Asesmen wilayah rawan kebakaran pada per

ASESMEN WILAYAH RAWAN KEBAKARAN
PADA PERMUKIMAN PADAT PENDUDUK DI JAKARTA BARAT
Ratna Saraswati & M.H. Dewi Susilowati
Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
Departemen Geografi
Abstrak
Jakarta Barat mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi, tentunya akan muncul berbagai
masalah sosial yang tidak dapat dihindari seperti adanya ancaman bahaya kebakaran.
Konsentrasi penduduk yang padat beserta kondisi lingkungan dan aktifitas penduduk
merupakan hal yang sering menjadi kriteria penting terhadap penentuan daerah rawan
kebakaran. Sehubungan dengan itu, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah: (a) Bagaimanakah permodelan wilayah rawan kebakaran di wilayah padat penduduk
di Jakarta Barat? (b). Bagaimana pula asesmen wilayah rawan kebakaran ditinjau dari aspek
kebijakan tentang mitigasi kebakaran di Jakarta Barat? Dalam penelitian ini, data diolah
dengan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis), sedangkan citra satelit diolah
dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra. Kedua data tersebut diintegrasikan dan
diolah juga dengan SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Data olahan citra dan
matriks serta SPSS digunakan untuk penentuan model wilayah rawan kebakaran, setelah itu
dibuat asesmennya. Kesimpulannya adalah kejadian kebakaran di Jakarta Barat, sebagian
terjadi pada daerah bagian barat yang berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan yang
tidak terjadi kebakaran tersebar di bagian timur dan selatan. Terdapat hubungan antara

besarnya persentase bangunan semi permanen dengan kejadian kebakaran, yaitu semakin
besar persentase bangunan semi permanen, semakin banyak kejadian kebakaran. Namun
kejadian kebakaran tidak berhubungan dengan kepadatan penduduk, kerapatan bangunan
maupun kerapatan jaringan jalan. Wilayah Rawan Kebakaran I terdapat di bagian barat dan
utara, yang mempunyai kriteria kepadatan bangunan tinggi dan dan persentase bangunan
semi permanen tinggi. Apabila dikaitkan dengan pelayanan pemerintah yang telah
menyediakan hidran, maka terdapat beberapa lokasi bagian barat yang masih kekurangan
hidran.
Kata kunci: Kebakaran, wilayah rawan kebakaran, sistem informasi geografis.
1. Pendahuluan
Jakarta Barat mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi, tentunya akan muncul berbagai
masalah sosial. yang tidak dapat dihindari, seperti adanya ancaman bahaya kebakaran.
Semakin tinggi jumlah penduduk pada suatu daerah dan semakin beragam aktifitas
penduduknya, maka potensi terjadinya kebakaran juga tinggi.
Kebakaran bukan hanya menghilangkan harta benda dan tempat tinggal juga menghilangkan
nyawa. Menurut data statistik kebakaran, DKI Jakarta menempati angka tertinggi dalam hal
frekuensi kebakaran dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Di Jakarta Barat,

frekuensi kebakaran makin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990, kejadian
kebakaran hanya 146 kali, tertinggi pada tahun 2006 sebanyak 208 kali kejadian kebakaran.

Bila dilihat jumlah hidran yang tersebar di Jakarta Barat hanyalah 126 hidran untuk
permukiman kumuh seluas 1.931, 84 hektar. Di Jakarta Barat terdapat dua kecamatan yang
tidak mempunyai hidran yaitu Kecamatan Kembangan dan Kalideres, padahal kecamatan ini
mempunyai luas wilayah kumuh yang luas yaitu seluas 450 hektar (Anon, 2007; Riza, 2005).
Dari data di atas, kasus kebakaran yang terjadi di daerah perkotaan yang semakin banyak
tentunya haruslah dilakukan upaya-upaya yang dapat meminimalisir sebab-sebab terjadinya
kebakaran. Hal ini agar tercapai suatu kota yang sehat maka perlu dilakukan perencanaan
wilayah yang terkait berbagai sektor (Barton & Tsourou, 2000).
1.2. Perumusan Masalah
Arus migrasi yang tinggi dan harga tanah yang semakin mahal di DKI Jakarta, sehingga
menyebabkan timbulnya permukiman yang padat penduduknya, ditandai juga dengan
padatnya populasi bangunan. Rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat sejalan dengan
terbatasnya kemampuan berusaha dan terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana di
permukiman yang ada, menyebabkan permukiman tersebut rawan kebakaran. Sehubungan
dengan itu, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : (a). Bagaimanakah
permodelan wilayah rawan kebakaran di wilayah padat penduduk di Jakarta Barat? (b).
Bagaimana pula asesmen wilayah rawan kebakaran ditinjau dari aspek kebijakan tentang
mitigasi kebakaran di Jakarta Barat?
1.3. Tujuan dan Manfaat Riset
Tujuan riset ini adalah membuat permodelan wilayah rawan kebakaran di wilayah padat

penduduk.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah penyusunan model informasi rawan kebakaran dan
asesmen wilayah rawan kebakaran juga sebagai masukan dalam perumusan kebijakan
wilayah rawan kebakaran dan evaluasi implementasi kebijakan wilayah rawan kebakaran
sebagai acuan dalam perbaikan rencana tata ruang
2. Metodologi Penelitian

