Mendeskripsikan bentuk bentuk campur kod

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam proses
berbicara maupun dalam proses belajar. Dalam prosesnya, manusia senantiasa menggunakan
bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari dengan sesamanya terlepas dari kepentingan pribadi.
Selain itu, bahasa merupakan kebutuhan manusia yang bersifat absolut, karena bahasa
merupakan wahana komunikasi antarmanusia.
Bahasa sebagai gejala sosial ditentukan oleh faktor linguistik dan faktor nonlinguistik. Hal itu
sejalan dengan pendapat Suwito (1982:3) yang menyatakan bahwa bahasa sebagai gejala sosial
dalam pemakaiannya bukan saja ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi juga ditentukan oleh
faktor-faktor nonlinguistik, misalnya faktor sosial dan situasional. Faktor sosial yang
mempengaruhi pemakaian bahasa, misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat
ekonomi, jenis kelamin, dan sebagainya. Faktor situasional yang mempengaruhi bahasa, yaitu
siapa berbicara, dengan siapa berbicara, dan masalah apa yang dibicarakan.
Pada umumnya, masyarakat Indonesia menguasai dua bahasa, yaitu bahasa daerah
(bahasa ibu) dan bahasa Indonesia, misalnya seorang yang berasal dari suku Madura, selain
menguasai bahasa Madura juga dapat bertutur bahasa Indonesia dengan baik. Situasi demikian
menyebabkan terjadinya kontak bahasa pada diri seorang penutur dalam tindak berbahasanya
sehingga gejala ketergantungan dalam tindak berbahasanya dapat dihindari. Suwito (1983:39-40)
menyatakan bahwa kontak bahasa terjadi dalam situasi kontak sosial, yaitu situasi pada saat
seseorang belajar bahasa kedua di dalam masyarakat.

Situasi pemakaian bahasa bermacam-macam, dimulai dari suasana percakapan dalam
keluarga, antarkeluarga, antartetangga, dalam interaksi jual-beli di pasar, suasana diskusi ilmiah,
suasana pidato di alun-alun, sampai dengan ceramah di kecamatan.

Studi mengenai pemakaian bahasa pada masyarakat yang berlatar belakang multilingual
mempunyai daya tarik tersendiri. Salah satu kasus multilingualisme di Indonesia yang menarik
perhatian peneliti adalah masyarakat etnik Arab. Di samping itu, kedudukan masyarakat etnik
Arab sebagai golongan etnik keturunan asing yang berasal dari budaya dan bahasa yang berbeda.
Studi multilingualisme berangkat dari adanya beberapa faktor keganjilan berbahasa pada
masyarakat etnik Arab Dusun Kauman Kelurahan Kalimas Kecamatan Besuki Kabupaten
Situbondo. Dalam berbagai situasi, masyarakat etnik Arab Kauman dalam berinteraksi sesama
etniknya lebih banyak menggunakan bahasa Madura yang disisipi unsur bahasa Arab, daripada
menggunakan bahasa Arab yang sesuai dengan identitas mereka dalam masyarakat. Alasan
utamanya adalah faktor lingkungan sosial mereka yang berdekatan dengan penduduk lokal.
Penduduk lokal di sekitar Dusun Kauman Kelurahan Kalimas Kecamatan Besuki
Kabupaten Situbondo adalah masyarakat Madura dan bahasa yang digunakan adalah bahasa
Madura. Sebagai masyarakat minoritas, etnik Arab menyadari penuh situasi kebahasaan mereka.
Untuk mengatasi masalah situasi kebahasaan tersebut masyarakat etnik Arab mencoba mengubah
cara berkomunikasi. Perubahan komunikasi yang dilakukan masyarakat etnik Arab adalah
mencampurkan salah satu unsur bahasa Arab ke dalam bahasa Madura. Tujuan pencampuran dua

bahasa itu dimaksudkan sebagai media penghubung sosiokultural mereka yang sama sekali jauh
berbeda terutama dalam hal kebahasaan dan hubungan sosial lainnya. Masyarakat etnik Arab
paham betul dengan dampak pencampuran bahasa tersebut, apalagi bahasa yang mengalami
perubahan tutur adalah bahasa Madura. Di samping dapat merusak struktur bahasa Madura, juga
dapat berakibat buruk pada proses pelestarian bahasa Arab sendiri sebagai identitas sosial
mereka. Namun, masyarakat etnik Arab mengambil semua resiko tersebut demi tercapainya
situasi sosial kebahasaan yang guyub.
Semakin jarangnya pemakaian bahasa ibu, seperti yang terjadi pada masyarakat etnik
Arab Kalimas di Dusun Kauman merupakan fenomena yang biasa terjadi. Bila suatu kelompok
datang ke tempat lain dan bercampur dengan kelompok setempat, akan terjadi pergeseran bahasa.
Kelompok pendatang akan melupakan sebagian bahasanya dan (terpaksa) memperoleh bahasa
setempat (Alwasilah, 1985:33).

Terkait hal di atas jelaslah bahwa masyarakat Arab termasuk dalam kelompok
masyarakat dwibahasawan. Sebagai masyarakat minoritas, etnik Arab menggunakan bahasa
Arab sebagai bukti yang menunjukkan identitas bahwa mereka itu ada. Menurut Oksaar
(1972:478), kedwibahasaan tidak hanya milik individu tetapi kedwibahasaan harus juga
diperlukan sebagai milik kelompok, sebab bahasa itu tidak terbatas sebagai alat penghubung
antarindividu, tetapi juga alat komunikasi antarkelompok. Lebih lanjut, Oksaar (1972:478)
menjelaskan bahwa alat penghubung tersebut merupakan faktor utama dalam menunjukkan

