Ibnu Rusyd Pemikiran Ibnu Rusyd terhad (1)

IBNU RUSYD
Pemikiran Ibnu Rusyd tentangkomentarnya Terhadap al-Ghazali
dan Persesuaian antara Filsafat dan Syari’at
A. Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd lahir di Cordoba, ibukota Andalusia sekarang
Spanyol, pada tahun 520 H/1126 M dan wafat di Maroko pada 1198 M,
dengan nama Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad bin Rusyd. Dia berasal dari lingkungan keluarga yang besar
sekali perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan. Ayah dan kakeknya pernah
menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Dia sendiri pernah menduduki beberapa
jabatan, antara lain sebagai Qadhi (hakim) di Sevilla dan sebagai Qadhi alQudhat (hakim agung) di Cordoba. Di samping itu, dia juga sangat aktif dalam
kegiatan politik dan sosial.
Pada masa kecilnya Ibnu Rusyd telah mempelajari al-Quran, lalu
mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti tafsir, hadis, sastra Arab dan ilmu fikih
dia belajar kepada ayahnya. Kemudian dia mendalami ilmu matematika, fisika,
astronomi, logika, filsafat, dan ilmu kedokteran dengan belajar kepada Ibnu
Thufail. Oleh karena itu, wajar jika dia dikenal sebagai ahli dalam berbagai
cabang ilmu pengetahuan.
Di Barat dia dikenal dengan nama Averoes. Dia adalah seorang dokter, ahli
hukum, dan tokoh filsuf yang paling populer pada periode perkembangan filsafat
Islam pada masa itu (700-1200), sehingga dengan hasil dari ilmu yang dia miliki

dunia barat mengalami banyak kemajuan terutama dalam berbagai bidang disiplin
ilmu penetahuan.
Satu catatan penting dalam sejarah karir pemikiran Ibnu
Rusyd adalah peran seorang gurunya, Ibnu Thufail (w. 1185).
Seorang dokter, filsuf, astronom, pakar matematika, dan juga
penyair yang mengabdikan dirinya pada keluarga dinasti
Muwahidun, menjadi dokter dan wazir Sultan Abu Ya’qub Yusuf,
penguasa Granada waktu itu. Ibnu Thufail inilah yang berperan
penting pada perkembangan pemikiran Ibnu Rusyd muda. Atas
rekomendasinyalah nama Ibnu Rusyd terpilih sebagai orang
mumpuni yang beruntung atas pengangkatannya sebagai
seorang komentator karya-karya Aristoteles. Ibnu Ruyd
melekukan tugas itu dengan baik dan di samping sebagai seorang yang
paling otoritatif dalam fungsi sebagai komentator atas karya-karya filsuf Yunani
Aristoteles, Ibnu Rusyd juga seorang filsuf muslim yang paling menonjol dalam
usahanya mencari persesuaian antara filsafat dan syariat (al-ittishal bain alhikmah wa al-syari`ah).
Dalam ulasannya tentang karya-karya aristoteles, Ibnu Rusyd tidak sematamata memberi komentar (anotasi) terhadap filsafat Aristoteles, tetapi juga

menambahkan pandangan-pandangan filosofisnya sendiri, suatu hal yang
belum pernah dilakukan oleh filsuf semasa maupun sebelumnya. Kritik dan

komentarnya itulah yang mengantarkannya menjadi terkenal di Eropa. Ulasanulasannya terhadap filsafat Aristoteles berpengaruh besar pada kalangan ilmuwan
Eropa.
Selain itu, dia juga banyak mengomentari karya-karya filsuf muslim
pendahulunya, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, dan al-Ghazali.
Komentar-komentarnya itu banyak diterjemahkan orang ke dalam bahasa Latin
dan Ibrani.
B. Karya-karya Ibnu Rusyd
Karya Ibnu Rusyd terdiri dari 28 buku mengenai Filsafat, 5 buku megenai
Agama, 8 buku mengenai hukum Islam dan 10 buku mengenai kedokteran.
Dalam filsafat cara berfikir Ibnu Sina disempurnakan oleh Ibnu Rusyd. Sehingga
pengaruhnya dalam filsafat Eropa lebih besar dari pengaruh Ibnu Sina sendiri.
Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa arab yang
sampai kepada kita sekarang hanya sedkit. Sebagian adanya adalah buku-buku
yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan Yahudi.
Diantara karangan Ibnu Rusyd adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

6.
7.
8.

