Dinamika Konflik Sosial di Timor Leste A

Dinamika Konflik Sosial di Timor Leste:
Analisa Aktor dan Penyebab Konflik
Sejak tahun 1945, perang sipil atau konflik internal lebih banyak terjadi di dunia daripada
konflik antar negara atau internasional. Akan tetapi, pentingnya mempelajari konflik internal
dari perspektif global baru mulai dilakukan pasca berakhirnya Perang Dingin. Sejak tahun
1990, mulai banyak perkembangan mengenai riset konflik internal atau perang sipil yang
fokus pada faktor etnis, lingkungan, politik, dan ekonomi (Dan Smith, 2004:15) seperti yang
terjadi pada kasus Timor Leste. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas tentang konflik
yang terjadi di Timor Leste yang meliputi aktor-aktor yang berkonflik dan faktor
penyebabnya.
Aktor Konflik
Aktor yang terlibat dalam konflik di Timor Leste adalah antara pemerintah Indonesia dengan
masyarakat Timor Leste yang menginginkan kemerdekaan. Dua aktor tersebut
dikelompokkan sebagai aktor utama yang terlibat dalam konflik. Sedangkan aktor sekunder
adalah Australia yang pada awalnya berperan sebagai mediator, namun dalam perjalanannya,
justru terlibat dalam konflik secara tidak langsung dengan membantu pihak Timor Leste
untuk mendapat kemerdekaan (Ichsan Malik, 2009).
Konflik sendiri tidak bersifat statis namun dinamis. Oleh karena itu, penting untuk
memahami dinamika dan tahapan dari sebuah konflik. Selain itu, memahami siklus konflik
sangat penting untuk memahami pola, durasi waktu, dan lokasi yang tepat untuk penerapan
strategi penyelesaian konflik. Konflik sering digambarkan sebagai tahapan yang semakin

meningkat intensitasnya, seperti eskalasi dari tataran stabil dan damai menuju krisis dan
perang, setelah itu de-eskalasi menuju perdamaian yang relatif.
Siklus konflik ini sifatnya berulang dan kecenderungan pengulangannya didukung oleh riset
empirik mengenai pola-pola konflik. Dalam kenyataannya, siklus konflik terjadi secara
berulang-ulang dan melewati beberapa tahapan yang berbeda secara yang berulang-ulang
juga. Dalam sebuah model kurva konflik yang ideal, sebuah konflik bergerak melalui semua
tahapan dalam siklus sampai akhirnya konflik itu terselesaikan (NLP Swanstrom & MS
Weissmann, 2005:15; Johan Galtung, 1996:81-88). Oleh karena itu, artikel ini berusaha
menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di Timor Leste bersifat suspended karena pasca
kemerdekaan Timor Leste masih mengalami beberapa konflik yang timbul dan tenggelam.
Untuk memahami konflik perlu memahami juga aktor yang terlibat dalam konflik tersebut.
Aktor yang pertama adalah Timor Leste. Secara value, masyarakat Timor Leste memang
memiliki ikatan yang tidak kuat dengan Indonesia, apabila dibandingkan dengan masyarakat
wilayah lain di Indonesia seperti Aceh, Riau, dan Maluku. Timor Leste secara legal dan
historis bahkan bisa diklaim sangat bukan Indonesia. Wilayahnya menjadi propinsi ke-27
Indonesia pasca pendudukan militer Indonesia tahun 1975. Alasan-alasan demikian menjadi
basis yang kuat bagi masyarakat Timor Leste untuk mengajukan kemerdekaan dari
Indonesia.

