BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - Daya Terima Biskuit dengan Modifikasi Tepung Biji Nangka, Tepung Kacang Merah dan Tepung Pisang serta Kontribusinya terhadap Kecukupan Energi, Protein dan Zat Besi Remaja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biskuit

  Biskuit adalah produk pastry yang bahan dasarnya terdiri dari butter, gula, telur dan tepung terigu yang diaduk sekedar campur, dicetak tipis dan kecil-kecil diatas loyang pembakar, di oven dan hasilnya kering dan renyah (Subagjo, 2007).

  Menurut standar Nasional Indonesia (SNI) “Mutu dan Cara Uji Biskuit” (SNI- 01-2973-1992), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan.

  Biskuit terbagi menjadi biskuit keras, cracker, cookies dan wafer. Ciri khas biskuit adalah memiliki kandungan gula dan lemak yang tinggi serta kadar air rendah sehingga bertekstur renyah; apabila dikemas akan terlindung dari kelembaban dan memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000).

Tabel 2.1 Syarat Mutu Biskuit menurut SNI 01-2973-1992 Kriteria Uji Syarat

  Energi (kkal/100 gram) Minimum 400 Air (%) Maksimum 5 Protein (%) Minimum 9 Lemak (%) Minimum 9.5 Karbohidrat (%) Minimum 70 Abu (%) Maksimum 1.5 Serat Kasar Maksimum 0.5 Logam Berbahaya Negatif Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik Warna Normal

  Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 1992

  2.1.1 Kandungan Zat Gizi pada Biskuit

  Biskuit adalah bahan makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Biskuit mengandung energi sebesar 458 kilokalori, protein 6,9 gram, karbohidrat 75,1 gram, lemak 14,4 gram, kalsium 62 milligram, fosfor 87 milligram, dan zat besi 3 milligram. Selain itu didalam biskuit juga terkandung vitamin A sebanyak 0 IU, vitamin B1 0,09 milligram, dan vitamin 0 milligram. Hasil tersebut didapat dari melakukan terhadap 100 gram biskuit, dengan jumlah dapat dimakan 100%.

Tabel 2.2 Komposisi Zat Gizi untuk Berbagai Jenis dan Ukuran Porsi Biskuit Lemak Karbohidrat Protein

  Jenis Biskuit Populer Kalori (g) (g) (g)

  Biskuit tawar atau mentega 1 9,78 26,76 4,20 212 biskuit (diameter 6,5 cm)

  Biskuit gandum 1 kecil (diameter 1,62 6,47 1,35

  44 4 cm) Biskuit tawar atau dengan mentega (rendah lemak) 1 biskuit 1,04 10,95 1,54

  59 (diameter 5 cm)

  2.1.2 Proses Pembuatan Biskuit

  Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit terbagi dalam dua kelompok, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat adalah tepung, susu, dan putih telur. Sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebaai pelembut adalah gula, lemak dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978).

  Proses pembuatan biskuit meliputi tiga tahap, yaitu pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan adonan. Pembuatan adonan diawali dengan proses pencampuran dan pengadukan bahan-bahan. Menurut Manley (2000), metode dasar pencampuran adonan adalah metode krim (creaming method) dan metode all in. Pada metode krim, bahan baku dicampur secara bertahap. Pertama adalah pencampuran lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna dan perisa, kemudian susu dan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Penambahan tepung dilakukan pada bagian paling akhir. Metode ini baik untuk biskuit karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan (Matz dan Matz, 1978). Sesuai dengan namanya, metode all in dilakukan dengan pencampuran seluruh bahan lalu diaduk sampai membentuk adonan.

  Adonan yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang yang telah diolesi dengan lemak lalu dipanggang dalam oven. Pengolesan lemak berfungsi untuk mencegah lengketnya biskuit pada loyang setelah dipanggang. Adonan dipanggang dengan suju ±176.7º (350ºF) selama ±10 menit. Suhu dan lama waktu pemanggangan mempengaruhi kadar air biskuit. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan, semakin pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi (177-204ºC). setalah dipanggang biskuit harus segera didinginkan untuk mengurangi pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak. Pembuatan biskuit disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 2.1.

