Dilema Penanganan Terorisme di Amerika

MAKALAH REVISI
MATA KULIAH INSTITUSI NORMATIF KONTRA-TERORISME

Dilema Penanganan Terorisme di Amerika: Perang Baru,
Torture dan Homeland Security

A.A. Bagus Surya Widya Nugraha (1106145452)
Christian D. Simbolon (1106145673)
Leonardis Gultom (1106145906)
Ni Putu Elvina Suryani (1106146013)

PROGRAM MAGISTER KAJIAN TERORISME DALAM KEAMANAN
INTERNASIONAL
DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS INDONESIA
2012

0

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar belakang
Perang melawan teror sebagai Perang Baru
Sebuah upaya besar yang dilakukan oleh pemerintahan George W. Bush sebagai
respon Amerika Serikat (AS) pasca serangan 9/11 adalah dideklarasikannya “war on terror”,
perang melawan teror. Melalui pidatonya, Bush menyatakan bahwa serangan 9/11 adalah
serangan terorisme dan AS harus membalas dengan melakukan perang melawan teror.1
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa pemerintahan Bush akan melakukan pembalasan
dengan aksi militeristik (perang) dan didukung oleh para representatif dari pejabat
pemerintahan dan komentator politik seperti Henry Kissinger, Lawrence Eagleburger, James
Baker, Jeane Kirkpatrick, dan para penasehat industri militer kompleks yang
mendeskripsikan serangan 9/11 sebagai “act of war” dan membutuhkan pembalasan dengan
tindakan militer.2
Namun perang melawan teror ini tidaklah sama dengan perang dalam arti tradisional.
Fritz Allhoff dalam tulisannya “The War on Terror and the Ethics of Exceptionalism”
menyatakan bahwa perang melawan teror merupakan perang baru yang memiliki
karakteristik fundamental yang berbeda dengan perang tradisional.3 Allhoff dengan mengutip
Neta C. Crawford juga memuat bahwa pasca 9/11, karakteristik perang telah berubah dan kita

harus memperbaharui pendekatan terhadap perang tersebut untuk dapat mempertahankan diri
kita.4
Perang tradisional cenderung dilakukan di medan peperangan. Dalam perang ini,
pembedaan antara kombatan dan non-kombatan jelas. Perang tradisional juga dilakukan
antara aktor-aktor negara dengan rangkaian komando yang transparan, tingkat sentralisasi
yang tinggi, serta upaya politik dan diplomasi yang jelas. 5 Perang merupakan suatu bentuk
kekerasan kemanusian, dan ketika dilakukan oleh aktor negara, melibatkan sejumlah pasukan
yang signifikan, material, persenjataan dan cukup mudah untuk diidentifikasi.6
Namun perlawanan terhadap terorisme kontemporer telah bertentangan dengan semua
karakteristik perang tradisional tersebut. Perang melawan teror tidak dilakukan di medan
perang konvensional, melainkan di daerah tempat tinggal penduduk. Pembedaan antara
kombatan dan non-kombatan juga tidak jelas, setidaknya bagaimana dalam perang melawan
teror, pihak kombatan tidak bisa secara cepat diidentifikasi. Ketidakjelasan ini juga
diakibatkan oleh tindakan warga sipil yang seringkali memberikan dukungan material bagi
1

Statement by the President in His Address to the Nation, 11 September 2001, http://georgewbushwhitehouse.archives.gov/news/releases/2001/09/20010911-16.html, diakses pada tanggal 23 Mei 2012 pukul
05.59 WIB
2
Douglas Kellner, From 9/11 to Terror War: the Dangers of the Bush Legacy, (Oxford: Rowman and Littlefield,

2003) hal. 54
3
Fritz Allhoff, “The War on Terror and the Ethics of Exceptionalism,” Journal of Military Ethics, 8:4, (2009),
265-288, hal. 265-266
4
Neta C. Crawford, “Just War Theory and the US Counterterror War,” Perspectives on Politics, 1(1), (2003), 525 dalam Ibid.
5
Allhoff, Loc. Cit., hal.265
6
Michael Sheehan, “The Changing Character of War,” dalam J. Baylis, S. Smith, dan P. Owens, eds., The
Globalization of the World Politics: An Introduction to International Relations, 4th Edition, (Oxford: Oxford
University Press, 2008), hal. 214

1

teroris yang menjadi kombatan melalui penempatan strategis, komunikasi, dan lain-lain. Di
sisi lain, teroris melakukan aksi terorisme dengan target acak yang korbannya merupakan
warga sipil atau non-kombatan ataupun orang-orang tidak bersalah (innocent people).7 Teroris
juga cenderung diidentifikasi sebagai aktor non-negara sehingga tidak jelas bagaimana
rangkaian komando mereka. Upaya tradisional seperti diplomasi dan intervensi politik

lainnya juga kurang efektif sejauh ini ketika sulit untuk mengetahui siapa yang yang harus
didekati untuk diajak berdiplomasi serta komitmen ideologis kelompok teroris yang juga
menghalangi keberhasilan upaya-upaya tersebut.
Dengan karakteristik terorisme yang berbeda jika dilihat dari kacamata perang, maka
yang selanjutnya menjadi pertimbangan adalah bagaimana taktik untuk melawan teroris
tersebut. Apakah taktiknya juga harus berubah ketika karakteristik aktor yang diperangi tidak
lagi dapat diatur dengan aturan perang tradisional? Jika iya, bagaimana bentuk taktik
tersebut? Bagaimana kemudian menjustifikasi penggunaan taktik tersebut?
AS kemudian memiliki strategi perang melawan teror dan juga Homeland Security AS
untuk menghadapi ancaman-ancaman terorisme yang datang dari luar maupun melindungi
dan menjada warga negara AS dari dalam. Permasalahannya kemudian adalah strategi perang
melawan teror tersebut mencakup tindakan-tindakan yang bertentangan baik dengan aturan
legal dan norma internasional maupun dengan nilai liberal dan moralitas demokrasi.
Beberapa tindakan yang termasuk dalam perang melawan teror tersebut meliputi status
prisoner of war (POW) yang terkait dengan perlakuan-perlakuan bagi pihak yang diduga
teroris dalam penahanan, torture (penyiksaan) serta assassination atau targeted killing
(pembunuhan berencana).8 Dalam makalah ini, tindakan-tindakan inilah yang dalam
pembahasan selanjutnya menjadi sumber dilema bagi penanganan terorisme di AS. Makalah
juga akan membahas Homeland Security AS sebagai upaya selain perang melawan teror
untuk melindungi warga negara AS yang juga memiliki beberapa aspek yang diperdebatkan

terkait dengan perlindungan terhap HAM. Melalui pembahasan topik-topik tersebut, makalah
ini kemudian bertujuan untuk menguraikan bagaimana upaya AS untuk melindungi warga
7