Aktor yang kedua adalah pemerintah Indonesia. Kepentingan Indonesia untuk

mempertahankan Timor Leste sebagai bagian dari wilayahnya semakin mempertegas upaya
pendudukan Timor Leste melalui kekuatan militer. Bisa dikatakan bahwa pemerintah
Indonesia merupakan aktor utama yang terlibat secara langsung dalm konflik di Timor Leste
ini.
Aktor ketiga adalah Australia yang merupakan aktor sekunder. Australia bukan merupakan
aktor utama namun merupakan securitizing actor yang memposisikan dirinya dalam garis
double, yang menandakan hubungan yang sangat baik dengan salah satu aktor utama yaitu
Timor Leste. Australia sendiri mulai melibatkan dalam konflik di Timor Leste sejak proses
referendum pada pertengahan tahun 1999 hingga kini. Australia memberikan pengaruh ke
Timor Leste secara non material berupa dukungan politik di PBB dan keterlibatan tentara
Australia dalam pasukan penjaga perdamaian PBB melalui UNAMET hingga UNMIT.
Ketiga aktor tersebut berkontribusi dalam peningkatan eskalasi konflik di Timor Leste sejak
invasi Indonesia ke wilayah tersebut tahun 1975. Disamping ketiga aktor tersebut, masih
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya konflik di Timor Leste pasca
kemerdekaan yaitu kondisi ekonomi yang memburuk, degardasi sumberdaya alam, dan
sistem politik yang represif.
Kondisi Ekonomi Memburuk: Kemiskinan
Pasca invasi militer Indonesia tahun 1975, banyak kelompok masyarakat Timor Leste yang
mengungsi ke gunung dan hutan. Kelompok-kelompok ini tidak memiliki tempat tinggal dan
sebagian ditampung oleh tentara FRETELIN. Hal ini membuat kelompok-kelompok tersebut

bersimpati terhadap FRETELIN dan memberikan dukungan untuk melawan pemerintah
Indonesia. Selama hidup dalam pengungsian, kelompok-kelompok tersebut hidup dalam
kemiskinan sehingga pilihan menjadi pejuang kemerdekaan sebagai cara untuk bertahan
hidup (Ben Kiernan, 2009:140).
Dan Smith (2004:7) menyatakan bahwa dalam negara atau masyarakat yang miskin, maka
para pemimpinnya biasanya akan bersaing satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan
ekonomi walaupun sangat kecil. Keuntungan yang kecil tersebut juga diperebutkan di internal
masyarakat yang miskin sehingga kompetisi untuk memperebutkannya semakin ketat dan
berujung pada meningkatnya eskalasi konflik. Ketika para pemimpinnya gagal menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang stabil bagi masyarakatnya, maka akan mengarah pada negara
yang gagal, sehingga jika hal tersebut terjadi, maka siklus konflik yang terjadi dalam
masyarakat akan terulang kembali, bahkan kecenderungannya dalam skala yang lebih besar
(Anke Hoeffler, 2010:23).
Hal tersebut juga terjadi di Timor Leste. Pasca kemerdekaan, Timor Leste belum bisa mandiri
secara ekonomi karena masih tergantung dengan bantuan pihak asing termasuk Indonesia.
Pembangunan berjalan lambat di negara baru yang miskin tersebut. Oleh karena itu, konflik
yang terjadi di Timor Leste dikategorikan sebagai suspended conflict karena frekuensinya
yang timbul tenggelam. Kondisi ekonomi sebagai negara miskin dengan tingkat kemiskinan
masyarakat yang tinggi juga berkontribusi pada berulangnya konflik internal di Timor Leste.


Degradasi Sumber Daya
Kerusuhan yang melanda kota Dili pada tahun 1998 menyebabkan kerusakan infrastruktur
fisik, ekonomi, dan sosial masyarakat Timor Leste. Kerusakan di berbagai aspek tersebut
menyebabkan peningkatan harga-harga kebutuhan pokok, perdagangan dan investasi nihil,
pendapatan per kapita merosot hingga $ 330 di akhir tahun 1999, dan inflasi yang ditandai
dengan Indeks Harga Konsumen bagi orang miskin di Dili meningkat hingga 200% (Kristio
Wahyono, 2009:23). Kerusakan tersebut juga menyebabkan kelangkaan berbagai sumber
daya pendukung kehidupan seperti listrik, air, dan bahan makanan di Timor Leste.
Dengan kelangkaan berbagai sumber daya pendukung kehidupan tersebut, potensi konflik
menjadi semakin tinggi, karena masyarakat Timor Leste saling berebut mendapatkan akses
terhadap sumber daya yang tersisa dengan tidak memperhatikan lagi aturan negara yang
berlaku. Situasi tersebut jika tidak ditangani secara serius oleh negara maka berpotensi
menjadi negara tanpa aturan (lawless state) yang bisa mengarah menjadi negara gagal (failed
state). Kondisi tersebut sangat rawan terakumulasi menjadi konflik yang semakin meningkat
eskalasinya karena karakter konflik di Timor Leste yang bersifat suspended conflict yang bisa
timbul dan tenggelam setiap saat.
Sistem Politik Represif
Selama 24 tahun Timor Leste dibawah kekuasaan militer Indonesia, semua tindakan
masyarakat yang dianggap membahayakan rezim Suharto langsung ditindak tegas melalui
hukum dan dicap sebagai tindakan makar dan subversib yang haram berkembang di wilayah