identitas kelompok. Biasanya dalam masyarakat dwibahasawan terdapat beberapa masalah, salah
satunya adalah masalah pemilihan bahasa. Kapan mereka menggunakan bahasa yang satu dan
kapan menggunakan bahasa yang lainnya.
Seorang multilingual/bilingual tidak dapat melepaskan diri dari proses alih kode (code
switching) dan campur kode (code mixing) yang di dalamnya terdapat serpihan-serpihan bahasa
yang digunakan oleh penutur dalam penggunaan bahasa lainnya. Serpihan-serpihan bahasa yang
diambil dari bahasa lain itu biasanya berupa kata-kata, tetapi juga dapat berupa frase atau unit
bahasa yang lebih besar.
Penggunaan bahasa oleh seorang bilingual, terkait masyarakat etnik Arab Kalimas tidak
terikat oleh aturan yang baku. Yang terpenting dalam tindak laku berbahasa itu dapat berjalan
secara komunikatif. Sikap bahasa cenderung mengacu pada bahasa sebagai sistem (langue),
sedangkan perilaku tutur lebih cenderung merujuk pada pemakaian bahasa yang konkret (parole)
(Soewito, 1982:57).
Campur kode terjadi akibat percampuran proses penguasaan bahasa kedua, karena adanya
perbedaan sistem antara bahasa pertama dan bahasa kedua dari penutur. Nababan (1984:32)
menyatakan bahwa campur kode adalah gejala pencampuran dua atau lebih bahasa atau ragam
bahasa dalam suatu tindakan bahasa yang dalam situasi berbahasa itu mendapat percampuran dua
bahasa tersebut. Campur kode yang diteliti adalah campur kode bahasa Arab terhadap bahasa
Madura yang digunakan oleh sesama etnik Arab di Kecamatan Besuki.
Masyarakat yang menjadi objek penelitian adalah masyarakat etnik Arab yang

berdomisili di sekitar Dusun Kauman Kelurahan Kalimas Kecamatan Besuki Kabupaten

Situbondo. Di Dusun Kauman tersebut, terdapat sekurang-kurangnya dua suku bangsa pribumi,
yaitu suku Madura dan Jawa. Selain itu, ada lima golongan etnik keturunan asing, yaitu etnik
Arab, Cina, India, Pakistan, dan Yaman.
Keanekaragaman penduduk Dusun Kauman tersebut menjadi salah satu hal yang
menyebabkan sebagian masyarakatnya bilingual/multilingual. Secara umum, mereka menguasai
dan mempergunakan dua bahasa, yaitu bahasa Madura dan bahasa Indonesia. Secara khusus,
masyarakat etnik Arab juga menguasai dan mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Madura.
Pemakaian lebih dari satu bahasa menimbulkan warna bahasa pada penuturnya yaitu
variasi bahasa. Hal itu disebabkan oleh pemakaian bahasa yang saling dominan pemakaiannya
antara bahasa satu dengan bahasa lain, semuanya ini terjadi secara tidak sadar oleh penuturnya
dalam mengadakan komunikasi.
Masyarakat etnik Arab yang berdomisili di Dusun Kauman Kelurahan Kalimas Kecamatan
Besuki Kabupaten Situbondo pada umumnya menguasai dan menggunakan bahasa Madura yang
di dalamnya terdapat unsur bahasa Arab yang dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa
Madura merupakan bahasa pengantar dalam berbagai kegiatan komunikasi yang bersifat
nonformal di daerah tersebut, karena memang rata-rata penduduk Dusun Kalimas berasal dari
etnik Madura sehingga etnik lainnya harus dapat menyesuaikan diri.
Keberadaan bahasa Arab di daerah Dusun Kauman Kelurahan Kalimas Kecamatan Besuki

Kabupaten Situbondo juga tidak dapat dihapuskan. Dalam pergaulan sehari-hari, baik etnik Arab
maupun etnik lainnya seperti Madura dan Jawa dalam penggunaan bahasa Madura maupun
bahasa Indonesia selalu muncul kata-kata bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab di Dusun
Kauman Kelurahan Kalimas Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo, dalam pergaulan seharihari terbatas pada kata-kata tertentu saja. Masyarakat etnik Arab sendiri dalam menggunakan
bahasa Arab jarang yang sesuai dengan tata bahasa Arab yang baku, bahasa Arab biasanya
digunakan bercampur dengan bahasa Madura atau bahasa Indonesia.
1.2 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup yang akan diteliti sehubungan dengan proses campur kode bahasa Arab
terhadap bahasa Madura yang digunakan oleh sesama etnik Arab (asli dan campuran) yang
berdomisili di Dusun Kauman Kelurahan Kalimas, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo
adalah seputar ragam interaksi antaranggota keluarga dan antartetangga. Dari uraian di atas
peneliti dapat memformulasikan beberapa pokok permasalahan yang menjadikan alasan
mengapa penelitian peristiwa campur kode menarik bagi peneliti. Alasan yang utama adalah
timbulnya campur kode bahasa Arab ke dalam bahasa Madura pada masyarakat etnik Arab yang
pada hakekatnya menggunakan bahasa Arab untuk berkomunikasi sesama etnik. Namun,
kenyataan di lapangan bahasa Madura-lah yang mereka ujarkan, yang di dalamnya terdapat
beberapa unsur bahasa Arab yang disisipkan ke dalam bahasa setempat (bahasa Madura) dalam
bentuk kata dasar, frasa, klausa. Selain itu juga, faktor yang menjadi latar belakang masyarakat
etnik Arab lebih sering menggunakan bahasa kedua (bahasa Madura) dalam berkomunikasi

daripada bahasa Arab yang merupakan ciri khas etnik mereka, dan dampak peristiwa campur
kode dalam proses komunikasi antaretnik Arab.
Konsep etnik diartikan sebagai pertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau
kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama,
bahasa, dan sebagainya, sedangkan konsep etnik Arab merujuk pada konsep etnik tertentu, yaitu
Arab
Di Indonesia pengertian etnik Arab dilihat dari berbagai aspek, terutama yang menandai
keberadaan etnik tersebut baik secara fisik maupun perbedaan kekerabatan atau budayanya.
Dikatakan masyarakat etnik Arab karena mereka hidup secara berkelompok dalam berbagai
kolektiva yang mendiami ”pemukiman Arab” di berbagai kota di Indonesia, salah satunya di
Dusun Kauman kelurahan Kalimas kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan bentuk-bentuk campur kode dalam bahasa Arab (B.Ar) terhadap bahasa
Madura (BM) dalam ranah antarkeluarga dan antartetangga ,