  Bahan-bahan biskuit Penimbangan Pencampuran

  (secara bertahap)* Pengadonan

  Pengistirahatan Pencetakan

  Pemanggangan Pendinginan Pengemasan

  Biskuit dalam kemasan

Gambar 2.1. Diagram Alir Pembuatan Cookies

2.2 Biji Nangka

  Nangka diperbanyak dengan bijinya. Biji nangka merupakan bahan yang sering terbuang setelah dikonsumsi walaupun ada sebagian kecil masyarakat yang mengolahnya untuk dijadikan makanan tambahan misalnya diolah menjadi kolak. Biji nangka berbentuk bulat sampai lonjong, berukuran kecil lebih kurang dari 3,5 cm berkeping dua dan rata-rata tiap buah nangka berisi biji yang beratnya sepertiga dari berat buah, sisanya adalah kulit dan daging buah. Jumlah biji per buah 150 - 350 biji dan panjang biji nangka sekitar 3,5 cm - 4,5 cm. Hingga saat ini biji nangka masih merupakan bahan non-ekonomis dan sebagai limbah buangan konsumen nangka. Biji nangka terdiri dari tiga lapis kulit, yakni kulit luar berwarna kuning agak lunak, kulit luar berwarna putih dan kulit ari berwarna cokelat yang membungkus daging buah.

  Potensi biji nangka (Arthocarpus heterophyllus lamk) yang besar belum dieksploitasi secara optimal. Sangat rendahnya pemanfaatn biji nangka dalam bidang pangan hanya sebatas sekitar 10% disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam pengolahan biji nangka.

  Biji nangka merupakan sumber karbohidrat (36,7 g/100 g), protein (4,2 g/100

  g), dan energi (165 kkal/100 g), sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang potensial. Biji nangka juga merupakan sumber mineral yang baik. Kandungan mineral per 100 gram biji nangka adalah fosfor (200 mg), kalsium (33 mg), dan besi (1 mg). Selain dapat dimakan dalam bentuk utuh, biji nangka juga dapat diolah menjadi tepung. Selanjutnya dari tepungnya dapat dihasilkan berbagai makanan olahan (Nuraini, 2011).

  Kandungan glukosa biji nangka setelah difermentasi pada varietas bubur sebesar 58% lebih tinggi dibandingkan dengan varietas salak sebesar 39,68%.

  Kandungan karbohidrat pada biji nangka yang tinggi, dapat dimanfaatkan dalam proses pembuatan alkohol dengan cara difermentasikan serta kandungan proteinnya juga tinggi.

  2.2.1 Kandungan Gizi Biji Nangka

  Limbah biji nangka memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dibandingkan dengan bahan makanan serealia lain seperti gandum, beras giling, jagung segar, dan singkong. Berikut ini perbandingan kandungan biji nangka, dan sumber karbohidrat lainnya pada tabel 2.3.

Tabel 2.3 Komposisi Biji Nangka dan Sumber Karbohidrat lain per 100 gram Bahan yang dimakan Kandungan Gizi Unit Biji Nangka

  

Gandum

Beras Giling Jagung Segar Singkong

  Kalori Kal 165,00 365,00 360,00 140,00 146,00 Protein Gr 4,20 8,90 6,80 4,70 1,20 Lemak Gr 0,10 1,30 0,70 1,30 0,30 Karbohidrat Gr 36,70 77,30 78,90 33,10 34,70 Kalsium Mg 33,00 16,00 6,00 6,00 33,00 Besi Mg 1,00 106,00 140,00 118,00 40,00 Fosfor Mg 200,00 1,20 0,80 0,70 0,70 Vit. B1 Mg 0,20 0,12 0,12 0,12 0,06 Vit C Mg 10,00 0,00 0,00 8,00 30,00 Air % 57,70 12,00 13,00 60,00 63,50

  Sumber : Depkes RI (2009)

  2.2.2 Manfaat Biji Nangka Tanaman nangka merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan.

  Banyak manfaat yang dapat diambil dari tanaman ini. Hampir semua bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan. Selain buah yang merupakan produk utamanya, bagian akar, batang, daun, bakal buah, bahkan kulitnya pun dapat dimanfaatkan.

  Bijinya enak dimakan setelah direbus, dan daunnya untuk pakan ternak, dan dapat digunakan sebagai obat batuk dan tonik. Biji nangka dapat diolah menjadi tepung yang digunakan sebagai bahan baku industri makanan (bahan makan campuran). Mineral mikro dan tembaga dalam nangka juga efektif untuk metabolisme tiroid. Hal ini sangat baik untuk memproduksi hormon dan penyerapan. Kandungan zat besi dalam buah yang berserat ini membantu mencegah anemia dan meningkatkan sirkulasi darah dalam tubuh. Dengan phyto-nutrisi dan vitamin C, nangka memiliki sifat anti kanker dan anti-penuaan. Nutrisi ini bisa menjauhkan diri dari bahaya kanker dan memperlambat degenerasi sel untuk mencegah tubuh dari penyakit degeneratif. Buah nangka yang telah matang dapat dibuat dodol dan keripik nangka yang tahan lama disimpan.

2.2.3 Tepung Biji Nangka

  Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan hasil panen, terutama untuk komoditas pangan yang berkadar air tinggi, seperti umbi- umbian dan buah-buahan. Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi, sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta hemat ruang dan biaya penyimpanan. Teknologi pembuatan tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), dibentuk, diperkaya zat gizi, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis.

