Melacak Praktik Pengelolaan Zakat di Ind

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

Melacak Praktik Pengelolaan Zakat di
Indonesia Pada Masa Pra-Kemerdekaan
Moch. Arif Budiman

A. Pendahuluan
Perjumpaan bangsa Indonesia dengan Islam sebenarnya sudah
mulai terjadi sejak abad ketujuh Masehi. Pada mulanya, Islam
dipeluk oleh sebagian kecil penduduk bangsa ini, namun secara
perlahan agama ini terus meluaskan pengaruhnya hingga menyebar
ke seluruh pelosok Nusantara. Namun, sejak kedatangan kaum
kolonial, khususnya Belanda, proses Islamisasi itu menjadi
terhambat. Melihat potensi agama ini sebagai ancaman bagi
kelangsungan penjajahannya,1 Belanda berupaya menjinakkan dan
membatasi pengaruh Islam yang menjadi agama mayoritas bangsa
ini dengan menerapkan berbagai kebijakan, di antaranya berupa
politik adu domba (devide et empera) di antara kerajaan-kerajaan
Islam, menyokong dan memperkuat keberadaan kaum abangan vis
a vis kaum santri, serta berusaha mengkonfrontasikan hukum
Islam dengan hukum adat.

Di bawah arahan C. Snouck Hurgronje, upaya-upaya tersebut
rupanya cukup efektif sehingga mengakibatkan umat Islam
1

Sejarah menunjukkan bahwa perjuangan melawan kaum penjajah di
seantero penjuru Nusantara hampir keseluruhannya digerakkan dan
dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang muslim atas dasar motivasi
keagamaan dan semangat jihad.

241

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

kehilangan kekuatannya karena tercerai berai menjadi kelompokkelompok kecil yang saling berseteru. Selain itu, banyak aspek
hukum Islam yang kehilangan efektivitasnya di tengah-tengah
kehidupan masyarakatnya sendiri dan akhirnya termarjinalkan
menjadi sekadar urusan individu setiap pemeluknya, termasuk
dalam hal ini hukum yang berkenaan dengan zakat.
Zakat adalah suatu ibadah yang berdimensi sosial kemasyarakatan.
Pelaksanaan dan pengelolaan zakat pada dasarnya tidak bisa

diserahkan begitu saja kepada masing-masing individu muslim,
melainkan harus diorganisasikan sedemikian rupa di bawah kendali
lembaga yang memiliki otoritas, yaitu pemerintah. Tanpa
keterlibatan serius dari pemerintah, maka fungsi zakat sebagai
sarana mengeliminasi kesenjangan ekonomi dan mempromosikan
kesejahteraan sosial tidak akan tercapai secara optimal.
Dengan dasar pemikiran seperti diuraikan di atas, tulisan ini
bermaksud melacak praktik pengelolaan zakat di Indonesia pada
masa pra-kemerdekaan dan berusaha mengungkapkan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Sejauh pengamatan penulis, tulisan
yang membahas pengelolaan zakat pada masa pra-kemerdekaan
masih jarang ditemukan sehingga tulisan ini diharapkan dapat
mengisi kekosongan tersebut.
B. Proses Islamisasi di Indonesia
Berdasarkan catatan sejarah, agama Islam telah masuk dan mulai
tersebar di Indonesia pada abad ketujuh Masehi. Proses
penyebaran Islam itu dilakukan oleh para da’i, pedagang, dan
orang suci (sufi) yang berasal dari Jazirah Arab, Persia dan India.
Hingga abad ketigabelas, para da’i-pedagang itu telah mencapai
daerah Sumatera bagian utara dan membentuk perkampungan
yang kemudian dikenal sebagai daerah Samudera Pasai, Aceh

Utara. Dari Samudera Pasai, Islam selanjutnya menyebar ke

242

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

seluruh kepulauan Nusantara melalui jalur perdagangan,
perkawinan, dan jalur-jalur lain yang semuanya berjalan dengan
damai. Tidak ditemukan adanya laporan yang menyebutkan bahwa
Islam didakwahkan dengan cara-cara yang keras dan revolusioner.
Di Jawa, Islam pertama kali dipeluk oleh penduduk yang berdiam
di pesisir pantai utara dan sedikit demi sedikit kemudian memasuki
daerah pedalaman. Selanjutnya, penyebaran Islam semakin meluas,
apalagi ketika penguasa Kerajaan Mataram yang berpusat di Jawa
Tengah menyatakan masuk Islam. 2
Sebelum kedatangan Islam, agama Hindu dan Budha merupakan
agama utama yang dipeluk penduduk Indonesia. Pada saat itu,
kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha tersebar di berbagai pelosok
Nusantara, seperti Sriwijaya di Sumatera, Pajajaran, Mataram
Kuno, dan Majapahit di Jawa, Kutai di Kalimantan, dan masih

banyak kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Menghadapi kuatnya
pengaruh kedua agama tersebut, para penyebar Islam memilih
mempergunakan pendekatan kultural dalam proses Islamisasi
penduduk Indonesia, terutama di daerah Jawa dimana pengaruh
Hindu dan Budha tampak sangat kental. Pilihan terhadap proses
Islamisasi secara kultural itu pada gilirannya mengharuskan mereka
untuk melakukan serangkaian adaptasi dengan budaya lokal yang
telah mengakar sehingga secara perlahan-lahan akhirnya Islam
dapat diterima dengan baik oleh penduduk Indonesia. Namun
pendekatan kultural yang ditempuh para penyebar Islam tersebut
bukannya tanpa konsekuensi. Akibat pendekatan itu, maka banyak
ajaran Islam yang terkontaminasi dengan budaya lokal sehingga
melahirkan bentuk-bentuk Islam yang sinkretis.
Hal ini ternyata mempengaruhi pengamalan ajaran keagamaan
mereka. Tingkat kesadaran umat Islam dalam pengamalan ajaran
Islam secara kaffah dapat dibilang relatif rendah dan kalau pun
2Fachri

Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi
Pemikiran Islam Masa Orde Baru (Bandung: Mizan, 1992), 29-30.


