
Sparidium)
b)

Cacing perut (Ascaris, Trichuris, Strongyloides, Blastissistis Huminis)

c)

Bacilus Cereus, Clostridium Perfringens

b.

Malabsorpsi: karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak atau protein.

c.

Alergi: alergi makanan

d.

Keracunan :

1)

Keracunan bahan-bahan kimia

2)

Keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi :

a)

Jazad renik, Algae

b)

Ikan, Buah-buahan, Sayur-sayuran

e.

Imunodefsiensi / imunosupresi (kekebalan menurun) : Aids dll

f.
Sebab-sebab lain: Faktor lingkungan dan perilaku, Psikologi: rasa takut dan
cemas
LAPORAN PENDAHULUAN DIARE
Diare
D. EPIDEMIOLOGI
1. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui
makanan/minuna yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja
penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan
meningkatkan risiko terjadinya diare perilaku tersebut antara lain :
a. Tidak memberikan ASI ( Air Susi Ibu ) secara penuh 4-6 bulan pada pertama
kehidupan pada bayi yang tidak diberi ASI risiko untuk menmderita diare lebih
besar dari pada bayi yang diberi AsI penuh dan kemungjinan menderita dehidrasi
berat juga lebih besar.
b. Menggunakan botol susu , penggunakan botol ini memudahkan pencernakan
oleh Kuman , karena botol susah dibersihkan
c. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar. Bila makanan disimpan
beberapa jam pada suhu kamar makanan akan tercemar dan kuman akan
berkembang biak,
d. Menggunakan air minum yang tercemar . Air mungkin sudah tercemar dari
sumbernya atau pada saat disimpan di rumah, Perncemaran dirumah dapat terjadi
kalau tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan tercemar menyentuh
air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan.
e. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja
anak atau sebelum makan dan menyuapi anak,
f.
Tidak membuang tinja ( termasuk tinja bayi ) dengan benar Sering
beranggapan bahwa tinja bayi tidaklah berbahaya padahal sesungguhnya
mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar sementara itu tinja binatang
dapat menyebabkan infeksi pada manusia.
2. Faktor penjamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare

Beberapa faktor pada penjamu dapat meningkatkan insiden beberapa penyakit dan
lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Tidak memberikan ASI sampai 2 Tahun. ASI mengandung antibodi yang dapat
melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti : Shigella dan v
cholerae
b. Kurang gizi beratnya Penyakit , lama dan risiko kematian karena diare
meningkat pada anak-anak yang menderita gangguan gizi terutama pada penderita
gizi buruk.
c. Campak diare dan desentri sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak
yang sedang menderita campak dalam waktu 4 minggu terakhir hal ini sebagai
akibat dari penurunan kekebalan tubuh penderita.
d. Imunodefesiensi /Imunosupresi. Keadaan ini mungkin hanya berlangsung
sementara, misalnya sesudah infeksi virus ( seperti campak ) natau mungkin yang
berlangsung lama seperti pada penderita AIDS ( Automune Defciensy Syndrome )
pada anak imunosupresi berat, diare dapat terjadi karena kuman yang tidak
parogen dan mungkin juga berlangsung lama,
e.

Segera Proposional , diare lebih banyak terjadi pada golongan Balita ( 55 % )

3. Faktor lingkungan dan perilaku :
Penyakit diare merupakan salah satu penyakiy yang berbasis lingkungan dua faktor
yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja kedua faktor ini akan
berinteraksi bersamadengan perilaku manusia Apabila factor lingkungan tidak sehat
karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang
tidak sehat pula. Yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan
kejadian penyakit diare.
(Lebenthal, 1989; Daldiyono, 1990; Dep Kes RI, 1999; Yatsuyanagi, 2002)

E. PATOFISIOLOGI
Fungsi utama dari saluran cerna adalah menyiapkan makanan untuk keperluan
hidup sel, pembatasan sekresi empedu dari hepar dan pengeluaran sisa-sisa
makanan yang tidak dicerna. Fungsi tadi memerlukan berbagai proses fsiologi
pencernaan yang majemuk, aktivitas pencernaan itu dapat berupa:
(Sommers,1994; Noerasid, 1999 cit Sinthamurniwaty 2006)
1. Proses masuknya makanan dari mulut kedalam usus.
2. Proses pengunyahan (mastication) : menghaluskan makanan secara mengunyah
dan mencampur.dengan enzim-enzim di rongga mulut

