Introspeksi Penerapan E Government (1)

Pengantar

Pada tahun 2002, Paci�ic Council International Policy (PCIP) menerbitkan sebuah publikasi menarik berjudul “Roadmap for E‐Government in the Developing World” (PCIP, 2002) yang bertujuan untuk membantu negara‐negara dalam menyusun strategi penerapan dan pengembangan e‐government‐nya. Berdasarkan kajian terhadap pengalaman kolektif dari sejumlah negara yang dipandang telah berhasil menerapkan beragam inisiatif aplikasi e‐ government – yaitu Brazil, Chili, Cina, Denmark, Mesir, India, Israel, Meksiko, Afrika Selatan, Tanzania, Thailand, Uni Emirat Arab, dan Amerika Serikat – pada tingkat pemerintahan setingkat negara, provinsi, kabupaten, dan kota, PCIP menemukan 10 (sepuluh) faktor utama penentu keberhasilan penerapan e‐government. Kesepuluh faktor ini pada saat yang bersamaan dapat dijadikan bahan introspeksi bagi para stakeholder dalam menilai status perkembangan dan pertumbuhan e‐government di dalam sebuah negara.

1. WHY ARE WE PURSUING E‐GOVERNMENT?

Pertanyaan berbau �iloso�is ini sekilas terkesan basa basi, padahal kunci keberhasilan penerapan e‐government berasal dari sini. Tidak sedikit inisiatif e‐government yang berakhir dengan kegagalan karena keputusan untuk melaksanakan proyek tersebut didasarkan pada latah belaka (ikut‐ikutan dengan trend di masyarakat). Bahkan tidak jarang ditemui orang‐ orang yang bersepakat untuk menerapkan konsep e‐government tanpa mengetahui alasan yang jelas mengapa hal tersebut harus dilakukan.

Konsep e‐government bukanlah sebuah inisiatif yang mudah dan murah. Sebelum memutuskan untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya yang sangat besar, harus dimengerti terlebih dahulu latar belakang apa yang menyebabkan inisiatif e‐government perlu (atau tidak) untuk diimplementasikan. E‐government bukanlah sebuah obat atau jalan pintas menuju pada perbaikan atau pertumbuhan ekonomi yang signi�ikan secara cepat, atau pencapaian e�isiensi kinerja pemerintahan dalam waktu singkat, atau pembentukan mekanisem pemerintahan yang bersih dan transparan; e‐government adalah sarana atau alat untuk menuju kepada obyektif‐obyektif tersebut. E‐government tidaklah dapat dibangun dan diterapkan hanya dengan sekedar menyusun peraturan atau kebijakan dari pemerintah atau pimpinan negara semata, namun memerlukan proses kerja keras yang diawali dengan perubahan paradigma yang bermuara pada perekayasaan ulang proses (business process) yang terjadi di pemerintahan. Dari sudut ini terlihat bagaimana sulit dan kompleksnya harus melakukan perancangan ulang sejumlah proses di dalam pemerintahan, terutama yang bersifat lintas sektoral atau antar departemen.

Menggunakan komputer atau teknologi informasi semata di dalam proses pemerintahan belum berarti bahwa konsep e‐government telah diterapkan; karena belum tentu kehadiran benda tersebut dapat merubah kinerja pemerintah. Memfokuskan diri pada teknologi dalam pengembangan e‐government adalah sebuah langkah yang keliru. Perlu dipahami bahwa teknologi hanyalah merupakan instrumen untuk terciptanya sebuah transformasi peranan pemerintah, dari yang bersifat birokrasi, menjadi sebuah ”lembaga” yang berorientasi proses untuk melayani ”pelanggannya” – yang dalam hal ini adalah masyarakat, komunitas bisnis (industri), dan para stakeholder lainnya. Sebuah negara memutuskan untuk mengimplementasikan e‐government karena percaya bahwa dengan melibatkan teknologi informasi di dalam kerangka manajemen pemerintahan, akan memberikan sejumlah manfaat seperti:

negara lainnya; pemerintahan; negara lainnya; pemerintahan;

Pada sebuah daerah kecil yang terdapat di negeri Cina, menciptakan komunitas yang berbasis informasi merupakan dasar pengembangan e‐government bagi pemerintah setempat. Seluruh komunitas yang berada di lokasi tersebut – seperti pendidikan, industri/bisnis, administrasi publik, dan masyarakat – diajarkan agar dapat mempergunakan komputer dan teknologi komunikasi untuk keperluan penciptaan, perolehan, dan penyebaran informasi yang sangat mereka butuhkan untuk aktivitas sehari‐hari. Karena masyarakat ini diarahkan untuk memiliki tingkatan information literacy yang tinggi, maka secara gradual information technology literacy mereka meningkat karena terkondisi dengan lingkungan yang diciptakan oleh pemerintah.

2. DO WE HAVE A CLEAR VISION AND PRIORITIES FOR E‐GOVERNMENT?

Kata “e‐government” dapat diartikan secara beragam karena pada dasarnya e‐government dapat menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk dan ruang lingkup. Oleh karena itu, adalah merupakan keharusan untuk mende�inisikan secara jelas visi dari pengembangan e‐ government tersebut.

Jiwa e‐government sebenarnya adalah suatu usaha penciptaan suasana penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan obyektif bersama (shared goals) dari sejumlah komunitas yang berkepentingan. Oleh karena itu, visi yang dicanangkan harus pula mencerminkan visi bersama dari para stakeholder yang ada – misalnya:

pelanggannya;

Karena visi tersebut berasal ”dari, oleh, dan untuk” masyarakat atau komunitas dimana e‐ government tersebut diimplementasikan, maka nuansanya akan sangat bergantung pada situasi dan kondisi masyarakat setempat. Misalnya di suatu pemerintahan daerah yang sedang mengkampanyekan proses pemerintahan yang bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), maka visi e‐government yang dicanangkan akan terkait dengan usaha pembentukan mekanisme penyelenggaraan pemerintah yang bersih (good governance) dari KKN.Menurut hasil kajian, visi yang baik di dalam e‐government memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut:

konsep ini ditujukan untuk kepentingan bersama (shared vision). Disamping itu, pende�inisian visi secara bersama‐sama tersebut berguna pula untuk menciptakan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan, agar pelaksanaannya nanti tidak mengalami hambatan yang berarti. Manfaat lain yang diperoleh adalah semakin banyaknya pihak yang turut mensosialisasikan konsep e‐government ini agar semua orang merasa semangat untuk mewujudkannya.

kebutuhan dari masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Berdasarkan hal ini, visi yang dikembangkan haruslah berfokus pada kepentingan masyarakat tersebut. Walaupun dalam beberapa kasus e‐government bertujuan untuk memperbaiki kinerja internal pemerintah, namun pada akhirnya bermuara pada pemberian pelayanan kepada masyarakat yang lebih baik, lebih murah, atau lebih cepat.

bahwa pada kenyataannya, struktur masyarakat sebuah negara cenderung bersifat heterogen, dalam arti kata memiliki latar belakang dan karakteristik yang sangat beragam. Dalam upaya memasyarakatkan visi e‐government, harus ditemukan cara yang mudah dan kontekstual agar seluruh orang mengerti dan memahami esensi dari e‐government yang ingin dibangun.

