Article Text 272 1 10 20180522
Dampak Sosial Pengembangan Pengelolaan Kawasan
Tambak Udang Berkelanjutan di Kabupaten Dompu,
Nusa Tenggara Barat
Social impacts of management development of
sustainable shrimp aquaculture zone in Dompu Regency,
West Nusa Tenggara
Abubakar
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Unram
B. Widigdo, R. Dahuri dan S. Budiharsono
Jurusan MSP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Abstract
The aims of this research are (a) to asses social impacts on existing shrimp
culture zone management (b) to predict social impacts of sustainable shrimp
culture area management development. The research was conducted in
Dompu Regency, West Nusa Tenggara using survey, and stakeholders’
participatory methods. The collected data was analyzed under descriptive,
laboratory and trade off analyses. The result shows that the existing shrimp
culture zone management employed 27,871.29 man days of the workforce
and induced low growth to the informal sector. The total areas of sustainable
shrimp culture area management is 2,350 ha, consisting of 325.5 ha intensive;
117.5 ha semi-intensive and 1,880 ha traditional cultures. It was predictied
that the sustainable shrimp culture management would create larger
employment (124,146.98 man days) and promote higher growth to the
informal sector.
Key words: special impacts, trade off analysis, and sustainable shrimp culture
management.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan (a) untuk menilai dampak sosial pada pengelolaan
kawasan tambak udang (b) untuk memprediksi dampak sosial pengembangan
pengelolaan kawasan tambak udang berkelanjutan. Penelitian ini telah
dilakukan di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan
metoda survey, dan partisipasi stakeholders. Data yang telah terkumpul
dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, laboratorium dan trade
Off. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak sosial budidaya tambak
udang dapat menyerap tenaga kerja sebesar 27 871,29 HKO dan
perkembangan sektor informal rendah. Luas kawasan budidaya tambak
udang berkelanjutan adalah 2 350 ha (50 % dari potensi kawasan) yang terdiri
atas penggunaan 325,5 ha tambak intensif; 117,5 ha tambak semi intensif
dan 1 880 ha tambak tradisional. Dengan budidaya tambak udang
berkelanjutan ini, diperkirakan dapat menyerap tenaga kerja sebesar 124
146,98 HKO dan perkembangan sektor informal yang tinggi.
Kata kunci: dampak sosial, analisa trade off, dan management kawasan
budidaya udang.
Pendahuluan
Latar belakang
Pembangunan sub sektor kelautan dan perikanan mempunyai peranan
yang sangat penting dalam upaya pembangunan nasional. Kontribusi sektor
ini diharapkan dapat menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 10
persen setahun, dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja, peningkatan
pendapatan masyarakat pesisir dan meningkatkan komsumsi ikan bagi
masyarakat (Dirjen Perikanan Budidaya DKP 2004). Hal ini ditunjang oleh
potensi sumberdaya baik di perairan laut maupun perairan darat yang sangat
besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Pada tahun 1999 luas tambak Indonesia sebesar 393.196 (32,77
persen dari potensi) dan tahun 2003 luas tambak meningkat menjadi 480.000
ha (40 persen) dengan rata-rata pertumbuhan luas tambak sebesar 5,1
persen setahun (Dirjen Perikanan Budidaya DKP 2004). Sedangkan di
Propinsi Nusa Tenggara Barat pada 1999 luas tambak telah mencapai 7.051
ha (36,72 % dari potensi sebesar 19.202 ha), meningkat menjadi 7.232 ha
pada tahun 2003 dan di Kabupaten Dompu pada tahun 1999 luas tambak
telah mencapai 1.714 ha ( 36,47 % dari potensi sebesar 4.700 ha) dan pada
tahun 2003 luas tambak meningkat menjadi 1.895 ha (40,32 %) (Bappeda
NTB 2000; Pemerintah Kabupaten Dompu 2004).
Salah satu komoditas andalan yang dihasilkan dari tambak adalah
udang baik udang windu (Penaeus monodon) atau udang vaname
(Litopenaeus vannamei). Udang merupakan komoditas ekspor andalan
Indonesia untuk mendapatkan devisa. Selain itu, produksi udang juga dituntut
untuk tujuan konsumsi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan tersebut produksi udang harus
ditingkatkan baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Produktivitas
tambak udang Kabupaten Dompu selama lima tahun terakhir cenderung
menurun. Produktivitas tambak udang pada tahun 1999 diperoleh sebesar
1,05 ton/ha/tahun atau jika diasumsikan periode produksi tambak dua kali
setahun maka produktivitas tersebut sebesar 525 kg/ha/musim dan
produktivitas ini tidak pernah melebihi 525 kg/ha/musim selama tahun 2000,
2001, 2002 dan 2003.
Rendahnya produktivitas ini mencerminkan rendahnya tingkat
tekhnologi. Selain itu rendahnya produktivitas akibat degradasi sumberdaya
termasuk hutan mangrove dan sumberdaya perairan, adanya serangan hama
penyakit. Keadaaan tersebut diperparah lagi oleh rendahnya partisipasi
masyarakat dalam upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup
wilayah pesisir dan lautan.
Pengembangan kawasan tambak udang melalui intensifikasi dan
ekstensifikasi dengan mengkonversi hutan mangrove akan menimbulkan
permasalahan baru terutama aneka konflik kepentingan di dalam
pengembangan penggunaan sumberdaya di antara stakeholders baik
kepentingan pemanfaatan di darat maupun di laut sehingga akan mengancam
keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir. Pengembangan tambak
udang juga dapat menimbulkan polusi, salinisasi pada sumur air minum dan
sawah, destruksi anak-anak ikan liar dan aneka species crustacea (Deb, 1998
; Hein, 2000 ; Osuna, 2000). Ancaman keberlanjutan pengelolaan kawasan
tambak udang tidak hanya dilihat dari aspek lingkungan fisik saja, tetapi juga
persoalan sosial. Perbedaan pendapatan dan kesejahteraan antar
masyarakat pesisir dapat memicu konflik sosial yang berakibat pada ancaman
keamanan pengelolaan tambak udang berkelanjutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penilaian dampak sosial
dalam pengembang-an tambak udang berkelanjutan di Kabupaten Dompu
menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Tujuan penelitian
Tujuan umum penelitian ini: membuat kebijakan pengembangan
pengelolaan kawasan tambak udang yang berkelanjutan. Adapun yang
menjadi tujuan khusus adalah: (a) Untuk menilai dampak pengelolaan
kawasan tambak udang terhadap aspek sosial (b) Untuk memprediksi
dampak sosial pengembangan kawasan tambak udang berkelanjutan.
