Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan dalam Paham Wahdat Al-Wujud Ibnu ‘Arabi

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KEIMANAN DALAM PAHAM WAHDAT AL-WUJUD IBNU ‘ARABI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk memenuhi Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

Muhammad Ali Mufti NIM 108011000138

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TABIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1434 M/2014 H


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK Nama : Muhammad Ali Mufti

NIM : 108011000138

Fak/Jurusan : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Agama Islam Judul : Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan dalam Paham Wahdat Al-Wujud

Ibnu ‘Arabi

Penulisan ini dilatar belakangi oleh semakin pesatnya arus globalisasi yang dicirikan oleh derasnya arus informasi dan teknologi ternyata dari satu sisi memunculkan persoalan-persoalan baru yang kerap kita temukan pada diri individu dalam suatu masyarakat. Munculnya kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, antar etnis, banyaknya remaja dan mahasiswa yang terlibat narkoba, penyimpangan seksual, kekerasan, serta berbagai penyimpangan penyakit kejiwaan, seperti depresi, dan kecemasan adalah bukti yang tak ternafikan dari adanya dampak negatif dari kemajuan peradaban manusia yang tidak dilandasi oleh keimanan yang kuat. Dengan mempelajari nilai-nilai pendidikan keimanan yang terkadung dalam paham wahdat al-wujudIbnu ‘Arabi

diharapkan mampu memperkuat keimanan.

Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif. Dengan analisis kualitatif akan diperoleh gambaran sistematik mengenai isi suatu dokumen. Dokumen tersebut diteliti isinya kemudian diklasifikasikan menurut kriteria atau pola tertentu. Yang hendak dicapai dalam analisis ini adalah menjelaskan tentang nilai-nilai keimanan dalam konsep wahdat al-wujud.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di dalam konsep wahdat al-wujud

terdapat nilai-nilai keimanan yang meliputi nilai pendidikan keimanan Ilahiyat, Rububiyat, Uluhiyat, Asma’wa Sifat.


(6)

ii

Asalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang atas segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat mencapai gelar Sarjana Pendidik Islam (S.PdI). Shalawat serta salam semoga senatiasa tercurahkan kepada pelita kehidupan, Nabi Muhammad SAW. Juga kepada keluarganya, para sahabatnya dan para pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan yang dihadapi, namun al-Hamdulillah, dengan izin Allah dan kerja keras, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan meskipun jauh dari kesempurnaan.

Penulis menyadri dengan sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya khususnya kepada :

1. Dr. H. Abdul Mazid Khon, M.Ag dan Marhamah Sholeh Lc., MA selaku ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan bimbingan dan ilmu pengetahuannya selama menempuh pendidikan S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Akhmad Sodiq,M.Ag, selaku pembimbing yang telah mengorbankan waktu, tenaga dan pikirannya dengan tulus dalam membimbing penyusunan skripsi ini.

3. Tanenji, S.Ag, selaku dosen pembimbing akademik mahasiswa yang telah memberikan motivasi dan saran kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

4. Pimpinan dan staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menyiapkan fasilitas buku selama penulisan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mengajarkan dan memberikan ilmunya


(7)

iii

6. Kepada kedua orangtua tercinta yang banyak mendukung penulis baik bersifat materil maupun spiritual.

7. Dan rekan-rekan tercinta angkatan PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya yang telah mendukung penulis dan teman- teman yang tak dapat disebutkan satu persatu.

Mudah-mudahan segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak mendapat ganjaran pahala dari Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama bagi penulis sendiri.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 2 Mei 2014 Penulis


(8)

iv

Abstrak ... i

Kata pengantar... ii

Daftar isi... iv

BAB I PENDAHULUAN A.Latarbelakang Masalah... 1

B. Identifikasi Masalah... 13

C.Pembatasn Masalah... 13

D.Perumusan Masalah... 13

E. Tujuan Penelitian... 13

F. Kegunaan penelitian... 14

BAB II. KAJIAN TEORI A.Konsep Nilai Pendidikan Keimanan ... 15

1. Pengertian Nilai ... 15

2. Macam-macam Nilai ... 17

3. Pengertian pendidikan Keimanan ... 18

B. Subtansi Materi Pendidikan Keimanan ... 18

1. Makna Iman dan Fungsi Iman ... 18

2. Ruang Lingkungan Keimanan ... 21

a. Iman Kepada Allah SWT ... 21

b. Nubuwat ... 26

c. Ruhaniyat ... 31

d. Sam’iyyat ... 33

C.Tujuan Pendidikan Keimanan ... 36

D.Desriktif Wahdat al-Wujud ... 38

1. Wahdat ... 38

2. Wujud ... 38

3. Wahdat al-Wujud ... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 48


(9)

v

B. Metode Penelitian ... 48

C. Instrumen Penelitian ... 48

D. Analisis Data ... 49

E. Teknik Pemeriksaan Pengabsahan Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Biografi Ibnu ‘Arabi ... 54

B. Karya-karya Ibnu ‘Arabi ... 56

C. Konsep Wahdat al-Wujud Menurut Para Tokoh ... 58

D. Temuan dan Pembahasan Hasil Analisis ... 59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Implikasi ... 69

C. Saran ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71 LAMPIRAN


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang masalah

Pendidikan keimanan adalah fondasi bangunan Islam. Oleh karena itulah usaha mendirikan bangunan besar dan megah tanpa membuat fondasinya lebih dahulu adalah sia-sia.1 Seseorang yang memiliki keimanan yang kuat, pasti akan melaksanakan ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan

bermu‟amalat dengan baik. Ibadah seseorang tidak diterima oleh Allah Swt

kalau tidak dilandasi dengan keimanan. Di era globalisasi yang dihadapkan kepada berbagai tantangan ini, masalah keimanan merupakan suatu hal paling mendasar yang dianggap penting ada pada setiap orang.

Pentingnya mengangkat nilai keimanan dalam segala aspek kehidupan, dikarenakan banyak sekali saat ini terjadi pelanggaran nilai, baik nilai moral, nilai sosial, dan nilai-nilai lainnya dan itu terjadi sebagai akibat dari semakin merosotnya kepedulian manusia akan pentingnya makna keimanan dalam kehidupan. Sejalan dengan semakin pesatnya arus globalisasi yang dicirikan oleh derasnya arus informasi dan teknologi ternyata dari satu sisi memunculkan persoalan-persoalan baru yang kerap kita temukan pada diri individu dalam suatu masyarakat. Munculnya kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, antar etnis, banyaknya remaja dan mahasiswa yang terlibat narkoba, penyimpangan seksual, kekerasan, serta berbagai penyimpangan

1

Abdullah Azzam, Aqidah : Landasan Pokok Membina Ummat, Terj. Al-Aqidah, wa


(11)

2

penyakit kejiwaan, seperti depresi, dan kecemasan adalah bukti yang tak ternafikan dari adanya dampak negatif dari kemajuan peradaban manusia yang tidak dilandasi oleh keimanan yang kuat.

