BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Muatan Lokal Bahasa Jawa Di SDN Kalisegoro Kecamatan Gunungpati
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kebijakan Kurikulum Muatan lokal Bahasa
Jawa
2.1.1 Kurikulum Muatan lokal Bahasa Jawa
Muatan
kurikuler
Lokal
untuk
merupakan
mengembangkan
kegiatan
kompetensi
yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi
daerah,
termasuk
keunggulan
daerah,
yang
materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam
mata pelajaran yang ada. Kurikulum Muatan
lokal
Bahasa Jawa ditetapkan oleh Gubernur
Jawa Tengah pada tanggal 27 Januari 2010 di
Semarang
(Kurikulum
Muatan
lokal
Bahasa
Jawa, 2010;). Hal ini ditindaklanjuti oleh Kepala
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah dengan
menyusun
Kurikulum
Pelajaran
Bahasa
Muatan
Jawa
lokal
sebagai
Mata
pedoman
penyelengaraan kegiatan pembelajaran Bahasa
Jawa
yang
mencakup
lingkup
materi
dan
kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi
lulusan
minimal
pada
SD/SDLB/MI
dan
SMP/SMPLB/MTs Negeri dan Swasta di Jawa
Tengah. Substansi mata pelajaran Muatan lokal
ditentukan
oleh
satuan
pendidikan,
tidak
7
terbatas
pada
mata
pelajaran
Muatan lokal termasuk
keterampilan,
bagian dari struktur
kurikulum yang terdapat pada Standar Isi di
dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Keberadaan
mata
pelajaran
Muatan
lokal
merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang
tidak
terpusat,
sebagai
upaya
agar
penyelenggaraan pendidikan di masing-masing
daerah lebih meningkat relevansinya terhadap
keadaan
dan
kebutuhan
bersangkutan.
Muatan
lokal
daerah
.(Kurikulum
(Bahasa
Mata
Jawa)
yang
Pelajaran
untuk
jenjang
pendidikan SD/SDLB/MI dan SMP/SMPLB/Mts
Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah, 2010).
Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan
mutu pendidikan nasional sehingga keberadaan
kurikulum
Muatan
lokal
Bahasa
Jawa
mendukung dan melengkapi kurikulum nasional
(UU Sisdiknas , 2003). Tujuan umum Muatan
lokal Bahasa Jawa adalah sebagai acuan bagi
satuan pendidikan sekolah dalam pengembangan
mulok yang akan dilaksanakan pada tingkat
satuan
pendidikan
yang
bersangkutan,
sedangkan tujuan khusus adalah : memberikan
bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku
kepada
wawasan
peserta
yang
didik
agar
mantap
mereka
tentang
memiliki
keadaan
8
lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai
dengan
nilai-nilai/aturan
daerahnya
dan
pembangunan
yang
berlaku
mendukung
daerah
serta
di
kelangsungan
pembangunan
nasional. Lebih jelas lagi terutama agar peserta
didik dapat: (1) mengenal dan menjadi lebih
akrab
dengan
budayanya,
lingkungan
(2)
alam,
memiliki
sosial,
dan
pengetahuan,
kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan
mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya
maupun lingkungan masyarakat pada umumnya
sebagai bekal siswa, (3) memiliki sikap dan
perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturanaturan
yang
melestarikan
berlaku
dan
di
daerahnya,
mengembangkan
serta
nilai-nilai
luhur budaya setempat dalam rangka menunjang
pembangunan nasional (Dakir, 2004,Iim, 2007,
Muhaimin, 2007).
Lingkup Keadaan dan Kebutuhan Daerah.
Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang
terdapat di daerah tertentu yang pada dasarnya
berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan
sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya.
Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang
diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah,
khususnya
peningkatan
untuk
taraf
kelangsungan
kehidupan
hidup
dan
masyarakat
9
tersebut,
yang
disesuaikan
dengan
arah
perkembangan daerah serta potensi daerah yang
bersangkutan.
Lingkup Isi/Jenis Muatan lokal. Dapat
berupa:
bahasa
daerah,
bahasa Inggris,
kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan
daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang
berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta
hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang
bersangkutan.
penetapan
Untuk
pengembangan
dan
mata pelajaran disesuaikan dengan
kondisi Sekolah Saat Ini, seperti : (1) analisis
Muatan lokal yang ada di sekolah, apakah masih
layak
dan
relevan
Mulok
diterapkan
di
sekolah?(2) bila muatan lokal yang diterapkan di
sekolah tersebut masih layak digunakan maka
kegiatan berikutnya adalah merubah Muatan
lokal tersebut ke dalam Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar; (3) bila Muatan lokal
yang
ada tidak layak lagi untuk diterapkan, maka
sekolah bisa menggunakan Mulok dari sekolah
lain
atau
tetap
menggunakan
Mulok
yang
ditawarkan oleh Dinas atau mengembangkan
mulok yang lebih sesuai.
Pengembangan dan
Penetapan Standar kompetensi dan Kompetensi
dasar yakni: 1) mengidentifikasi keadaan dan
kebutuhan daerah 2) menentukan fungsi dan
10
susunan
atau
komposisi
Muatan
lokal
3)
mengidentifikasi bahan kajian Muatan lokal; 4)
menentukan Mata Pelajaran Muatan lokal; 5)
mengembangkan
Standart
kompetensi
dan
Kompetensi dasar berserta silabusnya dan RPPnya;
6)
Pelaksanaan
mengembangkan
Sekolah
Standar
yang
mampu
Kompetensi
dan
Kompetensi Dasar beserta silabus dan RPP-nya
dapat melaksanakan Mulok.
Bila belum mampu
berdasarkan
melaksanakan Mulok
kegiatan-kegiatan
yang
direncanakan oleh sekolah, maka dapat meminta
bantuan kepada sekolah lain yang masih dalam
satu daerah. Bila beberapa sekolah dalam satu
daerah belum mampu mengembangkan SK dan
KD
Mulok,
dapat
Pengembang
meminta
Kurikulum
bantuan
(TPK)
di
Tim
daerah
setempat, atau meminta bantuan dari LPMP di
propinsi.
Pihak
Pengembangan
Perguruan
Depdiknas,
yang
Muatan
tinggi,
terlibat
lokal
TPK,
Instansi/lembaga
misalnya:
dalam
LPMP,
di
luar
pemerintah
Daerah/Bapeda, Dinas Departemen lain terkait,
dunia usaha/industri, dan tokoh masyarakat.
Rambu-Rambu Bahan kajian disesuaikan dengan
tingkat
perkembangan
peserta
didik
11
(pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan
sosial).
2.1.2 Pembelajaran Bahasa Jawa di SD
Bahasa Jawa adalah suatu bahasa daerah
yang
merupakan
nasional
bagian
Indonesia,
dari
yang
kebudayaan
hidup
dan
tetap
dipergunakan dalam masyarakat bahasa yang
bersangkutan.
Bahasa
Jawa
yang
terus
berkembang maka diperlukan penyesuaian ejaan
huruf Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu
bahasa
daerah
sehingga
perlu
dilestarikan
supaya tidak hilang keberadaannya. Kurikulum
Bahasa
Jawa
(2010:
1)
pelestarian
dan
pengembangan Bahasa Jawa didasarkan pada
beberapa hal sebagai berikut:
1) Bahasa
Jawa
sebagai
alat
komunikasi
sebagian besar penduduk Jawa; 2) Bahasa
Jawa
memperkokoh
jati
diri
dan
kepribadian orang dewasa; 3) Bahasa Jawa,
termasuk didalamnya sastra dan budaya
Jawa,
mendukung
kekayaan
khasanah
budaya bangsa; 4) Bahasa, Sastra dan
budaya Jawa merupakan warisan budaya
adiluhung, dan 5) bahasa, Sastra, dan
budaya
Jawa
dikembangkan
untuk
mendukung life skill.
12
Fungsi Bahasa Jawa yang tadinya lebih
luas meliputi sampai pada bahasa resmi di
kalangan pemerintahan dan ilmu pengetahuan di
sekolah
sekarang
menjadi
lebih
singkat.
Sabdwara (Supartinah, 2010: 24) fungsi Bahasa
Jawa antara lain:
a. Bahasa
Jawa
adalah
bahasa
budaya
di
samping berfungsi komunikatif juga berperan
sebagai sarana perwujudan sikap budaya yang
sarat dengan nilai-nilai luhur.
b. Sopan
santun
berbahasa
Jawa
berarti
mengetahui akan batas-batas sopan santun,
mengetahui cara menggunakan adat yang baik
dan mempunyai rasa tanggungjawab untuk
perbaikan hidup bersama.
c. Agar mencapai kesopanan yang dapat menjadi
hiasan diri pribadi seseorang, maka syarat
yang
harus
ditempuh
adalah
sebagai
berikut:1) Pandai menenggangkan perasaan
orang
lain
di
dalam
pergaulan,
2)pandai
menghormati kawan maupun lawan, dan 3)
pandai menjaga tutur kata, tidak kasar, dan
tidak menyakiti hati orang lain
Pembelajaran
Bahasa
Jawa
di
sekolah
dasar meliputi , menyimak, berbicara, membaca
13
dan menulis. Menyimak pada hakikatnya sama
dengan kegiatan membaca hanya saja pada
menyimak merupakan pemahaman teks lisan.
Kegiatan berbicara diarahkan pada kemampuan
mengungkapkan gagasan, pendapat, pesan dan
perasaan
Bahasa
secara
Jawa.
lisan
dengan
Membaca
menggunakan
diarahkan
pada
kemampuan memahami isi bacaan, makna suatu
bacaan ditentukan oleh situasi dan konteks
dalam
bacaan.
untuk
Kegiatan
menulis
mengembangkan
diarahkan
kemampuan
mengungkapkan gagasan, pendapat, pesan dan
perasaan secara tertulis. Program pengajaran
Muatan
lokal
Bahasa
Jawa,
lingkup
mata
pelajaran Bahasa Jawa meliputi penguasaan
kebahasaan,
kemampuan
mengapresiasi
menggunakan
sastra
memahami
dan
Bahasa Jawa.
kemampuan
Bahasa Jawa
mempunyai tiga ragam bahasa yaitu basa ngoko,
basa madya, dan basa krama.
