K.6 Hukum Bisnis Larangan Monopoli Dan P

Makalah Hukum Bisnis
Larangan Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat
Makalah disusun untuk memenuhi tugas
Yang dibina oleh Farid Hidayat, S.H., M.S.I.

DI SUSUN OLEH :

Kelompok 6
1.
2.
3.
4.

MUHAMMAD RIVALDI
ANGGUN MAIDAH
ASHIF
DEWI MEILIANA PUTRI

(16820016)
(16820090)
(16820117)

(16820134)

PRODI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Makalah ini kami tujukan khususnya untuk kalangan remaja, pelajar, dan
generasi penerus bangsa agar kita semua mengenal akan larangan monopoli dan
laranga persaingan tidak sehat. Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan
kualitas hidup manusia. Persaingan yang dilakukan secara terus-menerus untuk
saling mengungguli membawa manusia berhasil menciptakan hal-hal baru dalam
kehidupan yang berangsur-angsur menuju arah yang semakin maju dari
sebelumnya. Kegiatan ekonomi dan bisnis pun dan tidak luput dari sebuah
persaingan, mengingat kegiatan ini dilakukan banyak pihak untuk menunjang
kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hukum yang mengatur persaingan usaha

dalam kegiatan ekonomi dan bisnis sangat diperlukan semua pihak supaya tidak
ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Seiring dengan Era Reformasi, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam
bidang hukum ekonomi dan bisnis, yang ditandai antara lain denga lahirnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang di banyak negara disebut Undang-Undang
Anti Monopoli. Undang-undang seperti ini sudah sejak lama dinantikan oleh
pelaku usaha dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat dan bebas dari
praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 telah diatur sejumlah larangan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
ayng yang tidak sehat lainnya, dengan harapan dapat memberikan jaminan
kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha atau
sekelompok pelaku usaha dalam berusaha. Dengan adanya larangan ini, pelaku
usaha atau sekelompok pelaku usaha dapat bersaing sacara wajar dan sehat, serta
tidak merugikan masyarakat banyak dalam berusaha , sehingga pada gilirannya
pengusaha pasar yang terjadi timbul secara kompetitif.

Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Bisnis
2. Untuk informasi tentang larangan monopoli dan larangan

persaingan usaha tidak sehat
1.2 Ruang Ligkup
Ruang lingkup dari penulisan makalah ini adalah mencakup aspek
tentang larangan monopoli dan larangan persaingan usaha tidak
sehat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KILAS BALIK PRAKTIK MONOPOLI DI INDONESIA
Dalam sejarah kontemporer indonesia, praktik monopoli pertama kali
secara resmi dimulai pada tanggal 20 Maret 1602, yaitu pada saat Pemerintah
Belanda atas persetujuan Staten General memberikan hak (octrooi) untuk
berdagang sendiri (monopoli) pada VOC di wilayah Indonesia (Hindia Timur).
Selain di Nusantara Indonesia kongsi dagang yang dipimpin oleh “de XVII
Heeren” atau “ke-17 Tuan-Tuan” juga mengawasi perdagangan di wilayah yang
terbentang di tanjung harapan di ujung Afrika hingga Srilanka dan Jepang. Sejarah
telah mencatat bahwa meskipun memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat dari
praktik monopoli perdagangan tersebut, namun ternyata VOC mengalami
kebangkrutan serta menemui ajalnya pada tanggal 1 Januari 1800, yaitu sejak

pemerintah belanda pada waktu itu (Bataafsche Republiek) membentuk suatu
badan resmi yang dinamakan “Aziatische Read” untuk mengambil alih
pemerintahan atas daerah-daerah bekas jajahan VOC.
Setelah kemerdekaan, dasar-dasar pengelolaan perekonomian Negara
diatur dalam pasal 33 undang-undang dasar republik indonesia tahun 1945 (UUD
1945). Pengaturan sistem perekonomian suatu negara yang sangat kompleks
dalam satu pasal saja, tentu sangat tidak memadai. Hal ini diakui sekaligus
memperoleh jawabannya dalam penjelasan tentang Undang-undang Dasar Negara
Indonesia. Dalam penjelasan tersebut dinyatakan bahwa UUD 1945 bersifat
singkat dan supel. Alasannya, sebagai negara yang baru merdeka dengan hirukpikuk dan semangat revolusioner yang masih sangat kental dengan pikiran-pikiran
yang masih mudah berubah terlalu riskan untuk dikristalisasi dan dibentuk
(gestaltung).

