Hubungan Dan Teman Sebaya (1)

TEMAN SEBAYA

PAPER
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Karakteristik Peserta Didik
yang dibina oleh Bapak Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd

Oleh
Febrianita Putri Solihah
L Muh Zulqutbi Azhari

NIM 152103806564
NIM 152103806222

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS PASCASARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN DASAR
2015

A. Hubungan Teman Sebaya

1. Fungsi Kelompok Teman Sebaya
Sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan kedewasaan yang kira-kira
sama. Sebaya memiliki peranan yang unik didalam perkembangan anak. Salah
satu fungsi terpenting sebaya adalah memberikan sumber informasi dan
perbandingan tentang dunia diluar kehidupan keluarga. Anak-anak menerima
umpan balik tentang kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya mereka.
Mereka mengevaluasi diri dengan mempertanyakan, apakah yang mereka lakukan
lebih baik, sama baiknya, ataukah lebih buruk dari apa yang dilakukan anak lain.
Sedangkan di rumah sulit melakukan evaluasi seperti itu, karena saudara mereka
bisaanya lebih tua atau lebih muda.
Selain memberikan sumber informasi dan perbandingan, interaksi
kelompok teman sebaya memenuhi kebutuhan sosioemosional. Anna Freud
(Freud & Dann, 1951) mempelajari enam anak dari keluarga yang berbeda yang
hidup bersama setelah orang tua mereka terbunuh dalam Perang Dunia II.
Keterikatan sebaya yang intensif diobsservasi; anak-anak tersebut membentuk
kelompok yang berikatan erat, saling bergantung, dan terpisah dari orang luar.
Walaupun tanpa asuhan orang tua, mereka tidak menjadi nakal atau psikotis.
Hubungan kelompok teman sebaya yang baik diperlukan untuk
perkembangan sosioemosional yang normal. Ketika monyet-monyet sebaya yag
telah dibesarkan bersama-sama dipisahkan, mereka mengalami depresi dan

mundur dari pergaulan sosial (Suomi, Harlow, & Domek, 1970). Anak-anak yang
menarik diri, ditolak oleh teman sebayanya, atau menjadi korban dan merasa
kesepian, memiliki resiko untuk mengalami depresi. Anak-anak yang bersikap
agresif terhadap teman sebaya juga memiliki resiko mengalami beberapa masalah,
termasuk kenakalan remaja dan putus sekolah (Bukowski & Adams, 2005; Coie,
2004; Ladd, 2006; Mastern, 2005).
Jean Piaget (1932) dan Harry Stack Sullivan (1953) memberikan
penjelasan tentang peran teman sebaya dalam perkembangan sosioemosional.
Mereka menekankan bahwa melelui interaksi sebayalah anak-anak dan remaja
belajar berinteraksi hubungan yang simetris dan saling memberikan pengaruh.
Karena orang tua memiliki pengetahuan dan otoritas yang lebih besar daripada

anak, interaksi orang tua dan anak sering kali bernuansa mengajarkan kepada anak
tentang bagaimana menyesuaikan diri dengan peraturan dan regulasi. Sebaliknya,
hubungan sebaya lebih cenderung terjadi secara setara. Dengan teman sebaya
anak-anak belajar menggabungkan dan mengungkapkan pendapat mereka,
menghargai sudut pandang teman, menegosiasikan solusi atas perselisihan secara
kooperatif, dan mengubah standar perilaku yang diterima oleh semua. Mereka
juga belajar menjadi pengamat yang cermat terhadap minat dan perspektif teman
sebayanya dalam rangka mengintegrasikan diri secara lebih baik dalam aktivitas

pertemanan.
Sebagai tambahan, Sullivan mengatakan bahwa remaja belajar menjadi
pasangan yang terampil dan sensitive dalam hubungan intim dengan membentuk
persahabatan yang erat dengan teman sebaya yang telah dipilih. Keterampilan ini
diteruskan pada masa selanjutnya untuk membantu pembentukan dasar dari
hubungan ppercintaan dan perkawinan. Demikian menurut Sullivan.
Menurut Piaget dan Lawrence Kohlberg, melalui hubungan teman sebaya
dengan memberi dan menerima, anak-anak mengembangkan pemahaman sosial
dan logika moral mereka. Anak-anak menggali prinsip keadilan dan kebaikan
dengan menghadapi perselisihan pada hubungan teman sebayanya.
Tentu saja hubungan teman sebaya bisa negative maupun positif
(Bukowski &Adams, 2005; Kupersmidt & DeRosier, 2004). Ditolak atau
diabaikan oleh teman sebaya membuat beberapa anak merasa kesepian dan
dimusuhi. Lebih jauh, penolakan dan pengabaian oleh teman sebaya berhubungan
dengan kesehatan mental individu dan masalah criminal (Bukowski & Adams,
2005; Dodge, Coie, & Lynam, 2006; Masten, 2005). Beberapa teori juga telah
menjelaskan budaya teman sebaya memberikan pengaruh buruk dengan
melemahkan nilai dan control orang tua. Teman sebaya dapat memperkenalkan
remaja kepada alcohol, obat-obatan, kenakalan, dan bentuk lain dari perilaku yang
dipandang orang dewasa sebagai adaptasi yang salah.

Ketika membaca tentang teman sebaya, perlu diingat terdapat penemuan
juga tentang pengaruh teman sebaya itu bervariasi, yakni tergantung pada cara
pengukuran pengalaman pertemanan, hasil yang dinyatakan, dan kurva
perkembangan yang terbentuk (Hartup & Laursen, 1999). “Teman sebaya” dan

“kelompok teman sebaya” adalah konsep global. Sebuah kelompok teman sebaya
pada tingkat remaja mungkin terdiri dari orang-orang lingkungan tetangga, orangorang yang direkomendasikan, jemaat gereja, tim olahraga, kelompok sahabat,
dan teman (Brown, 1999). Pengaruh teman sebaya atau kelompok teman sebaya
bergantung pada latar dan konteks spesifiknya.
2. Tahap Perkembangan dalam Hubungan Teman Sebaya pada Masa
Kanak-kanak
Beberapa peneliti menyatakan bahwa, kualitas interaksi sebaya pada masa
bayi memberikan informasi berharga tentang perkembangan sosioemosional
(Vandell, 1985). Sebagai contoh, dalam suatu penyelidikan, pengaruh positif
dalam hubungan sebaya pada saat bayi berpengaruh pada kemudahan masuk
kedalam kelompok bermain teman sebaya diawal masa kanak-kanak karena telah
dikenal. (Howes, 1985). Ketika semakin banyak anak yang diasuh di tempat
pengasuhan, interaksi dengan teman sebaya pada masa bayi memiliki peran lebih
penting pada perkembangan sosioemosionalnya.
Pada usia 3 tahun, anak-anak sudah lebih suka menghabiskan waktu

dengan teman bermain yang berjenis kelamin sama dibandingkan dengan teman
berjenis kelamin berbeda, dan kesukaan tersebut meningkat pada masa awal
kanak-kanak. Selama tahun ini, frekuensi interaksi dengan teman sebaya, baik
yang positif maupun negative, meningkat cukup tajam (Hartup, 1983). Walaupun
interaksi agresif dan permainan yang kasar meningkat, adanya penurunan proporsi
pertukaran yang agresif dibandingkan dengan pertukaran yang ramah. Banyak
anak-anak prasekolah menghabiskan waktu yang cukup lama dalam interaksi
dengan teman sebaya hanya dengan mengobrol dengan teman bermain tentang
“menegosiasikan peran dan aturan dalam permainan, perdebatan, dan persetujuan”
(Rubin, Bukowski, & Paker, 2006).
Ketika anak memasuki sekolah dasar, sifat saling memberikan kontribusi
menjadi sangat penting dalam hubungan teman sebaya. Anak-anak bermain,
berkelompok, dan membina persahabatan. Hingga kira-kira usia 12 tahun,
kesukaan mereka dengan kelompok berjenis kelamin sama menjadi meningkat.
Jumlah waktu yang dihabiskan anak-anak dalam interaksi dengan teman sebaya
mengalami peningkatan. Kira-kira 10% ketika umur 2 tahun menjadi lebih dari