2.2
Evaluasi Program
2.2.1 Pengertian Evaluasi Program
Menurut
Suharsimi
Arikunto
(2004: 1)
evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa
Inggris) bila diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yang berarti “Evaluasi” atau penilaian,
14
yang
artinya
kegiatan
yang
membandingkan
sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu.
Sedangkan
menurut
Arma
Abdullah
dalam
Tayibnapis (2008: 5) evaluasi adalah proses
pemberian makna bagi satu pengukuran dengan
mempertimbangkan
pada
standart
tertentu,
artinya ketika kita mengukur suatu proses maka
kita
akan
mengacu
pada
standart
tertentu
menurut kaidah-kaidah yang berlaku.
Menurut Stake dalam Tayibnapis (2008: 6)
evaluasi
program
adalah
suatu
rangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
melihat
tingkat
keberhasilan
program.
Ada
beberapa pengertian tentang program sendiri.
Evaluasi
program
adalah
kegiatan
untuk
mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan
dari
kegiatan
yang
direncanakan
(Arikunto,
2005;5).
Tayibnapis (2008: 21) memandang bahwa
evaluasi
program
adalah
kegiatan
untuk
merespon suatu program yang telah, sedang, dan
akan dilaksanakan. Stake mengemukakan bahwa
evaluasi
program
langsung
pada
pendidikan
kegiatan
dalam
berorientasi
pelaksanaan
program dan evaluasi dilakukan untuk merespon
pihak-pihak
yang
membutuhkan
informasi
mengenai program tersebut, Stake menekankan
adanya dasar kegiatan dalam evaluasi yaitu
deskriptions, dan judgement dan membedakan
adanya tiga tahap dalam program pendidikan
atendent
(context),
transactions
(process)
dan
15
outcomes (output). Menurut Fitzpatrick, Sanders
dan
Worthen,
(2004)
peran
utama
evaluasi
program adalah untuk menjawab pertanyaanpertanyaan seperti; Apakah program tersebut
berjalan baik? Manfaat apa yang bisa diperoleh
dari suatu program? Apakah program berjalan
efektif? Bagian program mana yang pengaruhnya
lebih besar? ;Penyesuaian apa yang harus dibuat
agar program bisa berjalan lebih efektif?
Jadi Evaluasi program adalah suatu unit
atau
kesatuan
kegiatan
yang
bertujuan
mengumpulkan informasi tentang realisasi atau
implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung
dalam
proses
yang
berkesinambungan,
dan
terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan
sekelompok orang guna pengambilan keputusan.
Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui
pencapaian
tujuan
program
yang
telah
dilaksanakan.
2.2.2 Tujuan Evaluasi Program
Menurut
evaluasi
untuk:
Mulyatiningsih (2011: 114-115),
program
dilakukan
1)Menunjukkan
dengan
sumbangan
tujuan
program
terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil
evaluasi
ini
penting
untuk
mengembangkan
program yang sama ditempat lain; 2)Mengambil
keputusan
tentang
keberlanjutan
sebuah
16
program,
apakah
program
perlu
diteruskan,
diperbaiki atau dihentikan.
Dilihat
mengetahui
dari
tujuannya,
kondisi
sesuatu,
yaitu
maka
ingin
evaluasi
program dapat dikatakan merupakan salah satu
bentuk penelitian evaluatif. Oleh karena itu,
dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan
menentukan langkah bagaimana melaksanakan
penelitian. Menurut Arikunto dan Jabar (2009: 7),
terdapat
perbedaan
yang
mencolok
antara
penelitian dan evaluasi program adalah sebagai
berikut:
1) Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin
mengetahui
kemudian
sedangkan
gambaran
tentang
hasilnya
dalam
sesuatu
dideskripsikan,
evaluasi
program
pelaksana ingin mengetahui seberapa tinggi
mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil
pelaksanaan program, setelah data yang
terkumpul dibandingkan dengan citra atau
standar tertentu.
2) Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut
oleh
rumusan
masalah
karena
ingin
mengetahui jawaban dari penelitiannya,
sedangkan
pelaksana
dalam
ingin
evaluasi
mengetahui
program
tingkat
ketercapaian tujuan pgogram, dan apabila
17
tujuan
belum
tercapai
sebagaimana
ditentukan, pelaksana ingin mengetahui
letak kekurangan itu dan apa sebabnya.
2.2.3 Manfaat Evaluasi Program
Evaluasi
supervisi.
sama artinya dengan kegiatan
Kegiatan
evaluasi/supervisi
yaitu
untuk mengambil keputusan atau melakukan
tindak
lanjut
dilaksanakan.
dari
program
Menurut
yang
telah
dan
Jabar
Arikunto
(2009: 22),manfaat dari evaluasi program dapat
berupa penghentian program, merevisi program,
melanjutkan
program,
dan
menyebarluaskan
program.
Menurut
manfaat
dari
Mulyatiningsih
evaluasi
(2011:
program,
117),
yaitu
1)
Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak ada
manfaatnya,atau
tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan,
2) Merevisi program, karena ada bagian-bagian
yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat
kesalahan tapi hanya sedikit), 3) Melanjutkan
program,karena
menunjukkan
pelaksanaan
bahwa
segala
sesuatu
program
sudah
sesuai dengan harapan dan memberikan hasil
yang bermanfaat, 4) Menyebar luaskan program
(melaksanakan progran di tempat-tempat lain
18
atau
mengulangi
lagi
program
dilain
waktu),karena program tersebut berhasil dengan
baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di
tempat dan waktu yang lain. Jadi manfaat
evaluasi
program
adalah
tindakan-tindakan
seperti penghentian program, merevisi program,
melanjutkan
program,
dan
menyebarluaskan
program.
2.3
Model-Model Evaluasi Program
2.3.1 Pengertian Model-Model Evaluasi Program
Model-model evaluasi yang satu dengan
yang lainnya memang tampak bervariasi, akan
tetapi
maksud
melakukan
dan
tujuannya
sama
yaitu
kegiatan pengumpulan data atau
informasi yang berkenaan dengan objek yang
dievaluasi.
Selanjutnya
informasi
yang
terkumpul dapat diberikan kepada pengambil
keputusan
agar
dapat
menentukan
tindak
lanjut
dengan
tentang
tepat
program
yang sudah dievaluasi.
Menurut
dikutip
oleh
Safruddin
Kaufman
Suharsimi
Abdul
dan
Thomas
Arikunto
Jabar
yang
dan
(2009:
Cepi
40
),
membedakan model evaluasi menjadi delapan,
yaitu:
1)
Goal
Oriented
Evaluation
Model,
dikembangkan oleh Tyler; 2) Goal Free Evaluation
19
dan 3) Formatif Summatif Evaluation Model,
dikembangkan
oleh
Countenance
Evaluation
Michael
Scriven;
Model,
dan
4)
;
5)
Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake;
6)
CSE-UCLA
Evaluation
Model,
menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan,
dikembangkan oleh Alkin; 7) CIPP Evaluation
Model, dikembangkan oleh Stufflebeam; dan 8)
Discrepancy Model, dikembangkan oleh Provus.
2.3.2 Goal Oriented Evaluation Model
Model ini merupakan model yang muncul
paling awal. Yang menjadi objek pengamatan
pada model ini adalah tujuan dari program yang
sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai.
Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan,
terus-menerus,
tersebut
mencek
sudah
sejauh
terlaksana
mana
tujuan
didalam
proses
pelaksanaan program Model ini dikembangkan
oleh Tyler ( Arikunto, Suharsimi, 2004 :25)
Secara
umum
model
evaluasi
ini
memberikan penekanan terhadap produktivitas
dan akuntability dalam suatu aktifitas. Model ini
juga
sering
dipergunakan
untuk
mengukur
pencapaian dan kemajuan peserta didik. Model
ini menepikan dimensi proses dalam pelaksanaan
evaluasi.
Model
ini
sering
mengutarakan
20
pertanyaan seperti apakah peserta didik dapat
mencapai suatu sasaran dengan baik?, apakah
para
dosen
dengan
dapat
baik.
pencapaian,
menjalankan
Untuk
Tyler,
pekerjaanya
membentuk
menggariskan
ujian
beberapa
prosedur yang perlu diikuti, yaitu:
1) Mengenal pasti sasaran program yang
hendak dijalankan.
2) Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk
tingkah laku dan isi kandungan.
3) Mengenal pasti situasi dimana tujuan yang
hendak digunakan.
4) Menentukan arah untuk mewakili situasi
5) Menentukan
arah
untuk
mendapatkan
hasil.
Tyler ( Arikunto, Suharsimi, 2004 :27)
mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan
antara hasil yang dikehendaki dengan hasil yang
sebenarnya. Pendekatan Tyler memberikan dasar
pada pengukuran tingkah laku dalam suatu
tujuan yang dibentuk dan mendasarkan kepada
hasil pembelajaran dari input pengajaran. Tyler
telah
membuat
beberapa
perubahan
dalam
konsepnya mengenai penilaian. Perubahan ini
dikembangkan dalam definisi penilaiannya awal
yaitu
penilaian
dalam
program
yang
dibuat
21
dengan membandingkan konsep program dengan
dasar
yang
relevan
untuk
memantapkan
perencanaan program. Termasuk didalamnya: 1)
Penilaian di tingkat implementasi, 2) Penilaian
dalam
monitoring
yang
berkelanjutan
dalam
suatu program.
Menurut Tyler (dalam Azizi, 2008), penilai
harus menilai tingkah laku peserta didik, pada
perubahan tingkah laku yang dikehendaki dalam
pendidikan. Selain itu evaluasi mesti dibuat pada
akhir program.
Dalam model ini, langkah
pertama adalah mengenali tujuan suatu program.
Setelah tujuan program diketahui, indikatorindikator pencapaian tujuan dan alat pengukuran
diketahui pasti. Hasil kajian akan dibandingkan
dengan tujuan program dan keputusan dibuat
level pencapaian yang diperoleh. Menurut Tyler,
apabila
tujuan
program
tidak
tercapai
sepenuhnya, ini membawa implikasi sama bahwa
program pembelajaran lemah atau juga bahwa
tujuan yang dipilih tidak sesuai.
2.3.3 Goal Free Evaluation Model
Model evaluasi yang dikembangkan oleh
Michael Scriven ini dapat dikatakan berlawanan
dengan model pertama yang dikembangkan Tyler
evaluator terus-menerus memantau tujuan, yaitu
22
sejak awal proses terus melihat sejauh mana
tujuan tersebut sudah tercapai, dalam model goal
free evaluation (evaluasi lepas dari tujuan) justru
menoleh dari tujuan (Arikunto, Suharsimi, 2004
:29).