243

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

dijalankan sebagiannya tidak sesuai dengan tuntunan Islam yang
murni. Itulah sebabnya di kalangan masyarakat muslim muncul
istilah kelompok abangan yang menunjuk kepada orang-orang
yang ber-Islam hanya secara nominal, yaitu mengaku sebagai
pemeluk Islam, namun tidak konsisten menjalankan kewajibankewajiban keagamaan. Rendahnya kesadaran beragama ini tampak
semakin jelas dalam pelaksanaan ibadah zakat.
Sejauh ini, zakat sebagai salah satu rukun Islam cenderung
“didiskriminasikan” oleh umatnya sendiri. Mereka umumnya
masih jauh lebih rajin melaksanakan shalat dan puasa ketimbang
menunaikan zakat. Banyak yang memahami zakat hanya sematamata berupa “pemberian beras” pada akhir Ramadhan. Itu berarti
bahwa orang baru akan membayar zakat ketika bulan Ramadhan
tiba. Itupun terbatas hanya zakat fitrah an sich yang jumlahnya
tidak seberapa, sementara pada bulan-bulan lain tidak banyak yang
mengeluarkan zakatnya. Adanya kewajiban zakat mal di samping
zakat fitrah ternyata kurang dipahami.

Banyak hal yang bisa diajukan sebagai faktor penyebab rendahnya
pengamalan zakat di tanah air, di antaranya pemahaman yang
sangat minim terhadap zakat, konsepsi fiqih yang kurang relevan
dengan perkembangan zaman, masih dominannya pola berzakat
tradisional, dan lain-lain.3 Di samping itu, tidak adanya ketentuan
yang mengikat muzakki untuk mengeluarkan zakatnya dan
terbatasnya peran pemerintah juga ditengarai turut memberi andil
terhadap rendahnya tingkat pelaksanaan zakat di Indonesia,4
padahal menurut konsep awalnya, peranan pemerintah merupakan
3

Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1988), 53-56.
4 M. Tahir Azhari, “Zakat dan Aplikasinya dalam Konteks Kesejahteraan
Sosial,” makalah pada Seminar Sehari RUU tentang Pengelolaan Zakat
yang diselenggarakan oleh Departemen Agama RI di Jakarta, 30 Agustus
1999.

244


Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

faktor yang sangat fundamental bagi optimalisasi pelaksanaan
kewajiban ini.
Tingkat pelaksanaan zakat umat Islam Indonesia yang masih
sangat rendah ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru terjadi,
melainkan merupakan kontinuitas dari praktik serupa pada masamasa sebelum bangsa ini merdeka yang dalam banyak hal memang
sengaja well designed dan dikondisikan sedemikian rupa oleh
pemerintah kolonial yang berkuasa saat itu.
C. Praktik Pengelolaan Zakat di Indonesia
1. Masa Penjajahan Belanda
Belanda mulai melakukan penetrasi ke Indonesia pada tahun 1596
di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Misi awal mereka di
Nusantara pada mulanya adalah misi perdagangan atau ekonomi,
khususnya dalam rangka memperoleh rempah-rempah yang
harganya memang relatif sangat murah jika dibandingkan dengan
harga yang berlaku di pasar Eropa. Selain itu, perjalanan mereka
ke Asia Tenggara juga didorong oleh semangat berpetualang untuk
menjelajah kawasan-kawasan baru yang belum mereka kenal
sebelumnya.5

Untuk mengatur urusan perdagangannya, Belanda kemudian
membentuk sebuah organisasi dagang yang dikenal dengan VOC
(Verenigde Oost-Indische Compagnie) pada tahun 1602.6 Dalam praktik
perdagangannya, Belanda berupaya untuk memonopoli seluruh
perdagangan di Nusantara sehingga untuk menunjang kepentingan
itu mereka melengkapi organisasi dagang tersebut dengan
5Marwati

Djoned Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia, Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 45.
6Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Jilid I
(Jakarta: Gramedia, 1987), 70.