NKRI. Segala sesuatu dikontrol secara berlebihan oleh militer sehingga kebebasan
berpendapat menjadi hal yang sangat langka dan berharga di Timor Leste. Kebijakan militer
yang disusun di Jakarta terkait Timor Leste menyebabkan munculnya sistem politik represif
khususnya menghadapi kelompok-kelompok yang ingin merdeka.
Pasca kemerdekaan, Timor Leste tidak bisa lepas dari rezim politik represif yang
mengesampingkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Para pemimpin yang
berkuasa di Timor Leste mulai dari Xanana Gusmao, Jose Ramos Horta, hingga Taur Matan
Ruak, pola pemerintahannya tidak lepas dari otoritarianisme dan implementasi sistem politik
yang represif. Masih hangat dalam ingatan masyarakat Timor Leste ketika krisis politik tahun
2006, Alfredo Reinado, seorang tentara dari Angkatan Bersenjata Timor Leste (FDTL)
berpangkat mayor, memberontak terhadap pemerintahan Xanana Gusmao yang dinilai
diskriminatif terhadap etnis Timor (Loro Sa’e), maka hal tersebut ditanggapi dengan kekuatan
militer sehingga menyebabkan banyak warga sipil yang menjadi korban penembakan tentara
pemerintah Xanana Gusmao.

Penutup
Dalam memahami konflik yang terjadi di Timor Leste, terlihat bahwa Indonesia dan Timor
Leste merupakan aktor utama yang sudah berpotensi konflik sejak invasi militer Indonesia
tahun 1975. Australia baru terlibat dalam konflik di Timor Leste ketika memasuki masa
referendum tahun 1999. Konflik yang terjadi di Timor Leste ini semakin meningkat

eskalasinya yang dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk, degradasi sumber
daya, dan sistem politik represif yang kecenderungannya bisa timbul dan tenggelam setiap
saat. Oleh karena itu, upaya penyelesaian konflik di Timor Leste juga harus
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut. Pembangunan ekonomi harus ditonjolkan
sehingga mengurangi angka kemiskinan di internal masyarakat. Sistem pendukung sarana
hidup yang vital harus bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Peralihan dari sistem politik
represif menjadi sistem politik yang demokratis harus dikawal secara tegas oleh negara
sehingga perdamaian dapat terwujud baik di tingkat masyarakat maupun negara.
Sistem politik demokratis yang baru dijalankan di Timor Leste harus berjalan beriringan
dengan pematangan sumber daya manusia dalam memahami aturan dan implementasinya.
Pengalaman masa lalu terkait rezim politik represif harus menjadi pembelajaran agar hal
tersebut tidak berulang kembali. Oleh karena itu rekonsiliasi antar pihak-pihak yang terlibat
konflik menjadi penting untuk mewujudkan perdamaian yang berjangka panjang di Timor
Leste.

TUGAS SOSIOLOGI
CONTOH KONFLIK SOSIAL DI INDONESIA

“KONFLIK SOSIAL DI TIMOR LESTE”


Kelompok 3 :
1. Shintia Fransiska Dewi
2. Nurul Badriah
3. Siska Pratiwi
4. M. Mardji
Kelas : XI IIS 1

SMA NEGERI 1 KEDUNGWARINGIN
2017/2018