B. PENGERTIAN LARANGAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA TIDAK SEHAT
1. Pengertian Monopoli
Monopoli murni adalah bentuk organisasi pasar dimana terdapat perusahaan
tunggal yang menjual komoditi yang tidak mempunyai subtitusi sempurna.
Perusahaan itu sekaligus merupakan industri dan menghadapi kurva permintaan
industri yang memiliki kemiringan negatif untuk komoditi itu.

Menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan
kepentingan umum.
Yang dimaksud dengan “kegiatan” di dalam monopoli adalah tindakan atau
perbuatan hukum “sepihak” yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha tanpa ada keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan
pelaku usaha lainnya. Jadi dengan demikian “kegiatan” merupakan suatu usaha,
aktivitas, tindakan, atau perubatan hukum secara sepihak yang dilakukan oleh
pelaku tanpa usaha melibatkan pelaku usaha lainnya.
Pasar , sebagai tempat untuk bergeraknya roda ekonomi dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Pelaku usaha baik produsen, distributor dan konsumen
merupakan salah satu pihak yang memiliki peran terbesar dalam menentukan
sehat atau tidaknya suatu pasar. Pasar yang terdistorsi mengakibatkan harga yang
terbentuk di pasar tidak lagi merefleksikan hukum permintaan dan penawaran
yang riil, dimana proses pembentukan harga dilakukan secara sepihak oleh
pengusaha atau produsen. Ini merupakan perwujudan dari kondisi persaingan
usaha yang tidak sehat, akibatnya fatal yaitu dapat melumpuhkan perekonomian
pelaku usaha, masyarakat luas bahkan yang terbesar dapat melumpuhkan suatu

negara.

Pelaku usaha adalah setiap orang atau pun badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau tidak, yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah Republik Indonesia yang menyelenggarakan berbagai
kegiatan dalam bidang ekonomi. Ciri-ciri atau jenis pasar yang bersifat monopoli
adalah :
1.

Sedikit penjual yang menguasai pasar dengan jumlah pembeli sangat
banyak, sehingga penjual tersebut bisa menentukan sendiri berapa jumlah
barang atau jasa yang akan dijual. Sehingga penjual akan menerpakan
harga yang akan memberikan keuntungan tertinggi baginya.

2. Tidak terdapat barang pengganti yang memiliki persamaan dengan produk
monopolis.
3. Adanya hambatan yang besar untuk dapat masuk kedalam pasar.
Perusahaan monopolis akan menyulitkan pendatang baru yang ingin
masuk ke pasar tersebut. Salah satu caranya yaitu perusahaan monopoli
akan menetapkan harga serendah mungkin. Dengan begitu, perusahaan

mopoli menekan kehadiran perusahaan baru yang memiliki modal kecil.
Perusahaan baru tersebut tidak akan mampu bersaing dengan perusahaan
monopilis yang memiliki kekuatan pasar, image produk, dan harga murah
sehingga lama kelamaan perusahaan tersebut akan mati dengan sendirinya.
4. Dengan menetapkan hak paten atau hak cipta dan hak eklusif pada suatu
barang. Yang biasanya diperoleh melalui pemerintah.
5. Penguasaan lebih dari 50% pangsa pasar atau suatu jenis komoditas
tertentu oleh suatu atau gabungan perusahaan.
2. Pengertian Persaingan Usaha Tidak Sehat
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha adalah
hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha.
Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentu pengertian hukum
pengertian usaha yang demikian itu tidak tercukupi. Oleh karenanya, perlu
dikemukakan beberapa pengertian hukum persaingan dari para ahli hukum
persaingan usaha.

Menurut Arie Siswanto, dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Persaingan Usaha” yang dimaksud dengan hukum persaingan usaha (competition
law) adalah instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana perrsaingan
itu harus dilakukan. Meskipun secara khusus menekankan pada aspek

