Menyelisik Kehidupan Muslim di Jerman

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

Menyelisik Kehidupan Muslim di Jerman –
Islam adalah Bagian dari Jerman

1. Tentang Jerman
Jerman adalah sebuah negara di Eropa tengah yang dikelilingi oleh beberapa
negara lain. Jerman memiliki 16 negara-negara bagian; beribu kota di Berlin.
Walaupun diakui sebagai negara sekuler, namun pemerintahan Jerman masih
dipengaruhi oleh lembaga gereja. Contohnya, pajak gereja tetap dikumpulkan oleh
pemerintah, bukan oleh gereja sendiri.
Selain gereja katolik, ada gereja protestan yang sangat besar di Jerman, sebagai
akibat dari reformasi Katolizisme yang dilakukan oleh Martin Luther di kota
Lutherstadt Wittenberg. Selain dua gereja besar tersebut, Jerman juga memiliki
penduduk Muslim mancanegara maupun asli Jerman yang cukup banyak. Kaum
Muslimin

bermacam-macam latarbelakang datang dan tinggal di Jerman. Angka

resmi penduduk Muslim adalah 4 % dari seluruh populasi yang kira-kira 80 Juta

orang, yaitu kurang dari 4 Juta orang Islam. Tetapi angka tersebut sering diragukan
karena sampai sekarang belum ada cara resmi untuk menentukan berapa banyak
Muslimin yang tinggal di Jerman.
Berbeda dengan Indonesia, untuk warga negara Jerman agamanya tidak tertulis
di KTP dan juga jarang dipertanyakan. Walaupun ada kesempatan untuk
memberitahu agama, pilihan seseorang hanya sebagai berikut:
Katholisch

Evangelisch (Protestan)

Andere (lain)

Jadi, tidak ada kesempatan untuk seorang Muslim memberitahu identitasnya
sebagai orang Islam. Orang Islam selalu dianggap sebagai ‚Andere„ – yang lain.
Untuk menjaga kerahasiaan pribadi warga negara Jerman, sensus penduduk resmi
tidak boleh dilakukan di Jerman. Jadi, angka 4 % itu adalah perkiraan dari
pemerintah Jerman dan belum tentu mencerminkan kenyataan di Jerman pada masa
sekarang.
Setiap hari ada orang Jerman yang masuk Islam dan setiap hari ada puluhan
orang yang meninggalkan institusi gereja resmi; keluar dari gereja secara formal.


1

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

Tahun 2006 mantan presiden Wolfgang Schäuble sudah menyatakan bahwa
Islam adalah bagian dari Jerman: „Der Islam ist Teil Deutschlands“. Karena
mengatakan demikian, akibatnya dia menerima banyak kritikan dari bermacammacam kalangan masyarakat. Tetapi beliau benar, Islam makin tampak di kehidupan
sehari-hari di Jerman, khususnya di kota-kota besar dimana sebagian kota sudah
seperti menjadi milik kaum Muslimin.
Berikut, penulis akan menunjukkan bahwa Islam sudah lama mempengaruhi
negara Jerman dan penduduknya. Penulis akan memberi ringkasan sejarah Islam di
Jerman dan akan mengangkat dua penulis Jerman terkenal, yaitu Goethe dan
Lessing, dan bagaimana hubungan mereka dengan Islam. Hal itu untuk
menunjukkan bahwa jauh sebelum adanya pernyataan Schäuble, Islam ternyata
sudah lama menjadi bagian dari Jerman.

2. Sejarah Islam di Jerman
2.1.


Orang Muslim di Jerman sebelum 1945
2

Menurut penulis Hamideh Mohagheghi, persinggungan

pertama antara orang

Jerman dengan orang Muslim yang tercatat sejarah terjadi pada abad ke-8 M. Pada
masa itu Raja Karl der Große sudah menjalin hubungan baik dengan pusat
Kekhalifahan di Bagdad. Khususnya hubungan perdagangan yang mempengaruhi
hubungan antara Jerman dan dunia Islam pada zaman tersebut.
Pada tahun 1713 sampai 1740 Raja Preussen Friedrich Wilhelm pertama
menerima 20 prajurit Turki dan menyediakan untuk mereka sebuah ruangan di kota
Potsdam dekat gereja Garnison untuk digunakan sebagai mesjid (lihat: H.
Mohagheghi). Bagi raja Jerman tersebut penting bahwa prajuritnya dapat
melaksanakan ibadahnya.
Raja berikutnya Raja Friedrich kedua pernah menerima sebuah permintaan
apakah seorang Katholik dapat memperoleh hak kewarganegaraan di sebuah kota
Protestan dan Raja menjawab: “Semua agama adalah sama dan bagus kalau orang