Target dari aksi terorisme dihubungkan dengan berbagai istilah. Pengistilahan non-kombatan sebagai pihak
korban aksi serang terorisme salah satunya didefinisikan oleh US Department of State yang mendefinisikan
terorisme sebagai “kekerasan direncanakan, bermotif politis yang menarget non-kombatan oleh kelompok subnasional atau kelompok rahasia yang biasanya bermaksud untuk mempengaruhi audiens tertentu.” Definisi lain
yang lebih spesifik dan juga menggunakan istilah non-kombatan dihasilkan oleh revisi konsensus akademik
terhadap definisi terorisme (the revised academic consensus definition of terrorism/Rev. ACDT 2011) yang
mendefinisikan terorisme dalam dua hal, yakni sebagai doktrin mengenai suatu bentuk tindakan atau taktik
kekerasan politik koersif untuk meningkatkan ketakutan yang dianggap efektif, serta sebagai praktek
konspirasional dari aksi kekerasan langsung, demonstratif dan terkalkulasi tanpa batasan legal ataupun moral,
utamanya menarget warga sipil dan non-kombatan, yang ditampilkan untuk efek propaganda dan psikologis
terhadap variasi audiens dan pihak yang berkonflik. Menurut C.A.J. Coady, pengistilahan non-kombatan juga
digunakan untuk menghubungkan terorisme dengan teori just war. Sedangkan pengistilahan warga sipil atau
civilian sebagai korban digunakan salah satunya oleh Fritz Allhoff. Istilah innocent people juga digunakan oleh
Coady dalam membandingkan antara pengistilahan non-kombatan dengan orang-orang tidak bersalah sebagai
korban dari aksi terorisme. Selengkapnya dalam Allhoff, Loc. Cit., hal. 266; Joshua Sinai, ‘New Trends in
Terrorism Studies: Strengths and Weakness’, dalam Magnus Ranstorp, Mapping Terrorism Research: State of
the Art, Gaps, and Future Direction, (New York: Routledge,2007), hal.33; Alex P. Schmid, The Routledge

Handbook of Terrorism Research, (London, New York:Routledge, 2011), hal. 86; C.A.J. Coady, “Terrorism,
Morality, and Supreme Emergence,” Ethics, Vol. 114, No. 4, Symposium on Terrorism, War, and Justice (2004),
772-789, hal. 774-775
8
Fritz Allhoff menyebutkan tiga tindakan: penyiksaan, pembunuhan berencana dan status POW sebagai praktek
yang endemik dalam pelaksanaan perang melawan teror oleh AS. Selengkapnya dalam Allhoff, Loc. Cit.

2

negaranya dengan perang melawan teror dan juga Homeland Security justru menimbulkan
dilema legal, moral dan nilai-nilai demokrasi liberal yang menjadi basis fundamental bagi
negara demokratis liberal seperti AS.
1. 2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini selanjutnya ingin menjawab
pertanyaan sebagai berikut: “Bagaimana dilema penanganan terorisme yang dihadapi di
Amerika? Tindakan-tindakan seperti apakah yang menyebabkan dilema tersebut?”
1.3


Kerangka Teori
Makalah ini akan menggunakan dua teori sebagai dasar untuk melihat pelaksanaan
perang melawan teror di AS. Teori-teori tersebut adalah teori just war dan eksepsionalisme
(exceptionalism). Just war adalah teori mengenai perang yang dapat diaplikasikan untuk
melihat justifikasi perang melawan teror, sedangkan eksepsionalisme adalah cara yang
digunakan AS sebagai basis untuk menjustifikasi tindakan-tindakannya dalam perang
melawan teror.
Just war dan Eksepsionalisme
Agresi dalam bentuk peperangan kontradiktif dengan nilai-nilai yang dipegang teguh
oleh peradaban manusia. Perang mengancam hak-hak untuk hidup, hak atas keamanan,
kedamaian dan kebebasan. Namun, menurut teori just war, perang dapat dibenarkan secara
moral di bawah kondisi tertentu. St Agustne, salah satu pemikir teori just war, melihat perang
sebagai kejahatan yang perlu dilakukan untuk menciptakan perdamaian. Karena pada
hakekatnya perang ialah hal yang jahat, maka perlu ada upaya-upaya moral yang dilakukan
untuk membatasi kemungkinan meluasnya aksi kejahatan yang cenderung muncul saat
perang.9
Teori just war terbagi menjadi tiga: just ad bellum—keadilan untuk menyatakan
perang, just in bello yang berarti keadilan dalam perang dan just post bellum atau keadilan
pada akhir perang. Dalam just ad bellum, ada enam kriteria yang harus dipenuhi agar perang
menjadi adil. Tiga kriteria pertama sifatnya ontologis sementara tiga lainnya didasarkan pada

tujuan untuk mencapai hasil terbaik. Pertama, perang harus berdasar keadilan (just cause),
misalnya perang merupakan upaya mempertahankan diri dari agresi, melindungi orang-orang
tidak berdosa dari rezim yang agresif, atau bentuk hukuman terhadap agresi di masa lalu.
Kedua, niat untuk berperang harus berada dalam ranah just cause. Alasan lain seperti upaya
memperoleh keuntungan material, tidak dapat dibenarkan. Ketiga, keputusan untuk berperang
harus dibuat oleh pihak yang memiliki otoritas dan dideklarasikan secara publik. Keempat,
deklarasi tersebut harus merupakan pilihan terakhir, dipilih karena alternatif resolusi konflik
lainnya tidak dapat dipakai. Kelima, deklarasi perang dikatakan pilihan yang adil jika negara
dapat memastikan bahwa pilihan ini memiliki kemungkinan sukses yang besar. Kekerasan
tanpa probabilitas semacam ini tidak dapat dibenarkan. Terakhir, respons dalam
mendeklarasikan perang harus proporsional, misalnya keuntungan yang diperoleh lewat
9

Martin Wight, International Theory: The Three Traditions (London: Leicester University Press, 1996), hal.
206-207

3

perang harus melebihi ‘kejahatan’ (evil) yang mungkin muncul. Hasil yang diperoleh harus
dapat menjustifikasi ‘alat’ yang dipakai.10

Adapun, jus in bello umumnya meliputi bentuk-bentuk perlakuan terhadap musuh.
Ada enam aturan dalam just in bello: (1) Senjata yang dilarang oleh hukum internasional
tidak boleh dipakai; (2) Ada pembedaan antara combatant dan non-combatant. Hanya
combatant yang boleh menjadi target dan upaya membunuh non-combatant adalah salah; (3)
Pasukan bersenjata yang dikerahkan harus proporsional; (4) Tahanan perang harus
diperlakukan dengan baik karena setelah tertangkap mereka tidak lagi menjadi ancaman bagi
keamanan; (5) Tidak ada senjata atau alat yang ‘jahat di dalam dirinya sendiri’ (evil in
themselves) diperbolehkan untuk dipakai, misalnya pembersihan etnis dan perkosaan masal;
serta (6) Pasukan bersenjata tidak dibenarkan melanggar aturan-aturan tersebut kendati
dimaksudkan sebagai respons terhadap musuh yang melanggar.11
Sejumlah aturan juga melandasi just post bellum. Pertama, hak-hak mereka yang
pelanggarannya dapat dibenarkan harus dikembalikan. Kedua, sebagaimana perang harus
dideklarasikan kepada publik oleh otoritas yang layak, begitu pula akhir perang. Ketiga,
seperti halnya proporsionalitas menjadi aturan dalam jus ad bellum dan jus in bello, begitu
juga pada saat menyusun ketetapan dalam persyaratan. Terakhir, diskriminasi antara
combatant dan non-combatant tetap berlaku saat menjatuhkan hukuman. Peradilan
international untuk kejahatan perang harus dilaksanakan secara terbuka.12
Sebagai tambahan, tradisi just war sering berseberangan dengan dua perspektif lainnya,
yakni pasifime dan realisme politik, yang menekankan pembedaan antara just war dan unjust
war. Pasifisme menganggap perang tidak pernah dapat dibenarkan sementara realisme