“persaingan”, hukum persaingan juga menjadi perhatian dari hukum persaingan
adalah mengatur persaingan sedemikian rupa, sehingga ia tiidak menjadi sarana
untuk mendapatkan monopoli.
Maka, persaingan usaha tidak sehat adalah suatu persaingan antara pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran yang tidak jujur
atau dengan cara yang tidak jujur atau dengan cara melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha.
Kekhawatiran akan dampak negatif yang ditimbulkan dari monopoli,
membuat monopoli menjadi suatu kegiatan yang perlu diatur oleh undang-undang.
Dalam literartur disebutkan, bahwa banyak/dampak negatif sehubungan dengan
dilakukannya monopoli oleh pelaku usaha yang dapat merugikan konsumen
maupun pelaku usaha lainnya, antara lain :
1. Adanya peningkatan harga barang produk barang maupun jasa tertentu
akibat persaingan tidak sehat. Sehingga bisa memicu inflasi. Sehingga
dapat merugikan masyarakat luas.
2. Pelaku usaha mendapatkan keuntungan secara tidak wajar, dan sangat
berpotensi untuk menetapkan harga seenaknya guna mendapatkan
keuntungan harga yang berlipat, tanpa memperhatikan tidak adanya
pilihan lain bagi konsumen.
3. Terjadi ekploitasi terhadap daya beli konsumen dan tidak memberikan hak

pilih pada konsumen untuk mengonsumsi produk lain, sehingga konsumen
tidak peduli lagi pada masalah kualitas serta harga produk.
4. Terjadi entrier barrier, dimana tidak ada perusahaan lain yang mampu
menembus pasar monopoli untuk suatu produk yang sejenis, sehingga bisa
membuat perusahhan kecil bamgkrut.

C. ASAS DAN TUJUAN
Asas dan tujuan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
adalah:
1.

Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya

berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
2.

Tujuan
Pada


hakikatnya

keberadaan

hukum

persaingan

usaha

adalah

mengupayakan secara optimal terciptanya persaingan usaha yang sehat (fair
competition) dan efektif pada suatu pasar tertentu, yang mendorong agar pelaku
usaha melakukan efisiensi agar mampu bersaing dengan para pesaingnya.
Berkaitan dengan hal itu, maka keberadaan Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat atau
Undang-Undang Praktik Antimonopoli yang berasaskan demokrasi ekonomi
dengan memerhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan

kepentingan umum tersebut mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis
dalam mewujudkan iklim persaingan usaha yang sehat di Indonesia.
Selengkapnya iklim dan kesempatan berusaha yang ingin diwujudkan
tersebut adalah tercantum dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Antimonopoli
yang memuat :
a) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional
sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
b) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan
usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan
berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan
pelaku usaha kecil.

c) Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang
ditimbulkan oleh ppelaku usaha.
d) Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

D. JENIS-JENIS MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT
1. Jenis-jenis Monopoli
a. Monopoli yang terjadi karena dikehendaki oleh Undang Undang
(Monopoli By Law)
Pasal 33 UUD 1945 menghendaki adanya monopoli negara untuk
menguasai bumi dan air berikut kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
serta cabang-cabang produksi yang mengusai hidup orang banyak. Selain itu,
undang undang juga memberikan hak istimewa dan perlindungan hukum dalam
jangka waktu tertentu terhadap pelaku usaha yang memenuhi sayarat tertentu dan
hasil riset dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil pengembangan teknologi yang
bermanfaat bagi manusia.
b. Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh
iklim dan lingkungan uasaha yang sehat (Monopoli By Nature)
Monopoli bukanlah merupakan suatu perbuatan jahat atau terlarang
apabila kedudukan monopoli tersebut diperoleh dengan mempertahankan posisi
tersebut melalui kemampuan prediksi dan naluri bisnis yang profesional.
Perusahaan yang mampu menawarkan suatu kombinasi antara kualitas dan harga
barang dan jasa serta pelayanan sebagaimana dikehendaki oleh konsumen. Dalam
posisi ini, perusahaan tersebut, mampu beroperasi dan mengelola sedemikian rupa
kompenen pemasukan (input) sehingga dalam indutri dimana ia berada, biaya
rata-rata perunit meurun tajam (decreasing cost industry) pada tingkat-tingkat
produksi selanjutnya dan semamkin besar skala produksi perusahaan tersebut.
Dalam hal ini output perusahaan dapat lebih efisien daripada apa yang dihasilkan

oleh perusahaan perusahaan lainnya. Perusahaan seperti itu mampu mengelola 5
faktor

persaingan

yang

menentukan

kemampuan

industri

sebagaimana

diungkapkan oleh Porter, yaitu daya tawar menawar, pembeli, ancaman produk
atau jasa subtitusi, dan persaingan diantara perusahaan yang ada.
c. Perusahaan