Pengembangan visi dari pemerintah negara Mesir didasarkan pada keinginan untuk memperbaiki kualitas hubungan atau relasi antara pemerintah dengan masyarakatnya. Pemerintah memulainya dengan sejumlah inisiatif untuk mempromosikan terjadinya mekanisme kerja yang transparan. Misalnya proses permohonan pembuatan akte kelahiran dan akte kematian menjadi semakin cepat dan transparan karena saat ini telah dapat dilakukan/dipesan melalui media telepon atau internet. Hal sederhana ini telah menjadi titik awal pemerintah dalam memberdayakan masyarakatnya untuk dapat memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Proses tradisional yang pada awalnya sangat bergantung pada kinerja pemerintah, mendadak menjadi hilang dan diambil alih oleh mekanisme relasi melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Contoh lain adalah negara Meksiko yang visinya lahir dari permasalah korupsi yang sudah begitu menggejala di sejumlah institusi pemerintahannya. Melalui proyek e‐government yang diberinama Compranet, maka seluruh proses dan prosedur pengadaan barang kebutuhan pemerintah dilakukan secara online melalui mekanisme e‐bidding (tender secara otomatis). Konsep ini tidak saja berdampak berkurangnya biaya mekanisme tender, tetapi lebih jauh mempromosikan terjadinya proses yang transparan kepada masyarakat karena semua tahapan proses tender dapat dimonitor oleh mereka melalui internet – termasuk di dalamnya siapa saja yang ikut berpartisipasi, bagaimana sistem penilaian dilakukan, dan siapa yang berhasil memenangkan proses tender tersebut. Saat ini paling sedikit ada 6,000 tender per hari yang diumumkan di situs pemerintah dan lebih dari 20,000 peserta aktif berpartisipasi sebagai peserta tender.

3. WHAT KIND OF E‐GOVERNMENT ARE WE READY FOR?

Setiap komunitas masyarakat dalam sebuah negara atau daerah pasti memiliki kondisi dan kebutuhan yang unik. Siap tidaknya mereka untuk mulai menerapkan konsep e‐government sangat bergantung pada dua hal utama, yang secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada jenis atau model e‐government yang akan diterapkan, yaitu:

negara atau daerah terkait; dan tersebut.

Dengan kata lain, problem kesiapan untuk menerapkan prinsip‐prinsip e‐government bukanlah merupakan masalah pemerintah saja, tetapi adalah masalah bersama seluruh komunitas di dalam domain pemerintahan yang dimaksud, yaitu masyarakat, para pelaku bisnis, komunitas organisasi, dan lain sebagainya. Tanda‐tanda adanya kesiapan biasanya berasal dari terdapatnya pemimpin atau leader dari pemerintahan yang memperlihatkan political will untuk mempromosikan pengimplementasian e‐government. Pemimpin ini tidak saja harus pintar dalam hal penyusunan konsep belaka, tetapi harus pula menjadi motivator ulung di dalam fase implementasi (action). Hal kedua yang menunjukkan adanya kesiapan untuk ke arah penerapan e‐government adalah adanya suatu ”kebijakan” atau nuansa keinginan dan kesepakatan dari kalangan pemerintah dan stakeholder‐nya untuk saling membagi dan tukar‐menukar informasi dalam penyelenggaraan aktivitas kegiatan sehari‐hari. Nampak sekilas bahwa hal ini sangat sederhana, namun pada tingkatan operasional tidak semudah yang diduga karena masalah ”menyimpan informasi untuk diri sendiri dan tidak ingin membaginya dengan pihak lain” telah membudaya di dalam diri birokrat.

Dengan adanya pemimpin dan kebijakan di atas, maka paling tidak ada dua prasyarat awal yang telah dipenuhi oleh sebuah komunitas yang telah bersiap diri untuk mengimplementasikan konsep e‐government. Disamping kedua hal tersebut, ada sejumlah faktor penentu yang patut menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan tingkat kesiapan sebuah daerah untuk menerapkan e‐government, yaitu:

komputer, jaringan, dan infrastruktur akan menjadi faktor teramat sangat penting dalam penerapan e‐government. Secara ideal memang harus tersedia infrastruktur yang dapat menunjang target atau prioritas pengembangan e‐government yang telah disepakati. Namun secara pragmatis, harus pula dipertimbangkan potensi dan kemampuan atau status pengembangan infrastruktur telekomunikasi di lokasi terkait. Untuk daerah yang masih memiliki infrastruktur yang teramat sangat minim, adalah baik dipikirkan pola kerjasama dengan sejumlah pihak swasta guna mengundang mereka berinvestasi di daerah terkait.

mana pemerintah saat ini telah memanfaatkan beraneka ragam teknologi informasi dalam membantu kegiatan sehari‐hari akan memperlihatkan sejauh mana kesiapan mereka untuk menerapkan konsep e‐government. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak sekali lembaga internasional yang telah memberikan bantuan dana pinjaman atau hibah untuk membeli sejumlah teknologi perangkat keras bagi pemerintah, namun instrumen tersebut tidak dipergunakan secara maksimal dan banyak yang tidak dirawat sehingga sudah dalam kondisi rusak.

atau subyek di dalam inisiatif e‐government pada dasarnya adalah manusia yang bekerja di lembaga pemerintahan, sehingga tingkat kompetensi dan keahlian mereka akan sangat mempengaruhi performa penerapan e‐government. Semakin tinggi tingkat information technology literacy SDM di pemerintah, semakin siap mereka dalam menerapkan konsep e‐government.

e‐government yang akan diterapkan, membutuhkan sejumlah sumber daya �inansial untuk membiayainya. Pemerintah daerah tertentu harus memiliki jaringan yang cukup terhadap berbagai sumber dana yang ada dan memiliki otoritas untuk menganggarkannya. Harap diperhatikan bahwa dana yang dibutuhkan tidak sekedar e‐government yang akan diterapkan, membutuhkan sejumlah sumber daya �inansial untuk membiayainya. Pemerintah daerah tertentu harus memiliki jaringan yang cukup terhadap berbagai sumber dana yang ada dan memiliki otoritas untuk menganggarkannya. Harap diperhatikan bahwa dana yang dibutuhkan tidak sekedar

penciptaan dan pendistribusian data/informasi dari satu pihak ke pihak lain, masalah keamanan data/informasi dan hak cipta intelektual misalnya akan merupakan hal yang perlu dilindungi oleh undang‐undang atau peraturan hukum yang berlaku. Pemerintah harus memiliki perangkat hukum yang dapat menjamin terciptanya mekanisme e‐ government yang kondusif.

suatu proyek change management yang membutuhkan adanya keinginan untuk merubah paradigma dan cara ber�ikir. Perubahan paradigma ini akan bermuara pada dibutuhkannya kesadaran dan keinginan untuk merubah cara kerja, bersikap, perilaku, dan kebiasaan sehari‐hari. Jika para pimpinan dan karyawan di pemerintahan tidak mau berubah, maka dapat dikatakan bahwa yang bersangkutan belum siap untuk menerapkan konsep e‐government.