30% pada pertengahan atau akhir kanak-kanak (Rubin, Bukowski, & Parker,
2006). Dalam studi terdahulu, anak-anak berinterakis dengan sebayanya dengan
10% dari hari mereka pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari

40% pada usia antar 7 dan 11 tahun. Hari sekolah bisaanya mencakup 299
interaksi dengan sebayanya (Barker & Wright, 1951). Perubahan lainnya dalam
hubungan teman sebaya ketika anak beranjak dari pertengahan dan akhir masa
kanak-kanak adalah meningkatnya ukuran kelompok pertemanan dan interaksi
pertemanan yang lebih sedikit diawasi oleh orang dewasa (Rubin, Bukowski, &
Parker, 2006).
Interaksi yang banyak tersebut memiliki bentuk yang bervariasi yaitu
kooperatif dan kompetitif, bising dan hening, bergembira dan memalukan.
Semakin terbukti bahwa gender memainkan peran penting dalam interaksi ini
(Ruble, Martin, & Berenbaum, 2006; Sebanc, dkk, 2003; Underwood, 2004).
Gender tidak hanya memengaruhi komposisi kelompok anak, tetapi juga ukuran
dan interaksi didalamnya (Maccoby, 1998, 2002). Dari sekitar usia 5 tahun ke
atas, anak laki-laki cenderung berorientasi dalam kelompok yang jumlahnya lebih
besar daripada anak perempuan; anak perempuan lebih cenderung bermain dalam
kelompok berisi dua atau tiga anak dibandingkan dengan anak laki-laki.
Kelompok anak laki-laki lebih cenderung terlibat dalam permainan yang kasar,
kompetisi, konflik, pertunjukan ego, mengambil resiko, dan mencari dominasi.
Sebaliknya, kelompok perempuan lebih cenderung terlibat dalam percakapan
kolaboratif (Leman, Ahmed, & Ozarow, 2005).
3. Dunia Hubungan Orang Tua-Anak dan Hubungan Teman Sebaya yang

Berbeda namun Terkoordinasi
Orang tua memberikan pengaruh terhadap hubungan pertemanan sebaya
anak melalui banyak cara, baik langsung maupun tidak langsung. Karena suatu
hal, orang tua mungkin saja melatih anaknya tentang cara berinteraksi dengan
sebayanya (Ladd & Pettit, 2002). Dalam satu investigasi, orang tua menunjukkan
bahwa mereka merekomendasikan strategi tertentu kepada anak mereka terkait
dengan hubungan sebaya (Rubin & Sloman, 1984). Sebagai contoh, orang tua
memberi tahu anak bagaiman cara menengahi pertengkaran atau bagaiman

menjadi tidak terlalu pemalu terhadap orang lain. Mereka juga mendorong anak
mereka agar lebih toleran dan melawan tekanan teman sebaya.
Orang tua juga memengaruhi hubungan sebaya anak mereka melalui cara
mereka mengatur kehidupan anak mereka dan kesempatan mereka untuk
berinteraksi dengan sebaya (Collins & Steinberg, 2006). Satu studi menemukan
bahwa orang tua yang sering memulai kontak sebaya untuk anak mereka yang
berusia prasekolah memiliki anak-anak yang lebih diterima oleh teman sebaya
mereka dan memiliki tingkat perilaku prososial yang lebih tinggi (Ladd &Hart,
1992). Lebih jauh, keputusan gaya hidup dasar oleh orang tua-pilihan lingkungan
tetangga mereka, gereja, sekolah, dan teman mereka sendiri-banyak menentukan
tempat anak mereka memilih teman (Cooper & Ayers-Lopez, 1985). Sebagai

contoh, sekolah yang dipilih menentukan kegiatan akademis dan ekstrakurikuler
tertentu, yang dapat mempengaruhi anak seperti apakah yang ditemui anak
mereka, tujuan anak berinteraksi, dan akhirnya anak mana yang menjadi teman
mereka. Sekolah yang dipilih mungkin juga memiliki kebijakan yang
memengaruhi hubungan pertemanan sebaya anak. Sebagai contoh, di dalam
pembelajaran kelas yang gurunya mendorong hubungan kooperatif, hal tersebut
akan menyebabkan sedikit anak yang terisolasi.
Orang tua bisa juga memengaruhi hubungan sebaya anak mereka dengan
cara yang lebih dalam dan secara tidak terlihat (Rubin, Bukowski, & Parker,
2006). Sejumlah teoretisi dan peneliti mengatakan bahwa hubungan orang tua
dengan anak berfungsi sebagai dasar emosional untuk menjelajahi dan menikmati
hubungan sebaya (Carlson, Sroufe, & Egeland, 2004; Sroufe dkk, 2005). Dalam
satu studi, sejarah hubungan orang tua-anak dari setiap sebaya membantu
memprediksi sifat hubungan sebaya (Olweus, 1980). Beberapa anak laki-laki
sangat agresif (penggertak/bully) dan anak laki-laki yang lain cenderung
menerima (korban) sepanjang masa prasekolah mereka. Anak penggertak dan
korban memiliki sejarah hubungan yang berbeda. Orang tua si anak penggertak
sering menolak mereka, dan keluarga anak tersebut ditandai dengan adanya
percecokan. Sebaliknya orang tua si anak korban adalah pengkhawatir dan terlalu
protektif, melakukan pengawasan khusus untuk menghindarkan anak mereka dari

tindakan menyerang. Anak-anak yang menyesuaikan diri dengan baik dalam

hubungan teman sebaya tersebut cenderung tidak terlibat dalam hubungan sebaya
yang agresif disbanding anak-anak penekan dan penerima tindakan menyerang.
Orang tua mereka tidak menghukum perilaku agresif, dan keterlibatan mereka
dengan anak mereka yang telah memberikan dampak dengan terbentuknya sifat
asertif.
Apakah hasil tersebut menunjukkan bahwa hubungan sebaya anak terkait
erat dengan hubungan orang tua-anak (Hartup & Laursen, 1999). Walaupun
hubungan orang tua-anakmemengaruhi hubungan pertemanan sebaya anak, anakanak juga belajar gaya berhubungan yang lain dalam hubungan mereka dengan
sebayanya.
Kesimpulannya, dunia orang tua-anak dan sebaya terkoordinasi dan saling
berhubungan (Ladd & Pettit; Maccoby, 1996). Namun, dunia mereka juga
berbeda. Permainan perkelahian/ kasar dimaninkan terutama dengan anak lain,
bukan dalam interaksi orang tua-anak. Pada saat stress, anak-anak sering
berpaling ke orang tua untuk meminta dukungan dan bukan teman sebayanya.
Dalam hubungan orang tua-anak, anak-anak belajar bagaimana berhubungan
dengan figure pemegang otoritas. Dengan sebaya mereka, anak-anak lebih
cenderung beinteraksi dalam posisi yang jauh lebih setara dan belajar model
berhubungan yang didasai oleh pengaruh timbal balik.