Metodologi penelitian
Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini adalah wilayah Pesisir Kabupaten Dompu,
Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan mengambil seluruh kecamatan yang
terdapat budidaya tambak udang di daerah ini.
Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
(1) Metode survai terhadap 10 orang pembudidaya tambak udang semi
intensif dan 20 orang pembudidaya tambak udang tradisional dan (2) Metode
partisipasi stakeholders dalam pengambilan keputusan. Metode partisipasi
stakeholders ini sangat penting untuk membuat alternatif kebijakan
pengembangan pengelolaan kawasan tambak udang berkelanjutan.
Stakeholders tersebut adalah Bupati Dompu, Anggota DPRD Kabupaten
Dompu, Perguruan Tinggi (Unram), Bappeda Kabupaten Dompu, Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Dompu, Dinas Kehutanan Kabupaten
Dompu, Pengusaha Hotel di wilayah pesisir Dompu, Lembaga Sosial
Masyarakat, pengusaha restoran, perusahaan hatchery, pembudidaya
tambak, nelayan, dan masyarakat lokal.
Macam dan sumber data
Ada dua macam data yang diperoleh dalam penelitian ini meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara
langsung dari sumber aslinya dengan jalan diskusi dengan stakeholders dan
pengamatan langsung. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dinas
instansi, lembaga tertentu yang terkait dengan penelitian ini.
Analisis data
Analisis data hasil pengamatan contoh air dilakukan pada laboratorium
analisitik Unram, data hasil survai dianalisis deskriptif dan data hasil diskusi
stakeholders dianalisis dengan Trade Off Analysis (TOA). Urut-urutan Trade
Off Analysis adalah sebagai berikut : pembuatan rancangan skenario
pengelolaan, penentuan kriteria dan dampak, penentuan skor, Melibatkan
pilihan stakeholders dalam penyusunan peringkat skenario kebijakan,
mengidentifikasi bobot peringkat skenario, penilaian terhadap skenario
(Brown et al. 2001).
Hasil dan pembahasan
Dampak sosial budidaya tambak udang (existing condition)
Adanya kegiatan ekonomi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
lautan akan memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat pesisir dan
sekitarnya. Dampak yang paling utama bagi masyarakat pesisir adalah
adanya penggunaan tenaga kerja pada usaha pertambakan udang terutama
bagi tenaga kerja lokal sekitar areal pertambakan. Selain itu adanya kegiatan
pembudidayaan udang akan berdampak pada kinerja sektor informal yang
terkait dengan penyediaan aquainput dan pemasaran hasil tambak.
Pada permulaan pembukaan tambak udang secara intensif tahun 1982
di daerah ini diperoleh produktivitas yang tinggi dan dapat menghasilkan
keuntungan yang tinggi pula, penggunaan tenaga kerja lokal sangat terbatas.
Hal yang sama juga pernah dikemukan oleh Deb A.K. (1999) di Bangladesh
bahwa tenaga kerja lokal kurang mendapat tempat dalam pengelolaan
tambak udang. Kebanyakan masyarakat lokal merupakan tenaga kerja tidak
terampil dengan pendidikan rendah yaitu rata-rata tamat sekolah dasar,
sehingga tingkat upahnya disesuaikan dengan kemampuan mengoperasikan
peralatan yang digunakan selama proses produksi. Hanya sedikit sekali
tenaga kerja lokal yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk
mengoperasionalkan alat-alat produksi.
Dalam beberapa tahun terakhir dengan lesunya kegiatan pertambakan
udang cenderung menurunkan permintaan akan tenaga kerja yang bekerja
pada berbagai aktivitas di tambak seperti tenaga kerja untuk pembangkit
listrik, pengelolaaan secara biologi dan tekhnik sistem tambak, pemeliharaan
peralatan dan transportasi aquainput dan aquaoutput secara besar-besaran.
Hasil survai menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja pada
tambak dengan sistem semi intensif relatif lebih banyak dari pada tambak
tradisional sekalipun luas rata-rata penguasaan tambak tradisional lebih besar
dari luas rata-rata tambak semi intensif. Penggunaan tenaga kerja perhektar
pada tambak semi intensif lebih dari tiga kali lipat penggunaan tenaga kerja
tambak tradisional. Jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk tambak semi
intensif berkisar 36 – 184 HKO/ha dengan rata – rata 87,93 HKO/ha
sedangkan pada tambak tradisional jumlah tenaga kerja yang digunakan
berkisar 15,5 – 74 HKO/ha dengan rata 26,79 HKO/ha.
Tabel 1.
Dampak Budidaya Tambak Udang Terhadap Aspek Sosial
(Musim Tanam 2005)
Komponen Sosial
Penyerapan TK.(HKO)
Perkembangan sektor informal
Semi Intensif
(19 ha)
1 670,67
-
Tradisional
(978 ha)
26 200,62
-
Total
27 871,29
10
Sumber : Data primer dan sekunder diolah
Penggunaan tenaga kerja luar keluarga lebih banyak dari pada tenaga
kerja dalam keluarga baik pada tambak tradisional maupun tambak semi
intensif. Pada tambak tradisional penggunaan tenaga kerja dalam keluarga
rata-rata sebesar 11,44 HKO/ha sedangkan tenaga kerja luar keluarga
sebanyak 15,35 HKO/ha sedangkan pada tambak semi intesif penggunaan
tenaga kerja dalam keluarga sebesar 22,76 HKO/ha dan tenaga kerja luar
keluarga sebesar 65,17 HKO/ha. Jumlah penggunaan tenaga kerja ini hampir
sama dengan penggunaan tenaga kerja pada tambak di Jawa Tengah pada
tahun 1988 hasil observasi Hannig (Muluk 1994).
Peluang penyerapan tenaga kerja baik tenaga kerja terampil maupun
tenaga kerja tidak trampil masih terbuka lebar khususnya tenaga kerja
masyarakat pesisir di masa mendatang sejalan dengan adanya tambahan
luasan tambak, pembangunan proses pengolahan hasil tambak (processing)
dan pembangunan cold storage, dan peningkatan status tekhnologi budidaya
tambak udang yang telah ada sekarang.
Pengembangan budidaya tambak udang paling tidak harus melibatkan
analisis kelayakan baik dari aspek teknis maupun
aspek ekonomi.
Bagaimanapun dua aspek tersebut tidak cukup menjamin keberlanjutan
budidaya tambak. Ini didasarkan pada pengalaman bahwa gangguan
keamanan selama ini yang menjadi pemicunya adalah kecemburuan sosial
masyarakat terutama masyarakat yang tidak tertampung pada budidaya
tambak udang (Muluk 1994 ; Brown et al. 2001; Debt 1999).