Hal ini kemudian secara tidak langsung berpengaruh tidak baik terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Iman memegang peranan penting bagi manusia, karena dari iman inilah akan lahir perbuatan dan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Al-qur‟an, iman yang kuat itu diibaratkan seperti pohon yang baik yang akarnya tertancap dengan kokoh, dahannya menjulang tinggi ke langit dan dapat menghasilkan buah setiap kali musim. Allah berfirman:













































































“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimah thayyibah (kalimah tauhid), seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya (QS. Ibrahim: 24-25).2

Dari firman Allah tersebut dapat dipahami bahwa iman yang kuat itu akan akan menumbuhkan suatu sikap istiqamah (teguh pendirian) dalam menghadapi berbagai macam ujian, cobaan, dan tantangan dalam hidup, dan akan melahirkan buah berupa amal shaleh dan akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Pendidikan keimanan harus menjadi perhatian semua orang, terutama para pendidik. Pentingnya mengangkat pendidikan keimanan dalam kehidupan ini merupakan suatu wahana yang menjadi penyeimbang terhadap adanya kemajuan dunia yang lebih mementingkan hal-hal yang bersifat materi, tetapi hampa makna, hampa keimanan sehingga membuat manusia kehilangan arti kemanusiaannya.

2

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an, (Jakarta: CV. Penerbit


(12)

Sementara ini, masih sedikit ilmuwan, lembaga, bahkan perguruan tinggi yang mengembangkan pendidikan nilai keimanan sebagai salah satu kajian, padahal lapangan kajian pendidikan keimanan masih luas dan banyak potensi yang dapat digali dan dikembangkan. Sebagai salah satu cara dalam mengaktualisasikan keimanan, maka keimanan perlu untuk diangkat dan dijadikan sebagai landasan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam pendidikan, baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, perguruan tinggi maupun yang ada di masyarakat, sehingga pendidikan nilai keimanan menjadi bagian integral dalam pendidikan pada umumnya.

Masalah keimanan, khususnya pendidikan keimanan merupakan suatu masalah yang harus menjadi perhatian semua orang di mana saja, baik di dalam masyarakat yang telah maju, maupun di dalam masyarakat yang masih terbelakang, karena rusaknya nilai keimanan seseorang aka mengganggu ketenteraman orang lain. Jika dalam suatu masyarakat banyak yang rusak nilai keimanannya, maka akan hancurlah keadaan masyarakat itu. Sehubungan

dengan masalah di atas, Aziz mengemukakan bahwa: “Kualitas masyarakat

muslim di abad ke-21 sekarang ini tidak lebih baik dari abad-abad sebelumnya. Itu suatu bukti bahwa kualitas umat Islam sekarang ini tidak pernah mengalami

perbaikan secara mendasar”.3

Kalau kita perhatikan, umat Islam saat ini banyak yang lupa pada ajaran-ajaran agama mereka, dan itu sebenarnya telah banyak diperingatkan oleh Allah SWTdi dalam Al-qur'an. Allah berfirman:



























“ yang demikian itu adalah karena bahwa Sesungguhnya

mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.(QS. Al Munaafiquun: 3)4

3

M.A. Aziz, The Power of Al-Fatihah, (Jakarta: Pinbuk Press, 2008), h. 1

4


(13)

4

Al-qur'an memperingatkan bahwa banyak orang yang mengaku beriman, tetapi sebenarnya merupakan musuh Islam yang paling tangguh, dan merekalah yang disebut Al-qur'an sebagai orang kafir dan munafiq. Sejalan dengan hal di atas, Quthub mengemukakan bahwa:“Umat Islam saat ini sedang mengalami krisis iman. Hal itu ditandai dengan banyaknya umat Islam yang melupakan

Allah”.5

Dengan melihat kondisi umat Islam, wajarlah kalau umat Islam saat ini banyak yang tertimpa bencana sebagai bagian dari ujian yang diberikan oleh Tuhan kepada para hamba-Nya. Bahkan, jika kita amati fenomena keadaan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar sekarang ini, sebagian anggota masyarakat telah banyak terjadi pelanggaran keimanan atau dapat dikatakan nilai-nilai keimanan masyarakat sudah mulai merosot. Pada kebanyakan orang kepentingan umum tidak lagi menjadi diprioritaskan, akan tetapi kepentingan pribadilah yang ditonjolkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, dan keberanian untuk menegakkan kebenaran telah tertutup oleh penyimpangan-penyimpangan, baik yang terlihat ringan maupun berat; banyak terjadi saling menghasud, saling menfitnah, saling menjilat, saling menipu, berdusta, mengambil milik orang lain seenaknya, dan juga banyak lagi kelakuan-kelakuan pelanggaran nilai keimanan lainnya. Bahkan yang dihinggapi oleh kemerosotan nilai keimanan itu tidak saja orang yang telah dewasa, akan tetapi telah menjalar sampai kepada tunas-tunas muda yang kita harapkan untuk melanjutkan perjuangan membela nama baik bangsa dan negara kita.

Apabila melihat tujuan pendidikan nasional yang terdapat di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003 bab II pasal 3, disebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

5


(14)

beriman dan bertakwakepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Berdasarkan rumusan di atas, dapat dilihat bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional itu memiliki muatan ranah afektif yang berkaitan pendidikan nilai yang porsinya sangat besar yang bermuara pada: (1) manusia yang memiliki iman dan taqwa, (2) manusia yang memiliki akhlak mulia, (3) manusia yang berilmu, cakap, dan kreatif, (4) manusia yang demokratis, dan (5) manusia yang bertanggungjawab. Berdasarkan UUSPN di atas, seharusnya Pendidikan Keimanan dan Ketakwaan itu menjadi landasan pendidikan, tapi kenyataannya tidaklah demikian.

Meskipun begitu, hal itu tidaklah amat mengganggu, karena yang menjelaskan pentingnya pendidikan keimanan dan ketakwaan itu terdapat dalam banyak pasal. Dengan banyaknya pasal yang mendukung pentingnya Pendidikan Keimanan dan Ketakwaan menunjukkan bahwa hal itu amat penting dalam pendidikan nasional.6

Namun demikian, pada tataran implementasi kurikulum pendidikan nasional di sekolah dan perguruan tinggi, bobot pada ranah afektif bila dibandingkan dengan bobot pada ranah kognitif dan psikomotor masih jauh dari harapan. Contoh kongkrit yang mewakili masalah ini adalah bahwa yang terjadi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi pada umumnya hanyalah bersifat pengajaran yang lebih menekankan kepada aspek kognitif bukan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek nilai. Hal ini dapat dilihat dari struktur kurikulum dan buku teks yang ada di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang secara umum mengesankan seperti tersebut di atas.

Akibatnya, tugas guru dan dosen hanya menyampaikan materi pelajaran dengan target tersampaikannya semua materi yang ada dalam buku teks (target pencapaian kurikulum), yang konsekuensinya mengukur dan menilai keberhasilan proses pengajarannya hanya dengan tes. Siswa dan mahasiswa yang dianggap berhasil dalam pendidikan adalah siswa yang memiliki ranking dengan rata-rata nilai yang tinggi, sedangkan aspek moral, akhlak dan

6


(15)

6

kepribadian siswa dan mahasiswa hanya sedikit yang disentuh dan tidak dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam kelulusan siswa dan mahasiswa.

Selain daripada itu, bahwa pendidikan di Indonesia terlalu mementingkan pendidikan akademik dan kurang diimbangi pendidikan karakter, budi pekerti, akhlak, moral dan dimensi mental. Apa artinya menghasilkan anak yang pintar, jika tidak dilengkapi dengan karakter yang kuat, budi pekerti yang luhur, akhlak yang mulia, moral dan mentalitas yang tinggi. Pendidikan di Indonesia memiliki ketidak seimbangan antara pendidikan akademik, pendidikan akhlak/pendidikan nilai dan pendidikan keterampilan. Dari sudut pendidikan nilai, khususnya nilai keimanan sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan nasional, maka pendidikan di Indonesia dapat dikatakan gagal atau kurang berhasil.