245

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

persenjataan modern. Hal ini lantaran mereka harus berkompetisi
tidak saja dengan para saudagar lokal dan kerajaan-kerajaan Islam
yang ada di Nusantara, seperti Aceh Darussalam, Mataram,

Banten, Banjar, Gowa-Tallo dan lain-lain,7 tetapi juga dengan
pedagang-pedagang asing lain yang telah datang sebelum mereka,
seperti Portugis dan Inggris. Praktik monopoli dan kooptasi yang
mereka jalankan tentu saja memicu perlawanan dari berbagai
elemen bangsa Indonesia. Peperangan demi peperangan senantiasa
terjadi antara VOC dengan bangsa Indonesia yang sebagian
besarnya dipelopori oleh para pemimpin dan pejuang muslim.
Dalam sejarah panjang peperangan melawan Belanda di Indonesia
terdapat deretan nama para pahlawan muslim kenamaan yang
gagah berani, seperti Pangeran Diponegoro di Jawa, Tuanku
Imam Bonjol di Minagkabau, Teuku Umar dan Cut Nyak Din di
Aceh,8 Pangeran Antasari di Kalimantan, Pangeran Hasanuddin di
Sulawesi dan masih banyak yang lainnya.
Lantaran terlalu banyak mengeluarkan dana untuk membiayai
peperangan, VOC menderita kerugian besar dan akhirnya pada
tahun 1789 organisasi tersebut dibubarkan.9 Sejak saat itu,
kekuasaan atas Indonesia beralih ke tangan pemerintahan Belanda
dan Indonesia pun secara resmi dijadikan sebagai daerah jajahan
pemerintahan Belanda. Misi perdagangan pun berubah menjadi
misi kolonialisme. Satu persatu kerajaan Islam ditundukkan dan

dipecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Untuk
mempertahankan kekuasaannya, pemerintahan Belanda tidak
segan-segan menumpas habis setiap usaha atau gerakan yang
7Taufik

Abdullah et.al, Sejarah Ummat Islam Indonesia (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991), 51-105.
8Dalam sejarah konsolidasi kekuasaan Belanda, Perang Diponegoro
(1825-1830), Perang Paderi (1821-1837) dan Perang Aceh (1873-1904)
tercatat sebagai perang-perang termahal dan paling banyak menelan
korban. Abdullah et.al, Sejarah Ummat Islam, 141-85.
9Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia, 71.

246

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

menentangnya. Meskipun demikian, pelawanan terhadap
penjajahan Belanda bukannya berhenti, tetapi justru terus
bermunculan dari waktu ke waktu.

Dalam kebijakan mengenai masalah agama, pemerintah Belanda
sebenarnya mengklaim menerapkan prinsip netralitas dalam setiap
kebijakannya. Hal ini berarti bahwa mereka memberikan perlakuan
yang sama kepada semua agama yang ada tanpa memihak kepada
kepentingan manapun. Akan tetapi, klaim pemerintah Belanda itu
ternyata hanya kedok belaka sebab mereka pada hakikatnya
menghendaki agar Kristen dapat menggantikan posisi Islam
sebagai agama mayoritas penduduk negeri ini. Itulah sebabnya
sejak awal kedatangannya di Indonesia, misi penyebaran agama
Kristen telah dijadikan sebagai salah satu di antara sekian misi
Belanda. Dalam konteks ini, fakta menunjukkan bahwa para
pendeta Belanda tidak saja memberikan pengajaran agama kepada
para serdadu dan pegawai mereka saja, tetapi ternyata juga
menyebarkannya kepada rakyat Indonesia pada umumnya.10
Berbagai kebijakan pemerintah Belanda terhadap urusan-urusan
umat Islam tidak dapat dilepaskan dari pengaruh teori “Politik
Islam” yang diintrodusir oleh C. Snouck Hurgronje. 11 Dalam
kapasitasnya sebagai penasihat resmi pemerintah dalam segala
urusan yang berkaitan dengan umat Islam, Snouck memberikan
suatu pedoman umum yang menyebutkan bahwa Islam pada
dasarnya terbagi atas tiga wilayah, yaitu (1) keagamaan “murni”
atau ibadat; (2) kemasyarakatan; dan (3) kenegaraan. Terhadap
yang pertama, pemerintah menurutnya harus berlepas tangan atau
10Nourouzzaman

Shiddiqi, “The Role of The Ulama During The
Occupation of Indonesia (1942-1945),” (Tesis M.A., McGill University,
Montreal, 1975), 60-1.
11Untuk mengetahui lebih jelas tentang sepak terjang Snouck Hurgronje
lihat misalnya P. SJ. Van Koningsveld, Snouck Hurgronje dan Islam (Jakarta:
Girimukti Pustaka, 1989).

247

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

tidak mencampurinya, sedangkan terhadap yang kedua, jika
memungkinkan, pemerintah hendaknya memberikan bantuannya,
misalnya dalam masalah haji. Namun terhadap yang ketiga,
pemerintah harus bersikap keras dan tanpa kompromi.12 Dalam
menghadapi umat Islam, politik pemerintah Belanda pada
umumnya memang berada dalam kerangka teori tersebut,
meskipun belakangan teori itu sudah tidak tepat lagi diterapkan
dalam konteks masyarakat Indonesia yang terus berubah.
Terhadap urusan zakat yang nota bene merupakan urusan
keagamaan murni, pemerintah Belanda tercatat pernah
mengeluarkan beberapa kebijakan. Namun alih-alih memajukan,
kebijakan-kebijakan tersebut pada kenyataannya malah semakin
memperlemah pelaksanaan ibadah zakat di dalam masyarakat.
Pemerintah Belanda nampaknya memang menghendaki agar
potensi zakat terabaikan sehingga rakyat Indonesia yang mayoritas
muslim tetap lemah kondisi ekonominya sekaligus tetap rendah
tingkat kesejahteraannya.13 Kebijakan ini sangat boleh jadi
dipengaruhi juga oleh kenyataan bahwa sebagian dana zakat
dipergunakan pula oleh umat Islam untuk membiayai peperangan
melawan Belanda,14 seperti terjadi pada Perang Aceh. Perang Aceh
yang terbukti mampu membuat pemerintah Belanda kewalahan
ternyata dapat bertahan dalam waktu cukup panjang salah satunya
karena didukung oleh sumber dana yang memadai yang antara lain
berasal dari zakat yang dikumpulkan melalui para ahli fiqih. 15