4. IS THERE ENOUGH POLITICAL WILL TO LEAD THE E‐GOVERNMENT EFFORT?

Telah dikatakan sebelumnya bahwa political will merupakan hal utama yang harus ada di dalam kerangka perencanaan dan pengembangan e‐governemnt. Tanpa adanya political will dari pemerintah, mustahil sebuah inisiatif e‐government dapat berhasil dilaksanakan. Yang dimaksud dengan adanya political will di sini adalah adanya:

yang ada dan memberlakukannya; sesuai dengan transformasi yang diinginkan; dan inisiatif ini dapat berlangsung terus‐menerus (memiliki sustainability yang tinggi).

Melihat struktur kekuasaan dan manajemen di dalam lembaga pemerintahan, maka jelas terlihat bahwa unsur adanya pimpinan atau leader yang mampu menjadi inisiator utama di dalam mensosialisasikan dan memacu terimplementasikannya konsep e‐government adalah merupakan salah satu kunci keberhasilan yang ada. Hasil riset memperlihatkan bahwa di balik kesuksesan beragam proyek e‐govermnet, terdapat seorang leader di belakangnya. Seorang leader yang baik tidak saja harus merupakan seorang visioner dengan karisma dan otoritas yang cukup, tapi yang bersangkutan haruslah merupakan sosok yang rela berkorban, berani mengambil resiko, sanggup mencari sumber dana, pandai melakukan lobby, bersedia meluangkan waktu dan tenaganya, sanggup bekerja ekstra keras, dan diterima kehadirannya atau keberadaannya oleh masyarakat.

Ada sebuah negara di benua Afrika, para pakar dari dunia akademisi dan industri telah berhasil menyusun sebuah rekomendasi terkait dengan konsep penyusunan kebijakan e‐ government yang baik. Namun karena menteri negara terkait tidak tertarik dengan Ada sebuah negara di benua Afrika, para pakar dari dunia akademisi dan industri telah berhasil menyusun sebuah rekomendasi terkait dengan konsep penyusunan kebijakan e‐ government yang baik. Namun karena menteri negara terkait tidak tertarik dengan

Tidak ada proyek e‐government yang berjalan dengan mulus. Pada tahap awalnya saja, biasanya akan ditemukan sejumlah tantangan dari berbagai pihak. Sementara pada tahap konstruksinya dan implementasinya, akan ditemui berbagai kendala seperti perubahan teknologi, kurangnya dana, dan lain sebagainya. Dalam kondisi yang serba kompleks ini, seorang leader harus mampu secara konsisten menghadapi permasalahan yang ada dan berusaha mencari potensi solusinya. Daya tahan atau endurance dari seorang pemimpin akan diuji di dalam periode ini. Bahkan seringkali isu permasalahan e‐government lebih berbau politis dibandingkan dengan isu teknis atau yang bersifat content.

Seorang pemimpin harus pula memiliki kemampuan untuk dapat ”menjual” atau mengkampanyekan ide e‐government ini ke berbagai pihak secara terus‐menerus. Caranya tentu saja harus disesuaikan dengan audience yang ingin diajak untuk mendukung konsep terkait. Tentu saja untuk dapat melakukannya dengan cara yang benar, efektif, dan menarik, seorang pemimpin harus memiliki sejumlah soft skill yang baik dan sedikit hard skill yang mendukung – atau dengan kata lain yang bersangkutan harus memiliki tingkat e‐literacy yang cukup.

Sifat leadership yang diperlihatkan haruslah benar‐benar dijiwai oleh pelakunya, bukan sekedar suatu perilaku yang oportunis dalam arti kata hanya dilakukan karena kebetulan sedang memperoleh tugas terkait dengan e‐government atau teknologi informasi di pemerintahan. Seorang e‐government champion harus selalu mempromosikan dan mendukung pengembangan e‐government terlepas dari dimana saja yang bersangkutan ditugaskan. Konsep sustainable leadership ini selain berguna untuk meningkatkan awareness lebih banyak orang akan perlunya e‐government, juga secara tidak langsung akan menciptakan atau melahirkan sejumlah leader‐leader baru di masa mendatang.

Seorang Chief Minister provinsi Andhra Pradesh di India bernama Chandrababu Naidu telah menjadi seorang leader e‐government selama kurang lebih 6 (enam) tahun. Dia secara konsisten meluangkan waktunya minimal satu jam sehari untuk bicara masalah teknologi informasi dan e‐government dalam pemerintahannya. Perhatian dan kesungguhan yang diperlihatkannya telah berhasil melahirkan sebuah dokumen cetak biru (blueprint) pengembangan e‐government bagi provinsinya. Dengan adanya cetak biru yang jelas tersebut, banyak pihak yang tertarik untuk berinvestasi di provinsinya. Selain aktif mempromosikan masalah e‐government, yang bersangkutan juga turut serta aktif ”memaksa” segenap jajarannya untuk belajar menggunakan komputer dan aplikasi untuk membantu aktivitas kerja mereka sehari‐hari.

5. ARE WE SELECTING E‐GOVERNMENT PROJECTS IN THE BEST WAY?

Setelah pertanyaan pertama sampai keempat telah dijawab sebagai bahan introspeksi, tibalah masanya untuk mencurahkan perhatian pada pelaksanaan proyek e‐government. Bagaimana caranya menentukan atau memilih proyek e‐government yang terbaik? Atau apakah proyek e‐ government yang sedang dilakukan saat ini merupakan pilihan terbaik?

