Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Ke

Laporan Hasil Pengamatan
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Berbasis Kearifan Lokal di Suku Moi
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pratikum Mata Kuliah
Pengelolaan Sumber Daya Alam

Disusun Oleh :

Sheina Revenia Putri Doo 161434006
Laurentina Swardani

161434017

Antonius Hanri Yunanda 161434024
Angela Ivanka Novitasari 161434026
Yesi Natalia

161434082

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA
2017

ABSTRAK
Indonesia merupakan negara yang memiliki suku terbanyak. Diantara banyak suku-suku
yang dikenal masyarakat seperti suku Baduy, juga terdapat banyak suku yang tidak banyak
diketahui seperti suku Anak Dalam. Suku-suku tersebut memiliki adat istiadat berbasis alam.
Kebanyakan adat istiadat yang berbasis alam juga memiliki kaitan erat dengan kepercayaan dari
setiap suku yang ada. Dengan adanya adat istiadat tersebut maka secara tidak langsung berperan
serta dalam menjaga kelestarian alam. Terdapat suku yang belum diketahui banyak orang seperti
suku Mooi yang terletak di Sorong Papua. Suku tersebut memiliki banyak adat istiadat yang
berkaitan erat dengan alam di Papua. Salah satu adat istiadatnya yaitu tidak diperbolehkan
menebang pohon di hutan, tetapi jika ingin menebang pohon dari hutan untuk membangun
rumah maka harus ada ijin dari kepala suku. Melarang penebangan pohon di hutan merupakan
salah satu cara untuk menjaga pelestarian alam. kegiatan tersebut singkron dengan kearifan lokal
suku Mooi yang juga menjaga pelestarian hutan melalui hukum adat yang di suku Mooi.
Kata kunci : Suku Mooi, Hutan, Pestarian, kearifan lokal, penebangan.

ABSTRACT
Indonesia is a country that has the highest rate. Among many tribes known to the public such

as the Bedouin tribe, also there are many parts that are not widely known as Anak Dalam tribe.
These tribes have a nature-based customs. Most natural-based customs also have close links with
the confidence of every tribe there. With the customs of the then indirectly participate in the
preservation of nature. There is a tribe not known to many people as Mooi tribe located in
Sorong, Papua. The tribe has a lot of traditions that are closely related to nature in Papua. One of
the customs that is not allowed to cut trees in the forest, but if you want to cut down trees from
the forest to build a house, there must be permission from the chiefs. Prohibits the felling of trees
in forests is one way to keep the conservation of nature .. The synchronous activities with local
knowledge Mooi tribe who also maintain forest conservation through customary laws in Mooi
tribe.
Keywords: Spare Mooi, Forest, Wildlife, local knowledge, felling.

A.PENDAHULUAN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan
pokok kehutanan menyataka bahwa hutan merupakan suatu lapangan yang dimana menjadi
tempat bertumbuhnya pohon-pohon dan secara keseluruhan menjadi persekutuan hidup alam
hayati beserta alam lingkungannya dengan ditetapkan oleh pemerintah sebagai htan. Sedangkan
menurut UU 41 Tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didomonasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang liainnya tidak dapat dipisahkan. Karena wilayah