yang

diperoleh

melaui

lisensi

dengan

menggunakan

mekanisme kekuasaan (Monopoli By License)
Umumnya monopoli byb license berlkaitan erat dengan para pemburu
renten (rent seekers) yang mengganggu bekerjanya keseimbangan pasar untuk
kepentingan mereka. Berbagai kelompok usaha yang dekat dengan kekuasaan
dalam pemerintahan pada umumnya memeiliki kecenderungan melakukan
perbuatan tercela seperti itu, tapi tidak semuanya. Dengan jaminann lisensi yang
diperoleh dari pemerintahan, mereka tinggal menunggu laba masuk saja.
d. Monopoli karena terbentuknya struktur pasar akibat perilaku yang tidak
jujur
Praktik bisnis yang bersifat anti persaingan dan dan tidak jujur tersebut
dapat dilakukan secara sendiri atau bekerja sama dengan pelaku usaha lainnya.
Jelasnya, monopoli yang menghambat persaingan adalah monopoli yang
melakukan penyimpangan struktur pasar karena menyebabkan terjadinya
pembentukan pasar, pembagian pasar, dan menyalahgunakan kekuatan pasar
(market power) guna menyingkirkan para pesaing tersingkir dari arena, maka
dengan bebas pelaku usaha tersebut melakukan kontrol harga.
Ruang Lingkup Pengecualian Terhadap Perjanjian/Perbuatan Yang Bersifat
Monopoli :
1. Perbuatan atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HaKI),
dalam UU no.5 tahun 1999, yaitu sepeerti lisensi, paten merek dagang, hak

cipta, desain produk industri, rangkain elektronik terpadu, rahasia dagang
serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba (franchise).
3. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba (franchise) sebagai yang
dikecualikan
-

Bisnis franchise telah dilindungi dan diakui secara internasional

-

Perjanjian waralaba (franchise) dalam penerapan hukum di indonesia.

4. Perjanjian dalam rangka keagenan, keagenan dalam arti luas mencakup
semua hungan hukum antara yang diwakili (principal) dengan yang
mewakili (agent), termasuk segala akibat hukumnya. Miasalnya hubungan
antara PT dengan direksinya, hubungan antara majikan dan buruh,
hubungan antara client dengan pengacaranya, hubungan antara produsen
dengan distributor, dan sebagainya. Dalam arti sempit biasanya hubungan
keagenan hanya mencakup hubungan antara produsen dengan agen,
dimana agen disini merupakan seorang wakil yang bertindak atas nama
(on behalf) produsen dalam hubungannya dengan pemasaran atau
penjualan produk yang bersangkutan.
5. Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan (joint venture) yang
dikecualikan dari berlakunya pasal 5 ayat 1 UU no.5 tahun 1999
6. Perjanjian atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak
mengganggu kebutuhan dan pasokan pasar dalam negeri.
7. Perlindungan terhadap pelaku usaha kecil dan koperasi
8. Monopoli oleh BUMN sebagai yang dikecualikan
2. Kegiatan yang dilarang dalam Monopoli
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai
dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti
halnya

perjanjian.

Namun

demikian,

dari

kata

“kegiatan”

kita

dapat

menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,
tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan

perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah
merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilarang tersebut yaitu :
1)

Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas

penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2)

Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok

pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai
pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang
bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3)

Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan

pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang
merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada
pasar bersangkutan;
d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4)

Persekongkolan

Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5)

Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan
dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan
dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi
tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta
kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa
tertentu.
6)

Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa

seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu
perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau
komisaris pada perusahaan lain.
7)

Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan

bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa
perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat
bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8)

Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan

bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum
yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan
mencari keuntungan.

3. Perjanjian yang dilarang
Perjanjian yang dilarang dalam antimoopoli dan persainga usaha adalah :
1.

Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya

berjumlah

sedikit,

sehingga

mereka

atau

seorang

dari

mereka

dapat

mempengaruhi harga pasar.
2.

Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat

perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas
barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada
pasar bersangkutan yang sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan
harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang
dan atau jasa yang sama ;
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di
bawah harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan
atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah
dijanjikan.

3.

Pembagian wilayah

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar
terhadap barang dan atau jasa.
4.

Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha
yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5.

Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha

pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur
produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6.

Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk

melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan
yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7.

Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan

pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar
komoditas.
8.

Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang

bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian

produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9.

Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang

memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan
memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak
tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10.

Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang

memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.