Fenomena kegagalan ini misalnya dapat dilihat dari produk pendidikan yang menghasilkan generasi yang kurang hormat pada guru/dosen, orang tua, sering terjadi tawuran, pergaulan bebas, gaya hidup hedonisme, kebarat-baratan(meninggalkan nilai-nilai budaya bangsa) dalam beberapa hal seperti dalam fashion, musik, makanan dan lain-lainnya.

Oleh karena itu, salah satu solusi agar pendidikan nasional bisa mencapai tujuan seperti yang diharapkan dalam UUSPN, yakni manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, maka harus dilakukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, hendaklah segera dibuatkan dan disahkan peraturan pelaksanaan Undang-undang itu yang terdiri atas peraturan pemerintah, selanjutnya surat keputusan menteri, dan selanjutnya bila perlu buatkan juga petunjuk taknisnya, dan semuanya itu harus benar-benar sesuai dengan kehendak undang-undang itu.

Kedua, buatkan pedoman yang berisi konsep tentang prosedur teknis pelaksanaan pendidikan keimanan dan ketakwaan itu sebagai lampiran Surat Keputusan Menteri dan atau petunjuk teknis. Pedoman yang dimaksud harus dibuat berdasarkan pandangan bahwa pendidikan keimanan dan ketakwaan adalah core pendidikan nasional. pendidikan keimanan dan ketakwaan itu mesti terintegrasi dengan keseluruhan program. Pedoman itu, harus juga


(16)

memperhitungkan karakteristik pendidikan keimanan dan ketakwaan yang dalam beberapa hal sangat khas.7

Kalau dalam sebuah pendidikan ingin menghasilkan manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dua langkah yang disebut di atas mau tidak mauharus dilakukan, karena kita menyadari betul bahwa Pendidikan Keimanan dan Ketakwaan itu sangat penting. Dari keimanan yang kokoh, maka dapat melahirkan akhlak mulia dan amal shaleh dalam kehidupan sehari-hari.

Sebgaimana yang sesuai Dalam UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 BAB II (tentang dasar, fungsi dan tujuan) pasal 3 yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah yang tersebut sebagai berikut :

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban kemauan dan mencerdaskan watak peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis secara bertanggung jawab.8

Kita menyadari betul bahwa kejayaan negara banyak sekali ditentukan oleh akhlak dan moral warga negara bangsa itu sendiri, dan hendaknya kita juga tidak lupa bahwa keberhasilan penguasaan sains dan teknologi ternyata berkolerasi juga dengan mutu akhlak siswa. Muncul sebuah pertanyaan, apa yang terjadi dengan pendidikan di Indonesia saat ini. Pendidikan keimanan dan ketakwaan belum mendapatkan porsi seperti yang diharapkan. Dengan demikian diperlukan pemahaman seperti konsep wahdat al-wujud untuk meningkatkan keimanan menjadikan manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia sesuai dengan yang tercantum dalam UUSPN. Karena paham

wahdat al-wujud menjadikan manusia beriman kepada Allah dengan seyakin-yakinnya karna paham ini menjadikan manusia dekat dan mengenal Allah swt.

7

Ibid., h. 161

8

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).


(17)

8

Pendidikan keimanan di Indonesia baru dapat mengantarkan para peserta didik untuk percaya kepada Allah, tetapi belum mengantarkan siswa mengenal Allah dengan seyakin-yakinnya, sehingga dapat merasakan kedekatan dengan Allah dan merasakan kehadiran Allah dalam dirinya. Oleh karena itu, disinilah perlunya kita merancang sebuah Pendidikan Keimanan yang berorientasi kepada pembinaan hati atau Pendidikan Keimanan yang berbasis tasawuf dengan konsep wahdat al-wujud Ibnu „Arabi yang dapat mengantarkan para

siswa menjadi Al-„Arif Billah”.Berkaitan dengan pentingnya pembinaan hati, Rasulullah mengemukakan tentang peranan hati bagi manusia, bahwa baik buruknya seseorang itu tergantung kepada apa yang ada dalam hatinya. Beliau bersabda: Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh perbuatannya. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh perbuatannya. Ingatlah, ia itu adalah hati (H.R. Bukhari

dan Muslim). Nabi juga menjelaskan kepada parasahabatnya, bahwa: “Allah

tidak melihat seseorang itu kepada jasad dan bentuk tubuhnya, melainkan Allah melihat apa yang ada dalam hatinya” (H.R. Bukhari).

Dari dua Hadits di atas, dapatlah dipahami bahwa betapa pentingnya seseorang itu mempelajari pendidikan keimanan, karena dengan pendidikan keimanan akan mengantarkan orang tersebut untuk dapat membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati yang ada dalam dirinya. Apabila kita melihat kondisi bangsa Indonesia secara umum dewasa ini, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami krisis keimanan yang berdampak kepada krisis akhlak dan moral.

Hal itu terbukti dengan banyak banyaknya pelanggaran-pelanggaran moral yang terjadi dewasa ini mulai dari pelanggaran moral yang ringan sampai dengan pelanggaran moral yang berat, seperti banyaknya tawuran antara pelajar dan mahasiswa, antara suku, adanya pelanggaran asusila, banyak terjadi korupsi dan pelanggaran-pelanggaran moral lainnya. Ini sudah cukup sebagai bukti bahwa banggsa Indonesia sedang mengalami krisis keimanan.

Di antara faktor yang mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kemerosotan nilai moral di tanah air kita ini menurut Daradjat, yaitu:


(18)

“kurangnya pembinaan mental, kurangnya pengenalan terhadap nilai moral

Pancasila, kegoncangan suasana dalam masyarakat, kurang jelasnya hari depan

di mata anak muda, dan pengaruh kebudayaan asing”. 9

Untuk mengatasi krisis nilai moral seperti yang disebutkan di atas, tentunya kita harus bekerja secara sungguh-sungguh, secara intensif, mulai dari pemerintah, pemuka masyarakat, alim ulama, para pendidik dan masyarakat pada umumnya supaya usaha penanggulangan kerusakan nilai moral dapat dilakukan sekaligus dan dapat menjauhkan orang yang masih baik dari wabah penyakit nilai moral itu.

Namun begitu, perlu kita sadari bahwa usaha untuk memperbaiki nilai moral itu tidaklah ringan, karena kita berhadapan dengan mental secara keseluruhan. Memperbaiki mental, berarti mengadakan pembinaan kembali terhadap mental yang telah rusak. Perbaikan itu tidak akan berhasil kalau hanya penghilangan gejalanya saja, karena ia akan bersifat sementara. Yang jauh lebih penting dari itu adalah memperbaiki mental yang biasa mendorong kepada perbuatan salah atau tidak baik itu. Perlu kita ketahui juga, bahwa memperbaiki nilai moral seseorang tidak dapat dengan hanya memberikan nasehat, bujukan atau ancaman, akan tetapi harus disertai dengan memperbaiki lingkungan yang menyebabkannya.

Oleh karena itu, usaha yang harus dilakukan hendaklah serentak, jangan sampai para pendidik, alim ulama dan orang tua saja yang disuruh memperbaiki dan membina nilai moral masyarakat, sedangkan pihak lain berpangku tangan, bahkan kadang-kadang merongrong dan menghalanginya secara langsung atau tidak langsung. Supaya usaha penanggulangan kemerosotan nilai moral itu dapat segera berhasil atau sekurang-kurangnya menghilangkan pengaruhnya, maka harus cepat menghentikan gejalanya.