Republik Indonesia termasuk kedalam wilayah Negara yang memiliki kekayaan alam yang
sangat berlimpah, salah satunya adalah kekayaan hutan. Kekayaan alam ini dikuasai oleh Negara
dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat. Dalam penguasaan hutan, Negara harus tetap
memperhatikan hak-hak masyarakat lokal yang masih mempertahankan keasrian hutan dalam
hukum adatnya.
Papua merupakan salah satu daerah diIndonesia yang masih mempertahankan hukum
adat dalam pengelolaan hutan. Sehingga secara tidak langsung kawasan hutan yang ada disekitar
papua diakui sebagai hak milik oleh penduduk setempat, yang dimana alokasi hak dan kewajiban
atas tanah ini merupakan bagian integral dari rumah tangga dan struktur marga antara anggota
masyarakat. Sistem pengelolaan sumber daya alam yang diwariskan oleh leluruh menjadi nilainilai dasar yang mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi dengan alam gaib (roh-roh
nenek moyang), alam semesta (seluruh ekosistem alam), sesama etnis (hubungan kekerabatan)
dan budaya luar, hal ini duupayakan untuk mendukung pemanfaatan sumber daya alam yang
berkelanjutan.
Kearifan lokal masyarakat papua kususnya suku Mooi di Distrik Wisai Kabupaten
Sorong, Provinsi Papua Barat ini terenal gigih menjaga kekayaan obat-obatan alami yang
terkandung didalam hutan. Dalam sistem adat pengelolaan tanah, suku Mooi percaya bahwa
tanah sama artinya dengan IBU sehingga menjual tanah sama artinya dengan menjual Ibu
mereka. Karena pada mulanya Suku Moi ini memiliki istilah yaitu Malamoi yang berasal dari
dua suku kata: MALA yang berarti gunung atau dataran luas, dan MOI yang berarti halus,
lembut. Kata ini lahir pada saat orang Moi mulai bicara tentang adat. Menurut sejarah yang

diceritakan oleh para orang tua adat, peradaban orang Moi berawal dari dua kekuatan: yaitu
Tamrau dan Maladofok. Myte orang Moi menyebut Maladofok sebagai kekuatan Perempuan dan
Tamrau sebagai kekuatan laki-laki. Teges Malamoi adalah wilayah dimana orang-orang Moi
pertama tinggal. Oleh sebab itu, Suku Moi sangat menghormati Hutan sebagai tanah yang
dilindungi (Tanah Pusaka).

B. METODE PENELITIAN
Penelitian Pengelolaan Sumber Daya Alam yang berbasi kearifan Lokal ini mengambil di
Hutan Papua Suku Moi yang berada di Kota Sorong, Papua Barat dilaksanakan dengan metode
wawancara dan studi pustaka. Data yang digunakan adalah data primer yang didapatkan lewat
Wawancara dan data sekunder yang didapatkan dengan teknik studi pustaka. Data mengenai
praktik kearifan lokal di masyarakat sekitar Hutan yang berada di suku Moi dalam penggunaan
hutannya serta pemanfaatnya hasil hutan berdasarkan kearifan lokalnya dianalisis dengan analisis
deskristif .Data mengenai pengaruh partisipasi cultural berbasis kearifan lokal masyarakat
sekitar hutan di suku moi, terhadap pelaksanaan fungsi Hutan dan Komoditas hutan yang
dikembangkan oleh masyarakat untuk keberlanjutan fungsi dan konservasi hutan di masa
sekarang di analisis dengan deskriptif kualitatif.

C. HASIL PEMBAHASAN
A. Pranata Adat Suku Mooi Sorong

Masyarakat adat Suku Mooi mendiami daerah yang sangat luas. Wilayah yang dikenal
sebagai wilayah hukum adat Malamoi tersebut meliputi : arah Timur Waiben/Saokorem
perbatasan Manokwari-Sorong sampai Snopi, arah Selatan Snopi/Aikteren di arah Timur dan ke
arah Barat/Wanurian daerah Klabra, arah Barat dari Wanurian sampai dengan Seget dan Misool,
Arah Utara dari Misool sampai Kepulauan Ayau/Waigeo Utara (meliputi seluruh Kepulauan
Raja Ampat).
Dilatarbelakangi atas eksploitasi yang terjadi di wilayah adat suku Mooi maka dibentuk
Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Sorong (LMA-MS) pada 25 Maret 1998. Lembaga ada
tersebut bertujuan untuk memperjuangkan hak, menyalurkan aspirasi dan memberdayakan
masyarakat hukum adat suku Mooi agar tetap eksis dalam masyarakat yang majemuk. Adapun
tugas pokok LMA-MS adalah :
1. Menegakkan kewibawaan hukum adat
2. Menata hak-hak batas tanah
3. Mendirikan peradilan ukum adat
4. Menegakkan HAM
5. Memilih pemerintah Adat
6. Menerbitkan pengelolaan SDA di seluruh wilayah Hukum Adat wilayah Malamoi demi
kesejahteraan suku Mooi khususnya masyarakat Sorong.
Sistem kelembagaan adat yang dibentuk dapat dikatagorikan sebagai organisasi paguyuban
yang mempunyai kewenangan mengatur hubungan antar warga masyarakat adat dan hubungan