4. Kognisi dan Emosi Sosial
Mariana mengharapkan semua teman bermainnya mengizinkannya
memainkan mainan setiap kali dia minta. Ketika Josh tidak diilih dalam tim di
tempat bermain, dia berpikir bahwa teman-temannya memusuhinya. Kedua hal
tersebut merupakan contoh dari kognisi sosial yang melibatkan pemikiran tentang
masalah-masalah sosial (Lewis & Carpendale, 2004). Bagaimana kognisi sosial
anak berkontribusi terhadap hubungan sebaya mereka? Ada 3 kemungkinan yakni
kemampuan menentukan perspektif, kemampuan pemrosesan informasi sosial,
dan pengetahuan sosial mereka.
a. Kemampuan Menentukan Perspektif
Ketika anak memasuki masa sekolah dasar, baik interaksi dengan sebaya
maupun kemampuan menentukan perspektif mereka meningkat. Penentuan
perspektif melibatkan penerimaan terhadap perspektif orang lain. Peneliti telah

mencatat hubungan antara kemampuan melihat perspektif dengan kualitas
hubungan teman sebaya, terutama pada masa sekolah dasar (LeMare & Rubin
1987).
Melihat perspektif adalah bagian yang penting karena hal tersebut
membantu anak berkomunikasi secara efektif. Dalam satu penyelidikan,
komunikasi diantara sebaya di taman kanak-kanak, kelas satu, tiga, dan lima

dievaluasi (Krauss & Gluckberg, 1969). Anak-anak diminta memberikan intruksi
kepada anak sebaya lainnya tentang cara menumpuk satu set balok. Anak sebaya
tersebut duduk di belakang layar dengan blok yang sama dengan yang sedang
disusun oleh si anak. Anak-anak TK membuat sangat banyak kesalahan dalam
member tahu sebayanya entang cara meniru tumpukan blok yang dibuatnya.
Anak-anak yang lebih tua, terutama anak kelas lima, jauh lebih baik dalam
melihat perspektif dan memikirkan bagaimana cara berbicara kepada sebayanya
agar dapat memahami apa yang ia intruksikan. Di sekolah dasar, anak-anaak juga
menjadi lebih efisien dalam memahami pesan yang kompleks. Jadi, kemampuan
mendengarkan sebaya dalam percobaan ini mungkin membantu komunikasi
sebaya tersebut juga.
b. Kemampuan Pemrosesan Informasi Sosial
Bagaimana anak memproses informasi tentang hubungan teman sebaya
juga memengaruhi hubungan tersebut (Dodge, Coie, & Lynam, 2006; GiffordSmith & Rabiner, 2004). Sebagai contoh, misalnya Andrew secara tidak sengaja
menabrak dan menjatuhkan minuman Alex. Alex mengartikan tindakan Andrew
kasar, yang membuatnya membala perbuatan Andrew dengan agresif. Melalui
pertemuan seperti tersebut dengan tingkat yang berulang-ulang, teman- teman lain
akan memnadang Alex sebagai orang yang terbiasa berlaku tidak pantas.
Peneliti hubungan sebaya Kenneth Dogde (1993) mengatakan bahwa
anak-anak dalam memproses informasi tentang dunia sosial dengan melalui lima
langkah yaitu mendekode petunjuk sosial, menerjemahkan, mencari respons,
memilih respon optimal, dan menerapkannya. Dodge telah menemukan bahwa
anak yang agresif lebih cenderung mempersepsi tindakan anak lain sebagai
tindakan kasar ketika maksud si anak lain tersebut belum jelas, dan ketika anak
agresif mencari petunjuk untuk menentukan maksud dari sebayanya, mereka

merespon lebih cepat, kurang efisien, dan kurang reflektif disbanding anak yang
tidak agresif.
c. Pengetahuan Sosial
Kemampuan anak untuk akur dengan teman sebayanya juga bergantung
pada pengetahuan sosial. Anak-anak perlu mengetahui tujuan apa yang
seharusnya dikejar ketika situasi tidak jelas, bagaimana memulai dan memelihara
ikatan sosial, dan scenario apa yang harus diikuti untuk berteman. Sebagai contoh,
sebagai bagian dari scenario berteman, anak-anak akan terbantu jika mengetahui
bahwa mengatakan hal-hal yang baik, terlepas dari apa pun yang dilakukan atau
dikatakan sebayanya, akan membuat teman sebayanya lebih menyukai si anak.
Perspektif kognitif sosial memandang anak yang tidak bias menyesuaikan
diri mengalami kekurangan kemampuan kognitif sosial untuk berinteraksi secara
efektif dengan orang lain. (Rabiner dkk, 1991). Satu investigasi mengidentifikasi
anak-anak dengan dan tanpa kesulitan penyesuaian diri dengan teman sebayanya
dan mengukur kemampuan kognitif sosial mereka (Asarnow & Callan, 1985).
Anak-anak tanpa masalah penyesuaian diri dengan teman sebayanya
menghasilkan lebih banyak solusi alternative bagi masalah, menunjukkan
perencanaan yang lebih adaptif, dan memiliki respons fisik agresif yang lebih
sedikit dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki masalah penyesuaian diri
dengan sebayanya.
Emosi memainkan peranan penting dalam hubungan sebaya dan bukan
hanya kognisi. Sebagai contoh, kemampuan untuk mengatur emosi memiliki
hubungan dengan kesuksesan dalam hubungan sebaya (Orobio de Castro dkk,
2005; Rubin, Bukowski, & Parker, 2006; Underwood & Hurley, 1997). Individu
dengan mood/ keadaan emosi yang berubah-ubah dan negative secara emosional,
mengalami penolakan yang lebih banyak oleh sebayanya, sementara individu
yang positif secara emosional akan lebih disenangi oleh sebayanya (Saarni, 1999).
Anak-anak yang memiliki kemampuan mengatur diri yang efektif dapat meredam
ekspresi emosional mereka dalam konteks yang memunculkan emosi yang intens,
seperti ketiak teman sebayanya mengatakan sesuatu yang negative (Orobio de
castro, dkk. 2005). Dalam satu studi, anak-anak yang ditolak lebih cenderung