Dalam rangka pembinaan selanjutnya harus ada usaha yang sungguh-sungguh dan mendalam agar dapat diselamatkan kembali orang yang telah merosot moralnya itu dan selanjutnya harus dilakukan usaha preventif dan konstruktif.Selain itu, untuk mengatasi krisis nilai moral tersebut, perlu adanya

9

Z. Darazat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), h. 48


(19)

10

penanaman nilai-nilai keimanan pada anak-anak sejak dini dan hal itu harus merupakan sesuatu yang diutamakan dalam pendidikan, karena iman merupakan penggerak dan motivator bagi seseorang untuk dapat melakukan amal shaleh dan akhlak yang baik dalam kehidupannya sehari-hari.Berkaitan dengan pentingnya nilai keimanan, Al-Qarni menjelaskan

bahwa:“Sesungguhnya orang-orang yang paling menderita yaitu mereka yang

miskin iman dan mengalami krisis keyakinan”.10

Memang betul apa yang dikatakan oleh Al-Qarni tersebut, bahwa orang-orang yang tidak beriman itu selamanya akan mengalami kesengsaraan, kepedihan, kemurkaan, dan kehinaan.Tidak ada hal yang bisa membuatnya bahagia, dan menghilangkan ?kegundahan darinya, selain keimanan yang benar kepada Tuhan semesta alam. Kalau kita perhatikan qisah dalam Al-qur‟ an, banyak sekali umat terdahulu yang ditimpa adzab oleh Allah, karena mereka tidak mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka hidupnya mnderita kesengsaraan. Bahkan kalau kita perhatikan fenomena kehidupan umat manusia saat ini, khususnya orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, di antara mereka ada yang beranggapan bahwa cara yang baik untuk menenangkan jiwa adalah dengan bunuh diri.

Menurut mereka, bahwa dengan melakukan hal seperti itu akan terbebas dari segala tekanan, kegelapan dan bencana dalam hidupnya. Sungguh menyedihkan orang yang miskin iman, dan betapa dahsyatnya siksa dan adzab yang akan dirasakan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah di akhirat kelak. Oleh karena itu, seyogyanya manusia menerima dengan tulus ikhlas dan mengimani dengan sesungguhnya bahwa tiada Tuhan selain Allah. Berkaitan dengan pendidikan keimanan, Sabiq menjelaskan bahwa: “Keimanan itu merupakan keyakinan yang pokok yang di atasnya berdiri syari‟ at Islam, dan dari pokok-pokok itu, muncullah cabang-cabangnya”.11 Memang betul apa yang dikatakan oleh Sabiq bahwa perbuatan baik dan buruk manusia, ketaatan

10

A. Al-Qurni, La Tahzan:Jangan Bersedih, (Jakarta: Qisthi Press, 2007), h. 25

11


(20)

terhadap syari‟at pada dasarnya merupakan buah yang keluar dari keimanan dan aqidah orang tersebut.

Aqidah dan syari‟ah keduanya merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya bagaikan buah dan pohonnya. Dengan adanya hubungan yang erat itu, maka amal perbuatan selalu dirangkaikan penyebutannya dengan keimanan. Apabila melihat kondisi dan mutu keimanan umat Islam di Indonesia saat ini sungguh sangat memperihatinkan. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa umat Islam saat ini sedang mengalami krisis iman.

Aziz mengatakan bahwa:“Krisis ekonomi dan politik yang terjadi di

Indonesia itu sesungguhnya berasal dari krisis iman”.12

Krisis iman di antaranya ditandai dengan banyaknya orang yang lupa pada Allah. Dengan lupa kepada Allah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-qur‟an, akhirnya Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Banyak orang-orang Islam yang hatinya sudah berpenyakit, sudah tertutup untuk menerima kebenaran. Banyak orang-orang Islam yang tidak lagi memperhatikan nilai-nilai agama dalam hidupnya. Al-Qur‟an sudah tidak lagi dijadikan pedoman dalam hidupnya, banyak orang yang menuruti hawa nafsunya, sehingga kemaksiatan merajalela dimana-mana. Dengan adanya krisis iman tersebut telah membuat umat manusia mendapat bencana dari Allah sebagai ujian yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.

Banyak orang yang keliru memahami makna iman. Iman kepada Allah hanya dimaknai sebatas percaya bahwa Allah itu ada. Padahal iman itu merupakan suatu keyakinan yang mendalam dalam diri seseorang yang disertai dengan pembuktian, sehingga orang tersebut merasakan kedekatan dan kehadiran Allah dalam dirinya.

Salah satu penyebab terjadinya krisis keimanan yang berakibat terhadap adanya krisis moral tersebut diakibatkan karena gagalnya Pendidikan Nilai, khususnya Pendidikan Nilai Keimanan di sekolah dan Perguruan Tinggi.

12


(21)

12

Selain Al-Qur‟an dan hadis yang merupakan acuan utama dalam pendidikan keimanan, konsep wahdat al-wujud juga bisa dijadikan acuan dalam pendidikan keimanan.

Dalam hal ini penulis ingin mengangkat pendidikan keimanan dalam Konsep wahdat al-wujud yang mengandung pemahaman tentang keimanan, karena paham wahdat al-wujud itu menjelaskan bahwa wujud yang hakiki itu hanyalah Allah dan yang ada selain Allah hanyalah mungkin adanya wujud. dengan memahami konsep wahdat al-wujud peserta didik dapat lebih dekat dan mengenal Allah swt sehingga peserta didik lebih yakin akan adanya Allah swt.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti kandungan Keimanan yang terdapat dalam konsep wahdat al-wujud Ibnu

„arabi, dengan judul "Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan dalam Paham Wahdat al-Wujud Ibnu „Arabi".

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Banyaknya pelanggaran nilai, baik nilai moral, nilai sosial, dan nilai-nilai lainnya dan itu terjadi sebagai akibat dari semakin merosotnya kepedulian manusia akan pentingnya makna keimanan dalam kehidupan

2. Banyaknya kenakalan remaja, tawuran antar pelajar, antar mahasiswa, antar etnis, banyaknya remaja dan mahasiswa yang terlibat narkoba, penyimpangan seksual, kekerasan, serta berbagai penyimpangan penyakit kejiwaan, seperti depresi, dan kecemasan kurangnya pemahaman mereka terhadap nilai-nilai pendidikan keimanan.

3. Pentingnya upaya pendidikan keimanan melalui media yang mampu meningkatkan keimanan peserta didik, antara lain melalui konsep wahdat al-wujud Ibnu „Arabi.


(22)

C.Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penilitian ini dibatasi hanya pada “Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan dalam Paham Wahdat al-Wujud

Ibnu „Arabi”.

D.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Bagaimana Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan dalam Paham Wahdat al-Wujud Ibnu „Arabi?”

E.Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui Nilai-Nilai Pendidikan Keimanan dalam Paham

Wahdat al-WujudIbnu „Arabi.

F. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, adapun manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut:

1) Dapat memberikan kontribusi bagi pembaca dalam pengajaran terutama memahami makna wahdat al-wujud.

2) Dapat memberikan masukan kepada peneliti lain untuk penelitian selanjutnya.

3) Sebagai transformasi nilai pendidikan yang terimplementasi dalam kehidupan sehari hari.