yang meyakini agama tersebut jujur. Dan seandainya orang-orang Turki datang
untuk tinggal di negeri ini, kami akan membangunkan mesjid untuk mereka.”

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

Membaca kata-kata para raja Jerman tersebut menunjukkan bahwa toleransi dan
hormat terhadap Muslimin dan agamanya mesti menjadi contoh untuk masa
sekarang. Sedangkan seorang raja Friedrich kedua saja siap membangun mesjid
seandainya orang Turki ingin tinggal di negerinya, lalu kenapa pembangunan mesjid
di Jerman dan di negara tetangganya masih sering dipersulitkan?
Tahun 1898 Kaiser Wilhelm kedua berjanji kepada Sultan diDamaskus bahwa dia
selalu akan menjadi sahabat sultan dan para Muslimin. Tahun 1914 Kaiser
memenuhi janjinya tersebut dengan membangun sebuah mesjid untuk para tahanan
Muslim di Wunsdorf di Brandenburg. Mesjid tersebut memiliki menara dengan tinggi
23 meter dan berjarak satu jam dari kuburan khusus prajurit Muslim. Mesjid tersebut
menjadi tempat ibadah pertama bagi orang Islam Berlin pertama. Tetapi karena
rusak, pada tahun 1925/26 kemudian dihancurkan.
Tanah pertama yang dimiliki orang Muslim di Jerman adalah tanah kuburan. Pada
tanggal 29. Oktober 1798 duta besar Turki Osmania namanya Ali-Aziz-Effendi

meninggal dunia di Berlin. Oleh karena itu Raja Jerman Friedrich Wilhelm ketiga
membeli tanah untuk kemudian memberikan tanah tersebut kepada khilafah
Osmania. Walaupun kuburan di tanah tersebut telah dipindahkan dan diberi tempat
baru, tanah kuburan Islam itu tetap menjadi milik negara Turki. Kuburan tersebut
tetap ada di Berlin, bahkan diperluas tanahnya karena makin banyak Muslimin yang
hidup dan meninggal di ibu kota Jerman; Berlin.
Menurut penulis Hamideh Mohagheghi, pada tahun 1922 secara resmi pusat
jamaah Islam pertama didirikan oleh seorang imam dari India namanya MaulanaSadruddin. Dua tahun kemudian mereka sempat membuka mesjid pertama di Berlin
Wilmersdorf. Mesjid pertama di Jerman yang dibangun oleh kaum Muslimin sendiri.
Sampai tahun 1945 – akhir perang dunia kedua, mesjid tersebut menjadi pusat
kegiatan para Muslimin di Berlin. Di kawasan mesjid tersebut pula didirikan institut
Islam archive pada tahun 1927 dan sampai sekarang masih aktif di tempat itu juga.
Catatan sejarah tersebut menganggap jama‟ah Ahmadiyah sebagai bagian dari umat
Islam juga. Secara resmi masalah jama‟ah Ahmadiyah tidak dibicarakan dengan
kritis di Jerman saat ini.

