Dinamika PPPKI pada Masa Pergerakan Nasi

Tugas UTS Mata Kuliah
Sejarah Indonesia Masa Pergerakan Nasional

Dinamika PPPKI pada Masa Pergerakan Nasional
Indonesia tahun 1927 – 1935

Zulkifli Pelana
4415120305

Pendidikan Sejarah (A) 2012
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta

Pendahuluan
Pasca pemberontakan PKI tahun 1926 yang berhasil digagalkan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, memicu reaksi lebih represif dari pemerintah kolonial
Hindia Belanda terhadap pergerakan kaum-kaum nasionalis. Dari refleksi itu, para
aktivis pergerakan nasional mengatur taktik agar tetap bertahan dan memperoleh
persatuan dari bermacam-macamnya organisasi pergerakan nasional.
Adanya keinginan akan persatuan gerakan-gerakan nasionalis Indonesia guna
mencegah terpecah-belahnya aksi pergerakan nasional memicu gagasan untuk

dibentuknya suatu badan federasi yang diharapkan akan mengakomodir persatuan
dari bermacam-macamnya organisasi pergerakan kebangsaan di Indonesia. Badan
federasi tersebut yakni PPPKI, yang merupakan suatu sarana para aktivis pergerakan
nasional pada periode tahun 1927 sampai 1935 untuk memperoleh kekuatan yang
besar dalam melawan penjajah Belanda.
Dalam paper ini terdapat pemaparan sekilas mengenai awal terbentuknya
PPPKI, dinamika dan perkembangan PPPKI pada masa pergerakan nasional
Indonesia, hingga kemunduran dan akhir dari PPPKI.

Awal Terbentuknya PPPKI
Upaya-upaya guna memperoleh persatuan pergerakan pembebasan bangsa
Indonesia telah diusahakan dengan pendirian sebuah “Indonesische eenheidscomite”
(Komite Persatuan Indonesia) di Bandung dan sebuah “Comite persatuan
kebangsaan” di Surabaya, maka pada bulan September 1926 lahirlah sebuah “Comite
persatuan Indonesia”, dalam komite ini turut duduk semua studieclub, SI,
Muhammadiyah, JIB, Pasundan, Persatuan Minahasa, Sarekat Ambon dan Sarekat
Madura.1 Namun, setelah komite ini didirikan, satu organisasi atau satu gabungan
(federasi) saja tidak dapat diwujudkan.

1


A. K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat, 1994), hlm.
83

Setahun kemudian, ketika konggres PSI di Pekalongan pada bulan September
1927, langkah untuk merealisasikan pembentukan federasi mulai menemukan titik
terang. Sebelum itu, Sukarno dan Sukiman telah mempersiapkan dasar bagi suatu
federasi partai-partai politik sejak bulan April.2 Lalu, diadakanlah sidang kongres
pada tanggal 1 Oktober yang menyetujui PSI untuk masuk sebagai anggota federasi
yang direncanakan, sehingga dengan demikian pembentukan federasi secara resmi
dapat dilakukan.3 Bergabungnya PSI ke dalam federasi tidak terlepas dari peranan
Sukiman dalam meyakinkan PSI untuk bekerja sama dengan PNI, kendati ada
pertentangan-pertentangan sebelumnya.4
Kemudian, sebuah rapat diadakan pada tanggal 17 – 18 Desember di Sekolah
Taman Siswa di Bandung untuk mengatur pembentukan federasi secara resmi. Hadir
dalam pertemuan tersebut wakil-wakil dari PSI, PNI, Budi Utomo, Pasundan,
Sumatranenbond, Kaum Betawi dan Kelompok Studi Indonesia. Pertemuan tersebut
menerima AD yang dipersiapkan oleh Sukarno dan Sukiman (sejak bulan April)
untuk pembentukan suatu federasi yang dikenal dengan nama Permufakatan
Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)5 dan sesudah AD