mengatakan bahwa konsep-konsep moral tidak dapat diaplikasikan terhadap pertanyaanpertanyaan tentang perang atau kebijakan luar negeri secara umum. Bagi kelompok pasifis,
perang yang berarti membunuh dan menghilangkan nyawa manusia secara inheren salah.
Oleh karena itu, semua perang itu tidak dapat dibenarkan. Pandangan ini terutama dipegang
oleh kelompok pasifis moral. Namun, kelompok abolitionism misalnya, menekankan bahwa
perang itu salah namun tidak sepenuhnya menolak prinsip-prinsip pertempuran dan kelompok
pasifis ‘non-violent, di sisi lain, menekankan resistensi pasif terhadap agresi sebagai alternatif
dari penggunaan pasukan bersenjata. Seperti pasifisme, realisme politik juga terdiri dari
beberapa kelompok: moral skepticism, meyakini bahwa perang berada di luar alam penilaian
moral. Reason of state, pandangan bahwa perang merupakan instrument dari kebijakan
nasional yang mengimplikasikan keyakinan terhadap penggunaan pasukan bersenjata, jika
digunakan secara benar. Keputusan untuk berperang harus didasarkan pada kebijaksanaan,
bukan oleh moralitas.13
Tradisi just war sendiri berada di antara ranah pasifisme dan realisme politik. Namun,
tidak seperti pasifisme, pada prinsipnya, tradisi ini tidak menolak penggunaan perangkat
militer atau menyangkal keefektifannya. Berbeda dengan realisme politik, tradisi ini juga
tidak melepaskan perang dari yurisdiksi moral dan hukum. Keputusan untuk menggunakan
10

Lihat Michael Lawcening. “Just War Theory,” (New York : Routledge, 2010)
Ibid.

12
Ibid.
13
Lihat Terry Nardin, “The Ethics of War and Peace: Religious and Secular Perspective”, (New Jersey:
Princeton University Press, 1996)
11

4

senjata harus didasarkan pertimbangan moral dan kebijaksanaan. Kepentingan nasional
semata tidak dapat dijadikan pledoi atas kapan dan bagaimana sebuah negara berperang. Ada
penggunaan kekuatan bersenjata yang dapat dibenarkan atau tidak dapat dibenarkan, begitu
juga ada just war dan unjust war.
Just war, lazim dipakai sebagai etika dalam perang konvensional. Namun, pada era
kontemporer yang ditandai dengan perang-perang asimetrik, aturan-aturan dalam just war
sulit untuk diaplikasikan. Dalam kerangka perang melawan teror misalnya, karakteristik
berbeda muncul. Dalam perang semacam ini, para ahli berpendapat, aturan berbeda, baik
secara moral maupun legal, harus diaplikasikan. Pada era ini, menurut Fritz Allhoff,
setidaknya ada tiga jenis praktek-praktek yang menjadi pandemi: penyiksaan, pembunuhan
dan status kombatan musuh. Ketiganya merupakan eksepsi terhadap norma-norma tradisional
dalam perang.14
Eksepsionalisme sendiri berarti sebagai persepsi bahwa sebuah negara, institusi,
masyarakat, gerakan atau periode tertentu merupakan pengecualian sehingga tidak perlu
sejalan dengan aturan-aturan normal atau prinsip-prinsip umum yang berkembang. Menurut
Allhoff, sejak tragedi 11 September, sejumlah norma yang diakui secara universal dilanggar,
khususnya oleh AS dalam kerangka global war on teror (GWOT). Di bawah wacana
eksepsionalisme, serangkaian tindakan yang melanggar hukum-hukum internasional
dilakukan, semisal penahanan tanpa peradilan atau penangkapan yang sewenang-wenang,
pengesampingan hak asasi manusia, penyiksaan dan pengekangan kebebasan sipil. Para
tersangka teroris yang tertangkap pun kerap tidak diberikan status tahanan perang sehingga
hak mereka tidak terlindungi oleh hukum perang yang berlaku secara universal. 15 Selain itu,
dalam menginterogasi para tahanan, agen-agen CIA pun kerap menggunakan teknik
penyiksaan seperti water boarding, sensory deprivation, sleep deprivation dan stress
positions—teknik-teknik yang sebelumnya sering disebut kejahatan perang.16
Robert G. Patman mengatakan, eksepsionalisme merupakan bentuk internasionalisme
khusus AS semasa pemerintahan George W Bush. Tren ini terutama berpuncak pada tindakan
AS yang mengindahkan otoritas Dewan Keamanan PBB dan memimpin invasi ke Irak pada
Maret 2003. Namun demikian, menurut Patman, eksepsionalisme AS, dalam berbagai bentuk
pelanggaran terhadap hukum internasional, dapat menghalangi upaya-upaya efektif
mengeksekusi perang terhadap teror. Dalam GWOT, AS memerlukan dukungan internasional
dan menggeser garis eksepsionalisme sehingga menjadi lebih inklusif.17

BAB II
PEMBAHASAN
Pada bagian ini, pembahasan akan dimulai dengan bagian dilema penanganan
terorisme AS terkait pelaksanaan perang melawan teror. Dalam bagian ini akan dijelaskan
14

Allhoff, Loc. Cit.
Ibid., hal. 266.
16
Lihat Scott Shane dkk., Secret U.S. Endorsement of Severe Interrogations, N.Y. TIMES, Oct. 4, 2007, at A1.
17
Robert G. Patman,“Globalisation, the New US Exceptionalism and the War on Terror”, Third World
Quarterly, Vol. 27, No. 6, (Taylor and Francis, 2006), hal. 963.
15