Untuk sebuah lembaga atau daerah atau komunitas yang belum pernah menerapkan inisiatif e‐government, pemilihan proyek pertama merupakan hal yang krusial. Karena jika proyek ini gagal, akan sulit untuk menelurkan sejumlah inisiatif lainnya di kemudian hari (seperti pepatah mengatakan “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”). Untuk itu, Untuk sebuah lembaga atau daerah atau komunitas yang belum pernah menerapkan inisiatif e‐government, pemilihan proyek pertama merupakan hal yang krusial. Karena jika proyek ini gagal, akan sulit untuk menelurkan sejumlah inisiatif lainnya di kemudian hari (seperti pepatah mengatakan “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”). Untuk itu,

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan usaha semacam diagnosa atau kajian terhadap status pemanfaatan teknologi informasi di kalangan pemerintahan setempat. Banyak pertanyaan‐pertanyaan yang perlu dicari jawabannya seperti:

membantu aktivitas sehari‐hari? Dalam hal atau bidang apa saja pemanfaatan teknologi informasi tersebut dilakukan?

yang sukses dalam tahap pengimplementasiannya? Faktor‐faktor apa yang menyebabkan keberhasilan tersebut terjadi?

teknologi informasi? Dari sumber mana saja pembiayaan tersebut diperoleh? informasi di lingkungan pemerintahan? Bagaimana usaha‐usaha selama ini dilakukan

untuk mengatasi permasalahan tersebut? Tujuan dari diagnosa ini adalah untuk mengetahui potret dari penggunaan teknologi

informasi di kalangan pemerintah guna mendapatkan gambaran sehubungan dengan tingkat kematangan atau maturity level dari pengembangan e‐government. Status ini sangat perlu untuk diketahui agar dapat dipilih jenis proyek dan strategi yang cocok dengan tingkat kematangan pemerintah setempat. Jika e‐literacy rata‐rata pegawai pemerintahan sudah cukup tinggi misalnya, maka akan dipilih penerapan aplikasi e‐government yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup yang cukup luas dan kompleks, namun jika di pemerintah terkait penggunaan komputer masih sangat terbatas, maka akan dipilihkan terlebih dahulu jenis aplikasi penerapan e‐government yang tepat guna atau ”murah meriah”. Biasanya mereka yang menerapkan e‐government berangkat dari dua sisi penyebab yang berbeda:

dipandang dapat menyelesaikan masalah tersebut; atau ini sudah terjadi.

Dari salah satu penyebab inilah kemudian lahir apa yang dinamakan sebagai kebutuhan atau requirements dari pemerintah untuk melibatkan teknologi informasi dalam proses kegiatannya sehari‐hari.

Langkah kedua yang perlu dilakukan adalah melakukan shop around atau melihat‐lihat bagaimana pemerintah di berbagai tempat atau negara yang berbeda menghadapi permasalahan atau kebutuhan yang sama, dan bagaimana mereka mencoba memenuhi needs tersebut melalui implementasi e‐government. Belajar dari pemerintah lain yang sukses menerapkan aplikasi e‐government serupa merupakan obyektif yang ingin dicapai dalam menjalani langkah ini. Jika dihitung‐hitung, biaya belajar dengan cara demikian jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus keluar melalui suatu usaha trial and error. Selain berbincang‐bincang atau berdiskusi dengan mereka yang telah berhasil menerapkan e‐ government, melakukan studi pustaka melalui sejumlah literatur sangat pula bermanfaat bagi Langkah kedua yang perlu dilakukan adalah melakukan shop around atau melihat‐lihat bagaimana pemerintah di berbagai tempat atau negara yang berbeda menghadapi permasalahan atau kebutuhan yang sama, dan bagaimana mereka mencoba memenuhi needs tersebut melalui implementasi e‐government. Belajar dari pemerintah lain yang sukses menerapkan aplikasi e‐government serupa merupakan obyektif yang ingin dicapai dalam menjalani langkah ini. Jika dihitung‐hitung, biaya belajar dengan cara demikian jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya yang harus keluar melalui suatu usaha trial and error. Selain berbincang‐bincang atau berdiskusi dengan mereka yang telah berhasil menerapkan e‐ government, melakukan studi pustaka melalui sejumlah literatur sangat pula bermanfaat bagi

Setelah langkah diagnosa dan shop around dilakukan, langkah ketiga yang perlu dikerjakan adalah meyakinkan para stakeholders bahwa apa yang hendak dikerjakan atau diaplikasikan benar‐benar sesuai dan/atau sejalan dengan visi e‐government yang telah dicanangkan. Pemerintah dalam hal ini harus cukup peka terhadap kebutuhan masyarakat atau mereka yang berkepentingan dengan keberhasilan proyek e‐government. Biasanya pemerintah yang baik akan memilih jenis proyek yang dilakukan berdasarkan asas prioritas dan manfaat.

Di negara Chili, ketersediaan tempat tinggal (rumah) merupakan hal yang sangat krusial bagi masyarakat. Melihat hal ini, pemerintah memutuskan untuk mengembangkan aplikasi e‐ government dimana orang miskin dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan keringanan pembayaran atau subsidi kepada pemerintah melalui internet secara online. Melalui cara ini masyarakat dapat menghemat cukup banyak biaya dan waktu yang diperlukan untuk berhubungan dengan kantor perwakilan Menteri Perumahan yang hanya terdapat di kota‐kota besar saja. Hasilnya cukup mengagetkan. Dalam kurun waktu hanya 5 (lima) bulan semenjak dioperasikannya aplikasi e‐government ini, kurang lebih 40,000 orang dari segala penjuru negara telah mengajukan permohonannya.

Langkah keempat yang baik untuk dilakukan adalah mencoba melihat bagaimana pelaksanaan e‐government dari kacamata pengguna atau masyarakat. Sikap empati ini perlu untuk dilakukan untuk mencoba melihat isu‐isu yang secara langsung dihadapi oleh pengguna, sehingga diharapkan pemerintah dapat mengantisipasinya agar penerapan e‐ government dapat berlangsung dengan sukses. Contohnya adalah melihat kenyataan bahwa banyak sekali masyarakat yang belum pernah menggunakan komputer sebelumnya, atau belum tersentuhnya suatu daerah dengan infrastruktur teknologi yang dibutuhkan, dan lain sebagainya.

Sebuah provinsi di Negara Brazil yaitu Bahia State adalah sebuah contoh bagaimana sebuah aplikasi e‐government dapat diterapkan dengan baik tanpa membutuhkan infrastruktur teknologi informasi. Pemerintah Bahia menyediakan sejumlah mobile service center dalam bentuk truk yang diperlengkapi dengan peralatan komputer untuk berkeliling ke 400 daerah pedesaan dan pedalaman yang belum terjangkau infrastruktur telekomunikasi. Tugas utama mereka adalah untuk melayani masyarakat di sejumlah daerah tersebut dalam hal pembuatan akte kelahiran, kartu keluarga, kartu identitas buruh, kartu kesehatan, dan lain sebagainya. Hal ini dimungkinkan untuk dilakukan karena truk tersebut diperlengkapi dengan jaringan komputer yang terhubung dengan sistem basis data (database) pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hingga saat ini, telah kurang lebih 5 (lima) juta orang dilayani dengan menggunakan metode sederhana ini.