Dari aspek off farm baik di hulu maupun di hilir kelesuan
pertambakan udang juga berdampak pada menurunnya kinerja pengadaan
aquainput di hulu yang dilakukan oleh berbagai sektor informal seperti kioskios yang menyediakan pakan, obat-obatan, pupuk, benur dan aquainput
lainnya dan juga pada sisi hilir seperti pemasaran aquoutput.
Hasil survai di sisi pengadaan benur menunjukkan gejala menurun
selama sepuluh tahun terakhir walaupun terdapat kecenderungan mendatar
saat ini. Peningkatan produksi benur industri skala rumah tangga bersamaan
dengan meningkatnya tekhnologi intensifikasi tambak di daerah lain seperti
Kabupaten Bima, Kabupaten Sumbawa dan perluasan areal tambak baru.
Dari 21 pabrik benur skala rumah tangga pada tahun 1995 telah menurun
menjadi 12 pabrik benur pada tahun 2005. Penutupan sebagian pabrik benur
skala rumah tangga disebabkan oleh permintaan benur yang semakin
menurun dan juga oleh semakin tingginya harga aquainput untuk
pertumbuhan dan perkembangan benur. Sementara harga jual benur hampir
tidak merangkak naik. Kecenderungan produksi benur oleh pabrik benur skala
rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 1 (satu).
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang
T-10
Keterangan :
T0
T+10
= Produksi benur
Gambar 1 : Dampak Budidaya Tambak Udang Terhadap Produksi Benur
Pada Hacthery Skala Rumah Tangga di Kabupaten Dompu
Keberadaan pabrik benur skala rumah tangga saat ini memproduksi
benur berdasarkan pesanan dari pembudidaya baik dalam jumlah maupun
jenis udangnya. Benur yang dipesan oleh petambak selain benur udang
windu, juga udang vaname yang merupakan udang yang digalakkan
pemerintah. Budidaya udang vaname di areal pertambakan Kabupaten
Dompu belum dilakukan petambak.
Pengadaan aquainput lainnya seperti pupuk untuk tambak baik pupuk
urea, TSP (SP 36), pupuk NPK dan obat-obatan selama sepuluh tahun
terakhir terus mengalami penurunan. Rendahnya pengadaan aquainput
ditingkat kios sarana produksi sejalan dengan menurunnya tingkat tekhnologi
yang diterapkan oleh petambak dan banyaknya tambak yang sudah tidak aktif
lagi karena dibiarkan oleh pemiliknya. Hasil wawancara dengan beberapa
pemilik kios aquainput untuk tambak di daerah penelitian menunjukkan
kecenderungan menurun sampai pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan
(Gambar 2).
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang
T-10
Keterangan :
T0
T+10
= Supply Pupuk dan Obat-Obatan
Gambar 2. Dampak Budidaya Tambak Udang Terhadap Supply Pupuk
dan Obat-Obatan di Kabupaten Dompu
Dilihat dari off farm sisi hilir, kegiatan pemasaran juga cenderung
menurun sejalan dengan menurunnya kegiatan pembudidayaan tambak
udang yang pada gilirannya produksi udang tambak menjadi menurun. Hasil
wawancara dengan pedagang bakulan dan warung-warung yang
menyediakan menu dari udang di daerah ini juga menurun selama sepuluh
tahun terakhir. Demikian juga dengan kegiatan perdagangan antar pulau atau
ekspor udang. yang cenderungan menurun (Gambar 3).
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang
T-10
Keterangan :
T0
T+10
= Pemasaran Udang
Gambar 3. Dampak Budidaya Tambak Udang Terhadap Kegiatan
Pemasaran Udang di Kabupaten Dompu
Dampak pengembangan tambak udang berkelanjutan terhadap
aspek sosial
Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kawasan tambak udang
yang berdimensi berkelanjutan adalah 2.350 ha atau 50 persen dari potensi
luas tambak di kawasan pesisir Kabupaten Dompu. Alokasi luas tambak atas
dasar tingkat tekhnologi adalah 352,5 ha untuk tambak udang intensif, 117,5
ha untuk tambak semi intensif dan sisanya seluas 1.880 ha untuk tambak
tradisional (Tabel 2).
Tabel 2 : Hasil Analisis Trade Off Pengembangan Tambak Udang Berkelanjutan di Kabupaten Dompu
Skenario
Kriteria dan Sub Kriteria
Dampak
Skor Dampak (I) :
-Aspek Ekonomi
-Aspek Sosial
-Aspek Ekologi
Skor pil.Stakeh.(II) :
-Aspek Ekonomi
-Aspek Sosial
-Aspek Ekologi
Hasil Perkalian (IxII) :
-Aspek Ekonomi
-Aspek Sosial
-Aspek Ekologi
General Total
Sub Skenario Pengembangan Tambak 50 % dari Potensi (B)
A
B1
B2
B3
B4
B5
0
0
400
57,88
48,58
273,42
79,58
64,37
248,32
10,27
18,88
315,97
227,17
105,24
190,60
400
200
0,00
0
0
32
47
47
52
66
66
57
39
39
44
34
34
23
26
26
2
0
0
12 800,00
2 720,38
2 283,05
14 217,62
5 252,08
4 248,13
14 154,09
400,64
736,29
13 903,28
7 723,82
3 578,23
4 384,00
10 400,0
5 200,0
0,0
12 800,00
Rerata umum
4 266,67
Prioritas
6
Sumber : Data primer dan skunder diolah
19 221,06
6 407,02
2
23 654,30
7 884,77
1
15 040,22
5 013,41
5
15 686,05
5 228,68
3
15 600,0
5 200,00
4
Keterangan :
A = Skenario Budidaya tambak udang seperti biasa (as usual), yaitu 1.895 ha (40,32 %)
dengan SI= 19 ha (1,003 %) , T= 978 ha (51,61 %) dan sisanya diberokan
B = Skenario dengan pengembangan 50 % dari potensi, yaitu 2.350 ha
B1 dengan I=6,65 %, SI= 10 %, T= 83,35 %; B2 dengan I =15 %, SI = 5 %, T= 80 %; B3 dengan T = 100 %; B4
dengan SI = 100 % dan B5 dengan I = 100 %
I= Intensif, SI = Semi Intensif dan T = Tradicional
Hal ini sejalan dengan pendapat Dahuri (1996) memberikan analisis
tentang konsep daya dukung untuk pengembangan wilayah pesisir yang
lestari dengan memperhatikan keseimbangan kawasan. Agar kawasan pesisir
dapat lestari, maka kawasan pesisir dibagi dalam 3 zona : (a) zona preservasi
(preservation zone) yaitu kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi seperti
tempat berbagai hewan untuk melakukan kegiatan reproduksinya dan
memiliki sifat alami lainnya yang unik, termasuk di dalamnya adalah “green
belt”. Kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan ini adalah yang bersifat
penelitian, pendidikan dan wisata alam yang tidak merusak. Kawasan ini
meliputi paling tidak 20 % dari total areal. (b) Zona konservasi (conservation
zone) yaitu kawasan yang dapat dikembangkan, namun secara terkontrol
seperti perumahan dan perikanan rakyat. Kawasan ini meliputi paling tidak 30
% dari total areal. (c) Zona pengembangan intensif (intensif development
zone), termasuk di dalamnya mengembangkan kegiatan budidaya udang
secara intensif. Namun ditegaskan bahwa limbah yang dibuang dari kegiatan
tersebut tidak melebihi kapasitas asimilasi kawasan perairan. Zona ini tidak
lebih dari 50 % dari total kawasan.