E. SANKSI-SANKSI

TERHADAP

PELAKU

USAHA

ATAS

PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN
1999
Mengenai sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan Undang-Undang Antimonopoli diuraikan secara sistematis
sebagai berikut:
1. Sanksi Administratif
Mengenai sanksi administratif ini diatur ketentuan Pasal 47 Ayat (1) dan (2)
Undang-undang No. 5 Tahun 1999, yang selengkapnya menyatakan.
Pasal 47 Ayat (1):
“Komisi berwewenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.”

2. Pidana pokok

Sanksi pidana pokok ini ditentukan dalam pasal 48 ayat (1), (2), dan (3), yang
berbunyi
Pasal 48 Ayat (1):
1) “Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14,
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000, 00 (dua puluh lima miliar rupiah)
dan setinggi-tingginya Rp.100.000.000.000 (Seratus Miliar Rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 bulan.”
2) “Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15,
Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam
pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.”
3) “Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana
denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggitingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti
denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.”

3. Sanksi pidana tambahan
Sanksi tambahan ini diatur dalam ketentuan Pasal 49 Undang-undang
Antimonopoli, yang selengkapnya berbunyi:
“Dengan menunjuk Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. Pencabutan Izin Usaha
b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran
terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau
komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima)

tahun, atau Menghentikan kegiatan usaha atau tundakan tertentu yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain”.

F. LARANGAN MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK
SEHAT DALAM ISLAM
1. Pengertian Monopoli dalam islam
Monopoli di dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah ikhtikar (‫الحتكار‬
) artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan (‫) اساء المعاشرة‬. Adapun secara
istilah adalah : “ Seseorang membeli makanan ketika harganya tinggi untuk
diperjualbelikan, tetapi dia tidak menjualnya pada waktu itu, justru malah
ditimbunnya agar menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. ( Imam Nawawi
dalam Syarh Shahih Muslim : 10/ 219 ) . Jadi, monopoli menurut islam yaitu
upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga barang
penimbunan barang adalah salah satu perkara dalam perdagangan yang
diharamkan oleh agama karena bisa membawa madhorot.
2. Hukum Monopoli Dalam Islam
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian
sebagai berikut:
a. Haram secara mutlak (tidak dikhususkan bahan makanan saja)
Hal ini didasari oleh sabda Nabi SAW:
‫ئ‬
‫خمطن اححتخك خخر خفههخو خخاطط ئ‬
“Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa.” (HR. Muslim
1605)
Menimbun yang diharamkan menurut kebanyakan ulama fikih bila memenuhi tiga
kriteria:


Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga
untuk masa satu tahun penuh. Kita hanya boleh menyimpan barang untuk

keperluan kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan
Rasulullah SAW.


Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya membumbung
tinggi dan kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa
rakyat membelinya dengan harga mahal.



Yang ditimbun (dimonopoli) ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan,
sandang dan lain-lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak
pedagang, tetatpi tidak termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak
merugikan rakyat. maka itu tidak termasuk menimbun.

b. Makruh secara mutlak
Dengan alasan bahwa larangan Nabi SAW berkaitan dengan ihtikar adalah
terbatas kepada hukum makruh saja, lantaran hanya sebagai peringatan
bagi umatnya.
c. Haram apabila berupa bahan makanan saja
Adapun selain bahan makanan, maka dibolehkan, dengan alasan hadits
riwayat Muslim di atas, dengan melanjutkan riwayat tersebut yang
dhohirnya membolehkan ihtikar selain bahan makanan, sebagaimana
riwayat lengkapnya, ketika Nabi SAW bersabda:
‫ث خكاخن‬
‫خمطن اححتخك خخر خفههخو خخاطط ئ‬
‫حطدد ه‬
‫حطدي خ‬
‫ئ خفطقيخل لطخسطعيدد خفطإن د خخك تخ ح‬
‫ث خهخذا ال ح خ‬
‫حتخطكهر خقاخل خسطعيئد طإ دخن خمحعخمررا ال د خطذي خكاخن ي ه خ‬
‫حتخطكهر‬
‫يخ ح‬
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. Lalu Sa'id ditanya, "Kenapa
engkau lakukan ihtikar?" Sa'id menjawab, "Sesungguhnya Ma'mar yang
meriwayatkan hadits ini telah melakukan ihtikar!” (HR. Muslim 1605)
Imam Ibnu Abdil Bar mengatakan: "Kedua orang ini (Said bin Musayyab dan
Ma'mar (perowi hadits) hanya menyimpan minyak, karena keduanya memahami
bahwa yang dilarang adalah khusus bahan makanan ketika sangat dibutuhkan saja,
dan tidak mungkin bagi seorang sahabat mulia yang merowikan hadits dari Nabi
SAW dan seorang tabi'in [mulia] yang bernama Said bin Musayyab, setelah

