Proposal S3 Dan Mansyur Radjab

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten Jeneponto merupakan salah satu kabupaten dengan
taraf

pertumbuhan

kesejahteraan

relatif

tertinggal

dibanding

kabupaten lainnya dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Salah
satu indikator umum yang menunjukkan seperti terlihat dalam
angka indeks pembangunan masyarakat (IPM). Selama kurun waktu

1999 sampai 2009, Kabupaten Jeneponto hanya mengalami perkembangan IPM ratarata 59,0 yaitu terendah di Sulawesi Selatan (BPS, 2010).
Wilayah Kabupaten Jeneponto relatif tidak memiliki kesamaan
umum dengan karakter topografs Propinsi Sulawesi Selatan. Pada
umumnya wilayah Sulawesi Selatan mengalami musim barat
berlangsung dalam bulan September

sampai dengan Pebruari,

sedangkan Kabupaten Jeneponto mengalami musim barat antara
bulan Desember sampai Maret, sehingga musim hujan relatif cukup
pendek. Oleh karena itu wilayah ini dikenal pula sebagai daerah
kering. Pengaruh musim tersebut cukup berpengaruh pada seluruh
aktivitas

wilayah

pertanian

dan


wilayah

pesisir

dan

taraf

kesejahteraan masyarakat.
Menelusuri wilayah pesisir Kabupaten Jeneponto, sepanjang
wilayah pesisir tersebut berhadapan dengan Laut Flores. Kondisi ini
menyebabkan terpaan angin, disertai hujan lebat dan ombak besar
yang senantiasa dihadapi oleh kaum nelayan, sehingga pada
musim-musim seperti ini terutama bulan-bulan Desember sampai
Januari kebanyakan para nelayan tidak melaut. Adanya arus bawah

2

yang seringkali berbeda arah dengan arus permukaan juga sering
dialami para nelayan di daerah ini. Dalam keadaan demikian sangat

sukar

melakukan

penangkapan

ikan

dengan

peralatan

yang

sederhana (Sallatang, 1982). Olehnya itu pada masyarakat nelayan terdapat
karakteristik yang mencolok yaitu ketergantungan pada musim, maka pada musim
penangkapan, para nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim paceklik
kegiatan melaut menjadi berkurang sehingga banyak nelayan yang terpaksa
menganggur (Nugroho dan Dahuri, 2004:251)
Masyarakat pesisir


Kabupaten Jeneponto

pada

umumnya

selama ini menekuni sektor nelayan tangkap. Keterbatasan wilayah
penangkapan dan teknologi penangkapan yang serba sederhana
menjadi bentuk kehidupan nyata dan berakar dalam sistem sosial
masyarakat nelayan. Keterbatasan dan kesederhanaan mendorong
terjadinya pembagian peran diantara kelompok nelayan. Setiap
peran senantiasa diarahkan untuk menjaga kestabilan dalam
berbagai bentuk tolong menolong dan kerjasama di antara sesama
kelompok nelayan. Bentuk tolong menolong dan kerjasama yang
berlangsung

terus

menerus


lalu

mengkristal

sebagai

sebuah

nilai

terinternalisasi
membentuk

(terlembagakan).

apa

yang


disebut

kemudian
budaya

Proses

mengakar

(resiprositas)

internalisasi

hubungan

dan
yang

tersebut


pinggawa1-sawi

di

kalangan masyarakat nelayan termasuk di Kabupaten Jeneponto
(Sallatang, 1982:3)
Dalam

perkembangannya

masyarakat

nelayan

Kabupaten

Jeneponto sebagaimana umumnya terjadi pada masyarakat nelayan
lainnya di Indonesia, mengalami proses dialektika sebagai akibat
1


Kata “pinggawa” berdasarkan penulisan aslinya seperti digunakan Sallatang,
walaupun pada penulisan lainnya menggunakan kata punggawa sebagaimana
digunakan kebanyakan penulis .

3

terjadinya

perkembangan

ilmu

pengetahuan

dan

teknologi.

Perkembangan ilmu pengetahuan mendorong munculnya pemikiran
dan wawasan terhadap kehidupan masyarakat pesisir/nelayan.

Masyarakat nelayan yang selama ini memahami dirinya sebagai
apa adanya, penuh dengan kesahajaan, dilain pihak menimbulkan
pandangan bagi kalangan ilmuan dan teknokrat bahwa masyarakat
nelayan terkungkung dalam sistem nilai budaya yang cenderung
tereksploitasi

dan

termarginalisasi.

Hal

tersebut

mendorong

munculnya pemikiran tentang berbagai program restrukturisasi
dikalangan

masyarakat


nelayan,

melalui

bentuk-bentuk

pengembangan teknologi dan manajemen atau apa yang disebut
proses transformasi (modernisasi).
Perspektif modernisasi memandang masyarakat nelayan pada
umumnya sebagai masyarakat termarginalisasi dan statis dan
terkungkung oleh nilai budaya yang mengatur hubungan-hubungan
sosial yang bersifat ekspolotatif. Melalui penerapan teknologi alat
tangkap, pengaturan mekanisme produksi dan pemasaran yang
terlembagakan secara fungsional, masyarakat nelayan diharapkan
mampu melepaskan diri dari keterkungkungan yang selama ini
dihadapi. Demikian halnya masyarakat nelayan di Kabupaten
Jeneponto dapat ditemukan pengaruh modernisasi dalam aktiftas
kehidupan nelayan seperti terdapat pemilik perahu motor, lembagalembaga kenelayanan. Akan tetapi bentuk kelembagaan lama tetap
memiliki


eksistensi

dalam

kehidupan

masyarakat

nelayan.

Walaupun dengan sendirinya telah tersentuh dengan nilai-nilai
modern yaitu munculnya struktur lembaga pinggawa-sawi melalui
penamaan pinggawa besar, pinggawa kecil dan sawi.

4

Beberapa

pengalaman

sejak

berkembangnya

perspektif

modernisasi dalam kehidupan masyarakat nelayan di Indonesia,
ternyata menimbulkan beberapa distorsi yang semakin mengancam
kehidupan masyarakat nelayan. Terdapat beberapa hasil kajian
yang

memperlihatkan

terjadinya

pola

hubungan

yang

tidak

seimbang dalam pengayaan sumber daya kemudian menciptakan
hubungan ketergantungan yang kuat di antara masyarakat nelayan.
Pola hubungan ketergantungan tersebut lalu kemudian menarik
banyak

perhatian

dan

mengkajinya

dalam

berbagai

dimensi

kehidupan masyarakat nelayan yang menyimbolkan keterpinggiran,
kemarjinalisasian, kemiskinan, keterbelakangan, dan sebagainya.
Menurut Pranadji (1995:38) dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa
gejala modernisasi yang terjadi pada kegiatan nelayan lebih merupakan respon
terhadap pasar, sehingga golongan yang mempunyai aksesibilitas terhadap
kemudahan pemerintah dan bisnis besarlah yang lebih cepat merespon. Artinya
nelayan pemilik modallah yang pertama memperoleh kesempatan baik, sedangkan
nelayan pekerja (buruh) dan nelayan kecil kurang berkesempatan memperoleh untung
dari perkembangan ekonomi pasar. Sehingga bagi nelayan kecil tetap memiliki
ketergantungan pada musim karena tidak mampu mengakses teknologi penangkapan.
Demikian Anggraini (2006:22) mengatakan bahwa, dalam konteks wilayah pesisir
dan laut, keuntungan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut baru
dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu seperti juragan kapal dan pengusaha
perikanan namun belum oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Kesenjangan dalam hal
kepemilikan menjadi masalah yang serius. Akumulasi sumberdaya pada pihak-pihak
tertentu mengarah pada deaksesasi oleh masyarakat nelayan kecil dengan teknologi
sederhana menjadi terpinggirkan dan semakin sulit berusaha sehingga mereka terjerat
kemiskinan