Menurut Pandangan stakeholders, sebaiknya dalam pengembangan
tambak udang di Kabupaten Dompu diperlukan adanya petambak yang
menerapkan tekhnologi intensif sebagai motor penggerak petambak lainnya
seperti petambak semi intensif dan tradisional baik dalam penerapan
tekhnologi, penyediaan aquainput maupun pengolahan dan pemasaran hasil
tambak. Terdapat peluang untuk membuka lahan tambak baru sebesar 455
ha dengan alokasi 352,5 ha untuk tambak intensif dan sisanya sebanyak
102,5 ha boleh dimanfaatkan untuk tambak semi intensif. Untuk memenuhi
tambak semi intensif dapat dilengkapi dengan tambak peninggalan PT. Sera
seluas 150 ha.
Potensi lahan tambak yang secara fisik memenuhi syarat untuk
perluasan tambak lebih diarahkan pada pesisir Kecamatan Pekat, Kecamatan
Manggelewa, Kecamatan Kempo dan Kecamatan Kilo yang berada pada
pesisir Teluk Saleh dan Teluk Sanggar. Hal ini didukung oleh potensi
perluasan tambak sebesar 354 ha di empat kecamatan tersebut, sedangkan
sisanya untuk perluasan tambak seluas 101 ha dapat dilakukan di Kecamatan
Dompu dan Kecamatan Woja (Pemerintah Kabupaten Dompu 2004).
Tabel 3.
Prediksi Dampak Pengembangan Budidaya Tambak Udang
Berkelanjutan Terhadap Aspek Sosial
Komponen Sosial
Intensif
(352,5 ha)
Semi
Intensif
(117,5 ha)
10.331,78
Penyerapan
63.450,00
TK.(HKO)
Perkembangan
sektor informal
Sumber : Data primer dan sekunder diolah
Tradisional
(1.880 ha)
Total
(2.350 ha)
50.365,20
124.146,98
-
50
Dari pengembangan kawasan tambak udang tersebut, maka dampak
sosial terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 124 146,98 HKO dan
pertumbuhan sektor informal dengan nilai skor 50.
Kesimpulan dan saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1.
2.
3.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh dampak sosial budidaya tambak
udang musim tanam 2005 terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar
27 871,29 HKO dan perkembangan sektor informal yang sangat
rendah.
Pengembangan pengelolaan kawasan tambak udang yang
berkelanjutan sebanyak 50 % dari potensi atau seluas 2 350 ha
dengan alokasi seluas 352,5 ha tambak intensif, seluas 117,5 ha
tambak semi intensif dan sisanya 1.880 ha untuk tambak tradisional.
Dampak sosial yang diakibatkan oleh adanya pengembangan
pengelolaan kawasan tambak berkelanjutan adalah adanya
penyerapan tenaga kerja sebesar 124 146,98 HKO dan perkembangan
sektor informal yang meningkat jika dibandingkan dengan musim
tanam 2005.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka dapat disarankan guna
penetapan pengembang-an pengelolaan kawasan tambak udang di
Kabupaten Dompu sebagai berikut : Dari luas tambak yang dimanfaatkan 19
ha tambak semi intensif dan 978 ha tambak tradisional sekarang masih
memungkinkan untuk diperluas maupun ditingkatkan tekhnologi budidayanya
sampai 50 % dengan alokasi 352,5 ha untuk tambak intensif; 117,5 ha untuk
tambak semi intensif dan sisanya 1.880 ha untuk tambak tradisional.
Daftar pustaka
Badan Pusat Statistik, 2005. Dompu Dalam Angka 2005. Kerjasama antara
Badan Pusat Statistik Kabupaten Dompu dengan BAPPEDA
Kabupaten Dompu. Dompu
Bappeda NTB, 2000. Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir dan Laut Nusa
Tenggara Barat. Edisi I. Bappeda Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Mataram.
Brown, K.; Tompkins, E. and Adger, W.N., 2001. Trade-Off Analysis for
Participatory Coastal Zone Decision Making. ODG DEA. Csserge.
UEA Norwich. (di download dari Internet).
Dahuri. R., 1996. Tipologi Ekosistem Pesisir dan Laut Serta Tingkat
Kerawanannya.
Makalah pada Kursus Penyususnan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan XVIII, BAPEDAL dan PPSML LPUI,
Jakarta, 14 Maret 1996
Deb, A.K., 1998. Fake Blue Revolution, Environmental and Socio-economic
Impacts of Shrimp Culture in The Coastal Areas of Bangladesh.
Ocean and Coastal management. No. 41. p 63 – 88.
Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004.
Akuakultur Masa Depan Perikanan Indonesia. Kinerja Pembangunan
Akuakultur 2000 – 2003. Dirjen Perikanan Budidaya Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Hein, L., 2000. Impact of shrimp farming on mangroves along India’s East
Coast (di download dari internet).
Muluk, C. 1994. Social and Environmental Impacts On Shrimp Culture In West
Java, Indonesia. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of
Auburn University in Partial Fulfillment of the Requirements for the
Degree of Doctor of Philosophy. Auburn, Alabama.
Osuna, F.P., 2000. The environmental impact of shrimp aquculture; a global
perspective. Environmental Pollution. 112 (2001). 229 – 231 p.