Yang perlu diperhatikan dalam program
tersebut adalah bagaimana kerjanya program,
dengan
jalan
mengidentifikasi
penampilan-
penampilan yang terjadi baik hal positif (hal yang
diharapkan) maupun hal negatif (memang tidak
diharapkan).
Alasan
mengapa
tujuan
program
tidak
perlu diperhatikan karena ada kemungkinan
evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan
khusus.
Jika
masing-masing
tujuan
khusus
tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan,
tetapi
evaluator
mana
lupa
masing-masing
mendukung
memperhatikan
penampilan
penampilan
sejauh
tersebut
terakhir
yang
diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya
jumlah penampilan khusus ini tidak banyak
bermanfaat.
Dari uraian ini
dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan “evaluasi
lepas dari
tujuan” dalam model ini bukannya lepas sama
sekali dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan
khusus.
Model ini hanya mempertimbangkan
tujuan umum yang akan dicapai oleh program,
bukan secara rinci perkomponen.
23
2.3.4 Formatif Summatif Evaluation Model
Selain model "evaluasi lepas dari tujuan",
Michael Scriven juga mengembangan model lain,
yaitu model formatif-sumatif. Model ini menunjuk
adanya
tahapan
dan
lingkup
objek
yang
dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada
waktu program masih berjalan (disebut evaluasi
formatif) dan ketika program sudah selesai atau
berakhir (disebut evaluasi sumatif (Arikunto,
Suharsimi, 2004 :31).
Berbeda dengan model
yang pertama dikembangkan, model yang kedua
ini ketika melaksanakan evaluasi, evaluator tidak
dapat
melepaskan
diri
dari
tujuan.
Tujuan
evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan
evaluasi
sumatif.
Sehingga
model
yang
dikemukakan oleh Michael Scriven ini menunjuk
tentang
"apa,
tersebut
dan
tujuan"
dilaksanakan.
pendidikan,
mempunyai
mengenal
kapan,
termasuk
tugas
dengan
Para
evaluator
guru-guru
evaluasi,
baik
evaluasi
apa
tentu
yang
yang
sudah
dimaksud
dengan evaluasi formatif dan sumatif. Hampir
setiap bulan guru-guru melaksanakan evaluasi
formatif dalam bentuk ulangan harian. Evaluasi
tersebut dilaksanakan untuk mengetahui sampai
seberapa
tinggi
tingkat
keberhasilan
atau
ketercapaian tujuan untuk masing-masing pokok
24
bahasan.
Oleh karena luas atau sempitnya
materi yang tercakup di dalam pokok bahasan
setiap mata pelajaran tidak sama maka tidak
dapat ditentukan dengan pasti kapan evaluasi
formatif dilaksanakan dan berapa kali untuk
masing-masing mata pelajaran.
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan
evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih
berlangsung atau ketika program masih dekat
dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi
formatif tersebut adalah mengetahui sejauh mana
program
yang
dirancang
dapat
berlangsung,
sekaligus mengidentifikasi hambatan.
diketahuinya
hambatan
dan
Dengan
hal-hal
yang
menyebabkan program tidak lancar, pengambil
keputusan
secara
perbaikan
yang
dini
dapat
mengadakan
mendukung
kelancaran
pencapaian tujuan program.
Evaluasi
sumatif
dilakukan
setelah
program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif
adalah untuk mengukur ketercapaian program.
Fungsi evaluasi sumatif dalam evaluasi program
pembelajaran
untuk
dimaksudkan
mengetahui
posisi
sebagai
sarana
atau
kedudukan
individu di dalam kelompoknya.
Mengingat
bahwa objek sasaran dan waktu pelaksanaan
berbeda antara evaluasi formatif dan sumatif
25
maka lingkup sasaran yang
dievaluasi juga
berbeda.
2.3.5 Countenance Evaluation Model
Model
ini
dikembangkan
oleh
Stake.
Menurut ulasan tambahan yang diberikan oleh
Fernandes (1984, dalam Arikunto 2004:33, model
Stake menekankan pada adanya pelaksanaan
dua hal pokok, yaitu (1) deskripsi (description)
dan
(2)
pertimbangan
(judgments),
serta
membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi
program,
yaitu
(1)
anteseden
(antecedents/context),
(2)
transaksi
(trarisaction/process), dan (3) keluaran (output outcomes).
Tiga hal yang dituliskan di antara dua
diagram,
menunjukkan
objek
atau
sasaran
evaluasi. Dalam setiap program yang dievaluasi,
evaluator harus mampu mengidentifikasi tiga hal,
yaitu
(1)
anteseden
yang
diartikan
sebagai
konteks, (2) transaksi yang diartikan sebagai
proses, dan (3) outcome yang diartikan sebagai
hasil.
Selanjutnya
digambarkan
pertimbangan,
kedua
sebagai
menunjukkan
matriks
deskripsi
yang
dan
langkah-langkah
yang terjadi selama proses evaluasi.
26
Matriks pertama, yaitu deskripsi berkaitan
dengan
dua
hal
yang
menunjukkan
posisi
sesuatu (yang menjadi sasaran evaluasi), yaitu
apa
maksud
tujuan
yang
diharapkan
oleh
program, dan pengamatan akibat, atau apa yang
sesungguhnya terjadi atau apa yang betul-betul
terjadi. Selanjutnya evaluator mengikuti matriks
kedua,
yang
pertimbangan,
menunjukkan
yang
dalam
langkah
langkah
tersebut
mengacu pada standar.
Menurut Stake, ketika evaluator tengah
mempertimbangkan program pendidikan, mereka
mau
tidak
mau
harus
melakukan
dua
perbandingan, yaitu (1) membandingkan kondisi
hasil evaluasi program tertentu dengan yang
terjadi di program lain, dengan objek sasaran
yang sama; (2) membandingkan kondisi hasil
pelaksanaan program dengan standar program
yang bersangkutan, didasarkan pada tujuan yang
akan dicapai.
Analisis proses evaluasi yang dikemukakan
Stake (1967, dalam Tayibnapis, 2000) membawa
dampak yang cukup besar dalam bidang ini dan
meletakkan dasar sederhana namun merupakan
konsep yang cukup kuat untuk perkembangan
yang lebih jauh dalam bidang evaluasi.
27
Penekanan yang umum atau hal yang
penting dalam model ini ialah bahwa evaluator
yang membuat penilaian tentang program yang
dievaluasi. Stake mengatakan bahwa description
di satu pihak berbeda dengan judgement atau
menilai.
Dalam
model
ini,
antecedents
(masukan), transaction (proses), dan outcomes
(hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk
menentukan
apakah
ada
perbedaan
tujuan
dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga
dibandingkan
untuk
dengan
menilai
standar
manfaat
yang
absolut,
program.
Stake
mengatakan bahwa tak ada penelitian dapat
diandalkan apabila tidak dinilai.
2.3.6 Responsive Evaluation Model
Dalam
model
mendefinisikan
pengamatan
Stake
evaluasi
evaluasi
sebagai
dibandingkan
(1967
dalam
ini
suatu
dengan
Azizi,
Stake
nilai
keahlian.
2008),
telah
menggariskan beberapa ciri pendekatan model
evaluasi responsif, yaitu:
1) Lebih ke arah aktivitas program (proses)
daripada tujuan program.
2) Mempunyai
kalangan
hubungan
untuk
dengan
mendapatkan
banyak
hasil
evaluasi.
28
3) Perbedaan nilai perspektif dari banyak
individu menjadi ukuran dalam melaporkan
kegagalan dan keberhasilan suatu program.
Pendekatan
ini
adalah
sistem
yang
mengorbankan beberapa fakta dalam evaluasi
dengan
harapan
dapat
meningkatkan
penggunaan hasil evaluasi kepada individu atau
program itu sendiri. Kebanyakan evaluator lebih
menekankan pada kenyataan, penggunaan ujian
obyektif,
menentukan
laporan
penyelidikan.
standar
program
Evaluasi
ini
dan
kurang
memberikan pengaruh dalam komunikasi formal
dibandingkan dengan komunikasi biasa.
Model ini berdasarkan pada apa yang biasa
individu lakukan untuk menilai suatu perkara.
Mereka akan memperhatikan dan kemudian akan
bertindak. Untuk melaksanakan evaluasi ini,
evaluator dipaksa bekerja lebih keras untuk
memastikan individu yang dipilih memahami apa
yang
perlu
dilakukan.
Evaluator
juga
perlu
membuat prosedur yang baku dan mencari serta
mengatur tim untuk memperhatikan pelaksanaan
program tersebut. Dengan bantuan tim, evaluator
akan
menyediakan
catatan,
deskripsi,
hasil
tujuan serta membuat grafik. Evaluator juga
menilai
kualitas
dan
record
orang
yang
membantu evaluasi.
29
2.3.7 CSE-UCLA Evaluation Model
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu
CSE dan UCLA. Yang pertama, yaitu CSE,
merupakan singkatan dari Center for the Study of
Evaluation,
sedangkan
UCLA
merupakan
singkatan dari University of California in Los
Angeles.
Ciri
adanya
lima
evaluasi,
dari
yaitu
model
tahap
yang
CSE-UCLA
adalah
dilakukan
dalam
perencanaan,
pengembangan,
implementasi, hasil, dan dampak. Fernandes
(1984,
dalam
Arikunto
2004)
memberikan
penjelasan tentang model CSE-UCLA menjadi
empat tahap, yaitu (1) needs assessment, (2)
program planning, (3) formatife evaluation, dan
(4) summatife evaluation.
2.3.8 CIPP Evaluation Model
Model yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
model
pengambilan
keputusan
yang
dikembangkan oleh Stufflebeam yang dikenal
dengan CIPP Evaluation Model. CIPP merupakan
singkatan
dari
Context,
Input,
Process
and
Product. CIPP evaluation model is designed to
systematically
guide
both
evaluators
and
stakeholders in posing relevant questions and
conducting assessments at the beginning of a
project (context and input evaluation), while it is in
30
progress (input and process evaluation), and at its
end
(product
evaluation).
(Guili
Zhang,2011).