2) Mendeskripsikan faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya campur kode bahasa
Arab (B.Ar) terhadap bahasa Madura (BM) dalam ranah antarkeluarga dan
antartetangga, dan
3) Mendeskripsikan dampak-dampak campur kode dalam kaitannya dengan proses

komunikasi antaretnik Arab dan pemakai non-Arab.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan teori kebahasaan yang sahih terutama dalam bidang sosiolinguistik. Selain
itu, hasil penelitian campur kode bahasa Arab terhadap bahasa Madura dapatnya dijadikan acuan
bagi penelitian kebahasaan di masa mendatang khususnya Ilmu Sosiolinguistik dan nantinya
hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai panduan umum penggunaan bahasa Arab terhadap
bahasa Madura baik bagi masyarakat etnik Arab (asli dan campuran).
BAB 2. METODE PENELITIAN
Metode dan teknik mempunyai hubungan yang sangat erat. Secara umum metode yang dipakai
dalam skripsi ini adalah metode deskriptif komparatif. (Sudaryanto, 1992:62). Metode deskriptif
adalah penelitian dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena
yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga yang dihasilkan atau
yang dicatat berupa perian bahasa dikatakan seperti paparan seperti apa adanya. Metode
deskriptif tidak mempertimbangkan benar salahnya penggunaan bahasa oleh penutur-penuturnya
dan metode sebagai cara kerja harus dijabarkan sesuai dengan alat dan sifat alat yang dipakai
(Sudaryanto, 1986:62). Metode komparatif adalah metode atau cara kerja dengan
membandingkan data yang satu dengan data yang lainnya, sehingga dapat diperoleh ilustrasi
yang jelas mengenai data yang terdapat dalam objek permasalahan. Dengan metode komparatif
akan dapat diketahui ada tidaknya kesamaan dan perbedaan dalam penggunaan bahasa

(Sudaryanto, 1992:63). Metode komparatif digunakan untuk mengetahui apakah unsur serapan
dalam pemakaian campur kode berasal dari bahasa Arab atau bahasa Madura.

Metode deskriptif komparatif adalah penelitian yang dilakukan semata-mata hanya
berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada
penutur-penuturnya, diharapkan dengan adanya fakta tersebut dapat diperoleh ilustrasi yang jelas
mengenai data yang terdapat dalam objek permasalahan tentang ada tidaknya kesamaan dan
perbedaan dalam penggunaan bahasa. Jadi, penelitian masalah campur kode bahasa Arab (B.Ar)
terhadap bahasa Madura (BM) ini ditekankan pada fenomena yang memang terdapat di setiap
percakapan dalam masyarakat etnik Arab.
Secara khusus, metode yang dipakai dalam penelitian ini dijabarkan dalam teknik-teknik.
Teknik merupakan cara kerja yang dijabarkan sesuai dengan alat dan sifat alat yang dipakai. Ada
tiga cara penanganan bahasa menurut tahapan strateginya (Sudaryanto, 1984:57) meliputi:
1) metode atau teknik penyediaan data,
2) metode atau teknik analisis data, dan
3) metode dan teknik pemaparan hasil analisis data.
2.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data
Metode penyediaan data peneliti menggunakan metode simak atau penyimakan, yaitu
metode yang dilakukan dengan menyimak secara langsung fakta kebahasaan yang muncul dalam
sumber data. Metode penyimakan tersebut menggunakan teknik dasar berupa sadap, yaitu

menyadap penggunaan bahasa. Penyadapan dilakukan dengan berpartisipasi dalam menyimak.
Dalam hal ini peneliti terlibat dalam dialog atau ikut serta dalam proses pembicaraan. Metode
tersebut dibantu dengan teknik pencatatan. Pencatatan yaitu mencatat semua yang diucapkan
oleh penutur dan lawan bicara.
2.2 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode analisis data adalah cara mengolah data yang telah terkumpul. Analisis data yang
digunakan melalui prinsip analogi, yaitu menganalogikan tuturan dalam konteks verbal. Dalam
analisis data peneliti menggunakan metode agih dan metode komparatif. Metode agih adalah
metode analisis yang alat penentunya bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:

15). Alat penentu yang dimaksud adalah unsur bahasa dari objek penelitian yang digunakan
untuk membuktikan ada tidaknya variasi campur kode dalam komunikasi lisan yang dilakukan
oleh masyarakat etnik Arab Dusun Kauman Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo.
Teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik ganti atau teknik substitusi.. Menurut
Sudaryanto (1993: 48) teknik ganti adalah teknik yang digunakan untuk mengetahui kadar
kesamaan kelas atau kategori unsur yang terganti, dan pengganti tersebut merupakan unsur yang
menjadi pokok permasalahan dalam analisis ini. Teknik ganti dilakukan dengan cara mengganti
salah satu unsur kalimat yang diketahui sebagai bentuk importasi dari bahasa Arab.
Pengklasifikasian data berdasarkan asal bahasa digunakan bukti padanan kata, yaitu dari Kamus
Arab – Indonesia (1973). Dengan demikian, dapat diketahui apakah bentuk kalimat itu

mengalami campur kode bahasa atau tidak. Contoh penerapan metode Agih dapat dilihat sebagai
berikut:
1. mara rah seteppa’, be’na lah hazwaj apa gi’ lanceng
[mararahsēteppa?, bē?nalahhazwajapagi?lancēŋ]
Ayo mana yang tepat, anda sudah nikah apa masih bujang?
Data di atas menurut teknik ganti atau substitusi terdiri atas sembilan unsur kata, yaitu mara/ rah/
seteppa’/ be’na/ la/ hazwaj/ apa/ gi’/ lanceng. Kalimat tersebut terdapat peristiwa campur kode
yaitu masuknya unsur bahasa Arab dalam bahasa Madura. Dengan teknik ganti dapat diketahui
bahwa campur kode di atas dari bahasa Arab hazwaj dapat diganti dengan bahasa Madura kabin
(kawin), sehingga kalimat di atas menjadi;
1a. mara rah seteppa’, be’na lah kabin apa gi’ lanceng
[mararahsēteppa?, bē?nalahkabInapagi?lancēŋ]
Ayo mana yang tepat, anda sudah nikah apa masih bujang?
2.3 Metode dan Teknik Pemaparan Hasil Analisis Data

Metode pemaparan hasil analisis data adalah penyajian hasil pengolahan dari data atau
penyajian handal. Pemaparan hasil analisis data ada dua macam, yaitu metode penyajian formal
dan metode penyajian informal. Penyajian formal adalah penyajian kaidah berupa perumusan
dengan tanda dan lambang-lambang yang ada, sedangkan penyajian informal adalah penyajian
kaidah bahasa berupa perumusan dengan kata-kata biasa yang dijelaskan oleh Sudaryanto