Pemerintah Kabupaten Dompu, 2004. Selayang Pandang Potensi dan
Peluang Pengembangan Usaha Sektor Perikanan dan Promosi
Investasi di Kabupaten Dompu. Pemerintah Kabupaten Dompu,
NTB. Dompu
Tambak Udang Berkelanjutan di Kabupaten Dompu,
Nusa Tenggara Barat
Social impacts of management development of
sustainable shrimp aquaculture zone in Dompu Regency,
West Nusa Tenggara
Abubakar
Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Unram
B. Widigdo, R. Dahuri dan S. Budiharsono
Jurusan MSP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
Abstract
The aims of this research are (a) to asses social impacts on existing shrimp
culture zone management (b) to predict social impacts of sustainable shrimp
culture area management development. The research was conducted in
Dompu Regency, West Nusa Tenggara using survey, and stakeholders’
participatory methods. The collected data was analyzed under descriptive,
laboratory and trade off analyses. The result shows that the existing shrimp
culture zone management employed 27,871.29 man days of the workforce
and induced low growth to the informal sector. The total areas of sustainable
shrimp culture area management is 2,350 ha, consisting of 325.5 ha intensive;
117.5 ha semi-intensive and 1,880 ha traditional cultures. It was predictied
that the sustainable shrimp culture management would create larger
employment (124,146.98 man days) and promote higher growth to the
informal sector.
Key words: special impacts, trade off analysis, and sustainable shrimp culture
management.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan (a) untuk menilai dampak sosial pada pengelolaan
kawasan tambak udang (b) untuk memprediksi dampak sosial pengembangan
pengelolaan kawasan tambak udang berkelanjutan. Penelitian ini telah
dilakukan di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan
metoda survey, dan partisipasi stakeholders. Data yang telah terkumpul
dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, laboratorium dan trade
Off. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak sosial budidaya tambak
udang dapat menyerap tenaga kerja sebesar 27 871,29 HKO dan
perkembangan sektor informal rendah. Luas kawasan budidaya tambak
udang berkelanjutan adalah 2 350 ha (50 % dari potensi kawasan) yang terdiri
atas penggunaan 325,5 ha tambak intensif; 117,5 ha tambak semi intensif
dan 1 880 ha tambak tradisional. Dengan budidaya tambak udang
berkelanjutan ini, diperkirakan dapat menyerap tenaga kerja sebesar 124
146,98 HKO dan perkembangan sektor informal yang tinggi.
Kata kunci: dampak sosial, analisa trade off, dan management kawasan
budidaya udang.
Pendahuluan
Latar belakang
Pembangunan sub sektor kelautan dan perikanan mempunyai peranan
yang sangat penting dalam upaya pembangunan nasional. Kontribusi sektor
ini diharapkan dapat menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 10
persen setahun, dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja, peningkatan
pendapatan masyarakat pesisir dan meningkatkan komsumsi ikan bagi
masyarakat (Dirjen Perikanan Budidaya DKP 2004). Hal ini ditunjang oleh
potensi sumberdaya baik di perairan laut maupun perairan darat yang sangat
besar dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Pada tahun 1999 luas tambak Indonesia sebesar 393.196 (32,77
persen dari potensi) dan tahun 2003 luas tambak meningkat menjadi 480.000
ha (40 persen) dengan rata-rata pertumbuhan luas tambak sebesar 5,1
persen setahun (Dirjen Perikanan Budidaya DKP 2004). Sedangkan di
Propinsi Nusa Tenggara Barat pada 1999 luas tambak telah mencapai 7.051
ha (36,72 % dari potensi sebesar 19.202 ha), meningkat menjadi 7.232 ha
pada tahun 2003 dan di Kabupaten Dompu pada tahun 1999 luas tambak
telah mencapai 1.714 ha ( 36,47 % dari potensi sebesar 4.700 ha) dan pada
tahun 2003 luas tambak meningkat menjadi 1.895 ha (40,32 %) (Bappeda
NTB 2000; Pemerintah Kabupaten Dompu 2004).
Salah satu komoditas andalan yang dihasilkan dari tambak adalah
udang baik udang windu (Penaeus monodon) atau udang vaname
(Litopenaeus vannamei). Udang merupakan komoditas ekspor andalan
Indonesia untuk mendapatkan devisa. Selain itu, produksi udang juga dituntut
untuk tujuan konsumsi dalam negeri guna memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan tersebut produksi udang harus
ditingkatkan baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Produktivitas
tambak udang Kabupaten Dompu selama lima tahun terakhir cenderung
menurun. Produktivitas tambak udang pada tahun 1999 diperoleh sebesar
1,05 ton/ha/tahun atau jika diasumsikan periode produksi tambak dua kali
setahun maka produktivitas tersebut sebesar 525 kg/ha/musim dan
produktivitas ini tidak pernah melebihi 525 kg/ha/musim selama tahun 2000,
2001, 2002 dan 2003.
Rendahnya produktivitas ini mencerminkan rendahnya tingkat
tekhnologi. Selain itu rendahnya produktivitas akibat degradasi sumberdaya
termasuk hutan mangrove dan sumberdaya perairan, adanya serangan hama
penyakit. Keadaaan tersebut diperparah lagi oleh rendahnya partisipasi
masyarakat dalam upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup
wilayah pesisir dan lautan.
Pengembangan kawasan tambak udang melalui intensifikasi dan
ekstensifikasi dengan mengkonversi hutan mangrove akan menimbulkan
permasalahan baru terutama aneka konflik kepentingan di dalam
pengembangan penggunaan sumberdaya di antara stakeholders baik
kepentingan pemanfaatan di darat maupun di laut sehingga akan mengancam
keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir. Pengembangan tambak
udang juga dapat menimbulkan polusi, salinisasi pada sumur air minum dan
sawah, destruksi anak-anak ikan liar dan aneka species crustacea (Deb, 1998
; Hein, 2000 ; Osuna, 2000). Ancaman keberlanjutan pengelolaan kawasan
tambak udang tidak hanya dilihat dari aspek lingkungan fisik saja, tetapi juga
persoalan sosial. Perbedaan pendapatan dan kesejahteraan antar
masyarakat pesisir dapat memicu konflik sosial yang berakibat pada ancaman
keamanan pengelolaan tambak udang berkelanjutan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penilaian dampak sosial
dalam pengembang-an tambak udang berkelanjutan di Kabupaten Dompu
menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Tujuan penelitian
Tujuan umum penelitian ini: membuat kebijakan pengembangan
pengelolaan kawasan tambak udang yang berkelanjutan. Adapun yang
menjadi tujuan khusus adalah: (a) Untuk menilai dampak pengelolaan
kawasan tambak udang terhadap aspek sosial (b) Untuk memprediksi
dampak sosial pengembangan kawasan tambak udang berkelanjutan.