itu dikirimkan kepada semua pengurus besar partai-partai, maka secara resmi di
Bandung pada tanggal tersebut lahirlah PPPKI.
Adapun yang menjadi anggota PPPKI ialah:
- PNI (diwakili oleh Sukarno, Mr. Iskaq).
- Algemeene Studieclub (diwakili oleh Mr. Sartono, Mr. Budiarto dan Dr.
Samsi).
- PSI (diwakili oleh Dr. Sukiman dan Sjahbudin Latif).
- Budi Utomo (diwakili oleh Kusumo Utojo dan Sutopo Wonobojo).
- Pasundan (diwakili oleh Oto Subrata, Bakri Surjaatmadja dan S. Sendjaja).
2

John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun 1927-1935 (Jakarta:
LP3ES, 1988), hlm. 54
3
ibid., hlm. 55
4
ibid., hlm. 57
5
ibid., hlm. 55


- Sarikat Sumatera (diwakili oleh Parada Harahap, Dahlan Abdullah).
- Kaum Betawi (diwakili oleh Mohammad Husni Thamrin).
- Indonesische Studieclub (Sujono, Gondokusumo, dan Sundjoto).
Terkait usaha-usaha yang akan dicapai oleh PPPKI, antara lain:
a. Menyamakan arah aksi kebangsaan, memperkuatnya dengan memperbaiki
organisasi dengan kerja bersama antara anggota-anggotanya.
b. Menghindarkan

perselisihan

sesama

anggotanya,

yang

hanya

bisa


melemahkan aksi kebangsaan saja. Sesuai dengan ini maka ditentukan,
bahwa di dalam gabungan itu tidak akan diperundingkan asas-asas, tentang
mana partai-partai yang berlainan paham (umpamanya agama, nonkooperasi). Hanya keputusan-keputusan yang sudah diambil dengan suara
bulat saja yang mengikat semua partai; jika tentang sesuatu hal yang tidak
dapat mufakat yang bulat, maka suatu keputusan dapat dijalankan hanya atas
nama-nama partai yang menyetujui keputusan itu saja.6
Dengan terbentuknya PPPKI, secara sepintas sudah terlihat membawa
perkembangan baru yang memberi harapan, walaupun federasi ini memang terdiri
dari bermacam-macam partai. Lebih jelasnya, PPPKI merupakan federasi berbagai
golongan yang ada tanpa tuntutan ideologi, kecuali menerima gagasan berjuang untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia.7 Memang idealnya seperti itu, namun dalam
perkembangan selanjutnya mulai menampakkan beberapa perbedaan.

Dinamika PPPKI pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia
Pada tanggal 25 Maret 1928, PPPKI mengadakan rapat di Jakarta berhubung
dengan kabar bebasnya keempat pelajar Indonesia yang dahulu tertangkap, yang
mana maksud ini untuk membicarakan keadaan mereka dan nasibnya. Diambillah

6


Pringgodigdo, op. cit., hlm. 84
Peter Kasenda, Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933 (Depok: Komunitas Bambu, 2010),
hlm. 32
7

keputusan pendirian suatu badan yang membantu mereka dan mengirimkan kawat
(telegram) kepada mereka guna menyatakan simpati.
Pada tanggal 30 Agustus – 2 September 1928, PPPKI mengadakan kongres
pertamanya di Surabaya. Kongres ini antara lain mengambil suatu mosi “dari rakyat
kepada rakyat” tentang:
a. Dalam berpropaganda untuk organisasi sendiri, anggota PPPKI tidak boleh
menyalahkan asas-asas atau tujuan anggota lainnya, juga tidak boleh
mempergunakan kata-kata yang mungkin menimbulkan perasaan-perasaan
yang merugikan anggota lain.
b. Segala perselisihan antara sesama anggota PPPKI haruslah diselesaikan
dengan jalan perundingan.
Antara pembicara pada kongres ini terdapat juga anggota-anggota PNI yaitu Mr.
Iskaq, Ir. Sukarno, Dr. Samsi, yang dengan cara ini mendapat kesempatan yang luas
untuk menyebarkan pikiran-pikiran PNI kepada sidang yang ramai jenis-jenis
orangnya itu.