Perkembangan bangunan di perkotaan semakin kompleks baik dari segi intensitas, teknologi
maupun kebutuhan prasarana dan sarana. Perbedaan lokasi ini menyebabkan adanya
permukiman yang padat penduduk dengan unit-unit rumah yang mempunyai ukuran kecil
serta kondisi fisik lingkungan yang buruk. Ciri lain adalah berkembang tanpa rencana,
cenderung kumuh, seringkali ditandai dengan letak rumah yang tidak teratur dan rapat,
prasarana kota terbatas, kepadatan penduduk tinggi penghasilan masyarakat rendah,
bangunan semi permanen dan kepemilikan lahan yang tidak jelas (Kartono, 1994). Hal ini
dimungkinkan untuk dapat menimbulkan bahaya kebakaran. Interaksi antarsubsistem dapat
dijelaskan dalam konteks wilayah, mulai dari perpindahan penduduk dari desa ke kota
(Rahardjo, 2005). Jakarta Barat dalam hal ini dapat disebut sebagai national growth center
(Wheeler & Muller, 1981; Goldblum & Wong, 2000). Penduduk memilih tempat bermukim
di kota itu, karena memperoleh kemudahan ke tempat bekerja. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada konsep dasar penelitian pada Gambar 1.


Pokok masalah
Semakin meluasnya permukiman padat dan kumuh dapat mengakibatkan
permukiman yang rawan bencana kebakaran

Dasar Teori
Teori kebakaran
Teori penggunaan tanah
Teori struktur permukiman

Konsep Dasar
Wilayah rawan kebakaran
Penanggulangan bencana
kebakaran
Kebijakan mitigasi kebakaran

Kerangka Penelitian (Gambar 2)

Gambar 1. Kosep Dasar Penelitian
2.1. Kerangka Pemikiran

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis komparatif
dengan membandingkan kriteria wilayah rawan bencana kebakaran dengan kejadian
kebakaran yang terjadi di daerah Jakarta Barat tahun 2008. Hasil dari model tersebut dibuat

asesmen wilayah rawan kebakaran di Jakarta Barat. Variabel yang digunakan untuk
penentuan wilayah rawan kebakaran adalah kepadatan penduduk, kualitas bangunan, jaringan
jalan, frekuensi kebakaran, jaringan sungai dan sarana dan prasarana kebakaran. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat di kerangka pemikiran yang digambarkan sebagai berikut, Gambar 2.

Kajian kepustakaan
Kajian peraturan kebakaran
UU RI No 28/2002
Keputusan Menteri Negara PU No.11/KPTS/2000
Master Plan DKI Jakarta
Perda No.3/1992
Perda No. 170/2007

Wilayah Rawan Kebakaran

Kepadatan penduduk

Kualitas bangunan
Jaringan jalan
Frekuensi kebakaran
Jaringan sungai
Sarana dan prasarana kebakaran

Gambar 2. Kerangka Pemikiran
2.2.

Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan primer. Data primer
dari survey lapang dilakukan untuk pengecekan titik kontrol tanah (ground control
point/GCP) untuk masing-masing kelurahan sebanyak dua titik. Data sekunder diperoleh
dari :
-

data kependudukan; Jakarta Barat Dalam Angka Tahun 2007 dan untuk masingmasing kecamatan (Kecamatan Dalam Angka Tahun 2007), diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS).


-

Data kebakaran ; frekuensi, sebab-sebab terjadinya, lokasi kejadian, luas areal yang
terbakar, jumlah korban yang kehilangan tempat tinggal (data mulai dari Januari 2008

sampai 9 Desember 2008) dan data lokasi hidran dan pos pemadam kebakaran
diperoleh dari Suku Dinas Kebakaran Jakarta Barat
-

Data citra satelit Spot dan Ikonos tahun 2005

-

Data lain yang diperoleh dari peta seperti dari peta Jabotabek tahun 2007-2008, peta
administrasi, peta jaringan jalan, peta rupa bumi

2.3.