3. Proses penelanan makanan (diglution) : gerakan makanan dari mulut ke gaster
4. Pencernaan (digestion) : penghancuran makanan secara mekanik, percampuran
dan hidrolisa bahan makanan dengan enzim-enzim
5. Penyerapan makanan (absorption): perjalanan molekul makanan melalui selaput
lendir usus ke dalam. sirkulasi darah dan limfe.
6. Peristaltik: gerakan dinding usus secara ritmik berupa gelombang kontraksi
sehingga makanan bergerak dari lambung ke distal.
7. Berak (defecation) : pembuangan sisa makanan yang berupa tinja.
Dalam keadaan normal dimana saluran pencernaan berfungsi efektif akan
menghasilkan ampas tinja sebanyak 50-100 gr sehari dan mengandung air
sebanyak 60-80%. Dalam saluran gastrointestinal cairan mengikuti secara pasif
gerakan bidireksional transmukosal atau longitudinal intraluminal bersama elektrolit
dan zat zat padat lainnya yang memiliki sifat aktif osmotik. Cairan yang berada
dalam saluran gastrointestinal terdiri dari cairan yang masuk secara per oral, saliva,
sekresi lambung, empedu, sekresi pankreas serta sekresi usus halus. Cairan
tersebut diserap usus halus, dan selanjutnya usus besar menyerap kembali cairan
intestinal, sehingga tersisa kurang lebih 50-100 gr sebagai tinja.
Motilitas usus halus mempunyai fungsi untuk:
1. Menggerakan secara teratur bolus makanan dari lambung ke sekum
2. Mencampur khim dengan enzim pankreas dan empedu
3. Mencegah bakteri untuk berkembang biak.
Faktor-faktor fsiologi yang menyebabkan diare sangat erat hubungannya satu
dengan lainnya. Misalnya bertambahnya cairan pada intraluminal akan
menyebabkan terangsangnya usus secara mekanis, sehingga meningkatkan
gerakan peristaltik usus dan akan mempercepat waktu lintas khim dalam usus.
Keadaan ini akan memperpendek waktu sentuhan khim dengan selaput lendir usus,
sehingga penyerapan air, elektrolit dan zat lain akan mengalami gangguan.
Berdasarkan gangguan fungsi fsiologis saluran cerna dan macam penyebab dari
diare, maka patofsiologi diare dapat dibagi dalam 3 macam kelainan pokok yang
berupa :
1. Kelainan gerakan transmukosal air dan elektrolit (karena toksin)
Gangguan reabsorpsi pada sebagian kecil usus halus sudah dapat menyebabkan
diare, misalnya pada kejadian infeksi. Faktor lain yang juga cukup penting dalam
diare adalah empedu. Ada 4 macam garam empedu yang terdapat di dalam cairan
empedu yang keluar dari kandung empedu. Dehidroksilasi asam dioksikholik akan