menggunakan bahasa tubuh negative dalam situasi yang menghasut dibandingkan
dengan anak-anak yang disukai (Underwood & Hurley, 1997).
Sebuah studi baru-baru ini berfokus pada aspek emosional dari
pemrosesan informasi sosial pada ank-anak yang agresif (Orobio de Castro dkk,
2005). Anak-anak yang sangat agresif dan sebuah control dari kelompok yang
terdiri dari anak-anak kurang agresif, menunjukkan sketsa provokasi yang
melibatkan sebaya. Anak-anak yang sangat agresif menunjukkan lebih sedikit rasa
bersalah, menunjukkan maksud yang kasar, dan menghasilkan strategi pengaturan
emosi yang kurang adaptif dibandingkan kelopok anak pembanding.
5. Status Sebaya
Anak seperti apakah yang cenderung popular/ disukai daintara sebayanya
dan yang seperti aakah anak yang tidak disukai? Ahli perkembangan menjawab
pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan cara meneliti status
sosiometrik, suatu istilah yang menjelaskan sejauh mana anak disukai atau tidak
disukai oleh kelompok sebaya mereka (Cillessen & Mayeux, 2004; Rubin,
Bukowski, & Parker, 2006). Status sosiometrik biasanya diukur dengan meminta
anak-anak mengukur sejauh mana mereka atau tidak menyukai masing-masing
teman sekelas mereka. Status sosiometrik juga bias diukur dengan meminta anakanak meniminasikan anak yang paling mereka sukai dan anak yang paling tidak
mereka sukai.
Ahli perkembangan telah membedakan lima status sebaya (Wentzel &
Asher, 1995):
 Anak-anak populer, sering dinominasikan sebagai sahabat dan jarang tidak
disukai oleh sebaya mereka.
 Anak-anak rata-rata, menerima nominasi positif dan negative rata-rata dari
sebaya mereka.
 Anak-anak yang diabaikan, jarang dinominasikan sebagai sahabat tetapi tidak
dibenci oleh sebaya mereka.
 Anak-anak yang ditolak, jarang dinominasikan sebagai sahabat dan dibenci
secara aktif oleh sebaya mereka.
 Anak-anak kontroversial, sering dinominasikan sebagai teman baik tetapi juga
sebagai sosok anak yang tidak disukai.

Anak-anak popular memiliki sejumlah kemampuan social yang membantu
mereka menajdi disukai. Peneliti telah menemukan bahwa anak yang popular
dalam tindakannya ia menguatkan, mendengarkan lebih baik, memlihara jalur
komunikasi yang terbuka dengan sebaya, bahagia, mengendalikan emosi negative
mereka, menjadi dirinya sendiri, menunjukkan antusiasme, dan kepedulian pada
orang lain, serta lebih percaya diri tanpa memuji diri sendiri (Hartup, 1983;
Rubin, Bukowski, & Parker, 2006).
Anak-anak yang diabaikan terlibat dalam tingkat interaksi yang rendah
dengan sebaya mereka dan sering digambarkan sebagai anak yang pemalu oleh
teman sebaya mereka. Anak-anak yang ditolak sering kali memiliki masalah
penyesuaian yang lebih serius disbanding anak-anak yang diabaikan (Coie, 2004;
Hay, Payne, & Chadwick, 2004; parker & Asher, 1987; Rubin, Bukowski, &
Parker, 2006; Sandstom & Zakriski, 2004). Satu studi terbaru menemukan bahwa,
di taman kanak-kanak, anak-anak yang ditolak oleh sebaya mereka cenderung
kurang terlibat dalam partisipasi di kelas, lebih cenderung mengutarakan
keinginan untuk menghindari sekolah, dan cenderung lebih sering merasa
kesepian disbanding anak-anak yang diterima oleh sebaya mereka (Buhs & Ladd,
2001).
a. Penolakan dan Tindakan menyerang Sebaya
Kombinasi antara ditolak oleh sebaya dan bersikap agresif menunjukkan
adanya masalah (Ladd, 2006; Rubin, Bukowski, & Parker, 2006). Satu studi
mengevaluasi 112 anak kelas lima selama kurun waktu tujuh tahun hingga akhir
masa sekolah (Kupersmidt & Coie, 1990). Faktor terbaik untuk memprediksi
apakah anak-anak yang ditolak akan terlibat dalam kenakalan remaja atau putus
sekolah kelak adalah sebuah tindakan terhadap sebaya pada masa sekolah dasar.
Studi terbaru lainnya menemukan bahwa anak kelas tiga yang sanagt agresif dan
ditolak oleh sebaya mereka menunjukkan tingkat kenakalan yang lebih tinggi
sebagai remaja dan pemuda dibandingkan anak-anak lain (Miller-Johnson, Coie,
& Malone, 2003).
Analisis terbaru oleh John Coie (2004, pp. 252-253) memberikan tiga
alasan mengapa anak-anak agresif yang ditolak oleh sebaya memiliki masalah
dalam hubungan sosial:

 Pertama, anak-anak agresif yang ditolak tesebut lebih impulsive dan memiliki
masalah dalam mempertahankan perhatian. Hasilnya, mereka lebih berderung
mengacau dalam kegiatan di kelas dan dalam permainan kelompok.
 Kedua, anak-anak agresif yang ditolak tersebut lebih reaktif secara emosional.
Kemarahan mereka lebih mudah tersulut dan mereka mungkin lebih sulit
menenangkan diri ketika marah. Karena hal ini, mereka lebih cenderung
marah pada sebaya dan menyerang secara verbal dan fisik.
 Ketiga, anak-anak yang ditolak memiliki kemampuan sosial berteman yang
lebih sedikit dan mempertahankan hubungan yang positif dengan sebaya.
Tidak semua anak yang ditolak bersifat agresif (Dodge, Coie, & Lynam,
2006, Haselager dkk, 2002, Hymel, McDougall, & Renshaw, 2004). Walaupun
tindakan menyerang dan karakter impulsif serta tindakan mengacau yang terkait
dengannya mendasari setengah dari penolakan, kira-kira 10 sampai 20 persen dari
anak-anak yang ditolak bersifat pemalu.
b. Program pelatihan kemampuan Sosial
Bagaimana anak-anak yang diabaikan dan ditolak dapat dilatih untuk
berinteraksi lebih efektif dengan sebaya mereka? Tujuan dari banyak program
pelatihan bagi anak-anak yang diabaikan adalah membantu mereka untuk dapat
menarik perhatian dari sebaya mereka dengan cara yang positif dan
mempertahankan perhatian mereka dengan mengajukan pertanyaan,
mendengarkan dengan cara yang hangat dan ramah, dan mengatakan hal-hal
tentang diri mereka yang berhubungan dengan minat sebaya tersebut. Mereka juga
diajar untuk memasuki kelompok secara lebih efektif.
Bagi anak-anak yang ditolak, program pelatihan mungkin mengajarkan
bagaimana menilai secara lebih akurat apakah maksud sebaya mereka negatif.
Anak-anak yang ditolak juga bias diminta terlibat dalam permainan peran atau
mendiskusikan situasi hipotesis yang melibatkan perjumpaan negative dengan
sebaya, seperti ketika sebaya mereka menyela dalam antrian. Dalam beberapa
program, anak-anak diajak menonton rekaman video tentang interaksi sebaya
yang semestinya, lalu mereka diminta mengomentarinya dan menarik pelajaran
dari apa yang telah mereka tonton (Ladd, Buhs, Troop, 2004).