3

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise


Pada tahun 1932, 60 pengungsi Muslim dari bekas Uni Sowjet bersama orang
Muslim di Jerman mendirikan cabang dari kongres Islam sedunia di Berlin. Dibawah
organisasi tersebut semua organisasi-organisasi Muslim bersatu pada tahun 1933.
Dan seksi kongres Islam sedunia di Berlin juga membuka institusi pendidikan Islam
pertama yaitu „Islam Kolloquium“. Islamrat, sebuah yayasan resmi di Jerman yang
didirikan pada tahun 1986 menyatakan diri sebagai pengganti kongres Islam sedunia
di Jerman.
Menurut statistik tahun 1924, 3000 orang Muslim tinggal di Jerman. Kira-kira 260300 orang adalah orang asli Jerman yang kemungkinan muallaf. Kebanyakan orang
Muslim itu adalah pedagang, akademisi, peniliti atau penulis. Menurut Hamideh
Mohagheghi orang Muslim pada masa itu sering dianggap exotis dan tokoh-tokoh
dari cerita 1001 malam. Tetapi mereka tidak dianggap berbahaya seperti masa kini,
dimana kata teroris sering disebutkan bersama dengan kata Islam atau Muslim.
Bahkan orang Muslim pada zaman itu di bawah perlindungan Raja atau Kaiser
Jerman.
2.2.

Orang Muslim di Jerman sejak 1960an

Sesudah selesai perang dunia kedua pada tahun 1945 Jerman membutuhkan

pekerja-pekerja kasar untuk membangun kembali negara Jerman. Selain untuk
membangun kembali negeri itu, pada tahun 1960an ekonomi Jerman mengalami
semacam booming dan perlu pekerja-pekerja untuk pekerjaan kasar pula. Salah satu
kelompok yang datang sebagai tenaga kerja adalah orang Turki. Mereka datang ke
Jerman untuk bekerja dan sesudah pekerjaan selesai mestinya mereka pulang
kembali ke kampung halamannya. Tetapi banyak tenaga kerja Turki memutuskan
untuk tetap berdiam di Jerman. Mereka mendirikan pusat-pusat ibadah dan belanja,
yang lama hingga tidak diketahui oleh masyarakat Jerman pada umumnya karena
mesjid-mesjid mereka sering terletak di halaman-halaman belakang rumah di pojok
paling belakang (lihat: Hamideh Mohagheghi). Karena mereka mencari makanan
yang tidak berisi daging babi dan alkohol akhirnya mereka membuka toko-toko
sendiri.
Pada awalnya kebanyakan laki-laki yang datang untuk bekerja di Jerman, tetapi
sesudah beberapa tahun mereka juga membawa istri-istri dan anak-anak mereka.

4

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise


Baru dengan kedatangan para wanita dari Turki orang Jerman baru benar-benar
menyadari bahwa orang Turki itu „berbeda“, karena memakai jilbab dan baju-baju
warna-warni.
Wanita-wanita Turki itu akhirnya melahirkan generasi baru yang sudah tidak
merasa asing lagi di Jerman dan menganggap negeri Jerman sebagai negerinya
sendiri. Generasi kedua itu dibesarkan dengan dua bahasa dan belajar di institusiinstitusi pendidikan Jerman. Walaupun demikian mereka tetap menganggap diri
sebagai orang Islam dan kebanyakan dari mereka juga mengamalkan ajaran-ajaran
Islam. Oleh karena itu sering muncul masalah dalam kehidupan sehari-hari karena
kaum Muslimin sering dianggap tidak mau „berintegrasi“/ melebur ke dalam
kehidupan masyarakat mayoritas karena tetap berpegang erat kepada nilai-nilai dan
moral Islam.
Orang Turki mantan tenaga kerja atau keturunan tenaga kerja merupakan
kelompok Muslim terbesar di Jerman, menurut Hamideh Mohagheghi 70% dari
seluruh penduduk Muslim. Selain orang Turki juga banyak orang Muslim dari negerinegeri Maghreb – Afrika utara, Syria, Palestin, Lebanon, Afghanistan, Iran, Pakistan
dan Bosnia. Kebanyakan datang karena di negerinya sendiri terjadi sebuah konflik
politik atau perang. Selain itu juga ada orang Muslim asing yang kuliah di Jerman,
termasuk orang Indonesia dan Malaysia.