5

Proses transformasi tersebut tidak saja menimbulkan permasalahan hubungan
peran yang tidak seimbang di antara masyarakat nelayan atau hubungan kelembagaan
pinggawa-sawi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses transformasi
berpengaruh terhadap berbagai hubungan sosial-ekonomi rumahtangga nelayan dan
mencirikan sebagai rumah tangga miskin. Pencirian kemiskinan masyarakat nelayan
seperti perilaku ekonomi rumah tangga (Simanullang,2006; Sitorus, 2007), masalah
curahan waktu, kertimpangan pendapatan dan produktivitas kerja (Purwanti dkk,
1995; Whenlis, 2008), masalah kredit dan kelembagaan (Elfindri dan Zein, 2001;
Siswanto, 2007; Nasution, 2008). Di samping ditemukan pula berbagai strategi dalam
keberlangsungan hidup rumah tangga seperti ditunjukkan dalam hasil-hasil penelitian.
Rama dan Nurland (dalam Muchlis, 1988) tentang penelitiannya di komunitas
nelayan Desa Taroang Kabupaten Jeneponto, menemukan keterlibatan isteri dan
anak-anak nelayan pada usia lima sampai tujuh tahun. Sedangkan Radjab (1994)
dalam

penelitiannya

terhadap kehidupan

komunitas

nelayan

Barranglompo

menunjukkan tingginya drop-out pendidikan anak-anak nelayan oleh karena pada
umumnya anak-anak mereka dilibatkan dalam membantu orangtua setelah kembali
menangkap ikan.
Selanjutnya, Silitonga (1997) yang meneliti perubahan mata pencaharian dalam
hubungannya dengan pembangunan waduk menemukan ada anggota masyarakat
petani pemilik lahan seluas lebih 0,5 ha dan bermodal, dapat memperoleh tambahan
pekerjaan selain sebagai petani juga menjadi pengusaha keramba jaring terapung;
petani berlahan sempit atau kurang dari 0,5 ha dan memiliki modal sebagian mencoba
usaha keramba jaring terapung; sedangkan yang tidak memiliki modal tetap sebagai
petani yang mengusahakan lahan miliknya sendiri dan mengolah lahan garapan lain.
Kehidupan masyarakat nelayan di Indonesia ternyata sebagian besar tidak
mampu menghadapi proses dialektika yang terjadi sehingga terus diperhadapkan pada
masalah ketimpangan. Ketika masyarakat nelayan sedang berproses dan melakukan
adaptasi terhadap transformasi dalam kehidupan nelayan tangkap, terjadi proses

6

dialektika tahapan selanjutnya yaitu apa yang dikenal pengenalan sistem
pertanian/budidaya rumput laut sejak awal tahun 1980-an.
Pengaruh globalisasi terhadap perekonomian Dunia Ketiga termasuk Indonesia
mendorong setiap negara mengembangkan berbagai potensi sumber daya yang dapat
menjadi pesaing pasar internasional. Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber
daya pesisir dan pantai menjadikan pengembangan rumput laut sebagai komoditi
yang dianggap memiliki daya saing pasar internasional. Di antaranya adalah Propinsi
Sulawesi Selatan, merupakan salah satu propinsi yang cukup strategis untuk
pengembangan budi daya rumput laut. Menonjolnya budi daya rumput laut di daerah
ini disebabkan selain tempatnya yang strategis juga didukung fasilitas budi daya yang
cukup memadai seperti tersedianya lahan untuk budi daya Gracilaria sp. Sekitar
50.201 ha dan lahan budi daya Eucheuma sp sekitar 193.700 ha. Diharapkan mulai
tahun 2012 Sulawesi Selatan sudah dapat menjadi sentra produksi rumput laut
terbesar di Indonesia (Tangko, 2008:137).
Secara ekonomis usaha pertanian rumput laut, pada mulanya dianggap sangat
menguntungkan bagi masyarakat pesisir. Untuk memperoleh panen hanya dibutuhkan
waktu sekitar 40 sampai 45 hari ditambah lima hari pengeringan. Dalam sebuah
artikel yang dimuat pada (www.rumputlaut.org) dikatakan bahwa, harga yang bagus
disertai masa pembudidayaan yang pendek membuat sebagian masyarakat pesisir di
Sulawesi Selatan juga tidak lagi bergairah menangkap ikan. Sebab, potensi ikan di
laut semakin terbatas, sedangkan perahu penangkapan bertambah banyak dan
menggunakan alat tangkap yang canggih. Akibatnya, volume ikan yang ditangkap
terus berkurang. Hal itu otomatis berdampak terhadap jumlah pendapatan setiap
nelayan sehingga budidaya rumput laut dianggap sebagai pilihan yang baik bagi masa
depan.
Fenomena di atas turut serta berpengaruh terhadap aktifitas masyarakat nelayan
Kabupaten

Jeneponto.

Hasil

penelusuran

awal

menggambarkan

bahwa

ketidakmampuan melepaskan diri dari keterbelakangan masyarakat nelayan,
menyebabkan sebagian besar nelayan di Kabupaten Jeneponto beralih ke sektor