5

mengenai status tahanan teroris dalam konteks perang melawan teror sebagai perang baru,
torture atau penyiksaan, serta tindakan lain dalam perang melawan teror yang memiliki
dilema legal dalam konteks perang baru, yaitu pembunuhan berencana. Bagian selanjutnya
dari pembahasan adalah ulasan mengenai Homeland Security AS dengan rincian
pembentukan Department of Homeland Security (DHS) di AS, beberapa regulasi menyangkut
pencegahan dan penanganan terorisme dalam komposisi Homeland Security dan dilema
HAM yang muncul dari regulasi tersebut. Pembahasan kemudian ditutup dengan penyajian
contoh-contoh kasus penindakan terhadap ancaman teroris oleh AS.
2.1
Dilema Penanganan Terorisme di Amerika: Perang Baru, Torture dan
Assasination
Setelah mengulas perang melawan teror sebagai perang baru saat ini pada bagian
sebelumnya, pembahasan makalah ini akan dilanjutkan dengan uraian mengenai dilema yang
dihadapi AS dalam menangani terorisme. Permasalahannya kemudian, upaya yang dilakukan
untuk menangani terorisme tersebut menjadi dilematis saat berbenturan dengan aturan legal,
moral serta nilai-nilai demokrasi dan HAM. Berikut ini akan dijelaskan mengenai bagaimana
torture atau penyiksaan menjadi tindakan yang banyak diperdebatkan legitimasinya dalam
penanganan terorisme. Bagian ini juga akan membahas tindakan lain dalam perang melawan
teror yang memiliki dilema legal dalam konteks perang baru, yaitu pembunuhan berencana.
Namun sebelumnya, uraian mengenai status tahanan teroris dalam konteks perang melawan
teror sebagai perang baru akan diberikan di awal bagian.
2.1.1 Perang Melawan Teror dan Status Prisoner of War (POW)
Permasalahan terkait dengan status ini muncul ketika perang melawan teror
dihubungkan dengan teori just war. Dalam teori ini, identifikasi mengenai kombatan dan nonkombatan menjadi salah satu poin penting dalam berlangsungnya sebuah perang. Namun
dalam perang melawan teror, identifikasi tersebut menjadi kabur karena terorisme sendiri
merupakan fenomena yang kompleks dengan pelaku-pelakunya yang tidak memiliki identitas
jelas apakah akan diperlakukan sebagai kombatan ataukah non-kombatan. Hal ini
berimplikasi pada perlakuan terhadap teroris jika mereka tertangkap, yaitu apakah mereka
akan diperlakukan sebagai tahanan perang (kombatan) ataukah sebagai kriminal (nonkombatan).
AS seperti yang telah diketahui mengadopsi doktrin perang melawan teror untuk
menghadapi terorisme. Adopsi kebijakan untuk menghadapi terorisme secara militeristik ini
menegaskan bahwa bagi AS, hukum yang berlaku untuk menindak teroris adalah hukum
perang, dan dengan demikian, memperlakukan teroris sebagai kombatan. Kemudian ketika
kombatan tertangkap, mereka akan tetap memiliki hak legal berupa status sebagai tahanan
perang atau Prisoner of War (POW).18 Dengan status POW, maka teroris sebagai kombatan
tidak boleh diinterogasi, harus diperlakukan manusiawi dan akan dipulangkan ke negara asal
ketika konflik berakhir.19
Namun bagi AS, status ini tidak berlaku. Fasilitas tahanan seperti Abu Ghraib dan
Guantánamo dianggap telah gagal untuk memenuhi aturan POW terhadap para teroris yang
18

Jeff McMahan, “War, Terrorism and War on Terror,” dalam Chris Miller, ed., ‘War on terror’: The Oxford
Amnesty Lectures 2006 , (Manchester dan New York: Manchester University Press, 2009), hal. 167
19
Ibid.

6

ditahan di sana.20 Torture (penyiksaan, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya) yang
dilakukan misalnya di Abu Ghraib, telah bertentangan dengan hak yang seharusnya dimiliki
seorang tahanan dalam status POW.
Dalam kasus ini, AS di bawah pemerintahan Bush menjustifikasi adanya tindakan
tersebut dengan mengkategorikan teroris sebagai “enemy combatans.”21 Teroris dianggap
tidak patuh terhadap hukum perang (unlawful combatans) dan karenanya, tahanan teroris
tidak seharusnya mendapatkan hak kemanusiaan ketika mereka mengabaikan hak
kemanusian pihak lain (yang dikorbankan dalam aksi terorisme).22 Sebagai enemy combatans,
tahanan teroris tidak memiliki hak-hak, dan jika iya, hak tersebut akan sangat terbatas. 23
Batasan dalam POW seperti tidak diijinkannya interogasi dapat diabaikan oleh AS dan
melalui interogasi tersebut, AS dapat menggali informasi intelejen dari tahanan teroris
tersebut untuk memenangkan perang melawan terorisme.24 Yang lebih kontroversial adalah
para tahanan teroris tersebut dapat ditahan selama waktu yang tidak ditentukan tanpa
pengadilan dan memiliki sedikit hak untuk melawan tindakan kekerasan saat interogasi.25
Tindakan pengecualian AS dalam mengkategorikan status tahanan teroris maupun
tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap tahanan teroris ini termasuk dalam
eksepsionalisme AS untuk melaksanakan perang melawan teror. Dengan menganggap bahwa
teroris bukanlah aktor yang patuh terhadap hukum internasional AS membuat perkecualian
untuk status tahanan teroris. Tindakan AS ini telah menantang norma-norma yang sudah ada,
seperti The Third Geneva Convention (1949) yang mengatur tentang apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan terhadap kombatan melalui status POW.26 Selain itu, perlakuan yang
kemudian diberikan terhadap tahanan teroris juga memberikan implikasi legal dan moral,
khususnya terkait dengan hak-hak sipil dan HAM, salah satunya seperti penyiksaan.
2.1.2 Legitimasi Torture (penyiksaan) dalam Interogasi Tahanan Kasus Terorisme
Informasi merupakan suatu hal yang penting dalam perang melawan terorisme, namun
permasalahan yang kemudian muncul adalah bagaimana informasi tersebut diperoleh. Dalam
perang melawan terorisme mencegah aksi teror merupakan suatu hal utama yang harus
dilakukan. Sehingga mendapatkan informasi yang tepat merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi. Dengan melihat dampak yang terjadi akibat serangan terorisme maka kita dapat
memberikan kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok teroris telah melanggar
hak asasi para korban. Dari kesimpulan ini kemudian muncul pertanyaan apakah kita harus
menjaga hak asasi yang dimiliki oleh anggota kelompok teroris? Perdebatan inilah yang
kemudian terus-menerus muncul dalam pembahasan mengenai penggunaan kekerasan atau
penyiksaan dalam proses mendapatkan informasi dari para anggota teroris yang tertangkap.
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh kelompok terorislah yang kemudian memberikan
mereka label teroris, namun bagaimana dengan negara yang melakukan tindakan penyiksaan
20

Allhoff, Loc. Cit., hal. 268
McMahan, Op. Cit.
22
Larry May, “Humanity, Prisoners of War, and Torture,” dalam Steven P. Lee, Intervention, Terrorism, and
Torture: Contemporary Challenges to Just War Theory, (Dordrecht: Springer, 2007), hal. 221
23
Thomas Michael McDonnell, The United States, International Law, and the Struggle against Terrorism, (New
York: Routledge, 2010), hal. 52
24
Pernyataan dari mantan komando di Guantanamo, Mayor Jenderal Geoffrey Miller, dalam Allhoff, Loc. Cit.,
hal. 269
25
McMahan, Op. Cit., hal. 169
26
Allhoff, Loc. Cit., hal. 268
21