Langkah kelima adalah mencari atau menentukan pihak‐pihak mana yang terlebih dahulu akan dilibatkan dalam proyek pengembangan e‐government. Adalah bijaksana untuk mulai menerapkan e‐government dimana mereka yang terlibat terdiri dari individu yang sangat antusias dan memiliki komitmen penuh untuk mensukseskan proyek terkait. Hal ini disebabkan tidak saja untuk memperbesar probabilitas keberhasilan proyek tersebut, tetapi lebih jauh lagi mereka yang terlibat ini berpotensi menjadi marketer yang baik bagi pengembangan e‐government lebih lanjut di masa mendatang. Biasanya para praktisi terkait dengan hal ini lebih senang memulai pembangunan aplikasi e‐government melalui pilot project yaitu mengimplementasikan modul aplikasi pada ruang lingkup terbatas dahulu agar lebih manageable disamping untuk menekan resiko kegagalan sekecil mungkin dan Langkah kelima adalah mencari atau menentukan pihak‐pihak mana yang terlebih dahulu akan dilibatkan dalam proyek pengembangan e‐government. Adalah bijaksana untuk mulai menerapkan e‐government dimana mereka yang terlibat terdiri dari individu yang sangat antusias dan memiliki komitmen penuh untuk mensukseskan proyek terkait. Hal ini disebabkan tidak saja untuk memperbesar probabilitas keberhasilan proyek tersebut, tetapi lebih jauh lagi mereka yang terlibat ini berpotensi menjadi marketer yang baik bagi pengembangan e‐government lebih lanjut di masa mendatang. Biasanya para praktisi terkait dengan hal ini lebih senang memulai pembangunan aplikasi e‐government melalui pilot project yaitu mengimplementasikan modul aplikasi pada ruang lingkup terbatas dahulu agar lebih manageable disamping untuk menekan resiko kegagalan sekecil mungkin dan

Langkah keenam yang harus dilakukan setelah proyek e‐government selesai dilaksanakan adalah mencoba mensosialisasikan keberadaan aplikasi e‐government dengan cara memberitahukan prosedur baru tersebut kepada masyarakat. Berbagai cara dapat dilakukan, misalnya melalui penyuluhan, televisi, radio, sekolah, koran, dan lain sebagainya. Yang perlu disosialisasikan disini tidak sekedar cara kerja sistem yang baru, namun terlebih‐lebih perlu diperlihatkan alasan mengapa pemerintah mengganti sistem yang ada – dengan kata lain perlu diperlihatkan kepada masyarakat kelebihan‐kelebihan dari sistem yang baru dan manfaatnya bagi mereka. Jika pemerintah gagal mempromosikan ”produk baru” ini dan melakukan persuasi kepada masyarakatnya, maka yang terjadi adalah penolakan dari diri mereka untuk menggunakan sistem yang baru.

Pemerintah Tanzania menyewa konsultan khusus untuk menyusun sebuah buku panduan mengenai prosedur dan tata cara penggunaan Sistem Informasi Sumber Daya Manusia terpadu yang menggantikan proses terkait dengan manajemen SDM yang konvensional. Buku panduan tersebut selain berfungsi sebagai user manual, berisi pula penjelasan mengenai keuntungan yang diperoleh oleh para staf dan karyawan pemerintah jika menggunakan sistem yang baru. Secara tidak langsung buku manual tersebut sekaligus memiliki fungsi sebagai marketing kit bagi segenap staf dan karyawan pemerintahan.

Langkah terakhir yaitu hal ketujuh yang perlu dilakukan adalah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan sebuah proyek e‐government. Cara melakukan evaluasi yang efektif adalah dengan menanyakan langsung pendapat para pengguna atau customers dari aplikasi e‐ government yang ada. Masukan dari mereka harus benar‐benar diperhatikan dan dijadikan bahan pertimbangan untuk melakukan perbaikan‐perbaikan di sana sini untuk menyempurnakan sistem yang ada.

6. HOW SHOULD WE PLAN AND MANAGE E‐GOVERNMENT PROJECTS?

Merencakan, mengeksekusi, dan mengelola proyek e‐government bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Cukup banyak proyek e‐government yang harus berakhir dengan kegagalan karena para pengelolanya tidak mengindahkan baku standar pengelolaan proyek. Inti dari manajemen proyek sebenarnya cukup sederhana, yaitu bagaimana dapat menyelesaikan sebuah proyek dengan ruang lingkup dan kualitas yang diinginkan (efektif) sesuai dengan tenggat waktu dan anggaran biaya yang telah ditentukan (tersedia).

Proyek adalah sebuah pekerjaan yang memiliki jangka waktu, dalam arti kata ada titik mulai dan titik selesai. Sebuah tim yang diketuai oleh seorang project manager harus dibentuk dan bertanggung jawab terhadap perencanaan dan ekseskusi proyek terkait. Dalam mengimplementasikan e‐government, biasanya seorang birokrat dengan posisi yang cukup tinggi ditunjuk sebagai seorang project manager dan bertugas mengelola proyek tertentu. Yang bersangkutan dibantu pelaksanaannya oleh tim terdiri dari berbagai individu yang telah dipilih secara khusus sesuai dengan ruang lingkup aplikasi e‐government yang ingin dikerjakan. Terhadap tim ini kemudian dialokasikan sejumlah sumber daya yang dibutuhkan seperti uang, peralatan, informasi, dan lain‐lain agar mereka dapat menjalankan tugasnya Proyek adalah sebuah pekerjaan yang memiliki jangka waktu, dalam arti kata ada titik mulai dan titik selesai. Sebuah tim yang diketuai oleh seorang project manager harus dibentuk dan bertanggung jawab terhadap perencanaan dan ekseskusi proyek terkait. Dalam mengimplementasikan e‐government, biasanya seorang birokrat dengan posisi yang cukup tinggi ditunjuk sebagai seorang project manager dan bertugas mengelola proyek tertentu. Yang bersangkutan dibantu pelaksanaannya oleh tim terdiri dari berbagai individu yang telah dipilih secara khusus sesuai dengan ruang lingkup aplikasi e‐government yang ingin dikerjakan. Terhadap tim ini kemudian dialokasikan sejumlah sumber daya yang dibutuhkan seperti uang, peralatan, informasi, dan lain‐lain agar mereka dapat menjalankan tugasnya

Perlu diperhatikan di sini bahwa terhadap tim tersebut perlu diberikan otoritas yang cukup agar project manager dan anggotanya dapat melaksanakan semua strategi dan skenario yang dimiliki. Terlebih‐lebih karena melihat bahwa kebanyakan proyek e‐government bersifat lintas sektora atau antar departemen, sementara di pemerintahan sistem organisasi yang diterapkan adalah birokrasi dengan struktur command and control yang jelas. Jika project manager dan timnya tidak diberikan wewenang yang cukup untuk mengakses berbagai data dan informasi yang ada di seluluruh departemen yang terlibat, maka akan semakin memperkecil tingkat kesuksesan proyek tersebut. Paling tidak dikeluarkan Surat Keputusan resmi yang mengikat secara hukum terhadap penunjukkan project manager dan pembentukan tim terkait, dan disosialisasikan secara lintas lembaga agar tidak terjadi penolakan‐penolakan di sana sini.