12Taufik

Abdullah, “Kata Pengantar” dalam karya C. Snouck Hurgronje,
Islam di Hindia Belanda, ter. S. Gunawan (Jakarta: Bhratara Karya Aksara,
1983), 5.
13Ali Yafie, Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan
(Yogyakarta: LKPSM, 1997), 119.
14 Ali, Sistem Ekonomi Islam, 32.
15Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, 22.

248

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

Sebelum Belanda menapakkan kakinya di Indonesia, pola
pelaksanaan zakat di kalangan masyarakat muslim Indonesia
sepenuhnya masih berpola tradisional. Pola ini dicirikan oleh
hubungan langsung antara pihak muzakki dan mustahiq yang
sepenuhnya bersifat lokal. Dalam pelaksanaannya di lapangan,
pola tradisional tersebut dapat dibedakan menjadi dua bentuk.
Bentuk pertama, muzakki menyerahkan langsung zakatnya kepada
mustahiq yang ditentukannya sendiri. Mereka pada umumnya
adalah guru agama, ulama, atau anak yatim yang berada di sekitar
tempat tinggal muzakki. Penyerahan zakat untuk keperluan
produktif atau untuk kawasan lain, kalaupun memang ada, dapat
dipastikan sangat jarang terjadi. Bentuk kedua, yang merupakan
metode baru dari pola tradisional, muzakki membagi-bagikan
semacam kupon kepada para mustahiq dimana yang disebutkan
terakhir ini selanjutnya mencairkan kupon tersebut di tempat sang
muzakki. Metode seperti ini boleh jadi sengaja dilakukan oleh
sebagian orang kaya untuk tujuan memperoleh popularitas di
tengah-tengah masyarakat.16
Kehadiran Belanda yang kemudian membentuk jaringan birokrasi
pemerintahan dari pusat hingga ke daerah-daerah, melahirkan pola
baru dalam pengelolaan zakat, yaitu penyerahan zakat kepada para
petugas keagamaan formal yang diangkat pemerintah, seperti
penghulu dan naib. Selain itu, banyak pula aparat pemerintahan,
mulai dari bupati hingga kepala desa yang turut terlibat dalam
pengumpulan dana zakat dari umat Islam.
Dalam hal penyaluran dana zakat, praktik yang berjalan tidak
sepenuhnya sesuai dengan aturan yang digariskan oleh hukum
Islam. Di Jawa Barat dan Madura, zakat dianggap sebagai gaji
pegawai masjid. Hal ini karena pengumpulan zakat itu, untuk
16Taufik Abdullah, “Zakat Collection and Distribution in Indonesia”
dalam The Islamic Voluntary Sector in Southeast Asia, ed. Mohamed Ariff
(Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1991), 55.

249

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

sebagian besarnya memang dapat berjalan berkat kerja keras
mereka, di samping karena segenap waktu dan tenaga mereka
senantiasa dicurahkan untuk pengabdian kepada Tuhan.17 Di
beberapa daerah lain, para pegawai, seperti bupati, wedana, dan
kepala desa juga turut mengumpulkan zakat dan menerima
sebagian hasil zakat mal dan zakat fitrah.18 Sementara itu, zakat
fitrah di Banten sebagian besarnya diterima oleh para kyai atau
guru mengaji, sedangkan di Jawa Timur, zakat mal berada di bawah
kekuasaan kyai dan ulama, sementara zakat fitrah diserahkan
kepada para petugas agama di desa, seperti khatib, mu’adhdhin, dan
imam masjid.19
Bahwa petugas pemungut zakat (amil) yang terdiri dari pegawai
masjid, aparat pemerintah, dan guru agama itu memperoleh bagian
dana zakat, hal tersebut sebenarnya tidak menjadi persoalan
ditinjau dari hukum Islam karena selaku amil, mereka memang
berhak atas bagian itu. Akan tetapi yang menjadi persoalan
kemudian adalah seberapa besar bagian itu. Jika bagian terbesar
dana zakat justru jatuh ke tangan para pelaksananya saja,
sementara mustahiq lain yang juga berhak, terutama kaum fakir dan
miskin, hanya memperoleh sedikit atau bahkan tidak mendapat
bagian sama sekali, maka tentu saja hal tersebut tidak sesuai
dengan maksud disyariatkannya ibadah ini. Yang lebih parah lagi
adalah bahwa dana zakat yang menjadi bagian dari kas masjid20
seringkali diselewengkan penggunaannya atas perintah para Bupati
atau Residen. Kas masjid yang seharusnya dipergunakan untuk
kepentingan masjid dan umat Islam, justru seringkali dipergunakan
17Hurgronje,

Islam di Hindia Belanda, 21.
A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 230.
19Abdullah, “Zakat Collection and Distribution in Indonesia,” 57.
20Dana kas masjid sebagian besar diperoleh dari ongkos pembayaran
pencatatan nikah, talak, dan rujuk, ongkos perkara pada peradilan agama,
penghasilan dari tanah wakaf, wakaf perseorangan, dan zakat.
18Karel