7

terhadap anggota kelompok teroris dalam usahanya untuk memperoleh informasi dan
mencegah aksi teror dapat juga dikategorikan sebagai aksi teror oleh negara? Contoh kasus
penggunaan kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh negara dapat kita lihat dalam
kasus Penjara Abu Ghraib ketika publikasi mengenai tindakan penyiksaan di fasilitas penjara
tersebut tersebar di media pada April 2004.27 Akankah tindakan penyiksaan yang dilakukan
dapat dibenarkan karena alasan untuk menyelamatkan lebih banyak orang? Ketika kita
melihat suatu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh negara dalam usahanya melakukan
pemberantasan terorisme justru hal ini sangat bertentangan dengan HAM. Kekerasan dan
penyiksaan yang dilakukan hanya akan memperburuk situasi yang ada sehingga aksi teror
akan lebih banyak terjadi lagi. Namun muncul pendapat lain yang menganggap bahwa
kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan terhadap anggota kelompok teroris yang ditangkap
dapat men-deter anggota kelompok yang lain. Sehingga memaksa mereka untuk tidak lagi
melakukan aksi-aksi teror.
Sejak peristiwa 9/11 perdebatan mengenai penyiksaan dan terorisme menjadi sebuah
topik yang sering dibicarakan. Hal ini juga terjadi di Amerika Serikat yang mengalami dilema
ketika sebuah negara dengan paham liberalisme harus berhadapan dengan cara-cara yang
menggunakan kekerasan dan penyiksaan dalam strategi Global War on Terror (GWOT). Hal
ini menjadi perdebatan karena cara-cara perang melawan teror yang meliputi kekerasan
terhadap non-kombatan dan penyiksaan terhadap teroris yang bertujuan untuk mendapatkan
informasi dalam usaha mencegah aksi terorisme menjadi suatu hal yang bertentangan dengan
nilai-nilai moral yang ada.28 Namun ketika resiko yang dipertaruhkan sangat tinggi maka
penggunaan penyiksaan dapat dibenarkan.29 Dengan kata lain pelanggaran HAM terhadap
seseorang dapat dibenarkan ketika bertujuan untuk menyelamatkan HAM yang lebih banyak.
Namun penyiksaan dapat dilakukan ketika “itu” benar-benar memiliki manfaat demi
keselamatan hidup banyak orang. Dan terdapat dua persyaratan utama yang harus dipenuhi
untuk dapat melakukan penyiksaan yang dimaksud. Pertama, dibutuhkan suatu kejelasan
bahwa penyiksaan yang dilakukan memiliki tujuan untuk memperoleh informasi yang
nantinya dapat digunakan untuk menyelamatkan nyawa banyak orang. Kedua, sebelum
melakukan penyiksaan perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa individu yang menerima
interogasi dengan penyiksaan memang memiliki dan mengetahui informasi yang dimaksud.30
Namun permasalahan pembenaran dari penggunaan penyiksaan dengan tujuan untuk
menyelamatkan lebih banyak nyawa manusia kemudian menimbulkan pertanyaan
“bagaimana mengkategorikan jumlah nyawa yang dapat diselamatkan sehingga dapat
membenarkan penyiksaan?”
Dalam dilema penggunaan penyiksaan dalam interogasi juga mempermasalahkan
cara-cara penyiksaan apa saja yang dibenarkan untuk dilakukan? Adakah hubungan antara
terorisme dengan penyiksaan yang digunakan dalam interogasi? Cara-cara penyiksaan telah
digunakan jauh sebelum kasus 9/11 terjadi. Di Israel penggunaan cara-cara ini telah
dilakukan terhadap teroris (Pejuang Palestina) yang tertangkap untuk memperoleh informasi
27

May, Op. Cit., hal. 227
Werner G. K. Stritzke and Stephan Lewandowsky, “The Terrorism-Torture Link: When Evil Begets Evil”,
dalam Werner G. K. Stritzke, dkk, eds., Terrorism and Torture, (Cambridge, 2009), hal. 19
29
Ibid., hal. 20
30
Ibid.
28

8

mengenai aksi dan keberadaan orang-orang penting dari kelompok teroris. Cara ini juga
dibenarkan karena terdapat beberapa kasus interogasi penyiksaan yang dianggap berhasil
dalam mencegah aksi-aksi besar dari kelompok teroris. Penyiksaan dianggap sebagai suatu
hal yang sama seperti yang terjadi dalam peperangan. Membunuh dalam situasi perang
adalah suatu hal yang dibenarkan. Jadi penyiksaan dalam konteks perang dapat dibenarkan
untuk mengalahkan pihak musuh dan menyelamatkan lebih banyak nyawa, sehingga
kematian di medan perang atau yang disebabkan karena penyiksaan adalah hal yang sama.31
Efektifitas dalam penggunaan penyiksaan juga dibuktikan oleh Pemerintah Filipina dalam
memperoleh informasi dari teroris yang ditahan mengenai rencana mereka untuk meledakkan
sebelas pesawat di kawasan pasifik.32 Jadi hal inilah yang kemudian mendorong dibentuknya
sebuah regulasi yang dapat melegalkan atau membenarkan penggunaan penyiksaan terhadap
teroris yang tertangkap. Banyak juga kalangan yang kemudian menganggap bahwa
penggunaan cara penyiksaan merupakan salah satu cara terbaik dalam mengatasi terorisme.
Ketika kita melihat penjelasan mengenai terorisme dan penyiksaan maka kita dapat melihat
terdapat hubungan diantara keduanya. Hubungan antara terorisme dan penyiksaan adalah
keduanya sama-sama mencederai imunitas yang dimiliki oleh aktor non-kombatan.
Penyiksaan adalah suatu hal yang tidak dapat dibenarkan secara moral karena
penggunaan cara-cara penyiksaan bertentangan dengan deklarasi hak asasi manusia. Artikel
ke-5 dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948) menyebutkan “no one shall be subjected to
torture or to cruel, inhuman or degrading treatment of punishment”.33 PBB juga
menyuarakan hal yang sama mengenai penyiksaan dan penggunaan kekerasan melalui
”Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or
Punishment” tahun 1948 yang juga ditandatangani oleh Amerika Serikat.34 Larangan
penggunaan penyiksaan juga tertuang didalam perjanjian Hak Asasi Manusia yang berskala
regional seperti Afrika, Amerika dan Eropa. Penyiksaan yang dimaksudkan bukan hanya
penyiksaan terhadap fisik seseorang akan tetapi juga penyiksaan terhadap psikologis. 35
Penyikasaan secara psikologis merupakan suatu bentuk penyiksaan yang merendahkan harga
diri seseorang dengan menyerang ras, agama dan jenis kelamin yang dimiliki korban
sehingga muncul rasa dipermalukan dan direndahkan. Secara moral penyiksaan dengan
alasan apapun tetap saja bertentangan dengan nilai-nilai yang ada terutama nilai liberal
demokrasi. Jadi ketika perang melawan terorisme adalah sebuah bentuk untuk
mempertahankan nilai-nilai liberal demokrasi yang terancam oleh tindakan terorisme maka
seharusnya penggunaan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada juga
seharusnya tidak dilakukan. Karena apabila pelanggaran terhadap nilai-nilai liberal demokrasi
dengan tujuan untuk memberantas terorisme maka sama saja nilai-nilai tersebut akan
terancam.
Dengan melihat apa yang telah terjadi diakibatkan oleh serangan teror, maka
pemerintah seharusnya dapat berusaha untuk mencegah hal tersebut terjadi kembali.
Serangan teror yang terjadi merupakan ancaman keamanan bagi setiap individu yang ada di
31