  Proses pembuatan tepung biji nangka mengalami beberapa tahap pengolahan agar dihasilkan tepung yang berkualitas dan tidak bau. Proses pertama dalam pembuatan tepung biji nangka adalah dengan pencucian biji nangka, setelah itu direbus untuk menghilangkan bau kurang lebih selama 30 menit. Setelah direbus, biji nangka dipisahkan dari sisa pulp yang masih menempel. Kemudian biji nangka diiris- iris (dipotong menjadi bagian-bagian kecil) agar memudahkan pada pengeringan (Achmad Fadillah, 2008). Pengeringan dilakukan hingga kadar air di dalam biji nangka hilang seluruhnya. Dilanjutkan dengan penghancuran biji nangka yang sudah kering hingga menjadi bubuk halus, diayak menggunakan tepung 60 mesh, dan tepung biji nangka selesai dibuat. Berikut ini kandungan kimia tepung biji nangka per 100 gram bahan dalam tabel 2.4.

Tabel 2.4 Komposisi Kimia Tepung Biji Nangka Komposisi Kimia Nilai Gizi Tepung Biji Nangka

  Air 12,40

  Protein (g)

  12.19 Lemak (g) 1,12

  Serat Kasar (g) 2,74

  Abu (g) 3,24

  Bahan ekstra tanpa nitrogen 68,80 Pati

  56,21

  Sumber : Sari (2012)

2.3 Kacang Merah

  Kacang merah (Phaseolus Vulgaris L.) mempunyai nama ilmiah yang sama dengan kacang buncis yaitu Phaseolus vulgaris L, hanya tipe pertumbuhan dan kebiasaan panennya berbeda, kacangan merah (kacang jogo), sebenarnya merupakan kacang buncis tipe tegak (tidak merambat) dan umumnya dipanen polong tua, sehingga disebut Bush bean. Sedangkan kacang buncis umumnya tumbuh merambat (pole beans) dan dipanen polong-polong mudanya (Rukmana, 2009).

2.3.1 Kandungan Gizi Kacang Merah

  Kacang merah hanya dimakan dalam bentuk biji yang telah tua, baik dalam keadaan segar maupun yang telah dikeringkan. Biasanya yang dimanfaatkan dari kacang merah adalah bijinya. Biji kacang merah merupakan bahan makanan yang mempunyai energi tinggi dan sekaligus sumber protein dan zat besi yang potensial.

  Karena itu peranannya dalam usaha perbaikan gizi sangatlah penting. Disamping kaya protein, biji kacang merah juga merupakan sumber karbohidrat, mineral dan vitamin (Astawan, 2009). Hasil perbandingan komposisi zat gizi antara kacang merah segar, kacang merah kering, dan kacang merah rebus dapat dilihat pada tabel 2.5.

Tabel 2.5 Komposisi Zat Gizi per 100 gram Kacang Merah Bahan Kacang Merah Kacang Merah Kacang Merah

  Penyusunan Kering Segar Rebus

  Kalori (kal) 314,00 171,00 144,00 Protein (gr) 22,30 11,00 10,00 Lemak (gr) 1,10 2,20 1,00 Karbohidrat (gr) 56,20 28,00 24,70 Kalsium (gr) 260,00 29,30 144,00 Fosfor (gr) 410,00 134,00 150,00 Besi (mg) 5,80 3,70 2,80 Vitamin A (SI) 30,00 0,00 0,00 Vitamin C (mg) 0,00 0,00 0,00 Vitamin B1 (mg) 0,50 0,15 0,10

  Sumber : Departemen Kesehatan (1995)

2.3.2 Manfaat Kacang Merah

  Kacang merah menyediakan banyak zat gizi yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Beberapa manfaat mengonsumsi kacang merah antara lain, meningkatkan daya tahan tubuh, mencegah kerusakan sel akibat radikal bebas, menurunkan kolesterol darah, mengendalikan glukosa darah, detoksifikasi sulfit dan sebagainya (Anonim, 2013).

2.3.3 Tepung Kacang Merah

  Pengolahan biji kacang merah menjadi tepung telah lama dikenal oleh masyarakat, namun diperlukan sentuhan teknologi untuk meningkatkan mutu tepung kacang merah yang dihasilkan. Pembuatan tepung kacang merah dapat dilakukan dengan cara mengeringkannya dibawah sinar matahari, maupun dengan menggunakan alat pengering, seperti oven. Kacang merah kemudian dilepas kulitnya, disangrai, digiling, dan diayak menjadi tepung (Astawan, 2009).

  Keunggulan dari pengolahan kacang merah menjadi tepung kacang merah adalah meningkatkan daya guna, hasil guna, lebih mudah diolah atau diproses menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi tinggi, lebih mudah dicampur dengan tepung-tepung dan bahan lainnya.