(1993:144-146). Metode dan pemaparan hasil analisis data adalah upaya peneliti dalam
menangani langsung masalah yang bersangkutan dengan cara-cara tertentu.
2.4 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di sebuah dusun yang dikenal dengan sebutan ”Kauman”. Dusun tersebut
terletak di bagian barat Kelurahan Kalimas Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo. Kelurahan
Kalimas terdiri atas 9 RW dan 23 RT. Daerah tersebut didiami oleh mayoritas (etnik Madura),
Arab, Jawa, Cina, India, peranakan Pakistan dan Yaman. Khusus etnik Arab banyak bermukim
di RT 03/RW 03, sebagian di RT 04/RW 03 dan di RT 01/RW 04. Lokasi penelitian ditentukan
di RT 03, RT 04 dan RW 03 yang merupakan daerah unsur patrilineal ke-arabannya masih
terjaga, etnik Arab berkumpul menjadi satu kesatuan, sedangkan RT 01 RW 04, merupakan
daerah yang unsur ke-arabannya sudah bercampur dengan masyarakat setempat atau peranakan
hasil pernikahan antaretnik.
2.5 Data dan Sumber Data
Data merupakan bahan yang diolah dalam suatu penelitian. Sudaryanto (1990: 3)
menyatakan bahwa data merupakan bahan jadi dari pemilihan dan pemilahan aneka macam
tuturan. Jelaslah bahwa data memberikan informasi yang memungkinkan terhadap objek yang
hendak diteliti. Data dalam penelitian ini adalah campur kode bahasa Arab terhadap bahasa
Madura yang digunakan oleh sesama etnik Arab dalam situasi santai ranah antartetangga dan
antarkeluarga dalam masyarakat etnik Arab Dusun Kauman Kecamatan Besuki Kabupaten
Situbondo.
Sumber data menurut Arikunto (1989:102) adalah subjek dari mana data diperoleh. Jenis sumber
data yang dijadikan objek penelitian tentu saja harus objektif. Hal itu sebagai syarat mutlak
akurasi pembahasan. Dengan demikian, relevansi data dengan pokok permasalahan dapat terjaga.

Sumber data dapat dibedakan atas sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer adalah
data yang diperoleh untuk keperluan analisis. Sumber data sekunder merupakan acuan dalam
kegiatan analisis. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah ujaran-ujaran atau kata-kata
dalam bahasa Madura yang tercampuri oleh bahasa Arab pada ranah interaksi nonformal
antaranggota keluarga dan antartetangga yang memunculkan gejala campur kode. Sedangkan
sumber data sekundernya adalah buku-buku linguistik dan buku-buku penunjang lainnya.
2.6 Populasi dan Sampel
2.6.1 Populasi
Populasi merupakan keseluruhan objek yang diperlukan dalam penelitian. Sudaryanto
(1988:21) menyatakan bahwa populasi adalah objek yang sudah ada atau yang diadakan baik
yang kemudian terpilih sebagai sampel maupun tidak. Populasi dalam penelitian ini adalah
bentuk tuturan campur kode yang terjadi pada proses interaksi nonformal antaranggota keluarga
dan antartetangga. Tuturan itu dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam komunikasi
antaranggota keluarga dan antartetangga.
2.6.1 Sampel
Dalam suatu penelitian sampel memiliki peranan penting. Sudaryanto (1988:21)
menyatakan bahwa sampel adalah objek dari penelitian yang diambil sebagian saja yang
dipandang penting dan dapat mewakili secara keseluruhannya. Sampel merupakan bagian yang
lebih kecil dari populasi.
Pengambilan sampel penelitian menggunakan metode random. Menurut Hadi (1980:75).
Random sampel adalah pengambilan sampel secara random atau tanpa pandang bulu. Dalam
sampel semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Sampel dapat digunakan jika
populasi terdiri atas kelompok-kelompok yang mempunyai susunan bertingkat. Kelompokkelompok yang mempunyai susunan bertingkat tersebut menunjukkan adanya strata atau lapisanlapisan. Tiap-tiap strata harus mewakili sampel (Hadi, 1980:82). Diharapkan dengan adanya data
campur kode yang berupa kata dasar, frasa, dan klausa dalam komunikasi akan menunjukkan

strata atau lapisan tertentu dalam perstiwa tutur. Dalam penelitian ini teknik yang digunakan
adalah random sampling. Pengambilan data yang dilakukan mulai Maret 2007 sampai dengan
September 2007.
BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
3.1 Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka menjadi landasan yang mendasar dalam suatu penulisan skripsi. Selain untuk
memantapkan dan menguatkan konsep, tinjauan pustaka dilakukan untuk menghindari adanya
hasil skripsi yang ganda atau hasil skripsi yang sama. Tinjauan pustaka hasil skripsi itu mengacu
pada peristiwa campur kode. Skripsi yang pernah dihasilkan akan dipaparkan sebagai berikut.
Skripsi pertama ditulis oleh Koesmianto (1994) yang berjudul Campur Kode Lesksikal
Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa dalam Kumpulan Sketsa Slilit Sang Kiai karya
Emha Ainun Nadjib. Skripsi tersebut mendeskripsikan bentuk campur kode dan menghitung
jumlah serta presentase unsur campur kode berdasarkan bidang atau istilah sosial dan politik,
keagamaan dan budaya. Hasil skripsi itu menunjukkan bahwa presentase penggunaan campur
kode bahasa Jawa mendominasi. Hal tersebut disebabkan pengarang berlatar belakang sebagai
orang Jawa.
Skripsi kedua ditulis oleh Ashkabul Mukminin (1995) yang berjudul Campur Kode Bahasa
Jawa terhadap Bahasa Indonesia sebagai Alat Politik (Tinjauan Sosiolinguistik terhadap
Tulisan-tulisan Soekarno). Skripsi tersebut mendeskripsikan bentuk campur kode bahasa Jawa
terhadap bahasa Indonesia dalam wujud kata, perulangan, dan idiom yang digunakan sebagai alat
politik. Hasil skripsi tersebut menunjukkan bahwa bahasa yang dipergunakan oleh Soekarno
dalam tulisannya yang berupa campur kode memiliki muatan politis. Dari analisis diperoleh
fakta bahwa pendekatan konteks budaya merupakan teknik yang mampu menjelaskan secara
detil fakta kebahasaan yang memiliki nuansa politik. Hal itu selaras dengan budaya politik yang
berlaku pada masa itu yakni budaya politik yang bercorak kultur Jawa. Bentuk campur kode
yang paling jelas (transparan) dalam mengemban fungsi komunikasi politik adalah bentuk
campur kode yang berwujud idiom. Hal tersebut disebabkan idiom lebih mampu menjelaskan
makna struktur kebahasaan secara lengkap dan secara kultural telah mengakar dalam masyarakat.