menyebabkan sekresi cairan di jejunum dan kolon, serta akan menghambat
absorpsi cairan di dalam kolon. Ini terjadi karena adanya sentuhan asam
dioksikholik secara langsung pada permukaan mukosa usus. Diduga bakteri
mikroflora usus turut memegang peranan dalam pembentukan asam dioksi kholik
tersebut. Hormon-hormon saluran cerna diduga juga dapat mempengaruhi absorpsi
air pada mukosa. usus manusia, antara lain adalah: gastrin, sekretin, kholesistokinin
dan glukogen. Suatu perubahan PH cairan usus juga. dapat menyebabkan
terjadinya diare, seperti terjadi pada Sindroma Zollinger Ellison atau pada Jejunitis.
2. Kelainan cepat laju bolus makanan didalam lumen usus (invasive diarrhea)
Suatu proses absorpsi dapat berlangsung sempurna dan normal bila bolus makanan
tercampur baik dengan enzim-enzim saluran cerna dan. berada dalam keadaan
yang cukup tercerna. Juga. waktu sentuhan yang adekuat antara khim dan
permukaan mukosa usus halus diperlukan untuk absorpsi yang normal. Permukaan
mukosa usus halus kemampuannya berfungsi sangat kompensatif, ini terbukti pada
penderita yang masih dapat hidup setelah reseksi usus, walaupun waktu lintas
menjadi sangat singkat. Motilitas usus merupakan faktor yang berperanan penting
dalam ketahanan local mukosa usus. Hipomotilitas dan stasis dapat menyebabkan
mikro organisme berkembang biak secara berlebihan (tumbuh lampau atau
overgrowth) yang kemudian dapat merusak mukosa usus, menimbulkan gangguan
digesti dan absorpsi, yang kemudian menimbulkan diare. Hipermotilitas dapat
terjadi karena rangsangan hormon prostaglandin, gastrin, pankreosimin; dalam hal
ini dapat memberikan efek langsung sebagai diare. Selain itu hipermotilitas juga
dapat terjadi karena pengaruh enterotoksin staphilococcus maupun kholera atau
karena ulkus mikro yang invasif o1eh Shigella atau Salmonella.Selain uraian di atas
haruslah diingat bahwa hubungan antara aktivitas otot polos usus,gerakan isi lumen
usus dan absorpsi mukosa usus merupakan suatu mekanisme yang sangat
kompleks.
3. Kelainan tekanan osmotik dalam lumen usus (virus).
Dalam beberapa keadaan tertentu setiap pembebanan usus yang melebihi
kapasitas dari pencernaan dan absorpsinya akan menimbulkan diare. Adanya
malabsorpsi dari hidrat arang, lemak dan zat putih telur akan menimbulkan
kenaikan daya tekanan osmotik intra luminal, sehingga akan dapat menimbulkan
gangguan absorpsi air. Malabsorpsi hidrat arang pada umumnya sebagai
malabsorpsi laktosa yang terjadi karena defesiensi enzim laktase. Dalam hal ini
laktosa yang terdapat dalam susu tidak sempurna mengalami hidrolisis dan kurang
di absorpsi oleh usus halus. Kemudian bakteri-bakteri dalam usus besar memecah
laktosa menjadi monosakharida dan fermentasi seterusnya menjadi gugusan asam
organik dengan rantai atom karbon yang lebih pendek yang terdiri atas 2-4 atom
karbon. Molekul-molekul inilah yang secara aktif dapat menahan air dalam lumen
kolon hingga terjadi diare. Defsiensi laktase sekunder atau dalam pengertian yang
lebih luas sebagai defsiensi disakharidase (meliputi sukrase, maltase, isomaltase

dan trehalase) dapat terjadi pada setiap kelainan pada mukosa usus halus. Hal
tersebut dapat terjadi karena enzim-enzim tadi terdapat pada brush border epitel
mukosa usus. Asam-asam lemak berantai panjang tidak dapat menyebabkan
tingginya tekanan osmotik dalam lumen usus karena asam ini tidak larut dalam air..
PATHWAY DIARE
Pathway Diare
Pathway Diare

F.

MANIFESTASI KLINIS

1. Menurut Suriadi (2001), Manifestasi klinis diare yaitu
a.

Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer

b.

Kram perut

c.

Demam

d.

Mual

e.

Muntah

f.

Kembung

g.

Anoreksia

h.

Lemah

i.

Pucat

j.

Urin output menurun (oliguria, anuria)

k.
l.

Turgor kulit menurun sampai jelek
Ubun-ubun / fontanela cekung

m. Kelopak mata cekung
n.

Membran mukosa kering

2. Manifestasi klinis diare yaitu (Nelwan, 2001; Procop et al, 2003)
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau demam,
tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.

Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang
adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang
mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa
asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus,
berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol,
turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan
deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul).
Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat
naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak
terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan
kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul
aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan
timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa
nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal
ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi
kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang lebih banyak dalam
sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru
pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali.
3. Gejala Diare menurut Kliegman (2006), yaitu:
Tanda-tanda awal dari penyakit diare adalah bayi dan anak menjadi gelisah dan
cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada,
kemudian timbul diare. Tinja akan menjadi cair dan mungkin disertai dengan lendir
ataupun darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan berubah menjadi kehijau-hijauan
karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena
seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya
asam laktat yang berasal darl laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama
diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat
disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit (Kliegman, 2006).
Menurut Kliegman, Marcdante dan Jenson (2006), dinyatakan bahwa berdasarkan
banyaknya kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh, diare dapat dibagi menjadi :
a.

Diare tanpa dehidrasi

Pada tingkat diare ini penderita tidak mengalami dehidrasi karena frekuensi diare
masih dalam batas toleransi dan belum ada tanda-tanda dehidrasi.
b.

Diare dengan dehidrasi ringan (3%-5%)

Pada tingkat diare ini penderita mengalami diare 3 kali atau lebih, kadang-kadang
muntah, terasa haus, kencing sudah mulai berkurang, nafsu makan menurun,
aktiftas sudah mulai menurun, tekanan nadi masih normal atau takikardia yang
minimum dan pemeriksaan fsik dalam batas normal.
c.