2.4 Pisang

  Pisang termasuk dalam family Musaceae, dan terdiri atas berbagai varietas dengan penampilan warna, bentuk, dan ukuran yang berbeda-beda. Varietas pisang yang diunggulkan antara lain Pisang Ambon Kuning, Pisang Ambon Lumut, Pisang Barangan, Pisang Badak, Pisang Raja, Pisang Kepok, Pisang Susu, Pisang Tanduk, dan Pisang Nangka.

  Buah pisang tersusun dalam tendon dengan kelompok-kelompok tersusun menjari, yang disebut dengan sisir. Hampir semua buah pisang memiliki kulit berwarna kuning ketika matang, meskipun ada beberapa yang berwarna jingga, merah, ungu, atau bahkan hamper hitam. Buah pisang sebagai bahan panan merupakan sumber energi (karbohidrat) dan mineral, terutama kalium.

  Karbohidrat dalam pisang mentah selain mengandung amilum (tepung) sulit dicerna juga tidak manis. Pada pisang yang telah masang, amilumnya telah berubah menjadi zat gula yang mudah dicerna oleh tubuh dan mempunyai rasa yang manis dan enak. Karbohidrat yang terkandung dalam pisang masak dapat memberi energi dan kehangatan pada tubuh.

  Pisang kepok atau pisang kepok kuning termasuk pisang berkulit tebal dengan warna kuning menarik kalau sudah matang. Satu tandan terdiri dari 10-16 sisir dengan berat 14-22 kg. setiap sisir terdapat ± 20 buah. Daging buahnya kuning, umumnya buah dimakan setelah direbus atau digoreng. Berikut ini merupakan klasifikasi pisang kepok (musa balbisiana) : Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Bangsa : Zingiberales Suku : Musaceae Marga : Musa Jenis : Musa balbisiana

  2.4.1 Kandungan Gizi Pisang Kepok

  Adapun kandungan gizi yang terdapat pada setiap 100 gram disajikan pada tabel 2.6.

Tabel 2.6 Kandungan Gizi per 100 gram Pisang Kepok Unsur Kadar

  Air (gr) 73,50

  Protein (gr) 1,30

  Karbohidrat (gr) 24,00

  Lemak (gr) 4,00

  Serat (gr) 0,50

  Vitamin A (SI) 430,00 Vitamin B1 (mg)

  0,09 Vitamin B2 (mg)

  0,06 Vitamin C (mg)

  10,00 Kalsium (mg)

  8,00 Besi (mg)

  0,60 Fosfor (gr)

  28,00 Magnesium (mg)

  0,64 Potassium (mg)

  4,21

  Sumber : Departemen Kesehatan RI, 2005

  2.4.2 Tepung Pisang

  Pemanfaatan tepung pisang cukup luas dalam industri pangan, sebagai bahan baku makanan (bubur) balita juga sebagai bahan baku produk kue, sebagai bahan baku industri, ketersediaan buah pisang dapat terpenuhi karena tanaman pisang mudah dibudidayakan, dapat tumbuh diberbagai kondisi lahan dan dapat dipanen sepanjang tahun atau tidak tergantung musim.

  Tepung pisang mempunyai rasa dan bau yang khas sehingga dapat digunakan pada pengolahan berbagai jenis makanan yang menggunakan tepung (tepung beras, terigu, dan sebagainya) di dalamnya. Dalam hal ini tepung pisang menggantikan sebagaian atau seluruh tepung lainnya. Jenis-jenis makanan tersebut antara lain roti, cake/pancake, kue kering, kue lapis, puding, makanan bayi/balita, kue pasir dan lain- lain. Dalam industri pisang banyak digunakan sebagai bahan dalam pembuatan pudding, makanan bayi, dan roti.

  Tepung pisang adalah salah satu cara pengawetan pisang dalam bentuk olahan. Cara membuatnya mudah, sehingga dapat diterapkan di daerah perkotaan maupun pedesaan. Pada dasarnya, semua jenis pisang dapat diolah menjadi tepung pisang, asal tingkat kematangannya cukup. Tetapi, sifat tepung pisang yang dihasilkan tidak sama untuk masing-masing jenis pisang. Pisang yang paling baik meghasilkan tepung pisang adalah pisang kapok. Tepung pisang yang dihasilkannya mempunyai warna yang lebih putih dibandingka dengan yang dibuat dari pisang jenis lain.