250

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

untuk pengeluaran yang kurang atau tidak relevan, seperti untuk
dana pemeliharaan orang sakit gila, lepra, buta, atau sebagai
pinjaman tanpa bunga kepada suatu lembaga kredit.21 Bahkan, di
wilayah Karesidenan Surabaya, kas masjid dipergunakan untuk
membantu sebuah Rumah Sakit Zending, sementara di Kediri
dipergunakan untuk membiayai asrama bagi kepentingan pelacur
yang sakit.22
Fenomena keterlibatan aparat pemerintahan dalam pengumpulan
zakat pada perkembangan selanjutnya rupanya kurang disenangi
oleh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda
mengeluarkan kebijakannya yang pertama mengenai zakat berupa
Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 yang isinya melarang para petugas
keagamaan, seperti penghulu, naib dan yang lainnya untuk turut
campur dalam pengumpulan zakat dengan alasan untuk
menghindari penyelewengan dana zakat. Penyelewengan yang
dimaksudkan itu memang pernah terjadi, namun yang barangkali
perlu disayangkan adalah bahwa para penghulu dan naib yang
bekerja untuk melaksanakan administrasi Pemerintah Belanda itu
sebelumnya sama sekali tidak memperoleh gaji atau tunjangan
21Gagasan ini dikemukakan oleh De Wolff van Westerrode, Asisten Residen
Purwokerto yang pada tahun 1904 ditugaskan untuk mendirikan Bank
Kredit Rakyat. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta:
LP3ES, 1985), 164-5.
22Sang Residen menggariskan bahwa salah satu pos pengeluaran bagi kas
masjid setempat adalah memberikan sumbangan kepada Rumah Sakit
Zending di Mojowarno. Atas dasar keputusan itu, dari kas masjid Sedayu
Surabaya, dikeluarkan uang sebanyak f.90,- setiap bulannya untuk
membantu rumah sakit tersebut. Untuk rumah sakit yang sama,
disalurkan pula bantuan yang berasal dari kas masjid di berbagai tempat
di Rembang. Selain itu, kas masjid Pekalongan juga di(salah)gunakan
untuk membangun gedung pertemuan umum di Pemalang. Dan ada pula
kas majid yang dipergunakan untuk membangun suatu rumah sewa bagi
seorang Asisten Wedono. Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, 165-6.

251

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

apapun dari pemerintah sehingga pelarangan untuk mengurusi
zakat sama artinya dengan memusnahkan sebagian “pendapatan”
mereka.23
Peraturan ini selanjutnya menimbulkan perubahan dalam praktik
berzakat di kalangan umat Islam. Mereka pun tidak lagi
memberikan zakatnya kepada penghulu atau naib, melainkan
kepada ahli agama yang lebih dihormati, yaitu kyai atau guru
pengajian24 dengan harapan mendapatkan syafaat sehingga
memperoleh berkat dari Yang Maha Kuasa. Namun akibat
peraturan ini pula sebagian umat Islam di beberapa tempat
akhirnya justru menjadi enggan mengeluarkan zakatnya.25
Selanjutnya, pada tanggal 28 Pebruari 1905, pemerintah Belanda
kembali mengeluarkan kebijakan tentang zakat berupa Bijblad
6200. Peraturan baru ini melarang semua jajaran pegawai
pemerintahan dan juga para priyayi pribumi, mulai dari kepala desa
sampai bupati untuk ikut serta membantu pelaksanaan zakat.
23Ali,

Sistem Ekonomi Islam, 32. Berdasarkan laporan Nakamura, jumlah
beras yang diterima seorang penghulu di Kotagede pada setiap akhir
bulan Ramadhan cukup dipergunakan untuk keperluan selama setengah
tahun. Mitsuo Nakamura, The Crescent Arises Over Banyan Tree
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), 91.
24Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam, 230. Di daerah Jawa,
penghormatan masyarakat terhadap seorang kyai atau guru pengajian
memang sangat tinggi. Sikap dan perilakunya menjadi ikutan orang
banyak, sementara perkataan dan fatwanya umumnya selalu dianggap
benar dan tidak boleh dibantah. Kedudukan yang mulia tersebut biasanya
berlanjut hingga hari tuanya, bahkan tidak jarang terjadi, pengaruh yang
sedemikian itu belum juga pupus, walaupun sang kyai atau guru itu telah
wafat. Penghormatan yang tinggi ini agaknya tidak terlepas dari pengaruh
atau kelanjutan dari posisi yang sama pada zaman sebelum kedatangan
Islam di Nusantara. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 19001942 (Jakarta: LP3ES, 1991), 18-9.
25Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, 22.