3. Penulis Jerman dan Islam
Dua penulis Jerman klasik terkenal yaitu Johan Wolfgang von Goethe (1749

– 1832) dan Gottholt Ephraim Lessing (1729 – 1781) telah mempelajari tentang
Islam lebih dalam dan mengangkat tema Islam di dalam karya sastranya masingmasing.
Goethe adalah penyair Jerman yang

mempelajari Islam sejak dari awal

karirnya. Goethe juga terkenal dengan studinya tentang ilmu sains. Penulis Jerman
Katharina Mommsen telah banyak meniliti tentang hubungan Goethe dengan Islam
dan sudah sering menjadi pembicara tentang tema tersebut. Catatan dibawah ini

5

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

diambil dari salah satu ceramahnya. Selain itu juga komunitas Muslim Jerman
maupun Eropa terus-menerus tertarik dengan Goethe dan Islamnya

Penyair Goethe


Pada umur 70 Goethe mengutarakan bahwa dia ingin “dengan hormat
merayakan malam dimana Nabi [saw] menerima Qur‟an yang komplit dari atas”
(Notes and Essays to the Divan, WA I, 17,153; www.way-to-allah.com). Goethe juga
menulis “Tidak ada yang mengherankan tentang efisinsi buku ini. Oleh karena itu
pengagum yang benar mengatakan bahwa [Al Qur‟an] tidak dikarang. Buku ini akan
selalu menjadi sangat efektif” (WA I, 7, 35/36; www.way-to-allah.com).
Dalam karya puisi Goethe "West-östlicher Divan" yang diilhami dari penyair
Muslim Persia terkenal yaitu Hafiz, Goethe menulis:
"Whether the Koran is of eternity?
I don't question that!...
That it is the book of books
I believe out of the muslim's duty."
"Ob der Koran von Ewigkeit sei?
Darnach frag' ich nicht ! ...
Daß er das Buch der Bücher sei
Glaub' ich aus Mosleminen-Pflicht"
(WA I, 6, 203; http://www.enfal.de/gote-fat.htm)
“Apakah Qur’an dari keabadian?
Saya tidak mempertanyakan hal itu! …
Bahwa dia adalah buku dari semua buku-buku,

saya percaya karena wujud kewajiban sebagai seorang Muslim”

6

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

Dalam karya yang sama Goethe juga menolak gagasan Kristen tentang Jesus
(Isa a.s.) sebagai Tuhan dan meyakini keesaan Allah:
"Jesus felt pure and calmly thought
Only the One God;
Who made himself to be a god
Offends his holy will.
And thus the right(ness) has to shine
What Mahomet also achieved;
Only by the term of the One
He mastered the whole world"
"Jesus fühlte rein und dachte
Nur den Einen Gott im Stillen;
Wer ihn selbst zum Gotte machte
Kränkte seinen heil'gen Willen.
Und so muß das Rechte scheinen
Was auch Mahomet gelungen;
Nur durch den Begriff des Einen
Hat er alle Welt bezwungen."
(WA I, 6, 288 ff; www.way-to-allah.com; http://www.enfal.de/gote-fat.htm)
“Jesus menyucikan diri dan mengingatkan
dengan lemah-lembut hanya satu Tuhan.
Siapa yang membuat dia sendiri sebagai Tuhan
menyinggung keinginannya yang suci.
Dengan demikian yang benar harus bersinar
yang telah dicapai oleh Mahomet;
Hanya dengan konsep keesaan
dia memimpin seluruh dunia.“

Goethe juga menulis tentang keagungan dzikir dan tentang Asmaul Khusna.
Dzikir membuat orang kagum kepada Sang Pencipta dan tenang, tulisnya (WA I, 7,
59; http://www.enfal.de/gote-fat.htm).
Schaikh 'Abdalqadir Al-Murabit sesudah meniliti sumber-sumber yang terkait
dengan kehidupan Goethe, mengatakan bahwa beliau yakin penyair Jerman terkenal
itu bisa dianggap sebagai seorang Muslim. Schaikh 'Abdalqadir Al-Murabit kemudian
mengeluarkan sebuah fatwa tahun 1995 yang terkenal sebagai „Goethe Fatwa“:
„Sesudah meniliti dan menguji bahan-bahan sejarah dan sesudah membaca
bukti-bukti dengan tema yang sama dari para sahabatnya [sahabat-sahabat
Goethe] Thomas Carlyle dan Schiller, kami sampai kepada sebuah
kesimpulan yang tidak ada keraguan atau dwiarti. Isi seluruh catatan ilmu
sainsnya, khususnya