Diare dengan dehidrasi sedang (5%-10%)

Pada keadaan ini, penderita akan mengalami takikardi, kencing yang kurang atau
langsung tidak ada, irritabilitas atau lesu, mata dan ubun-ubun besar menjadi
cekung, turgor kulit berkurang, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak
kering, air mata berkurang dan masa pengisian kapiler memanjang (≥ 2 detik)
dengan kulit yang dingin yang dingin dan pucat.
d.

Diare dengan dehidrasi berat (10%-15%)

Pada keadaan ini, penderita sudah banyak kehilangan cairan dari tubuh dan
biasanya pada keadaan ini penderita mengalami takikardi dengan pulsasi yang
melemah, hipotensi dan tekanan nadi yang menyebar, tidak ada penghasilan urin,
mata dan ubun-ubun besar menjadi sangat cekung, tidak ada produksi air mata,
tidak mampu minum dan keadaannya mulai apatis, kesadarannya menurun dan
juga masa pengisian kapiler sangat memanjang (≥ 3 detik) dengan kulit yang
dingin dan pucat.
4. Sebagai akibat diare baik yang akut maupun khronis, maka akan terjadi: (FKUI,
2001 cit Sinthamurniwaty 2006)
a. Kehilangan air dan elektrolit sehingga timbul dehidrasi dan keseimbangan
asam basa Kehilangan cairan dan elektrolit (dehidrasi) serta gangguan
keseimbangan asam basa disebabkan oleh:
1) Previous Water Losses : kehilangan cairan sebelum pengelolaan, sebagai
defsiensi cairan.
2)

Nomial Water Losses : kehilangan cairan karena fungsi fsiologik.

3)

Concomittant Water Losses : kehilangan cairan pada waktu pengelolaan.

4) Intake yang kurang selama sakit : kekurangan masukan cairan karena
anoreksia atau muntah.
Kekurangan cairan pada diare terjadi karena:
1)

Pengeluaran usus yang berlebihan

a) Sekresi yang berlebihan dari selaput lendir usus (Secretoric diarrhea) karena,
gangguan fungsi selaput lendir usus, (Cholera E. coli).
b) Berkurangnya penyerapan selaput lendir usus, yang disebabkan oleh
berkurangnya kontak makanan dengan dinding usus, karena adanya hipermotilitas
dinding usus maupun kerusakan mukosa usus.
c) Difusi cairan tubuh kedalam lumen usus karena penyerapan oleh tekanan
cairan dalam lumen usus yang hiperosmotik; keadaan ini disebabkan karena
adanya substansi reduksi dari fermentasi laktosa yang tidak tercerna enzim laktase
(diare karena virus Rota)
2)

Masukan cairan yang kurang karena :

a)

Anoreksia

b)

Muntah

c)

Pembatasan makan (minuman)

d)

Keluaran yang berlebihan (panas tinggi, sesak nafas)

b.

Gangguan gizi sebagai "kelaparan" (masukan kurang dan keluaran berlebihan)

Gangguan gizi pada penderita diare dapat terjadi karena:
1) Masukan makanan berkurang karena adanya anoreksia (sebagai gejala
penyakit) atau dihentikannya beberapa macam makanan o1eh orang tua, karena
ketidaktahuan. Muntah juga merupakan salah satu penyebab dari berkurangnya
masukan makanan.
2) Gangguan absorpsi. Pada diare akut sering terjadi malabsorpsi dari nutrien
mikro maupun makro. Malabsorpsi karbohidrat (laktosa, glukosa dan fruktosa) dan
lemak yang kemudian dapat berkembang menjadi malabsorpsi asarn amino dan
protein. Juga kadang-kadang akan terjadi malabsorpsi vitamin baik yang larut
dalam air maupun yang larut dalam lemak (vitamin B12, asam folat dan vitamin A)
dan mineral trace (Mg dan Zn).
Gangguan absorpsi ini terjadi karena:
a) Kerusakan permukaan epitel (brush border) sehingga timbul deplisit enzim
laktase.
b)

Bakteri tumbuh lampau, menimbulkan:

(1) Fermentasi karbohidrat
(2) Dekonjugasi empedu.