masyarakat adat dengan lingkungannya. Lembaga masyarakat adat tersebut telah memiliki
embrio sejak dahulu. Hal ini dapat diketahui dari adanya sejarah seperti pendidikan inisiasi
didalam Rumah Adat (kambik) yang berlangsung selama 7 bulan untuk menghasilkan para
Dewan Adat (Wofli). Selain itu sudah terdapat struktur organisasi adat dengan fungsi dan
tanggungjawab yang jelas, seperti: Neligin (kepala suku), Newok (hakim Adat), Mombri
(panglima perang) dan Nevulus (Penasehat).

B. Beberapa Aturan Adat Suku Mooi
Kehidupan masyarakat etnik Mooi telah dilandasi kepercayaan bahwa tempat tinggal dan
tempat berusaha telah ditentukan oleh nenek moyang mereka berdasarkan batas-batas alam
seperti : bukit, gunung (kli) , lembah, sungai serta sejauh mana mereka berburu (teritori) atau
sejauh gemanya suara banir pohon yang di“toki” (di pukul) masih terdengar.
Tradisi hukum adat masyarakat Mooi masih tetap dipertahankan hingga saat ini. Hal ini dapat
ditunjukan dari pengabdian lembaga adat dalam penyelesaian konflik menggunakan tata cara
serta aturan adat yang berlaku. Pada saat ini untuk mengadakan suatu proses sbalo, masyarakat
adat memanfaatkan Hutan Lindung km 14 sebagai lokasi sidang.
Jika dikelompokan maka, norma-norma yang ditemui dimasyarakat berupa :
1. Menghargai pemilik ulayat, sehingga suatu marga yang hidup bukan pada tanah ulayatnya,
menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya sehingga tidak dapat seenaknya
menjual belikan tanah tersebut.

2. Memanfaatkan lahan/hutan/kebun sebatas kebutuhan hidup dan tidak boleh lebih
3. Pembukaan kebun tidak boleh dilakukan di kanan kiri sungai
Dari keempat aturan tersebut, aturan aturan yang mengandung sanksi adalah hak-hak peralihan
harta ulayat dan pola pemanfaatan.
a. Hak Peralihan harta ulayat.
Hak-hak peralihan harta ulayat (hak tegestemoni) adalah hak yang diturunkan secara turun
temurun. Hak-hak tersebut berupa :
1. Hak Egefmun merupakan hak milik, biasanya diperoleh dari keturunan darah.
2. Hak Subey merupakan hak pakai, hak ini diberikan kepada seorang anak susuan untuk dipakai
tapi tidak dimiliki.
3. Hak Sukubang merupakan hak pemberian tanah kepada anak perempuan sebagai tempat
berladang. Apabila anak tersebut menetap maka tanah menjadi miliknya namun jika anak
tersebut tidak menetap maka tanahnya dikembalikan.
4. Hak Woti merupakan hak pemberian tanah kepada orang yang telah membantu / melindungi
dalam perang (balas jasa).
5. Hak Somala merupakan penyerahan hak ulayat kepada orang luar karena wilayah tersebut
dianggap tidak aman.
Hal ini berarti bahwa tidak sembarangan orang dapat memiliki hak tanah di wilayah tersebut.
Sehingga dengan aturan adat ini, kegiatan orang-orang yang hendak mengeksploitasi hutan dapat
diminimalisir.

b. Pola Pemanfaatan
Pola pemanfaatan dibagi menjadi 3 kegiatan pokok, yaitu :
1. Pemanfaatan lahan hutan
Masyarakat adat mengenal 2 jenis hutan, yaitu hutan keramat (kufok) dan hutan produksi
biasa (kuwos). Hutan keramat merupakan hutan yang dilindungi oleh hukum adat dan dianggap
sakral. Pada hutan ini dipercaya terdapat arwah-arwah nenek moyang dan timbunan harta yang
disimpan di dalam tanah. Pada hutan ini tidak boleh dilakukan pemanfaatan baik dalam skala
kecil/besar. Di hutan ini sering dilakukan upacara adat untuk menghormati arwah nenek moyang
dengan berbagai sesaji seperti piring dan pinang, sirih dan kapur. Hutan ini sangat dijaga,
perempuan yang sedang menstruasi, hamil dan baru melahirkan tidak boleh melewati hutan ini.