yang tentang „Zur Morphologie“ menunjukkan

keyakinan yang dipegang seumur hidupnya bahwa universium adalah

7

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

ciptaan satu Tuhan dan Tuhan itu tidak memiliki satu aspek pun yang dapat
dibandingkan dengan ciptaannya.
Walaupun dia [Goethe] seumur hidup tinggal di negeri orang kafir, dia
mengutarakan keyakinannya atas dua kalimat shahada dengan penuh
semangat dan hati dan meyakinkan bahwa tidak ada tuhan selain Allah,
yang Esa dan bahwa Muhammad adalah RasulNya yang terakhir saw.
Tanpa dia mengetahui tentang Shalat, Zakat, Puasa dan Haj, dia [Goethe]
tetap pernah mengambil kesempatan yang sangat jarang sekali untuk
mengikuti sebuah Shalat Jamaah. Itu semua membuktikan bahwa dia
mengangkap Islam sebagai din-nya sendiri.
Dari beberapa Hadiths yang terkenal dan sohih dari Muslim, Bukhari dan
kumpulan Sunnan, kita mengetahui bahwa meyakini Allah adalah Tuhan
Yang Maha Esa dan Muhammad adalah Rasulullah adalah pintu untuk
masuk Islam yang tidak diragukan lagi dan juga pintu masuk surga –
Dschannah.
Demikian, bisa dibuktikan bahwa penyair Eropa yang terbesar, ketenaran
dan kebanggaan bangsa Jerman dan kehidupan intelektualnya juga
merupakan Muslim pertama di Eropa modern. Dia membangkitkan kembali
keinginan manusia untuk mengetahui tentang Tuhan dan RasulNya.
Pengetahuan yang tidur sedalam-dalamnya dibawah kegelapan yang jatuh
atas negeri Spanyol yang dulu Islamih. Karena cahaya yang muncul dengan
pengakuan Muhammad (saw) sebagai RasulNya, dia [Goethe] mesti dikenal
oleh orang-orang Muslim sebagai Muhammad Johann Wolfgang von
Goethe.“ (terj. dari website http://www.enfal.de/gote-fat.htm)

Lessing adalah penulis dan pemikir periode „Aufklärung“ – zaman
pencerahan yaitu abad 18. Penulis Jerman Silvia Horsch telah menulis disertasinya
tentang Lessing dan hubungannya dengan Islam.