Tahafut tahafut
Risalah fi Ta’alluqi ‘ilmillahi ‘an Adami Ta’alluqihi bil-juziyat
Bidyah al-Mujtahid wa an-Nihayah al-Muqtashid.
Manahij al-adillah fi aqaidi ahl al-millah
Tafsiru ma ba’d at-tabiat
Fashl al-Maqal fi ma bain al-Hikmah wa asy-Syari’ah min al-Ittisal
Al-Kasyfu ‘an Manajhil ‘Adilah fi ‘aqaidi Ahli Millah
Naqdu Nadhariyat Ibn Sina ‘Anil-Mukmi Lizatihi wal-Mukmin
Ligharihi.
9. Risalah fil-Wujud al-Azali wa al-Wujudi al-Muaqad.
10. Risalah fi al-Aqli wa al-ma’quli.
Karangan Ibnu Rusyd meliputi berbagai ilmu, sepertit: fikih, usul, bahasa,
kedokteran, astronomi, politik, akhlak, dan filsafat.
Buku-bukunya adakala merupakan karangan sendiri atau ulasan dan
ringkasan. Diantara buku-buku yang yang telah diulasnya adalah buku-buku
karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, platinus, galinus, al-Farabi, Al-Ghazali,

Ibnu Sina dan Ibnu Majah.
C. Jawaban Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali

Pendapat Imam Al-Ghazali yang mengkafirkan para filosof tentang tiga hal
dari pemikiran mereka yaitu:
1. Pengetahuan Tuhan tentang perkara yang partikular atau Tuhan hanya
mengetahui yang global saja.
2. Qidamnya alam dan alam ini qadim atau hadis.
3. Pada yaumul ‘ad yang kembali itu arwah atau arwah dengan jasad secara
bersamaan.
Dari pengkafiran al-Ghazali tersebut maka Ibnu Rusyd
memeberi Sanggahan-sanggahan terhadap tiga hal yang
menyebabkan al-Ghazali mengaharamkan filsafat yaitu:
1. Pengetahuan Tuhan
Menurut para filsuf Tuhan hanya mengetahui yang
partikular secara universal. Jika pengetahuan Tuhan
bersifat partikular, maka apa-apa yang ada di dunia ini
akan selalu menjadi kehendak Tuhan. Ini berakibat,
keadilan Tuhan akan dipertanyakan. Misalnya kasus
manusia yang mati bunuh diri, dengan konsep

pengetahuan Tuhan yang partikular, implikasinya-pun hal
ini sudah ditetapkan Tuhan. Dengan begitu konsep
pengetahuan
Tuhan
secara
partikular
mengalami
permasalahan. Tuhan akan tahu bahwa setiap manusia
akan mati, sampai di sinilah pengetahuan Tuhan, tetapi
bagaimana cara manusia itu mati, hal itu diserahkan pada
manusia sendiri.
Hal
ini
nampak
sebagai
keterbatasan,
karena
mengandaikan bahwa penglihatan Tuhan menggunakan
indera. Pengenalan Tuhan adalah pengenalan universal,
karena tiadanya indera dalam diri Tuhan.

Selalu ada batas-batas yang membatasi, terhadap Tuhan
sendiri. Misalnya, mungkinkah Tuhan membunuh dirinya?
Jika mengikuti nalar tentu bisa saja Tuhan membunuh
dirinya sendiri, karena kemahakuasaan diri-Nya. Tentu tak
mungkin Tuhan membunuh dirinya.
2. Keabadian Alam
Apa yang dikatakan al-Ghazali mengenai keabadian alam
yang didengungkan oleh para filsuf? Keabadian alam yang
dikatakan para filsuf memiliki ketidak koherenan. Ketika
ada dua entitas yang abadi maka tidak dapat dibedakan
mana yang pencipta dan mana yang diciptakan. Tapi, kita
lupa bahwa apa yang dibicarakan ini saat alam belum ada
alam. Al-Ghazali terjebak dengan konsep ruang dan waktu
yang meliputi alam. Ketika membahas tentang proses

terciptanya alam maka lepaskan dulu konsep ruang dan
waktu.
Kata Ibnu Rusyd: “Meskipun Tuhan dan alam sama-sama
abadi tetapi karena Tuhan sebagai penyebab, sedangkan
alam adalah akibat, maka Tuhan tetap yang dahulu ada