Tabel 2.7 Sifat Fisik dan Kimia Tepung Pisang dari berbagai Varietas Pisang

  

Varietas Warna Kadar air Kadar asam Karbohidrat

(%) (%) (%) Kepok Putih 6,08

  1.85

  76.47 Nangka Putih coklat 6,09

  0.85

  79.84 Ambon Putih abu-abu 6,26

  1.04

  78.99 Putih coklat 6,24

  0.84

  76.47 Raja

  Ketan Putih abu-abu 6,24,

  0.78

  75.33 Lampung Putih 8,39

  0.49

  70.10 Siam Kuning coklat 7,62

  1.00

  77.13 Pembuatan tepung pisang bertujuan selain untuk memperpanjang daya awet tanpa mengurangi nilai gizi pisang, juga untuk mempermudah dan memperluas pemanfaatan pisang sebagai bahan makanan lain seperti untuk kue, keripik dan lain- lain. Tahap pengolahan tepung pisang adalah pengukusan atau perebusan buah pisang, pengupasan, pengirisan dan pengeringan. Selanjutnya dilakukan penepungan atau penggilingan dan pengayakan. Adapun komposisi tepung pisang disajikan pada tabel 2.8.

Tabel 2.8 Komposisi Kimia Tepung Pisang Kepok dan Rendaman Gaplek Pisang

  Komponen (%) Tepung Pisang

  Kadar air 5,85

  • – 11,60 Kadar pati

  64,69

  • – 67,31 Kadar total gula

  18,24

  • – 20,04 Kadar serat kasar

  1,96

  • – 2,51 Kadar protein

  3,36

  • – 4,12 Kadar vitamin C 0,0325
  • – 0,0326 Kadar total asam

  0,36

  • – 0,71 Rendaman gaplek pisang 15,4
  • – 18,8

  Sumber : Winarno, 2004

2.5 Kebutuhan Gizi Remaja

  Penentuan kebutuhan akan zat gizi remaja secara umum didasarkan pada

  Recommended Daily Allowances (RDA). Untuk praktisnya, RDA disusun

  berdasarkan perkembangan kronologis bukan kematangan. Karena itu jika konsumsi energi remaja kurang dari jumlah yang dianjurkan, tidak berarti kebutuhannya belum tercukupi. Status gizi remaja harus dimulai secara perorangan, berdasarkan data yang diperoleh dari pemeriksaan klinis, biokimiawi, antropometris, diet, serta psikososial.

  Banyaknya energi yang dibutuhkan oleh remaja dapat diacu pada tabel RDA. Secara garis besar, remaja putra memerlukan lebih banyak energi dibandingkan remaja putri (Arisman, 2010). Kebutuhan akan semua jenis mineral juga meningkat.

  Peningkatan kebutuhan akan besi dan kalsium paling mencolok karena kedua mineral ini merupakan komponen penting pembentukan tulang dan otot. Akibat jika tidak terpenuhinya zat besi pada tubuh akan berdampak pada terjadinya anemia defisiensi besi yang akan mempengaruhi pertumbuhan, dan produktivitas remaja.

2.5.1 Energi Energi dalam makanan yang diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak.

  Ketiga zat gizi tersebut disebut makronutrien. Energi diperlukan untuk metabolisme, utilisasi bajan makanan dan aktivitas (Pudjiadi, 2000). Menurut WHO (1985) konsumsi energi berasal dari makanan yang diperlukan untuk menutupi pengeluaran energi seseorang bila mempunyai ukuran dan komposisi tubuh dengan tingkat aktivitas yang sesuai dengan kesehatan jangka panjang dan yang memungkinkan pemeliharaan aktivitas fisik yang dibutuhkan secara social dan ekonomi (Almatsier, 2010).

  Sumber energi dalam tubuh remaja berasal dari tiga sumber, yaitu karbohidrat, lemak dan protein yang akan dipecah manjadi energi. Energi yang dihasilkan oleh setiap satu gram karbohidrat sebanyak 4 kalori, yang dihasilkan lemak sebanyak 9 kalori, dan oleh protein sebanyak 4 kalori (Devi, 2012).

  Kekurangan energi terjadi apabila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Akibatnya, berat badan menjadi tidak ideal. Bila terjadi pada remaja akan menghambat pertumbuhan. Gejala yang ditimbulkan adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier, 2010).

  Kelebihan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya ialah terjadi kegemukan. Kegemukan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi tubuh sehingga meningkatkan resiko untuk menderita penyakit kronis, seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, kanker dan memperpendek harapan hidup (Almatsier, 2010).

2.5.2 Protein

  Setelah air, protein merupakan zat gizi yang paling banyak dalam tubuh. Bila energi makanan cukup, dapat dikatakan semua makanan juga mengandung protein yang cukup. Akan tetapi, jika protein yang dikonsumsi tidak terpenuhi sesuai kebutuhan tubuh, hal ini menggambarkan bahwa makanan yang dikonsumsi tidak mencukupi terhadap kebutuhan energi.