Skripsi yang ketiga ditulis oleh Muhammad Baihaqi (1997) yang berjudul Campur Kode Bahasa
Jawa terhadap Bahasa Indonesia dalam Acara Aneka Ria Srimulat di Televisi Indosiar. Skripsi
tersebut mendeskripsikan bentuk-bentuk ujaran campur kode kata dasar dan tingkat frekuensi
kemudahan pemakaian campur kode bahasa Jawa dalam kata dasar dalam kalimat bahasa
Indonesia. Selain itu Baihaqi mencoba mendeskripsikan bentuk campur kode kata ulang sebagai
kata penegas untuk memberi nilai tegas terhadap tuturan yang disampaikan, bentuk baster dan
mendiskripsikan faktor yang melatarbelakangi campur kode itu yaitu faktor keakraban, faktor
kejelasan, dan faktor penghormatan.
Skripsi keempat ditulis oleh Darita Wulandari (1997) yang berjudul Campur Kode Bahasa Jawa
pada Bahasa Indonesia dalam Iklan Radio di Kabupaten Trenggalek. Skripsi tersebut
mendeskripsikan bentuk campur kode bahasa Jawa dalam bentuk imbuhan dalam tuturan di iklan
radio dan bentuk campur kode yang berupa kata ulang yang berfungsi sebagai kata penegas.
Fungsi penegas atau penegasan itu dimaksudkan untuk memberi nilai makna yang lebih tegas
terhadap tuturan yang disampaikan.
Skripsi kelima ditulis oleh Fawzah R. Khomsah (1998) dengan judul Campur Kode Bahasa
Indonesia terhadap Bahasa Sasak sebagai Alat Dakwah, Tinjauan Sosiolinguistk Pengajian
Tachassus di Lingkungan Karang Buaya, Pagutan Lombok. Dalam skripsi tersebut dibahas
peristiwa campur kode yang berupa kata dasar, frasa, klausa, kata berimbuhan serta faktor-faktor
yang melatarbelakangi peristiwa campur kode adalah faktor keagamaan, faktor ketidaktahuan,
dan faktor sosial.
Skripsi keenam ditulis oleh Sarce Vantin Ros (2002) dengan judul Campur Kode Bahasa Jawa
terhadap Bahasa Indonesia pada Persidangan di Pengadilan Negeri Jember. Pada analisis yang
dilakukan terhadap peristiwa campur kode yang berupa kata dasar, kata berimbuhan, kata ulang
dan frasa serta faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa campur kode, diketahui
bahwa idsentifikasi peran, kedwibahasaan, kegunaan untuk menjelaskan dan menafsirkan
menjadi beberapa penyebabnya.
Skripsi yang ketujuh ditulis oleh Annisa Sari (2003) dengan judul Campur Kode Bahasa Arab
terhadap Bahasa Indonesia di Lingkungan UKKI Universitas Jember, menjadi tinjauan pustaka

berikutnya. Skripsi tersebut membahas tentang bentuk campur kode dan faktor-faktor yang
melatarbelakangi campur kode bahasa Arab terhadap bahasa Indonesia di lingkungan UKKI
Universitas Jember. Hasil penelitiannya yaitu bentuk-bentuk campur kode bahasa Arab terhadap
bahasa Indonesia di lingkungan UKKI Universitas Jember didominasi bentuk kata yang terdiri
atas kata ganti orang, kata kerja dan kata benda, sedangkan faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya campur kode adalah faktor identitas, faktor belajar, faktor kekeluargaan dan faktor
ketidaktahuan.
Skripsi yang kedelapan ditulis oleh Windy Fitria Sari (2004) yang berjudul Campur Kode
Bahasa Jawa terhadap Bahasa Indonesia dalam Kumpulan Tulisan dari Pojok Sejarah
(Perenungan Perjalanan) dan Gelandangan di Kampong Sendiri karya Emha Ainun Nadjib.
Skripsi tersebut mendeskripsikan bentuk-bentuk campur kode pada presentase masuknya
kosakata bahasa Jawa ke dalam kalimat bahasa Indonesia. Campur kode ke dalam disebut juga
sebagai gejala peminjaman dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.
Skripsi yang kesembilan ditulius oleh Maharani Prihatiningsih Hidayatullah (2005) yang
berjudul Campur Kode Bahasa Inggris terhadap Bahasa Indonesia dalam Novel Lupus karya
Hilman Hariwijaya. Skripsi itu membahas tentang bentuk campur kode bahasa Inggris terhadap
bahasa bahasa Indonesia dalam novel Lupus karya Hilman Hariwijaya didominasi bentuk kata
kerja, frasa, klausa dan sejumlah idiom, sedangkan faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya campur kode adalah faktor kekerabatan, faktor ketidaktahuan dan faktor sengaja
melucu.
Dari sembilan skripsi yang penulis paparkan tersebut di atas, terdapat persamaan dan perbedaan
jika dibandingkan dengan skripsi yang penulis susun sekarang. Perbedaan dan persamaan
tersebut dapat penulis paparkan sebagai berikut.
Persamaan antara skripsi-skripsi yang telah dihasilkan dengan skripsi yang disusun sekarang
adalah sebagai berikut.
1) Kesembilan skripsi tersebut secara umum memiliki topik yang sama dengan skripsi ini,
yaitu menelaah dan mengamati gejala bahasa yang disebut campur kode