Hutan produksi biasa (kuwos) dapat dimanfaatkan oleh pemilik ulayat dalam skala kecil
maupun skala besar. Skala kecil terlihat pada pembukaan lahan untuk kebun, sedangkan
pemanfaatan lahan dalam skala besar terlihat pada pembukaan lahan hutan untuk kepentingan
transmigrasi dan pembangunan pemukiman.
Pola pemanfaatan lahan hutan di suku Malamoi ini telah sesuai dengan sistem zonasi yang
diatur dalam Pasal 32 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya. Dengan adanya hutan keramat sebagai zona inti, masyarakat ikut menjaga hutan
tersebut agar tetap alami dan tidak disalahgunakan.
2. Pemanfaatan Hasil Hutan

Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu dilakukan melalui berberapa langkah, yaitu :
Langkah pertama : menyamakan keinginan dan persepsi antara pengusaha dan pemilik hak
ulayat dalam hal bentuk pemanfaatan serta kompensasi yang diberikan.
Langkah Kedua : melakukan upacara adat dengan tujuan membuka pintu bagi arwah-arwah
(Muiwe) sehingga tidak menimbulkan bencana/malapetaka. Dalam upacara tersebut pihak
perusahaan, pemerintah dan lembaga-lembaga adat serta pemilik hak ulayat duduk bersama
untuk melaksanakan prosesi adat. Hal ini bertujuan supaya pemanfaatan hasil hutan selain dapat
menguntungkan pengusaha dan masyarakat suku Mooi, juga diketahui oleh pemerintah sehingga
sesuai dengan peraturan yang ada.
Sedangkan untuk pemanfaatan kayu non-komersil terlihat pada kegiatan pengambilan hasil
hutan kayu untuk kepentingan pembuatan rumah. Kayu-kayu yang dibutuhkan biasanya
berdiameter kecil dan dalam jumlah kecil. Selain pengambilan kayu untuk rumah, pemanfaatan
kayu lainnya terlihat untuk kayu bakar dan pembuatan alat berburu dan pertanian seperti tombak
dan tugal. Bentuk pemanfaatan dalam skala kecil/rumah tangga ini dilakukan hanya melalui
kesepakatan pemegang ulayat saja, sehingga tidak membutuhkan prosesi adat yang besar.
Selain pemanfaatan kayu, masyarakat suku Moii juga memanfaatkan tumbuhan yang ada
di sekitarnya sebagai obat tradisonal. Nenek moyang mereka telah menurunkan keahlian untuk
meracik obat-obatan yang bersumber dari alam. Oleh karena itu masyarakat suku Moii menjaga
kelestarian hutan supaya bahan baku pembuatan obat alami tidak musnah.
3. Pemanfaatan Margasatwa

Pemanfaatan satwa ini diatur dalam aturan adat yang dikenal dengan pemanfaatan terbatas.
Satwa berupa hewan buruan, burung serta ikan dapat dimanfaatkan hanya sebagai pemenuhan
kebutuhan hidup saja. Jika jumlah yang diambil dan direncanakan untuk dijual maka sebelum
mengadakan kegiatan berburu atau menangkap ikan penduduk harus berdoa kepada arwah arwah
agar dimudahkan dalam berburu.
Kepercayaan terhadap arwah tersebut dilakukan juga dalam bentuk “sasi”. Budaya sasi
merupakan larangan atau pantangan mengambil dan memanfaatkan tumbuhan dan hewan buruan
tertentu ataupun secara keseluruhan dusun dan apa yang ada didalamnya selama kurun waktu
tertentu (1 – 5 tahun), yang diawali dan diakhiri dengan upacara adat. Sasi yang sering dilakukan
oleh suku Mooi adalah sasi terhadap dusun buah ataupun sungai. Sasi ini ditujukan untuk
menghormati Tetua dusun yang telah meninggal, dan salah satu bentuk untuk mengenang
kebaikan orang tersebut. Dusun/sungai yang akan disasi terlebih dahulu didoakan oleh tetua adat
dan sekelilingnya ditanam bambu kecil dengan bentuk silang sebagai tanda tidak boleh
dimanfaatkan. Sasi tersebut biasanya berumur satu tahun dan diakhiri dengan upacara adat serta
doa kepada arwah agar buah/ikan yang akan dipanen akan membawa berkah.