Metodologi penelitian
Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini adalah wilayah Pesisir Kabupaten Dompu,
Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan mengambil seluruh kecamatan yang
terdapat budidaya tambak udang di daerah ini.
Metode pengumpulan data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
(1) Metode survai terhadap 10 orang pembudidaya tambak udang semi
intensif dan 20 orang pembudidaya tambak udang tradisional dan (2) Metode
partisipasi stakeholders dalam pengambilan keputusan. Metode partisipasi
stakeholders ini sangat penting untuk membuat alternatif kebijakan
pengembangan pengelolaan kawasan tambak udang berkelanjutan.
Stakeholders tersebut adalah Bupati Dompu, Anggota DPRD Kabupaten
Dompu, Perguruan Tinggi (Unram), Bappeda Kabupaten Dompu, Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Dompu, Dinas Kehutanan Kabupaten
Dompu, Pengusaha Hotel di wilayah pesisir Dompu, Lembaga Sosial
Masyarakat, pengusaha restoran, perusahaan hatchery, pembudidaya
tambak, nelayan, dan masyarakat lokal.
Macam dan sumber data
Ada dua macam data yang diperoleh dalam penelitian ini meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara
langsung dari sumber aslinya dengan jalan diskusi dengan stakeholders dan
pengamatan langsung. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dinas
instansi, lembaga tertentu yang terkait dengan penelitian ini.
Analisis data
Analisis data hasil pengamatan contoh air dilakukan pada laboratorium
analisitik Unram, data hasil survai dianalisis deskriptif dan data hasil diskusi
stakeholders dianalisis dengan Trade Off Analysis (TOA). Urut-urutan Trade
Off Analysis adalah sebagai berikut : pembuatan rancangan skenario
pengelolaan, penentuan kriteria dan dampak, penentuan skor, Melibatkan
pilihan stakeholders dalam penyusunan peringkat skenario kebijakan,
mengidentifikasi bobot peringkat skenario, penilaian terhadap skenario
(Brown et al. 2001).
Hasil dan pembahasan
Dampak sosial budidaya tambak udang (existing condition)
Adanya kegiatan ekonomi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
lautan akan memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat pesisir dan
sekitarnya. Dampak yang paling utama bagi masyarakat pesisir adalah
adanya penggunaan tenaga kerja pada usaha pertambakan udang terutama
bagi tenaga kerja lokal sekitar areal pertambakan. Selain itu adanya kegiatan
pembudidayaan udang akan berdampak pada kinerja sektor informal yang
terkait dengan penyediaan aquainput dan pemasaran hasil tambak.
Pada permulaan pembukaan tambak udang secara intensif tahun 1982
di daerah ini diperoleh produktivitas yang tinggi dan dapat menghasilkan
keuntungan yang tinggi pula, penggunaan tenaga kerja lokal sangat terbatas.
Hal yang sama juga pernah dikemukan oleh Deb A.K. (1999) di Bangladesh
bahwa tenaga kerja lokal kurang mendapat tempat dalam pengelolaan
tambak udang. Kebanyakan masyarakat lokal merupakan tenaga kerja tidak
terampil dengan pendidikan rendah yaitu rata-rata tamat sekolah dasar,
sehingga tingkat upahnya disesuaikan dengan kemampuan mengoperasikan
peralatan yang digunakan selama proses produksi. Hanya sedikit sekali
tenaga kerja lokal yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk
mengoperasionalkan alat-alat produksi.
Dalam beberapa tahun terakhir dengan lesunya kegiatan pertambakan
udang cenderung menurunkan permintaan akan tenaga kerja yang bekerja
pada berbagai aktivitas di tambak seperti tenaga kerja untuk pembangkit
listrik, pengelolaaan secara biologi dan tekhnik sistem tambak, pemeliharaan
peralatan dan transportasi aquainput dan aquaoutput secara besar-besaran.
Hasil survai menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja pada
tambak dengan sistem semi intensif relatif lebih banyak dari pada tambak
tradisional sekalipun luas rata-rata penguasaan tambak tradisional lebih besar
dari luas rata-rata tambak semi intensif. Penggunaan tenaga kerja perhektar
pada tambak semi intensif lebih dari tiga kali lipat penggunaan tenaga kerja
tambak tradisional. Jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk tambak semi
intensif berkisar 36 – 184 HKO/ha dengan rata – rata 87,93 HKO/ha
sedangkan pada tambak tradisional jumlah tenaga kerja yang digunakan
berkisar 15,5 – 74 HKO/ha dengan rata 26,79 HKO/ha.
Tabel 1.
Dampak Budidaya Tambak Udang Terhadap Aspek Sosial
(Musim Tanam 2005)
Komponen Sosial
Penyerapan TK.(HKO)
Perkembangan sektor informal
Semi Intensif
(19 ha)
1 670,67
-
Tradisional
(978 ha)
26 200,62
-
Total
27 871,29
10
Sumber : Data primer dan sekunder diolah
Penggunaan tenaga kerja luar keluarga lebih banyak dari pada tenaga
kerja dalam keluarga baik pada tambak tradisional maupun tambak semi
intensif. Pada tambak tradisional penggunaan tenaga kerja dalam keluarga
rata-rata sebesar 11,44 HKO/ha sedangkan tenaga kerja luar keluarga
sebanyak 15,35 HKO/ha sedangkan pada tambak semi intesif penggunaan
tenaga kerja dalam keluarga sebesar 22,76 HKO/ha dan tenaga kerja luar
keluarga sebesar 65,17 HKO/ha. Jumlah penggunaan tenaga kerja ini hampir
sama dengan penggunaan tenaga kerja pada tambak di Jawa Tengah pada
tahun 1988 hasil observasi Hannig (Muluk 1994).
Peluang penyerapan tenaga kerja baik tenaga kerja terampil maupun
tenaga kerja tidak trampil masih terbuka lebar khususnya tenaga kerja
masyarakat pesisir di masa mendatang sejalan dengan adanya tambahan
luasan tambak, pembangunan proses pengolahan hasil tambak (processing)
dan pembangunan cold storage, dan peningkatan status tekhnologi budidaya
tambak udang yang telah ada sekarang.
Pengembangan budidaya tambak udang paling tidak harus melibatkan
analisis kelayakan baik dari aspek teknis maupun
aspek ekonomi.
Bagaimanapun dua aspek tersebut tidak cukup menjamin keberlanjutan
budidaya tambak. Ini didasarkan pada pengalaman bahwa gangguan
keamanan selama ini yang menjadi pemicunya adalah kecemburuan sosial
masyarakat terutama masyarakat yang tidak tertampung pada budidaya
tambak udang (Muluk 1994 ; Brown et al. 2001; Debt 1999).