2) Skripsi yang disusun oleh Fawzah R Khomsah, Sarce Vantin Ros, dan Annisa Sari
dilakukan di lapangan, penelitian tersebut ilaksanakan di Lingkungan Karang Buaya,
Pagutan Lombok, di Pengadilan Negeri Jember, dan UKKI di lingkungan Universitas
Jember. Namun, pengamatan yang dilakukan pada skripsi ini dilakukan pada komunitas
masyarakat etnik Arab di Kelurahan Kalimas Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo.
Perbedaan skripsi-skripsi tersebut dengan skripsi ini adalah sebagai berikut.
1) Beberapa skripsi yang telah dihasilkan mengambil sumber data dalam bentuk tulisan,
yakni Ni Luh Ramayani (1991) dan Maharani Prihatiningsih Hidayatullah (2005) yang
mengambil data dari novel Lupus, Koesmianto (1994) dan Windy Fitria Sari (2004)
mengambil data dari tulisan karya Emha Ainun Nadjib, Muhammad Baihaqi (1997)
mengambil data dari tayangan acara Ria Srimulat di Televisi Indosiar, Darita Wulandari
(1997) mengambil data dari iklan radio di kabupaten Trenggalek, dan Ashkabul
Mukminin (1995) mengambil data dari tulisan-tulisan politis Soekarno, sedangkan
skripsi ini mengambil data dari pengamatan di lapangan,
2) Campur kode yang dibahas pada penelitian itu adalah bahasa Arab dan bahasa Madura,
sedangkan campur kode beberapa skripsi lainnya bersinggungan dengan percampuran
bahasa Sasak, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
3.2 Landasan Teori
Sebelum mengkaji peristiwa campur kode terlebih dahulu harus mengetahui yang dimaksud
campur kode. Campur kode merupakan gejala penggunaan unsur bahasa yang satu ke dalam
penggunaan bahasa yang lain dari penutur yang menyebabkan munculnya dislokasi. Campur
kode terjadi sebagai akibat adanya ketidakmampuan penutur menguasai sistem bahasa pertama
dengan baik sehingga menyebabkan masuknya unsur-unsur atau sistem bahasa kedua. Teori-teori
yang mendukung pembahasan penelitian sebagai berikut.
3.2.1 Variasi Bahasa

Variasi bahasa yang ada dalam masyarakat merupakan hal yang wajar, sebab tipe dan status
sosial yang ada dalam merupakan cerminan adanya stratifikasi sosial. Demikian pula sebaliknya,
variasi bahasa tumbuh dan berkembang karena kebutuhan penutur terhadap variasi.
Suwito (1983:29), berpendapat bahwa variasi bahasa adalah sejenis ragam yang pemakaiannya
disesuaikan dengan situasi dan fungsinya, tanpa mengabaikan kaidah pokok yang berbeda dalam
bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan pengertian tersebut, masalah variasi bahasa sangat
bergantung pada dua faktor, yaitu faktor linguistik dan faktor nonlinguistik. Hal-hal yang terkait
dengan faktor linguistik terwujud dalam norma-norma internal bahasa, baik sistem bunyi, sistem
kata, maupun sistem kalimat. Hal-hal yang terkait dengan faktor nonlinguistik berupa pemakaian
bahasa yang disesuaikan dengan situasi dan fungsi bahasa yang bersangkutan.
Secara praktis variasi bahasa digunakan sebagai alat komunikasi yang pemakaiannya disesuaikan
dengan situasi pembicaraan. Variasi bahasa yang terdapat dalam masyarakat menimbulkan
ragam bahasa yang berbeda-beda. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan variasi bahasa
adalah faktor tempat, sehingga variasi bahasa yang dipakai oleh seorang penutur di tempat
tertentu, berbeda dengan variasi yang dipakai di tempat lain. Perbedaan tersebut tidak dibentuk
manasuka tetapi mengikuti kaidah spesifik yang berlaku pada tempat tersebut. Variasi bahasa
meliputi bidang fonologi, leksikal, morfologi dan sintaksis.
3.2.2 Kedwibahasaan
Istilah kedwibahasaan adalah istilah yang pengertiannya bersifat nisbi (relative).
Kenisbian terjadi karena batas seseorang untuk dapat disebut dwibahasawan itu bersifat arbitrer
dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Kenisbian juga terjadi karena sulitnya mengukur
tingkat kemampuan berbahasa dari seseorang. Hal itu disebabkan pandangan terhadap
dwibahasawan didasarkan kepada batas kemampuan dwibahsaan seseorang (Suwito, 1983:40).
Pada mulanya kedwibahasaan diartikan sebagai penguasaan yang sama baiknya terhadap
dua buah bahasa (Rusyana, 1984:50). Kemudian, dwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua
buah bahasa secara bergantian oleh seorang pembicara. Pandangan para ahli bahasa terhadap
pengertian

kedwibahasawan

berbeda-beda.

Nababan

(1984:27)

menyatakan

bahwa

kedwibahasaan ialah kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain.

Suatu masyarakat yang anggotanya menggunakan lebih satu bahasa disebut masyarakat bilingual
atau berdwibahasa. Apabila seseorang dapat menguasai bahasa lebih dari satu bahasa dan dapat
menguasai serta memahami apa yang dikatakan dan ditulis dalam bahasa tersebut disebut
dwibahasawan.
Dalam hal kedwibahasaan, dwibahasawan tidak perlu menggunakan dua bahasanya,
tetapi cukup mengetahui kedua bahasa tersebut dan dwibahasawan tersebut harus sanggup
melahirkan tuturan bermakna yang lengkap dengan bahasa lain (Rusyana, 1984:50). Menurut
Mackey (dalam Suwito, 1983:42), salah satu ciri utama kedwibahasaan adalah dipergunakannya
dua bahasa (atau lebih) oleh seseorang atau sekelompok orang, tetapi kedua bahasa itu tidak
mempunyai peranan sendiri-sendiri di dalam masyarakat pemakai bahasa.
Dalam hubungannya dengan hal tersebut, Samsuri (1994:55) membagi dwibahasawan
menjadi dua macam yaitu: (1) kedwibahasaan sejajar, yaitu kedwibahasaan yang dipakai oleh
pemakai bahasa yang terpelajar dan mempunyai penguasaan yang sama dengan penguasaan
bahasa pertama dan kedua (bahasa ibu), dimana kedua bahasa itu dapat digunakan secara
bergantian tanpa menimbulkan dislokasi struktur, dan (2) kedwibahasaan bawahan yaitu
kedwibahasaan yang dipakai oleh pemakai bahasa yang kurang terpelajar, sehingga penggunaan
bahasa pertama atau bahasa ibu akan semakin besar pengaruhnya terhadap bahasa kedua.
3.2.3 Pengertian Campur Kode
Campur kode terjadi akibat percampuran proses penguasaan bahasa kedua, karena adanya
perbedaan sistem antara bahasa pertama dan bahasa kedua dari penutur. Nababan (1984:32)
menyatakan bahwa campur kode adalah gejala pencampuran dua atau lebih bahasa atau ragam
bahasa dalam suatu tindakan bahasa yang dalam situasi berbahasa itu mendapat percampuran dua
bahasa tersebut. Jadi, campur kode merupakan percampuran dua bahasa atau lebih yang
dilakukan oleh penutur. Campur kode dilakukan oleh penutur diwarnai oleh latar belakang sosial,
ras, keagamaan, tingkat pendidikan, dan usia.
Dalam teori yang lain (Suwito, 1983:69) campur kode atau code mixing terjadi akibat dari
kontak bahasa dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Ciri yang menandai campur kode
adalah adanya ketergantungan bahasa. Dalam campur kode, fungsi kontak bahasa dan relevansi

