BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Dampak Program Desa Mandiri Pangan Terhadap Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus: Kel.Ladang Bambu, Kec. Medan Tuntungan, Kota Medan)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pustaka

  Bentuk program bantuan penguatan modal yang diperuntukkan bagi petani pertama kali diperkenalkan pada Tahun 1964 dengan nama Bimbingan Masal (BIMAS). Tujuan dibentuknya program tersebut adalah untuk meningkatkan produksi, meningkatkan penggunaan teknologi baru dalam usahatani dan peningkatan produksi pangan secara nasional. Dalam perjalanannya, program BIMAS dan kelembagaan kredit petani mengalami banyak perubahan dan modifikasi yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebijakan (Hasan, 1979 dalam Lubis 2005).

  Pada Tahun 1985, kredit BIMAS dihentikan dan diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT) sebagai penyempurnaan dari sistem kredit massal BIMAS, dimana pola penyaluran yang digunakan pada saat itu adalah melalui KUD.

  Sejalan dengan perkembangannya, ternyata pola yang demikian banyak menemui kesulitan, utamanya dalam penyaluran kredit.

  Selanjutnya perkembangan bentuk program bantuan penguatan modal dari pemerintah lainnya adalah kredit ketahanan pangan (KKP). Program KKP diperkenalkan oleh pemerintah pada Oktober 2000 sebagai pengganti KUT. Program KKP merupakan bentuk fasilitasi modal untuk usahatani tanaman pangan (padi dan palawija), tebu, peternakan, perikanan dan pengadaan pangan.

  Tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dan pendapatan petani (Lubis, 2005)

  Tahun 2002, pemerintah melalui Departemen Pertanian mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya untuk memberdayakan masyarakat dalam berusaha berupa program fasilitasi Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Program BLM ini diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat yang mencakup bantuan modal untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi produktif, bantuan sarana dan prasarana dasar yang mendukung kegiatan sosial ekonomi, bantuan pengembangan sumberdaya manusia untuk mendukung penguatan kegiatan sosial ekonomi, bantuan penguatan kelembagaan untuk mendukung pengembangan proses hasil-hasil kegiatan sosial ekonomi secara berkelanjutan melalui penguatan kelompok masyarakat dan unit pengelola keuangan, dan bantuan pengembangan sistem pelaporan untuk mendukung pelestarian hasil-hasil kegiatan sosial ekonomi produktif (Sumodiningrat, 1990 dalam Kasmadi, 2005).

  Kata kredit berasal dari bahasa latin “credere” yang artinya percaya, maka dalam arti luas kredit diartikan kepercayaan. Maksud dari percaya bagi si pemberi kredit adalah percaya kepada si penerima kredit merupakan penerimaan kepercayaan yang mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai jangka waktu.

  Menurut Undang-Undang Perbankan No.7 Tahun 1992 tentang pokok- pokok perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

  Kredit sangat dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi mempunyai tiga komponen penting, yaitu pertumbuhan, perubahan struktur ekonomi dan pengurangan jumlah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi ditunjukkan oleh adanya peningkatan produksi (output). Peningkatan produksi hanya dapat dicapai dengan cara menambah jumlah input atau dengan cara menerapkan teknologi baru. Penambahan input maupun penggunaan teknologi baru akan selalu diikuti dengan penambahan modal. Dengan kata lain, pelaksanaan pembangunan berarti pula peningkatan penggunaan modal.

  Modal yang digunakan bersumber dari modal sendiri atau dari modal pinjaman (kredit). Namun, mengingat modal sendiri umumnya relatif sedikit, maka kebutuhan akan kredit yang tersedia tepat waktu sangat diperlukan. Berdasarkan kepentingannya jenis kredit dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kredit produksi dan kredit konsumsi. Kredit produksi diberikan kepada peminjam untuk membiayai kegiatan usahanya yang bersifat produktif. Sedangkan kredit konsumsi diberikan kepada peminjam yang kekurangan dana membiayai konsumsi keluarga.

  Menurut Suyatno (2006), dalam transaksi kredit terdapat unsur-unsur kredit, yaitu:

1. Kepercayaan

  Merupakan keyakinan dari pihak pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikan baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu pada masa yang akan datang. Kepercayaan ini timbul karena sebelumnya pihak pemberi kredit telah melakukan penyelidikan dan analisa terhadap kemampuan dan kemauan calon nasabah dalam membayar kembali kredit yang akan disalurkan.

  2. Suatu masa yang akan memisahkan antara pemberi prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian nilai uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterimanya kembali pada masa yang akan datang.