7

pertanian rumput laut. Daya tarik terhadap sektor pertanian rumput laut memiliki
kekuatan seiring meningkatnya permintaan internasional atas komoditas rumput laut.
Masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto yang selama ini menekuni aktivitas nelayan
tangkap merespon dengan mengubah aktivitas mereka, begitupula berbagai kelompok
masyarakat menjadi terdorong untuk ikut serta mengambil peran baik sebagai
penyedia bibit, penyedia modal, berbagai prasarana dan sarana permodalan yang
mendukung peningkatan produksi pertanian rumput laut.
Perubahan pekerjaan yang terjadi, sekaligus merubah tradisi kehidupan baik
dilihat dari aspek produksi, teknologi dan kelembagaan. Respons masyarakat pesisir
terhadap perubahan tersebut diasumsikan mampu membawa keluar dari ketimpangan
dan kemiskinan. Pergeseran aktivitas dari nelayan menjadi petani rumput laut
berdampak lebih lanjut terhadap produksi perikanan laut yaitu terjadi kecenderungan
penurunan produksi per tahun, dari tahun 2004 sampai 2008 mengalami rata-rata
perkembangan/penurunan – 9,6. Penurunan terjadi diantaranya karena hampir
separuh masyarakat nelayan kurang menunjukkan aktivitas penangkapan ikan,
kecuali terlihat aktivitas budi daya rumput laut.
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa hasil kajian menunjukkan tentang
terjadinya resistensi baru dalam kehidupan masyarakat petani rumput laut. Proses
transformasi dalam sistem pengelolaan baik dilihat dari aspek budidaya dan aspek
produksi menunjukkan terjadinya distorsi dalam upaya peningkatan kesejahteraan
petani rumput laut terutama yang berasal dari masyarakat nelayan kurang mampu.
Seperti dikatakan bahwa sungguhpun masa depan rumput laut sangat prospektif,
ganjalan dilapangan masih banyak sekali. Pertama, ada sebagian pembudidaya yang
sudah memanen saat rumput laut baru berusia 35 hari. Akibatnya, kualitas dari
komoditas tersebut jauh di bawah standar. Kedua, rumput laut yang di budidaya
kurang mendapatkan perawatan yang rutin dan teratur setiap hari. Perawatan yang
tidak optimal ini memungkinkan komoditas itu mudah terserang virus dan
mengurangi kualitas. Ketiga, tidak adanya tenaga penyuluh kelautan yang setiap saat
dapat membimbing, memfasilitasi, memotivasi, sekaligus memberikan jalan keluar

8

bagi pembudidaya rumput laut. Keempat, keterbatasan modal kerja sehingga baru
sebagian kecil masyarakat pesisir yang membudidayakan rumput laut. Kelima, mata
rantai pemasaran yang terlalu panjang dengan melibatkan lebih dari satu tengkulak
atau pedagang pengumpul.
Mata rantai pemasaran yang panjang itu membuat harga rumput laut di tingkat
petani selalu tertekan rendah. Perbedaan harga yang begitu besar antara tingkat petani
dan pabrik nyaris tanpa reaksi, bahkan cenderung dimaklumi petani. Kondisi ini
merupakan bagian dari politik balas budi. Alasannya, pembudidaya rumput laut saat
pertama kali menggeluti usaha tersebut umumnya tanpa modal. Satu-satunya pihak
yang memberikan bantuan modal dan bibit adalah tengkulak. Suku bunga kredit yang
hingga mencapai 10 persen per bulan pun mereka terima dengan senang hati sebab
prinsip mereka adalah rencana usaha dapat berjalan. Dampak lain dari maraknya
pembudidayaan rumput laut adalah pengaplingan areal laut oleh setiap pembudidaya.
Jika kondisi ini tak dikelola secara baik, bukan tidak mungkin suatu saat
menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat pesisir.
Dengan demikian, fenomena yang terjadi pada aktivitas pertanian rumput laut
tersebut tidak jauh berbeda yang dihadapi ketika mereka menjadi nelayan tangkap
dengan karakteristik sangat bergantung pada alam, harga dan pasar. Faktor-faktor
sturktural yang dihadapi kelompok nelayan sebagaimana dikatakan sebelumnya
diasumsikan tereproduksi kembali pada petani rumput laut. Akan terjadi apa yang
disebut Nugroho dan Dahuri (2004:251) yaitu pola hubungan yang asimetris dan
sangat mudah berubah menjadi alat dominasi dan eksploitasi.
Dalam beberapa hal pula akan dihadapi oleh petani rumput laut sebagaimana
terdapat pada nelayan tangkap seperti dikatakan Siswanto (2007:439-440), yaitu
bahwa terdapat kelas pedagang mengambil keuntungan yang besar, dan memperoleh
pendapatan yang jauh lebih besar dan posisi tawar yang jauh lebih tinggi. Menurut
Kusumastanto inilah sebenarnya merupakan persoalan lebih mendasar pada nelayan
dan petani ikan yaitu persoalan sosial yang menyangkut ketergantungan sosial (patron
client), karena faktor kelemahan yang dimiliki sebagian besar nelayan (nelayan kecil

9

dan pandega), mereka tidak bisa menghindari adanya sistem sosial yang tanpa atau
disadari menjeratnya ke dalam “lingkaran setan” kemiskinan, dan sudah begitu
melembaga pada masyarakat nelayan.
Dengan demikian, diasumsikan bahwa proses transformasi yang terjadi dalam
masyarakat perdesaan/pesisir seperti kelompok nelayan sebenarnya terjadi pula pada
aktivitas pertanian rumput laut yaitu berupa pengayaan sarana dan prasarana
teknologi, manajemen dan organisasi, serta investasi merupakan upaya yang
dialakukan selama ini baik pihak pemerintah maupun pihak swasta. Upaya seperti
pengenalan bibit unggul, teknologi pengelolaan, pembentukan berbagai jenis
kelembagaan dibidang produksi, pemasaran, diharapkan dapat memberi kemudahan
dalam mengakses pengembangan aktivitas terutama golongan miskin/buruh
petani.sehingga masyarakat kelompok petani rumput laut mampu meningkatkan
pendapatannya dan melepaskan diri dari persoalan ketimpangan struktur sosial
ekonomi.
Sehubungan dengan itu, maka apa yang terjadi pada aktivitas petani rumput laut
menunjukkan beberapa asumsi-asumsi teoritis yang perlu dikaji lebih jauh
sehubungan beberapa faktor kepemilikan seperti: penguasaan alat-alat produksi,
struktur masyarakat yang terbagi ke dalam kategori pemilik (alat-alat produksi) dan
buruh, serta tingkat skala investasi modal usaha. Faktor-faktor seperti kelembagaan
dan stratifikasi sosial dalam masyarakat pesisir masih rentang terhadap terjadinya
eksploitasi dan menjadi landasan terjadinya ketimpangan sosial ekonomi.
Penelitian Salman (2006) menarik menjadi salah satu acuan perbandingan.
Salman dalam penelitiannya tentang masyarakat maritim di Kabupaten Bulukumba
Sulawesi Selatan mengkaji dalam perspektif perubahan sosial atau transformasi
industri yaitu hubungan antara proses diferensiasi dengan rasionalitas tindakan di
antaranya terhadap kehidupan masyarakat nelayan. Bahwa terjadi ketidakseimbangan
antara proses diferensiasi sosial dengan proses rasionalisasi tindakan pada tingkatan
sistem. Akan tetapi Salman melihat dalam sebuah masyarakat nelayan yang secara
historis merupakan aktivitas yang telah mengakar bertahun-tahun. Sedangkan pada