  Kebutuhan manusia akan protein dapat dihitung dengan mengetahui jumlah nitrogen yang hilang (obligatory nitrogen). Setiap harinya nitrogen yang keluar bersama urin rata-rata 37 mg/kg berat badan dan dalam feses 12 mg/kg berat badan. Nitrogen yang lepas bersama kulit 3 mg/kg serta melalui jalur lain seperti keringat meliputi 2 mg/kg sehingga jumlahnya menjadi 54 mg/kg berat badan per hari. Karena itu nitrogen dibuat oleh tubuh dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan kebutuhan minimal protein yang diperlukan badan (Winarno, 2004).

  Angka tersebut dapat dikalikan dengan 6,25 (konversi protein dari nitrogen) menjadi jumlah kebutuhan protein/kg berat badan per hari. Angka ini biasanya masih ditambah 30% untuk memberi peluang peningkatan terbuangnya nitrogen kelak kalau protein sudah dikonsumsi. Terbuangnya nitrogen juga bervariasi tergantung individu, ukuran berat badan, jenis kelamin dan umur. Untuk itu pengamanan angka terakhir masih harus ditambah lagi menjadi 30% (Winarno, 2004).

  Menurut Almatsier (2010), maksimal asupan protein yang dianjurkan untuk dikonsumsi adalah sebanyak 2 kali dari Angka Kecukupan Gizi (AKG). Protein terdapat pada pangan nabati maupun hewani. Nilai protein pada bahan pangan bersumber hewani lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan nabati. Sumber protein dari hewani diantaranya adalah ikan, susu, telur, daging, unggas dan kerang. Sedangkan sumber protein dari nabati diantaranya adalah kacang merah, dan juga kedelai dan olehannya seperti tempe dan tahu.

  Protein ditemukan dalam semua jaringan tubuh. Kebanyakan dari protein disimpan dalam jaringan otot dan organ-organ tubuh. Sisanya terdapat dalam darah, tulang dan gigi. Protein memiliki beberapa fungsi yaitu : 1.

  Membentuk jaringan baru dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tubuh.

  2. Memelihara jaringan tubuh sepanjang hidup dan memperbaiki serta mengganti jaringan yang rusak.

  3. Menyediakan asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim-enzim pencernaan dan metabolisme yang digunakan dalam tubuh serta sebagai antibodi yang diperlukan.

  4. Mengatur keseimbangan air dalam tubuh.

  5. Bertindak sebagai buffer, yaitu beraksi dengan asam dan basa untuk menjaga pH pada taraf konstan (pH 7,35-7,45).

6. Sebagai sumber energi, protein ekivalen dengan karbohidrat, karena menghasilkan 4 kkal/g protein (Almatsier, 2010).

  Gangguan gizi yang juga sering terjadi pada remaja ialah kurang energi protein yang juga disebut kurang kalori-protein. Konsumsi energi yang kurang dapat menyebabkan penggunaan protein makanan digunakan untuk energi daripada untuk pertumbuhan dan pemeliharaan. Selain itu, kurang protein tetapi cukup energi dapat timbul jika pangan pokok yang dimakan mempunyai kandungan protein yang rendah, misalnya singkong ataupun ubi jalar ataupun jika total konsumsi pangan anak kecil misalnya sop, bubur ataupun bubur halus juga rendah dalam protein kalori. Timbulnya penyakit akibat defisiensi protein biasanya disertai dengan penyakit penyerta berupa infeksi saluran pernapasan serta infeksi saluran pencernaan (Sulistyoningsih, 2011).

2.5.3 Zat Besi (Fe)

  Zat Besi merupakan mikroelemen yang essensial bagi tubuh. Zat ini terutama diperlukan dalam hemopobsis (pembentukan darah), yaitu dalam sintesa hemoglobin (Hb). Disamping itu berbagai jenis enzim memerlukan Fe sebagai faktor penggiat (Hoffbrand, 2006).

  Kandungan besi dalam badan sangat kecil yaitu 35 mg per kg berat badan wanita atau 50 mg per kg berat badan pria. Besi dalam badan sebagian terletak dalam sel-sel darah merah sebagai heme, suatu pigmen yang mengandung inti sebuah atom besi. Dalam sebuah molekul hemoglobin terdapat empat heme. Besi juga terdapat dalam sel-sel otot, khususnya dalam mioglobin. Berbeda dengan hemoglobin, mioglobin terdiri dari satu pigmen heme untuk setiap protein (Winarno, 2004).

  Pada remaja, jumlah kebutuhan sesuai dengan ukuran tubuh dan terjadinya menstruasi (Rossander-Hulthen & Hallberg, 1996 dalam Beard, 2000). Kebutuhan zat besi untuk remaja dihitung menggunakan metode faktorial. Kebutuhan remaja dihitung dari peningkatan volume darah (0,18 mg/hari pada remaja pria dan 0,14 mg/hari pada remaja wanita). Peningkatan kebutuhan zat besi tersebut termasuk peningkatan volume darah yang diiringi dengan peningkatan rata-rata konsentrasi Hb selama pertumbuhan yang pesat.