Kerusakan mukosa usus, dimana akan terjadi perubahan struktur mukosa usus dan
kemudian terjadi pemendekan villi dan pendangkalan kripta yang menyebabkan
berkurangnya permukaan mukosa usus.
Selama diare akut karena kolera dan E. coli terjadi penurunan absorpsi karbohidrat,
lemak dan nitrogen. Pemberian masukan makan makanan diperbanyak akan dapat
memperbaiki aborpsi absolut sampai meningkat dalam batas kecukupan walaupun
diarenya sendiri bertambah banyak. Metabolisme dan absorpsi nitrogen hanya akan
mencapai 76% dan absorpsi lemak hanya 50%.
3)

Katabolisme

Pada umumnya infeksi sistemik akan mempengaruhi metabolisme dan fungsi
endokrin, pada penderita infeksi sistemik terjadi kenaikan panas badan. Akan
memberikan dampak peningkatan glikogenesis, glikolisis, peningkatan sekresi
glukagon, serta aldosteron, hormon anti diuretic (ADH) dan hormon tiroid. Dalam
darah akan terjadi peningkatan jumlah kholesterol, trigliserida dan lipoprotein.
Proses tersebut dapat memberi peningkatan kebutuhan energy dari penderita dan
akan selalu disertai kehilangan nitrogen dan elektrolit intrasel melalui ekskresi
urine, peluh dan tinja.
4)

Kehilangan langsung

Kehilangan protein selama diare melalui saluran cerna sebagai Protein loosing
enteropathy dapat terjadi pada penderita campak dengan diare, penderita kolera
dan diare karena E. coli. Melihat berbagai argumentasi di atas dapat disimpulkan
bahwa diare mempunyai dampak negative terhadap status gizi penderita.
c.

Perubahan ekologik dalam lumen usus dan mekanisme ketahananisi usus

Kejadian diare akut pada umumnya disertai dengan kerusakan mukosa usus
keadaan ini dapat diikuti dengan gangguan pencernaan karena deplesi enzim.
Akibat lebih lanjut adalah timbulnya hidrolisis nutrien yang kurang tercerna
sehingga dapat menimbulkan peningkatan hasil metabolit yang berupa substansi
karbohidrat dan asam hidrolisatnya. Keadaan ini akan merubah ekologi kimiawi isi
lumen usus, yang dapat menimbulkan keadaan bakteri tumbuh lampau, yang
berarti merubah ekologi mikroba isi usus. Bakteri tumbuh lampau akan memberi
kemungkinan terjadinya dekonjugasi garam empedu sehingga terjadi peningkatan
asam empedu yang dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus lebih lanjut.
Keadaan tersebut dapat pula disertai dengan gangguan mekanisme ketahanan lokal
pada usus, baik yang disebabkan oleh kerusakan mukosa usus maupun perubaban
ekologi isi usus.

G. KOMPLIKASI

Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama, terutama
pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera kehilangan cairan
secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang cepat. Kehilangan
elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia dan asidosis metabolik.
(Hendarwanto, 1996; Ciesla et al, 2003)
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis, sehingga syok
hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka dapat timbul Tubular
Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini
dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat sehingga tidak
tecapai rehidrasi yang optimal. (Nelwan, 2001; Soewondo, 2002; Thielman &
Guerrant, 2004)
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan terbanyak
oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan
trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan meningkat setelah infeksi
EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi penggunaan antibiotik untuk
terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut, adalah merupakan
komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya setelah infeksi C. jejuni.
Dari pasien dengan Guillain – Barre, 20 – 40 % nya menderita infeksi C. jejuni
beberapa minggu sebelumnya. Biasanya pasien menderita kelemahan motorik dan
memerlukan ventilasi mekanis untuk mengaktifkan otot pernafasan. Mekanisme
dimana infeksi menyebabkan Sindrom Guillain – Barre tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah penyakit diare karena
Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp
Menurut SPM Kesehatan Anak IDAI (2004) dan SPM Kesehatan Anak RSUD Wates
(2001), Komplikasi Diare yaitu:
§ Kehilangan air dan elektrolit : dehidrasi, asidosis metabolic
§ Syok
§ Kejang
§ Sepsis
§ Gagal Ginjal Akut
§ Ileus Paralitik
§ Malnutrisi
§ Gangguan tumbuh kembang