Adanya sidang yang ramai itu juga yang menyebabkan dibentuknya seksi-seksi
setempat dari PPPKI atas anjuran PNI, yang mana seksi-seksi itu mempunyai Majelis
Pertimbangan masing-masing. Seksi Bandung mengadakan rapat umum pada 7
Oktober dan 16 Desember 1928; pada rapat ini dibicarakan oleh para pemimpin PNI
tentang segala rintangan yang dirasa oleh kaum pergerakan dari undang-undang
negeri dan juga hal erfpah (hak bangunan).8
Aksi tersendiri PNI tersebut tidak disukai oleh partai-partai lain; PNI sementara
sedang berusaha melakukan aksi-aksinya mengolah rakyat umum dari organisasi
yang berlainan itu dengan perantaraan “seksi-seksi” PPPKI tadi. Dari hal itu, maka
tidak mengherankan jika pada rapat PPPKI 25 – 26 Desember 1928 di Bandung,
mengambil keputusan akan membubarkan seksi-seksi tersebut (di Bandung, Yogya,

8

Pringgodigdo, op. cit., hlm. 85

Solo, dan Jakarta) selekas-lekasnya.9 Rapat (tertutup) ini selanjutnya menetapkan,
bahwa PPPKI:
1. Akan menjalankan aksi yang kuat untuk menentang segala pasal dalam
Undang-Undang Hukum Pidana, yang merintangi kemerdekaan orang

menyatakan pikirannya dan aksi-aksi lainnya.
2. Akan berupaya agar orang-orang yang diasingkan di Digul itu tetap tidak
berdosa, dimerdekakan kembali; untuk itu periksa lagi surat-surat yang
bersangkutan dengan pengasingan itu dengan sebaik-baiknya.
3. Akan mengadakan suatu panitia untuk pengajaran (sekolah) kebangsaan.
4. Akan menyerahkan suatu memorandum tentang peraturan poenale sanctie10
terhadap kuli kontrak kepada Albert Thomas, ketua konferensi internasional
tentang perburuhan di Geneve saat ia tiba di Indonesia.
Akhirnya, dilakukan protes terhadap ancaman-ancaman yang dikeluarkan oleh
pemerintah jajahan di Dewan Rakyat (9 November 1928) kepada pemimpinpemimpin PNI, jika mereka tidak menjadi lebih tenang dalam aksi-aksinya.
Pada konferensi PPPKI di Yogyakarta 29 – 30 Maret 1929, diberitahukan
bahwa pemerintah tidak suka memberikan bantuan untuk dapat memeriksa, terkait
apakah ada orang-orang yang tidak bersalah dari orang-orang yang diasingkan di
Digul tersebut (pemerintah tidak mengizinkan surat-surat itu diperiksa). Selanjutnya
diambillah keputusan, agar selambat-lambatnya pada 1 Mei 1929 dilakukan aksi
umum yang sudah dirancangkan, menentang pasal 153 bis11 dan pasal 153 ter, serta
pasal 161 bis dari Buku Undang-Undang Hukum Pidana (tentang hasutan yang
bersifat revolusioner dan ajakan mengadakan pemogokan) di kota-kota penting.12
Konferensi itu juga akan mendirikan Fonds Nasional untuk membelanjai
propagandanya di Indonesia dan di luar negeri, serta untuk menyokong sekolah9


ibid., hlm. 86
Poenale sanctie adalah sanksi hukuman yang diberikan bila para kuli menggar kontrak (melarikan
diri). (Sumber: , diakses 18-5-2014, pukul 10.00 WIB)
11
Sekali lagi, diulangi lagi
12
Pringgodigdo, op. cit., hlm. 86
10