  3. Degree of Risk Suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari jangka waktu yang memisahkan antara pemberi prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterimanya pada masa yang akan datang. Semakin lama jangka panjang waktu kredit yang diberikan semakin tinggi resiko yang dihadapinya, karena dalam waktu tersebut terdapat juga unsur ketidakpastian yang tidak diperhitungkan. Keadaan inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko. Oleh karena itu, dalam pemberian kredit timbul adanya jaminan.

  4. Prestasi atau Objek Kredit Pemberian kredit tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat diberikan dalam bentuk barang dan jasa, namun dapat dinilai dengan bentuk uang. Dalam prakteknya transaksi kredit pada umumnya adalah menyangkut uang.

  Seiring dengan perkembangan dan perubahan kepemimpinan di pemerintahan, maka kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pun berubah untuk lebih baik. Tahun 2006, pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mencanangkan program baru yang diberi nama Program Desa Mandiri Pangan.

2.1.1 Program Desa Mandiri Pangan

  Kegiatan Demapan merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin di desa rawan pangan, dengan karakteristik: kualitas sumberdaya masyarakat rendah, sumber daya modal terbatas, akses teknologi rendah, dan infrastruktur perdesaan terbatas. Komponen kegiatan Demapan meliputi: (1) pemberdayaan masyarakat; (2) penguatan kelembagaan; (3) pengembangan Sistem Ketahanan Pangan; dan (4) integrasi program sub sektor dan lintas sektor dalam menjalin dukungan pengembangan sarana prasarana perdesaan.

  Proses pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui: (1) pelatihan; (2) pendampingan; dan (3) peningkatan akses untuk pengembangan kerjasama partisipasi inklusif, kapasitas individu, kapasitas kelembagaan masyarakat, sosial dan ekonomi, serta ketahanan pangan. Sasaran pemberdayaan ditujukan untuk mengembangkan kelembagaan aparat, kelembagaan masyarakat, dan kelembagaan pelayanan di perdesaan. Sehingga diharapkan terjadi perubahan dinamika masyarakat dalam perencanaan dan berkelompok untuk menanggulangi kerawanan pangan di desanya, serta penumbuhan kelembagaan di desa yang dikelola oleh masyarakat untuk penguatan modal dan sosial.

  Melalui fasilitasi pemerintah, kelembagaan dibangun untuk mampu mengoptimalkan input: sumber daya alam, sumber daya manusia, dana, teknologi, dan kearifan lokal untuk menggerakan sistem ketahanan pangan, melalui: (1) subsistem ketersediaan pangan dalam peningkatan produksi dan cadangan pangan masyarakat; (2) subsistem distribusi yang menjamin kemudahan akses fisik, peningkatan daya beli, serta menjamin stabilisasi pasokan; dan (3) subsistem konsumsi untuk peningkatan kualitas pangan dan pengembangan diversifikasi pangan. Sehingga diharapkan LKD sudah berfungsi sebagai layanan modal; posyandu bersama kader gizi dan PKK sudah aktif; sistem ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan sudah bekerja; serta koordinasi program lintas subsektor dan sektor sudah dirintis untuk rencana pembangunan sarana prasarana perdesaan yang mendukung ketahanan pangan.

  Upaya peningkatan ketahanan pangan masyarakat melalui berbagai fasilitasi tersebut, memerlukan dukungan koordinasi dan integrasi subsektor dan lintas sektor, yang diimplementasikan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat miskin dan pembangunan sarana prasarana perdesaan. Bekerjanya mekanisme tersebut, diharapkan dapat mencapai output yang diinginkan, antara lain: (1) terbentuknya kelompok-kelompok afinitas; (2) terbentuknya (LKD); dan (3) tersalurnya dana Bansos untuk usaha produktif. Sehingga diharapkan terdapat kemajuan sumber pendapatan, peningkatan daya beli, gerakan tabungan masyarakat, peningkatan ketahanan pangan rumah tangga, peningakatan pola pikir masyarakat, serta peningkatan keterampilan dan pengetahuan masyarakat.

  1. Ruang lingkup Kegiatan Demapan dilaksanakan dalam empat tahap: persiapan, penumbuhan, pengembangan, dan kemandirian. Pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat miskin, penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah desa, pengembangan sistem ketahanan pangan, dan peningkatan koordinasi lintas 2 subsektor dan sektor untuk mendukung pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana perdesaan.

  2. Tujuan Program Desa Mandiri Pangan memiliki tujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin pedesaan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki atau dikuasainya secara optimal, dalam mencapai kemandirian pangan rumah tangga dan

  3. Sasaran Sasaran kegiatan Demapan adalah Rumah tangga miskin di desa rawan pangan untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan masyarakat.