Menururt Endang Mulyatiningsih (2011: 126),
mengemukakan bahwa evaluasi CIPP dikenal
dengan nama evaluasi formatif dengan tujuan
untuk
mengambil
keputusan
dan
perbaikan
program. Komponen evaluasi meliputi:
1) Context
Orientasi
utama
dari
evaluasi
konteks
adalah mengidentifikasi latar belakang perlunya
mengadakan
perubahan
atau
munculnya
program dari beberapa subjek yang terlibat dalam
pengambilan keputusan (Endang Mulyatiningsih,
2011: 127).
2) Input
Evaluasi
input
dilakukan
untuk
mengidentifikasi dan menilai kapabilitas sumber
daya bahan, alat, manusia dan biaya, untuk
melaksanakan
program
yang
telah
dipilih
(Endang Mulyatiningsih, 2011: 129).
3) Process
Evaluasi
proses
bertujuan
untuk
mengidentifikasi atau memprediksi hambatanhambatan dalam pelaksanaan kegiatan atau
31
implementasi
dengan
program.
mencatat
atau
Evaluasi
dilakukan
mendokumentasikan
setiap kejadian dalam pelaksanaan kegiatan,
memonitor
kegiatan-kegiatan
yang
berpotensi
menghambat dan menimbulkan kesulitan yang
tidak diharapkan, menemukan informasi khusus
yang
berada
diluar
rencana;
menilai
dan
menjelaskan proses secara aktual. Selama proses
evaluasi, evaluator dituntut berinteraksi dengan
staf pelaksana program secara terus menerus
(Endang Mulyatiningsih, 2011: 130-131).
4) Product
Tujuan
untuk
utama
mengukur,
memutuskan
hasil
evaluasi
produk
adalah
menginterpretasikan
dan
yang
oleh
telah
dicapai
program, yaitu apakah telah dapat memenuhi
kebutuhan
sesuai
dengan
tujuan
yang
diharapkan atau belum (Endang Mulyatiningsih,
2011: 132).
2.3.9 Discrepancy Model
Provus mendefinisikan evaluasi sebagai alat
untuk membuat pertimbangan (judgement) atas
kekurangan
dan
kelebihan
suatu
objek
berdasarkan diantara standar dan kinerja. Model
32
ini
juga
dianggap
menggunakan
pendekatan
formatif dan berorientasi pada analisis system.
Standar
dapat
pertanyaan
diukur
dengan
bagaimana
menjawab
program
berjalan.
Sementara pencapaiannya adalah lebih kepada
apakah yang sebenarnya terjadi. Evaluator hanya
boleh
membantu
dengan
membentuk
dan
menjelaskan peranan standar dan pencapaian.
Dalam model evaluasi ini, kebanyakan informasi
yang diperoleh berbeda dan dikumpulkan dengan
beberapa cara, yaitu (Azizi, 2008):
1) Merencanakan
bentuk
penilaian,
menentukan kemantapan suatu program.
2) Penilaian
pihak
input,
bertujuan
pengurus
dengan
membantu
memastikan
sumber yang diperlukan mencukupi.
3) Proses
penilaian,
memastikan
aktivitas
yang dirancang berjalan dengan lancar dan
memiliki mutu seperti yang diharapkan.
4) Penilaian
hasil,
judgement
di
tahap
pencapaian suatu hasil yang direncanakan.
2.4 Penelitian Yang Relevan
Ratna
Widowati
2007.Pelaksanaan
Sadi
Kurikulum
Muatan
Putra.
lokal
Bahasa Jawa Bagi Siswa yang Berbahasa Tengger
di
SDN
1
Ngadas
Kec.
Poncokusumo
Kab.
33
Malang.
Hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan pembelajaran Bahasa Jawa
di SDN 1 Ngadas (1) guru membuat perencanaan
mengajar
harian,
dikarenakan
penerapan
pembelajaran kelas rangkap dimana satu orang
guru mengajar 6 kelas sekaligus. Komponen
perencanaan
meliputi,
(a)
sebagian
guru
membuat perencanaan mengajar harian, (b) guru
kelas selalu merumuskan tujuan pembelajaran
sesuai
dengan
kurikulum,
dan
standar
kompetensi dirinci menjadi kompetensi dasar, (c)
merencanakan
metode
mengajar
berupa
pembelajaran klasikal, ceramah, diskusi, dan
pembelajaran kelompok, (d) merencanakan media
pembelajaran Bahasa Jawa yang berupa buku
teks/text book yaitu Piwulang Basa Jawa Kangge
Kelas 1-6, (e) merencanakan bentuk soal tes yaitu
bentuk soal pilihan ganda jenis asosiasi pilihan
berganda dan melengkapi pilihan, serta bentuk
uraian
jenis
uraian
non
objektif,
(f)
merencanakan waktu pelaksanaan tes, yaitu
evaluasi
formatif
atau
evaluasi
proses
yang
dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, serta
evaluasi sumatif yang dilaksanakan setiap akhir
semester, (g) merencanakan balikan dan bentuk
balikan yang berupa pengulangan/review. (2)
Pelaksanaan pembelajaran Bahasa Jawa antara
34
lain, (a) menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa Tengger sebagai bahasa pengantar dalam
pembelajaran Bahasa Jawa, (b) selalu melakukan
apersepsi dan membuat kaitan antar materi
sebelum memulai kegiatan belajar, (c) bahan
kajian
pembelajaran
Bahasa
Jawa
yaitu
mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan
apresiasi karya sastra, (d) siswa sering mengalami
kesulitan belajar Bahasa Jawa dalam hal menulis
huruf Jawa dan membaca wacana Bahasa Jawa,
(e) dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi
kesulitan tersebut adalah menanyakan kepada
teman
yang
lebih
menguasai
materi
atau
menanyakan langsung pada guru kelas. (3)
Evaluasi pembelajaran Bahasa Jawa meliputi
evaluasi harian, berbentuk lisan dan tertulis
dalam jangka waktu tertentu.
Evaluasi ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman
siswa terhadap materi dan sebagai alat untuk
memotivasi siswa yang pada umumnya memiliki
motivasi belajar rendah.
Nanik Siti Hasanah. 2011. Penerapan
Pembelajaran Muatan lokal Bahasa Jawa dalam
Melestarikan Etika Lingkungan Pergaulan Siswa
Sekolah Dasar Negeri Plumbon 01 Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran
35
2010/2011.
diperoleh
Setelah
dilakukan
kesimpulan
analisis
bahwa
data
perencanaan
pembelajaran yang dibuat guru berupa rencana
harian dan rencana pelaksanaan pembelajaran.
Pelaksanaan
pembelajaran
sesuai
dengan
rencana yang telah dipersiapkan. Selama proses
pembelajaran Bahasa Jawa di kelas rendah (kelas
1,2,dan
3)
tidak
sepenuhnya
menggunakan
Bahasa Jawa, sedangkan di kelas tinggi (kelas 4
dan 5) sepenuhnya menggunakan Bahasa Jawa.
Berkaitan dengan usaha penerapan pembelajaran
Bahasa Jawa, Kepala Sekolah Dasar Plumbon 01
membuat kebijakan “Kamis berbahasa Jawa”
yang berupa surat keputusan. Hasil pengamatan,
siswa
bersikap
sopan
terhadap
guru
yang
ditunjukkan dengan perbuatan dan tutur kata.
Dalam pergaulan antar siswa, digunakan Bahasa
Jawa ngoko atau
ngoko alus. Berdasarkan
temuan-temuan penelitian disarankan kepada
guru, siswa, dan lingkungan pendidikan sebagai
berikut : (1) Guru hendaknya meningkatkan
kompetensi sebagai pendidik yang professional (2)
Pembiasaan
berbahasa
Jawa
bagi
siswa
hendaknya tidak hanya di lingkungan sekolah. (3)
Kepala
UPTD
kecamatan
disarankan
untuk
mengambil kebijakan dalam upaya melestarikan
36
budaya
Jawa
yang
salah
satunya
adalah
berbahasa Jawa.
2.5 Kerangka Berfikir
Sesuai dengan teori CIPP (Contect, Input,
Process,
Product)
dalam
penelitian
program
evaluasi Muatan lokal Bahasa Jawa ini mencari
penjelasan apakah Muatan Lokal Bahasa Jawa ini
masih diperlukan di SDN Kalisegoro, apakah
masih dapat diteruskan atau dihentikan.
Program-program
Muatan Lokal Bahasa
Jawa di SDN Kalisegoro yang berupa Program
Tahunan, Program Semester, Silabus, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran dan jadwal pelajaran
serta ekstra kurikuler apakah sudah memenuhi
keperluan program tersebut.
Proses pelaksanaan program Muatan Lokal
Bahasa Jawa apakah sudah berjalan sesuai
dengan program yang telah dibuat atau yang
telah
ada,
menghambat
tersebut.
adakah
proses
Dari
menggambarkan
kendala-kendala
berjalannya
proses
yang
program
itu apakah sudah
berjalannya
program
Mulok
Bahasa Jawa atau belum. Dari hasil pelaksanaan
program
nantinya
dapat
digunakan
sebagai
rekomendasi kebijakan apakah program Mulok
dapat dilaksanakan terus atau dihentikan.
37
Seperti
Mulyatiningsih
teori
yang
bahwa
dikemukakan
model
CIPP
dikenal
dengan evaluasi formatif dan sumatif dengan
tujuan
untuk
mengambil
keputusan
dan
perbaikan program. Pada pelaksanaan ini peneliti
hanya meneliti sampai pada proses, tidak sampai
produk karena
ingin mengetahui pada proses
pelaksanaan program saja. Dari gambaran di atas
dapat
digambarkan
dengan
diagram
sebagai
berikut:
Konteks
pelaksanaan
Program Mulok
Bahasa Jawa
Input Program
Mulok Bahasa
Jawa
Program
Mulok
Bahasa Jawa
Rekomendasi
Kebijakan
Proses pelaksanaan
Program Mulok
Bahasa Jawa
38
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kebijakan Kurikulum Muatan lokal Bahasa
Jawa
2.1.1 Kurikulum Muatan lokal Bahasa Jawa
Muatan
kurikuler
Lokal
untuk
merupakan
mengembangkan
kegiatan
kompetensi
yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi
daerah,
termasuk
keunggulan
daerah,
yang
materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam
mata pelajaran yang ada. Kurikulum Muatan
lokal
Bahasa Jawa ditetapkan oleh Gubernur
Jawa Tengah pada tanggal 27 Januari 2010 di
Semarang
(Kurikulum
Muatan
lokal
Bahasa
Jawa, 2010;). Hal ini ditindaklanjuti oleh Kepala
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah dengan
menyusun
Kurikulum
Pelajaran
Bahasa
Muatan
Jawa
lokal
sebagai
Mata
pedoman
penyelengaraan kegiatan pembelajaran Bahasa
Jawa
yang
mencakup
lingkup
materi
dan
kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi
lulusan
minimal
pada
SD/SDLB/MI
dan
SMP/SMPLB/MTs Negeri dan Swasta di Jawa
Tengah. Substansi mata pelajaran Muatan lokal
ditentukan
oleh
satuan
pendidikan,
tidak
7
terbatas
pada
mata
pelajaran
Muatan lokal termasuk
keterampilan,
bagian dari struktur
kurikulum yang terdapat pada Standar Isi di
dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan.