Dari aspek off farm baik di hulu maupun di hilir kelesuan
pertambakan udang juga berdampak pada menurunnya kinerja pengadaan
aquainput di hulu yang dilakukan oleh berbagai sektor informal seperti kioskios yang menyediakan pakan, obat-obatan, pupuk, benur dan aquainput
lainnya dan juga pada sisi hilir seperti pemasaran aquoutput.
Hasil survai di sisi pengadaan benur menunjukkan gejala menurun
selama sepuluh tahun terakhir walaupun terdapat kecenderungan mendatar
saat ini. Peningkatan produksi benur industri skala rumah tangga bersamaan
dengan meningkatnya tekhnologi intensifikasi tambak di daerah lain seperti
Kabupaten Bima, Kabupaten Sumbawa dan perluasan areal tambak baru.
Dari 21 pabrik benur skala rumah tangga pada tahun 1995 telah menurun
menjadi 12 pabrik benur pada tahun 2005. Penutupan sebagian pabrik benur
skala rumah tangga disebabkan oleh permintaan benur yang semakin
menurun dan juga oleh semakin tingginya harga aquainput untuk
pertumbuhan dan perkembangan benur. Sementara harga jual benur hampir
tidak merangkak naik. Kecenderungan produksi benur oleh pabrik benur skala
rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 1 (satu).
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang
T-10
Keterangan :
T0
T+10
= Produksi benur
Gambar 1 : Dampak Budidaya Tambak Udang Terhadap Produksi Benur
Pada Hacthery Skala Rumah Tangga di Kabupaten Dompu
Keberadaan pabrik benur skala rumah tangga saat ini memproduksi
benur berdasarkan pesanan dari pembudidaya baik dalam jumlah maupun
jenis udangnya. Benur yang dipesan oleh petambak selain benur udang
windu, juga udang vaname yang merupakan udang yang digalakkan
pemerintah. Budidaya udang vaname di areal pertambakan Kabupaten
Dompu belum dilakukan petambak.
Pengadaan aquainput lainnya seperti pupuk untuk tambak baik pupuk
urea, TSP (SP 36), pupuk NPK dan obat-obatan selama sepuluh tahun
terakhir terus mengalami penurunan. Rendahnya pengadaan aquainput
ditingkat kios sarana produksi sejalan dengan menurunnya tingkat tekhnologi
yang diterapkan oleh petambak dan banyaknya tambak yang sudah tidak aktif
lagi karena dibiarkan oleh pemiliknya. Hasil wawancara dengan beberapa
pemilik kios aquainput untuk tambak di daerah penelitian menunjukkan
kecenderungan menurun sampai pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan
(Gambar 2).
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang
T-10
Keterangan :
T0
T+10
= Supply Pupuk dan Obat-Obatan
Gambar 2. Dampak Budidaya Tambak Udang Terhadap Supply Pupuk
dan Obat-Obatan di Kabupaten Dompu
Dilihat dari off farm sisi hilir, kegiatan pemasaran juga cenderung
menurun sejalan dengan menurunnya kegiatan pembudidayaan tambak
udang yang pada gilirannya produksi udang tambak menjadi menurun. Hasil
wawancara dengan pedagang bakulan dan warung-warung yang
menyediakan menu dari udang di daerah ini juga menurun selama sepuluh
tahun terakhir. Demikian juga dengan kegiatan perdagangan antar pulau atau
ekspor udang. yang cenderungan menurun (Gambar 3).
Sangat baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang
T-10
Keterangan :
T0
T+10
= Pemasaran Udang
Gambar 3. Dampak Budidaya Tambak Udang Terhadap Kegiatan
Pemasaran Udang di Kabupaten Dompu
Dampak pengembangan tambak udang berkelanjutan terhadap
aspek sosial
Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kawasan tambak udang
yang berdimensi berkelanjutan adalah 2.350 ha atau 50 persen dari potensi
luas tambak di kawasan pesisir Kabupaten Dompu. Alokasi luas tambak atas
dasar tingkat tekhnologi adalah 352,5 ha untuk tambak udang intensif, 117,5
ha untuk tambak semi intensif dan sisanya seluas 1.880 ha untuk tambak
tradisional (Tabel 2).
Tabel 2 : Hasil Analisis Trade Off Pengembangan Tambak Udang Berkelanjutan di Kabupaten Dompu
Skenario
Kriteria dan Sub Kriteria
Dampak
Skor Dampak (I) :
-Aspek Ekonomi
-Aspek Sosial
-Aspek Ekologi
Skor pil.Stakeh.(II) :
-Aspek Ekonomi
-Aspek Sosial
-Aspek Ekologi
Hasil Perkalian (IxII) :
-Aspek Ekonomi
-Aspek Sosial
-Aspek Ekologi
General Total
Sub Skenario Pengembangan Tambak 50 % dari Potensi (B)
A
B1
B2
B3
B4
B5
0
0
400
57,88
48,58
273,42
79,58
64,37
248,32
10,27
18,88
315,97
227,17
105,24
190,60
400
200
0,00
0
0
32
47
47
52
66
66
57
39
39
44
34
34
23
26
26
2
0
0
12 800,00
2 720,38
2 283,05
14 217,62
5 252,08
4 248,13
14 154,09
400,64
736,29
13 903,28
7 723,82
3 578,23
4 384,00
10 400,0
5 200,0
0,0
12 800,00
Rerata umum
4 266,67
Prioritas
6
Sumber : Data primer dan skunder diolah
19 221,06
6 407,02
2
23 654,30
7 884,77
1
15 040,22
5 013,41
5
15 686,05
5 228,68
3
15 600,0
5 200,00
4
Keterangan :
A = Skenario Budidaya tambak udang seperti biasa (as usual), yaitu 1.895 ha (40,32 %)
dengan SI= 19 ha (1,003 %) , T= 978 ha (51,61 %) dan sisanya diberokan
B = Skenario dengan pengembangan 50 % dari potensi, yaitu 2.350 ha
B1 dengan I=6,65 %, SI= 10 %, T= 83,35 %; B2 dengan I =15 %, SI = 5 %, T= 80 %; B3 dengan T = 100 %; B4
dengan SI = 100 % dan B5 dengan I = 100 %
I= Intensif, SI = Semi Intensif dan T = Tradicional
Hal ini sejalan dengan pendapat Dahuri (1996) memberikan analisis
tentang konsep daya dukung untuk pengembangan wilayah pesisir yang
lestari dengan memperhatikan keseimbangan kawasan. Agar kawasan pesisir
dapat lestari, maka kawasan pesisir dibagi dalam 3 zona : (a) zona preservasi
(preservation zone) yaitu kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi seperti
tempat berbagai hewan untuk melakukan kegiatan reproduksinya dan
memiliki sifat alami lainnya yang unik, termasuk di dalamnya adalah “green
belt”. Kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan ini adalah yang bersifat
penelitian, pendidikan dan wisata alam yang tidak merusak. Kawasan ini
meliputi paling tidak 20 % dari total areal. (b) Zona konservasi (conservation
zone) yaitu kawasan yang dapat dikembangkan, namun secara terkontrol
seperti perumahan dan perikanan rakyat. Kawasan ini meliputi paling tidak 30
% dari total areal. (c) Zona pengembangan intensif (intensif development
zone), termasuk di dalamnya mengembangkan kegiatan budidaya udang
secara intensif. Namun ditegaskan bahwa limbah yang dibuang dari kegiatan
tersebut tidak melebihi kapasitas asimilasi kawasan perairan. Zona ini tidak
lebih dari 50 % dari total kawasan.