sekolah kebangsaan, akhirnya atas anjuran PNI, diangkatlah Perhimpunan Indonesia
oleh konferensi itu menjadi pengawal paling depan (di Eropa) pergerakan kebangsaan
Indonesia.13 Hal ini berdasarkan pada pertimbangan:
Pertama, bahwa besar manfaatnya bagi Eropa itu mengetahui keadaan-keadaan
yang merajalela di Indonesia (poenale sanctie, rodi, rintangan bagi kemerdekaan
berbicara dan sebagainya). Kedua, bahwa PPPKI dapat mengetahui sebaik-baiknya
kejadian-kejadian dalam kalangan politik di Eropa yang dirasa penting bagi
Indonesia.
Dengan demikian, pada tanggal 2 April 1929, PI diangkat secara resmi menjadi
wakil PPPKI dengan mendapat mandat terbatas, yakni: PI (Perhimpunan Indonesia)

dapat menjalankan aksi di Eropa atas nama PPPKI terhadap poenale sanctie dan
ketiga pasal dari Undang-Undang Hukum Pidana tersebut.
Masih terkait, poenale sanctie, maka pada tanggal 1 September 1929, PPPKI
mengadakan rapat-rapat umum di Jakarta, Bandung dan Surabaya untuk menentang
poenale sanctie itu.
Kemudian, PPPKI mengadakan kongres keduanya di Solo pada tanggal 25 – 27
Desember 1929. Ada empat mosi dari “rakyat dan untuk rakyat” yang diambil saat
kongres itu, yakni tentang:
1. Baiknya mengadakan suatu panitia untuk menyelidiki pergerakan sekerja,
yang semestinya harus dipimpin oleh suatu pusat (vakcentrale).
2. Buruknya penahanan terlalu lama yang dilakukan oleh polisi atas kamu
politik.
3. Tidak sahnya larangan atas beberopa golongan pegawai negeri (pegawaipegawai di Jawa Barat dan semua orang militer) menjadi anggota dari
beberapa partai nasional.
4. Keharusan memandang setiap orang yang tidak menghormati persatuan
Indonesia, menjadi musuh Indonesia.14
13
14

Lihat juga: Ingleson, 1988: 82

Pringgodigdo, op. cit., hlm. 87

Karena organisasi-organisasi daerah yang menjadi anggota PPPKI dan mosi
tersebut sudah diambil, maka hal ini berarti organisasi-organisasi tersebut mengakui
hanya Indonesia sebagai Tanah Air. Pada kongres ini, disahkan berdirinya Fonds
Nasional yang sudah dimufakati pada konferensi bulan Maret, untuk propaganda di
dalam dan di luar negeri, sedang diambil keputusan meneruskan adanya PI menjadi
yang paling depan bagi PPPKI dengan mandat terbatas.
Selanjutnya, pada tanggal 12 Januari 1930, dua pekan sesudah penggeledahan
pada semua pemimpin PNI, PPPKI mengadakan rapat di Jakarta guna memprotes
penggeledahan dan penangkapan itu. Diambil keputusan akan memperkuat Fonds
Nasional agar dapat menyokong keluarga orang-orang yang sedang dalam tahanan
itu. Suatu mosi “dari rakyat dan untuk rakyat” menetapkan, bahwa meskipun ada
rintangan yang hebat dalam aktivitas pergerakan, aksi tetap diteruskan untuk
kemerdekaan kebangsaan hingga tujuan itu tercapai.
Dalam rapat tertutup itu, diambil keputusan akan mengadakan suatu Kongres
Nasional Indonesia Raya pada bulan Desember 1930, yang akan dihadiri bukan saja
oleh anggota-anggota PPPKI, tetapi juga oleh golongan yang bukan anggota PPPKI,
maksud kongres itu ialah hendak bersama-sama memperoleh alur-alur untuk
mencapai tujuan kebangsaan.15 Namun, kongres ini harus diundur sebagai akibat dari
keadaan yang kurang menyenangkan terkait dengan “serangan” dari golongangolongan Islam terhadap kaum nasionalis sekuler dan juga karena “serangan” kaum
nasionalis sekuler terhadap agama Islam.16 Selain itu, pengunduran waktu
pelaksanaan kongres tersebut disebabkan juga adanya kesulitan keuangan, hingga
kongres baru bisa diadakan pada suatu waktu di tahun 1931.17
Adanya perselisihan antara kaum nasionalis Islam (dalam hal ini: PSI) dengan
kaum nasionalis sekuler (dalam hal ini: PNI) berdampak pada keluarnya PSI (Partai
Sarekat Islam)18 dari PPPKI pada tahun 1930. Keluarnya PSI / PSII dari PPPKI itu
15