Campur tangan satu program kemampuan soasial baru-baru ini berhasil
meningkatkan penerimaan social dan nilai diri serta menurunkan depresi dan
kecemasan pada anak anak yang ditolak oleh sebayanya (DeRoiser & Marcus,
2005). Para siswa berpartisipasi dalam program tersebut sekali seminggu (50
hingga 60 menit) selama delapan minggu. Program ini mencakup instruksi tentang
cara mengelola emosi, bagaimana memperbaiki kemampuan prososial, bagaimana
menjadi komunikator yang lebih baik, serta cara berkompromi dan bernegosiasi.
Walaupun beberapa program berusaha meningkatkan kemampuan social
para remaja menunjukkan hasil yang ppositif, peneliti sering merasa kesulitan
memperbaiaki kemampuan social dari remaja yang secara aktif tidak disukai dan
ditolak. Banyak dari remaja ditolak karena mereka agresif atau impulsive dan
kurang memiliki pengendalian dirii untuk menahan perilaku tersebut. Walaupun
demikian, beberapa program telah berhasil mengurangi perilaku agresif dan
impulsive dari para remaja tersebut (Ladd, Buhs, & Troop, 2004).
Program pelatihan kemampuan social secara umum lebih berhasil
diterapkan pada anak usia 10 tahun atau lebih muda disbanding para remaja
(Malik & Furman, 1993). Reputasi sebaya menjadi lebih permanen ketika cocok
dan kelompok sebaya menjadi lebih jelas pada masa remaja. Begitu remaja
memperoleh reputasi negative diantara sebayanya sebagai “jahat”, “aneh”,
“penyendiri”, sikap kelompok sebaya tersebut sering kali lambat berubah,
bahakan setelah perilaku negative tersebut telah diperbaiki. Jadi, peneliti telah
menemukan bahwa campur tangan keterampilan social mungkin perlu didukung
dengan usaha untuk mengubah pikiran sebaya. Satu strategi campur tangan
semacam itu membutuhkan pelatihan kelompok kerja sama (Slavin, Hurley, &
Chamberlain, 2003). Dalam pendekatan ini, anak-anak atau remaja mencapai
suatu tujuan bersama yang menjanjikan perubahan reputasi. Kebanyakan program
kelompok kerja sama diselenggarakan dalam konteks akademik, namun konteks
lain bias digunakan. Sebagai contoh, partisipasi dalam permainan dan olahraga
kerja sama meningkatkan aktivitas berbagi dan perasaan bahagia.
6. Bullying (Menggertak)
Sangat banyak siswa yang menjadi korban bullying (DeRosier & Marcus,
2005; Espelage & Swearer, 2004; Hanish & Guerra, 2004). Dalam satu survei

nasional baru-baru ini terhadap lebih dari 15.000 siswa kelas enam hingga kelas
sepuluh, hampir 1 dari setiap 3 siswa mengatakan bahwa mereka kadang-kadang
atau sering menjadi korban bullying (Nansel dkk., 2001). Dalam studi ini,
bullying didefinisikan sebagai perilaku verbal dan fisik yang ditujukan untuk
mengganggu orang lain yang lemah. Seperti ditunjukkan dalam gambar dibawah
ini, diejek mengenai tampang atau cara bicara adalah tipe bullying yang paling
sering terjadi.

Gambar tentang perilaku bullying di kalangaan pemuda AS.

Siapa yang kemungkinan besar menjadi korban bullying? Dalam studi
yang dijelaskan tadi, anak-anak dan siswa sekolah menengah yang berumur lebih
muda lebih berkemungkinan untuk berpengaruh (Nansel dkk., 2001). Anak-anak
yang menagtakan dirinya menjadi korban bullying mengaku lebih sering kesepian
dan mengalami kesulitan dalam berteman, sementara anak-anak yang melakukan
bullying lebih cenderung memiliki nilai rendah, merokok, dan minum alcohol.
Peneliti telah menemukan bahwa anak-anak yang cemas, menarik diri secara

sosial, dan agresif sering kali menjadi korban bullying (Hanish & Guerra, 2004).
Anak-anak yang cemas dan menarik diri secara social mungkin adalah korban
bullying karena mereka tidak mengancam dan cenderung tidak membalas jika
digertak, sedangkan anak-anak yang agresif mungkin menjadi sasaran bullying
karena perilaku mereka menyebalkan bagi para pelaku bullying (Rubin, Bukoeski,
& Parker, 2006).
Apa akibat bullying? Sebuah studi terbaru terhadap anak-anak usia 9
hingga 12 tahun di Belanda menemukan bahwa korban bullying lebih banyak
mengalami sakit kepala, masalah tidur, sakit perut, perasaan lelah, dan depresi
dibandingkan anak-anak yang tidak mengalami bullying (Fekkes, Pijpers, &
Verloove-Vanhorick, 2004). Suatu studi terhadap siswa kelas enam di AS meneliti
tuga kelompok: pelaku bullying, korban, dan anak-anak yang menjadi pelaku
sekaligus korban bullying (Juvonen, Graham, & Schuster, 2003). Korban
sekaligus pelaku bullying adalah kelompok yang paling bermasalah. Mereka
menunjukkan tingkat masalah perilaku, sekolah, dan hubungan yang paling tinggi.
Walaupun mengalami peningkatan masalah perilaku, pelaku bullying menikmati
posisi tertinggi dari tiga kelompok tersebut diantara teman-teman sekelas mereka.
Untuk membaca lebih jauh tentang bullying, lihatlah interlude penelitian dalam
perkembangan anak.
Penelitian dalam Perkembangan Anak
Korban Agresif, Korban Pasif, dan Bully
Satu studi terbaru meneliti hingga sejauh mana korban agresif (yang
memengaruhi sebaya mereka dan merespons ancaman dan serangan dengan agresi
yang reaktif), korban pasif (yang menyerah pada kemauan aggressor) dan bully
(yang bertindak agresif terhadap sebaya namun jarang dibalas) menunjukkan
proses perkembangan yang berbeda (hanish & Guerra, 2004). Anak-anak tersebut
dinilai pertama kali pada kelas 4, lalu dinilai lagi pada kelas enam.
Peringkat sosiometrik sebaya digunakan untuk mengidentifikasi korban
agresif, korban pasif, bully, anak-anak yang tidak terlibat, dan anak rata-rata. Tiap
anak menerima sebuah buklet berisi daftar acak (diisahkan berdasarkan gender)
nama dari semua anak dalam kelas. Anak-anak tersebut diminta menandai semua
nama teman sebayanya yang sesuai dengan pertanyaan tertentu, yang mencakup

item pengukur agresi (sebagai contoh, “Siapa yang senang berkelahi tanpa
sebab?”) dan korban (sebagai contoh, “Siapa anak yang sering disalahkan?”).
Hasilnya menunjukkan bahwa “korban agresif kurang superior (prevalens)
sementara korban pasif serta bully lebih superior berdasarkan usia. Walaupun
sudah umum bagi korban agresif dan bully untuk berpindah dari satu kelompok ke
kelompok lainnya, ada sedikit tumpang tindih dengan kelompok korban pasif”
Untuk mengurangi bullying, sekolah dapat melakukan hal-hal berikut
(Cohn & Canter, 2003; Limber, 1997, 2004):
1. Menunjuk sebya yang lebih tua sebagai pemantau bullying dan melerai ketika
mereka melihat hal tersebut terjadi.
2. Menetapkan aturan dan sanksi sekolah terhadap bullying dan
mengumumkannya di seluruh lingkungan sekolah.
3. Membentuk kelompok persahabatan bagi remaja yang sering mengalami
bullying oleh sebaya.
4. Memasukkan pesan program antibullying ke dalam tempat ibadah, sekolah,
dan konteks lainnya dimana remaja terlibat dalam kegiatan masyarakat.
5. Mendorong orang tua untuk menguatkan perilaku positif anak mereka dan
meneladankan interaksi interpersonal yang semestinya.
6. Mengidentifikasi bully dan korban sejak dini dan menggunakan pelatihan
keterampilan sosial untuk memperbaiki perilaku mereka.
Orang tua dapat mengikuti langkah berikut untuk mengurangi bullying
(Cohn &Canter, 2003):
1. Menghubungi psikolog sekolah, konselor, atau pekerja sosial dan meminta
bantuan tentang anak mereka yang melakukan bullying atau menjadi korban.
2. Terlibat dalam program sekolah memrangi bullying.
3. Menguatkan perilaku positif anak mereka dan mencontohkan interaksi yang
tidak melibatkan bullying atau tindakan menyerang.
B. Permainan Dalam Teman Sebaya
Sebagian besar interaksi teman sebaya selama masa
kanak-kanak melibatkan permainan. Tetapi walaupun
interaksi teman sebaya dapat melibatkan permainan,
permainan sosial bukanlah satu jenis permainan. Permainan