Ibid., hal. 24
Ibid., hal. 25
33
Ibid., hal. 30
34
Ibid.
35
Tamara Meisers, ”Torturing Terrorist”, dalam The Trouble With Terror: Liberty, Security, and The Respons of
Terror, (Cambridge, 2008), hal. 187
32

9

dunia. Ancaman yang terjadi diakibatkan oleh perang tradisional mungkin hanya berdampak
pada aktor kombatan namun serangan teror berakibat pada aktor kombatan dan nonkombatan. Dan juga serangan ini biasanya diarahkan ke tempat-tempat umum yang bisa
menyedot lebih banyak perhatian media dan publik. Ketika terjadi penangkapan terhadap
salah satu anggota kelompok teroris yang dianggap memiliki informasi yang dapat digunakan
untuk mencegah aksi teror maka cara apapun dapat ditempuh untuk mendapatkan informasi
tersebut. Dalam sebuah proses interogasi memang terdapat kendala bahwa teroris yang
tertangkap akan lebih baik mati daripada membocorkan rahasia kelompok. Inilah kemudian
yang menyulitkan untuk memperoleh informasi dari seorang anggota teroris yang tertangkap.
Cara yang paling mungkin adalah dengan melakukan penyiksaan atau memberikan ancaman
terhadap keluarga yang dimiliki. Disinilah muncul dilema terhadap cara yang digunakan.
Ketika kita memilih untuk melakukan cara penyiksaan maka sudah pasti hal tersebut akan
bertentangan dengan nilai moral yang ada. Namun apabila hal tersebut tidak dilakukan maka
akan lebih banyak korban dari aksi teror yang terjadi.
Penyiksaan tidak dapat dibenarkan juga karena hal ini dianggap sebagai “bom waktu”.
Dari penyebab aksi teror yang ada menurut Tore Bjorgo terdapat empat penyebab munculnya
terorisme :36
Faktor penyebab struktural, yaitu faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat di tingkat makro (abstrak), yang kemungkinan tidak disadari.
Beberapa faktor struktural yang dikemukakan Bjorgo antara lain ketidakseimbangan
demografik, globalisasi, modernisasi yang sangat cepat, transisi masyarakat, meningkatnya
individualisme dan ketercerabutan dari akar serta keterasingan dalam masyarakat (atomisasi),
struktur kelas, dsb.
Faktor penyebab fasilitator (akselerator), yaitu faktor-faktor yang menyebabkan
terorisme menjadi pilihan menarik untuk dilakukan, meskipun bukan pendorong utama
terjadinya terorisme. Contoh-contoh penyebab di level ini antara lain perkembangan media
massa di era modern, perkembangan transportasi, teknologi persenjataan, lemahnya kontrol
negara atas wilayahnya, dsb.
Faktor penyebab motivasional, yaitu ketidakpuasan aktual (grievances) yang dialami
di tingkat personal, yang memotivasi seseorang untuk bertindak. Para ideolog atau pemimpin
politik mampu menerjemahkan penyebab-penyebab di level struktural dan membuatnya
relevan di tingkat motivasional sehingga dapat menggerakan orang-orang untuk bergerak.
Faktor pemicu, yaitu penyebab langsung terjadinya tindak teroris. Faktor pemicu
dapat berupa terjadinya peristiwa yang provokatif atau persitiwa politik tertentu atau tindakan
yang dilakukan oleh pihak musuh yang menimbulkan reaksi tertentu,
Dari keempat faktor yang ada penyiksaan dapat menjadi faktor pemicu untuk
munculnya aksi-aksi teror. Hal ini dapat terjadi karena pada saat terjadi penyiksaan bukan
saja fisik dan harga diri dari individu yang disiksa saja yang merasa diperlakukan tidak adil
akan tetapi semua individu-individu yang memiliki identitas yang sama pasti akan merasakan
hal yang sama. Sebagai salah satu contoh adalah bagaimana penyiksaan yang teradi di
Penjara Abu Ghraib Irak memicu kemarahan kelompok-kelompok Islam yang ada sehingga
aksi-aksi teror terus berlangsung di Irak. Inilah kenapa dikatakan bahwa penyiksaan
36

Artanti Wardhani, “Pengantar: Akar permaslahan terorisme di Indonesia”, dalam Modul Pengajaran Mata
Kuliah Terorisme di Indonesia (Universitas Indonesia, 2011), hal. 5

10

merupakan salah satu cara yang hanya akan memperburuk kondisi yang ada. Permasalahan
dilema penggunaan cara penyiksaan dalam interogasi yang dianggap bertentangan dengan
nilai-nilai moral adalah suatu yang utopia. Pada dasarnya nilai-nilai moral yang kita miliki
tidak akan dapat konsisten ketika dihadapkan pada situasi-situasi tertentu sehingga
pemahaman terhadap moralitas yang absolut akan sangat sulit untuk dapat diwujudkan dalam
penanganan fenomena terorisme.
2.1.3 Assasination: Dilema legal dan demokratis bagi AS
Selain penyiksaan yang dilematis dari sisi moral maupun aturan hukum internasional,
dilema penanganan terorisme AS juga muncul dalam tindakan-tindakan yang terkait dengan
perang melawan teror sebagai perang baru. Salah satu tindakan yang menonjol sebagai
sumber perdebatan adalah assassination atau targeted killing (pembunuhan berencana).
Pembunuhan berencana didefinisikan sebagai penggunaan aksi kekerasan mematikan
terhadap subyek hukum internasional dengan intensi, perencanaan serta tujuan untuk
membunuh orang-orang yang ditarget secara individual yang tidak sedang dalam penahanan
oleh pihak-pihak yang menarget mereka.37 Dalam perang melawan teror, operasi pembunuhan
berencana dilakukan dengan menarget individu-individu yang dianggap terlibat langsung
dengan aksi terorisme untuk mengeleminasi ancaman nyata yang dapat dilakukan oleh
individu-individu tersebut.
AS adalah salah satu negara yang dikenal melakukan tindakan pembunuhan berencana
dalam upaya perang melawan teror.38 Pembunuhan berencana dilakukan AS dengan tujuan
untuk melindungi warga negaranya agar tidak menjadi korban dari aksi terorisme. Tindakan
ini dilihat sebagai suatu upaya yang sah untuk melawan terorisme melalui upaya preemtif. 39
Bagi pemerintah AS, tindakan pembunuhan berencana dianggap efektif untuk
mempertahankan demokrasi melawan terorisme karena dapat mengeleminasi ancaman
dengan segera. AS tidak lagi memiliki pilihan lain ketika aksi terorisme terhadap AS
menimbulkan ancaman lebih besar yang menyebabkan jatuhnya banyak korban dan
menebarkan ketakutan.40
Namun secara legal dan juga demokratis, tindakan ini menimbulkan dilema. Individuindividu yang ditarget telah dibunuh tanpa prosedur legal menurut hak asasi warga sipil
modern, nilai demokratis dan jaminan liberal. 41 Pembunuhan berencana dilakukan dengan
tujuan akhir berupa kematian dari individu atau kelompok individu, dan kematian sendiri
merupakan hukuman permanen yang tidak dapat dibatalkan maupun digugat. Individu yang
ditarget telah diabaikan hak dasarnya menurut sistem legal dan demokratis modern. Individu
tersebut tidak dapat melakukan perlawanan hukum, menyanggah bukti bahwa dirinya terlibat
dalam aksi terorisme maupun saksi-saksi yang memberatkannya, serta telah diabaikan dari
praduga tidak bersalah hingga terbukti bersalah melalui pengadilan hukum yang adil.42
37