10

aktivitas pertanian rumput laut merupakan suatu bentuk kehidupan baru bagi sebagian
besar masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan termasuk Kabupaten Jeneponto.
Dari aspek substansi perubahan pekerjaan dari nelayan tangkap ke petani
rumput laut, penelitian ini bertujuan melakukan evaluasi terhadap kehidupan
kelompok nelayan khususnya masyarakat nelayan di Kabupaten Jeneponto melalui
sejumlah proposisi yang dibangun oleh Sallatang (1982:135-136) yaitu bahwa : (1)
perubahan teknologi penangkapan (motor layar), membawa perubahan terhadap
peranan pinggawa-sawi dan pembagian hasil yaitu cenderung mengakibatkan
proporsi bahagian hasil pada anggota-anggota lainnya (sawi) menjadi lebih kecil, (2)
Masyarakat nelayan (Jeneponto) yang memiliki kepadatan penduduk relatif tinggi dan
banyaknya tenaga kerja yang tersedia, berdampak terhadap kemungkinan terjadinya
persaingan berat dikalangan kelompok sawi ke depan, (3) Berkenaan dengan
penggunaan teknologi (transformasi), masalahnya adalah bagaimana agar tetap dapat
menyerap banyak tenaga kerja dan menghasilkan pinggawa-sawi baru sesuai tuntutan
perkembangan, 4) Dengan demikian kesempatan menjadi pinggawa besar atau
pemimpin bagi generasi berikutnya, tidak terbatas secara ketat.
Relevan dengan hal tersebut, walaupun Sallatang memfokuskan kajiannya
terutama pada aspek solidaritas dan integrasi dalam perspektif studi komunitas kecil.
Secara tidak langsung menghasilkan beberapa proposisi yang menarik untuk
dikembangkan lebih jauh yaitu sebuah proses transformasi yang telah berlangsung
pada masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto 1982, dan kaitannya dengan proses
diferensiasi. Dan sekarang sebagian besar telah beralih menjadi petani rumput laut.
Sistem penguasaan, pengelolaan, produksi, dan pemasaran dalam pertanian
rumput laut merupakan sesuatu yang baru bagi kehidupan masyarakat pesisir yang
membedakan nelayan tangkap.

Penerapan konsep diferensiasi sosial (kelembagaan

dan stratifikasi) dalam penelitian ini dilihatnya dalam konteks terjadinya reproduksi
sehubungan dengan proses transformasi pada masyarakat petani rumput laut.
Pengembangan sektor pertanian rumput laut yang menimbulkan fenomena
perubahan pekerjaan sebagian besar masyarakat nelayan belum banyak dilakukan

11

pengkajian tentang sejauhmana terjadi perubahan struktur sosial dan berdampak
terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Dengan demikian menarik dikaji
lebih jauh tentang bentuk-bentuk produksi, teknologi dan kelembagaan tersebut, serta
kemungkinan terjadinya reproduksi stratifikasi dalam masyarakat petani rumput laut
atau umumnya pada masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang tersebut, masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut
1.

Terdapat kesenjangan antara proses transformasi (investasi, penerapan teknologi,
dan

manajemen)

dengan

kemampuan

masyarakat

dalam

melakukan

pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Jeneponto.
2.

Proses transformasi tidak dapat mendorong terjadinya diferensiasi (kelembagaan
dan stratifikasi) secara signifikan pada kegiatan pertanian rumput laut di
Kabupaten Jeneponto.

3.

Proses

diferensiasi

tidak

memenuhi

kaidah-kaidah

kelembagaan

lokal

(ponggawa-sawi) dan perubahan struktur sosial-ekonomi pada masyarakat petani
rumput laut di Kabupaten Jeneponto.
C. Tujuan Penelitian
a.

Menganalisis kesenjangan proses transformasi (investasi, penerapan teknologi,
dan

manajemen)

dengan

kemampuan

masyarakat

dalam

melakukan

pembudidayaan rumput laut di Kabupaten Jeneponto.
b.

Menganalisis proses transformasi dan terjadinya diferensiasi (kelembagaan dan
stratifikasi) secara signifikan pada kegiatan pertanian rumput laut di Kabupaten
Jeneponto.

12

c.

Menganalisis proses diferensiasi dalam hubungannya dengan kaidah-kaidah
kelembagaan lokal (ponggawa-sawi) dan perubahan struktur sosial-ekonomi pada
masyarakat petani rumput laut di Kabupaten Jeneponto.
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat :

1.

Mengembangkan wahana umum terhadap fenomena kemiskinan komunitas
pesisir dalam upaya mempercepat proses pencapaian Millenium Development
Goals (MDGs) atau tujuan pembangunan millennium di Indonesia khususnya
Kabupaten Jeneponto.

2.

Memecahkan masalah distorsi pencapaian peningkatan indeks pembangungan
manusia di Kabupaten Jeneponto melalui keberdayaan komunitas pesisir
khususnya petani rumput laut.

3.

Melalui hasil kajian ini, diharapkan dapat menemukan model pembangunan
berbasis lokal, dalam rangka mendukung penanggulangan kemiskinan yang
menjadi salah satu isu nasional.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Transformasi
Indonesia mengalami proses perubahan atau transformasi pertama kali dalam
bidang pertanian pada awal tahun 1970-an, dikenal dengan nama revolusi hijau.

13

Transformasi tersebut melahirkan berbagai kajian diantaranya terkait dengan distorsi
yang terjadi terutama pada masyarakat petani gurem. Sedangkan perubahan atau
proses transformasi masyarakat pesisir atau dikenal dengan revolusi biru lebih
belakangan atau sekitar akhir 1970-an termasuk di Sulawesi Selatan. Tidak berbeda
dengan yang terjadi di sektor pertanian, di mana ketika masyarakat pesisir terutama
masyarakat nelayan memasuki fase transformasi melalui reinvestasi dalam bidang
penangkapan, sistem manajemen yang lebih rasional, masyarakat nelayan terutama
buruh nelayan atau kelompok sawi (Sulawesi Selatan) tetap terpinggirkan. Fenomena
tersebut terjadi hampir menyeluruh pada masyarakat nelayan di Indonesia termasuk
masyarakat nelayan Kabupaten Jeneponto. Akibat lanjut, menimbulkan perdebatan
teoritis terhadap keabsahan perspektif modernisasi/transformasi dalam melihat proses
perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Perdebatan tersebut tidak lain karena istilah transformasi senantiasa dikaitkan
dengan sebuah pemikiran dan pengalaman Barat, yang membentuk arah yang
dominan untuk pembangunan masyarakat, yang menentukan sasaran-sasaran ke mana
kebijaksanaan diarahkan, dan yang menelurkan metodologi-metodologi canggih guna
mengarahkan pilihan-pilihan manusia agar sesuai dengan pemikiran-pemikiran
dasarnya.
Dalam berbagai literatur sosiologi, istilah transformasi menjadi bagian penting
dalam pembahasan perspektif evolusi sosial, perubahan sosial, modernisasi dan
kapitalisme, sehingga penggunaannya senantiasa disamakan dan dipertukarkan sesuai
dengan konteks yang dipermasalahkan. Hasil akhirnya adalah sebuah telaah tentang
proses differensiasi yang terjadi dalam sebuah masyarakat sedang berkembang
diperbandingkan dengan masyarakat maju atau masyarakat industri.
Perspektif atau teori evolusi sosial senantiasa dipakai untuk menilai kemajuan
masyarakat. Parson melihat evolusi sosial dari aspek munculnya bentuk-bentuk
organsiasi sosial dengan kemampuan menyesuaikan diri yang semakin besar. Bellah
merumuskan pengertian evolusi sebagai proses diferensiasi dan kompleksitas
organisasi yang membantu organisme, sistem sosial atau unit-unitnya dengan