H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENUNJANG LAINNYA
Pemeriksaan Laboratorium yang dapat dilakukan pada diare adalah sebagai
berikut :
1. Lekosit Feses (Stool Leukocytes): Merupakan pemeriksaan awal terhadap diare
kronik. Lekosit dalan feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal. Kultur Bacteri
dan pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan adanya infeksi. Jika
pasien dalam keadaan immunocompromisedd, penting sekali kultur organisma yang
tidak biasa seperti Kriptokokus,Isospora dan M.Avium Intracellulare. Pada pasien
yang sudah mendapat antibiotik, toksin C difcle harus diperiksa.
2. Volume Feses: Jika cairan diare tidak terdapat lekosit atau eritrosit, infeksi
enteric atau imfalasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses 24 jam
harus dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus dicatat (>250
ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi steatore atau diare tanpa
malabsorbsi lemak.
3. Mengukur Berat dan Kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam: Jika berat feses
>300/g24jam mengkonfrmasikan adanya diare. Berat lebih dari 1000-1500 gr
mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h menunjukkan proses
malabsorbstif.
4. Lemak Feses : Sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan suatu
steatore, lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak merak orange
per ½ lapang pandang dari sample noda sudan adalah positif. False negatif dapat
terjadi jika pasien diet rendah lemak. Test standard untuk mengumpulkan feses
selama 72 jam biasanya dilakukan pada tahap akhir. Eksresi yang banyak dari
lemak dapat disebabkan malabsorbsi mukosa intestinal sekunder atau insufsiensi
pancreas.
5. Osmolalitas Feses : Dipeerlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare osmotic
atau diare sekretori. Elekrolit feses Na,K dan Osmolalitas harus diperiksa.
Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses adalah 290 mosm
dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na&K) dimana nilai normalnya 105 bakteri/ml menunjukkan pertumbuhan bakteri.

I.

PENCEGAHAN DIARE

Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan efektif yang dapat dilakukan
adalah: (Kementrian Kesehatan RI, 2011)
1. Perilaku Sehat
a.

Pemberian ASI

ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia dalam
bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh
bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan.
Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.
ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain seperti susu formula atau
cairan lain yang disiapkan dengan air atau bahan-bahan dapat terkontaminasi
dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa cairan atau makanan lain dan
tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme
lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan seperti ini di sebut disusui secara
penuh (memberikan ASI Eksklusif).
Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan
dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan dengan
makanan lain (proses menyapih).
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan
zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare.
Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4
kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu
botol. Flora normal usus bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab
botol untuk susu formula, berisiko tinggi menyebabkan diare yang dapat
mengakibatkan terjadinya gizi buruk.
b.

Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku pemberian makanan
pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana
makanan pendamping ASI diberikan.
Ada beberapa saran untuk meningkatkan pemberian makanan pendamping ASI,
yaitu:
1) Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 6 bulan dan dapat teruskan
pemberian ASI. Tambahkan macam makanan setelah anak berumur 9 bulan atau
lebih. Berikan makanan lebih sering (4x sehari). Setelah anak berumur 1 tahun,
berikan semua makanan yang dimasak dengan baik, 4-6 x sehari, serta teruskan
pemberian ASI bila mungkin.
2) Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi /bubur dan biji-bijian untuk
energi. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang-kacangan, buahbuahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.
3) Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan meyuapi anak. Suapi anak
dengan sendok yang bersih.
4) Masak makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin dan
panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak.
c.

Menggunakan Air Bersih Yang Cukup

Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui Face-Oral kuman
tersebut dapat ditularkan bila masuk ke dalam mulut melalui makanan, minuman
atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya jari-jari tangan, makanan yang
wadah atau tempat makan-minum yang dicuci dengan air tercemar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih
mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang
tidak mendapatkan air bersih.
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai
dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
1)

Ambil air dari sumber air yang bersih

2) Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup serta gunakan gayung
khusus untuk mengambil air.
3)

Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang dan untuk mandi anak-anak

4)

Minum air yang sudah matang (dimasak sampai mendidih)

5) Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan dengan air yang bersih dan
cukup.
d.

Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting dalam
penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun,
terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare ( Menurunkan angka kejadian diare
sebesar 47%).
e.

Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan jamban
mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit diare.
Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga
harus buang air besar di jamban.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
1) Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh
seluruh anggota keluarga.
2)

Bersihkan jamban secara teratur.

3)

Gunakan alas kaki bila akan buang air besar.

f.

Membuang Tinja Bayi Yang Benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tidak benar
karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang
tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.
Yang harus diperhatikan oleh keluarga:
1)

Kumpulkan segera tinja bayi dan buang di jamban

2) Bantu anak buang air besar di tempat yang bersih dan mudah di jangkau
olehnya.
3) Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk membuang tinja seperti di dalam
lubang atau di kebun kemudian ditimbun.
4) Bersihkan dengan benar