N. Melzer, “Targeted killing in international law,” (Oxford (N.Y.): Oxford University Press, 2009), hal. 5
dalam Janiel David Melamed Visbal, “Legal and Democratic Dilemmas in the Counter-Terrorism Struggle: The
Targeted Killing Policy,” Revista De Derecho, N.º 35, (Universidad Del Norte, 2011), 290-312, hal. 293
38
Selain AS, Israel adalah negara yang dengan terang-terangan mengakui melakukan pembunuhan berencana
sebagai bagian dari strategi mengeliminasi ancaman teror. Selengkapnya dalam Ibid.
39
Ibid., hal. 295
40
Ibid., hal. 300
41
Ibid., hal. 305
42
Ibid., hal. 306

11

AS telah menjustifikasi beberapa operasi pembunuhan berencananya melawan tokoh
kunci teroris dengan menaruhnya pada kerangka legal operasi konflik bersenjata sembari
menerapkan hak untuk mempertahankan diri yang terkandung dalam artikel 51 Piagam
PBB.43 Menurut Undang-Undang Humaniter Internasional, agar pembunuhan berencana
dapat menjadi aksi yang legal, tindakan tersebut harus dilakukan selama konflik bersenjata
internasional maupun non-internasional berlangsung dan hak untuk mempertahankan diri
memberikan ijin untuk melakukan operasi militer dalam konflik bersenjata di luar wilayah
negara yang menjadi korban.44
Namun justifikasi ini menimbulkan permasalahan ketika terorisme yang dihadapi oleh
AS melalui perang melawan terorisme merupakan aksi oleh organisasi teroris transnasional
yang bukan perang antarnegara. Kelompok teroris seperti Al Qaeda merupakan antor nonnegara, dan karena perang melawan teror tidak akan sesuai dengan kriteria hukum
internasional tradisional mengenai konflik bersenjata.45 Status konflik bersenjata yang
dilakukan oleh negara melawan aktor non-negara menjadi permasalahan karena tidak adanya
aturan yang jelas mengenai kemungkinan pengakuan atas konflik bersenjata antara dua pihak
tersebut, dan ketika konteks konflik bersenjata masih belum jelas, maka tindakan
pembunuhan berencana dalam perang melawan teror secara legal menjadi dilematis.
Beberapa akademisi juga berargumen bahwa tanpa adanya konflik bersenjata, tindakan
pembunuhan berencana terhadap warga sipil, apakah mereka teroris atau bukan, akan menjadi
tindakan pembunuhan yang merupakan kejahatan domestik.46
Selain itu, meskipun hukum internasional menerima aksi pengambilan nyawa manusia
dalam kondisi-kondisi tertentu selama terjadinya konflik bersenjata, hak untuk hidup
merupakan hak yang diakui sebagai kebebasan manusia dan hak sipil. International
Covenant on Civil and Political Rights dengan jelas menyatakan pada artikel ke-6 bahwa
setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan menentang tindakan yang dengan sewenangwenang merampas hak tersebut. 47 Sebagai negara demokratis, AS dihadapkan pada situasi di
mana tindakan pembunuhan berencana yang dilakukan dengan justifikasi untuk melindungi
warga negara dan mempertahankan negara memiliki konsekuensi legal, moral serta
kebebasan dasar manusia yang menjadi nilai fundamental bagi negara yang menganut
demokrasi liberal. Oleh karena itu, yang menjadi dilema dalam tindakan pembunuhan
berencana adalah sejauh mana upaya penanganan terorisme harus dilakukan untuk
mempertahankan keamanan serta melindungi warga negara tanpa mengabaikan nilai-nilai
fundamental demokrasi yang menjadi tanggung jawab AS sebagai negara demokratis?
2.2
2.2.1

Homeland Security
Latar Belakang Pembentukan

43

Konseptualisasi mengenai pertahanan diri dapat digunakan oleh AS dalam tindakan preemtif melawan
terorisme dan didukung oleh resolusi pemerintah nasional AS 1373 Bagian 2 (b) yang diadopsi oleh Dewan
Keamanan PBB pada pertemuan ke 4358 bulan September 2001 di mana Dewan Keamanan menyerukan pada
semua negara untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya aksi terorisme.
Selengkapnya dalam Ibid., hal. 299
44
Ibid., hal. 298
45
Merupakan kriteria konflik bersenjata yang dimuat dalam Empat Konvensi Jenewa. Ibid.
46
Ibid., hal. 299
47
Ibid., hal. 308

12

Peristiwa 9/11 membawa implikasi dan restrukturisasi yang besar bagi AS. Berbagai
perangkat kebijakan, undang-undang, kerjasama mengalami pemutakhiran khususnya di
bidang keamanan. Spesifik pada bidang keamanan domestik, Administrasi Bush mensahkan
undang-undang yang dikenal dengan Homeland Security Act pada tahun 2002 sebagai bentuk
antisipasi dan manajemen terhadap ancaman domestik AS dari ancaman termasuk bencana
alam dan terorisme. Secara umum apa yang menjadi konten dalam undang-undang ini adalah:
 Terbentuknya Department of Homeland Security sebagai badan eksekutif pemerintah
yang bertanggung jawab kepada Presiden
 Membentuk sebuah Dewan Keamanan yang terintegrasi dengan kantor
kepresidenan.
 Mengatur bentuk organisasi dan struktur manajemen DHS secara rinci.
 Mendaftarkan semua badan dan program yang di transfer ke dalam DHS.
 Mengatur tugas dan tanggung jawab ke 5 direktorat DHS.
DHS memiliki definisi Homeland Security sebagai upaya terpadu nasional untuk
mencegah serangan teroris di dalam Amerika Serikat, mereduksi kerentanan terhadap teror
dan meminimalisasi segala kerusakan serta pemulihan dari serangan yang terjadi.48
2.2.2 Struktur Organisasi
DHS memiliki 5 direktorat utama yang membawahi berbagai sektor, direktoratdirektorat tersebut yakni:49
1. Management Directorate
Direktorat ini bertugas menjalankan semua fungsi manajemen administratif untuk
mendukung operasional DHS.
2. Border and Transportation Security Directorate
Direktorat terbesar ini memiliki fungsi kordinasi terhadap beberapa badan federal
seperti: U.S. Customs Service, Immigration and Naturalization Service Enforcement
Division, Animal and Plant Health Inspection Service, Transportation Security
Administration, Office for Domestic Preparedness, dan Federal Protective Service. Secara
umum tujuan yang ingin dicapai oleh direktorat ini adalah pengamanan udara, darat,
perbatasan laut dan sistem transportasi.
Pengamanan perbatasan dan transportasi meliputi mengamankan dan mencegah akses
masuk teroris dan penyelundupan ke dalam AS; mengatur dan menegakan segala regulasi
terkait imigrasi dan akses ke dalam AS; menegakakan peraturan Bea Cukai AS; serta
mengatur fungsi Badan Inspeksi Satwa dan Tumbuhan. Sedangkan kesiapan domestik
meliputi koordinasi aktivitas kesiapan federal bekerjasama dengan pusat dan sektor swasta
untuk mengantisipasi keadaan darurat; meningkatkan kemampuan sistem komunikasi
keamanan nasional; mengatur segala bantuan federal untuk perlindungan terhadap terorisme.
Melaksanakan pelatihan untuk aparat pemerintahan dan badan internasional; bekerjasama
dengan direktorat Emergency Preparedness and Response, untuk bersiap terhadap segala
bentuk bencana; serta melaksanakan kegiatan manajeman dan analisa resiko.
3. Emergency Preparedness and Response Directorate
48