(23)

14

BAB II KAJIAN TEORI A.Konsep Nilai Pendidikan Keimanan

1. Pengertian Nilai

Kata nilai telah di artikan oleh para ahli dengan bermacam-macam pengertian, dimana pengertian berbeda dengan pengertian yang lain, hal tersebut disebabkan nilai sangat erat kaitannya dengan pengertian-pengertian dan aktifitas manusia yang komplek dan sulit ditentukan batasannya.1 Sedangkan nilai sendiri berasal dari bahasa inggris “value” termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology Theory of Value).2 Filsafat juga sering diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang

artinya “keberhargaan” (worth) atau “ kebaikan” (goodness), kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.3

Menurut Mohammad Noor Syam nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas sesuatu objek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.4 Didalam Kamus umum Bahasa Indonesia nilai diartikan sifat-sifat

1

Abdul Aziz, Nilai-Nilai Pendidikan Islam, 2012, http://www.pdf-finder.com.

2

Jalaluudin & Abdullah, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan,

(Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, 2002), cet. ke-2, h. 106.

3

Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2008), h. 87.

4

Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Pendidikan Pancasila,


(24)

(hal-hal) yang penting bagi manusia.5 Sedangkan di dalam Dictionary of Sosciology and Related Sciences, dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, (The believe capacity of any object to statisfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakekatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu. Misalnya, bunga itu indah, perbuatan itu susila. Indah, susila adalah sifat atau kualitas yang melekat pada bunga dan perbuatan. Dengan demikian, maka nilai itu

sebenarnya adalah suatu kenyataan yang “tersembunyi” di balik kenyataan -kenyataan lainnya. Ada nilai itu karena adanya -kenyataan--kenyataan lain sebagai pembawa nilai. Secara umum kata nilai diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas. Untuk mempunyai nilai maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau berguna dalam kehidupan manusia. Dalam estetika, nilai diartikan sebagai keberhargaan (worth) dan kebaikan (goodness). Nilai berarti suatu ide yang paling baik, menjunjung tinggi dan menjadi pedoman manusia atau masyarakat dalam tingkah laku, keindahan, dan keadilan.6

Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai yang ada, tidak sama luhurnya dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara nyata ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan nilai-nilai lainnya. Menurut tinggi rendahnya, nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan sebagai berikut :

a. Nilai-nilai kenikmatan: dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai yang mengenakkan dan tidak mengenakkan (die Wertreihe des Angenehmen und Unangemen), yang menyebabkan orang senang atau menderita tidak enak.

5

W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1999), h. 677.

6

Fakultas Bahasa dan Seni, Estetika Sastra, Seni, dan Budaya, (Jakarta: Universitas Negri Jakarta, 2008), h. 49-50.


(25)

16

b. Nilai-nilai kehidupan: dalam tingkatan ini terdapatlah nilai-nilai yang penting bagi kehidupan (Werte des Vitalen Fuhlens), misalnya kesehatan, kesegaran, jasmani, dan kesejahteraan umum.

c. Nilai-nilai kejiwaan: dalam tingkatan ini terdapat nilai kejiwaan (geistige werte) yang sama sekali tidak terkandung dari keadaan jasmani maupun lingkungan. Nilai-nilai semacam ini ialah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.

d. Nilai-nilai rohani: dalam tingkat ini terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci (Wermodalitat des Heiligen ung Unheiligen). Nilai-nilai semacam ini terdiri dari Nilai-nilai-Nilai-nilai pribadi.

2. Macam-Macam Nilai

Nilai dapat dipandang sebagai sesuatu yang berharga, memiliki kualitas, baik itu kualitas tinggi atau kualitas rendah. Dari uraian pengertian nilai di atas, maka Notonegoro dalam Kaelan, menyebutkan adanya 3 macam nilai.7 Dari ketiga jenis nilai tersebut adalah sebagai berikut:

a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidpan jasmani manusia atau kebutuhan ragawai manusia.

b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.

c. Nilai kerohaniaan, yaitu segala sesuatu yang berguna rohani manusia. Nilai, kerohaniaan meliputi sebagai berikut:

1. Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta manusia) Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan (emotion) manusia.

2. Nilai kebaikan atau nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.

Dari uraian mengenai macam-macam nilai di atas, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang berwujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non-material atau

7


(26)

immaterial. Bahkan sesuatu yang immaterial itu dapat mengandung nilai yang sangat tinggi dan mutlak bagi manusia. Nilai-nilai material relative lebih mudah diukur, yaitu dengan menggunakan panca indra maupun alat pengukur seperti berat, panjang, luas, dan sebagainya. Sedangkan nilai kerohanian atau spiritual lebih sulit mengukurnya. Dalam menilai hal-hal tersebut, yang menjadi alat ukurnya adalah hati nurani manusia yang dibantu oleh alat indra, cipta, rasa, karsa, dan keyakinan manusia.

3. Pengertian Pendidikan Keimanan

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina keperibadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dlam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogik berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.8

Menurut Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikanya itu menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagaian anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.9

2. Subtansi Materi Pendidikan Keimanan a. Makna Iman dan Fungsi Iman

Pengertian iman menurut bahasa adalah mempercayai atau membenarkan. Iman berasal dari kata aamana-yu‟minu yang berarti tasdiq mempercayai atau membenarkan. Dan menurut istilah Iman ialah

“Membenarkan dengan hati diucapkan degan lisan dan dibuktikan degan

amal perbuatan.”

8

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1997), hal. 1

9


(27)

18

Sahl bin Abdullah At-Tustari ketika ditanya tentang apakah

sebenarnya iman itu beliau menjawab demikian “Qaulun wa amalun wa niyyatun wa sunnatun.” Artinya Ucapan yg disertai degan perbuatan diiringi degan ketulusan niat dan dilandasi degan Sunnah. Kata beliau selanjutnya

“Sebab iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalah kufur apabila hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat adalah nifaq sedang apabila hanya ucapan perbuatan dan ketulusan niat tanpa dilandasi degan sunnah adalah bid‟ah.

Menurut hasan hanafi para teolog muslim dalam membicarakan tentang iman ,ada empat istilah kunci yang biasanya dipakai yaitu:

a. Marifah bi al-aql atau dengan menggunakan akal b. Amal ,pernuatan baik dan patuh

c. Iqrar , pengakuan secara lisan

d. Tashdiq ,atau membenarkan dalam hati

Iman jika hanya diucapkan oleh mulut saja dan belum dilakukan dengan perbuatan belumlah dikatakan orang yang beriman ,sesuai dengan isi kandungan alqur‟an Qs al-baqarah:8-9.

































































“Dan diantara manusia itu ada yang mengatakan dirinya

beriman „‟kami beriman lepada Allah dan pada hari akhirat „‟sedang

yang sebenarnya mereka bukanlah orang-orang yang beriman, tetapi

mereka menipu diri mereka sendiri dan mereka tidak sadar”10

Iman dalam arti hanya perbuatannya saja yang beriman, tetapi ucapan dan hatinyatidak beriman., dapat dilihat dari QS. An- Nisa: 142.

10

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an, (Jakarta: CV. Penerbit Diponegoro,


(28)





















































“Sesungguhnya orang-orang munafik (beriman palsu) itu hendak menipu mereka.Apabila mereka berdiri mengerjakan sembahyang, mereka berdiri dengam malas , mereka ria (mengambil muka) kepada manusia dan tiada mengingat Allah melainkan sedikit sekali”11

Iman dalam arti yang ketiga adalah tashdiqun bi qalb wa amalun bi al-jawatih, artinya keadaan dimana pengakuan dengan lisan itu diiringi dengan pembenaran hati,dan mengerjakan apa yang diimankannya dengan perbuatan anggota badan. Contohiman model ini dapat dilihat dalam QS. Al- Hadid:19.

































































“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,

mereka itu adalah orang- orang yang Shiddiqien”.12

Berdasarkan informasi ayat-ayat tersebut dapat diketahui bahwa di dalam al-Qur‟an kata iman digunakan untuk tiga arti yaitu iman yang hanya sebatas padaucapan, iman sebatas pada perbuatan, dan iman yang mencakup ucapan. Perbuatandan keyakinan dalam hati.