  Kebutuhan zat besi terabsorpsi pada remaja putri diperkirakan sekitar 1,9 mg/hari, berdasarkan rat-rata kebutuhan untuk tumbuh (0,5 mg), basal (0,75 mg), dan kehilangan darah menstruasi (0,6 mg) (Briawan, 2014). Apabila AKG zat besi 15 mg/hari, dengan asumsi penyerapan zat besi 10-15%, akan menghasilkan asupan zat besi sekitar 1,5-2,2 mg/hari. Jumlah ini cukup untuk mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam tubh, termasuk untuk penyimpanan sebesar 300 mg (Krummer Kris- Etherton, 1996).

  Tambahan zat besi untuk remaja wanita diperlukan untuk menggantikan kehilangan zat besi selama menstruasi. Hallberg (1996) menyebutkan bahwa menstruasi selama remaja tidak berbeda dengan usia reproduktif lainnya. Rata-rata kehilangan darah menstruasi 84 ml, dengan asumsi kehilangan Hb 133 g/l, membutuhkan tambahan zat besi 0,56 mg/hari. Tambahan zat besi untuk persentil ke- 10 sebesar 0,17 mg/hari dan persentil ke-90 sebesar 1,08 mg/hari. Tambahan zat besi untuk mempertahankan keseimbangan akibat kehilangan darah menstruasi dibutuhkan 2,1 mg/hari untuk persentil ke-75.

  Fairweather-Tait (1996, dikutip dalam Beard, 2000) mengestimasi kebutuhan zat besi untuk remaja pria antara 1,45-2,03 mg/hari berdasarkan survey di UK dan Eropa pada tahun 1996. Untuk remaja pria, masa pubertas berkaitan dengan meningkatnya massa tubuh dan konsentrasi hemoglobin. Kebutuhan untuk pria ini 20% lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata kebutuhan wanita mentruasi. Sedangkan untuk remaja wanita, pertumbuhan masih berlanjut setelah masa menstruasi. Pada usia 14 tahun, kebutuhan zat besi remaja wanita 30% lebih banyak dibandingkan ibunya (Tabel 2.9).

Tabel 2.9 Kebutuhan zat besi menurut kelompok usia

  Kelompok Usia Kebutuhan mg/hari Pria dewasa

  1 Remaja 2-3 Wanita (WUS) 2-3 Wanita hamil 3-4 Bayi

  1 Bioavailabilitas maksimum pada diet

  4 Sumber : Frewin et al, 1997 FAO/WHO (2001) menyebutkan zat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan remaja adalah 0,55 mg/hari. Asumsi kehilangan zat besi basal 0,65 mg dan menstruasi 0,48 mg, sehingga kebutuhan zat besi sekitar 1,68 mg per hari. Kebutuhan tersebut didasarkan pada tingkat fisiologis sehingga jika bioavailabilitas sebesar 5-10% makan diperlukan zat besi 17-34 mg/hari. Untuk Indonesia, kebutuhan zat besi menurut angka kecukupan gizi (AKG) dapat dilihat pada tabel 2.10 berikut ini.

Tabel 2.10 Kecukupan Zat Gizi Besi untuk Remaja menurut AKG Indonesia Jenis kelamin Usia Zat besi (mg/hari)

  10-12 tahun

  13 Laki-laki 13-15 tahun

  19 16-18 tahun

  15 10-12 tahun

  20 Perempuan 13-15 tahun

  26 16-18 tahun

  26 Sumber : WNPG, 2012 Kebutuhan zat besi pada remaja pria yang lebih rendah tersebut menyebabkan prevalensi anemia pada kelompok pria lebih rendah dibandingkan wanita.

2.6 Uji Organoleptik

  Penilaian organoleptik disebut juga dengan penilaian indra atau penilaian sensorik yang merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif atau sudah lama dikenal. Penilaian organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Kadang-kadang penilaian ini dapat memberikan hasil penilaian yang sangat teliti. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif (Susiwi, 2009).

  Indera yang berperan dalam uj organoleptik adalah indera penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba dan pendengaran. Panel diperlukan untuk melaksanakan penelitian organoleptik dalam penilaian mutu atau sifat-sifat sensorik suatu komoditi, panel bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri atas orang atau kelompok yang bertugas menilai sifat dari suatu komoditi. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis.

  Uji hedonik atau kesukaan merupakan salah satu jenis uji penerimaan. Dalam uji ini panelis diminta mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau sebaliknya ketidaksukaan, disamping itu mereka juga mengemukakan tingkat kesukaan/ketidaksukaan. Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut orang skala hedonik, misalnya amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka dan amat sangat tidak suka. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan sesuai yang diinginkan peneliti (Rahayu, 1998).