(play) adalah suatu kegiatan yang menyenangkan yang
dilaksanakan untuk kepentingan itu sendiri.
Permainan meningkatkan afliasi dengan teman sebaya,
mengurangi tekanan, meningkatkan perkembangan kognitif,
meningkatkan daya jelajah dan memberi tempat terteduh yang
aman bagi perilaku yang secara potensial berbahaya. Permainan
meningkatkan kemungkinan bahwa anak-anak akan berbicara dan
berinteraksi dengan satu sama lain. Selama interaksi ini, anak-anak
mempraktekan peran-peran yang akan mereka laksanakan dalam
hidup masa kedepannya.
Bagi Freud dan Erikson, permainan adalah suatu bentuk
penyesuaian diri manusia yang sangat berguna, menolong anak
menguasai kecemasan dan konfik. arena tekanan-tekanan
terlepaskan didalam permainan, anak dapat mengatasi masalahmasalah dalam kehidupan. Permainan memungkinkan anak
melepaskan energi fsik yang berlebihan dan membebaskan
perasaan-perasaan yang tependam. Terapi permainan (play
therapy) memungkinkan anak mengatasi frustasi dan merupakan
suatu medium bagi ahli terapi untuk menganalisis konfik-konfik
anak dan cara-cara mereka mengatasinya. Anak-anak dapat
merasa tidak terancam dan lebih leluasa mengemukakan perasaanperasaan mereka yang sebenarnya dalam konteks permainan.

Mildred Parten (1932) mengembangan suatu klasifikasi perluasan
permainan anak. Didasarkan atas observasi pada anak-anak dalam permainan
bebas disekolah asuhan, Parten sampai pada kategori-kategori permainan
berikut :
1. Unoccupied play
Terjadi ketika anak tidak melihat permainan seperti anak-anak lain
umumnya, tetapi mungkin berdiri disuatu titik, memandang ke sekitar
ruangan atau melakukan gerakan-gerakan acak yang nampaknya tidak
memiliki tujuan.
2. Solitary play
Terjadi ketika anak bermain sendirian dan mandiri dari orang lain, anak
nampaknya asyik sendiri dan tidak banyak perduli terhadap apa pun yang

3.

4.

5.

6.

sedang terjadi. Anak berusia 2 dan 3 tahun lebih sering terlibat
dalam solitary play daripada anak-anak prasekolah yang lebih tua.
Onlooker play
Terjadi ketika anak menonton orang lain bermain. Anak dapat berbicara
dengan anak-anak lain itu dan menanyakan pertanyaan tetapi tidak masuk
ke dalam perilaku permainan mereka, minat aktif anak pada permainan
anak-anak lain membedakan enlooker play dari onoccupied play.
Parallel play
Terjadi ketika anak bermain terpisah dari anak-anak lain, tetapi
menggunakan mainan-mainan yang sama seperti yang digunakan oleh
anak-anak lain atau dengan car meniru cara mereka bermain.
Associative play
Terjadi ketika permainan melibatkan interaksi sosial dengan sedikit
organisasi atau tanpa organisasi.
Cooperative play
Meliputi interaksi-interaksi sosial didalam suatu kelompok yang memiliki
suatu rasa identitas kelompok dan kegiatan yang terorganisasi.

Kategori-kategori parten menyajikan suatu cara berpikir tentang
perbedaan jenis-jenis permainan. Para peneliti dan praktisi terlibat dalam
permainan anak-anak yakin jenis–jenis permainan lain adalah penting dalam
perkembangan anak. Diantara jenis-jenis permainan anak yang diteliti secara
lebih luas adalah permainan sensorimotor atau praktis, permainan pura-pura
atau simbolos, permainan sosial, permainan konstruktif, dan games (Bergin,
1988).
1. Permainan Sensorimotor atau praktis
Permainan sensorimotor (sensorimotor play) ialah perilaku yang
diperlihatkan oleh bayi untuk memperoleh kenikmatan dari melatih
perkembangan (skema) sensorimotor mereka. Bayi pada mulanya
melibatkan diri dalam penjelajahan dan permainan transaksi visual dan
motor pada perempat kedua tahun pertama kehidupan.
Permainan Praktis (practice play) melibatkan pengulangan perilaku
ketika keterampilan-keterampilan baru sedang dipelajari atau ketika
penguasaan dan koordinasi keterampilan-keterampilan fisik atau mental
diperlakukan dalam games atau olahraga. Permainan sensorimotor yang
seringkali melibatkan permainan praktis, utamanya muncul pada masa
bayi sedangkan permainan praktis dapat terjadi sepanjang hayat.

2. Permainan Pura-pura atau Simbolis
Permainan Pura-pura atau Simbolis (pretenselsymbolic play) terjadi
ketika anak mentransformasikan lingkungan fisik kedalam suatu simbol
(DeHart & Smith, 1991; Fein, 1986; Howes, Unger & Seidner, 1989;
Rogers & Sawyers, 1988). Antara usia 9 dan 30 bulan, anak-anak
meningkatkan penggunaan benda-benda di dalam permainan simbolis
mereka. Mereka belajar mentransformasikan benda-benda dengan
menggantikan benda itu dengan benda lain dan memperlakukan benda
tersebut seperti benda yang digantikan. Catherine Garvey (1977), telah
mengobservasi permainan anak-anak kecil. Ia menunjukan bahwa tiga
unsur terdapat pada hampir semua permainan pura-pura yang ia observasi:
alat-alat, alur cerita dan peran.
3. Permainan Sosial
Permainan Sosial (social play) ialah permainan yang melibatkan interaksi
sosial dengan teman-teman sebaya. Kategori parten, yang telah kita
diskusikan sebelumnya, berorientasi pada permainan sosial. Permainan
sosial dengan teman-teman sebaya meningkat secara dramatis selama
tahun-tahun prasekolah. Selain permainan sosial dengan teman-teman
sebaya dan permainan kelompok pura-pura atau sosiodrama, bentuk lain
permainan sosial adalah permainan yang kasar dan kacau.
4. Permainan Konstruktif
Permainan Konstruktif (Constructive play) mengkombinasikan kegiatan
sensorimotor atau praktis yang berulang dengan representasi gagasangagasan simbolis. Permainan konstruktif terjadi ketika anak-anak
melibatkan diri dalam suatu kreasi atau konstruksi suatu produk atau suatu
pemecahan masalah ciptaan sendiri. Permainan konstruktif meningkat
pada tahun-tahun prasekolah ketika permainan simbolis meningkat dan
permainan sensorimotor menurun. Pada tahun-tahun prasekolah, beberapa
permainan praktis digantikan oleh permainan konstruktif.
5. Games
Games ialah kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh
kenikmatan yang melibatkan aturan dan seringkali kompetisi dengan satu
atau lebih orang. Anak-anak prasekolah mungkin mulai berpartisipasi
didalam permainan game sosial yang meliputi aturan-aturan timbal-balik
sederhana dan gantian mengambil, tetapi games memerlukan peran yang
jauh lebih menonjol dalam hidup anak-anak sekolah dasar. Dalam suatu
investigasi, permainan game yang paling banyak dilakukan terjadi antara