252

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

Kebijakan tersebut menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin
mencampuri pelaksanaan ibadah zakat dan menyerahkan
pelaksanaannya sepenuhnya kepada umat Islam sesuai dengan
syariat Islam. Dengan peraturan ini tampaknya pemerintah
Belanda ingin membuat batas yang tegas antara tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat di dalam masalah-masalah
keagamaan.26 Kebijakan ini pada kenyatannya semakin
melemahkan potensi umat Islam dalam penggalangan dana melalui
zakat sehingga pengelolaan zakat sepenuhnya kembali bersifat
tradisional dalam pengertian tidak melibatkan amil lagi.
Dalam perkembangan berikutnya, pelaksanaan zakat di masyarakat
Indonesia ternyata kian menurun. Berdasarkan catatan Snouck
Hurgronje, sejak abad kesembilanbelas tingkat pengamalan zakat
di kalangan umat Islam Indonesia menunjukkan gejala penurunan.
Di beberapa daerah, misalnya Pasundan, pungutan zakat yang
sebelumnya dilaksanakan secara teratur dan hingga saat itu (saat ia
menulis laporannya) masih terasa pengaruhnya, mulai menjadi
kacau sehingga sedikit demi sedikit muncul keyakinan di
masyarakat bahwa zakat hanyalah suatu kewajiban keagamaan
yang sepenuhnya bersifat sukarela. Sedangkan di kebanyakan
daerah, pemugutan zakat hanya kadang-kadang saja
dilaksanakan.27
Sementara itu, merespon praktik pengamalan zakat secara
tradisional yang masih merupakan kecenderungan umum pada
saat itu, Muhammadiyah, sebuah organisasi keagamaan modernis,
memperkenalkan reformasi pengelolaan zakat dengan membentuk
lembaga amil zakat dan menghimpun shadaqah, infak dan wakaf.
Muhammadiyah berpendapat bahwa praktik pengelolaan zakat
yang bersifat langsung seperti yang berkembang luas saat itu tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Pengelolaan zakat haruslah ditangani
26Abdullah,

“Zakat Collection and Distribution in Indonesia,” 57.
Islam di Hindia Belanda, 21.

27Hurgronje,

253

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

oleh suatu kelompok (amil) yang ditunjuk dan hasilnya diserahkan
kepada fakir-miskin.28
Untuk memenuhi tujuan-tujuan sosial dari disyariatkannya ibadahibadah itu, para pemimpin Muhammadiyah kemudian
mengemukakan beberapa ijtihad, seperti membolehkan
pemindahan harta zakat ke daerah lain yang lebih memerlukan dan
mengakumulasikannya untuk membiayai usaha-usaha produktif.
Mereka yakin bahwa investasi dana zakat dalam kegiatan-kegiatan
ekonomi yang dilakukan secara bersama-sama pada akhirnya akan
menghasilkan lebih banyak dana untuk diberikan kepada mereka
yang berhak menerimanya. Sebagai ‘amil zakat, Muhammadiyah
memutar dana zakat untuk aktivitas-aktivitas bisnis dengan
persetujuan dari para mustahiq yang secara otomatis menjadi
pemegang saham dari usaha-usaha tersebut. Pada tahun 1920
sampai dengan 1930-an, gagasan tersebut diimplementasikan
dengan pendirian koperasi-koperasi yang terdapat di cabangcabang Muhammadiyah di berbagai daerah.29
Dalam konteks zamannya, Muhammadiyah muncul dengan
melancarkan kegiatan-kegiatan yang konkrit, seperti melakukan
tabligh sebagai media pendidikan bagi masyarakat, mendirikan
sekolah-sekolah, panti yatim piatu dan—belakangan— poliklinik
dan rumah sakit yang dimulai oleh K.H. Mas Mansyur atas anjuran
dan bantuan sahabat sekaligus lawan debatnya, dr. Soetomo.
Dengan langkah-langkah itu, Muhammadiyah menjadi sebuah
organisasi yang bergerak dan hidup, bahkan perkembangannya
melampaui Budi Utomo yang pada waktu itu tetap bertahan

28Nakamura,

The Crescent Arises Over Banyan Tree, 91. Lihat pula M.
Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: LSAF,
1999), 432.
29Achmad Jainuri, The Formation of The Muhammadiyah’s Ideology 1912-1942
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 1999), 141-2.

254

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

sebagai organisasi yang elitis dan ditinggalkan oleh generasi
mudanya, termasuk oleh Sutomo sendiri.30
Pembentukan lembaga amil zakat oleh K.H. Ahmad Dahlan
menandai perkembangan tahap kedua dalam pelaksanaan zakat di
tanah air. Keistimewaan K.H. Ahmad Dahlan terletak pada
kecenderungan praktisnya. Dia membentuk Muhammadiyah
supaya bisa bertindak bersama-sama melakukan hal-hal yang
sudah jelas diperintahkan dan bukan untuk sekadar bersatu dan
mempertahankan sistem kelembagaan tradisional yang ada.
Baginya, organisasi semata-mata hanyalah alat dan bukan tujuan.31
2. Masa Pendudukan Jepang
Sejak Maret 1942 sampai dengan Agustus 1945 Indonesia
berada di bawah pendudukan Bala Tentara Jepang. 32
Pendudukan Jepang ini pada mulanya memberi angin segar bagi
kehidupan umat Islam setelah sekian lama ruang gerak mereka
dibelenggu oleh pemerintah Belanda. Dalam rangka menarik
simpati bangsa Indonesia yang mayoritas muslim, Jepang
menerapkan strategi politik yang relatif menguntungkan umat
Islam. Dalam hal ini, terdapat sejumlah perbedaan mencolok
dalam kebijakan terhadap umat Islam antara pemerintah
30M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa:
Risalah Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1999), 228.
31Ibid., 450.
32Untuk menyebut masa penguasaan Jepang atas Indonesia, para penulis
sejarah pada umumnya mempergunakan istilah pendudukan dan jarang
memakai istilah penjajahan sebagaimana yang lazim mereka pergunakan
untuk menyebut masa penguasaan Belanda. Hal ini agaknya tidak terlepas
dari singkatnya masa penguasaan mereka yang kurang lebih hanya 3,5
tahun saja sehingga diibaratkan mereka hanya sempat ‘duduk’ saja di
Indonesia, berbeda dengan penguasaan Belanda yang berlangsung selama
3,5 abad.