Pemerintah di negara Thailand membentuk National IT Committee (NITC) – sebuah komite koordinasi setingkat kementrian – dan menugaskan National Electronics and Computer Technology Center (NECTEC) untuk menjadi lembaga yang memimpin berbagai inisiatif pengembangan ICT dan e‐government di negara tersebut. NECTEC mendapatkan mandat dan dukungan penuh dari seluruh anggota kabinet sebagai lembaga yang akan menjadi driving force (kekuatan pemicu) agenda pengembangan ICT dan e‐government di Thailand, termasuk di dalamnya masalah pengelolaan proyek, penyiapan sumber daya manusia, dan penyusunan perangkat regulasi. NECTEC sekaligus berfungsi sebagai sekretariat dari NITC.

Setelah tim terbentuk dan project manager terpilih, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menyusun struktur rencana kerja proyek (work breakdown structure). Mende�inisikan visi, misi, dan obyektif saja tidak cukup di sini, karena paling tidak 6 (enam) komponen penting harus diperhatikan pengelolaannya, masing‐masing adalah:

1. Content Development – menyangkut pengembangan aplikasi (perangkat lunak), pemilihan standar teknis, penggunaan bahasa pemrograman, spesi�ikasi sistem basis data, kesepakatan user interface, dan lain sebagainya.

2. Competency Building – menyangkut pelatihan dan pengembangan kompetensi maupun keahlian seluruh jajaran sumber daya manusia di berbagai lini pemerintahan.

3. Connectivity – menyangkut ketersediaan infrastruktur komunikasi dan teknologi informasi di lokasi dimana e‐government akan diterapkan.

4. Cyber Laws – menyangkut keberadaan kerangka dan perangkat hukum yang telah diberlakukan terkait dengan seluk beluk aktivitas e‐government.

5. Citizen Interfaces – menyangkut pengembangan berbagai kanal akses (multi access channels) yang dapat dipergunakan oleh seluruh masyarakat dan stakehoder e‐ government dimana saja dan kapan saja mereka inginkan.

6. Capital – menyangkut pola permodalah proyek e‐government yang dilakukan terutama berkaitan dengan biaya setelah proyek selesai dilakukan seperti untuk keperluan pemeliharaan dan perkembangan – di sini tim harus memikirkan jenis‐jenis model pendapatan (revenue model) yang mungkin untuk diterapkan di pemerintahan.

Hal terakhir yang perlu pula diperhatikan oleh tim pelaksana e‐government adalah membangun suatu mekanisme efektif agar komunikasi antara tim dengan para stakeholder dari proyek e‐government dapat terjalin dengan baik. Keterlibatan sejumlah stakeholder Hal terakhir yang perlu pula diperhatikan oleh tim pelaksana e‐government adalah membangun suatu mekanisme efektif agar komunikasi antara tim dengan para stakeholder dari proyek e‐government dapat terjalin dengan baik. Keterlibatan sejumlah stakeholder

7. HOW WILL WE OVERCOME RESISTANCE FROM WITHIN THE GOVERNMENT?

Sulit ditemui pelaksanaan proyek e‐government yang bebas dari tantangan atau resistansi dari satu atau sejumlah pihak tertentu – terutama di negara berkembang dimana tingkat pengembangan sumber daya manusianya (human development index) masih relatif rendah dan terbatasnya ketersediaan sejumlah sumber daya penunjang lainnya. Ada beberapa hal yang patut dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan sehubungan dengan terjadinya resistansi tersebut dan bagaimana mengatasinya.

Pertama adalah mencoba memahami mengapa resistensi tersebut muncul. Analisa ini teramat sangat penting untuk mencari penyebab dan akar permasalahannya. Ada beberapa permasalahan klasik yang kerap muncul dalam setiap inisiatif implementasi e‐government, misalnya:

1. Ketakutan bahwa mereka akan kehilangan pekerjaan karena tergantikan oleh teknologi;

2. Kekhawatiran bahwa otoritas atau kekuasaan (authority power) yang selama ini

mereka miliki akan menjadi berkurang jika e‐government diimplementasikan;

3. Ketidakmampuan mereka dalam menggunakan teknologi seperti komputer atau perangkat lainnya;

4. Kesadaran bahwa dengan adanya teknologi, maka mereka akan kehilangan “pendapatan” tidak resmi yang kerap diperoleh sehari‐hari sebagai balas jasa dari orang‐orang yang dilayani; dan lain sebagainya.

Kedua adalah mengajak para stakeholder proyek e‐government – terutama para calon pengguna langsung atau user – untuk bersama‐sama duduk dalam merencanakan proyek terkait. Hal ini baik untuk dilakukan mengingat bahwa merekalah yang kelak akan merasakan manfaat dari penerapan e‐government tersebut. Adalah baik mencoba berdiskusi dengan mereka mengenai cara‐cara mensosialisasikan proyek tersebut agar mendapatkan dukungan dari beragam khalayak yang berkepentingan. Agar efektif, biasanya dipilih tokoh‐tokoh yang berpengaruh di komunitasnya masing‐masing. Akan lebih baik jika dapat ditemukan sejumlah tokoh yang telah memiliki pengalaman sukses menerapkan e‐government di komunitasnya sehingga dapat menjadi panutan bagi yang lain.

Ketiga adalah dengan secara konsisten, kontinyu, dan intens melakukan penjelasan kepada masyarakat mengenai “binatang apa” sebenarnya e‐government, karena adalah merupakan kenyataan bahwa konsep ini sangat asing di kalangan awam yang notabene merupakan mayoritas dari stakeholder proyek e‐government. Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa diperlukan kiat‐kiat khusus agar penjelasan yang dilakukan berhasil, bukan malah membingungkan masyarakat. Memahami psikologi massa merupakan salah satu kunci sukses dalam proses memberikan penjelasan yang efektif.