usia 10 dan 12 tahun (Eiferman, 1971). Setelah usia 12 tahun,
popularitas games menurun, seringkali digantikan oleh permainan praktis,
percakapan, dan olahraga yang terorganisasi (Bergin, 1988).
C. Pertemanan
Anak-anak bermain dengan teman-teman yang beragam. Mereka
berinteraksi dengan beberapa anak yang sama sekali tidak mereka kenal, dan
dengan orang lain yang mereka kenal bail, selama berjam-jam setiap hari.
Fungsi Pertemanan
Pertemanan memiliki enam fungsi (Gottman & Parker, 1987)
1. Companionship (persahabatan), pertemanan anak-anak menemukan
seorang mitra yang familiar, seseorang yang mau menghabiskan waktu
dengan mereka dan bergabung dalam aktivitas kolaboratif.
2. Stimulasi, dengan pertemanan anak-anak mendapatkan informasi yang
menarik, kesenangan, dan hiburan.
3. Dukungan fisik, didalam pertemanan terdapat sumber daya dan bantuan.
4. Dukungan ego, dalam pertemanan terdapat harapan akan dukungan,
semangat, dan umpan balik yang membantu anak-anak memelihara kesan
diri mereka sendiri sebagai individu yang kompeten, menarik serta pantas
untuk ditemani.
5. Perbandingan social, dengan pertemanan dapat menyediakan informasi
tentang posisi anak-anak terhadap orang lain dan apakah anak-anak
tersebut berlaku baik.
6. Keintiman/afeksi, dalam pertemanan anak-anak dapat mengalami
hubungan yang hangat, dekat, dan saling mempercaya dengan individu lain,
yaitu suatu hubungan yang dapat melibatkan keterbukaan diri masingmasing.
Kualitas pertemanan tentu saja beragam. Beberapa pertemanan sangat
intim dan bertahan lam, pertemanan lainnya lebih dangkal dan singkat.
Beberapa pertemanan berjalan lancer, sedangkan yang lain penuh konflik
(Parker dkk, 2004; Rubin; Bukowski, & Parker, 2006). Studi terbaru yang
berfokus pada konflik dengan orangtua dan teman (Adam & Laursen, 2001).
Konflik orangtua-remaja lebih cenderung diwarnai oleh kombinasi masalah

sehari-hari, perasaan netral atau marah, hasil yang di paksakan, dan hasil
menang-kalah. Konflik antar teman lebih cenderung melibatkan kombinasi
topik-topik hubungan, perasaan atau emosi yang ramah, pendapat bebas, dan
hasil yang setara atau tanpa hasil.
Pentingnya pertemanan baru-baru ini dikuatkan dalam sebuah studi
longitudinal dua tahun (Wenzel, Barry, & Caldwell, 2004). Para siswa kelas
enam yang tidak memiliki teman melakukan lebih sedikit perilaku prososial
(kerja sama, berbagi, menolong orang lain), memiliki nilai yang lebih rendah,
dan lebih stress secara emosional (depresi, kesehatan yang rendah) disbanding
teman-temanya yang memiliki satu teman atau lebih. Dua tahun kemudian,
pada kelas delapan para siswa yang tidak memiliki teman saat kelas enam akan
stress secara emosional.
Hubungan pertemanan sering kali merupakan sumber dukungan yang
penting (Berndt, 1999). Sullivan menjelaskan bagaimana teman remaja saling
menguatkan perasaan berharga. Ketika teman dekat membeberkan
ketidakamanan dan ketakutan tentang diri masing-masing, mereka menemukan
bahwa mereka tidak “abnormal” dan mereka tidak perlu malu. Teman juga
bertindak sebagai orang kepercayaan yang penting, yang membantu anak dan
remaja memecahkan masalah (seperti masalah dengan orang tua ataupun putus
cinta) dengan memberikan dukungan emosional maupun nasihat informal.
Teman juga dapat melindungi remaja yang “rentan” dari yang dijadikan korban
oleh sebaya (Bukowski, Sippola, & Boivin, 1995). Selain itu, teman juga dapat
menjadi mitra yang aktif dalam membentuk perasaan identitas, selama
percakapan yang begitu sering, teman bertindak selaku pemberi makna ketika
remaja menggali berbagai isu, dari rencana masa depan hingga posisi dalam
masalah moral dan agama.
Willard Hartup (1996, 2000)), yang telah mempelajari hubungan sebaya
dalam empat decade, menyimpulkan bahwa anak-anak sering menggunakan
teman sebagai sumber daya social dan kognitif. Hartup juga berpendapat
bahwa transisi normatif, misalnya pindah dari sekolah dasar ke sekolah
menengah, dinegosiasikan secara lebih baik oleh anak-anak yang memiliki
teman disbanding oleh anak-anak yang tidak memiliki teman.

Strategi Berteman yang Tepat dan Tidak Tepat
Berikut beberapa strategi yang direkomendasikan orang dewasa kepada
anak-anak dan remaja dalam berteman (Wentzel, 1997) :
1. Mulailah interaksi, disini pelajarilah tentang teman dengan menanyakan
nama, usia, dan aktivitas favoritnya.
2. Bersikaplah baik, tunjukkan kebaikan hati dan bersikaplah pengertian serta
pujilah orang tersebut.
3. Tunjukkan perilaku prososial, dengan bersikap jujur dan terpercaya
dengan mengatakan apa yang sebenarnya serta menepati janji.
4. Hormatilah diri sendiri dan orang lain, menunjukkan tingkah laku yang
baik dan bersikap sopan dan ramah, dengarkan apa yang dikatakan orang
lain, dan milikilah sikap dan keperibadian yang positif.
5. Berikan dukungan social
Berikut strategi yang tidak tepat dalam berteman yang
direkomendasikan orang dewasa agara dihindari oleh anak-anak dan remaja
(Wentzel, 1997) :
1. Sikap agresif secara psikologis, yaitu sikap yang tidak hormat dan
mempunyai perilaku yang buruk, memanipulasi orang lain dengan
tindakan tidak kooperatif, tidak mau berbagi, mengabaikan orang lain,
menggunjing orang lain serta menyebarkan kabar burung.
2. Penampilan diri secara negatif, yaitu bersikap egois angkuh, suka
membanggakan diri sendiri, pencemburu, suka pamer, dan hanya peduli
pada diri sendiri, selalu bersikap jahat, buruk, marah, murka dan
menciptakan masalah.
3. Berlaku antisosial, yaitu bertidak agresif secara fisik, berteriak pada orang
lain, mengkritik, mempermainkan, berlaku tak jujur, membocorkan rahasia
serta melanggar janji.
D. Masa Remaja, Sebaya dan Hubungan Percintaan
Hubungan sebaya memainkan peran yang kuat dalam kehidupan
remaja. Ketika kita memikirkan kembali masa remaja, banyak dari saat-saat
yang paling menyenangkan bagi kita yang dihabiskan bersama teman sebaya,