ibid., hlm. 88
Lihat: Pringgodigdo, 1994: 159
17
Lihat: Ingleson, 1988: 177
18
Pada tahun 1929 berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).
16

dikarenakan kelompok-kelompok lainnya menolak untuk mengakui peranan utama
Islam yang oleh para pemimpin Islam perkotaan, dianggap pantas.19 Dan alasan lain
keluarnya PSII dari PPPKI ialah bahwa pasal 1 dari Anggaran Dasar Federasi itu
berlawanan dengan Anggaran Dasar PSII yang memperbolehkan keanggotaan bagi
semua orang Islam apapun kebangsaannya.20
Selain itu, perselisihan-perselisihan dalam tubuh PPPKI itu ditambah lagi
dengan adanya anjuran PNI untuk mendirikan seksi-seksi lokal yang dipandang
sebagai percobaan yang hendak memperkecil pengaruh partai-partai kooperasi. Hal
ini memang tidak bisa terhindarkan karena PPPKI terdiri dari campuran bermacam
jenis aliran pergerakan (penganut kooperasi dan non-kooperasi, kaum keagamaan dan
yang netral terhadap agama), yang pastinya ada berbagai perbedaan. Dari beberapa
perselisihan tersebut, eksistensi PPPKI sebagai forum bagi golongan kooperator dan
non-kooperator ataupun antara nasionalis Islam dan sekuler makin terancam.
Pada konferensi tanggal 21 Maret 1931, diambil keputusan akan mengadakan
juga kongres itu sebagai persediaan untuk itu PPPKI mengundang beberapa
organisasi kebangsaan (juga yang tidak tergabung dalam federasi), supaya
menghadiri pertemuan yang diadakan pada akhir bulan Mei 1931. Selanjutnya
digantilah kata “Permufakatan” pada nama federasi itu menjadi “Persatuan”, akhirnya
diputuskan pula bahwa segala keputusan tidak akan diambil lagi hanya dengan suara
bulat saja, tetapi di dalam asasnya keputusan itu juga akan dapat dijalankan dengan
suara yang terbanyak.21
Dapat dikatakan, bahwa meskipun ada segala perselisihan itu antara satu
golongan dan golongan lain, sikap terhadap penjajah pada tahun 1931 tidak menjadi
lemah, bahkan umumnya menjadi lebih keras.
Kongres Indonesia Raya diadakan pada awal tahun 1932. Di kongres ini sangat
diharapkan agar partai-partai yang waktu itu sedang berselisihan (Pendidikan
Nasioanl Indonesia lawan Partindo, Umat Islam lawan PBI, Istri Sedar lawan PPII)
19

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008 (Jakarta: Serambi, 2008), hlm. 394
Ingleson, op. cit., hlm. 148
21
Pringgodigdo, op. cit., hlm. 160
20

untuk menghentikan perselisihan-perselisihan di antara mereka. Hal ini sungguh
menghasilkan kurang baiknya pertentangan-pertentangan