Keempat adalah dengan menyelenggarakan pelatihan‐pelatihan bagi mereka yang ingin atau berkepentingan untuk tahu lebih jauh mengenai konsep maupun aplikasi e‐government. Tujuan pelatihan selain untuk meningkatkan wawasan pengetahuan adalah guna memberikan kompetensi dan keahlian baru, sehingga usaha ini tidak saja ditujukan pada mereka yang berada di level karyawan atau staf belaka, namun juga ditujukan bagi para pimpinan dan Keempat adalah dengan menyelenggarakan pelatihan‐pelatihan bagi mereka yang ingin atau berkepentingan untuk tahu lebih jauh mengenai konsep maupun aplikasi e‐government. Tujuan pelatihan selain untuk meningkatkan wawasan pengetahuan adalah guna memberikan kompetensi dan keahlian baru, sehingga usaha ini tidak saja ditujukan pada mereka yang berada di level karyawan atau staf belaka, namun juga ditujukan bagi para pimpinan dan

Kelima adalah melibatkan pihak luar seperti konsultan ahli atau para pakar di bidang e‐ government – yang telah memiliki pengalaman dan jam terbang tinggi di bidang perencanaan dan pengembangan e‐government – untuk menjadi nara sumber dalam usahanya mengevaluasi dan memperbaiki kinerja proyek yang berlangsung. Para tenaga ahli ini dapat diambil dari kalangan pemerintahan itu sendiri, swasta atau industri, maupun dari perguruan tinggi.

Pemerintah sebuah negara di Timur Tengah, menugaskan sebuah perusahaan untuk melakukan evaluasi terhadap seluruh proyek e‐government yang dilaksanakan di negara tersebut. Melihat kenyataan ini, maka selain seluruh tim berbagai proyek bekerja bersungguh‐ sungguh agar tidak mendapatkan ”nilai buruk” ketika dievaluasi, antar tim proyek e‐ government saling ”berkompetisi” untuk mendapatkan ranking yang baik dalam evaluasi.

Keenam adalah dengan membuat suatu suasana atau lingkungan sehingga yang bersangkutan ”terpaksa” untuk menggunakan e‐government walaupun mereka sebenarnya memiliki resistansi terhadap hal tersebut. Misalnya adalah dengan cara dikeluarkannya keputusan bahwa sistem yang lama tidak boleh dilakukan lagi. Satu‐satunya cara untuk bekerja mulai saat tertentu adalah dengan cara menggunakan sistem baru.

Di sebuah negara di Asia, seorang pimpinan pemerintahan mengumumkan bahwa mulai saat ini seluruh bentuk surat menyurat untuk undangan rapat maupun pertemuan akan dilakukan melalui electronic mail. Demikian pula yang bersangkutan akan sering melakukan diskusi dengan anak buah di jajarannya melalui fasilitas discussion atau chatting yang tersedia. Keadaan ini membuat seluruh anak buah yang bersangkutan ”terpaksa” belajar menggunakan komputer beserta �itur‐�itur yang terkait dengan kebutuhan tersebut.

Ketujuh adalah dengan melakukan kampanye secara terus menerus, baik dengan cara tradisional seperti membagikan atau memasang brosur maupun banner, sampai dengan cara‐ cara moderen seperti menggunakan media massa maupun internet.

Kedelapan adalah melalui cara pemberian penghargaan terhadap mereka yang dipandang berhasil menerapkan e‐government. Penghargaan yang diberikan dapat beraneka ragam bentuknya, seperti:

sebagainya.

8. HOW WILL WE MEASURE AND COMMUNICATE PROGRESS? HOW WILL WE KNOW IF WE ARE FAILING?

Praktisi manajemen yang bijak mengatakan demikian: Praktisi manajemen yang bijak mengatakan demikian:

Yang pertama adalah berkaitan dengan manajemen proyek itu sendiri. Sesuai dengan de�inisinya dimana proyek merupakan suatu rangkaian aktivitas yang memiliki titik mulai dan titik selesai untuk menghasilkan output tertentu dalam durasi waktu dan batasan anggaran yang tersedia. Dengan menggunakan standar manajemen proyek umum seperti misalnya PMBOK (Project Management Body Of Knowledge) pada suatu titik tertentu dapat dilihat kinjerja dari sebuah proyek e‐government, seperti:

seharusnya atau tidak; mengerjakan pekerjaan sesuai target atau tidak; administrasi, perangkat keras, dan lain‐lain) dilakukan secara optimal atau tidak; dan

lain sebagainya. Yang kedua adalah melakukan pengukuran terhadap sukses tidaknya proyek e‐government

tersebut dengan cara menurunkan sejumlah indikator dari obyektif yang ingin dicapai. Ada dua jenis indikator yang dapat dipergunakan, yaitu:

Standar Ukuran Kinerja Pemerintah

pelayanan kepada pelanggan;

elektronik; berbagai area geogra�is; dan lain sebagainya.

Standar Ukuran Dampak Aplikasi e‐Government aktivitas manual terdahulu; sehari‐harinya; Standar Ukuran Dampak Aplikasi e‐Government aktivitas manual terdahulu; sehari‐harinya;

disediakan bagi komunitas masyarakatnya; kebutuhan masyarakatnya; dan lain sebagainya.

Sebelum proyek dilaksanakan – yaitu dalam proses perencanaan – pimpinan proyek maupun manajemen atau stakeholder proyek e‐government harus bersepakat menentukan indikator kinerja kuantitatif maupun kualitatif yang hendak dipergunakan sebagai acuan (benchmark). Cara menentukan baku ukuran benchmark dapat berdasarkan pada hal‐hal semacam:

suatu ukuran untuk jenis proyek sejenis;

lain sebagainya.

9. WHAT SHOULD OUR RELATIONSHIP BE WITH THE PRIVATE SECTOR?

Pertanyaan mengenai sejauh mana peranan sektor swasta (industri) di dalam kerangka pengembangan e‐government kerap menjadi pertanyaan luas di kalangan para praktisi. Dalam melaksanakan proyek e‐government, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri – mereka harus didukung dengan partisipasi swasta yang notabene memiliki domain pengetahuan di bidang teknologi informasi yang dipergunakan dalam e‐government dan akses lebih baik ke sektor keuangan dan pembiayaan.

Pemerintah dalam kaitan ini harus menganggap dan memperlakukan perusahaan‐perusahaan pada sektor swasta sebagai mitra kerja (partner) khususnya dalam membangun konsep e‐ government. Keberadaan sektor swasta tidak lagi sekedar sumber dimana pemerintah dapat memperoleh pemasukan dari pajak yang mereka bayar, tetapi telah menjadi sebuah tempat dimana dapat ditemukan para pakar, tenaga ahli, profesional, dan sumber daya penting lainnya. Pengalaman luas mereka dalam menciptakan produk dan memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya merupakan harta yang sangat berharga bagi pemerintah untuk dipelajari. Dengan kata lain, jangan hanya memandang sektor swasta hanya sebagai tempat pengalihdayaan semata (outsourcing), tapi jadikanlah mereka mitra kerja sehari‐hari.