Penulis Lessing

8

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

Filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804) mengatakan „Pencerahan adalah
seseorang yang meninggalkan ketidakdewasaan yang ia sebabkan sendiri.
Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan menggunakan akal budi tanpa bimbingan
orang lain.“ Periode pencerahan mulai dengan Rasionalisme dan dua pemikir
terpentingnya adalah Descartes (1596-1650) dan Leibniz (1646-1716).
Periode pencerahan menyebabkan para pemikir dan filsuf mempelajari lebih
dalam tentang agama dan budaya; salah satunya adalah Islam. Fenomena yang
dapat disaksikan pada periode pencerahan adalah sekularisasi dan sekularisasi
itulah yang mempengaruhi persepsi tentang Islam yang sampai titik itu sangat
dipengaruhi oleh tafsir teologi kristen yang mengatakan bahwa Islam sebagai karya
shaytan dan sebagai agama orang kafir. Dalam periode pencerahan untuk pertama
kalinya muncul ketertarikan yang mendalam tentang agama Islam.
Penulis Lessing sebagai salah satu wakil periode tersebut membaca semua
karya sastra yang ada tentang Islam pada masa itu. Tetapi karena Lessing tidak bisa
bahasa Arab maupun Turki kebanyakan sastra yang dibacanya tentang Islam adalah
karya para orientalis. Diantaranya Lessing membaca Zwei Bücher von der
Türckischen oder Mohammedanischen Religion oleh Adrian Reland (1676-1718),
Terjemahan Al Qur‟an (1734) oleh George Sale. Terjemahan George Sale adalah
terjemahan pertama ke satu bahasa modern yaitu Bahasa Inggris. Menariknya,
terjemahan Al Qur‟an George Sale dilengkapi dengan guideline bagaimana orang
Islam bisa dimurtadkan. Selain banyak buku lainnya Silvia Horsch dalam bukunya
Rationalität und Toleranz. Lessings Auseinandersetzung mit dem Islam (2004)
mengatakan bahwa Lessing juga membaca buku HUMPHREY PRIDAUX The true
nature of imposture fully displayed in the Life of Mahomet (1697) yang sangat
menjelekkan Islam dan Rasullulah saw. Dalam buku ini Islam dikatakan kebohongan
besar dan hukuman Tuhan terhadap orang kristen. Jadi, gambar negatif tersebut
sangat familiar bagi Lessing, tetapi Lessing mengutarakan pendapat tentang Islam
yang cukup berbeda. Tulisan Lessing yang pertama tentang orang Islam ditemukan
dalam artikelnya yang memberitahukan tentang terjemahannya Geschichte der
Araber zur Zeit der Kalifen (Sejarah orang Arab pada masa Khalifah) oleh Marignys:
„Seit dem Verfalle des römischen Reiches, verdient wohl die Geschichte
keines einzigen Volkes mit mehrerm Recht bekannt zu sein, als die
Geschichte der arabischen Muselmänner; sowohl in Betrachtung der großen
Leute welche unter ihnen aufgestanden sind, und die wunderbarsten
Veränderungen vielleicht in dem beträchtlichsten Teile der Welt gemacht
haben, als in Ansehung der Künste und Wissenschaften, welche ganze

9

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

Jahrhunderte hindurch den schönsten Fortgang unter einem Volke
genossen, welches uns unsre Vorurteile gemeiniglich als ein barbarisches
Volk betrachten lassen.“ (B II, S. 487; Silvia Horsch, 2004)
„Sejak kehancuran kerajaan Romawi, tidak ada satu bangsa dalam sejarah
yang memiliki hak untuk disebutkan selain sejarah orang Arab Muslim,
karena telah melahirkan orang-orang hebat dan membuat perubahaan yang
luar biasa di dunia yang paling penting. Perubahaan tersebut termasuk di
bidang seni dan ilmu sains dan mengembangkan peradaban kemanusiaan
itu dengan sangat indah. Hanya saja prasangka kita yang melihat mereka
sebagai bangsa biadab.“

Lessing juga memuji nilai moral para orang Arab Muslim:
„Man bilde sich aber nicht ein, daß sie sich bloß als tapfre Barbaren zeigten;
auch die Tugend, und oft mehr als eine christliche Tugend, war unter ihnen
bekannt, wovon man die Beispiele gewiß mit einem angenehmen Erstaunen
lesen wird.“ (B II, S. 507; Silvia Horsch, 2004)
„Dan jangan pernah berpikir bahwa mereka [para orang Muslim Arab] hanya
nampak sebagai orang biadab yang berani. Kebajikan/ kebaikan juga
terkenal diantara mereka dan kebaikan itu sering lebih [bagus] daripada
kebajikan kristen. Anda akan bisa membaca contoh-contohnya dengan
takjub.“

Dan yang sangat menarik adalah Lessing mengaitkan ‚pencerahan„ – Aufklärung
dengan pencapaian ilmu sains para orang Arab Muslim. Walaupun masa kini dalam
perdebatan tentang Islam dan ‚pencerahan„ di dunia barat sering, terutama di
Jerman selalu diperlihatkan sebagai dua hal yang saling bertentangan.
„Der Anfang einer so wichtigen Epoche für den menschlichen Verstand, der
sich plötzlich unter ungesitteten kriegerischen Völkern aufzuklären anfing, so
daß sie in kurzem ebenso viele Gelehrte als Helden aufzuweisen hatte, wird
nicht anders als mit vielem Vergnügen gelesen werden können.“ (Horsch,
2004)
„Pemulaan sebuah zaman yang begitu penting untuk akal manusia yang
mulai mencerahkan di antara bangsa-bangsa yang suka perang/ gagah
berani, sampai mereka melahirkan sama-sama banyaknya para ilmuwan
dengan angka pahlawan. Itu Anda akan bisa membaca dengan senang
hati.“