Menurut Pandangan stakeholders, sebaiknya dalam pengembangan
tambak udang di Kabupaten Dompu diperlukan adanya petambak yang
menerapkan tekhnologi intensif sebagai motor penggerak petambak lainnya
seperti petambak semi intensif dan tradisional baik dalam penerapan
tekhnologi, penyediaan aquainput maupun pengolahan dan pemasaran hasil
tambak. Terdapat peluang untuk membuka lahan tambak baru sebesar 455
ha dengan alokasi 352,5 ha untuk tambak intensif dan sisanya sebanyak
102,5 ha boleh dimanfaatkan untuk tambak semi intensif. Untuk memenuhi
tambak semi intensif dapat dilengkapi dengan tambak peninggalan PT. Sera
seluas 150 ha.
Potensi lahan tambak yang secara fisik memenuhi syarat untuk
perluasan tambak lebih diarahkan pada pesisir Kecamatan Pekat, Kecamatan
Manggelewa, Kecamatan Kempo dan Kecamatan Kilo yang berada pada
pesisir Teluk Saleh dan Teluk Sanggar. Hal ini didukung oleh potensi
perluasan tambak sebesar 354 ha di empat kecamatan tersebut, sedangkan
sisanya untuk perluasan tambak seluas 101 ha dapat dilakukan di Kecamatan
Dompu dan Kecamatan Woja (Pemerintah Kabupaten Dompu 2004).
Tabel 3.
Prediksi Dampak Pengembangan Budidaya Tambak Udang
Berkelanjutan Terhadap Aspek Sosial
Komponen Sosial
Intensif
(352,5 ha)
Semi
Intensif
(117,5 ha)
10.331,78
Penyerapan
63.450,00
TK.(HKO)
Perkembangan
sektor informal
Sumber : Data primer dan sekunder diolah
Tradisional
(1.880 ha)
Total
(2.350 ha)
50.365,20
124.146,98
-
50
Dari pengembangan kawasan tambak udang tersebut, maka dampak
sosial terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar 124 146,98 HKO dan
pertumbuhan sektor informal dengan nilai skor 50.
Kesimpulan dan saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tersebut maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1.
2.
3.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh dampak sosial budidaya tambak
udang musim tanam 2005 terhadap penyerapan tenaga kerja sebesar
27 871,29 HKO dan perkembangan sektor informal yang sangat
rendah.
Pengembangan pengelolaan kawasan tambak udang yang
berkelanjutan sebanyak 50 % dari potensi atau seluas 2 350 ha
dengan alokasi seluas 352,5 ha tambak intensif, seluas 117,5 ha
tambak semi intensif dan sisanya 1.880 ha untuk tambak tradisional.
Dampak sosial yang diakibatkan oleh adanya pengembangan
pengelolaan kawasan tambak berkelanjutan adalah adanya
penyerapan tenaga kerja sebesar 124 146,98 HKO dan perkembangan
sektor informal yang meningkat jika dibandingkan dengan musim
tanam 2005.
Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka dapat disarankan guna
penetapan pengembang-an pengelolaan kawasan tambak udang di
Kabupaten Dompu sebagai berikut : Dari luas tambak yang dimanfaatkan 19
ha tambak semi intensif dan 978 ha tambak tradisional sekarang masih
memungkinkan untuk diperluas maupun ditingkatkan tekhnologi budidayanya
sampai 50 % dengan alokasi 352,5 ha untuk tambak intensif; 117,5 ha untuk
tambak semi intensif dan sisanya 1.880 ha untuk tambak tradisional.
Daftar pustaka
Badan Pusat Statistik, 2005. Dompu Dalam Angka 2005. Kerjasama antara
Badan Pusat Statistik Kabupaten Dompu dengan BAPPEDA
Kabupaten Dompu. Dompu
Bappeda NTB, 2000. Rencana Strategis Pengelolaan Pesisir dan Laut Nusa
Tenggara Barat. Edisi I. Bappeda Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Mataram.
Brown, K.; Tompkins, E. and Adger, W.N., 2001. Trade-Off Analysis for
Participatory Coastal Zone Decision Making. ODG DEA. Csserge.
UEA Norwich. (di download dari Internet).
Dahuri. R., 1996. Tipologi Ekosistem Pesisir dan Laut Serta Tingkat
Kerawanannya.
Makalah pada Kursus Penyususnan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan XVIII, BAPEDAL dan PPSML LPUI,
Jakarta, 14 Maret 1996
Deb, A.K., 1998. Fake Blue Revolution, Environmental and Socio-economic
Impacts of Shrimp Culture in The Coastal Areas of Bangladesh.
Ocean and Coastal management. No. 41. p 63 – 88.
Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004.
Akuakultur Masa Depan Perikanan Indonesia. Kinerja Pembangunan
Akuakultur 2000 – 2003. Dirjen Perikanan Budidaya Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Hein, L., 2000. Impact of shrimp farming on mangroves along India’s East
Coast (di download dari internet).
Muluk, C. 1994. Social and Environmental Impacts On Shrimp Culture In West
Java, Indonesia. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of
Auburn University in Partial Fulfillment of the Requirements for the
Degree of Doctor of Philosophy. Auburn, Alabama.
Osuna, F.P., 2000. The environmental impact of shrimp aquculture; a global
perspective. Environmental Pollution. 112 (2001). 229 – 231 p.
Pemerintah Kabupaten Dompu, 2004. Selayang Pandang Potensi dan
Peluang Pengembangan Usaha Sektor Perikanan dan Promosi
Investasi di Kabupaten Dompu. Pemerintah Kabupaten Dompu,
NTB. Dompu