Pengolahan Data


Dalam penelitian ini, peta diolah dengan menggunakan SIG (O’ Sullivan & Unwin,2003),
sedangkan citra satelit diolah dengan menggunakan perangkat lunak pengolah citra. Kedua
data tersebut diintegrasikan sehingga menjadi data untuk hasil analisis. Disamping itu data
lain dibuat dalam bentuk tabel, untuk selanjutnya dibuat tabel analisis berupa matriks. Data
juga diolah dengan SPSS (Statistical Product and Service Solutions). Data olahan citra dan
matriks serta SPSS digunakan untuk penentuan model wilayah rawan kebakaran, setelah itu
dibuat asesmennya.
2.4. Analisis Data
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis keruangan dan statistik. Analisis
keruangan merupakan integrasi data tabular dan peta sehingga menghasilkan asesmen
wilayah rawan kebakaran di Jakarta Barat. Analisis statistik dengan menggunakan korelasi
Pearson dengan formula : (Johnston,1978)

Keterangan:
rxy

= koefisien korelasi antara X dan Y

Xi dan Yi


= Variabel bebas (X) dan Variabel terikat (Y) data ke i

atau

Dimana:

dan
Keterangan:
rxy

= koefisien korelasi antara X dan Y

xy

= mean deviasi

Y

= Kejadian Kebakaran


X

= Kepadatan Penduduk, Kepadatan Bangunan, Persentase Bangunan Semi
Permanen, Jaringan jalan.

Langkah-langkah pengujian hipotesis:
1) Menentukan Ho dan Ha
Ho: Tidak ada hubungan antara variabel X dan Y
Ha: Ada hubungan antara variabel X dan Y
2) Menentukan level of significance
Taraf kepercayaan yang digunakan 95% dan tingkat toleransi kesalahan (α) 5% .
3) Kriteria pengujian
a. Berdasarkan perbandingan r hitung dan r tabel
Ho diterima jika r hitung < r tabel
Ho ditolak jika r hitung ≥ r tabel
b. Berdasarkan Probabilitas
Ho diterima jika probabilitas > 0,05
Ho ditolak jika probabilitas ≤ 0,05
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian dalam tulisan ini akan dibahas menurut variabel

kepadatan penduduk,

penggunaan tanah, kualitas bangunan yang terdiri dari kepadatan bangunan dan kualitas
bangunan yaitu bangunan semi permanen serta jaringan jalan. Sedangkan pembahasan dalam
penelitian ini akan membahas wilayah kebakaran di Jakarta Barat, wilayah rawan kebakaran
dan lokasi hidran.
Jakarta Barat merupakan bagian dari wilayah Ibukota Jakarta yang mempunyai kekhususan
sebagai kota tua dan kota metropolitan yang serba modern dimana terdapat bangunan-

bangunan tua/kuno serta gedung mewah seperti hotel, apartemen, pusat perbelanjaan dan
sebagainya. Jakarta Barat terletak antara 106º22'42'' BT sampai 106º58'18'' BT dan 50º19'12''
LS sampai 60º23'54''. Permukaan tanahnya relatif datar, terletak sekitar tujuh km di atas
permukaan laut dengan luas wilayah 128,19 km² ( BPS, 2007). Batas-batas administrasinya
adalah :
(a) Sebelah Utara

: Jakarta Utara dan Kabupaten Tangerang

(b) Sebelah Timur

: Jakarta Pusat dan Jakarta Utara

(c) Sebelah Selatan

: Jakarta Selatan dan Kabupaten Tangerang

(d) Sebelah Barat

: Kabupaten Tangerang

Kota Jakarta Barat terbagi menjadi delapan kecamatan dan 56 kelurahan.Bila dilihat dari
luasnya, Kecamatan Cengkareng dengan luas 30,10 km² merupakan kecamatan terluas
dibandingkan kecamatan lain yang ada di Jakarta Barat, sedangkan Kecamatan Tambora
dengan luas 5,41 km² merupakan kecamatan tersempit di Jakarta Barat. Kelurahan yang
terluas adalah Kelurahan Tegal Alur (7,78 km²) dan Kelurahan Kapuk (7,23 km²), adapun
yang tersempit adalah Kelurahan Tambora seluas 0,28 km².
Jumlah penduduk Jakarta Barat tahun 2006 adalah 1.565.947 jiwa. Jumlah penduduk yang
terbanyak terdapat di Kelurahan Palmerah, Kecamatan Palmerah dengan jumlah penduduk
sebanyak 54.650 jiwa atau 3,5 persen dari seluruh jumlah penduduk di Jakarta Barat. Jumlah
penduduk yang paling sedikit adalah di Kelurahan Roa Malaka, Kecamatan Tambora dengan
jumlah 4.364 jiwa atau 0,28 persen dari jumlah seluruh penduduk Jakarta Barat. Apabila
dilihat per kecamatan, maka Kecamatan Tambora merupakan kecamatan dengan jumlah
penduduk terbanyak di Jakarta Barat sebesar 265.851 jiwa atau 16,98 persen dari jumlah
seluruh penduduk di Jakarta Barat, sedangkan Kecamatan Kembangan merupakan kecamatan
dengan jumlah penduduk yang paling sedikit yaitu sebanyak 141.095 jiwa atau 9,01 persen
dari jumlah seluruh penduduk Jakarta barat
Kepadatan penduduk terpadat di Jakarta Barat, terdapat di Kecamatan Tambora dengan
kepadatan penduduknya sebesar 49.231 jiwa/ km², sedangkan kepadatan penduduk terjarang
terdapat di Kecamatan Kembangan sebesar 5.832 jiwa/ km² . Apabila dilihat di masingmasing kelurahan, penduduk terpadat berada di Kelurahan Kali Anyar dengan kepadatan
penduduknya 87.268 jiwa/ km², sedangkan kepadatan penduduk terjarang di Kelurahan Tegal
Alur (4.745 jiwa/ km² ) dan Joglo (4.964 jiwa/ km² ).