10

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

Dalam karya sastranya Rettung des Hieronymus Cardanus (1754), Lessing
menulis lebih konkrit tentang Islam:
„Wirf einen Blick auf sein [Muhammads] Gesetz! Was findest Du darinne,
das nicht mit der allerstrengsten Vernunft übereinkomme? Wir glauben an
einen einzigen Gott: wir glauben eine zukünftige Strafe und Belohnung,
deren eine uns, nach Maßgebung unserer Taten gewiß treffen wird. Dieses
glauben wir, oder vielmehr, [...] davon sind wir überzeugt, und sonst von
nichts.“
„Bacalah hukumnya [hukum Muhammad]! Apakah kamu bisa menemukan
sesuatu didalamnya yang tidak sesuai dengan akal yang murni dan tegas?
Kami percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa: Kami percaya akan ada
hukuman dan imbalan di masa yang akan datang, dan salah satunya akan
menimpa kami sesuai perbuatan kami. Itu yang kami percayai, atau lebih
tepat yang kami yakini, dan tidak ada yang selain itu.“

Contoh-contoh tulisan Lessing di atas menunjukkan bahwa penulis tersebut
tahu bahwa pendapat tentang Islam oleh para pembaca sangat negatif dan Lessing
ingin melawan pendapat negatif tersebut dengan memberi gambaran yang lebih
tepat.
11

Walaupun telah lebih dari 3 abad yang lalu, kita pada masa kini menghadapi
dilema yang mirip seperti yang dihadapi Lessing. Prasangka yang buruk terhadap
Islam dan terhadap orang Muslim sering muncul di media massa. Perang pemikiran
memusuhi orang Muslim dan Islam memenuhi acara-acara TV dan majalah-majalah
serta koran-koran, menciptakan suasana yang kurang kondusif untuk mengenalkan
Islam kepada penduduk Jerman yang non-Muslim. Kita cenderung menghadapi
prasangka yang buruk, bahwa Islam itu mengancam peradaban barat/ Eropa (baca:
modern) dan ingin mengislamkan Eropa. Melalui media massa, ketakutan yang
berlebihan diciptakan dalam masyarakat Jerman maupun Eropa lainnya.
Walaupun demikian hidup sebagai seorang Muslim di Jerman tidak dipenuhi
dengan kebencian, tetapi sering tergantung pada pengalaman individu dan
kecerdasan individu dalam menghadapi lingkungan yang kurang mendukung, serta
keberanian

untuk

mengenalkan

keindahaan

Islam

kepada

kebanyakandipenuhi prasangka yang diciptakan media massa.

orang

yang

Diskusi Bulanan Putaran XXXIV Laboratorium Religi dan Budaya Lokal (LABEL), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan
Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 15. Juni 2011_Claudia Seise

4. Daftar Pustaka
Faruk, Muhammad: Zwischen Preussenadler und Hakenkreuz: Islam in Deutschland von
1739-1945: http://www.enfal.de/grund12.htm (accessed: 06/11)
Hamideh

Mohagheghi:

Der

Islam

in

Deutschland.

http://www.al-

sakina.de/inhalt/artikel/amg/mohagh/mohagh.html
Horsch, Silvia: Rationalität und Toleranz. Lessings Auseinandersetzung mit dem Islam.
Würzburg, Ergon-Verlag 2004.
Horsch,

Silvia:

Lessing,

der

Islam

und

die

Toleranz:

http://www.al-

sakina.de/inhalt/artikel/lessing_islam/lessing_islam.html (accessed: 06/11)
Das Beweismaterial:

Goethe und das Christentum:

http://www.enfal.de/gote-fat.htm

(accessed: 06/11)

12
Claudia Seise:
Penulis Independent, Mahasiswa Master Program Modern South- and Southeast Asian Studies Humboldt University
Berlin, Germany