Keberadaan
mata
pelajaran
Muatan
lokal
merupakan bentuk penyelenggaraan pendidikan
yang
tidak
terpusat,
sebagai
upaya
agar
penyelenggaraan pendidikan di masing-masing
daerah lebih meningkat relevansinya terhadap
keadaan
dan
kebutuhan
bersangkutan.
Muatan
lokal
daerah
.(Kurikulum
(Bahasa
Mata
Jawa)
yang
Pelajaran
untuk
jenjang
pendidikan SD/SDLB/MI dan SMP/SMPLB/Mts
Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah, 2010).
Hal ini sejalan dengan upaya peningkatan
mutu pendidikan nasional sehingga keberadaan
kurikulum
Muatan
lokal
Bahasa
Jawa
mendukung dan melengkapi kurikulum nasional
(UU Sisdiknas , 2003). Tujuan umum Muatan
lokal Bahasa Jawa adalah sebagai acuan bagi
satuan pendidikan sekolah dalam pengembangan
mulok yang akan dilaksanakan pada tingkat
satuan
pendidikan
yang
bersangkutan,
sedangkan tujuan khusus adalah : memberikan
bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku
kepada
wawasan
peserta
yang
didik
agar
mantap
mereka
tentang
memiliki
keadaan
8
lingkungan dan kebutuhan masyarakat sesuai
dengan
nilai-nilai/aturan
daerahnya
dan
pembangunan
yang
berlaku
mendukung
daerah
serta
di
kelangsungan
pembangunan
nasional. Lebih jelas lagi terutama agar peserta
didik dapat: (1) mengenal dan menjadi lebih
akrab
dengan
budayanya,
lingkungan
(2)
alam,
memiliki
sosial,
dan
pengetahuan,
kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan
mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya
maupun lingkungan masyarakat pada umumnya
sebagai bekal siswa, (3) memiliki sikap dan
perilaku yang selaras dengan nilai-nilai/aturanaturan
yang
melestarikan
berlaku
dan
di
daerahnya,
mengembangkan
serta
nilai-nilai
luhur budaya setempat dalam rangka menunjang
pembangunan nasional (Dakir, 2004,Iim, 2007,
Muhaimin, 2007).
Lingkup Keadaan dan Kebutuhan Daerah.
Keadaan daerah adalah segala sesuatu yang
terdapat di daerah tertentu yang pada dasarnya
berkaitan dengan lingkungan alam, lingkungan
sosial ekonomi, dan lingkungan sosial budaya.
Kebutuhan daerah adalah segala sesuatu yang
diperlukan oleh masyarakat di suatu daerah,
khususnya
peningkatan
untuk
taraf
kelangsungan
kehidupan
hidup
dan
masyarakat
9
tersebut,
yang
disesuaikan
dengan
arah
perkembangan daerah serta potensi daerah yang
bersangkutan.
Lingkup Isi/Jenis Muatan lokal. Dapat
berupa:
bahasa
daerah,
bahasa Inggris,
kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan
daerah, adat istiadat, dan pengetahuan tentang
berbagai ciri khas lingkungan alam sekitar, serta
hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang
bersangkutan.
penetapan
Untuk
pengembangan
dan
mata pelajaran disesuaikan dengan
kondisi Sekolah Saat Ini, seperti : (1) analisis
Muatan lokal yang ada di sekolah, apakah masih
layak
dan
relevan
Mulok
diterapkan
di
sekolah?(2) bila muatan lokal yang diterapkan di
sekolah tersebut masih layak digunakan maka
kegiatan berikutnya adalah merubah Muatan
lokal tersebut ke dalam Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar; (3) bila Muatan lokal
yang
ada tidak layak lagi untuk diterapkan, maka
sekolah bisa menggunakan Mulok dari sekolah
lain
atau
tetap
menggunakan
Mulok
yang
ditawarkan oleh Dinas atau mengembangkan
mulok yang lebih sesuai.
Pengembangan dan
Penetapan Standar kompetensi dan Kompetensi
dasar yakni: 1) mengidentifikasi keadaan dan
kebutuhan daerah 2) menentukan fungsi dan
10
susunan
atau
komposisi
Muatan
lokal
3)
mengidentifikasi bahan kajian Muatan lokal; 4)
menentukan Mata Pelajaran Muatan lokal; 5)
mengembangkan
Standart
kompetensi
dan
Kompetensi dasar berserta silabusnya dan RPPnya;
6)
Pelaksanaan
mengembangkan
Sekolah
Standar
yang
mampu
Kompetensi
dan
Kompetensi Dasar beserta silabus dan RPP-nya
dapat melaksanakan Mulok.
Bila belum mampu
berdasarkan
melaksanakan Mulok
kegiatan-kegiatan
yang
direncanakan oleh sekolah, maka dapat meminta
bantuan kepada sekolah lain yang masih dalam
satu daerah. Bila beberapa sekolah dalam satu
daerah belum mampu mengembangkan SK dan
KD
Mulok,
dapat
Pengembang
meminta
Kurikulum
bantuan
(TPK)
di
Tim
daerah
setempat, atau meminta bantuan dari LPMP di
propinsi.
Pihak
Pengembangan
Perguruan
Depdiknas,
yang
Muatan
tinggi,
terlibat
lokal
TPK,
Instansi/lembaga
misalnya:
dalam
LPMP,
di
luar
pemerintah
Daerah/Bapeda, Dinas Departemen lain terkait,
dunia usaha/industri, dan tokoh masyarakat.
Rambu-Rambu Bahan kajian disesuaikan dengan
tingkat
perkembangan
peserta
didik
11
(pengetahuan dan cara berpikir, emosional, dan
sosial).
2.1.2 Pembelajaran Bahasa Jawa di SD
Bahasa Jawa adalah suatu bahasa daerah
yang
merupakan
nasional
bagian
Indonesia,
dari
yang
kebudayaan
hidup
dan
tetap
dipergunakan dalam masyarakat bahasa yang
bersangkutan.
Bahasa
Jawa
yang
terus
berkembang maka diperlukan penyesuaian ejaan
huruf Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu
bahasa
daerah
sehingga
perlu
dilestarikan
supaya tidak hilang keberadaannya. Kurikulum
Bahasa
Jawa
(2010:
1)
pelestarian
dan
pengembangan Bahasa Jawa didasarkan pada
beberapa hal sebagai berikut:
1) Bahasa
Jawa
sebagai
alat
komunikasi
sebagian besar penduduk Jawa; 2) Bahasa
Jawa
memperkokoh
jati
diri
dan
kepribadian orang dewasa; 3) Bahasa Jawa,
termasuk didalamnya sastra dan budaya
Jawa,
mendukung
kekayaan
khasanah
budaya bangsa; 4) Bahasa, Sastra dan
budaya Jawa merupakan warisan budaya
adiluhung, dan 5) bahasa, Sastra, dan
budaya
Jawa
dikembangkan
untuk
mendukung life skill.
12
Fungsi Bahasa Jawa yang tadinya lebih
luas meliputi sampai pada bahasa resmi di
kalangan pemerintahan dan ilmu pengetahuan di
sekolah
sekarang
menjadi
lebih
singkat.
Sabdwara (Supartinah, 2010: 24) fungsi Bahasa
Jawa antara lain:
a. Bahasa
Jawa
adalah
bahasa
budaya
di
samping berfungsi komunikatif juga berperan
sebagai sarana perwujudan sikap budaya yang
sarat dengan nilai-nilai luhur.
b. Sopan
santun
berbahasa
Jawa
berarti
mengetahui akan batas-batas sopan santun,
mengetahui cara menggunakan adat yang baik
dan mempunyai rasa tanggungjawab untuk
perbaikan hidup bersama.
c. Agar mencapai kesopanan yang dapat menjadi
hiasan diri pribadi seseorang, maka syarat
yang
harus
ditempuh
adalah
sebagai
berikut:1) Pandai menenggangkan perasaan
orang
lain
di
dalam
pergaulan,
2)pandai
menghormati kawan maupun lawan, dan 3)
pandai menjaga tutur kata, tidak kasar, dan
tidak menyakiti hati orang lain
Pembelajaran
Bahasa
Jawa
di
sekolah
dasar meliputi , menyimak, berbicara, membaca
13
dan menulis. Menyimak pada hakikatnya sama
dengan kegiatan membaca hanya saja pada
menyimak merupakan pemahaman teks lisan.
Kegiatan berbicara diarahkan pada kemampuan
mengungkapkan gagasan, pendapat, pesan dan
perasaan
Bahasa
secara
Jawa.
lisan
dengan
Membaca
menggunakan
diarahkan
pada
kemampuan memahami isi bacaan, makna suatu
bacaan ditentukan oleh situasi dan konteks
dalam
bacaan.
untuk
Kegiatan
menulis
mengembangkan
diarahkan
kemampuan
mengungkapkan gagasan, pendapat, pesan dan
perasaan secara tertulis. Program pengajaran
Muatan
lokal
Bahasa
Jawa,
lingkup
mata
pelajaran Bahasa Jawa meliputi penguasaan
kebahasaan,
kemampuan
mengapresiasi
menggunakan
sastra
memahami
dan
Bahasa Jawa.
kemampuan
Bahasa Jawa
mempunyai tiga ragam bahasa yaitu basa ngoko,
basa madya, dan basa krama.
2.2
Evaluasi Program
2.2.1 Pengertian Evaluasi Program
Menurut
Suharsimi
Arikunto
(2004: 1)
evaluasi berasal dari kata evaluation (bahasa
Inggris) bila diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia yang berarti “Evaluasi” atau penilaian,
14
yang
artinya
kegiatan
yang
membandingkan
sesuatu hal dengan satuan ukuran tertentu.
