Implementasi Desentralisasi di Indonesia. pdf

Implementasi Desentralisasi di Indonesia Masih
Rumit
Dikirim oleh humas3 pada 07 Desember 2011 | Komentar : 0 | Dilihat : 2911

Joerg-Werner Haas
Desentralisasi mendukung efektivitas program pembangunan dan pelayanan publik di Indonesia meskipun dalam
pelaksanaannya masih sangat rumit. Diantara permasalahannya adalah koherensi dan birokrasi yang berbelit-belit.
Joerg-Werner Haas, Head of Programme for Good Governance/Decentralisation GIZ (Deutsche Gesellschaft fuer
Internationale Zusammenarbeit) Indonesia menyampaikan hal ini disela-sela kegiatan Jerman-Indonesia (Jerin) di
Universitas Brawijaya (UB). Di Indonesia, pihaknya menjalin kerjasama langsung dengan empat kementerian
yakni Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN)
dan Reformasi Birokrasi (RB) serta Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.
"Koordinasi antar Kementerian nyaris tidak ada, karenanya saling kontradiktif satu sama lain", kata dia saat
diwawancarai PRASETYA Online kemarin (6/12). Terkait otonomi daerah, ia mencontohkan tidak adanya
sinkronisasi antara UU No 32 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah dengan PP No 33 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang
Negara/Daerah. Menghadapi hal tersebut, Haas beserta timnya kini tengah membantu mengurai berbagai
kontradiksi yang ada. Dengan pengalamannya menekuni otonomi daerah sejak 1982, ia menegaskan bahwa
permasalahan tidak adanya koordinasi ini dialami hampir semua negara yang tengah concern pada otonomi daerah
seperti negara-negara di Afrika dan Amerika Latin.
Permasalahan serupa di negara-negara tersebut, menurutnya adalah jenjang birokrasi multilevel pada tingkat pusat,

propinsi dan kota/kabupaten. Padahal di sisi lain, mindset yang berkembang diantara aparaturnya masih pada
sentralisasi. Akibatnya, tidak ada kreativitas pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan karena
ketergantungan pada anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat. "Memperbaiki mindset menuju kemandirian ini
yang membutuhkan waktu panjang", kata dia. Dengan model birokrasi seperti ini pula, menurutnya
menumbuhsuburkan praktek-praktek korupsi yang kompleks, karena ada di setiap level. Penanganan korupsi
rupanya juga menjadi kepedulian GIZ yang dalam programnya bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), telah menyelenggarakan ACCH (Anti Corruption Clearing House), KPK whistleblower system
dan ACLC (Anti Corruption Learning Centre).

Perlu Penyesuaian
Jerin dan berbagai program yang ditawarkan oleh Pemerintah Jerman kepada Indonesia, ia menegaskan butuh
penyesuaian. Karena, menurutnya, tidak semua yang dipraktekkan di Jerman dan Eropa sesuai untuk Indonesia.
Terkait hal ini, ia mencontohkan pemanfaatan energi angin (wind mill) yang sekarang marak di Jerman. "Jerman
memproduksi hampir 80% teknologi wind mill di dunia", kata dia. Untuk Indonesia, ia menyampaikan, wind mill
tidak sesuai karena secara geografis Indonesia terletak di kawasan dekat khatulistiwa dengan intensitas angin yang
rendah. Dua alternative yang ia lihat adalah geothermal dan tenaga matahari. Walaupun, ia menambahkan, sinar
matahari pun tidak konstan di sini sehingga tidak bisa 100 persen tenaga matahari.
Melalui berbagai program yang ditawarkan, kata dia, Pemerintah Jerman mengupayakan agar semua diproduksi di
Indonesia sehingga akan memperkecil rantai produksi karena tidak semuanya diimpor. [nok]


Artikel terkait
Eksperimen IGN-TTRC Menganalisis Tanaman Bergenus Macaranga
Sosialiasi Beasiswa IGSP, Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jerman
FMIPA BIOLOGI UB Menjadi Penasihat 7 PTN Di Indonesia
Otonomi Daerah Minus Partisipasi Masyarakat
Jerin, Komitmen Jerman pada Negara Berkembang