14

kapasitas yang lebih besar untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya sehingga
menjadi lebih bebas dibandingkan dengan nenek moyang mereka yang mempunyai
organisasi yang kurang kompleks (Hoogvelt, 1985:10).
Penjelasan konsep transformasi terkait dengan modernisasi, dapat ditelusuri
melalui penjelasan Schoorl (1980:1-2) yang mengatakan bahwa, modernisasi sesuatu
masyarakat ialah suatu proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala
aspek-aspeknya. Misalnya di bidang ekonomi berarti tumbuhnya kompleks industri
yang besar-besar, di mana proses produksi barang-barang konsumsi dan barangbarang sarana produksi diadakan secara massal. Kompleks-kompleks industri
mengandung

implikasi

adanya

organisasi-organisasi

yang

kompleks

untuk

mengadakan bahan-bahan baku serta penjualan produksi dan seterusnya. Kemudian
perkembangan industri itu berkaitan dengan perkembangan agraria yaitu produksi
agraria per pekerja berhasil ditingkatkan secara luar biasa. Selanjutnya berlandaskan
perkembangan agrarian dan industri dapat diciptakan secara luas yang disebut sektor
jasa, yang didalamnya dapat dimasukkan lembaga-lembaga pemerintahan, institusi
ilmiah dan pendidikan, pemeliharaan kesehatan, rekreasi, kesenian dan seterusnya.
Penjelasan konsep transformasi dalam perspektif perubahan sosial dapat diikuti
penjelasan Sztompka (2004:5,65) yang mengatakan bahwa, dimensi utama dari
sebuah perubahan adalah terjadinya perubahan bentuk kehidupan yang membawa
akibat terhadap perubahan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti hubungan kerja,
system kepemilikan, klasifikasi masyarakat dan sebagainya, serta masyarakat
senantiasa berubah disetiap tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi
perubahan ekonomi, politik dan kultur, di tingkat mezzo (menengah) terjadi
perubahan kelompok, komunitas danorganisasi, di tingkat mikro terjadi perubahan
interaksi dan prilaku individual.
Soedjito (1986:vii) dalam bukunya Transformasi Sosial, ditemukan penjelasan
tentang hubungan antara transformasi (sosial) dengan perubahan sosial, yang
digolongkan atas tiga yaitu: (1) perubahan sebagai proses evolusi atau perubahan dan
perkembangan masyarakat sebagai suatu proses diferensiasi dan integrasi yaitu

15

perkembangan masyarakat berlangsung secara terus menerus melalui tahap-tahap
tertentu sebagaimana halnya pertumbuhan dan perkembangan bilologis, (2)
perubahan dan perkembangan masyarakat sebagai suatu proses perubahan dan
pembentukan nilai-nilai. Jadi individu sebagai penyebab perubahan sosial, yakni
berupa nilai-nilai yang dimiliki warga masyarakat (dengan kata lain, transformasi
nilai-nilai yang terjadi dalam masyarakat merupakan penyebab terjadinya perubahan
sosial), (3) perubahan dan perkembangan masyarakat merupakan proses pembebasan
ketergantungan.
Neil telah menggunakan istilah transformasi dalam menelah transformasi
masyarakat manusia yang lebih awal, dari berburu hingga pertanian menetap, menuju
pertanian irigasi yang intensif, dan akhirnya industrialisasi. Demikian Alvin Toffler
membahas transformasi itu dari perspektif Dunia Ketiga, yang di dalamnya ia
mengupas peluang-peluang yang mungkin disingkapkan oleh transformasi ini bagi
negara-negara yang belum memasuki era industri (dalam Korten dan Sjahrir,
1988:28,45).
Dari penjelasan menurut teori evolusi sosial, perubahan sosial, dan modernisasi
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, maka transformasi sosial telah melahirkan
beberapa pemikiran lebih lanjut dalam berbagai kajian Negara-negara Sedang
Berkembang. Byres mengatakan bahwa transformasi sosial ialah suatu perjalanan
waktu dan di dalamnya tercakup suatu masalah peralihan. Sedang transformasi sosial
di pedesaan berawal dari pelaksanaan program penataan penguasaan tanah dan
industrialisasi sampai terbentuknya susunan hubungan sosial ekonomi produksi yang
baru. Sedangkan Haris mengatakan bahwa transformasi sosial adalah suatu proses
perubahan susunan hubungan sosial ekonomi, berubahnya masyarakat agraris
tradisional menjadi masyarakat dengan sistem pertanian telah terintegrasi ke dalam
sistem ekonomi secara keseluruhan. Transformasi sosial dapat dilihat dari penekanan
saling hubungan antara faktor ekologi, teknologi, demografi dan kultur masyarakat
dalam suatu sistem usahatani (Ginting, 1996).

16

Dalam studi pembangunan, teori transformasi dikenal dengan teori perubahan
struktural

(structural-change

theory)

yang

memusatkan

perhatiannya

pada

mekanisme yang sekiranya akan memungkinkan negara-negara yang masih
terkebelakang untuk mentrasformasikan struktur perekonomian dalam negeri dari
pola perekonomian pertanian subsisten tradisional ke perekonomian yang lebih
modern yaitu lebih bervariasi serta memiliki sektor industri manufaktur dan sektorsektor jasa yang tangguh. Salah satu model teori yang terkenal sebagaimana
diperkenalkan oleh Arthur Lewis dengan teorinya “Model dua-sektor Lewis” (Lewis
two-sector model) yang memusatkan perhatian pada transformasi struktural
(structural

transformation),

yang

mengatakan

bahwa

perekonomian

yang

terkebelakang terdiri dari dua sektor yakni, (1) sektor tradisional, yaitu sektor
pedesaan subsisten yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas
marjinal tenaga kerja sama dengan nol, (2) sektor industri perkotaan modern yang
tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang
ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor pertanian. (Todaro, 2000:100).
Dalam studi pertanian, secara teoretis dikatakan bahwa transformasi pertanian
berawal dari ciri masyarakat tradisional yaitu memiliki bentuk usaha tani keluarga,
tidak ada pasar, tenaga kerja keluarga, ekonomi uang belum masuk, atau sudah masuk
tapi hanya sebagai alat pembayaran, dan strukturnya tidak berubah atau apa yang
disebut peasant society. Dengan adanya industri, kapital masuk, dan mendorong
orang untuk bersaing secara individual. Jadi tingkah laku petani berubah, tidak lagi
mencirikan masyarakat peasant, tapi sudah mulai modern. Di samping pemikiranpemikiran sudah menjadi kapitalistik yang dicirikan dengan ekonomi uang,
memaksimumkan keuntungan, tenaga kerja semua upahan, ada pasar tenaga kerja
(Wiradi).
Dalam proses transformasi pertanian sebagaimana yang terjadi di Eropa Barat
pada abad 17-18 seperti dikemukakan Polanyi (dalam Pranadji dan Hastuti, 2004:78)
bahwa dari peradaban tradisional-agraris ke modern-industrial, transformasi tersebut
tidak melahirkan kesejahteraan yang meluas. Proses trasformasi memang dikatakan

17

menghasilkan kemajuan fisik dan pertumbuhan ekonomi yang sangat hebat. Namun
pada saat yang hampir bersamaan melahirkan polarisasi yang tajam yaitu orang yang
kaya raya berjumlah sedikit di satu sisi, dan orang yang melarat berjumlah banyak di
sisi lain (Wertheim dalam Pranadji dan Hastuti, 2004:78).
Dalam hal tersebut maka Wiradi, dalam tulisannya “Transformasi Pertanian;
Quo Vadis?”, mengatakan bahwa transformasi pertanian berlangsung sangat lama,
dapat puluhan tahun atau bahkan ada yang lebih dari seratus tahun baru terjadi. Ini
yang bernama transformasi, artinya terjadi bentuk lain yang terus mantap, tidak
berubah-ubah, untuk masa yang seterusnya. Oleh karena itu dikatakan bahwa selama
tujuan itu belum tercapai, masa itu disebut transisi.
Tylor dan Schuurman menyatakan bahwa umumnya sistem produksi pertanian
berubah dari prakapitalis (komunal) menuju kapitalis. Akan tetapi pada masyarakat
kontemporer dibelahan dunia bukan Barat, perubahan sistem produksi pertanian yang
terjadi tidak menghasilkan sistem produksi pertanian kapitalis melainkan hanya
transisional. Pada saat sistem produksi pertanian baru yang lebih kapitalis
(transisional) semakin dominan, maka terjadi transformasi struktur agraria.
Transformasi tersebut akan bergerak dari penguasaan kolektif (collective ownership)
menuju perorangan (private ownership). Suatu transformasi hak dalam memanfaatkan
sumber daya agraria, dari hak ‘setiap orang’ menjadi hak ‘sebagian orang’. Realitas
tersebut kemudian akan memberi jalan pada pembentukan struktur sosial komunitas
petani yang mengalami diferensiasi. Dalam arti terdapat dua bentuk struktur sosial
komunitas yang mungkin muncul, yaitu “stratifikasi” (bertambah banyaknya lapisan
masyarakat) dan “polarisasi” (terkutubnya masyarakat menjadi dua lapisan) (Fadjar
dkk, 2008:211).
Dari latar belakang istilah transformasi sebagaimana dikemukakan di atas maka
secara

kharfiah

transformasi

dalam

bahasa

Inggris

dikenal

dengan

kata

transformation. Neufebet dan Guralnik mengistilahkan transform sebagai perubahan,
dan transformation diartikannya sebagai proses perubahan. Atau dalam pengertian
yang lebih luas, transformasi mencakup bukan saja perubahan pada bentuk luar,

18

namun juga pada hakikat atau sifat dasar, fungsi, dan struktur atau karakteristik
perekonomian suatu masyarakat (Pranadji dan Hastuti, 2004).
B. Diferensiasi Sosial
Penjelasan sebelumnya dikemukakan bahwa hasil akhir dari sebuah perubahan
sosial/transformasi ialah diferensiasi sosial. Diferensiasi sosial menurut Svalastoga
(1989:1) diartikan sebagai kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang
berlawanan seperti pembedaan menurut ciri-ciri biologis antar manusia. Ada
beberapa jenis diferensiasi sosial yang perlu dibedakan menurut North. Pertama,
diferensiasi tingkatan (rank differentiation), muncul karena ketimpangan distribusi
barang sesuatu yang dibutuhkan, yang terbatas persediaannya. Kedua, diferensiasi
fungsional (functional differentiation) atau pembagian kerja, muncul karena orang
melaksanakan pekerjaan yang berlainan. Ketiga, diferensiasi adat (custom
differentiation), muncul karena aturan berperilaku yang tepat berbeda menurut situasi
tertentu (Svalastoga, 1989:1).
Dalam hubungan dengan penelitian ini, maka pembahasan diferensiasi
tingkatan dan diferensiasi fungsional menjadi landasan konsepsional dalam melihat
proses transformasi masyarakat pesisir Kabupaten Jeneponto relevan dengan
masyarakat petani rumput laut. Diawali dengan pembahasan diferensiasi fungsional
atau disebut juga diferensiasi struktural. Pada sub bahasan tersendiri dibahas tentang
diferensiasi tingkatan atau lebih dikenal dengan istilah stratifikasi sosial.
Abraham (1991:18-19) menyatakan bahwa perubahan sistemik yang paling
berarti dari modernisasi (transformasi) adalah diferensiasi struktural yang berarti unitunit organisasi yang berbeda cenderung menjadi terpisah (berdiri sendiri) dalam
hubungan satu sama lain, sebagian besar bersifat otonom dan interdependensi yang
meningkat, pemisahan pekerjaan dan rumah tangga yang mengarah kepada
individuasi dan isolasi keluarga inti yang berhenti pada unit produksi. Jadi pembagian

19

kerja

secara

spesialisasi,

pekerjaan

yang

memerlukan

latihan-latihan

dan

keterampilan spesialis, sungguh merupakan perubahan fungsional yang paling berarti.
Menurut Bilton dalam Jones (2009:67) diferensiasi adalah suatu tipe
pemecahan atau pemisahan dari satuan yang tadinya tak terbagi. Satuan-satuan yang
baru yang tercipta oleh proses ini berbeda dari satuan yang sebelumnya oleh fungsifungsi yang lebih khusus. Kedua satuan yang baru berbeda satu sama lain karena
keduanya distrukturkan sedemikian sehingga salah satu daripadanya dapat
menjalankan fungsi khusus sedangkan yang satu lagi tidak.
Relevan dengan pernyataan Smelser, bahwa proses diferensiasi menjadikan
hakikat dan fungsi keluarga berubah, sebab ia tidak lagi merupakan unit produksi
ekonomi yang asas, maka aktivitas-akitivtas keluarga menjadi lebih menitik beratkan
kepada kepuasan emosi dan sosialisasi, tekanan-tekanan mulai dikenakan terhadap
perkembangan perburuhan atas dasar kekeluargaan, dan keluarga inti dibedakan
secara jelas dari keluarga besar. Akan tetapi bahwa proses diferensiasi yang terjadi
tidak selamanya dapat diintegrasikan dengan munculnya fungsi-fungsi baru. Proses
diferensiasi dan integrasi senantiasa menimbulkan gangguan-gangguan sosial akibat
adanya tingkat perubahan yang tidak seimbang, sehingg akan mempengaruhi
modernisasi/transformasi atas suatu sistem sosial (Long, 1987:14; So, 1990;27).
Transformasi teknologi dan bentuk stratifikasi di Indonesia selama ini telah
banyak mendapat perhatian dalam mengkaji fenomena masyarakat agraris, hal yang
sama terjadi pula pada masyarakat pesisir. Transformasi pada masyarakat pesisir
sebagaimana ditunjukkan pada masyarakat nelayan mengikuti pola yang terjadi pada
masyarakat agraris yaitu terjadinya fenomena bentuk-bentuk penguasaan kepemilikan
alat/aset produksi yang ketat kemudian menimbulkan ketimpangan struktur sosial dan
fenomena social ekonomi rumah tangga nelayan (Andriati, 2008; Konseng, 2007;
Siswanto, 2007). Demikian yang terjadi pada petambak, di mana bentuk penguasaan
kepemilikan signifikan dengan perubahan pada penguasaan bentuk-bentuk teknologi
dan penetrasi pasar sebagai bentuk masyarakat transisi (Purnamasari., Sumantri., dan
Kolopaking, 2002).

20

C. Stratifikasi Sosial
1.

Konsep Stratifikasi Sosial
Relevan dengan kajian terhadap proses transformasi dan pola stratifikasi pada

beberapa bentuk masyarakat, maka studi kajian terhadap masyarakat petani budi daya
rumput menarik pula dikaji lebih jauh. Bahwa setiap masyarakat memiliki dasar
ketidaksetaraan, terdapat beberapa memiliki kekayaan, pendidikan, kesehatan, atau
kekuasaan daripada yang lain. Stratifikasi sosial mengacu pada sebuah sistem dimana
masyarakat memiliki kategori peringkat dalam suatu hirarki (Macionis, 2000:162),
diartikan sebagai ketimpangan struktur (structure inequalities) di antara kelompok
orang berbeda. Dalam hal ini yang memiliki hak istimewa berada pada posisi di atas
dan yang tidak memiliki berada pada posisi di bawah (Giddens, 1987).
Menurut Sorokin, bahwa sistem berlapis-lapis dalam masyarakat merupakan
ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Selama dalam
masyarakat ada sesuatu yang dihargai, maka akan menjadi bibit yang dapat
menumbuhkan adanya sistem pelapisan dalam masyarakat tersebut. Sesuatu yang
dihargai itu dapat berupa uang, penguasaan lahan, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan
sebagainya. Semakin banyak sesuatu yang dihargai dimiliki seseorang, akan semakin
dianggap berkedudukan tinggi orang tersebut dalam sistem sosialnya (Soemardjan
dan Soemardi, 1964).
2.

Teori Evolusioner dan Fungsionalis
Teori evolusioner melihat proses perkembangan manusia dan masyarakat

sebagaimana dikemukakan oleh Herbert Spencer. Penjelasan utama Spencer mulai
dari peningkatan jumlah penduduk sebagai fakta pertama dalam proses evolusi sosial
yang dihubungkan dengan persediaan-persediaan makanan yang ada, dan dari
kesempatan-jesempatan yang disajikan oleh lingkungan alam. Pertumbuhan

21

dimaksud timbul dari penggabungan satuan-satuan sosial, disertai dengan
peningkatan diferensiasi struktur. Hal ini berarti mulai timbul bagian-bagian yang
dapat dibeda-bedakan dan dengan demikian dapat dikenali. Bagian-bagian itu juga
mengisi fungsi-fungsi yang berbeda-beda demi keseluruhan. Jadi peningkatan
struktur berlangsung bersama-sama dengan spesialisasi sesuai dengan fungsi. Karena
bagian-bagian itu mengisi fungsi-fungsi yang berbeda-beda, maka bagian-bagian itu
tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tumbuh, hal mana dinyatakan
sebagai peningkatan integrasi. Jadi dapat dibedakan tiga aspek pada proses evolusi
yaitu, diferensiasi struktural, spesialisasi fungsional dan integrasi yang meningkat
(Layendecker, 1983:302).
Dengan demikian, premis dasar teori stratifikasi sosial bahwa terdapat
perubahan struktur kelas seiring dengan proses transformaisi yang terjadi dalam
masyarakat. Pada awalnya ketika perubahan ke masa transisi industri kaum
fungsional seperti Parson melihat kekuatan utama yang membentuk stratifikasi social
adalah kemampuan ‘kapasitas adaptif’ (Sanderson, 1993:157). Kapasitas adaptif
adalah kecenderungan masyarakat untuk senantiasa ingin berkembang, kemampuan
masyarakat merespons lingkungan dan mengatasi berbagai masalah atau keterbatasan
yang selalu dihadapi manusia sebagai mahluk sosial. Makin besar masalah dan
tantangan yang dihadapi menurut Parson, makin besar kebutuhan akan stratifikasi.
Hal ini karena ketika masyarakat mengalami proses transformasi akan diikuti oleh
keunggulan efektifitas organisasi. Akan tetapi, asumsi yang dikembangkan teori ini
ternyata dianggap tidak mampu menjawab realitas dalam masyarakat, artinya
organisasi

yang

mengakomodasi

dimaksudkan
kepentingan

oleh

Parson

masyarakat.

ternyata

Bahkan

tidak

efektif

dalam

kecenderungannya

adalah

terjadinya bentuk-bentuk eksploitasi dalam masyarakat serta rawan menimbulkan
ekses-ekses konflik (Sanderson, 1993:158).
3.

Teori Surplus

22

Teori surplus atau dikenal dengan teori Lenski (Gerald Lenski) memiliki
orientasi materialistic dan berlandaskan teori konflik. Bahwa manusia adalah mahluk
yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya.
Individu berperilaku menurut kepentingan pribadi, bekerjasana dengan sesama jika
melihat kesempatan terbuka bagi kepentingannya. Asumsinya bahwa individu relatif
tidak pernah puas, dan individu mempunyai kemampuan yang berbeda dalam
mencapai keinginannya tersebut (Sanderson ,1993:159).
Lenski beranggapan, kesamaan dasar dapat terjadi dalam masyarakat dimana
kerjasama menjadi hal yang essensial dalam mencapai kepentingan individu. Individu
akan bekerjasama dengan sesama untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang.
Tetapi jika kondisi tidak memungkinkan, maka konflik dan stratifikasi akan terjadi.
Jika terjadi susplus, perebutan untuk menguasainya tidak dapat dihindari, dan surplus
akhirnya dikuasai oleh individu atau kelompok yang paling berkuasa. Surplus
produksi ekonomilah yang menyebabkan berkembangnya stratifikasi. Semakin besar
surplus, semakin besar pula stratifikasi yang terjadi. Sedangkan besarnya surplus
ditentukan oleh kemampuan teknologi masyarakat. Dengan demikian ada hubungan
erat antara derajat perkembangan teknologi dengan derajat stratifikasi (Sanderson,
1993:159).
4.