Dari data kepadatan penduduk Jakarta Barat dibuat tiga klasifikasi yaitu kepadatan penduduk
jarang dengan kepadatan kurang dari 15.000 jiwa/km², kepadatan penduduk sedang dengan
kepadatan antara 15.000 – 30.000 jiwa/km² dan kepadatan penduduk padat yaitu lebih dari
30.000 jiwa/km². Sebaran kepadatan penduduknya adalah di sebelah timur wilayah Jakarta
Barat merupakan wilayah dengan kepadatan penduduk sedang dan padat sedangkan di bagian
baratnya di dominasi oleh kepadatan penduduk jarang.
.
Penggunaan tanah di Jakarta Barat bervariasi, seperti permukiman, pertanian, perdagangan,
tanah kosong dan lainnya, namun yang paling luas digunakan untuk permukiman yaitu 44,12
persen dari luas daerah Jakarta Barat. Pertanian tanah basah menempati urutan kedua yaitu
19,10 persen dan ketiga jasa, perdagangan yaitu 13,49 persen. Untuk lebih jelasnya lihat
Tabel 1. Wilayah permukiman tersebar merata di seluruh daerah Jakarta Barat, sedangkan
pertanian tanah basah terkonsentrasi di bagian barat. Wilayah industri terletak di bagian utara
dan disekitar jalan Tol Sedyatmo (ke arah Tangerang). Lihat juga Peta 1.
Tabel 1. Penggunaan Tanah Jakarta Barat Tahun 2008
No Jenis Penggunaan Tanah
Luas (Ha)
1
Permukiman
6377,52
2
Tanah Kosong
37,755
3
Taman, Lapangan Olahraga, Rekreasi dan 100,092
Hiburan
4
Situ, Waduk/Danau
1461,533
5
Rawa/Tambak/Empang
3,481
6
Pertanian Tanah Kering
175,647
7
Pertanian Tanah Basah
2748,801
8
Kebun Campuran
242,738
9
Emplasemen
17,749
10 Alang-Alang
84,812
11 Jasa, Perkantoran dan Perdagangan
1949,145
12 Industri dan Pergudangan
1254,56
Jumlah
14453,833
Sumber: Pengolahan Data

%
44,12
0,26
0,69
10,11
0,02
1,22
19,02
1,68
0,12
0,59
13,49
8,68
100,00

Jumlah bangunan di Jakarta Barat sebanyak 92.398 unit bangunan dengan kepadatan
bangunan sebesar 720,79 bangunan/ km². Kepadatan bangunan terpadat terdapat di
Kecamatan Tambora (8.457 bangunan/ km²), sedangkan yang terjarang di Kecamatan
Kembangan dengan 1.358,74 bangunan/km².

Dilihat dari kepadatan bangunan permukiman di Jakarta Barat, yang terpadat terdapat di
Kecamatan Grogol Petamburan dengan 10.822,27 bangunan per km², sedangkan yang
terjarang terdapat di Kecamatan Taman Sari dengan 74 bangunan per km². Bila dilihat per
kelurahan kepadatan bangunan yang terpadat terdapat di Kelurahan Krendang ( 16.452,79
unit bangunan per km²) dan Kali Anyar (16.582,24 bangunan per km²), sedangkan kelurahan
dengan kepadatan bangunan terjarang berada di Kelurahan Mangga Besar dengan 57,99
bangunan per km². Kepadatan bangunan permukiman, klasifikasinya dibagi menjadi tiga
kelas yaitu kurang dari 80 bangunan per ha, antara 80-160 bangunan per ha, dan lebih dari
160 unit bangunan per ha. Kepadatan bangunan terpadat mendominasi bagian tengah utara
wilayah Jakarta Barat, sedangkan di bagian timur lebih di dominasi dengan kepadatan
bangunan permukiman rendah sampai sedang. Untuk jelasnya lihat Peta 3.
Kualitas bangunan permukiman di Jakarta Barat terdiri dari bangunan permanen, semi
permanen dan bangunan sementara. Dalam penelitian ini bangunan semi permanen dan
bangunan permanen dijadikan satu yaitu bangunan semi permanen karena tidak semua
kelurahan ada bangunan sementaranya. Persentase bangunan semi permanen di Jakarta Barat
yang terbesar ada di Kecamatan Kalideres yaitu 64,65 persen dari seluruh bangunan yang
ada, sedangkan persentase terkecil terdapat di Kecamatan Taman Sari sebesar 26,01 persen.
Bila dilihat per kelurahan persentase bangunan semi permanen terbesar terdapat di Kelurahan
Jelambar Baru sebesar 80, 59 persen, sedangkan Kelurahan Slipi hanya sebesar 2,14 persen
dan di Kelurahan Glodok tidak ada bangunan semi permanen. Persentase bangunan semi
permanen terbanyak terdapat di sebelah barat wilayah penelitian. Lihat Peta 2.
Jaringan jalan di Jakarta Barat terdiri dari jalan arteri, kolektor, lokal dan jalan tol. Dalam
penelitian ini jaringan jalan yang dilihat adalah kerapatan jaringan jalannya. Kerapatan jalan
di Jakarta Barat adalah 18,03 km/km². Bila dilihat per kecamatan, yang mempunyai jaringan
jalan terpadat adalah Kecamatan Tambora sebesar 30,71 km/km², sedangkan Kecamatan yang
terjarang adalah Kecamatan Kalideres sebesar 12,08 km/km². Sedangkan kelurahan yang
mempunyai jaringan jalan terpadat adalah Kelurahan Kali Anyar yaitu 41,20 km/km², yang
terjarang adalah Kelurahan Semanan dengan 7,65 km/km².
Jaringan jalannya diklasifikasikan kedalam tiga kelas yaitu kurang dari 15 km/km², antara 1525 km/km² dan lebih dari 25 km/km². Jaringan jalan dengan kerapatan jalan terpadat berada

di bagian timur Jakarta Barat, sementara itu di bagian baratnya didominasi oleh kerapatan
sedang, sedangkan di bagian tengah kerapatan jalannya masuk kedalam klasifikasi rendah.
.
3.2. Pembahasan
Kebakaran di Jakarta Barat terjadi di berbagai penggunaan tanah, seperti permukiman,
perdagangan, industri, pertanian dan lain-lain. Berdasarkan data pada Peta 7 dan Tabel 2,
terlihat bahwa kejadian kebakaran terbanyak pada wilayah permukiman yaitu 46,23 persen
dari seluruh kejadian kebakaran pada tahun 2008. Sedangkan yang paling sedikit terjadi pada
penggunaan tanah pertanian yaitu 4,30 persen dan industri 7,53 persen, yang termasuk lainlain itu berupa tumpukan sampah (14 kejadian) dan kabel listrik udara serta gardu PLN (13
kejadian).
Tabel. 2. Kejadian Kebakaran Tahun 2008
Penggunaan Tanah
Jumlah
Permukiman
86
Perdagangan
49
Industri
14
Pertanian
8
Lain-lain
29
Jumlah
186
Sumber: Pengolahan data

Kejadian

Kebakaran
%
46,23
26,34
7,53
4,30
15,60
100,00

Berdasarkan sebaran data kejadian kebakaran, maka dapat diklasifikasikan menjadi empat
kelas yaitu tidak ada kebakaran, 1 - 3 kejadian, 4 – 6 kejadian dan lebih besar dari 6 kejadian
kebakaran.
Wilayah kejadian kebakaran dengan klasifikasi lebih dari enam kejadian kebakaran, sebagian
besar terdapat di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang, seperti kelurahan
Srengseng, Duri Kepa, Jati Pulo, Wijaya Kususma, Kapuk, Cengkareng Barat, Kalideres,
Pegadungan, Tegal Alur. Sedangkan wilayah kejadian kebakaran dengan klasifikasi 1 – 3
kejadian sebagian besar terletak di bagian selatan ( Kelurahan Meruya Selatan, Meruya Utara,
Sukabumi Selatan, Kelapa Dua, Kedoya Selatan), di bagian timur ( Kelurahan Palmerah,
Slipi, Kemanggisan, Kota Bambu Selatan, Tanjung Duren Utara, Tanjung Duren Seatan,
Tomang, Grogol, Jelambar, Kali Anyar, Duri Selatan, Tanah Sereal, Angke, Pekojan, Krukut,
Maphar, Taman Sari, Tangki, Mangga Besar, Glodok, Pinangsia),

di bagian tengah

( Kelurahan Cengkareng Timur) dan di bagian barat hanyalah Kelurahan Kamal. Wilayah

yang tidak terjadi kebakaran menyebar di bagian timur (Kelurahan Roa Malaka, Keagungan,
Jembatan Lima dan Kota Bambu Utara), serta di bagian utara terdapat satu kelurahan yaitu
Kedaung Kaliangke.
Pada penelitian ini menekankan pada kejadian kebakaran pada wilayah permukiman.
Berdasarkan data, kejadian kebakaran pada wilayah permukiman terbanyak di Kelurahan
Duri Kepa, Kecamatan Kebun Jeruk (tujuh kejadian) dan Kelurahan yang tidak terjadi
kebakaran pada wilayah permukiman pada tahun 2008 meliputi 13 kelurahan yaitu Kelurahan
Meruya Selatan, Kelapa Dua, Kota Bambu Utara, Kali Anyar, Angke, Jembatan Lima, Roa
Malaka, Pekojan, Mangga Besar, Keagungan, Glodok, Kedaung Kali Angke dan Kamal.
Apabila dilihat dari administrasi kecamatan, maka semua kecamatan mengalami kejadian
kebakaran dan yang terbanyak Kecamatan Kebon Jeruk (17 kejadian kebakaran) dan yang
paling sedikit Kecamatan Taman Sari ( lima kejadian).
Apabila dilihat dari penyebab kebakaran, terlihat bahwa tahun 2008 yang terbanyak
disebabkan oleh listrik, yaitu sebanyak 123 kejadian atau 66,13 persen, dibandingkan dengan
penyebab dari rokok, kompor dan lain-lain.
Apabila dikorelasikan antara kejadian kebakaran dengan kepadatan penduduk, maka terlihat
bahwa kepadatan penduduk tidak berkorelasi dengan kejadian kebakaran. Hal ini ditunjukkan
dalam analisis korelasi pearson,

yang diolah datanya dengan SPSS Keluaran SPSS

menunjukkan bahwa 56 data kelurahan di Jakarta Barat, semuanya diproses (tidak ada data
yang missing), sehingga tingkat validitasnya 100 persen. Lihat Tabel 3 dibawah ini.
Dari Tabel 3. korelasi antara kepadatan penduduk dan kejadian kebakaran, yang memuat
hubungan antara variabel kejadian kebakaran dengan kepadatan penduduk, dengan tingkat
signifikansi (α) = 0,05, banyak data (N) = 56, menunjukkan bahwa Pearson Correlation
(0,039) < Pearson tabel, kemudian berdasarkan probabilitas terlihat bahwa angka
probabilitasnya > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa kepadatan penduduk tidak ada
hubungan dengan kejadian kebakaran.
Tabel. 3. Korelasi antara Kepadatan Penduduk dan Kejadian Kebakaran
KEBAKAR
KEPDDK
KEBAKAR Pearson Correlation
1,000
-,039

Sig. (2-tailed)
N
KEPDDK Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Sumber: Pengolahan data

,
56
-,039
,776
56

,776
56
1,000
,
56

Jika kejadian kebakaran dikorelasikan dengan kerapatan jaringan jalan, maka terlihat dalam
analisis korelasi pearson, yang diolah datanya dengan SPSS, bahwa kerapatan jalan tidak
berkorelasi dengan kejadian kebakaran. Keluaran SPSS menunjukkan bahwa 56 data
kelurahan di Jakarta Barat, semuanya diproses (tidak ada data yang missing), sehingga tingkat
validitasnya 100 %.
Tabel 4. Korelasi antara Jaringan Jalan dan Kejadian Kebakaran
KEBAKAR JALAN
KEBAKAR Pearson Correlation
1,000
-,029
Sig. (2-tailed)
,
,832
N
56
56
JALAN
Pearson Correlation
-,029
1,000
Sig. (2-tailed)
,832
,
N
56
56
Sumber: Pengolahan Data
Hasil korelasi pada Tabel 4, yang memuat hubungan antara variabel kejadian kebakaran
dengan kerapatan jaringan jalan, dengan tingkat signifikansi (α) = 0,05, banyak data (N) = 56,
menunjukkan bahwa Korelasi Pearson

(0,029) < Pearson tabel, kemudian berdasarkan

probabilitas terlihat bahwa angka probabilitasnya > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa
kerapatan jalan tidak ada hubungan dengan kejadian kebakaran.
Apabila dikorelasikan antara kejadian kebakaran dengan persentase bangunan semi
permanen, maka terlihat bahwa persentase bengunan semi permanen mempunyai korelasi
dengan kejadian kebakaran. Hal ini ditunjukkan dalam analisis pearson correlation, yang
diolah datanya dengan SPSS. Keluaran SPSS menunjukkan bahwa 56 data (kelurahan) di
Jakarta Barat, semuanya diproses (tidak ada data yang missing), sehingga tingkat validitasnya
100 %.
Tabel 5. Korelasi antara Persentase Bangunan Semi Permanen dan Kejadian Kebakaran
KEBAKAR
SEMIPER
KEBAKAR
Pearson Correlation
1,000
,312
Sig. (2-tailed)
,
,019
N
56
56

SEMIPER

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N
Sumber: Pengolahan Data

,312
,019
56

1,000
,
56

Dari korelasi pada Tabel 5, yang memuat hubungan antara variabel kejadian kebakaran
dengan persentase bangunan semi permanen, dengan tingkat signifikansi (α) = 0,05, banyak
data (N) = 56, menunjukkan bahwa Korelasi Pearson (0,312) > Pearson tabel, kemudian
berdasarkan probabilitas terlihat bahwa angka probabilitasnya < 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat korelasi antara persentase bangunan semi permanen dengan
kejadian kebakaran. Angka korelasi positif, yang berarti semakin besar persentase bangunan
semi permanen, maka semakin banyak pula kejadian kebakaran.
Jika dikorelasikan antara kejadian kebakaran dengan kepadatan bangunan, maka terlihat
bahwa kepadatan bangunan tidak berkorelasi dengan kejadian kebakaran. Hal ini ditunjukkan
dalam analisis korelasi pearson,

yang diolah datanya dengan SPSS. Keluaran

SPSS

menunjukkan bahwa 56 data (kelurahan) di Jakarta Barat, semuanya diproses (tidak ada data
yang missing), sehingga tingkat validitasnya 100 %.
Tabel 6. Korelasi antara Kepadatan Bangunan dan Kejadian Kebakaran
KEBAKAR KPTBANG
KEBAKAR Pearson Correlation
1,000
,057
Sig. (2-tailed)
,
,677
N
56
56
KPTBANG Pearson Correlation
,057
1,000
Sig. (2-tailed)
,677
,
N
56
56
Sumber: Pengolahan Data
Hasil korelasi pada Tabel 6, yang memuat hubungan antara variabel kejadian kebakaran
dengan kepadatan bangunan, dengan tingkat signifikansi (α) = 0,05, banyak data (N) = 56,
menunjukkan bahwa Korelasi Pearson (0,0) < Pearson tabel, kemudian berdasarkan
probabilitas terlihat bahwa angka probabilitasnya > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa
kepadatan bangunan tidak ada hubungan dengan kejadian kebakaran.
3.2.1. Wilayah Rawan Kebakaran
Wilayah rawan kebakaran ditentukan berdasarkan kerapatan bangunan dan persentase
bangunan semi permanen. Mengacu pada Peta Daerah Rawan Kebakaran, yang merupakan
hasil overlay dari Peta Kerapatan bangunan dan Peta Persentase Bangunan Semi Permanen,

maka terlihat bahwa wilayah kebakaran I, terdapat di bagian barat dan utara, yang
mempunyai kriteria kepadatan bangunan tinggi dan persentase bangunan semi permanen
tinggi. Tabel 7 menjelaskan kriteria untuk menentukan wilayah rawan kebakaran, yaitu
-

Wilayah Rawan Kebakaran I: kepadatan bangunan tinggi dan persentase bangunan
semi permanen tinggi

-

Wilayah Rawan Kebakaran II: kepadatan bangunan tinggi dan persentase bangunan
semi permanen rendah atau kepadatan bangunan rendah dan persentase bangunan
semi permanen tinggi.

-

Wilayah Rawan Kebakaran III: kepadatan bangunan rendah dan persentase bangunan
semi permanen rendah.
Tabel 7. Kriteria Wilayah Rawan Kebakaran

No. Variabel Penentu
1
2

Wilayah
Rawan Keb I
Tinggi

Kepadatan Bangunan
Persentase Bangunan
Semi Permanen
Tinggi
Sumber: Pengolahan Data

Rawan
Rawan Keb II
Rendah/ Tinggi

Kebakaran
Rawan Keb III
Rendah

Tinggi/Rendah

Rendah

Sebagai contoh wilayah rawan I adalah Kelurahan Kalideres, Pegadungan, Kamal, Tegal
Alur, Cengkareng Barat, Cengkareng Timur, Kapuk, Kedaung Kali Angke, Wijaya Kusuma,
Jelambar Baru. Sedangkan wilayah Rawan III, dengan kriteria kepadatan bangunan rendah
dan persentase bangunan semi permanen rendah, menyebar di bagian timur, seperti
Kelurahan Glodok dan Mangga Besar. Lihat Peta 5.
3.2.2. Lokasi Hidran
Kondisi hidran yang tersedia di Jakarta Barat tidak semuanya baik, namun kurang lebih 35 %
kondisi rusak. Kondisi hidran yang baik sebagian besar terkonsentrasi di bagian timur, seperti
Kecamatan Palmerah, Tambora, Kebun Jeruk dan Grogol Petamburan. Dilain pihak kejadian
kebakaran terbanyak di bagian barat, sehingga diperlukan peninjauan kembali dalam
penempatan hidran.
Mengacu pada Peta Lokasi Hidran (Peta 6), terlihat bahwa penempatan lokasi hidran secara
keseluruhan terkonsentrasi di bagian timur, seperti di Kecamatan Palmerah (46 hidran baik
dan 2 hidran rusak), Kebun Jeruk (31 hidran baik dan 7 hidran rusak), Grogol Petamburan (11

hidran baik dan 20 hidran rusak). Sebaliknya pada daerah bagian barat, yang berbatasan
dengan Kota tangerang, masih jarang lokasi penempatan hidran, sebagai contoh Kecamatan
Kalideres hanya terdapat di dua kelurahan yaitu Kelurahan Pegadungan dan Kelurahan
Kalideres, sedangkan Kecamatan Kembangan juga hanya terdapat di dua Kelurahan yaitu
Srengseng dan Meruya Utara.
Apabila dilihat dari kondisi hidran, maka terlihat bahwa dari 175 lokasi hidran yang rusak 50
hidran (28,57 %) dan yang masih baik 125 hidran (71,43 %). Persebaran hidran rusak, terlihat
bahwa hidran yang rusak paling banyak pada kecamatan Grogol Petamburan sebanyak 20
hidran, kemudian Kecamatan Tamansari 13 hidran.
4. Kesimpulan
1) Kejadian kebakaran di Jakarta Barat, sebagian terjadi pada daerah bagian barat yang
berbatasan dengan Kabupaten Tangerang dan yang tidak terjadi kebakaran tersebar di
bagian tengah. Terdapat hubungan antara besarnya persentase bangunan semi permanen
dengan kejadian kebakaran, yaitu semakin besar persentase bangunan semi permanen,
semakin banyak kejadian kebakaran. Namun kejadian kebakaran tidak berhubungan
dengan kepadatan penduduk, kerapatan bangunan maupun kerapatan jaringan jalan.
2) Wilayah Rawan Kebakaran I terdapat di bagian barat dan utara, yang mempunyai
kriteria kepadatan bangunan tinggi dan persentase semi permanen tinggi.
3) Apabila dikaitkan dengan pelayanan pemerintah yang telah menyediakan hidran, maka
terdapat beberapa lokasi bagian barat yang masih kekurangan hidran.
5. Rekomendasi/Saran
1) Perlu peninjauan kembali penempatan lokasi hidran, sehingga posisi hidran sesuai
dengan kebutuhan untuk pemadam kebakaran.
2) Perlu penambahan lokasi hidran pada daerah bagian barat, yang banyak mengalami
kejadian kebakaran.
3) Perlu perbaikan hidran pada daerah bagian timur, terutama Kecamatan Grogol
Petamburan, Taman sari dan Kebun Jeruk.
Ucapan terima kasih
Kami mengucapkan terima kasih telah diberi kepercayaan untuk meneliti tentang asesmen
wilayah rawan kebakaran pada permukiman padat penduduk di Jakarta Barat melalui

Program Hibah Kompetensi Institusi Universitas Indonesia Tahun 2008, Batch C2.2. Kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
administrasi hibah ini, dalam perolehan data kebakaran yaitu dari Dinas Kebakaran Jakarta
Barat. Selain itu, kami juga ingin berterima kasih kepada Sdr. Bibit Budi P, SSi yang telah
membuat peta-peta yang ada dalam penelitian ini menjadi indah dan informatif, juga Sdr.
Yuni Asri yang telah membantu memplot lokasi-lokasi kebakaran selama tahun 2008 di
Jakarta Barat. Semoga kiranya penelitian ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukan.
Daftar pustaka
Anon, 2007. Laporan Akhir Pembuatan Peta Digital Rawan Kebakaran. PT Citra Wahana Konsultan
kerjasama dengan Suku Dinas Pertanahan dan Pemetaan Kotamadya Jakarta Barat.
Barton, H. & C. Tsourou 2000. Healthy Urban Planning: a WHO Guide to Planning for People.
Spon Press, London.
Goldblum, C. & T.C. Wong 2000. Growth Crisis and Spatial Change : a Study of Haphazard
Urbanization in Jakarta, Indonesia. In Land Use Policy 17. Elsevier Science Ltd., Nl.
Johnston, R.J, 1978. Multivariate statistical analysis in geography, a primer on the general linier
model, Longman Group Limited, London
Kartono, H. 1994. Daerah Kumuh Rawa Badak (Jakarta Utara), Operasionalisasi konsep penataan
ruang kawasan perkotaan. Prosiding Seminar Sehari Pendekatan rasional dalam upaya penataan
ruang suatu wilayah. Jurusan Geografi FMIPA UI
O’Sullivan, D&D.Unwin,2003. Geographic Information Analysis. John Wiley & Sons. Inc.
Rahardjo, S. 2005: Pengaruh Penggunaan Tanah Terhadap Kualitas Hidup. Desertasi.
Program Doktor PS Kajian Ilmu Lingkungan. Jakarta
Riza, M. 2005. Wilayah Rawan Kebakaran di Jakarta Barat. Tesis Magister Geografi. Departemen
Geografi FMIPA UI
Wheeler, J.O. & P.O. Muller 1981. Economic Geography. Wiley, Canada

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis korelasi antara lama penggunaan pil KB kombinasi dan tingkat keparahan gingivitas pada wanita pengguna PIL KB kombinasi di wilayah kerja Puskesmas Sumbersari Jember

11 241 64

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE TERHADAP KINERJA PEMERINTAH DAERAH (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jember)

37 330 20

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

SENSUALITAS DALAM FILM HOROR DI INDONESIA(Analisis Isi pada Film Tali Pocong Perawan karya Arie Azis)

33 290 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22