Memang disadari bahwa untuk dapat menjalin kemitraan yang efektif antara pemerintah dan sektor swasta perlu dicari format berdasarkan shared value yang cocok bagi kedua belah pihak. Apapun bentuk kerangka kerjasama yang dilakukan, semua pasti berangkat dari anggapan atau pemahaman bahwa baik pemerintah maupun sektor swasta membutuhkan “return on investment”‐nya masing‐masing dalam pengertian yang luas (atau kerap diistilahkan sebagai win‐win solution). Jika visi dan misi dari pemerintah terkait langsung dengan usaha untuk meningkatkan peran pelayanannya kepada masyarakat (public services), sementara sektor swasta adalah untuk mencari keuntungan komersial, maka kerangka kemitraan yang perlu dibangun harus dapat memenuhi kedua obyektif tersebut. Misalnya adalah dengan cara pengerjaan proyek e‐government dipercayakan kepada sebuah Memang disadari bahwa untuk dapat menjalin kemitraan yang efektif antara pemerintah dan sektor swasta perlu dicari format berdasarkan shared value yang cocok bagi kedua belah pihak. Apapun bentuk kerangka kerjasama yang dilakukan, semua pasti berangkat dari anggapan atau pemahaman bahwa baik pemerintah maupun sektor swasta membutuhkan “return on investment”‐nya masing‐masing dalam pengertian yang luas (atau kerap diistilahkan sebagai win‐win solution). Jika visi dan misi dari pemerintah terkait langsung dengan usaha untuk meningkatkan peran pelayanannya kepada masyarakat (public services), sementara sektor swasta adalah untuk mencari keuntungan komersial, maka kerangka kemitraan yang perlu dibangun harus dapat memenuhi kedua obyektif tersebut. Misalnya adalah dengan cara pengerjaan proyek e‐government dipercayakan kepada sebuah

Dalam setiap kesempatan, hampir pasti skenario berikut akan terjadi. Perusahaan berusaha menjual produk dan jasa komersialnya kepada pemerintah terkait dengan pengembangan teknologi informasi untuk keperluan e‐government. Sementara dilain pihak pemerintah perlu mencari cara untuk dapat “menjual” pelayanan melalui e‐government tersebut ke masyarakat agar mereka senang menggunakannya. Jika masing‐masing pihak yang bermitra – beserta stakeholder yang terkait – memahami benar masing‐masing posisi tersebut, maka untuk mencari bentuk kerjasama yang tepat akan menjadi lebih mudah. Sektor swasta harus memberikan semacam “jaminan” atau “kiat‐kiat” atau “strategi” atau “metodologi” agar produk dan jasanya nanti akan dengan mudah berhasil dipergunakan oleh masyarakat, sementara pemerintah harus memberikan pula jaminan bahwa kewajiban komersial yang harus menjadi hak sektor swasta (seperti kejelasan sumber dana, ketepatan termin pembayaran, dan lain‐lain) sesuai dengan kontrak yang ada dapat dilaksanakan dengan baik.

Cara lain yang dapat dipergunakan pula sebagai pemula dalam usaha menjalin kemitraan strategis adalah dengan memahami kekuatan yang dimiliki oleh masing‐masing pihak. Hal ini perlu untuk dilakukan karena dalam berbagai konteks atau inisiatif, kekuatan yang dimiliki oleh masing‐masing pihak dapat berbeda‐beda. Dengan mengetahui kekuatan (dan tentu saja kelemahan) dari setiap pihak maka dengan jelas dapat ditemukan kerangka kerja sama yang tepat karena biasanya kekuatan yang dimiliki satu pihak akan menutupi kelemahan di pihak lain. Pemerintah pun harus bersifat profesional dalam hal ini karena pada kenyataannya banyak sekali pihak swasta yang berkepentingan sementara di antara mereka sendiri saling berkompetisi untuk menawarkan produk, jasa, dan bentuk kerjasamanya masing‐masing. Dalam kondisi seperti ini, jelas asas kebijaksanaan, kearifan, dan keadilan akan sangat berpengaruh. Dari sisi pemerintah cukup mudah, dalam arti kata yang bersangkutan perlu mengadakan beauty contest terhadap masing‐masing calon mitranya sebelum yang bersangkutan melakukan pemilihan. Proses tender atau bidding yang transparan merupakan salah satu cara yang kerap dipergunakan terkait dengan kondisi ini. Prinsipnya, siapa yang dapat memberikan sesuatu yang terbaiklah yang berpotensi menjadi mitra strategis pemerintah.

Dokumen yang terkait

AN ALIS IS YU RID IS PUT USAN BE B AS DAL AM P E RKAR A TIND AK P IDA NA P E NY E RTA AN M E L AK U K A N P R AK T IK K E DO K T E RA N YA NG M E N G A K IB ATK AN M ATINYA P AS IE N ( PUT USA N N O MOR: 9 0/PID.B /2011/ PN.MD O)

0 82 16

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Anal isi s L e ve l Pe r tanyaan p ad a S oal Ce r ita d alam B u k u T e k s M at e m at ik a Pe n u n jang S MK Pr ogr a m Keahl ian T e k n ologi , Kese h at an , d an Pe r tani an Kelas X T e r b itan E r lan gga B e r d asarkan T ak s on om i S OL O

2 99 16

Penerapan metode shamir secret sharing schemes pada aplikasi kriptografi file

5 71 44

Modul TK E 2016 150 hlm edit Tina M imas

2 44 165

Penerapan strategi produk dalam upaya meningkatkan penjualan pada CV.Suka Setia Putra Jaya Rancaekek

9 56 47

Penerapan Data Mining Untuk Memprediksi Fluktuasi Harga Saham Menggunakan Metode Classification Dengan Teknik Decision Tree

20 110 145

Pengaruh Persepsi Kemudahan dan Kepuasan Wajib Pajak Terhadap Penggunaan E Filling (Survei Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Di Kpp Pratama Soreang)

12 68 1

Penerapan Algoritma Label-Setting Untuk Menentukan Jalur Terpendek Dari Dua Node Pada Peta Kota Bandung

6 50 55

PENGARUH ARUS PENGELASAN TERHADAP KEKUATAN TARIK PADA PENGELASAN BIMETAL (STAINLESS STEEL A 240 Type 304 DAN CARBON STEEL A 516 Grade 70) DENGAN ELEKTRODA E 309-16

10 133 86