itu, lebih-lebih antara

Pendidikan Nasional Indonesia dan Partindo.
Lalu, pada bulan Maret 1932, PPPKI mengadakan konferensi di Surabaya.
Konferensi ini mengambil keputusan akan memindahkan Majelis Pertimbangan dari
Surabaya ke Jakarta, tempat kedudukan kebanyakan pengurus besar partai yang
tergabung di dalam PPPKI itu. Berhubung dengan hal itu pengurus harian yang terdiri
atas Dr. Sutomo dan Mr. Latuharhary, diganti dengan Thamrin dan Oto Iskandar
Dinata.22
Konferensi yang diadakan bulan November 1932 menerima rancangan Ir.
Sukarno tentang memperbaiki organisasi PPPKI; perbaikan ini akan menjadikan
PPPKI itu lebih layak untuk jadi suatu badan yang meliputi seluruh pergerakan
kebangsaan. Semenjak waktu itu akan diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam
setahun Kongres Indonesia Raya, pada kongres ini akan dibicarakan hal yang penting
dan diambil keputusan tentang hal itu. Keputusan-keputusan kongres ini akan
dijalankan oleh PPPKI. Bukan saja anggota-anggota PPPKI yang ikut pada Kongres
Indonesia Raya itu, tetapi juga perkumpulan-perkumpulan politik yang tidak jadi
anggota PPPKI, tetapi yang hadir di kongres itu dianggap bermanfaat; perkumpulanperkumpulan yang tersebut kemudian ini hanya akan turut bersuara mengambil suatu
keputusan tentang hal-hal yang akan ditentukan saja, umumnya mereka hanya boleh
memberi nasehat saja.
Sebab oleh keputusan ini, di Bandung didirikanlah suatu Komite Persatuan
Aksi untuk mengadakan rapat-rapat bersama dari beberapa partai, di tempat-tempat
yang dianggap baik untuk mengadakan aksi itu. Sebelum itu sudah diadakan rapatrapat yang demikian, misalnya pada bulan Juli 1932 di Jakarta, yang membicarakan
tanah-tanah partikulir, undang-undang tentang pemberangusan surat kabar dan
undang-undang tentang pengumpulan uang.

22

ibid., hlm. 160-161

Kemudian, pada September 1932 suatu konferensi bersama (tetapi di luar ikatan
PPPKI) dilaksanakan di Jakarta, yang mana konferensi diadakan oleh Pendidikan
Nasional Indonesia, Partindo, Pasundan, Budi Utomo, Sarikat Sumatera dan PBI,
membicarakan pula undang-undang yang tersebut tadi dan selanjutnya segala
halangan yang ditimbulkan oleh polisi di rapat-rapat. Sebagai keputusan diambil mosi
“dari rakyat kepada rakyat” untuk menentang undang-undang tentang pengumpulan
uang pengekangan surat kabar, halangan di rapat-rapat, pasal 153 bis dan pasal 153
ter, serta 161 bis dari Undang-Undang Hukum Pidana dan hak-hak luar biasa dari
pemerintah tentang pengasingan.23
Dari semua yang tersebut tadi, terlihatlah bahwa kembalinya Sukarno ke dalam
pergerakan dan datangnya Drs. Moh Hatta dalam lapangan politik yang kritis,
menyebabkan gerakan politik langsung menuju Indonesia Merdeka yang tadinya
terhenti sementara dan berganti dengan perselisihan-perselisihan antara satu golongan
dan golongan lain, telah dilakukan kembali sejak tahun 1932.
Adapun perkumpulan-perkumpulan yang tergabunglah dalam PPPKI pada akhir
tahun 1932, yaitu: Budi Utomo, Pasundan, Serikat Sumatera, Serikat Ambon, Timor
Verbonds, Partai Serikat Selebes, Partai Indonesia dan Persatuan Bangsa Indonesia.
PNI Baru (Moh. Hatta) tidak jadi anggota “persatuan” itu dan ia bersikap “kritis”
terhadap “persatuan” itu; Drs. Moh. Hatta menamai “persatuan” itu “persatean”. Juga
golongan-golongan agama (Islam dan Kristen) tidak tergabung dalam “persatuan”
itu.24
Pada bulan Mei 1933, federasi itu mengadakan aksi yang bersamaan waktunya
di beberapa tempat untuk menentang hal penyempitan hak berserikat dan bersidang.
Lalu, pada awal Agustus 1933, federasi itu menyiarkan surat sebaran untuk
menentang aturan-aturan yang diambil oleh pemerintah guna melemahkan pergerakan
yang bersikap “kiri”; federasi itu memprotes hal itu dan menganjurkan kepada rakyat
supaya beraksi lebih kuat.
23
24