255

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

Belanda dengan penguasa Jepang. Jika sebelumnya Belanda
selalu berupaya memecah-belah kekuatan umat Islam ke dalam
kelompok-kelompok kecil melalui politik devide et empera,
penguasa Jepang justru mempersatukan organisasi-organisasi
muslim dalam satu wadah organisasi. Jepang rupanya
berkepentingan untuk mendamaikan persengketaan antara
kaum tradisional dan modernis dalam rangka mengukuhkan
eksistensi kekuasaannya. Selain itu, Jepang memberi akses
kepada para santri untuk memperoleh latihan kemiliteran, baik
di Pasukan Hizbullah maupun Peta (Pembela Tanah Air)
sehingga pada saatnya nanti memungkinkan para santri tersebut
untuk mengambil bagian dalam menyambut kemerdekaan
seperti yang dijanjikan Jepang. 33
Lebih dari itu, Jepang juga membentuk Shumubu (Jawatan
Agama Islam) di tingkat pusat dan Shumuka di daerah-daerah
pada tahun 1942 untuk mengelola urusan umat Islam. Sekadar
catatan, pada masa Belanda urusan agama Islam ditangani oleh
banyak departemen. Urusan pendidikan Islam dan haji berada
di bawah kewenangan Departemen Dalam Negeri, urusan
pengadilan agama di bawah Departemen Kehakiman, urusan
gerakan keagamaan di bawah Kantor Masalah Pribumi dan
Islam
(Kantoor voor Inlandsche en Mohammadanse Zaken),
sedangkan urusan ibadah agama di bawah Departemen
Pendidikan.34 Untuk daerah Aceh yang memiliki kekhususan
dalam pengamalan ajaran Islam, pemerintah Bala Tentara
Jepang membentuk Kantor Urusan Agama (Mahkamah
Syari’ah) berdasarkan Aceh Syu Rei No. 12 tanggal 15 Pebruari
33Nourouzzaman Shiddiqi, “Islam pada Masa Pendudukan Jepang:
Sebuah Tinjauan tentang Peranan Ulama dan Pergerakan Muslim
Indonesia” dalam Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam Sorotan, ed. A.
Mu’in ‘Umar, et.al (Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985), 35.
34 Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1983), 14.

256

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

1944 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 1944. Salah satu
tugas kantor ini adalah mengurus masalah zakat, zakat fitrah
dan wakaf.35
Pada masa pendudukan Jepang, usaha untuk melibatkan
pemerintah dalam pengumpulan zakat mulai dilakukan oleh
MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia),36 federasi umat Islam yang
diizinkan kembali beroperasi pada masa Jepang. MIAI
mengambil inisiatif membentuk Baitul Mal Pusat untuk
mengorganisasikan
dana
zakat
secara
terkoordinasi.
Pembentukan Baitul Mal ini merupakan satu-satunya proyek —
dari tiga proyek yang direncanakan MIAI— yang sempat
terwujud, sementara dua proyek lainnya, yaitu pembangunan
sebuah Masjid Agung dan pendirian universitas Islam gagal
direalisasikan. Baitul Mal Pusat berhasil didirikan pada bulan
Juni 1943. Badan ini dikepalai oleh Ketua MIAI sendiri,
Windoamiseno dengan anggota komite yang berjumlah 5 orang,
yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M. Kartosuwirjo, Moh.
Safei, K. Taufiqurrachman, dan Anwar Tjokroaminoto.
Publikasi besar-besaran yang dilakukan pengurusnya dalam
jurnal federasi itu rupanya mampu membangkitkan antusiasme
yang cukup besar dari masyarakat. Pada bulan itu juga para
delegasi MIAI melakukan perjalanan ke Jawa Tengah dan
Timur untuk berdiskusi dengan para pimpinan agama dan
pejabat pemerintahan di daerah tentang didirikannya Baitul Mal
35Nourouzzaman

Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 41-2.
36MIAI berdiri di Surabaya pada September 1937 sebagai reaksi atas
berbagai kebijakan campur tangan Belanda terhadap persoalan-persoalan
keagamaan umat Islam. Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit,
ter. Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 119. Lihat pula Mizan
Sya’roni, “The Majlisul Islami A’la Indonesia (MIAI): Its Socio-Religious
and Political Activities (1937-1943).” (Tesis M.A., McGill University,
Montreal, 1998), 97-100.