(sebagai Pencipta). Hal ini dapat di ibaratkan sebagai
matahari dengan sinarnya. Mana yang lebih dahulu antara
matahari dan sinarnya?”
Al-Ghazali sangat tidak relevan mengkafirkan para filsuf,
hanya karena menyatakan alam itu abadi. Padahal pijakan
nilai yang dipakai oleh filsuf dan Al-Ghazali sungguh
berbeda. Jika para filsuf memancangkan konsep keabadian
alam ini dalam kontek di luar ruang dan waktu. Al-Ghazali
masih terjebak dalam konteks ruang dan waktu.
Kemudian Ibnu Rusyd pun melakukan kritik balik terhadap
pemikiran Al-Ghazali yang menyatakan bahwa Tuhan
berkehendak ketika meciptakan alam. Menurut Ibnu Rusyd
ini tidak mungkin. Permasalahannya adalah kenapa jika
kehendak Tuhan itu ada sejak zaman azali tetapi alam
datangnya kemudian. Seharusnya sejak azalipun alam
sudah ada. Rentang waktu penciptaan ini mengandaikan
bahwa ada sesuatu yang lain, membuat Tuhan harus
merealisasikan alam. Tentu ini menyalahi aturan.
Para filsuf menawarkan, bahwa alam di sini bukan alam
aktual. Tetapi potensi alam, jadi potensi alamlah yang ada

sejak zaman dahulu.
3. Kebangkitan Jasmani Setelah Mati
Menurut para filsuf tak mungkin jasmani manusia akan
bangkit setelah mati. Hal ini merujuk pada sifat jasmani itu
sendiri (tubuh tak mungkin bisa abadi, setiap yang fisik
akan selalu hancur), padahal menurut al-Quran, nanti
manusia akan abadi di akhirat. Maka dari itu, tak mungkin
jasmani manusia ini akan bangkit menuju akhirat, karena
kefanaannya.
Dosa yang kita lakukan tak akan dirasakan sakitnya saat
ini, karena tubuh menikmatinya, begitupun dengan
kebaikan yang kita lakukan saat ini seringkali terasa
menyakitkan bagi tubuh kita.
Sedangkan konsep al-Ghazali tentang kehidupan akhirat,
menurut Ibnu Rusyd tidak konsisten karena kadangkala
menyatakan bahwa surga dan neraka itu bersifat fisik di
satu buku, di buku lainnya ia menyatakan bahwa
kehidupan akhirat bersifat ruhani.

Dari tiga sanggahanya ini Ibnu Rusyd mencoba untuk kembali

merajut benang-benang filsafat yang sempat dipotong-potong alGhazali. Ibnu Rusyd seolah berkata bahwa di dalam filsafat Islam
ini kami juga menemukan kebenaran. Namun sayangnya filsafat
Ibnu Rusyd justeru berkembang di Barat tempat ia mengasah
pengetahuannya. Di dunia Islam sendiri pintu untuk mempelajari
filsafat telah dikunci mati oleh fatwa haram al-Ghazali. Dan
inipun harus diakui.
Upaya lain Ibnu Rusyd dalam usaha pembelaanya terhadap
filsafat adalah dengan menyatakan bahwa antara filsafat dan
syariat tidaklah bertentangan dalam kitabnya Fashl al-Maqal f
ma Bain al-Hikmah wa asy-Syari’ah min al-Ittishal. Fatwa haram
al-Ghazali benar-benar meresap di benak dan sanubari umat
Islam dan tentu Ibnu Rusyd tidak ingin itu berlarut-larut terjadi.
Ketika upaya perlawanan dengan Tahafut at-Tahafut-nya dirasa
masih kurang berhasil dalam mengambil hati umat Islam, upaya
persuasif-pun dimunculkan dengan adanya kitab ini. Pada
dasarnya kitab ini berbicara tentang hubungan antara akal dan
wahyu. Bertentangan atau tidak keduanya? Oleh Ibnu Rusyd
dikatakan bahwa keduanya tidaklah bertentangan.
Ada kebenaran tunggal di dalamnya. Dalam upayanya itu
nampak betul bahwa Ibnu Rusyd benar-benar berkeinginan untuk

mendamaikan dua episteme ini. Untuk memperkuat argumen ini
Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga golongan. Pertama,
kelas kaum ortodoks yang tidak terpelajar. Orang-orang dalam
kategori ini jumlahnya paling banyak, dan biasanya dalam
menjalani rutinitas keberagamaannya hanya dengan bertaqlid
atau mengikut. Kedua, adalah para teolog. Golongan ini
dikatakan Ibnu Rusyd adalah golongan tepelajar namun tidak
mau memahami premis-premis logika. Dan yang terakhir, adalah
golongan orang-orang yang memahami agama secara rasional.
Dari tiga kategorisasi ini Ibnu Rusyd kemudian menyatakan
bahwa perbedaan pendapat dan pemahaman dalam Islam,
sebenarnya berpangkal pada ini. Allah SWT mencipta al-Quran
sebegitu fleksibelnya hingga dapat menyesuaikan yang
membaca dan yang memahaminya. Dari sinilah kemudian Ibnu
Rusyd dinyatakan sebagai seorang yang menyebarkan ajaran
ganda. Meski kalau kita pahami lanjut sebenarnya tidak ada itu
yang namanya kebenaran ganda, yang ganda mungkin
pemahamannya saja. Jelas pembelaan yang luar biasa oleh Ibnu
Rusyd pada filsafat.
D. Hubungan filsafat dengan agama