ibid., hlm. 161
ibid., hlm. 162

Kongres Indonesia Raya kedua yang akan diadakan pada bulan Desember 1933,
tidak dapat dilangsungkan; ini adalah akibat larangan dari pemerintah beberapa hari
sebelum kongres itu dimulai, sebab Partindo akan ikut pada kongres itu, maka
larangan bersidang pun dianggap berlaku bagi seluruhnya.
Pada tahun 1933, pemerintah mengambil tindakan (selain larangan menjadi
anggota, larangan bersidang, pengasingan) terhadap pergerakan kebangsaan, yaitu:
sejak bulan Juli 1933 berlaku aturan tentang perjalanan di Tapanuli dan Bangka (ini
menyebabkan propagandis-propagandis tidak mungkin pergi ke sana), undangundang pengekangan surat kabar terhadap beberapa surat kabar Indonesia (sebab itu
surat-surat kabar ini terpaksa berlaku sedikit ‘manis’ agar tidak terkena larangan
terbit) dan pencabutan hak mengajar di sekolah bagi 87 anggota perkumpulanperkumpulan “kiri”.
Dari berbagai dinamika dan perkembangan PPPKI tersebut, kita merefleksi
sejenak guna melihat ada kritik-kritik yang tertuju pada PPPKI, di antara yaitu dalam
beberapa karangan pada surat kabar PNI “Persatoean Indonesia” dari Januari sampai
April 1929, terdapat kritik Mohammad Hatta terhadap PPPKI, yang dinilainya belum
merupakan suatu badan yang kuat dan terorganisir, serta menganjurkan agar PPPKI
menjadi suatu Dewan Ra’jat yang mewakili semua aliran politik dalam gerakan
nasionalis.25 Kemudian, Hatta dalam tulisannya pada harian Indonesia Merdeka di
bulan Okbtober 1930, melanjutkan kritik terhadap PPPKI. Hatta mengkritik bahwa
PPPKI berada dalam krisis ganda: pertama, krisis ideologi dan kedua, krisis
impotensi.26 Krisis ideologi terjadi karena konsepsi yang salah tentang arti persatuan
dalam gerakan nasionalis. Lalu, Hatta pun menambahkan impotensi (pelemahan)
politik PPPKI baru terlihat setelah penangkapan beberapa para aktivis pergerakan.

Kemunduran dan Akhir dari PPPKI

25
26

Ingleson, op. cit., hlm. 91
ibid., hlm. 149-150

Ternyata, pembentukan PPPKI yang diharapkan akan menyatukan berbagai
organisasi nasionalis kemudian hanya tinggal fatamorgana. Hal itu di antaranya
disebabkan oleh: perbedaan prinsip antara PSI (nasionalisme Islam) dan PNI
(nasionalis sekuler); konservatisme-nya Budi Utomo yang dibarengi ketakutan PSI
terhadap dominasi PNI dalam federasi.27
Dalam hal ini, Sukarno (selaku salah satu pimpinan partai) terbilang gagal
merangkul persatuan federasi partai dalam PPPKI guna melawan Belanda, meskipun
berkat retorikanya PNI mampu berkembang secara pesat. Hal itu juga ditambah
dengan adanya sikap para pemimpin organisasi dalam federasi mementingkan
kepentingan partainya masing-masing.
Oleh karena adanya Partindo dalam PPPKI merupakan suatu rintangan bagi
federasi tersebut untuk beraksi, maka pada tanggal 9 Februari 1935, partai itu
keluarlah dari PPPKI. Jadi, ketika itu federasi ini terdiri hanyalah dari partai-partai
yang bersikap kooperasi saja, dan dengan demikian PPPKI tidak dapat lagi
dinamakan suatu perikatan dari pergerakan politik kebangsaan dari segala warna.
Lagi pula dalam pergerakan itu, terutama Sukarno (yang mendirikan dan yang
memperbaiki PPPKI itu), yang menjadi pendorong PPPKI, cenderung dominan
beraksi terhadap PPPKI. Menilik bagaimana keadaan PPPKI itu lama-kelamaan,
maka tidaklah mengherankan kita, bahwa federasi itu tidak melakukan aksi lagi.
Sesudah lebih dari empat tahun lamanya tidak beraksi, pada masa inilah PPPKI
dengan diam-diam mati adanya. Berhubung dengan kegentingan interasional yang
menyebabkan sangat perlunya pemusatan tenaga bangsa Indonesia, timbullah satu
badan baru bagi persatuan, bernama Gabungan Politik Indonesia; tujuannya ialah
mempersatukan semua partai politik Indonesia Raya. Dasar-dasar aksi ialah hak
mengatur diri sendiri, persatuan kebangsaan yang meliputi seluruh rakyat Indonesia,
yang menuju tercapainya cita-cita bangsa Indonesia. Dengan adanya Gapi, kita
melihat lahirnya kembali PPPKI; perbedaannya ialah PSII masuk pula dalam