  4. Indikator keberhasilan Mengingat sasaran akhir kegiatan Demapan untuk mewujudkan kemandirian pangan masyarakat miskin di desa rawan pangan, maka indikator keberhasilannya berada pada perwujudan kemandirian pangan tingkat desa dan masyarakat sebagai berikut:

1. Output

  a. Terbentuknya kelompok-kelompok afinitas;

  b. Terbentuknya Lembaga Keuangan Desa (LKD);

  c. Tersalurnya dana Bansos untuk usaha produktif; 2. Outcome

  a. Terbentuknya kelompok usaha produktif;

  b. Berperannya lembaga permodalan;

  c. Meningkatnya usaha produktif;

3. Benefit

  Meningkatnya pendapatan, daya beli, dan akses pangan masyarakat 4. Impact

  Terwujudnya ketahanan pangan dan gizi masyarakat

  5. Kegiatan Umum Desa Mandiri Pangan Berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalam Kegiatan Demapan, dirancang selama empat tahun dalam empat tahap, meliputi tahap: persiapan, penumbuhan,pengembangan, dan kemandirian. Kegiatan yang dilakukan adalah: seleksi lokasi desa dan penyusunan data dasar desa, sosialisasi kegiatan, penumbuhan kelembagaan, pendampingan, pelatihan, pencairan dan pemanfaatan dana Bansos, serta monitoring, evaluasi dan pelaporan.

  6. Kegiatan Demapan per Tahapan Kegiatan Demapan dilakukan selama empat tahap, dengan rincian seperti pada Gambar 1.

TAHAPAN KEGIATAN

  Seleksi Lokasi Sasaran, Penetapan Pendamping, Penetapan Koordinator Pendamping, Penyusunan Data Dasar Desa, Penetapan kelompok, Penetapan TPD, penumbuhan LKD, Sosialisasi Persiapan Kegiatan, Pendampingan, Penyusunan RPWD, Pelatihan, Penyaluran Bansos.

  • Pemberdayaan masyarakat melalui: pelatihan, peningkatan aksessibilitas masyarakat, dan penguatan kelembagaan;
  • Pengembangan sistem ketahanan pangan untuk pembangunan sarana cadangan pangan, dan penguatan dasa wisma dalam Penumbuhan penganekaragaman konsumsi.
  • Koordinasi lintas sektor untuk dukungan sarana dan prasarana perdesaan.
  • Pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan keterampilan dan akses permodalan;
  • Pengembangan sistem ketahanan pangan dengan penumbuhan Pengembangan cadangan pangan dan pemanfaatan sumberdaya pangan.
  • Dukungan lintas sektor untuk dukungan pembangunan sarana dan prasarana perdesaan.
  • Pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan layanan dan jaringan usaha
  • Pengembangan sistem ketahanan pangan untuk pengembangan diversifikasi produksi, pengembangan akses pangan, Kemandirian pengembangan jaringan pemasaran, dan penganekaragaman konsumsi; • Pemanfaatan, pemeliharaan sarana dan prasarana perdesaan.

  Gambar 1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Demapan

2.2 Landasan Teori

  Sejak pemerintahan dijaman orde baru telah meluncurkan kredit program yang diawali dengan kredit Bimas guna mendukung ketersediaan modal petani.

  Dari waktu ke waktu model program kredit pertanian ini telah mengalami perubahan, baik yang terkait dengan prosedur penyaluran, besaran dan bentuk kredit, bunga kredit maupun tenggang waktu pengembalian. Pemerintah juga memberikan bantuan modal dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) atau dana bergulir, maupun subsidi bunga. Bantuan yang selama ini sudah berjalan adalah; (1) Bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM); (2) Bantuan Pinjaman Langsung Masyarakat (BPLM); (3) Kredit Ketahanan Pangan (KKP); (4) Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP); (5) Kredit Kepada Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Dari program pemerintah tersebut telah dikaji dalam penelitian terdahulu yang telah diteliti oleh oleh masing-masing yaitu; (1) Kasmadi (2005); (2) Filtra (2007); (3) Lubis(2005); (4) Sume (2008); (5) Perdana (2007).