2.7 Panelis

  Menurut Rahayu (1998), dalam penilaian organoleptik dikenal tujuh macam pael, yaitu panel perseorangan, panel terbatas, panel terlatih, panel agak terlatih, panel tidak terlatih, panel konsumen dan panel anak-anak. Perbedaan ketujuh panel tersebut didasarkan pada keahlian dalam melakukan penilaian organoleptik.

1. Panel perseorangan

  Panel perseorangan adalah orang yang sangat ahli dengan kepekaan spesifik yang sangat tinggi yang diperoleh karena bakat atau latihan-latihan yang sangat intensif. Panel perseorangan sangat mengenal sifat, peranan dan cara pengolahan bahan yang akan dinilai dan menguasai metode-metode analisa organoleptik dengan sangat baik. Keuntungan menggunakan panelis ini adalah kepekaan tinggi, biasa dapat dihindari, penilaian efisien. Panel perseorangan biasanya digunakan untuk mendeteksi penyimpangan yang tidak terlalu banyak dan mengenali penyebabnya.

  2. Panel terbatas Panel terbatas terdiri dari 3-5 orang yang mempunyai kepekaan tinggi sehingga bias lebih dapat dihindari. Panelis ini mengenal dengan baik faktor-faktor dalam penilaian organoleptik dan mengetahui cara pengolahan dan pengaruh bahan baku terhadap hasil akhir.

  3. Panel terlatih Panel terlatih terdiri dari 15-25 orang yang mempunyai kepekaan cukup baik.

  Untuk menjadi panelis terlatih perlu didahului dengan seleksi dan latihan-latihan. Panelis ini dapat menilai veverapa rangsangan sehingga tidak terlampau spesifik.

  4. Panel agak terlatih Panel agak terlatih terdiri dari 15-25 orang yang sebelumnya dilatih untuk mengetahui sidat-sifat tertentu. Panel agak terlatih dapat dipilih dari kalangan terbatas dengan menguji datanya terlebih dahulu. Sedangkan data yang sangat menyimpang boleh tidak digunakan dalam keputusannya.

  5. Panel tidak terlatih Panel tidak terlatih terdiri dari 25 orang awam yang dapat dipilih berdasaran jenis suku-suku bangsa, tingkat social dan pendidikan. Panel tidak terlatihnya diperbolehkan menilai sifat-sifat organoleptik yang sederhana seperti sifat kesukaan, tetapi tidak boleh digunakan dalam uji pembedaan. Panel tidak terlatih biasanya terdiri dari orang dewasa dengan komposisi panelis pria sama dengan panelis wanita.

  6. Panel konsumen Panel konsumen teridir dari 30 hingga 100 orang tergantung pada target pemasaran komoditi. Panel ini mempunyai sifat yang sangat umum dan dapat ditentukan berdasarkan perorangan atau kelompok tertentu.

  7. Panel anak-anak Panel yang khas adalah panel yang menggunakan anak-anak berusia 3-10 tahun. Biasanya anak-anak digunakan sebagai panelis dalam penilaian produk-produk pangan yang disukai anak-anak seperti permen, es krim dan sebagainya, cara penggunaan panelis anak-anak harus bertahap, yaitu dengan pemberitahuan atau dengan bermain bersama, kemudian dipanggil untuk diminta responnya terhadap produk yang dinilai dengan alat bantu gambar seperti boneka yang sedang sedih, biasa, atau tertawa.

2.8 Kerangka Konsep

  Biskuit yang dimodifikasi dengan tepung biji nangka, tepung

  .

  kacang merah, dan tepung pisang Daya terima biskuit modifikasi Nilai gizi energi, protein dan zat besi tepung biji nangka, tepung kacang dari biskuit modifikasi tepung biji merah, dan tepung pisang nangka, tepung kacang merah, dan tepung pisang

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Profitabilitas Dengan Leverage dan Perputaran Persediaan Sebagai Variabel Moderasi Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Konsumsi yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2013

0 0 8

Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Profitabilitas Dengan Leverage dan Perputaran Persediaan Sebagai Variabel Moderasi Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Konsumsi yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2013

0 0 12

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Konsep Diri Pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Wanita Dewasa Madya ditinjau dari Grandparenting Style

0 0 14

Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan Laju Pengadukan pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

0 0 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan Laju Pengadukan pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

1 0 10

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan Laju Pengadukan pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

1 1 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Organisasi 2.1.1 Defenisi Organisasi - Budaya Organisasi pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar di Kota Pematangsiantar

0 2 46

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah - Budaya Organisasi pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar di Kota Pematangsiantar

0 0 9

Daya Terima Biskuit dengan Modifikasi Tepung Biji Nangka, Tepung Kacang Merah dan Tepung Pisang serta Kontribusinya terhadap Kecukupan Energi, Protein dan Zat Besi Remaja

1 2 20