27

Lihat: Ingleson, 1988: 98

kalangan itu.28 Akhirnya, nama PPPKI pun berakhir sebagai suatu federasi gerakan
nasionalis Indonesia.

Penutup
Pada awalnya, PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia) dapat dibilang sebagai pengikatan bersama organisasiorganisasi nasionalis dengan musuh yang sama, yaitu pemerintahan kolonial Hindia
Belanda. Sempat bergabungnya beberapa organisasi gerakan kebangsaan dalam
federasi ini dapat dianggap sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah
pergerakan nasional. Dengan demikian, PPPKI pun dapat menghidupkan kembali
gairah juang para aktivis pergerakan nasional.
PPPKI sebagai federasi yang merupakan suatu sarana dari partai anti-kolonial
dapat terbelah oleh konflik (khususnya atas kelayakan pendekatan non-kooperatif,
dan peran agama)29. Adanya masalah-masalah non-kooperasi dan kooperasi serta
perselisihan nasionalisme sekuler dan nasionalisme Islam makin merapuhkan
kekuatan PPPKI guna merangkul bermacam-macam organisasi pergerakan nasional.
Selain itu, setiap anggota partai dalam federasi lebih suka untuk memikirkan
kegiatan-kegiatan partainya masing-masing daripada soal-soal kekokohan federasi.
Adanya beberapa perselisihan internal federasi tersebut makin menguatkan anggapan
bahwa taktik devide et impera kolonialis Belanda masih ampuh efeknya.
Sejalan dengan pendapat John Ingleson, PPPKI yang diharapkan dapat
merangkul dan menyatukan kekuatan bermacam-macam organisasi pergerakan
nasional hanyalah tinggal “fatamorgana”. Sebagai penutup, kita dapat mengambil
pelajaran dari kasus dinamika PPPKI tersebut, bahwa tanpa adanya persatuan dan
kemauan bersama untuk menyatukan kekuatan melawan para penjajah, mustahil
diperoleh keberhasilan bebasnya bangsa kita dari para penjajah.
28

Pringgodigdo, op. cit., hlm. 163
Nicholas Tarling, The Cambridge History of Southeast Asia Vol. 2: The 19th & 20th Centuries.
(Cambridge University Press, 1994), hlm. 273
29

__________________

Daftar Pustaka
Buku
Ingleson, John. 1988. Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia tahun
1927-1935 Jakarta: LP3ES.
Kasenda, Peter. 2010. Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933. Depok:
Komunitas Bambu.
Pringgodigdo, A. K. 1994. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian
Rakyat.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008. Jakarta: Serambi.
E-Book
Tarling, Nicholas. 1994. The Cambridge History of Southeast Asia Vol. 2: The 19th
& 20th Centuries. Cambridge University Press.
Internet
, diakses 18-5-2014, pukul 10.00 WIB

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22