Pada beberapa aturan adat tersebut, jika terjadi pelanggaran atas aturan tersebut akan
diberikan sanksi adat. Sanksi adat diberikan berdasarkan berat ringannya suatu pelanggaran. Jika
pelanggaran yang dilakukan bersifat ringan (mencuri hasil kebun dengan jumlah sedikit), maka
sanksi yang diberikan relatif ringan dan biasanya hanya berupa denda sejumlah uang dengan

batas waktu yang tidak terlalu ketat.
Berbeda dengan pelanggaran berat seperti pemanfaatan lahan dalam jumlah besar tanpa ijin,
perzinahan dan pemerkosaan. Pada pelanggaran seperti ini akan dilakukan penegakkan sanksi
adat berupa denda yang cukup besar dan dengan waktu pembayaran yang ditentukan. Pada masa
lalu penentuan lamanya batas waktu pembayaran denda dilakukan dengan cara tradisional seperti
menuangkan sejumlah air ke tanah. Lamanya air tersebut meresap ke tanah merupakan jumlah
hari atau batas waktu pembayaran denda.
Adat-adat pengelolaan margasatwa ini mencegtah terjadinya pengambilan secara berlebih
terhadap suatu spesies hewan tertentu. Dalam hal ini masyarakat percaya bahwa akan terjadi
malapetaka jika melakukan perburuan, atau eksploitasi secara besar-besaran. Kearifan ini sangat
mendukung konservasi sumber daya alam sehingga masyarakat tidak sembarangan mengambil
fauna yang ada di sekitarnya.
c. Pembukaan kebun tidak boleh dilakukan di kanan kiri sungai
Masyarakat Malamoi mempunyai kepercayaan bahwa pembukaan kebun di kanan-kiri sungai
adalah berbahaya. Dalam masyarakat tidak ada penjelasan secara khusus mengenai hal ini.
Namun hal ini ada benarnya jika kita menganalisa melalui aspek ekologis dan konsevasi.
Menurut penulis lahan di kanan kiri sungai adalah lahan yang subur sehingga bebagai jenis
tumbuhan dapa tumbuh dengan subur. Selain itu tepi sungai merupakan salah satu daerah utama
dimana banyak terjadi aktifitas hewan seperti minum, berkembang biak, berkubang, dll. Oleh
karena itu sudah pantas jika di tepi sungai tidak boleh diadakan kegiatan perkebunan, karena
kegiatan ini dapat mengancam kelestarian spesies tumbuhan dan hewan yang bertopang terhadap
sungai tersebut.
D.KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Papua Barat khususnya
pada suku Mooi sudah mengelola sumber daya alam dengan baik. Masyarakat setempat sangat
menaati aturan dan hukum adat karena jika dilanggar akan mendapat sanksi. Akhirnya dengan
hukum adat yang diberlakukan dan memberikan sanksi bagi yang melanggar membuat
masyarakat Papua Barat terus berusaha menjaga kelestarian alam setempat.
DAFTAR PUSTAKA
http://kshe.fahutan.ipb.ac.id/uploads/2012/07/KONSERVASI KEARIFAN LOKAL.pdf
Patele. 2010. Malamoi Teges Pumun Tanah, Pusaka Suku Moi. Diunduh secara online di
https://patele.wordpress.com/2010/02/16/malamoi-teges-pumun-tanah-pusaka-suku-moi/
pada
201 Maret 2017.

Yenny, Irma. 2010. Kajian Hukum Adat Suku Mooi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam di
Sorong. Diunduh secara online di http://puspijak.org/uploads/info/korektor2.hudat.Mooi.pdf
Pada 20 Maret 2017.