mereka meriwayatkan hadits larangan ihtikar lalu mereka menyelisihinya (ini
menunjukkan bahwa yang dilarang hanyalah bahan makanan saja).
d. Haram ihtikar disebagian tempat saja
Seperti halnya di kota Makkah dan Madinah, sedangkan tempat-tempat
lainnya, maka dibolehkan ihtikar di dalamnya, hal ini lantaran Makkah dan
Madinah adalah dua kota yang terbatas lingkupnya, sehingga apabila ada yang
melakukan ihtikar salah satu barang kebutuhan manusia, maka perekonomian
mereka akan terganggu dan mereka akan kesulitan mendapatkan barang yang
dibutuhkan, sedangkan tempat-tempat lain yang luas, apabila ada yang menimbun
barang dagangannya, maka biasanya tidak mempengaruhi perekonomian manusia,
sehingga tidak dilarang ihtikar di dalamnya.
e. Boleh ihtikar secara mutlak
Mereka menjadikan hadits-hadits Nabi SAW yang memerintahkan orang
yang membeli bahan makanan untuk membawanya ke tempat tinggalnya terlebih
dahulu sebelum menjualnya kembali sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar, seperti
dalam hadits:
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata: "Aku melihat orang-orang yang membeli
bahan makanan dengan tanpa ditimbang pada zaman Rosulullah SAW mereka
dilarang menjualnya kecuali harus mengangkutnya ke tempat tinggal mereka
terlebih dahulu." (HR. Bukhori 2131, dan Muslim 5/8)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolani berkata:
"Imam Bukhori sepertinya berdalil atas bolehnya menimbun/ihtikar dengan
(hadits ini), karena Nabi SAW memerintahkan pembeli bahan makanan supaya
mengangkutnya terlebih dahulu ke rumah-rumah mereka sebelum menjualnya
kembali, dan seandainya ihtikar itu dilarang, maka Rosulullah SAW tidak akan
memerintahkan hal itu." (Fathul Bari 4/439-440).
Demikian pula pendapat tentang waktu diharamkannya ihtikar. Ada ulama
yang mengharamkan ihtikar setiap waktu secara mutlaku, tanpa membedakan
masa paceklik dengan sudah lalu. Ini adalah pendapat golongan salaf.

3. Kriteria Monopoli yang Dilarang
Menimbun barang yang diharamkan menurut mayoritas ulama bila
memenuhi beberapa kriteria di bawah ini :
a. Pertama : Monopoli yang dilarang adalah jika penimbun membelinya dari
pasar umum. Adapun jika menimbun dari sawahnya sendiri atau dari hasil
kerjanya sendiri maka hal itu dibolehkan.
Berkata Ibnu Qudamah di dalam

al-Mughni ( 4/ 154 ) : “ Jika dia

mengambil barang dari tempat lain atau dari sawahnya sendiri dan
menyimpannya, maka tidak termasuk menimbun yang dilarang. Di dalam
Mushannaf Abdu Rozaq ( 14885 ) dengan sanad shahih bahwa Thowus
menyimpan bahan makanan hasil panen sawahnya selama dua sampai tiga
tahun, untuk dijualnya ketika harga barang naik.
b. Kedua : Monopoli yang dilarang adalah jika dia membeli barang tersebut
ketika harganya mahal, untuk kemudian dijual lagi dengan harga yang lebih
tinggi. Seperti orang membeli bensin banyak-banyak menjelang harga naik,
untuk disimpannya dan menjualnya dengan harga tinggi.
Kalau membeli ketika harga murah dan barangnya berlimpah di
masyarakat dan menyimpannya untuk dijual dengan harga lebih mahal karena
kebutuhan hidupnya, maka ini tidak termasuk monopoli yang dilarang.
Berkata Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (11/ 41): “
Monopoli yang diharamkan adalah jika seseorang membeli makanan ketika
harganya mahal dengan tujuan untuk dijual lagi,

dia tidak menjualnya

langsung, tetapi disimpannya terlebih dahulu agar harganya lebih mahal.
Adapun jika dia membeli makanan tersebut pada waktu harga murah,
kemudian menyimpannya dan menjualnya ketika harga tinggi, karena dia
membutuhkan ( uang ) untuk makan, ataupun jika seseorang membeli makanan