Teori Kelangkaan
Fenomena stratifiksi sosial dalam masyarakat transisi industri sebagaimana

dikaji melalui transformasi teknologi bukan merupakan faktor tunggal. Teori yang
dikembangkan oleh Harner, Fried dan Blumberg beranggapan bahwa penyebab utama
timbul dan semakin intensnya stratifikasi disebabkan oleh jumlah penduduk. Artinya
tekanan penduduk terhadap sumber daya menyebabkan masyarakat berusaha
menemukan cara-cara produksi yang efektif melalui penguasaan lahan, akan tetapi
karena sumber daya lahan tidak mampu mengatasi perkembangan penduduk akhirnya
timbul ‘egoisme’ dalam penguasaan lahan dan hubungan produksi. Perbedaan akses

23

terhadap sumber daya lahan muncul dan suatu kelompok memaksa kelompok lainnya
bekerja lebih keras untuk menghasilkan surplus ekonomi melebihi apa yang
dibutuhkan. Dengan demikian meningkatnya penduduk dan teknologi, perbedaan
akses terhadap sumber daya makin nyata, dan stratifikasi semakin intensif dengan
dorongan politik yang semakin besar (Sanderson, 1993:160).
5.

Teori Fenomenologis
Premis dasar teori struktural fungsional dan konflik yang memusatkan

kajiannya pada skala makro dianggap kurang relevan menjawab berbagai fenomena
stratfikasi social dalam masyarakat industry. Teori fenomenologi menekankan pada
aspek mikro atau hubungan antar individu. Salah satu tokoh terkenal ialah Randll
Collins yang mengatakan bahwa aktor dengan sumber daya material yang banyak
dapat menentang atau bahkan merubah hambatan material ini, sedangkan aktor
dengan sumber daya yang lebih sedikit, besar kemungkinan akan berpikir dan
bertindak berdasarkan keadaan material mareka (Ritzer dan Goodman, 2004:163).
Dikatakan lebih lanjut bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang
mengendalikan sumber daya kemungkinan akan mencoba mengeksploitasi kelompok
yang sumber dayanya terbatas. Akan tetapi bahwa eksploitasi demikian tidak selalu
menimbulkan kalkulasi sadar di pihak yang memperoleh keuntungan dari situasi
ketimpangan itu. Pihak yang mengeksploitasi semata-mata mengejar apa yang
mereka bayangkan menjadi kepentingan terbaik mereka. Yaitu mereka mungkin
mengambil keuntungan dari pihak yang sumber dayanya terbatas. Lebih luas lagi
bahwa kemungkinan kelompok dengan sumber daya dan berkuasa dapat memaksakan
system gagasan mereka terhadap seluruh masyarakat, sedangkan kelompok tanpa
sumber daya mempunyai sistem gagasan yang dipaksakan terhadap mereka.
6.

Stratifikasi Pada Masyarakat Nelayan

24

Pada dasarnya, penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut
Kusnadi (2002:1-2) dapat ditinjau dari tiga sudut pandang. Pertama, dari segi
penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jarring, dan
perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi ke dalam ketegori
nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nlayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki
alat-alat produksi dan dalam kegiatan produksi sebuah unit perahu, nelayan buruh
hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak-hak yang sangat
terbatas.
Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur
masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil.
Disebut nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha
perikanan relative banyak sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga,
dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat
nelayan terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayannelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih
dibandingkan dengan nelayan tradisional.
Nasution (2005) dalam penelitiannya di Sumatera Utara menemukan pola
stratifikasi pada masyarakat nelayan yaitu: 1) golongan pemilik kapal (pemodal) atau
diistilahkan “toke”, 2) golongan yang tidak memiliki modal ekonomi tetapi memiliki
modal lain diantaranya keahlian dan tenaga. Golongan yang memiliki keahlian
dimaksud seperti nahkoda dan teknisi, sedang yang memiliki modal tenaga adalah
yang berperan sebagai pekerja diluar nahkoda dan teknisi. Golongan yang memiliki
modal keahlian dan tenaga biasanya dikenal dengan nama buruh.
Sebagai perbandingan, ditemukan pola stratifikasi yang lebih luas pada petani
petambak seperti penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari, dkk (2002:107), bahwa
pada masyarakat petambak Desa Babulu Laut ditemui beberapa kelompok ponggawa
dan petambak. Kelompok ponggawa memiliki dua tipe yaitu: 1) ponggawa yang
memiliki dan menyakapkan lahan tambak, dan 2) ponggawa yang tidak memiliki
lahan tambak. Kelompok petambak terdiri tiga tipe yaitu: 1) petambak pemilik terikat

25

yang menyakapkan lahan tambaknya, 2) petambak pemilik terikat yang mengelola
lahan tambaknya sendiri, 3) petambak penyakap yang menggarap lahan tambak milik
ponggawa.
Sanderson

(1993:584)

menggambarkan,

bagaimana

masyarakat

yang

berstratifikasi cenderung menurunkan kualitas hidup karena beberapa individu dan
kelompok mencapai kontrol atas sumber-sumber daya produktif, maka mereka
mampu memaksakan individu-individu dan kelompok-kelompok lain untuk
menghasilkan surplus ekonomi dengan anggota-anggota kelompok dominan itu.
Dalam dunia pra-industri proses ini mencapai puncaknya dalam masyarakat agraris
dan memberi kontribusi yang sangat besar kepada rendahnya standar hidup para
petani. Dalam kapitalisme modern, sistem stratifikasi dunia yang didominasi oleh
golongan kapitalis inti merupakan penyebab penting rendahnya standar hidup orang
Dunia Ketiga.
D. Kelembagaan
1.

Konsep Kelembagaan
Pengertian lembaga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: pola

perilaku manusia yang mapan, terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu
kerangka nilai yang relevan. Sedangkan kelembagaan adalah segala sesuatu yang
berkaitan dengan lembaga. Horton and Hunt (1993:69) menyatakan bahwa lembaga
adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan
tata cara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat tertentu. Dengan
kata lain lembaga (institution) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu
tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau secara formal,
sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok
manusia. Lembaga adalah proses-proses terstruktur (tersusun) untuk melaksanakan
berbagai kegiatan tertentu (Horton and Hunt, 1993: 244). Selanjutnya dikatakan

26

lembaga termasuk di antara norma-norma masyarakat yang paling resmi dan bersifat
memaksa, dan ketika kebiasaan dan tata nilai di sekitar suatu kegiatan yang penting
menjadi terorganisasi ke dalam sistem keyakinan dan perilaku yang sangat formal dan
mengikat, maka suatu lembaga telah berkembang. Oleh karena itu menurutnya, suatu
lembaga mencakup: (1) seperangkat pola perilaku yang telah distandardisasi dengan
baik, (2) serangkaian tata kelakuan, sikap dan nilai-nilai yang mendukung dan, (3)
sebentuk tradisi, ritual dan upacara, simbol dan perlengkapan-perlengkapan lain.
Menurut Uphoff (1986: 8-9), istilah kelembagaan dan organisasi sering
membingungkan dan bersifat saling dipertukarkan (interchangeably). Secara
keilmuan, ‘social institution’ dan ‘social organization’ membicarakan hal yang sama,
untuk menyebut apa yang dalam khasanah sosiologi sebagai kelompok sosial, grup,
social

form,

dan

lain-lain.

Namun,

pada

perkembangan

terakhir,

istilah

“kelembagaan” lebih sering digunakan untuk makna yang mencakup keduanya
sekaligus. Kelembagaan lebih dipilih karena kata “organisasi” menunju