257

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

di daerah mereka masing-masing. Upaya-upaya itu rupanya
tidak sia-sia, sebab dalam jangka waktu yang singkat, —hanya
beberapa bulan saja—, Baitul Mal telah berhasil didirikan di 35
kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu.37
Akan tetapi, usaha MIAI yang sangat progresif itu akhirnya
terpaksa kandas di tengah jalan. Penguasa Jepang agaknya
menaruh kekhawatiran sebab jika proyek ini berhasil, maka
bukan saja akan menghimpun dana besar bagi umat Islam yang
ternyata mulai tidak pro-Jepang, tetapi juga akan memotong
jalur pengawasan terhadap ulama yang telah dipusatkan di
Syumubu. MIAI pada akhirnya dibubarkan Jepang pada tanggal
24 Oktober 194338 dan sejak saat itu, sumber daya umat Islam
lebih terkonsentrasi pada upaya-upaya untuk merebut dan
mempertahankan kemerdekaan sehingga agenda optimalisasi
pengelolaan zakat menjadi kembali terabaikan.
D. Penutup
Praktik pengelolaan zakat di Indonesia yang sejauh ini masih
belum menggembirakan pada dasarnya merupakan kontinyuitas
dari praktik serupa pada masa-masa sebelum kemerdekaan. Praktik
tersebut dalam banyak hal dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah
37Harry

Jindrich Benda, The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam
Under The Japanese Occupation, 1942-1945 (The Hague: W. van Hoeve,
1958), 143-6.
38Shiddiqi, Fiqh Indonesia, 201.

258

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

kolonial yang memang tidak mendukung pelaksanaan ibadah umat
Islam. Kebijakan pemerintah kolonial itu antara lain didasarkan
pada pendirian pemerintah yang tidak ingin mencampuri urusan
ibadah umat Islam. Di samping itu, potensi besar yang terkandung
dalam ibadah zakat rupanya dikhawatirkan akan dapat
membahayakan eksistensi mereka. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah kolonial, baik Belanda
maupun Jepang, tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan
yang bersifat politis.
Kenyataan di atas memberikan penegasan bahwa pelaksanaan
zakat dimana pun akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang
diterapkan pemerintahnya. Jika pemerintah tidak memberikan
dukungannya –dalam kasus pemerintah kolonial bahkan
cenderung merintanginya—, maka pengelolaan zakat tidak akan
optimal. Demikian pula sebaliknya, apabila pemerintah serius
memberikan perhatian dan menciptakan kondisi ideal dalam
regulasi dan pengelolaan zakat, maka optimalisasi rukun Islam
ketiga ini sebagai salah satu sarana menciptakan kesejahteraan
masyarakat niscaya akan dapat terealisir. Kendati demikian,
perubahan kebijakan pemerintah dari ‘merintangi’ menuju
‘mendukung’ pengelolaan zakat tentunya tidak akan terjadi begitu
saja, melainkan membutuhkan perjuangan dari umat Islam sendiri
karena bagaimanapun pengamalan keagamaan sebenarnya sangat
tergantung pada pengikut agama yang bersangkutan, dan bukan
tergantung semata-mata pada pihak pemerintah. Wallahu a’lam
bishshawab.

259

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

Daftar Pustaka
1. Abdullah, Taufik et.al, Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta:
Majelis Ulama Indonesia, 1991.
2. --------, “Zakat Collection and Distribution in Indonesia”
dalam The Islamic Voluntary Sector in Southeast Asia, ed.
Mohamed Ariff. Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies, 1991.
3. Ali, Fachri dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam:
Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan,
1992.
4. Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf.
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988.
5. Azhari, M. Tahir, “Zakat dan Aplikasinya dalam Konteks
Kesejahteraan Sosial,” makalah pada Seminar Sehari RUU
tentang Pengelolaan Zakat yang diselenggarakan oleh
Departemen Agama RI di Jakarta, 30 Agustus 1999.
6. Benda, Harry Jindrich, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, ter.
Daniel Dhakidae. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
7. --------, The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under
The Japanese Occupation, 1942-1945. The Hague: W. van Hoeve,
1958.
8. Hurgronje, C. Snouck, Islam di Hindia Belanda, ter. S.
Gunawan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1983.
9. Jainuri, Achmad, The Formation of The Muhammadiyah’s Ideology
1912-1942. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 1999.
10. Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 15001900, Jilid I. Jakarta: Gramedia, 1987.

260

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

11. Koningsveld, P. SJ. Van, Snouck Hurgronje dan Islam. Jakarta:
Girimukti Pustaka, 1989.
12. Nakamura, Mitsuo, The Crescent Arises Over Banyan Tree.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993.
13. Noer, Deliar, Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali,
1983.
14. --------, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
LP3ES, 1991.
15. Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto,
Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
16. Rahardjo, M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim. Bandung: Mizan, 1999.
17. --------, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: LSAF,
1999.
18. Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia: Penggagas dan
Gagasannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
19. --------, “Islam pada Masa Pendudukan Jepang: Sebuah
Tinjauan tentang Peranan Ulama dan Pergerakan Muslim
Indonesia” dalam Penulisan Sejarah Islam di Indonesia dalam
Sorotan, ed. A. Mu’in ‘Umar, et.al , Yogyakarta: Dua Dimensi,
1985.
20. --------, “The Role of The Ulama During The Occupation of
Indonesia (1942-1945),” Tesis M.A., McGill University,
Montreal, 1975.
21. Steenbrink, Karel A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad Ke-19. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
22. Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES,
1985.

261

Muhammadiyah dan Tantangan Abad Baru: Percikan Pemikiran dari Negeri Jiran

23. Sya’roni, Mizan, “The Majlisul Islami A’la Indonesia (MIAI):
Its Socio-Religious and Political Activities (1937-1943),” Tesis
M.A., McGill University, Montreal, 1998.
24. Yafie, Ali, Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan
Kemanusiaan. Yogyakarta: LKPSM, 1997.

262