baik itu melalui telepon, maupun aktivitas dalam sekolah, lingkungan rumah
atau bahkan sekedar kumpul-kumpul. Hubungan sebaya mengalami
perubahan yang penting dalam masa remaja. Pada masa kanak-kanak focus
dari hubungan sebaya adalah agar disukai oleh teman sekelas dan dilibatkan
dalam permainan atau percakapan.
Tekanan Sebaya dan Konformitas
Konformitas terhadap tekanan sebaya pada masa remaja bias
bersifat positif dan juga bersifat negative. Remaja terlibat dalam segala jenis
perilaku konformitas yang negative yang contohnya mereka menggunakan
Bahasa gaul, mencuri, merusak, dan mempermainkan orangtua serta guru.
Namun, sejumlah besar konformitas sebaya antara lain berpakaian seperti
teman dan ingin menghabiskan banyak waktu dengan anggota suatu klik,
tidak negative dan mencerminkan keinginan untuk terlibat dalam dunia
sebaya.
Selama remaja, terutama diawal masa remaja, lebih banyak
menyesuaikan diri terhadap standar sebaya disbanding pada masa kanakkanak. Peneliti telah menemukan bahwa, pada sekitar kelas delapan dan
Sembilan, konformitas terhadap sebaya terutama terhadap standar antisosial
mereka memuncak (Brendt, 1979; Leventhal, 1994). Pada titik perkembangan
ini, seorang remaja lebih cenderung ikut dengan sebaya mencuri velg mobil,
menggambar graffiti di dinding, atau mencuri kosmetik di took.
Klik dan Crowd
Hampir semua hubungan teman sebaya pada masa remaja dapat
dikategorikan dalam bentuk persahabatan individual yang berupa klik dan
crowd (kerumunan). Klik adalah kelompok kecil yang berkisar antara 2
hingga sekitar 12 individu dan rata-rata sekitar 5 hingga 6 individu. Anggota
klik biasanya memiliki jenis kelamin yang sama dan usia yang sama. Klik
dapat terbentuk karena remaja terlibat dalam aktivitas yang sama, seperti
berada di satu klub atau tim olahraga. Beberapa klik juga terbentuk karena
pertemanan. Beberapa remaja mungkin membentuk sebuah klik karena
mereka telah menghabiskan waktu bersama dan saling menyukai.

Klik juga bisa disebut dengan suatu kelompok dengan jumlah yang
lebih kecil yang melibatkan keakraban yang lebih besar di antara anggota.
Kesetiaan terhadap klik dapat menghasilkan control yang kuat atas kehidupan
banyak remaja (McLellan, Hayniesis, Srouse, 1993). Identitas kelompok
sering lebih berperan daripada identitas pribadi. Pemimpin dari kelompok
dapat membuat anggotanya berada dalam posisi yang menghadapi konflik
moral, misalnya menanyakan seperti “apa yang lebih penting, aturan
kelompok atau aturan dari orangtua?” atau “apakah kamu lebih peduli kepada
diri sendiri atau kepada anggota kelompok?”.
Crowd (kerumunan) adalah struktur kelompok yang lebih besar
dari klik. Remaja biasanya menjadi anggota crowd berdasarkan reputasi
mereka dan mungkin atau mungkin tidak menghabiskna banyak waktu
bersama. Crowd kurang personal dibandingkan dengan klik . Banyak crowd
ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan remaja. Misalnya seperti “jocks”
yaitu mereka yang bagus dalam olahraga, atau “druggies” yaitu mereka yang
menggunakan obat-obatan. Crowd yang berdsarakan reputasi sering muncul
pertama kalai pada masa awal remaja dan biasanya menjadi kurang menonjol
pada masa akhir remaja (Collins & Steinberg, 2006).
Kelompok Remaja versus Kelompok Anak
Kelompok remaja berbeda dari kelompok anak paling tidak pada
tiga hal penting. Pertama, selama masa remaja, kelompok cenderung
memasukkan anggota yang lebih banyak disbanding pada masa kanak-kanak.
Anggota kelompok anak sering kali adalah teman atau kenalan di lingkungan
tetangga; sebaliknya banyak kelompok remaja yang memasukkan anggota
kelompok yang bukan teman ataupun tetangga.
Kedua, dalam kelompok sebaya remaja, aturan dan tata tertib
biasanya ditentukan lebih jelas disbanding pada kelompok sebaya anak-anak.
Kelompok masa kanak-kanak biasanya tidak seformal kebanyakan kelompok
remaja.
Ketiga, selama masa remaja partisipasi gabungan jenis kelamin
dalam kelompok meningkat (Collins & Steinberg, 2006). Dexter Dumphy
(1963) mencatat peningkatan ini dalam kelompok gabungan jenis kelamin

dalam suatu observasi yang terkenal. Pada masa kahir kanak-kanak, anak
laki-laki dan perempuan berpartisispasi dalam klik yang kecil dan
beranggotakan dengan jenis kelamin sama. Ketika mereka memasuki awal
masa remaja, klik berjenis kelamin sama tersebut mulai saling berinteraksi.
Secara perlahan, para pemimpin dan anggota berstatus tinggi membentuk klik
yang lebih lanjut berdasarkan gabungan jenis kelamin..
Kencan dan Hubungan Percintaan
Walapun banyak remaja laki-laki dan perempuan menjalin
hubungan social melalui kelompok sebaya formal dan informal, melalui
kencanlah bukan kontak yang lebih serius antar jenis kelamin terjadi
(Bouchey & Furman, 2003; Carver, Joyner, & Udry, 2003; Collins &
Steinberg, 2006). Satu studi terbaru terhadap remaja usia 14 tahun hingga 19
tahun menemukan bahwa remaja yang tidak terlibat dalam hubungan
percintaan memiliki kecemasan social yang lebih besar dibandingkan teman
mereka yang berkencan atau menajlin hubungan percintaan ( La Greca &
Harrison, 2005). Pengalaman romantic pada masa remaja dipercaya
memainkan peran yang penting dalam perkembangan identitas dan keakraban
(Erikson, 1968). Hubungan percintaan atau kencan di masa remaja, akan
membantu suatu individu dalam membentuk hubungan romantic yang
sleanjutnya dan bahkan pernikahan pada masa dewasa.
Pada suatu penelitian remaja yang terlibat dalam suatu hubungan
romantic melaporkan pengucilan social yang lebih sedikit dan rasa kesepian
yang rendah dari pada rekan mereka yang tidak terlibat dalam suatu hubungan
romantic (Connoly & Johnson, 1993). Pada penelitian ini anak laki-laki yang
terlibat hubungan romantic terlihat lebih popular di antara teman sebayanya
daripada anak laki-laki yang tidak memiliki hubungan romantic.
Kencan atau hubungan romantic merupakan suatu fenomena yang
baru. Kegiatan kencan ini tidak ada sampai tahun 1920-an di mana kencan
mulai berlangsung sejak itu. Peran utama yang dimainkan oleh kegiatan
kencan ini adalah memilih dan menetukan pasangan. Sebelum pada masa ini,
penyeleksian pasangan merupakan tujuan dasar dari berkencan dan “kencan”

diawasi dengan sangat oleh para orangtua yang pada masa awal memiliki
control yang sangat kuat dalam maslah hubungan heteroseksual.
Pada saat ini menurut Padagham