  Dalam penelitian terdahulu terdapat beberapa alat analisis yang digunakan dalam mengukur keberhasilan program bantuan permodalan petani yaitu ; (1) uji t; (2) uji regresi logistik; (3) analisis pendapatan usaha tani. Untuk uji t terdapat pada penelitian kasmadi (2005) yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan dampak BLM terhadap kemandirian petani ternak di kelompok tani ternak Desa Tambun Jaya dan Tambun Raya Kecamatan Barasang. Uji t yang digunakan berfungsi untuk melihat apakah apakah ada perbedaan pendapatan setelah adanya pemeberian bantuan modal tersebut. Dari hasil uji t menunjukkan bahwa BLM yang diberikan kepada kelompok tani sangat bermanfaat dan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani.

  Untuk uji regresi logistik terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Filtra (2007). Uji regresi logistik yang digunakan berfungsi untuk melihat apakah ada pengaruh dari pinjaman kredit pemerintah terhadap pertambahan pendapatan petani. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa program BPLM di Kabupaten Agam di nilai berhasil sehingga layak uuntuk dilanjutkan. Kemudian untuk alat analisis pendapatan usahatani terdapat pada penelitian Lubis (2005), Sume (2008), Perdana (2007). Analisis pendapatan usahatani ini dipakai peneliti untuk melihat bahwa dengan adanya bantuan permodalan berupa kredit yang diberikan kepada petani akan mengakibatkan petambahan pendapatan, kemudahan dalam mendapatkan saprodi, pasar dan yang lainnya. Dengan terbantunya petani dalam pengadaan saprodi dan pemasaran maka mengakibatkan pertambahan pendapatan yang baik dari sebelum adanya program bantuan tersebut.

  Menurut Didik (2010) pengertian dampak secara umum adalah segala sesuatu yang ditimbulkan akibat adanya ‘sesuatu’. Dampak itu sendiri juga bisa berarti konsekuensi sebelum dan sesudah adanya ‘sesuatu’. Dampak dapat mengakibatkan sesuatu hal yang positif dan yang negatife dari adanya ‘sesuatu’ tersebut.

  Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2004), kata “income diartikan sebagai penghasilan dan kata revenue sebagai pendapatan, penghasilan (income) meliputi baik pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gain”).

  Pendapatan adalah penghasilan yang timbul dari aktivitas usaha yang dikenal dengan sebutan yang berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti dan sewa.” Definisi tersebut memberikan pengertian yang berbeda dimana income memberikan pengertian pendapatan yang lebih luas,

  income meliputi pendapatan yang berasal dari kegiatan operasi normal perusahaan

  maupun yang berasal dari luar operasi normalnya. Sedangkan revenue merupakan penghasil dari penjualan produk, barang dagangan, jasa dan perolehan dari setiap transaksi yang terjadi.

  Pengertian pendapatan dikemukakan oleh Dyckman (2002) bahwa pendapatan adalah “arus masuk atau peningkatan lainnya atas aktiva sebuah entitas atau penyelesaian kewajiban (atau kombinasi dari keduanya) selama satu periode dari pengiriman atau produksi barang, penyediaan jasa, atau aktivitas lain yang merupakan operasi utama atau sentral entitas yang sedang berlangsung”.

  Pendapatan dapat dihitung dengan rumus :

  I = TR – TC

  Keterangan : I = Income /Pendapatan TR = Total penerimaan yang akan diperoleh seorang produsen apabila memproduksi sejumlah unit barang tertentu.

  TC = Biaya total yang merupakan jumlah dari biaya tetap dengan biaya variabel (Anonimus, 2010).

2.3 Kerangka Pemikiran

  Program Desa Mandiri Pangan (Demapan) merupakan program yang dilakukan pemerintah melalui pemanfaatannya untuk mengurangi tingkat kemiskinan di desa/kelurahan tertinggal.

  Melalui Badan Ketahan Pangan (BKP) program ini memiliki sasaran yaitu desa dengan jumlah kepala keluarga (KK) miskin yaitu diatas 30%. Dengan memberikan bantuan diharapkan masyarakat mampu memperbaiki taraf hidup serta kemampuan ekonomi keluarganya.

  Masing-masing desa/kelurahan akan diberikan dana bantuan sosial sebagai dana abadi desa. Dana inilah yang akan dipergunakan/dimanfaatkan oleh masyarakat miskin desa peserta program Demapan melalui pembentukan kelompok afinitas dan didampingi oleh pembina masing-masing desa dan diawasi oleh Badan Ketahanan Pangan. Kelompok dibentuk berdasarkan visi, tujuan dan kesamaan motivasi masyarakat.

  Program Demapan dilaksanakan melalui tahapan-tahapan yaitu persiapan, penumbuhan, pengembangan, dan kemandirian. Pada masing-masing tahap memiliki kegiatan yaitu sbb; Tahap Persiapan: (1) Lokasi desa pelaksana kegiatan; (2) Pemahaman masyarakat tentang kegiatan Demapan; (3) Penyediaan data base dan profil Desa Mandiri Pangan; (4) Pembentukan Pokja di setiap tingkatan; (5) Penumbuhan TPD dan LKD; (6) Penumbuhan kelompok-kelompok afinitas di lokasi sasaran; (7) Pemilihan dan penetapan tenaga pendamping; (8) Pelaksanaan pelatihan bagi aparat provinsi, kabupaten, desa, pendamping, dan masyarakat pelaksana kegiatan; (9) Penyusunan Rencana Pembangunan Wilayah Desa Partisipatif (RPWDP). Tahap Penumbuhan: (1) Kinerja kelompok afinitas, lembaga pangan dan gizi di desa (PKK dan Posyandu), lembaga pelayanan permodalan, dan lembaga lainnya; (2) Pengelolaan dan penambahan modal usaha kelompok; (3) Keberhasilan diversifikasi produksi pangan; (4) Perkembangan intensifikasi usaha; (5) Keberadaan lumbung pangan masyarakat; (6) Keberadaan dan perkembangan usaha-usaha perdagangan bahan pangan oleh anggota kelompok dan kelompok lainnya di desa; (7) Usaha-usaha pemasaran hasil secara kolektif di desa; (8) Keberadaan lembaga pemasaran (pasar) di desa dan wilayah yang lebih luas untuk menampung hasil-hasil produksi masyarakat; (9) Keberadaan sistem informasi pasar (harga dan jenis komoditi) sebagai dasar perencanaan usaha kelompok; (10) Keberhasilan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya wilayah; (11) Penyediaan teknologi pengolahan dan produk pangan; (12) Tingkat keterampilan masyarakat dalam mengolah pangan; (13) Tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pangan yang beragam, bergizi, berimbang, dan aman; dan (14) Perbaikan sarana dan prasarana prioritas. Tahap Pengembangan: (1) Tingkat keterampilan teknis anggota kelompok; (2) Kemampuan kelompok dalam mengakses permodalan dan pemasaran; (3) Perkembangan usaha kelompok dalam meningkatkan pendapatan; (4) Pemanfaatan dan pengelolaan lumbung pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat; (5) Perubahan pola konsumsi masyarakat yang beragam, bergizi berimbang, dan aman; (6) Pelaksanaan kegiatan pengembangan sistem pemantauan, deteksi, dan respon dini kerawanan pangan; (7) Penyediaan sarana dan prasarana irigasi, jalan usahatani yang memadai, penyediaan sarana air bersih, dan penyediaan sarana kesehatan. Tahap Kemandirian: (1) Efektifitas peran TPD dalam pendampingan masyarakat dan pembangunan ketahanan pangan desa;

  (2) Perkembangan usahausaha produktif yang dikelola kelompok afinitas dan masyarakat desa; (3) Keberadaan jaringan usaha dan pemasaran produk lokal dengan mitra usaha/koperasi/investor, dan lainnya; (4) Peran masyarakat dalam penyediaan dan distribusi pangan; (5) Penyediaan dan distribusi pangan; (6) Kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan; (7) Perkembangan usaha produktif; (8) Pola konsumsi pangan 3B dan aman; (9) Penyelesaian masalah pangan wilayah; (10)Pelayanan masyarakat dalam: akses permodalan, kesehatan, dan sarana usaha; dan (11) Keberadaan fungsi prasarana pengairan, jalan desa, jalan usaha tani, sarana penerangan, dan air bersih.

  Setelah program berjalan setelah empat tahun dan memasuki tahun kelima barulah dapat dilihat bagaimana perkembangan program Demapan di kelurahan tersebut dan untuk lebih spesifik maka dilihatlah perbedaan pendapatan para anggota kelompok afinitas sebelum dan sesudah program Demapan sebagai tujuan penelitian. Secara sistematik kerangka pemikiran dapat dituliskan sbb: Badan Ketahanan Pangan

  Mekanisme Penentuan Desa Mandiri Pangan

  Pendapatan Masyarakat Desa

  Ladang Bambu Sebelum Program Demapan

  Program Desa Mandiri Pangan: 1.

  Persiapan 2. Penumbuhan

  PERBANDINGAN 3.

  Pengembangan 4. Kemandirian

  Perkembangan Desa Pendapatan Masyarakat

  Mandiri Pangan Setelah Program Demapan

  

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

  Keterangan Gambar : : Menyatakan Hubungan : Menyatakan Dampak

2.4 Hipotesis Penelitian 1.

  Program Desa Mandiri Pangan berdampak positif terhadap pendapatan masyarakat