Phillip P. Purpura, Terrorism and Homeland Security: An Introduction with Applications, (Massachusetts:
Elsevier, 2007), hal. 129
49
Ibid., hal. 130-132

13

Direktorat ini dibentuk untuk menyertakan Federal Emergency Management Agency
untuk menyiapkan bentuk respon terhadap bencana alam/teknologi dan terorisme.
4. Information Analysis and Infrastructure Protection Directorate
Fokus direktorat ini terletak pada upaya antisipasi dari ancaman terorisme,
perlindungan terhadap infrastruktur dan dunia maya dan analisa informasi ancaman.
5. Science and Technology Directorate
Direktorat ini dibangun untuk memfasilitasi riset dan pengembangan dengan sasaran untuk
pencegahan dan mitigasi senjata pemusnah massal dan ancaman lainnya.
Bagan 1. Struktur Department of Homeland Security

2.2.3

DHS vs Isu Legal dan HAM
Model keamanan nasional AS menekankan perlindungan bagi AS secara
komprehensif. Walaupun kebijakan tersebut bersifat global namun kemampuannya sangat
menjangkau secara global. Upaya pemerintah dalam meningkatkan keamanan nasional dinilai
mampu berimplikasi pada pengurangan pada hak-hak sipil dan hak asasi. Pencegahan
terhadap ancaman kemanan nasional menurut kebijakan AS dalam Homeland Security di
lancarkan melalui beberapa program, yakni Intelijen dan Peringatan Dini; Keamanan
Perbatasan dan Transportasi; Kontra terorisme domestik; Melindungi infrastruktur penting
dan aset kunci; Mempertahankan diri dari ancaman besar; serta Persiapan dan respon pada
kondisi darurat.50
Aplikasi terhadap kebijakan-kebijakan diatas pada kehidupan masyarakat sehari-hari
seringkali berbenturan terhadap hak-hak konstitusional dan hak-hak sipil warga AS maupun
hak-hak warga negara non AS atau yang disebut sebagai aliens. Regulasi-regulasi yang
mengatur pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut juga dinilai memiliki permasalahan legal

dan HAM, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak warga negara AS dan
warga negara non AS. Salah satu yang menimbulkan dilema legal bagi AS adalah penerapan
50

Ibid., hal. 138

14

kebijakan intelijen dan peringatan dini. Dalam kebijakan ini, fungsi intelijen dinilai signifikan
untuk mengantisipasi serangan teror dan diharapkan mampu menjadi sumber pertimbangan
pemerintah untuk mengambil langkah preventif, preemptif dan protektif. Pada agenda
nasional yang memiliki urgensi sebesar ini maka metode untuk menyerap dan mengumpulkan
informasi dituntut untuk memiliki kapasitas yang memadai dan kualitas yang baik.
Penerapan fungsi pengintaian dan penyadapan dalam memperoleh informasi harus ditempuh
agar informasi dapat diserap secara mentah tanpa adanya noise. Namun pada penerapannya,
secara konstitusi pengintaian dan penyadapan ini sangat kontradiktif dengan kebebasan dan
hak sipil. Kebijakan ini juga membuat ruang gerak individu semakin sempit karena
pengawasan semakin ditingkatkan.
Dua regulasi utama mengenai pengumpulan data intelejen yang terkait dengan
pelaksanaan fungsi-fungsi DHS adalah Foreign Intelligence Surveillance Act (FISA) dan
Foreign Intelligence Surveillance Court (FISC).51 FISA adalah undang-undang yang memuat
petunjuk dalam membedakan penyadapan dalam kasus keamanan nasional dengan kasus
pidana regular/umum. Sedangkan FISC adalah ketentuan yang dibuat pada tahun 1978
tentang pengaturan pengintaian intelijen asing yang dipisahkan dari pengintaian penyidikan
pidana. Penerapan dari regulasi-regulasi tersebut menimbulkan kontroversi terkait dengan
kebebasan dan hak-hak sipil di AS. Salah satunya adalah penyadapan komunikasi pribadi
oleh aparat penegak hukum sebagai dalih untuk mendapatkan bukti mengenai keterlibatan
individu dalam jaringan terorisme52 Tindakan tersebut mencederai kebebasan dan hak-hak
sipil dasar di AS yang dituangkan dalam Bill of Rights seperti perlindungan individu dari
penggeledahan dan penyitaan yang tidak beralasan maupun dari peradilan yang tidak adil.53
Permasalahan isu legal dan HAM juga dapat dilihat pada kebijakan keamanan
perbatasan dan transportasi serta kontra-terorisme domestik. Kejadian pembajakan pesawat
maskapai penerbangan AS pada tragedi 9/11 dan beberapa kasus pemboman pada transportasi
publik di Eropa menjadi sebuah pelajaran berharga bagi pemerintah AS. Serangan teror
beberapa tahun yang silam menjadi bukti bahwa kelemahan imigrasi dan keamanan
transportasi memiliki celah untuk dieksploitasi bagi kelompok teror untuk melancarkan aksi.
Hal ini juga membuktikan lemahnya antisipasi domestik terhadap tindakan-tindakan
terorisme. Untuk merespon kejadian tersebut, aplikasi yang diterapkan dari peningakatan
kewaspadaan pada keamanan perbatasan dan transportasi dan keamanan internal adalah
pemeriksaan imigrasi yang ketat serta kontra-terorisme domestik yang dilakukan dengan
beberapa regulasi terkait pemeriksaan, penggeledahan serta penangkapan pihak-pihak yang
terlibat dalam aksi terorisme baik mereka warga negara AS ataupun warga negara non-AS.
Beberapa ketentuan yang terkait dengan respon AS tersebut antara lain the
exclusionary rule, ketentuan mengenai penggeledahan oleh aparat keamanan yang harus
disertai dengan surat perintah penggeledahan dan pelarangan untuk menggeledah secara
ilegal; kecurigaan beralasan (reasonable suspicion), seb