Secara lahiriah hubungan antara agama dan filsafat mustahil
bertentangan karena kedua hal ini adalah dua hal yang seiring
sejalan, filsafat adalah suatu ilmu yang mengedepankan akal
dalam memahami sesuatu dan agama adalah aturan Tuhan yang
harus dipahami oleh akal yang dianugrahkan Tuhan kepada
manusia untuk menjalankan aturan-Nya. Tentang masalah ini
Ibnu Rusyd, dalam kitabnya Fashl al-maqal fi ma baina asySyari’ah wa al-Hikmah, menjabarkan dan mengkaji aspek-aspek
syariat. Ia di awal kitab Manahij al-Adillah fi Aqaid al-Millah juga
memaparkan, Syariat terbagi dalam dua bagian, yakni lahir dan
batin, dan batin syariat dikhususkan untuk para ulama,
sementara mayoritas yang awam hanya diperintahkan untuk
mengamalkan lahiriah syariat dan menghindari berbagai bentuk
takwil. Bagi kaum ulama juga tidak dibenarkan mengungkapkan
dan menyampaikan hakikat-hakikat yang diperoleh dari jalur
penakwilan kepada masyarakat awam. Ibnu Rusyd dalam
tulisannya berpijak pada perkataan Imam Ali as yang berkata,
“Berbicaralah kepada masyarakat sehingga mereka dapat
memahami, apabila kandungan pembicaraan lebih tinggi dari
pada kadar pemahaman masyarakat, maka dikhawatirkan
mereka akan menolak perkataan Tuhan dan para Nabi-Nya.” Ibnu
Rusyd yakin bahwa peran kitab-kitab suci, yang diturunkan
kepada para Nabi dan Rasul Tuhan, meliputi satu makna lahir dan
beberapa makna batin. Ibnu Rusyd dan juga semua orang yang
percaya terhadap masalah itu, berkeyakinan atas keberadaan
makna batin dimana apabila makna batin syariat dan ajaran
agama
dibicarakan
kepada
masyarakat
awam
akan
mengakibatkan munculnya masalah dan persoalan psikologis
dan sosiologi yang terburuk. Ibnu Rusyd berpandangan bahwa
senantiasa terdapat kesatuan hakikat yang memiliki penafsiranpenafsiran yang beragam.
Upaya Ibnu Rusyd dalam menyesuaikan antara agama dan filsafat merupakan
keniscayaan sejarah, kondisi dimana para filosofnya berupaya menjaga eksistensi
filsafat dari serangan para tokoh-tokoh Islam yang menentangnya. Alternatif
terbaik yang dapat diambil oleh para filosof muslim adalah berupaya melakukan
penyesuaian antara agama dan filsafat. Secara mendasar dan dengan pendekatan
yang sama sekali baru dibanding para filosof pendahulunya, berupaya
melakukan pembelaan atas filsafat dengan menempatkannya pada posisi yang
tidak berlawanan dengan agama, bahkan menjadikannya sebagai salah satu
keharusan dalam upaya memahami agama secara baik.
Ibnu Rusyd dalam usahanya menyesuaikan agama dan filsafat didasari pada
empat prinsip dasar yaitu:
1. Keharusan berfilsafat menurut Syara’.
2. Pengertian lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wil.
3. Aturan-aturan dan Kaidah ta’wil.

4. Pertalian akal dengan wahyu.
Dengan keempat prinsip tersebut, yang dijabarkan secara sistematis dalam
karya-karya utamanya, Ibnu Rusyd berhasil menempatkan filsafat sebagai bagian
dari keberagamaan yang tidak perlu dipertentangkan. Namun demikian, Ibnu
Rusyd tetap memberikan otoritas kepada wahyu di atas filsafat, sehingga dengan
demikian Ibnu Rusyd sesungguhnya bukanlah rasionalis tulen yang menafikan
wahyu.
E. Simpulan
Pada ulasan singkat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Ibnu Rusd dalam
pemahaman filsafatnya berupaya utntuk mengintegrasikan pemahaman antara
filsafat dan agama, dimana posisi filsafat dapat berperan dalam memperkuat
argumen, pandangan serta pemahaman manusia terhadap agama. Dimana agama
dengan diperkuat dengan adanya wahyu yang memiliki makna lahir dan makna
bathin. Untuk mengupas makna itulah dibutuhkan fisafat sebagai alat untuk
memahami kandungannya. Kemudian dalam hal ini juga Ibnu Rusyd
Mengomentari terhadap Pemikira al-Ghazali terhadap keharaman Berfilsafat bagi
umat Muslim.
Wallahu a’lam.