Manfaat Iman dengan disertai dengan amal shaleh dapat menjadi kunci akan dibukakanya kehidupan yang baik, makmur dan sejahtera antara lain:

a. Iman dapat menimbulkan ketenangan jiwa

b. Iman akan menimbulkan kasih sayang antar sesama

11

Ibid., h. 101

12


(29)

20

c. Lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta

d. Iman akan membebaskan manusia dari kekuasaan orang lain e. Orang beriman akan mendapatkan pertolongan dari allah SWT f. Membawa keberkahan dilangit dan di bumi

g. Memberikan ketengan dalam jiwa h. Dijanjikan akan mendapatkan syurga i. Dengan iman hidup akan terarah

j. Iman membawa manusia pada kedamaian k. Dengan iman hidup kita lebih sederhana

l. Dengan iman ketika akan menjadi lebih semangat dalam mencapai sesuatu

m.Iman membuat kita menjadi lebih sabar13

b. Ruang lingkup Keimanan 1) Iman Kepada Allah SWT

Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilahi seperti wujud Allah dan sifat-sifat Allah, af'al Allah dan lain-lain.14

Arti kata tauhid adalah meng-Esakan, berasal dari kata wahid

artinya Esa, satu atau tunggal. Yang dimaksud dengan meng-Esakan Allah SWT, dzat-Nya, sifat-Nya, asma‟-Nya dan af‟al-Nya.15

Dalam buku Amin Rais dijelaskan pula “tauhid secara

etimologis berasal dari kata wahhada, yuwahhidu, tauhidan, yang artinya mengesakan, menyatukan. Jadi tauhid adalah suatu agama yang meng-Esakan Allah. Dan formulasi atau rumusan yang paling

13

Aminnudin, Iman dan Fungsinya dalam Kehidupan Sehari-Hari, 9 November 2012, (http://aminkerumutan.blogspot.com)

14

Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 2000), cet kelima, h. 6

15Dja‟far Sabran


(30)

jelas, singkat tetapi komprehensif artinya adalah kalimat tauhid sendiri yang berbunyi la ilaha illallah Muhammadur-Rasulullah”.16

Tauhid itu sendiri terbagi menjadi 4 yaitu: 1. Tauhid Ilahiyah

Tauhid Ilahiyah adalah hak Allah untuk disembah, bahwa hanya Allah yang disembah dan merupakan dakwah pertama para rasul, langkah pertama bagi jalan Islam, tangga pertama yang harus ditapaki oleh orang yang berjalan menuju Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah saw bersabda,

إ ا أ ا شي ى ح سا ا اقأ أ

أ

أ ا ا إ

ا سر اً ح

Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar.

Oleh karena pendapat yang benar adalah bahwa kewajiban pertama atas seorang mukallaf adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah, bukan merenung, bukan pula memilih merenung, bukan pula meragukan sebagaimana ia merupakan pendapat ahli kalam yang tercela, sebaliknya para imam salaf sepakat seluruhnya bahwa perkara pertama yang diperintahkan kepada seorang hamba adalah dua kalimat syahadat, mereka juga sepakat bahwa siapa yang melakukannya sebelum baligh maka dia tidak dituntut mengulanginya setelah dia baligh, sebaliknya dia diperintahkan untuk bersuci dan shalat bila dia telah baligh atau mencapai usia mumayyiz menurut pihak yang berpendapat demikian, dan tidak seorang pun dari para

16

M. Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur kesenjangan, (Bandung: Mizan,


(31)

22

imam salaf yang mewajibkan walinya untuk memerintahkan anak tersebut agar memperbarui syahadatnya, sekalipun pengakuan terhadap dua kalimat syahadat adalah kewajiban dengan kesepakatan kaum muslimin dan kewajibannya mendahului kewajiban shalat, namun dia telah menghadirkannya sebelum itu.

Tauhid adalah perkara pertama yang dengannya seseorang masuk ke dalam Islam dan perkara terkahir yang dengannya seseorang meninggalkan dunia, sebagaimana Nabi saw bersabda,

ج ا خد ا ا إ إ ا ا ك خآ اك “Barangsiapa perkataan terakhirnya adalah la ilaha illallah niscaya dia masuk surga.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim, yang akhir ini menshahihkan hadits ini dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Jadi, tauhid adalah kewajiban pertama dan terakhir.17

2. Tauhid Rububiyah

“Rabb dalam bahasa Arab berasal dari kata rabba

yang artinya: mencipta, mengurus, mengatur, mendidik, merawat, menjaga, memelihara, dan membina. Dengan kata lain pengakuan atau kesaksian bahwa satu-satunya Tuhan yang mencipta, yang mengurus, yang mengatur, yang mendidik, yang merawat, yang menjaga, yang memelihara, yang membina kita dan alam ini adalah Allah SWT.”18

Dengan demikian yang dimaksud dengan Rububiyah Allah ialah mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya yang menciptakan segala yang ada dan yang akan ada. Dia

17

Alsofa, Tauhid Ilahiyah kewajiban Prtama, 1 Oktober 2012, (http://www.alsofwa.com)

18Umay M. Dja‟far Shiddieq,

Ketika Manusia Telah Berjanji Kepada Allah, (Jakarta: al-Ghuraba, 2008) Cet.1 h.49


(32)

juga maha penguasa dan maha pengatur seluruh mekanisme yang bergerak dan segala hajat makhlukNya.”19 Sebagaimana Allah SWT berfirman yang berbunyi:





















Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-Araf/7 : 54)

Gelar Al-Kholik, Al-Mudabbir, hanya layak disandang oleh Allah SWT karena Dialah yang menyandang sifat-sifat kesempurnaan, keagungan dan keindahan. Zat yang maha sempurna itu pasti hidup, mendengar, melihat, berkuasa dan mempunyai kalam.

Oleh karena itu segala niat dan perbuatan hanyalah ditujukan hanya kepada Allah SWT, sebagai manusia semestinya harus menyadari tugas hidup dan kehidupannya serta tidak pantas bila manusia masih tergantung dengan menjadikan sesuatu yang lain sebagai Rabb-Nya.

3. Tauhid Uluhiyah

“Kata kedua yang digunakan dalam dua kesaksian tersebut adalah ilah artinya satu yaitu al-Ma‟bud yang disembah, yang abadi dan yang diibadati. Jika menyakini hanya Allah satu-satunya Tuhan tempat menghamba, mengabdi dan menyembah maka demikian itu disebut

Tauhid Uluhiyah.”20

Tauhid Uluhiyah ini sangat terkait dengan kesadaran manusia yang menempatkan Allah SWT sebagai illah (Tuhan sebagai tempat mengabdi, menghamba dan

19

Sayyid Naimullah, Keajaiban Aqidah, (Jakarta: Lintas Pustaka., 2004), Cet-1, h.3-4

20Umay M. Dja‟far Shiddieq,


(33)

24

menyembah), merupakan pengakuan terhadap Allah sebagai pencipta yang menciptakan manusia, sebagai pelindung yang melindungi.