tersebut kemudian dijualnya lagi, maka perbuatan-perbuatan tersebut tidak
termasuk dalam monopoli, dan tidak diharamkan. “
c. Ketiga : Monopoli yang dilarang adalah jika dia menimbun untuk dijual
kembali. Adapun jika ia menimbun makanan atau barang untuk kebutuhan
pribadi atau keluarga, tanpa ada niat menjualnya bukan termasuk monopoli
yang dilarang.
Berkata al-Baji di dalam al-Muntaqa ( 5/15 ) : “ Monopoli itu adalah
menimbun barang dagangan dan mengambil untung darinya. Adapun
menyimpan bahan makanan ( untuk keperluan sendiri ), maka tidak termasuk
monopoli.
Di dalam hadist Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu bahwa beliau
berkata :
‫جخعخل خماطل‬
‫جخعهل خما بخطقخي طمحن تخحمطرطه خم ح‬
‫ ث هدمخ ي خ ح‬، ‫حطبهس ن خخفخقخة أ خحهلططه خسن خرة‬
‫عل خي حطه خوخسل د خخم ي خ ح‬
‫خن خرهسوهل الل د خطه خص د خلى الل د خهه خ‬
‫الل د خطه‬
“ Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyimpan
makanan untuk keluarganya selama setahun, adapun sisa dari kurmanya
dijadikan sebagai harta Allah ( untuk dinfakkan).” ( HR. Abdur Rozaq di dalam
al Mushannaf (14451). Hadist yang serupa juga diriwayatkan Bukhari (2904 )
dan Muslim (1757 ))
d. Keempat : Monopoli yang dilarang adalah menimbun barang pada waktu
masyarakat membutuhkan barang tersebut. Adapun menimbun barang yang
banyak beredar di masyarakat untuk persiapan musim paceklik maka itu
dibolehkan.
Nabi Yusuf alaihi as-salam pernah melakukan penyimpanan bahan
makanan secara besar-besaran pada musim panen untuk persiapan menghadapi
musim paceklik di masa mendatang, dan ini tidak mempengaruhi pasar,
sebagaimana disebutkan al-Qur’an :

“Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana
biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali
sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun
yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk
menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu
simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi
hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur." ( Qs Yusuf :
47-49 ).
e. Kelima : Monopoli yang dilarang adalah menimbun barang-barang yang
merupakan kebutuhan pokok masyarakat seperti pangan, sandang, minyak dan
lain-lain. Adapun menimbun barang-barang yang bukan kebutuhan pokok
masyarakat dan barang tersebut banyak di tangan para pedagang, serta tidak
merugikan masyarakat, maka hal ini dibolehkan.
4. Hikmah di Balik Larangan monopolik (Ihtikar)
Imam Nawawi menjelaskan hikmah dari larangan

monopoli (ihtikar)

adalah mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum. Oleh
karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih,
sedangkan mausia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada
pada orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan
dengan cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak
kesulitan. Demikian juga apabila ada yang menimbun selain bahan makanan
(seperti pakaian musim dingin dan sebagainya) sehingga manusia kesulitan
mendapatkannya, dan membahayakan mereka, maka hal ini dilarang dalam
Islam.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari paparan atau penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
sesuai dengan makalah “Larangan Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha
Tidak Sehat” bahwa hal tersebut dapat merugikan berbagai pihak. Hal tersebut
melanggar etika bisnis. Dalam Islam pun menganjurkan agar melakukan
persaingan usaha secara sehat agar tidak merugikan dan memicu terjadinya
kesenjangan dan pertikaian karena Islam adalah agama yang mencintai kedamain.
Sebaiknya monopoli dan persaigan usaha tidak sehat dihindari agar tidak
menimbulkan konflik.
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya
penulis akan lebih baik lagi dalam menyusun makalah. Penulispun akan menulis
makalah dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat
diperanggung jawabkan.
3.3 Penutup
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi
bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan karena
terbatasnya pengetahuan,kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh
hubungannya dengan makalah ini. Penulis banyak berharap kepada para pembaca
untuk memberikan kriti dan saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA
Barthos, B. 2004. Aspek hukum : Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Bumi
Aksara.
Ros, Ginting Elyta. 2001. Hukum Anti Monopoli. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Ruslie, H. 1996. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common law. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan