Desain Pengaturan Kebebasan Beragama di

DRAFT

DESAIN WILAYAH PENGATURAN KEBEBASAN BERAGAMA DI
INDONESIA; INTERPRETASI TERHADAP PASAL 29 UUD 1945
SEBAGAI FUNDAMEN YURIDIS
A. Ridho
Abstract
Indonesian society has been longing state guarantee on religious peace and tolerance.
Although, Indonesian government has issued numerous rules to guarantee it, the rules
itself sometime contradict with human rights and justice values. The government is
considered has lack of understanding to implement constitution mandate especially
“pasal” 29. Thus, in order to address this issue, the writer offers designated area which
the state should intervene on it : (1). Restriction For The Protection of Public Safety; (2).
Restriction For The Protection of Public Order; (3). Restriction For The Protection of
Public Health; (4). Restriction For The Protection of Morals; (5). Restriction For The
Protection of The Fundamental Rights and Freedom of Others. Furthermore, the
religious communities is also urged to build degree in agreement concept towards
religious peace and tolerence. The yuridis foundation to implement this policy is based on
interpretation of article 29 of constitution 1945.
Keyword: freedom of religion and tolerance, regulation, state, government


Latar Belakang Masalah
Problem kerukunan dan kebebasan beragama sering kali menjadi hal yang
menarik untuk diperbincangkan. Meski bukan tema baru dan sudah sering dibahas
pada diskusi, seminar, konferensi, maupun di artikel atau buku, tetapi persoalan
kerukunan dan kebebasan umat beragama senantiasa perlu kembali disegarkan
dan terus-menerus disosialisasikan. Urgensi penyegaran dan sosialisasi itu
disebabkan konflik antar umat beragama dan intern umat beragama di Indonesia
khususnya, dan di dunia pada umumnya sampai saat ini masih terus terjadi tanpa
kejelasan akhir episodenya. Padahal dimensi kerukunan dan kebebasan antar umat
beragama bisa menjadi fundamen dalam menyelaraskan agenda-agenda
kemanusiaan seperti memberantas kemiskinan, memerangi kebodohan, mencegah
korupsi, membentuk pemerintahan yang bersih, serta memajukan bangsa. Melalui
kerjasama antar pemeluk agama yang baik, bisa melahirkan konsensus besar
dalam bernegara, contoh nyata adanya kolaborasi antar agama yang baik adalah
dengan lahirnya ideologi negara Indonesia berupa Pancasila.
1

Kebebasan beragama dalam kacamata Hak Asasi Manusia (HAM)
mempunyai posisi yang kompleks.1 Sering dipandang sebagai fasilitator bagi
kepentingan proteksi manusia sebagai homo sapiens, dan memungkinkan manusia

mengembangkan kepribadian intelektual dan moralnya sendiri, menentukan sikap
terhadap

kekuatan-kekuatan

alam

dan

supranatural,

serta

membentuk

hubungannya dengan sesama makhluk. Dalam konfigurasi ketatanegaraan,
kebebasan beragama mempunyai posisi yang penting juga. Sejumlah besar
kegiatan keagamaan manusia dilindungi oleh pasal-pasal mengenai kebebasan
beragama, kebebasan berekspresi, dan kebebasan politik. Pasal 29 Undangundang Dasar (UUD) 1945 menjadi pengejewantahan konkrit atas garansi
kebebasan beragama dan memiliki semangat terbangunnya kondisi rukun antar

pemeluk agama.
Namun demikian, kebebasan beragama menemukan jantung “persoalan” yang
utama ketika berhadapan dengan entitas negara. Sejumlah persoalan yang
menyangkut kebebasan beragama bermunculan mulai dari kekerasan berbasis
agama,2 pelarangan ajaran-ajaran tertentu,3 sampai kepada kriminalisasi terhadap
mereka yang dianggap sesat dalam aktivitas keagamaannya.4 Padahal pesan dalam
pasal 29 UUD 1945 sesungguhnya mengamanatkan Negara untuk menjamin
kemerdekaan memeluk agama, dan pemerintah berkewajiban melindungi
penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan ibadah, sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau
menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum.
Di lain pihak, konteks Pasal 29 terkait dimensi apa saja yang layak untuk
dilindungi oleh Negara (pemerintah) menemui titik ambivalensi. Negara seolah
gamang dalam menafsirkan Pasal 29 UUD 1945, akibatnya muncul berbagai
1

Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, (Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (ELSAM)), 2001, hlm. 238-239.
2
Lihat misalnya tulisan Abd A‟la, Kekerasan Atas Nama Agama, Kompas, 14 Oktober 1999,

hlm. 4-5.
3
Abdul Aziz Dahlan, Pengajaran tentang tuhan dan Alam: Paham Tawhid Ibn’ Arabi dalam
Jurnal Ulumul Qur‟an, No. 5, Vol. IV, Tahun 1993, hlm. 83-84.
4
Lihat kasus-kasus di Indonesia khususnya kurun 1998-sekarang, antara lain Kasus Lia
Amminuddin dan Ahmad Mashaddeq.

2

kebijakan yang kontraproduktif dan menjadikan perdebatan serta memunculkan
konflik horizontal. Pasal 31 Undang-undang (UU) Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bisa dijadikan representasi terhadap adanya semangat
membatasi hak beragama dengan persepsi lima agama resmi. Kemudian disusul
beberapa ketentuan dalam UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan juga menjadi bukti sahih adanya penghilangan hak sispil terhadap
warga Negara yang menganut agama di luar “lima agama yang di urus” yaitu
Islam, Kristen, katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Disusul kemudian
Peraturan pemerintah (PP) RI Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama
Dan Pendidikan Keagamaan, pasal 9 ayat 1 menjadi contoh paling kentara bahwa

pendidikan keagamaan hanya meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen,
katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.
Fakta diatas jelas telah memberikan gambaran kontradiktif terhadap tujuan
Negara, sesuai dengan semangat yang digelorakan oleh Aristoteles bahwa negara
memiliki tujuan meneyelenggarakan kehidupan yang lebih baik. Apabila
kemudian dikorelasikan dengan tujuan negara hukum, yaitu untuk mewujudkan
keamanan, keadilan, kepastian, dan kesejahteraan nampaknya fakta diskrimnasi
yang dilakukan oleh pemerintah di atas sangat jauh dari idealisme tujuan negara
hukum tersebut. Oleh karenan itu, menjadi keharusan bahwa kewajiban, tugas dan
tanggung jawab negara harus direposisi. Dengan kata lain kebijakan-kebijakannya
harus diselaraskan dengan Pasal 29 UUD dan berbagai ketentuan lain dalam
UUD. Sehingga pemerintah dalam memberikan bimbingan dan pelayanan kepada
warga negara untuk melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan
rukun, lancar dan tertib, baik intern maupun antar umat beragama.
Rumusan masalah yang hendak dibangun oleh penulis adalah bagaimana
desain atau dimensi pengaturan agama yang baik bedasarkan tafsir Pasal 29 UUD
1945?, dan bagaiaman mindset yang harus dibangun oleh pemeluk agama dalam
tataran prularitis kehidupan beragama?. Melalui kedua rumusan tersebut,
harapannya dapat meghasilkan output yang bermanfaat bagi upaya kehidupan


3

berbangsa dan benegara yang berkeadilan dan terbangunnya pola interaksi
harmonis antar pemeluk agama di Indonesia.
Tafsir Pasal 29 UUD 1945
Ketentuan pasal 29 menyebutkan negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang
Maha Esa, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.5 Pasal ini merupakan pasal landasan beragama dan kebebasan
menjalankan rutinitas beribadah berdassarkan keyakinan masing-masing individu.
Sekilas memang pasal tersebut memberikan jaminan kebebasan tanpa syarat
dalam menjalankan aktifitas ibadah secara normal. Bahkan pasal tersebut nampak
begitu netral tanpa „tendensi‟ yang melingkupinya. Soekarno, salah satu
thefounding fathers mengamanatkan agar pasal 29 merupakan pasal yang harus

menjadi dasar kehidupan hukum di bidang keagamaan.6
Amanat dalam Pasal 29 kemudian memucnulkan berbagai tafsir oleh banyak
pihak, Achmad Syaichu salah satu seorang anggota sidang Konstituante 1959,
memahami bahwa pernyataan di atas berarti dapat diciptakan pula perundangundangan bagi para pemeluk agama Islam. Berbeda dengan Syaichu, Hazairin
menafsirkan pasal 29 ayat 1 adalah sebagai berikut :

Dalam negara RI tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan
dengan kaidah-kaidah agama yang dianut umat beragama di Indonesia.
Negara RI wajib menajalankan syariat bagi masing-masing agama sesuai
dengan syariatnya. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan Negara
untuk menjalankan dan karena itu dapat berdiri sendiri, dijalankan oleh setiap
pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap
Allah bagi setiap orang itu, yang dijalankannya sendiri-sendiri.7
Uraian interpretasi Hazairin sesunguhnya untuk

memperjelas hubungan

antara agama, hukum dan negara, yaitu negara hanya bertugas menjamin
kerukunan umat beragama untuk melaksanakan peribadatannya. Sedangkan

5

Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Neagara dan Sebuah
Proyeksi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 12. Sebagaimana dikutip dalam Jazim Hamidi dan
Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 116.

7
Hazairin, Demokrasi Pancasila , (Jakarta: Tintamas, 1973), hlm. 18-19.
6

4

mengenai keabsahan peribadatan suatu agama diserahkan kepada masing-masing
institusi agama yang mempunyai legitimasi untuk hal itu. Namun sedikit berbeda
jika melihat argumentasi Irfan S. Awwas yang menyimpulkan bahwa Pasal 29
ayat 2 mengandung makan,8 pertama, di negara Indonesia yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa tidak boleh ada aturan yang bertentangan dengan
agama. Kedua, negara RI wajib melaksanakan syari‟at Islam bagi umat Islam,
syari‟at nashrani bagi nashrani dan seterusnya, sepanjang pelaksanaannya
memerlukan bantuan kekuasaan negara. Ketiga, setiap pemeluk agama wajib
menjalankan syari‟at agamanya secara pribadi dalam hal-hal yang tidak
memerlukan bantuan kekuasaan negara.
Selain menafsirkan ayat 1 pasal 29, Hazairin juga menafsirkan ayat keduanya,
ia menyatakan bahwa ayat 2 dalam pasal 29 memberikan arti bahwa negara tidak
menjamin kebebasan bergerak bagi atheisme dan akan mengawasi dan menuntun
pihak-pihak yang masih berkepercayaan animisme, polytheisme dan lain-lain

bentuk takhayul.9 Terlihat dari tafsiran tersebut bahwa tugas Negara selain
menjamin dan melindungi kebebasan beragama warga negaranya, secara implisit
Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjadi guidance warga negaranya
kepada jalan atau agama yang berketuhanan yang maha esa. Dengan kata lain
negara ditugaskan untuk menyadarkan mereka yang „menyimpang‟ dari ajaran
ajaran yang tidak bersendikan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menyinggung tentang arti kepercayaan yang tercantum dalam pasal 29 UUD
1945, maka mengandung makna semangat untuk memberikan kebebasan
beribadat yang seluas-luasnya, termasuk bagi kebatinan dalam segala bentuk dan
isinya seperti yang diistilahkan kebatinan, kejiwaan dan kerohanian.10 Sehingga
kepercayaan yang maksud adalah kepercayaan yang menunjukan kepercayaan
bangsa Indonesia adalah satu agama. Dengan kata lain kepercayaan yang
8

Irfan S. Awwas, Mengatasi Kekerasan Sosial dan Politik Tanpa Kriminalisasi Agama ,
Makalah disamapakan dalam seminar dan Forum Group Discussion yang diselenggarakan oleh
Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) bekerjasama Center for Islamic Studies UII,
Yogyakarta 6 Februari 2011.
9
Hazairin, op. cit..., hlm. 25-26.

10
Ruyandi, Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa , (Jakarta: Departemen
P dan K Dirjen Kebudayaan Direktorat PPK, 1985), hlm. 63-64.

5

dimaksud adalah yang sifatnya sejajar atau setingkat dengan agama.11 Sementara
Syafi‟i Ma‟arif mengartikan “Ketuhanan yang Maha Esa” tidak lain identik
dengan prinsip tauhid yang berhubungan secara organik dengan prinsip-prinsip
keadilan, persamaan, kebebasan, persaudaraan, dan musyawarah.12 Inti pendapat
ini sejatinya antara agama dan negara tidak bisa saling memisahkan diri.
Keduanya saling melengkapi sebagai motor penggerak untuk melakukan karya
sosial.
Frasa „dan kepercayaannya‟ dalam pasal 29 ayat 2 sesungguhnya hendak
mengatakan bahwa yang dijamin oleh negara adalah semua agama dan aliran
kepercayaan yang ada di negeri ini. Meski kepercayaan yang diusung saat itu
adalah kepercayaan dalam arti kejawen, tetapi kepercayaan ini masih sangat lentur
dan elastis untuk dilebarkan pada berbagai bentuk kepercayaan di luar kejawen.13
Sehingga sebagai seorang penganut kepercayaan, tentu ia ingin agar
kepentingannya bisa diakomodir oleh konstitusi. Lepas dari itu, spirit mufasir

diatas sesungguhnya menghendaki adanya jaminan hukum yang fair dan adil
dalam kehidupan beragama di Indonesia. Sehingga dimensi diskriminatif harus

11

Rachmat Subagyo, Kepercayaan dan Agama , (Yogyakarta: Kanisius), 1995, hlm. 98.
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 152.
13
Tedi Kholiluddin, Kuasa Negara Atas Agama , Politik Pengakuan, Diskursus “Agama
Resmi’ dan Diskriminasi Hak Sipil, (Semarang: Rasail, 2009), hlm. 280. Munculnya Pasal 29 ayat
2 apabila dilacak hotorisnya tidak lain karena usulan dari Wongsonegoro, salah satu pembuat
Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia
memberikan tambahan terhadap Pasal 29 ayat 2 dengan kata-kata „dan kepercayaannya‟ antara
agamanya dan masing-masing”. Wongsonegoro yang memiliki nama lengkap Mr. Kanjeng Raden
Mas Temengung Wongsonegoro adalah Bupati Sragen yang lahir di Solo 20 April 1897, riwayat
organisasinya selalu memiliki keterkaitan dengan budaya jawa. 1920 dan 1932 ia di daulat menjadi
ketua perkumpulan kebudayaan Krido Wantjoyo Solo. Sempat juga menjadi ketua Boedi Oetomo
Cabang Solo pada 1923-1924, dan pada 1942 Wongsonegoro menjadi ketua pekumpulan
kebudayaan Mardi Boedojo Sragen. Sejarah juga mencatat, bahwa ia pernah menjabat sebagai
ketua Badan Kongres Kebatinan Indonesia (BKKI). Dari uraian historis itu, jelas bahwa
Wongsonegoro adalah seorang penganut aliran kebatinan, kepercayaan alias kejawen. Ini artinya
ketika Wongsonegoro mengusulkan nama “kepercayaan” agar masuk dalam konstitusi pada 13
Agustus 1945, ia sungguh berada dalam kesadaran penuh bahwa ia adalah seorang kejawen. Maka
hal yang wajar jika ada kepentingan ideologis dibalik usulan tersebut. Lihat Safroedin Bahar dan
Nannie Hudawati, Risalah Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), (Jakarta: Sekretarian Negara
Republik Indonesia, 1998), hlm. 248 dan 517.
12

6

dieliminir oleh pemangku kebijakan dalam merumuskan aturan-aturan organik
tentang kehidupan beragama.
Tawaran Konsep Kebebasan Beragama (Berkeyakinan) Ala MK
Mahkamah Konstitusi sebagai guardian constitution dan penafsir konstitusi
telah

berupaya

memberikan

batasan

atas

konsep

kebabasan

beragama/berkeyakinan. Sebelumnya, putusan tersebut merupakan konsekuensi
atas judicial review UU No. 1/PNPS/1965 yang diajukan oleh beberapa LSM dan
tokoh agama, seperti Imparsial dan KH Abdurahman Wahid. Dalam judicial
review inilah MK menjawab argument hukum penolakan judicial review UU

Penodaan Agama dengan kalimat sebagai berikut:
......bahwa dari sudut pandang HAM, kebebasan beragama yang diberikan
kepada setiap manusia bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan
kebebasan an sich, melainkan kebebasan yang disertai dengan tanggung
jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang.14
Kemudian secara jelas putusan atas penolakan yang sempat menimbulkan
kontroversi tesebut juga dapat disimpulkan sebagai berikut :15
1. Bahwa pasal-pasal penodaan agama harus dilihat juga dari aspek
filosofisnya sehingga tidak semata-mata dilihat dari aspek yuridisnya
saja. Aspek filosofisnya bertujuan menempatkan kebebasan
beragama/berkeyakinan dalam perspektif ke-Indonesia. Praktik
kebebasan/berkeyakinan di Indonesia menempatkan aspek preventif
sebagai pertimbangan utama dalam suatu masyarakat yang heterogen;
2. Kebebasan/berkeyakinan
yang diberikan kepada setiap manusia
bukanlah merupakan kebebasan yang bebas nilai dan kebebasan an sich.
Selain adanya hak kebabasan berkeyakinan, harus juga diikuti dengan
tanggung jawab sosial untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang;
3. Berangkat dari konsep negara hukum (the rule of law), negara memiliki
peran sebagai penyeimbang antara hak asasi dan kewajiban dasar untuk
mewujudkan HAM yang berkeadilan. Peran negara ini diaplikasikan
untuk
memastikan
bahwa
dalam
pelaksanaan
kebebasan
beragama/berkeyakinan, seseorang maupun kelompok tidak melukai

14

aLembaranaPutusanaMahkamahaKonstitusiaRI,adiaksesadiahttp://www.mahkamahkonstitu
si.go.id, tanggal 08 Mei 2013.
15
FaiqaTobroni,aKeterlibatanaNegaraadalamaMengawalaKebebasanaBeragama/Berkeyakin
an (Komentar Akademik atas Judicial Review UU No. 1 /PNPS/1965), Jurnal Konstitusi Volume
7, No. 6, Desember 2010, Jakarta: sSekretariat Jenderl dan Kepaniteraan Mahakamah Konstitusi,
2010, hlm. 106-107.

7

kebebasan beragama/berkeyakinan orang lain. Di sinilah negara
bertindak sebagai penengah;
4. Berdasarkan jaminan konstitusional terhadap kebebasan penafsiran, maka
memang diakui bahwa menafsirkan terhadap suatu ajaran atau aturan
tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang yang berada pada
forum internum. Akan tetapi, penafsiran tersebut haruslah berkesesuaian
dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar
berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan yaitu kitab suci
masing-masing. Ini artinya bahwa kebebasan melakukan penafsiran
terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolute pada forum
eksternum. Penafsiran juga harus dikontrol, yang dalam minimalnya,
kontrol tersebut bisa berupa dialog dengan metodologi yang umum
diakui oleh para penganut agama agar tidak menimbulkan reaksi yang
mengancam keamanan dan ketertiban umum apabila dikemukakan atau
dilaksanakan dimuka umum. Hal ini sesuai juga dengan ketentuan pasal
18 ICCPR.16
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mencerminkan bahwa dalam
menjalankan kebebasan beragama/berkeyakinan harus memperhatikan aturan
main yang ada, sehingga kebebasan tersebut tidak melanggar kebebasan orang
lain yang juga harus dilindungi. Dengan kata lain jaminan kemerdekaan yang
diberikan oleh negara melalui Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 kepada setiap orang
yang memeluk agama adalah adalah jaminan kemerdekaan/kebebasan bersyarat.
Kebebasan yang memiliki arti bukan bebas semau sendiri tanpa ada tanggung
jawab sosial. Hal ini selaras dengan ungkapan yang dikutip Munawir Syadzali,
bahwa freedom is not license, hal ini pula yang tertulis dalam pasal 1 dari
Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerances and of
Discrimination based on Religion and Belief tahun 1981, yang substansinya

menjelaskan bahwa pemerintah dapat mengambil langkah melalui perundangundangan untuk mengatur agar kebebasan beragama/berkeyakinan, serta dapat
memberikan jaminan kebebasan mengamalkan ajaran agama dan berdakwah yang
tidak mengganggu keserasian dan kerukunan hidup beragama orang lain, hal ini
yang pada gilirannya agar tidak membahayakan stabilitas politik dan
kesinambungan pembangunan.17

16

Einar M. Sitompul, Agama-agama dan Perjuangan Hak Sipil , (Jakarta: PBHI dan
European Union, 2004), hlm. 14.
17
Munawir Syadzali, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama (Tinjauan Konsepsional),
(Jakarta; Penrbit Universitas Indonesia, 2007), hlm. 45.

8

Putusan MK juga memberi penegasan terhadap falsafah negara yang agamis
dalam kehidupan beragama, yaitu Pancasila sebagai ideologi negara dalam
aktifitas keagamaan tidak boleh muncul kegiatan yang menjauhkan dari nilai
religiusitas dan keagamaan,18 negara tidak memberikan peluang untuk menodai
agama lain. Meskipun kebebasan agama adalah hak mendasar yang telah
disepakati oleh kesepakatan dunia dan dilindungi oleh negara demi harkat
martabat manusia. namun, negara juga boleh membatasai kebebasan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan tunduk kepada pembatasan atas
penghormatan hak asasi orang lain berdasarkan nilai agama dan sesuai dengan
bentuk negara demokratis.
Desain maupun konsep kebebasan beragama yang harus dilakukan Negara
adalah dalam rangka memberikan kewajiban dasar atas tegaknya HAM kepada
setiap manusia. Pembatasan tidak boleh diartikan perlakuan diskriminasi karena
ada hak asasi maupun kewajiban asasi yang lainnya. Liberalisme, Orientalisme
dan faham lainnya harus dikembalikan ke konstitusi sebagai kesepakan bersama
negara Indonesia.
Pola kebebasan yang ditawarkan MK sejatinya relevan apabila melihat ruh
UUD 1945 yang berkaitan dengan pluralisme. Pluralisme merupakan sikap
menghargai kemajemukan masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai
keniscayaan realitas. Oleh karenanya pluralisme seharusnya dijadikan sebuah
ruang nyaman bagi penghormatan terhadap perbedaan sebagai salah satu entitas
mendasar sifat kemanusiaan seorang manusia. Sehinga pluralisme semestinya
diposisikan tidak sebagai ancaman melainkan sebagai kekuatan dalam aktifitas
berbangsa menuju cita-cita dan tujuan negara Indonesia.
UUD 1945 sebagai konstitusi negara, tidak saja merupakan konstitusi politik,
melainkan juga konstitusi sosial dan konstitusi ekonomi. Oleh karenanya, UUD
1945 semestinya menjadi acuan negara dan masyarakat. Bagi negara, konstitusi
adalah kontrak sosial antara penguasa dengan rakyat yang telah memberikan
mandatnya untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga dalam
18

Arsyad Sanusi dalam Lembaran Putusan Mahkamah Konstitusi RI, di akses di
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Mei 2013.

9

membuat peraturan maupun kebijakan, negara memiliki tanggung jawab moral
dan kewajiban untuk menngacu UUD sebagai pijakan yuridis. Melalui putusan
MK yang juga berpijak pada penafsiran Pasal 29 UUD 1945, seharusnya eksekutif
dan legislatif dalam merumuskan UU yang berkaitan dengan kehidupan beragama
komit terhadap perintah putusan MK di atas, yaitu dengan mengedepankan
keadilan subtantif, menjunjung tinggi penghormatan HAM, dan mementingkan
keadilan.
Sementara bagi masyarakat, konstitusi menjadi acuan dalam bertindak dan
bertingkah laku dalam setiap aktifitas bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Konstitusi dalam hal ini adalah pedoman bersama bagi seluruh komponen bangsa
dalam menjalin hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstitusi
mengikat sebagai perdoman bersama karena dibuat berdasarkan kesepakatan
bersama oleh komponen bangsa. Oleh karenanya dalam berinteraksi dikehidupan
multiagama di Indonesia, masyarakat harus jeli melihat ruang-ruang mana yang
wajib dihormati, masyarakat juga harus cerdas dalam memilih dan melaksanakan
aturan yang tidak relevan dengan UUD 1945. Artinya masyarakat jangan hanya
tunduk bunyi dari suatu aturan yang didalamnya cacat dari segi norma maupun
secara filosofinya.
Desain Wilayah Pengaturan Pengaturan Kebebasan Beragama oleh Negara
dan Membangun Mindset Berpikir Pemeluk Agama
Istilah negara sudah dikenal sejak zaman Renaissance, yaitu pada abad ke-15.
Pada masa itu telah mulai digunakan istilah Lo Stato yang berasal dari bahasa
Italia, yang kemudian menjelma menjadi L’etat’ dalam bahasa Perancis, The State
dalam bahasa Inggris atau Deer Staat dalam bahasa Jerman dan De Staat dalam
bahasa Belanda. Ada beberapa pendapat mengenai pengertian negara, seperti
dikemukakan oleh Aristoteles, Roelof Krannenburg, Roger H. Soltau dan J.J.
Rousseau. Aristoteles mendefinisikan Negara sebagai perpaduan beberapa
keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri
sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama. Kemudian
Roelof Krannenburg Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak
dari suatu golongan atau bangsanya sendiri. Sementara Roger H. Soltau
10

memberikan pengertian negara sebagai alat atau wewenang yang mengatur atau
mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.19
Sedangkan apabila dilihat secara umum, maka pengertian negara adalah
diartikan sebagai organisasi tertinggi diantara suatu kelompok masyarakat yang
mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu yang
mempunyai pemerintah yang berdaulat.20 Definisi-defini tersebut akhirnya
mengantarkan

bahwa

salah

satu

kewajiban

Negara

adalah

menjamin

terselenggaranya sistem pemerintahan yang baik, kehIdupan masyarakat yang
adil, rukun, dan damai. Spektrum itu dapat dilakukan Negara dalam berbagai
aspek, salah satunya dalam kehidupan beragama. Negara dalam konteks ini
dituntut untuk menjadi penengah ketika terjadi konflik bermotif agama.
Melalui kewenangan yang dimilikinya, negara berhak untuk mengeluarkan
aturan main untuk menata kehidupan warga negaranya. Bahkan negara juga diberi
mandat melakukan intervensi yang proporsional apabila terjadi keadaan yang
memaksa. Namun berbagai kewenangan prinsip tersebut, seringkali negara agak
kebingungan dalam menjadi „wasit‟ tersebut, terutama dalam merumuskan aturanaturan hukum yang berkaitan langsung dengan kehidupan agama warga
negaranya. Negara seringkali abai terhadap kepentingan minoritas dan menganak
emaskan kepentingan mayoritas dalam bertindak. Munculnya Surat Keputusan
Bersama (SKB) Ahmadiyah beberapa bulan yang lalu, dan absennya negara
dalam melindungi jamaah Syiah di Sampang ditengarai karena negara
(pemerintah) seolah bersikap ambivalen.
Sebagai salah satu solusi terhadap hal tersebut, maka penulis mencoba
mendesain wilayah-wilayah mana saja yang seharusnya diatur oleh pemerintah,
khusunya dalam kehidupan beragama di Indonesia agar berjalan dengan rukun
dan masyarakat dapat memeluk agama secara bebas sesuai dengan keyakinannya.
Dalam United Nation Covenant on Civil and Political Rights yang sudah di
ratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant On Civil And Political Rights disebutkan, aspek yang seharusnya diatur
19

C.S.T. Kansil,. Ilmu Negara (Umum dan Indonesia), (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001),
hlm. 32.
20
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm 61.

11

oleh pemerintah dalam mebatasi kehidupan beragama masyarakatnya semata-mata
perlindungan atas lima hal, yaitu public safety (keselamatan masyarakat), public
order (ketertiban masyarakat), public health (kesehatan masyarakat), public
morals (etika dan moral masyarakat), dan protection of rights and freedom of
others (melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain).

Dengan demikian tujuan utama tindakan penundaan pelaksanaan, pengaturan
atau pembatasan itu adalah untuk menangkal ancaman terhadap keselamatan
manusia atau hak milik mereka.21 Ranah ini menjadi pembenar Negara untuk
mengeluarkan aturan agar kehidupan beragama dapat berjalan tanpa ada konflik.
Artinya bahwa semangat yang dibangun dalam membuat aturan harus didasarkan
pada perlindungan bukan pada desakan maupun intimidasi entitas mayoritas.
Sehingga aturan tersebut mampu berjalan dengan prospektif karena merespon halhal yang sifatnya laten bukan karena atas isu buatan kelompok mayoritas secara
berlebihan.
Secara lebih rinci uraian diatas, dapat di jelaskan aspek-aspek yang harus
dijadikan pegangan negara dalam mengatur kehidupan beragama adalah sebagai
berikut:22
1. Restriction For The Protection of Public Safety (Pembatasan untuk
melindungi keselamatan masyarakat). Dibenarkan pemabatasan dan
larangan terhadap ajaran agama yang membahayakan keselamatana
pemeluknya. Conrohnya, ajaran agama yang ekstrim, mislanya menyuruh
untuk bunuh diri, baik secara individu maupun secara massal.
2. Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan untuk
melindungi
ketertiban
masyarakat).
Pembatasan
kebebasan
memanifestasikan agama dengan maksud menjaga ketertiban umum atau
masyarakat . di anataranya, aturan tentang keharusan mendaftar ke badan
hukum bagi organisasi keagamaan masyarakat, keharusan mendapatkan
ijin untuk melakukan rapat umum, keharusan mendirikan tempat ibadat
hanya pada lokasi yang diperuntukan untuk umum, dan aturan pembatasan
kebebasan menjalankan agama bagi narapidana.
3. Restriction For The Protection of Public Health (Pembatasan untuk
melindungi keshatan masyarakat). Pembatasan yang diijinkan berkaitan
dnegan kesehatan publik dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
21

Siti Musdah Mulia, Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Bearagama , Makalah di
sampaiakan pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap RUU KUHP diselenggarakan
oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 4 Juli 2007, hlm. 3.
22
Ibid, hlm. 12.

12

pemerintah melakukan intervensi guna mencegah epidemi atau [enyakit
lainnya. Pemerintah diwajibkan melakukan vaksinasi, pmerintah dpaat
mewajibkan petani yang bekerja secara harian untuk menjadi anggota
askes guna mencegah penularan penyakit berbahaya, seperti TBC.
Bagaiamana pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama
tertentu yang melarang vaksinasi, transfusi darah, melarang penggunaan
infus dan seterusnya. Demikian pula, misalnya laranagn terhadap ajaran
agama yang mengharuskan penganuntnya berpuasa sepanjang masa karena
dikhawatirkan akan mengancam kesehatan mereka.
4. Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk melindungi
moral masyarakat). Misalnya , melarang implementasi ajaran agama yang
menyuruh penganutnya bertelanjang bulat ketika melakukan ritual.
5. Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and Freedom
of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan kebebasan
orang lain).
a. Proselytism (penyebaran agama). Dengan adanya hukuman terhadap
tindakan Proselytism, pemerintah dapat mencampuri kebabasan
seseorang didalam memanifestasikan agamam mereka melalui
aktifitas-aktfitas misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan
beragama orang lain tidak tertanggu atau dikonversikan.
b. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau
kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang
lain, khususnya hak untuk hidup, hak kebebasan dari kekerasan,
melarang perbudakan, kekejaman dan juga ekspolitasi hak-hak kaum
minoritas.
Apabila komponen di atas dapat dijalankan secara konsisten, maka sangat
mungkin setiap aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat meminimalisir
timbulnya pro-kontra di kalangan masyarakat. Selain karena sudah sesuai dengan
amanh UUD 1945, juga telah diselaraskan dengan instrumen internasional tentang
jaminan politik dan agama bagi individu-individu berakal di Indonesia. sejauh ini,
munculnya protes dari berbagai pihak tidak lain karena muaranya dari pemerintah
yang seolah tidak adil dalam meberikan jaminan kebebasan beragama.
Protes itu didasari atas munculnya berbagai aturan baik ditingkat lokal
maupun nasional yang tidak koheren dengan keadilan masyarakat. Misalnya pada
lingkup nasional, pada bulan Mei 2012 lalu telah disahkan berlakunya Undang
Undang No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Kemudian pada
kisaran Juni 2011 hingga awal 2012, DPR telah melaksanakan serangkaian Rapat
Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait revisi UU No. 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan. Sementara level lokal juga tidak ketinggalan, Pada
13

23 Juli 2012 Gubernut Jawa Timur Soekarwo menerbitkan Peraturan Gubernur
No. 55 tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan
Aliran Sesat di Jawa Timur. Selanjutnya pemerintah Kota Tasikmalaya, Jawa
Barat berencana membentuk satuan Polisi Syariah yang bertindak menegakkan
Peraturan Daerah (Perda) nomor 12 tahun 2009 tentang Tata Nilai Kehidupan
Masyarakat yang Berlandaskan Ajaran Agama Islam.23
Bahkan dilihat dari sisi pelaku, ada 16 institusi negara yang terlibat sebagai
pelaku pelanggaran kebebasan beragama dengan total 166 tindakan. Baik
pelanggaran yag dilakukan secara fisik maupun denga pengeluaran kebijakan
aturan yang menjadi kewenangannya. Data selengkapnya lihat grafik di bawah
ini.

Sumber: Laporan akhir The Wahid Intitute tentang Kebebasan Beragama
dan Intoleransi tahun 2012.

Data di atas sesungguhnya dapat disimpulkan bahwa institusi negara yang
memiliki

kewenangan

untuk

mengeluarkan

aturan,

nampaknya

kurang

memperhatikan dimensi hukum yang berlaku. Akibatnya, negara melangkah
terlalu jauh dan dampak dari aturan tersebut menciderai kebebasan beragama
warga negaranya. Oleh karenanya ke depan negara wajib memperhatikan aspek
fundamen dalam hukum, minimal negara terlebih dulu dapat mengidentifikasi

23

The Wahid Institute, Laporan Akhir Kebebasan Beragama dan Intoleransi 2012 , (Jakarta:
Wahid Institute, 2012), hlm. 19-20.

14

lima hal rambu-rambu diatas untuk dijadikan pedoman sebelum membuat dan
mengesahkan sebuah aturan.
Aspek penting lain yang harus diupayakan dalam mewujudkan kehidupan
beragama yang rukun adalah terletak pada masyarakat sebagai elemen pelaksana
aturan. Setelah negara yang memiliki kewenangan membuat dan mengeluarkan
aturan untuk ditaati oleh warga negaranya. Maka yang tidak kalah penting adalah
terbangunnya paradigma (mindset) masyarakat dalam melihat pluralitas agama.
Pemahaman ini bukan hanya paham terhadap isi suatu aturan tetapi juga
paradigma sikap terhadap adanya pluralisme (keberagaman). Keberagaman
sebagai keniscayaan sudah seharusnya dijadikan respon untuk meluhurkan sikap
toleransi, bukan malah dijadikan antipati terhadap perbedaan yang ujungujungnya kekerasan dijadikan alat menghabisi perbedaan. Oleh karenanya
tumbuhnya mutiagama di Indonesia harus dipersepsikan sebagai fenomena untuk
memupuk kebersamaan.
Idealisme persatuan dalam keberagaman di Indonesia menjadi pudar ketika
antar pemeluk agama memiliki paham sesat menyesatkan. Sehingga konflik
horizontal yang tidak penting antar agama sulit dihindarkan. Tabel dibawah ini
akan menjadi potret bahwa kebebasan beragama belum emndapatkan tempat yang
armonis.
Tahun
2012
2011
2010
2009

Jumlah
278
267
284
121

Naik (%)
3%
10 %
7%

Sumber: Laporan akhir The Wahid Intitute tentang Kebebasan Beragama
dan Intoleransi tahun 2012.

Melihat data diatas, seolah ada yang salah dalam praktek beragama di Indonesia.
kontak fisik antar pemeluk agama seringkali menjadi jalan mencari kebenaran
agama yang dipeluk. Fenomena miris ini sudah selayaknya harus dihindari, cara
cerdas melalui dialog antar agama maupun sejenisnya sudah harus ditradisikan,
sehingga budaya laten main hakim sendiri dapat teredusir dengan cara cerdas
dialog maupun cara lain untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama.
15

A. Mukti Ali menjelaskan ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk
mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu
pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua,
reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam

konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu
agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya
dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran
agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat,
penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang
agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain
agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam
perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling
baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang
dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan
agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.24
Konsep agree in disagreement menurut Mukti Ali dipandang sebagai filosofi
penting, karena sebagai jalan yang harus ditempuh untuk menimbulkan kerukunan
hidup beragama. Orang yang hidup dalam keberagaman agama harus percaya
bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan paling benar, dan
orang lain juga dipersilahkan, bahkan dihargai, untuk percaya dan yakin bahwa
agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar.25 Aspek
ini sesungguhnya menjadi dasar paling urgen dalam menjalani kehidupan didalam
pluralisme agama, melalui konsep ini manusia sesungguhnya diuji intelektualnya
untuk berpikir cerdas dan bijak bagaimana bersikap dalam perbedaan. Dengan
kata lain, konsep ini mengajarkan dalam hidup manusia harus memiliki kerelaan
untuk menerima kenyataan adanya orang

lain yang berbeda. Karena

24

A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Dialog, Dakwah dan Misi , dalam Burhanuddin
Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda ,
(Jakarta : INIS, 1992), hlm. 227-229.
25
A. Mukti Ali, Dialog Between Muslims and Christians in Indonesia and its Problems,
Jurnal Al-Jami’ah, No. 4 Th. XI Djuli 1970, hlm. 55.

16

sesungguhnya perbedaan tidak harus ada permusuhan, mengingat perbedaan
selalu ada di dunia ini, dan perbedaan tidak harus menimbulkan pertentangan.26

Penutup
Sebagai negara yang memiliki pijakan hukum tertinggi berupa UUD 1945,
bahkan sejumlah besar kegiatan manusia juga dilindungi oleh pasal-pasalnya,
termasuk yang berkatian dengan kebebasan beragama, kebebasan berekspresi,
dan kebebasan politik. Ketentuan Pasal 29 UUD 1945 menjadi salah satu
representasi bahwa setiap individu mendapat jaminan kemerdekaan dalam
memeluk agama. Namun Pasal tersebut seolah kehilangan ruhnya ketika negara
(pemerintah) berusaha membuat peraturan organiknya. Berbagai aturan yang
mengkhianati prisnip kebebasan beragama secara kentara dipraktekan oleh negara
setiap tahunnya. Negara seolah kebingungan dalam menafsirkan Pasal 29 UUD
1945 ke dalam UU organiknya.
Kegamanagan itu tidak akan terjadi apabila ia memahami secara
komprehensif maksud dan tafsir atas Pasal 29 UUD 1945 dan instrumen
internasional yang berkaitan dengan kebebasan beragama. Dalam menjawab aspek
tersebut, maka pemerinath dalam membuat sebuah aturan agar tidak menciderai
HAM serta prinsip keadilan harus berpijak pada lima hal, (1). Restriction For The
Protection of Public Safety (Pembatasan untuk melindungi keselamatan

masyarakat); (2). Restriction For The Protection of Public Order (Pembatasan
untuk melindungi ketertiban masyarakat); (3). Restriction For The Protection of
Public Health (Pembatasan untuk melindungi keshatan masyarakat); (4).
Restriction For The Protection of Morals (Pembatasan untuk melindungi moral

masyarakat); (5). Restriction For The Protection of The Fundamental Rights and
Freedom of Others (Pembatasan untuk melindungi kebebasan dasar dan

kebebasan orang lain).
Desain wilayah yang lain agar terwujudnya kedamaian dalam beragama,
adalah terbangunnya paradigma egaliter antar oemeluk agama. Pemeluk agama
26

Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar menuju
Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama , (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), hlm. 23.

17

sudah saatnya memahami bahwa munculnya perbedaan adalah sebuah
keniscayaan yang seharusnya disikapi dengan arif dan bijak. Melalui konsep
agree in disagreement¸ penulis memandang sebagai salah satu paradigma yang

baik untuk diinternalisasi dalam diri pemeluk agama. Transfigurasi terhadap
filososfi agree in disagreement ini yang sesungguhnya dapat dijadikan langkah
awal untuk kehidupan multiagama yang rukun dan damai, serta membebaskan diri
dari belenggu berpikir sesat menyesatkan dan paham hanya satu agama yang
benar (truth claim).

18

Daftar Pustaka
Buku-buku
Bahar, Safroedin dan Hudawati, Nannie, 1998, Risalah Badan Penyelidikan
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretarian Negara
Republik Indonesia.
Daja, Burhanuddin dan Leonard Beck, Herman, 1992, Ilmu Perbandingan agama
di Indonesia dan Belanda , Jakarta: INIS.
Hasyim, Umar, 1979, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam
Sebagai Dasar menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama ,
Surabaya: Bina Ilmu.
Hamidi, Jazim dan Abadi, Husnu, 2001, Intervensi Negara Terhadap Agama,
Yogyakarta: UII Press.
Hazairin, 1973, Demokrasi Pancasila , Jakarta: Tintamas.
Kasim, Ifdhal 2005, Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Jakarta: Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
Kansil, C.S.T, 1981, Ilmu Negara (Umum dan Indonesia), Jakarta: Pradnya
Paramita.
Kholiluddin, Tedi, 2009, Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan,
Diskursus “Agama Resmi’ dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang: Rasail.
Lubis, M. Solly, 1981, Ilmu Negara, Bandung: Penerbit Alumni.
M. Sitompul, Einar, 2004, Agama-agama dan Perjuangan Hak Sipil, Jakarta:
PBHI dan European Union.
Mangkusasmito, Prawoto, 1997, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar
Neagara dan Sebuah Proyeksi, Jakarta: Bulan Bintang.
Ruyandi, 1985, Masalah Kepercayaaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ,
Jakarta: Departemen P dan K Dirjen Kebudayaan Direktorat PPK.
Subagyo, Rachmat, 1995, Kepercayaan dan Agama , Yogyakarta: Kanisius.
Syafi‟i Ma‟arif, Ahmad, 1985, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang
Percaturan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES.
Syadzali, Munawir, 2007, Penegakan HAM dalam Pluralisme Agama (Tinjauan
Konsepsional), Jakarta; Penrbit Universitas Indonesia.
Jurnal, Makalah, Laporan Penelitian, dan Media
A‟la, Abd, Kekerasan Atas Nama Agama, Kompas, 14 Oktober 1999.
Aziz Dahlan, Abdul, 1993, Pengajaran tentang tuhan dan Alam: Paham
Tawhid Ibn‟ Arabi, Jurnal Ulumul Qur’an, Volume IV Nomor 5, Juli 2005.
A, Mukti Ali, 1970, Dialog Between Muslims and Christians in Indonesia and
its Problems, Jurnal Al-Jami’ah, Volume XI Nomor 4, Juli 1970.
19

LembaranaPutusanaMahkamahaKonstitusiaRI,adiaksesadiahttp://www.mahk
amahkonstitusi.go.id, tanggal 08 Mei 2013.
Musdah Mulia, Siti, 2007, “Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Bearagama”,
Makalah di sampaiakan pada acara Konsultasi Publik untuk Advokasi terhadap
RUU KUHP diselenggarakan oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 4
Juli 2007.
S. Awwas, Irfan, “Mengatasi Kekerasan Sosial dan Politik Tanpa
Kriminalisasi Agama”, Makalah disamapakan dalam seminar dan Forum Group
Discussion yang diselenggarakan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman
(FPUB) bekerjasama Center for Islamic Studies UII, Yogyakarta 6 Februari 2011.
Sanusi,
Arsyad,
Kebebasan
Beragama
Di
Jamin Konstitusi,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id, diakses tanggal 08 Mei 2013.
The Wahid Institute, 2012, Laporan Akhir Kebebasan Beragama dan
Intoleransi 2012, Jakarta: Wahid Institute.
Tobroni, Tobroni., 2010, ”Keterlibatan Negara dalam Mengawal Kebebasan
Beragam/Berkeyakinan (Komentar Akademik atas Judicial Review UU No. 1
/PNPS/1965)”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 6, Desember 2010, Jakarta:
Mahakamah Konstitusi.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-undang Dasar 1945.

Biodata Penulis
Ali Ridho, adalah alumni FH UII angkatan 2007 dan sekarang sedang menempuh
program magister hukum di almamater yang sama. Selain aktif sebagai staf kajian
dan pengembangan di Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII, juga aktif
dalam berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Penulis dapat dihubungi
melalui nomor HP 0817462306 atau email: el_ridho28@yahoo.com.

20