Sedangkan
menurut
Arma
Abdullah
dalam
Tayibnapis (2008: 5) evaluasi adalah proses
pemberian makna bagi satu pengukuran dengan
mempertimbangkan
pada
standart
tertentu,
artinya ketika kita mengukur suatu proses maka
kita
akan
mengacu
pada
standart
tertentu
menurut kaidah-kaidah yang berlaku.
Menurut Stake dalam Tayibnapis (2008: 6)
evaluasi
program
adalah
suatu
rangkaian
kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
melihat
tingkat
keberhasilan
program.
Ada
beberapa pengertian tentang program sendiri.
Evaluasi
program
adalah
kegiatan
untuk
mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan
dari
kegiatan
yang
direncanakan
(Arikunto,
2005;5).
Tayibnapis (2008: 21) memandang bahwa
evaluasi
program
adalah
kegiatan
untuk
merespon suatu program yang telah, sedang, dan
akan dilaksanakan. Stake mengemukakan bahwa
evaluasi
program
langsung
pada
pendidikan
kegiatan
dalam
berorientasi
pelaksanaan
program dan evaluasi dilakukan untuk merespon
pihak-pihak
yang
membutuhkan
informasi
mengenai program tersebut, Stake menekankan
adanya dasar kegiatan dalam evaluasi yaitu
deskriptions, dan judgement dan membedakan
adanya tiga tahap dalam program pendidikan
atendent
(context),
transactions
(process)
dan
15
outcomes (output). Menurut Fitzpatrick, Sanders
dan
Worthen,
(2004)
peran
utama
evaluasi
program adalah untuk menjawab pertanyaanpertanyaan seperti; Apakah program tersebut
berjalan baik? Manfaat apa yang bisa diperoleh
dari suatu program? Apakah program berjalan
efektif? Bagian program mana yang pengaruhnya
lebih besar? ;Penyesuaian apa yang harus dibuat
agar program bisa berjalan lebih efektif?
Jadi Evaluasi program adalah suatu unit
atau
kesatuan
kegiatan
yang
bertujuan
mengumpulkan informasi tentang realisasi atau
implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung
dalam
proses
yang
berkesinambungan,
dan
terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan
sekelompok orang guna pengambilan keputusan.
Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui
pencapaian
tujuan
program
yang
telah
dilaksanakan.
2.2.2 Tujuan Evaluasi Program
Menurut
evaluasi
untuk:
Mulyatiningsih (2011: 114-115),
program
dilakukan
1)Menunjukkan
dengan
sumbangan
tujuan
program
terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil
evaluasi
ini
penting
untuk
mengembangkan
program yang sama ditempat lain; 2)Mengambil
keputusan
tentang
keberlanjutan
sebuah
16
program,
apakah
program
perlu
diteruskan,
diperbaiki atau dihentikan.
Dilihat
mengetahui
dari
tujuannya,
kondisi
sesuatu,
yaitu
maka
ingin
evaluasi
program dapat dikatakan merupakan salah satu
bentuk penelitian evaluatif. Oleh karena itu,
dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan
menentukan langkah bagaimana melaksanakan
penelitian. Menurut Arikunto dan Jabar (2009: 7),
terdapat
perbedaan
yang
mencolok
antara
penelitian dan evaluasi program adalah sebagai
berikut:
1) Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin
mengetahui
kemudian
sedangkan
gambaran
tentang
hasilnya
dalam
sesuatu
dideskripsikan,
evaluasi
program
pelaksana ingin mengetahui seberapa tinggi
mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil
pelaksanaan program, setelah data yang
terkumpul dibandingkan dengan citra atau
standar tertentu.
2) Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut
oleh
rumusan
masalah
karena
ingin
mengetahui jawaban dari penelitiannya,
sedangkan
pelaksana
dalam
ingin
evaluasi
mengetahui
program
tingkat
ketercapaian tujuan pgogram, dan apabila
17
tujuan
belum
tercapai
sebagaimana
ditentukan, pelaksana ingin mengetahui
letak kekurangan itu dan apa sebabnya.
2.2.3 Manfaat Evaluasi Program
Evaluasi
supervisi.
sama artinya dengan kegiatan
Kegiatan
evaluasi/supervisi
yaitu
untuk mengambil keputusan atau melakukan
tindak
lanjut
dilaksanakan.
dari
program
Menurut
yang
telah
dan
Jabar
Arikunto
(2009: 22),manfaat dari evaluasi program dapat
berupa penghentian program, merevisi program,
melanjutkan
program,
dan
menyebarluaskan
program.
Menurut
manfaat
dari
Mulyatiningsih
evaluasi
(2011:
program,
117),
yaitu
1)
Menghentikan program, karena dipandang bahwa
program tersebut tidak ada
manfaatnya,atau
tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan,
2) Merevisi program, karena ada bagian-bagian
yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat
kesalahan tapi hanya sedikit), 3) Melanjutkan
program,karena
menunjukkan
pelaksanaan
bahwa
segala
sesuatu
program
sudah
sesuai dengan harapan dan memberikan hasil
yang bermanfaat, 4) Menyebar luaskan program
(melaksanakan progran di tempat-tempat lain
18
atau
mengulangi
lagi
program
dilain
waktu),karena program tersebut berhasil dengan
baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di
tempat dan waktu yang lain. Jadi manfaat
evaluasi
program
adalah
tindakan-tindakan
seperti penghentian program, merevisi program,
melanjutkan
program,
dan
menyebarluaskan
program.
2.3
Model-Model Evaluasi Program
2.3.1 Pengertian Model-Model Evaluasi Program
Model-model evaluasi yang satu dengan
yang lainnya memang tampak bervariasi, akan
tetapi
maksud
melakukan
dan
tujuannya
sama
yaitu
kegiatan pengumpulan data atau
informasi yang berkenaan dengan objek yang
dievaluasi.
Selanjutnya
informasi
yang
terkumpul dapat diberikan kepada pengambil
keputusan
agar
dapat
menentukan
tindak
lanjut
dengan
tentang
tepat
program
yang sudah dievaluasi.
Menurut
dikutip
oleh
Safruddin
Kaufman
Suharsimi
Abdul
dan
Thomas
Arikunto
Jabar
yang
dan
(2009:
Cepi
40
),
membedakan model evaluasi menjadi delapan,
yaitu:
1)
Goal
Oriented
Evaluation
Model,
dikembangkan oleh Tyler; 2) Goal Free Evaluation
19
dan 3) Formatif Summatif Evaluation Model,
dikembangkan
oleh
Countenance
Evaluation
Michael
Scriven;
Model,
dan
4)
;
5)
Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh
Stake;
6)
CSE-UCLA
Evaluation
Model,
menekankan pada “kapan” evaluasi dilakukan,
dikembangkan oleh Alkin; 7) CIPP Evaluation
Model, dikembangkan oleh Stufflebeam; dan 8)
Discrepancy Model, dikembangkan oleh Provus.
2.3.2 Goal Oriented Evaluation Model
Model ini merupakan model yang muncul
paling awal. Yang menjadi objek pengamatan
pada model ini adalah tujuan dari program yang
sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai.
Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan,
terus-menerus,
tersebut
mencek
sudah
sejauh
terlaksana
mana
tujuan
didalam
proses
pelaksanaan program Model ini dikembangkan
oleh Tyler ( Arikunto, Suharsimi, 2004 :25)
Secara
umum
model
evaluasi
ini
memberikan penekanan terhadap produktivitas
dan akuntability dalam suatu aktifitas. Model ini
juga
sering
dipergunakan
untuk
mengukur
pencapaian dan kemajuan peserta didik. Model
ini menepikan dimensi proses dalam pelaksanaan
evaluasi.
Model
ini
sering
mengutarakan
20
pertanyaan seperti apakah peserta didik dapat
mencapai suatu sasaran dengan baik?, apakah
para
dosen
dengan
dapat
baik.
pencapaian,
menjalankan
Untuk
Tyler,
pekerjaanya
membentuk
menggariskan
ujian
beberapa
prosedur yang perlu diikuti, yaitu:
1) Mengenal pasti sasaran program yang
hendak dijalankan.
2) Menguraikan setiap tujuan dalam bentuk
tingkah laku dan isi kandungan.
3) Mengenal pasti situasi dimana tujuan yang
hendak digunakan.
4) Menentukan arah untuk mewakili situasi
5) Menentukan
arah
untuk
mendapatkan
hasil.
Tyler ( Arikunto, Suharsimi, 2004 :27)
mendefinisikan evaluasi sebagai perbandingan
antara hasil yang dikehendaki dengan hasil yang
sebenarnya. Pendekatan Tyler memberikan dasar
pada pengukuran tingkah laku dalam suatu
tujuan yang dibentuk dan mendasarkan kepada
hasil pembelajaran dari input pengajaran. Tyler
telah
membuat
beberapa
perubahan
dalam
konsepnya mengenai penilaian. Perubahan ini
dikembangkan dalam definisi penilaiannya awal
yaitu
penilaian
dalam
program
yang
dibuat
21
dengan membandingkan konsep program dengan
dasar
yang
relevan
untuk
memantapkan
perencanaan program. Termasuk didalamnya: 1)
Penilaian di tingkat implementasi, 2) Penilaian
dalam
monitoring
yang
berkelanjutan
dalam
suatu program.
Menurut Tyler (dalam Azizi, 2008), penilai
harus menilai tingkah laku peserta didik, pada
perubahan tingkah laku yang dikehendaki dalam
pendidikan. Selain itu evaluasi mesti dibuat pada
akhir program.
Dalam model ini, langkah
pertama adalah mengenali tujuan suatu program.
Setelah tujuan program diketahui, indikatorindikator pencapaian tujuan dan alat pengukuran
diketahui pasti. Hasil kajian akan dibandingkan
dengan tujuan program dan keputusan dibuat
level pencapaian yang diperoleh. Menurut Tyler,
apabila
tujuan
program
tidak
tercapai
sepenuhnya, ini membawa implikasi sama bahwa
program pembelajaran lemah atau juga bahwa
tujuan yang dipilih tidak sesuai.