Menurut Dr.Sayyid Naimullah dalam melakukan tauhid Uluhiyah yang wajib kita lakukan adalah:

1) Mahabbatullah dengan penuh keikhlasan

2) Berdoa, bertawakal dan berharap hanya kepadanya 3) Mengarahkan satu tujuan kepada Allah SWT

semata-mata dengan disertai rasa takut kepada-Nya

4) Dalam beribadah harus memfokuskan tujuan hanya untuk beribadah kepada-Nya.21

4. Tauhid Asma‟ Wa Sifat

Tauhid Asma‟ Wa Sifat yaitu beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan Allah dalam Al-Qur‟an dan Sunah Rasul-Nya

menurut apa yang pantas bagi Allah, tanpa ta‟wil dan ta‟thil, tanpa takyif dan tamtsil, berdasarkan firman Allah:













Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S.Asy-Syura/42: 11)

“Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan Dia menetapkan bahwa dia adalah Maha mendengar dan Maha melihat. Maka dia diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk diriNya dan dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh Rasul-Nya.”22

21

Sayyid Naimullah, op.cit., h.11-12

22

Shalih bin fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Kitab Tauhid, (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2001) Cet-3 h.97-98


(34)

Bisa ditarik kesimpulan bahwa tauhid rububiyah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari

tauhid uluhiyyah dan tauhid asma‟ wa sifat. Penguasa yang

mengatur, memelihara, pusat dari segala-galanya harus disertai pengakuan tegas dari hambanya Dialah yang patut disembah dan diibadati dan menolak sesuatu yang serupa denga-Nya. Dia juga yang memiliki sifat kesempurnaan dan keagungan sebagaimana yang tercakup dalam tauhid asma‟ wa sifat.23 2) Nubuwat

Nubuwat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang Kitab-Kitab Allah, mu‟jizat, karamat dan lain sebagainya.24

1. Nabi dan rasul

Ada dua golongan nabi dan rasul Allah yang diutus kepada umat manusia. Yang pertama adalah nabi yang diutus Allah kepada kaumnya untuk memberikan petunjuk kepada kebenaran. Yang kedua adalah rasul yang diutus Allah dengan membawa kitab kepada kaumnya untuk menunjukkan jalan kebenaran.

Tujuan para nabi dan rasul adalah satu, yakni memberikan petunjuk kepada manusia agar menempuh jalan kebenaran. Jika Allah adalah Zat Mahabenar (Al-Haqq), berarti tujuan risalah para rasul dan dakwah para nabi adalah memenuhi seruan dan ajakan Allah.

Salah satu sebab diutusnya para rasul Allah, yakni memperbaiki kesalahan dan mengantarkan manusia kepada sumber-sumber iman yang asli, setiap kali situasi kehidupan, kejahatan hawa-nafsu, atau tekanan kebutuhan menjauhkan manusia dari iman itu. Sumber ilmu para nabi adalah wahyu. Sementara itu, sumber ilmu orang-orang selain mereka – entah

23

Yusran Asmuni, IlmuTauhid, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), cet-4 h.6-7

24


(35)

26

filosof, cendekiawan, intelektual, atau pemikir – adalah akal yang menjadi alat untuk hidup di muka bumi ini. Akal menjadi sarana untuk mengungkapkan kehidupan manusia di dunia.

Sebelum diutus, para nabi telah ditempatkan dalam posisi kesempurnaan. Tidak sedikit pun kesempurnaan ini lepas dari dirinya. Sesudah diutus sebagai seorang nabi, kesempurnaannya dalam kehidupan semakin meningkat jauh lebih tinggi dan sama sekali tidak kita ketahui derajatnya. Sebelum dan sesudah diutus, ia dipelihara oleh Allah dari kesalahan dan kekurangan yang bersifat manusiawi. Terkadang, seorang nabi juga berbuat salah dan mendapat teguran dari Allah atas kesalahannya itu. Namun, kesalahan seorang nabi berbeda dari kesalahan yang dilakukan manusia biasa seperti kita ini.25

2. Kitab-kitab Allah

Wajib mengimani secara global, bahwa Allah Swt telah menurunkan kitab-kitab kepada nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, untuk menerangkan keberadaan Allah dan mengajak manusia kepada-Nya. Sebagaimana Allah Swt berfirman,

















































Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan

keadilan.”(QS. Al-Hadid: 57. 25) Juga, Allah Swt berfirman,

25

Ahmad Bahjat, Terj. Muhammad Abdul Ghoffar E.M, Akulah Tuhanmu: Mengenal Allah Risalah Baru Tauhid (Allah Fi al-Aqidah al-Islamiyah: Risalah Jadidah fi at-Tawhid), (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), cet. ke-1, h. 78-81


(36)

































































“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul

perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka

perselisihkan.” (QS. Al-Baqarah: 2. 213)

Maksud ayat diatas adalah kita mengimani, bahwa Allah Swt telah menurunkan kitab-kitab ini kepada nabi dan rasul, untuk menjelaskan syariat-syariat agama kepada manusia. Juga, untuk mengenalkan rabb Swt dan hak-hak-Nya kepada mereka, serta menerangkan jalan bagi orang-orang yang menuju kepada Allah Swt.26

Di dalam kitab suci al-Qur‟an disebutkan tiga kitb suci yang lain yaitu Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, Kitab Zabur yang diturunkan Allah kepada Nabi Daud, dan Kitab Injil yang diturunkan Allah kepada Nabi Isa AS., dan dua shuhuf, yaitu

shuhuf Ibrahim dan shuhuf Musa yang semuanya ini wajib diimani oleh setiap mukmin. Dan kitab suci terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman tentang Kitab Taurat dan Injil:















































26

Abdul Aziz bin Fathi bin As-Sayyid Nada; Penj. Ronny Mahmuddin, Syarah Aqidah ash-Shahihah dan Pembatalnya (al-Ithamam Syarhu al-Aqidah ash-ash-Shahihah wa Nawaqid al-Islam Lil

„Allamah asy-Syaikh „Abdul „Aziz bin „Abdillah bin Baz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2005), h. 57-58


(37)

28

“Dia menurunkan Al kitab (Al Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil,”

(Ali-Imran 3: 3)

Tentang Kitab Zabur, Allah berfirman:









...



“Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (An-nisa 4: 163)

Tentang dua shuhuf, Allah berfirman:























“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam Kitab-Kitab yang dahulu, Kitab-Kitab Ibrahim dan Musa.” (Al-A‟la 87: 18-19)

3. Mukjizat Al-Qur‟an

Allah Swt, mengutus Muhammad Saw, dengan membawa kitab dari sisi Allah. Kitab itu mengandung mukjizat, keterangan dan tanda-tanda dari Allah yang cukup banyak. Hal ini agar ia berfungsi sebagai tanda dari Allah yang cukup banyak. Hal ini agar ia berfungsi sebagai pengukuhan Ilahi yang melegalisasi risalah Muhammad Saw. Tanda-tanda (keterangan dan mukjizat)

Al-Qur‟an ini mempunyai beberapa segi yang banyak sekali.