2.3.3 Goal Free Evaluation Model
Model evaluasi yang dikembangkan oleh
Michael Scriven ini dapat dikatakan berlawanan
dengan model pertama yang dikembangkan Tyler
evaluator terus-menerus memantau tujuan, yaitu
22
sejak awal proses terus melihat sejauh mana
tujuan tersebut sudah tercapai, dalam model goal
free evaluation (evaluasi lepas dari tujuan) justru
menoleh dari tujuan (Arikunto, Suharsimi, 2004
:29).
Yang perlu diperhatikan dalam program
tersebut adalah bagaimana kerjanya program,
dengan
jalan
mengidentifikasi
penampilan-
penampilan yang terjadi baik hal positif (hal yang
diharapkan) maupun hal negatif (memang tidak
diharapkan).
Alasan
mengapa
tujuan
program
tidak
perlu diperhatikan karena ada kemungkinan
evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan
khusus.
Jika
masing-masing
tujuan
khusus
tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan,
tetapi
evaluator
mana
lupa
masing-masing
mendukung
memperhatikan
penampilan
penampilan
sejauh
tersebut
terakhir
yang
diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya
jumlah penampilan khusus ini tidak banyak
bermanfaat.
Dari uraian ini
dijelaskan bahwa
yang dimaksud dengan “evaluasi
lepas dari
tujuan” dalam model ini bukannya lepas sama
sekali dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan
khusus.
Model ini hanya mempertimbangkan
tujuan umum yang akan dicapai oleh program,
bukan secara rinci perkomponen.
23
2.3.4 Formatif Summatif Evaluation Model
Selain model "evaluasi lepas dari tujuan",
Michael Scriven juga mengembangan model lain,
yaitu model formatif-sumatif. Model ini menunjuk
adanya
tahapan
dan
lingkup
objek
yang
dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada
waktu program masih berjalan (disebut evaluasi
formatif) dan ketika program sudah selesai atau
berakhir (disebut evaluasi sumatif (Arikunto,
Suharsimi, 2004 :31).
Berbeda dengan model
yang pertama dikembangkan, model yang kedua
ini ketika melaksanakan evaluasi, evaluator tidak
dapat
melepaskan
diri
dari
tujuan.
Tujuan
evaluasi formatif memang berbeda dengan tujuan
evaluasi
sumatif.
Sehingga
model
yang
dikemukakan oleh Michael Scriven ini menunjuk
tentang
"apa,
tersebut
dan
tujuan"
dilaksanakan.
pendidikan,
mempunyai
mengenal
kapan,
termasuk
tugas
dengan
Para
evaluator
guru-guru
evaluasi,
baik
evaluasi
apa
tentu
yang
yang
sudah
dimaksud
dengan evaluasi formatif dan sumatif. Hampir
setiap bulan guru-guru melaksanakan evaluasi
formatif dalam bentuk ulangan harian. Evaluasi
tersebut dilaksanakan untuk mengetahui sampai
seberapa
tinggi
tingkat
keberhasilan
atau
ketercapaian tujuan untuk masing-masing pokok
24
bahasan.
Oleh karena luas atau sempitnya
materi yang tercakup di dalam pokok bahasan
setiap mata pelajaran tidak sama maka tidak
dapat ditentukan dengan pasti kapan evaluasi
formatif dilaksanakan dan berapa kali untuk
masing-masing mata pelajaran.
Evaluasi formatif secara prinsip merupakan
evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih
berlangsung atau ketika program masih dekat
dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi
formatif tersebut adalah mengetahui sejauh mana
program
yang
dirancang
dapat
berlangsung,
sekaligus mengidentifikasi hambatan.
diketahuinya
hambatan
dan
Dengan
hal-hal
yang
menyebabkan program tidak lancar, pengambil
keputusan
secara
perbaikan
yang
dini
dapat
mengadakan
mendukung
kelancaran
pencapaian tujuan program.
Evaluasi
sumatif
dilakukan
setelah
program berakhir. Tujuan dari evaluasi sumatif
adalah untuk mengukur ketercapaian program.
Fungsi evaluasi sumatif dalam evaluasi program
pembelajaran
untuk
dimaksudkan
mengetahui
posisi
sebagai
sarana
atau
kedudukan
individu di dalam kelompoknya.
Mengingat
bahwa objek sasaran dan waktu pelaksanaan
berbeda antara evaluasi formatif dan sumatif
25
maka lingkup sasaran yang
dievaluasi juga
berbeda.
2.3.5 Countenance Evaluation Model
Model
ini
dikembangkan
oleh
Stake.
Menurut ulasan tambahan yang diberikan oleh
Fernandes (1984, dalam Arikunto 2004:33, model
Stake menekankan pada adanya pelaksanaan
dua hal pokok, yaitu (1) deskripsi (description)
dan
(2)
pertimbangan
(judgments),
serta
membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi
program,
yaitu
(1)
anteseden
(antecedents/context),
(2)
transaksi
(trarisaction/process), dan (3) keluaran (output outcomes).
Tiga hal yang dituliskan di antara dua
diagram,
menunjukkan
objek
atau
sasaran
evaluasi. Dalam setiap program yang dievaluasi,
evaluator harus mampu mengidentifikasi tiga hal,
yaitu
(1)
anteseden
yang
diartikan
sebagai
konteks, (2) transaksi yang diartikan sebagai
proses, dan (3) outcome yang diartikan sebagai
hasil.
Selanjutnya
digambarkan
pertimbangan,
kedua
sebagai
menunjukkan
matriks
deskripsi
yang
dan
langkah-langkah
yang terjadi selama proses evaluasi.
26
Matriks pertama, yaitu deskripsi berkaitan
dengan
dua
hal
yang
menunjukkan
posisi
sesuatu (yang menjadi sasaran evaluasi), yaitu
apa
maksud
tujuan
yang
diharapkan
oleh
program, dan pengamatan akibat, atau apa yang
sesungguhnya terjadi atau apa yang betul-betul
terjadi. Selanjutnya evaluator mengikuti matriks
kedua,
yang
pertimbangan,
menunjukkan
yang
dalam
langkah
langkah
tersebut
mengacu pada standar.
Menurut Stake, ketika evaluator tengah
mempertimbangkan program pendidikan, mereka
mau
tidak
mau
harus
melakukan
dua
perbandingan, yaitu (1) membandingkan kondisi
hasil evaluasi program tertentu dengan yang
terjadi di program lain, dengan objek sasaran
yang sama; (2) membandingkan kondisi hasil
pelaksanaan program dengan standar program
yang bersangkutan, didasarkan pada tujuan yang
akan dicapai.
Analisis proses evaluasi yang dikemukakan
Stake (1967, dalam Tayibnapis, 2000) membawa
dampak yang cukup besar dalam bidang ini dan
meletakkan dasar sederhana namun merupakan
konsep yang cukup kuat untuk perkembangan
yang lebih jauh dalam bidang evaluasi.
27
Penekanan yang umum atau hal yang
penting dalam model ini ialah bahwa evaluator
yang membuat penilaian tentang program yang
dievaluasi. Stake mengatakan bahwa description
di satu pihak berbeda dengan judgement atau
menilai.
Dalam
model
ini,
antecedents
(masukan), transaction (proses), dan outcomes
(hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk
menentukan
apakah
ada
perbedaan
tujuan
dengan keadaan yang sebenarnya, tetapi juga
dibandingkan
untuk
dengan
menilai
standar
manfaat
yang
absolut,
program.
Stake
mengatakan bahwa tak ada penelitian dapat
diandalkan apabila tidak dinilai.
2.3.6 Responsive Evaluation Model
Dalam
model
mendefinisikan
pengamatan
Stake
evaluasi
evaluasi
sebagai
dibandingkan
(1967
dalam
ini
suatu
dengan
Azizi,
Stake
nilai
keahlian.
2008),
telah
menggariskan beberapa ciri pendekatan model
evaluasi responsif, yaitu:
1) Lebih ke arah aktivitas program (proses)
daripada tujuan program.
2) Mempunyai
kalangan
hubungan
untuk
dengan
mendapatkan
banyak
hasil
evaluasi.
28
3) Perbedaan nilai perspektif dari banyak
individu menjadi ukuran dalam melaporkan
kegagalan dan keberhasilan suatu program.
Pendekatan
ini
adalah
sistem
yang
mengorbankan beberapa fakta dalam evaluasi
dengan
harapan
dapat
meningkatkan
penggunaan hasil evaluasi kepada individu atau
program itu sendiri. Kebanyakan evaluator lebih
menekankan pada kenyataan, penggunaan ujian
obyektif,
menentukan
laporan
penyelidikan.
standar
program
Evaluasi
ini
dan
kurang
memberikan pengaruh dalam komunikasi formal
dibandingkan dengan komunikasi biasa.
Model ini berdasarkan pada apa yang biasa
individu lakukan untuk menilai suatu perkara.
Mereka akan memperhatikan dan kemudian akan
bertindak. Untuk melaksanakan evaluasi ini,
evaluator dipaksa bekerja lebih keras untuk
memastikan individu yang dipilih memahami apa
yang
perlu
dilakukan.
Evaluator
juga
perlu
membuat prosedur yang baku dan mencari serta
mengatur tim untuk memperhatikan pelaksanaan
program tersebut. Dengan bantuan tim, evaluator
akan
menyediakan
catatan,
deskripsi,
hasil
tujuan serta membuat grafik. Evaluator juga
menilai
kualitas
dan
record
orang
yang
membantu evaluasi.
29
2.3.7 CSE-UCLA Evaluation Model
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu
CSE dan UCLA. Yang pertama, yaitu CSE,
merupakan singkatan dari Center for the Study of
Evaluation,
sedangkan
UCLA
merupakan
singkatan dari University of California in Los
Angeles.
Ciri
adanya
lima
evaluasi,
dari
yaitu
model
tahap
yang
CSE-UCLA
adalah
dilakukan
dalam
perencanaan,
pengembangan,
implementasi, hasil, dan dampak. Fernandes
(1984,
dalam
Arikunto
2004)
memberikan
penjelasan tentang model CSE-UCLA menjadi
empat tahap, yaitu (1) needs assessment, (2)
program planning, (3) formatife evaluation, dan
(4) summatife evaluation.
2.3.8 CIPP Evaluation Model
Model yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
model
pengambilan
keputusan
yang
dikembangkan oleh Stufflebeam yang dikenal
dengan CIPP Evaluation Model. CIPP merupakan
singkatan
dari
Context,
Input,
Process
and
Product. CIPP evaluation model is designed to
systematically
guide
both
evaluators
and
stakeholders in posing relevant questions and
conducting assessments at the beginning of a
project (context and input evaluation), while it is in
30
progress (input and process evaluation), and at its
end
(product
evaluation).