Al-Qur‟an adalah tanda-tanda yang jelas dan sebagai

mukjizat dalam segi kefasihan kalimat, gaya bahasa dan susunannya. Al-Qur‟an telah menantang jin dan manusia untuk membuat Al-Qur‟an tandingan seperti Al-Qur‟an Muhammad. Allah berfirman:


(38)





































“Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin

berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan Dia, Sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS. Al-Israa: 17. 88)

Al-Qur‟an adalah satu tanda mengenai apa yang

dikandungnya tentang peristiwa-peristiwa gaib yang terjadi pada masa dahulu kala dan belum terdengar ditengah masyarakat di zaman risalah. Demikian juga tentang hal-hal gaib dalam

Al-Qur‟an yang masih akan terjadi di masa akan datang. Banyak di

antara hal-hal gaib ini telah terbukti, dan pembuktian ini masih akan terus berlangsung manakala zaman semakin maju. Allah berfirman:









































“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Huud: 11. 49)

Al-Qur‟an adalah mukjizat dari segi ilmu pengetahuan dan


(39)

30

terkuaklah kejituan dan kebenaran pernyataan-pernyataan

Al-Qur‟an.27 Firman Allah:

































“ Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al

Quran itu adalah benar.” (QS. Fushshilat: 41. 53) 3) Ruhaniyat

Ruhaniyat pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, jin, Iblis, Syaitan, Roh dan lain sebagainya.28

1. Malaikat

Secara etimologis kata Malaikah (dalam bahasa Indonesia disebut Malaikat) adalah bentuk jamak dari malak, berasal dari mashdar al-alukah artinya ar-risalah (missi atau pesan). Yang membawa misi atau pesan disebut ar-rasul (utusan). Dalam beberapa ayat al-Qur‟an Malaikat juga disebut degan rusul

(utusan-utusan), misalnya pada surat Hud ayat 49, berbunyi:



































“Dan Sesungguhnya utusan-utusan Kami

(malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: "Selamat." Ibrahim menjawab: "Selamatlah," Maka tidak lama kemudian

Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang”.

27

Abdul Majid Aziz Az-Zindany, Ilmu Tauhid (Sebuah Pendekatan Baru Jilid I untuk

S.L.T.P), h. 64-66

28


(40)

Bentuk jamak lain dari malak adalah mala-ik. Malaikat diciptakan oleh Allah Swt dari cahaya, seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah Saw:

ق خ

ئا ا

ر

,

ق خ

اج ا

را

را

,

ق خ

دأ

ا

فص

“Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin dicitakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah

diterangkan kepadamu semua.” (HR. Muslim)

Malaikat lebih dahulu diciptakan dari manusia pertama (Adam AS).29 Iman kepada para malaikat merupakan bagian dari akidah kita. Al-Qur‟an mengabarkan kepada kita bahwa sebahagian malaikat ditugaskan untuk menjaga dan memelihara manusia. Sebagiannya lagi untuk mencatat amal perbuatan

mereka, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta‟ala:









“Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya”.













“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya

melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu

hadir”.

Para malaikat ditugaskan untuk menjadi penjaga manusia, mencatat dan menghitung amalan. Catatan amalan itu kemudian diserahkan kepada Allah, Robb sekalian alam.30Jumlah Malaikat sangat banyak, tidak bisa diperkirakan. Sesama mereka juga ada

29

Ibid., h. 78-79

30


(41)

32

perbedaan dan tingkatan-tingkatan baik dalam kejadian maupun dalam tugas, pangkat dan kedudukan.31

2. Iblis dan Setan

Iblis adalah suatu nama dalam bahasa no-Arab. Oleh karena itu nama ini tidak bertanwin (ghairu munsyarif). Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa kata iblis adalah bahasa Arab yang

diambil dari masdar “Iblas”, yakni berputus asa dari rahmat

Allah, atau menjauhkan diri dari kebaikan. Lafadz ini tidak bertanwin karena tidak ada orang lain yang mempunyai nama seperti ini, atau karena ia menyerupai nama-nama „Ajam (non -Arab).

Iblis adalah nenek moyang dari setan-setan. Setan adalah setiap pembangkang baik dari golongan manusia, jin, atau binatang. Setan yang dimaksudkan disini adalah pembangkang dari kalangan jin. Iblis merupakan ayah pertama dari mereka ini. Iblis ini akan kekal sampai hari kiamat. Ia meminta penangguhannya kepada Allah, dan Allah mengabulkan permintaannya,32 sebagaimana dalam firman Allah:































“Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu Termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)". (QS. Shad: 38. 80-81)

4) Sam’iyyat

Sam‟iyyat adalah pembahasan tentang segala sesuatu yang

hanya bisa diketahui lewat sam‟i (dalil naqli berupa Al-Qur‟an dan

31

Yunahar Ilyas, op.cit., h. 85

32

Sayyid Sabiq, Aqidah Islamiyah, Terj. Ali Mahmudi, (Jakarta: Robbani Press, 2006), cet. 1, h. 227


(42)

Sunnah seperti alam barzakh. Akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.33

1. Hari Akhir

Beriman kepada hari akhir merupakan salah satu rukun iman, dan salah satu bagian dari akidah. Bahkan ia merupakan unsur penting setelah beriman kepada Allah secara langsung.

Hal ini karena beriman kepada Allah akan mewujudkan

ma‟rifat (pengenalan) kepada sumber pertama yang darinya alam semesta ini berasal, yakni Allah. Sedangkan beriman kepada hari akhir akan mewujudkan ma‟rifat (pengenalan) kepada tempat kembali yang kepadanya alam wujud ini akan berakhir.34

Hari Akhir adalah kehidupan yang kekal sesudah kehidupan di dunia yang fana ini berakhir; termasuk semua proses dari peristiwa yang terjadi pada hari itu, mulai dari kehancuran alam semesta dan seluruh isinya serta berakhirnya seluruh kehidupan (Qiyamah), kebangkitan seluruh umat manusia dari alam kubur (Ba‟ats), dikumpulkannya seluruh umat manusia di padang Mahsyar (Hasyr), perhitungan seluruh amal perbuatan tersebut untuk mengetahui perbandingan amal buruk (Wazn), sampai kepada pembalasan dengan surga atau neraka (Jaza‟).

Akan tetapi pembahasan tertang hari akhir dimulai dari pembahasan tentang alam kubur karena peristiwa kematian sebenarnya sudah merupakan kiamat kecil ( Al-Qiyamah As-Sughra).35 Mengenai datangnya hari kiamat atau terjadinya hari akhir itu termasuk sesuatu yang hanya Allah saja yang mengetahuinya. Allah tidak memperlihatkan kepada siapa pun dari makhluk-makhluk-Nya, baik kepada Nabi-Nya yang diutus, maupun malaikat-Nya yang terdekat.36

33

Yunahar Ilyas, op.cit.., h. 6

34

Sayyid Sabiq, op.cit., h. 429.

35

Yunahar Ilyas, op.cit., h. 153

36


(43)

34

Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:



























“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.” (Q.S. Luqman, 31: 34)

2. Surga

Kata “Jannah” yang kemudian diterjemahkan dengan surga,

pada asalnya berarti taman atau kebun dari poho kurma atau pepohonan yang lain. Lafadz Jannah ini diambil dari akar kata

Janna” yang berarti menutup. Disebut demikian karena pohon -pohon kurma yang tinggi maupun pe-pohonan yang lebat daunnya itu, ranting-rantingnya bertumpuk-tumpuk satu sama lain, sehingga menjadi seperti payung yang menutup atau menaungi apa saja yang ada dibawahnya.

Jannah disini adalah rumah atau tempat kediaman yang disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang bertakwa sebagai balasan bagi mereka atau keimanan merekayang tulus, jujur dan sebagai balasan amal shaleh mereka. Tidak ada orang yang dapat memasuki surga kecuali orang-orang yang telah melaksanakan amal perbuatan yang agung dan memiliki sifat-sifat yang mulia.37 Allah Swt berfirman:











































37


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)