(Guili
Zhang,2011).
Menururt Endang Mulyatiningsih (2011: 126),
mengemukakan bahwa evaluasi CIPP dikenal
dengan nama evaluasi formatif dengan tujuan
untuk
mengambil
keputusan
dan
perbaikan
program. Komponen evaluasi meliputi:
1) Context
Orientasi
utama
dari
evaluasi
konteks
adalah mengidentifikasi latar belakang perlunya
mengadakan
perubahan
atau
munculnya
program dari beberapa subjek yang terlibat dalam
pengambilan keputusan (Endang Mulyatiningsih,
2011: 127).
2) Input
Evaluasi
input
dilakukan
untuk
mengidentifikasi dan menilai kapabilitas sumber
daya bahan, alat, manusia dan biaya, untuk
melaksanakan
program
yang
telah
dipilih
(Endang Mulyatiningsih, 2011: 129).
3) Process
Evaluasi
proses
bertujuan
untuk
mengidentifikasi atau memprediksi hambatanhambatan dalam pelaksanaan kegiatan atau
31
implementasi
dengan
program.
mencatat
atau
Evaluasi
dilakukan
mendokumentasikan
setiap kejadian dalam pelaksanaan kegiatan,
memonitor
kegiatan-kegiatan
yang
berpotensi
menghambat dan menimbulkan kesulitan yang
tidak diharapkan, menemukan informasi khusus
yang
berada
diluar
rencana;
menilai
dan
menjelaskan proses secara aktual. Selama proses
evaluasi, evaluator dituntut berinteraksi dengan
staf pelaksana program secara terus menerus
(Endang Mulyatiningsih, 2011: 130-131).
4) Product
Tujuan
untuk
utama
mengukur,
memutuskan
hasil
evaluasi
produk
adalah
menginterpretasikan
dan
yang
oleh
telah
dicapai
program, yaitu apakah telah dapat memenuhi
kebutuhan
sesuai
dengan
tujuan
yang
diharapkan atau belum (Endang Mulyatiningsih,
2011: 132).
2.3.9 Discrepancy Model
Provus mendefinisikan evaluasi sebagai alat
untuk membuat pertimbangan (judgement) atas
kekurangan
dan
kelebihan
suatu
objek
berdasarkan diantara standar dan kinerja. Model
32
ini
juga
dianggap
menggunakan
pendekatan
formatif dan berorientasi pada analisis system.
Standar
dapat
pertanyaan
diukur
dengan
bagaimana
menjawab
program
berjalan.
Sementara pencapaiannya adalah lebih kepada
apakah yang sebenarnya terjadi. Evaluator hanya
boleh
membantu
dengan
membentuk
dan
menjelaskan peranan standar dan pencapaian.
Dalam model evaluasi ini, kebanyakan informasi
yang diperoleh berbeda dan dikumpulkan dengan
beberapa cara, yaitu (Azizi, 2008):
1) Merencanakan
bentuk
penilaian,
menentukan kemantapan suatu program.
2) Penilaian
pihak
input,
bertujuan
pengurus
dengan
membantu
memastikan
sumber yang diperlukan mencukupi.
3) Proses
penilaian,
memastikan
aktivitas
yang dirancang berjalan dengan lancar dan
memiliki mutu seperti yang diharapkan.
4) Penilaian
hasil,
judgement
di
tahap
pencapaian suatu hasil yang direncanakan.
2.4 Penelitian Yang Relevan
Ratna
Widowati
2007.Pelaksanaan
Sadi
Kurikulum
Muatan
Putra.
lokal
Bahasa Jawa Bagi Siswa yang Berbahasa Tengger
di
SDN
1
Ngadas
Kec.
Poncokusumo
Kab.
33
Malang.
Hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan pembelajaran Bahasa Jawa
di SDN 1 Ngadas (1) guru membuat perencanaan
mengajar
harian,
dikarenakan
penerapan
pembelajaran kelas rangkap dimana satu orang
guru mengajar 6 kelas sekaligus. Komponen
perencanaan
meliputi,
(a)
sebagian
guru
membuat perencanaan mengajar harian, (b) guru
kelas selalu merumuskan tujuan pembelajaran
sesuai
dengan
kurikulum,
dan
standar
kompetensi dirinci menjadi kompetensi dasar, (c)
merencanakan
metode
mengajar
berupa
pembelajaran klasikal, ceramah, diskusi, dan
pembelajaran kelompok, (d) merencanakan media
pembelajaran Bahasa Jawa yang berupa buku
teks/text book yaitu Piwulang Basa Jawa Kangge
Kelas 1-6, (e) merencanakan bentuk soal tes yaitu
bentuk soal pilihan ganda jenis asosiasi pilihan
berganda dan melengkapi pilihan, serta bentuk
uraian
jenis
uraian
non
objektif,
(f)
merencanakan waktu pelaksanaan tes, yaitu
evaluasi
formatif
atau
evaluasi
proses
yang
dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu, serta
evaluasi sumatif yang dilaksanakan setiap akhir
semester, (g) merencanakan balikan dan bentuk
balikan yang berupa pengulangan/review. (2)
Pelaksanaan pembelajaran Bahasa Jawa antara
34
lain, (a) menggunakan bahasa Indonesia dan
bahasa Tengger sebagai bahasa pengantar dalam
pembelajaran Bahasa Jawa, (b) selalu melakukan
apersepsi dan membuat kaitan antar materi
sebelum memulai kegiatan belajar, (c) bahan
kajian
pembelajaran
Bahasa
Jawa
yaitu
mendengar, berbicara, membaca, menulis, dan
apresiasi karya sastra, (d) siswa sering mengalami
kesulitan belajar Bahasa Jawa dalam hal menulis
huruf Jawa dan membaca wacana Bahasa Jawa,
(e) dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi
kesulitan tersebut adalah menanyakan kepada
teman
yang
lebih
menguasai
materi
atau
menanyakan langsung pada guru kelas. (3)
Evaluasi pembelajaran Bahasa Jawa meliputi
evaluasi harian, berbentuk lisan dan tertulis
dalam jangka waktu tertentu.
Evaluasi ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman
siswa terhadap materi dan sebagai alat untuk
memotivasi siswa yang pada umumnya memiliki
motivasi belajar rendah.
Nanik Siti Hasanah. 2011. Penerapan
Pembelajaran Muatan lokal Bahasa Jawa dalam
Melestarikan Etika Lingkungan Pergaulan Siswa
Sekolah Dasar Negeri Plumbon 01 Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang Tahun Pelajaran
35
2010/2011.
diperoleh
Setelah
dilakukan
kesimpulan
analisis
bahwa
data
perencanaan
pembelajaran yang dibuat guru berupa rencana
harian dan rencana pelaksanaan pembelajaran.
Pelaksanaan
pembelajaran
sesuai
dengan
rencana yang telah dipersiapkan. Selama proses
pembelajaran Bahasa Jawa di kelas rendah (kelas
1,2,dan
3)
tidak
sepenuhnya
menggunakan
Bahasa Jawa, sedangkan di kelas tinggi (kelas 4
dan 5) sepenuhnya menggunakan Bahasa Jawa.
Berkaitan dengan usaha penerapan pembelajaran
Bahasa Jawa, Kepala Sekolah Dasar Plumbon 01
membuat kebijakan “Kamis berbahasa Jawa”
yang berupa surat keputusan. Hasil pengamatan,
siswa
bersikap
sopan
terhadap
guru
yang
ditunjukkan dengan perbuatan dan tutur kata.
Dalam pergaulan antar siswa, digunakan Bahasa
Jawa ngoko atau
ngoko alus. Berdasarkan
temuan-temuan penelitian disarankan kepada
guru, siswa, dan lingkungan pendidikan sebagai
berikut : (1) Guru hendaknya meningkatkan
kompetensi sebagai pendidik yang professional (2)
Pembiasaan
berbahasa
Jawa
bagi
siswa
hendaknya tidak hanya di lingkungan sekolah. (3)
Kepala
UPTD
kecamatan
disarankan
untuk
mengambil kebijakan dalam upaya melestarikan
36
budaya
Jawa
yang
salah
satunya
adalah
berbahasa Jawa.
2.5 Kerangka Berfikir
Sesuai dengan teori CIPP (Contect, Input,
Process,
Product)
dalam
penelitian
program
evaluasi Muatan lokal Bahasa Jawa ini mencari
penjelasan apakah Muatan Lokal Bahasa Jawa ini
masih diperlukan di SDN Kalisegoro, apakah
masih dapat diteruskan atau dihentikan.
Program-program
Muatan Lokal Bahasa
Jawa di SDN Kalisegoro yang berupa Program
Tahunan, Program Semester, Silabus, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran dan jadwal pelajaran
serta ekstra kurikuler apakah sudah memenuhi
keperluan program tersebut.
Proses pelaksanaan program Muatan Lokal
Bahasa Jawa apakah sudah berjalan sesuai
dengan program yang telah dibuat atau yang
telah
ada,
menghambat
tersebut.
adakah
proses
Dari
menggambarkan
kendala-kendala
berjalannya
proses
yang
program
itu apakah sudah
berjalannya
program
Mulok
Bahasa Jawa atau belum. Dari hasil pelaksanaan
program
nantinya
dapat
digunakan
sebagai
rekomendasi kebijakan apakah program Mulok
dapat dilaksanakan terus atau dihentikan.
37
Seperti
Mulyatiningsih
teori
yang
bahwa
dikemukakan
model
CIPP
dikenal
dengan evaluasi formatif dan sumatif dengan
tujuan
untuk
mengambil
keputusan
dan
perbaikan program. Pada pelaksanaan ini peneliti
hanya meneliti sampai pada proses, tidak sampai
produk karena
ingin mengetahui pada proses
pelaksanaan program saja. Dari gambaran di atas
dapat
digambarkan
dengan
diagram
sebagai
berikut:
Konteks
pelaksanaan
Program Mulok
Bahasa Jawa
Input Program
Mulok Bahasa
Jawa
Program
Mulok
Bahasa Jawa
Rekomendasi
Kebijakan
Proses pelaksanaan
Program Mulok
Bahasa Jawa
38