dalam situasi merupakan ciri ketergantungan dalam berbahasa. Maksudnya, dalam campur kode
ditandai oleh:
1) masing-masing bahasa dipertahankan fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, dan
2) masing-masing bahasa yang digunakan sesuai dengan situasi yang relevan dengan
perubahan konteks. Ciri-ciri tersebut unit-unit kontekstual atau contecstual units.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa campur kode menunjukkan suatu gejala
adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dengan situasi relevansional di dalam
pemakaian dua bahasa atau lebih.
3.2.4 Latar Belakang terjadinya Campur Kode
Pada dasarnya latar belakang terjadinya campur kode disebabkan oleh dua hal, yaitu hal
yang berlatar belakang kebahasaan dan hal yang berlatarbelakang nonkebahasaan. Di samping
kedua latar

belakang

tersebut, Suwito (1983:77) mengemukakan

tiga

aspek yang

melatarbelakangi terjadinya campur kode yaitu: (a) identifikasi peran, (b) identifikasi ragam, dan
(c) keinginan menjelaskan dan memaparkan.
Ketiga latar belakang yang dimaksud Suwito sangat erat hubungannya sehingga tidak
dapat dipisahkan. Pengertian dari identifikasi peranan adalah lingkungan sosial. Identifikasi
ragam ditentukan jika seseorang melakukan campur kode dapat mengidentifikasikan dirinya
dalam strata sosial tertentu. Artinya seseorang dengan bercampur kode dengan bahasa tertentu
dapat dicarikan ciri penanda latar belakang status sosial orang tersebut. Keinginan untuk
menjelaskan sikap dan hubungan orang lain dengan dirinya.
3.2.5 Wujud Campur Kode
Campur kode mempunyai bermacam-macam bentuk. Suwito (1983:72) berpendapat
bahwa campur kode berdasarkan unsur kebahasaan yang terlibat di dalamnya dapat dibedakan
menjadi beberapa macam, antara lain: penyisipan unsur-unsur berupa kata, frase, kata ulang, kata
ungkapan atau idiom dan berupa klausa. Dalam proposal penelitian ini wujud campur kode yang

dianalisis meliputi empat bentuk saja, yaitu penyisipan unsur berwujud kata dasar, frase, dan
klausa.
3.2.5.1 Penyisipan Campur Kode Berwujud Kata Dasar
Kata merupakan morfem bebas terkecil. Sebagai satuan gramatikal terkecil, kata dapat
berupa kata dasar dan kata berimbuhan, misalnya kita indah, tenteram, sepi, bagus dan rapi
berupa kata dasar, sedangkan kata keindahan, ketentraman, kesepian, kebagusan dan kerapian
merupakan morfem bebas yang berupa kata berimbuhan (Keraf, 1987:56). Pada umumnya
pengertian kata dasar merupakan kata yang belum mengalami proses morfologis, misalnya kata
indah, tentram, sepi, bagus dan rapi. Demikian sebaliknya kata kompleks ialah kata yang telah
mengalami perubahan bentuk karena adanya proses afiksasi, perulangan (reduplikasi), dan
pemajemukan.
Penyisipan unsur-unsur berwujud kata dasar oleh seorang dwibahasawan ke dalam
bahasa lain dapat dilihat pada contoh dalam bahasa Jawa ’neddho’, merupakan bentuk dasar atau
kata dasar. Campur kode berupa kata dasar dimaksud dengan pemakaian campur kode yang
menggunakan kata dasar dalam tuturannya. Contoh dalam kalimat
1) Anda sudah neddho Mas?
Kata neddho di atas termasuk kata dalam bahasa Jawa. Kalimat di atas merupakan
kalimat dalam bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat kata bahasa Jawa neddho yang
berarti ’makan’ (dalam bahasa Indonesia). Kalimat di atas dapat di ubah bentuknya menjadi
bentuk yang benar dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
1a. Anda sudah makan Mas?
3.2.5.2 Penyisipan Campur Kode Berwujud Frasa
Frase adalah satuan gramatik yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melampaui
batas fungsi unsur klausa (Ramlan, 1987:151). Secara umum frase dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu frase endosentrik dan frase eksosentrik. Frase endosentrik merupakan frase yang
mempunyai distribusi yang sama unsur-unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu

unsur-unsurnya (Ramlan, 1987:155) contoh guru baru. Frase eksosentrik merupakan frase yang
tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsur-unsurnya, contoh: di kantor.
Campur kode berupa bentuk frase, berarti bahwa seorang dwibahasawan menggunakan
bentuk frase dalam bahasa lain dalam tuturannya, misalnya.
2. Nah karena saya sudah kadhung apik sama dia, ya saya tanda tangani
Frase kadhung apik di atas merupakan bentuk frase dalam bahasa Jawa. Bentuk frase itu
digunakan dalam kalimat bahasa Indonesia, sehingga membentuk campur kode yang berupa
frase. Frase kadhung apik merupakan bentuk frase endosentrik. Maksudnya, frase kadhung apik
salah satu unsurnya merupakan objek dari unsur sebelumnya. Pada kalimat di atas dapat di ubah
bentuknya menjadi bentuk yang benar dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
2a. Nah karena saya sudah terlanjur baik dengan dia, ya saya tanda tangani
3.2.5.3 Penyisipan Campur Kode Berwujud Klausa
Klausa adalah satuan gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-kurangnya terdiri
atas subjek dan predikat serta berpotensi menjadi kalimat (Ramlan, 1987: 167).
3. Mau apa lagi, ik heb toch iets gedaan!
[mauapalagI, IkhebtOchIētsgēdaan]
Kalimat di atas merupakan kalimat yang didalamnya terdapat klausa bahasa Belanda. Klausa
bahasa Belanda yang dimaksud adalah klausa ik hen toch iets gedaan yang berkedudukan
sebagai predikat. Kata tersebut mempunyai padanan kata dalam bahasa Indonesia adalah saya
toh sudah berusaha. Berdasarkan konteks kalimat di atas klausa ik heb toch iets gedaan
mempunyai padanan klausa saya toh sudah berusaha. Dengan demikian, klausa ik heb toch iets
gedaan dalam bahasa Indonesia pada kalimat di atas dapat diganti dengan.
3a. Mau apa lagi, saya toh sudah berusaha.

BAB 4. DESKRIPSI BENTUK-BENTUK CAMPUR KODE BAHASA ARAB TERHADAP
BAHASA MADURA
Peristiwa campur kode dapat terjadi akibat adanya penggunaan lebih dari satu bahasa oleh
dwibahasawan. Campur kode bahasa Arab terhadap bahasa Madura adalah campur kode yang
melibatkan pemakaian unsur-unsur bahasa Arab ke dalam bahasa Madura. Pembahasan campur
kode bahasa Arab terhadap bahasa Madura meliputi campur kode yang berbentuk kata dasar,
frase, dan klausa. Tiap-tiap bentuk campur kode akan dibahas berikut.
4.1 Deskripsi Campur Kode Berbentuk Kata Dasar
4.1.1 Deskripsi Campur Kode berbentuk Kata Dasar dalam Ranah Tetangga
Peristiwa campur kode bahasa Arab (B.Ar) terhadap bahasa Madura (BM) berbentuk kata dasar
dalam ranah tetangga dapat dilihat sebagai berikut.
1) Ta’ ossa e dorob mon ampon ngako ngala’ pao
[ta?όssaedOrObmόnampόnŋakόŋala?Pao]
“tidak usah di pukul kalau sudah mengaku ambil mangga”
2) Molle ghelle’ be’en ma’ tabassum malolo, bannya’ pessena ghi..?
[mόlleghēllз?bз’ēnma?Tabassummalόlό, banηa?pēssena ghi]
“mulai tadi anda kok senyum-senyum terus, apa lagi banyak uang ya”
3) Mon e abes dhari ade’ ente, enga’ oreng se ta’ endhi’ lada’
[mόnēabзsdhāriadз?ente, ēŋa?rзŋsēta?зndhi?ladā?]
“kalau dilihat dari depan, anda seperti orang yang tidak memiliki semangat”
4) hai yek, tore faddhal sakejjek ka compo’
[haiye?, tOrεfaddhālsakejjε?kacompo?]

”hai yek, mari mampirlah dulu ke rumah”
5) Je’ qirbi’ , todus ka tetanggeh daggi’ e songghui magra’
[je? qirbi?, tōdUs ka tεtaŋgεh dāggI? e sOŋghuI magra?]
”Jangan banyak gaya, malu sama tetangga nanti dikira gila”
Kata dasar dorob pada data (1) tersebut merupakan kata dasar dalam bahasa Arab, sehingga kata
tersebut merupakan wujud campur kode bahasa Arab ke dalam kalimat bahasa Madura. Kata

dorob dalam (KAI, 1973: 227) bahasa Arab

(doroba) memiliki makna dasar, yaitu

dipukul. Kata dasar doroba dalam bahasa Arab kemudian berubah menjadi dorob dalam bahasa
Madura, disini terlihat jelas perubahan kata yang berasimilasi dengan lidah masyarakat Madura.
Dengan demikian kata dorob /dOrOb/ (bahasa Arab) dapat diganti dengan kata e’ pokol /ē
pokOl/ (bahasa Madura), imbuhan /-e/ tersebut merupakan kata penghubung dalam bahasa
Madura yang bermakna /di-/. Berdasarkan analisis tersebut dapat dikembalikan lagi ke dalam
bahasa Madura sebagai berikut.
1a) Ta’ ossa e pokol mon ampon ngako ngala’ pao
[ta?OssaepokOlmOnampOnŋakOŋala?PaO]
Kata dasar pada data (2) di atas merupakan wujud campur kode bahasa Arab terhadap
bahasa Madura. Kata tabassum (KAI,1973: 65) dalam bentuk bahasa Arab

‫تبشم‬

memiliki

makna dasar ‘tersenyum’. Kata tabassum mempunyai padanan kata dalam bahasa Madura, yaitu
nyarengngi /ηareŋŋi/ ‘tersenyum’. Dengan demikian kata tabassum (B.Ar) dapat diganti dengan
nyarengngi (BM). Berdasarkan analisis data tersebut kata tabassum tidak memiliki bentuk jamak
lainnya seperti contoh pada data (1) di atas. Kata tabassum merupakan bentuk tunggal yang
memiliki makna tersenyum dan dapat diubah dalam bentuk kata bahasa Madura, yaitu
nyarengngi. Jadi, kalimat di atas dapat dikembalikan lagi ke dalam bahasa Madura sebagai
berikut.

2a) Molle ghelle’ be’en ma’ tabassum malolo, bannya’ pessena ghi?
atau,
Molle ghelle’ be’en ma’ nyarengngi malolo, bannya’ pessena ghi?
[mόlleghēllз?bз’ēnma?ηarēŋŋImalόlό, banηa?pēssenaghi]
mulai tadi anda kok senyum-senyum terus, apa lagi banyak uang ya
Kata dasar pada data (3) tersebut di atas merupakan wujud campur kode bahasa Arab
terhadap bahasa Madura. Kata ente dan lada’ (KAI, 1973: 50-394) dalam bentuk bahasa Arab

‫ انتم‬/antum/ memiliki makna kamu (panggilan untuk Laki-laki) dan ‫لزعه‬/ladzanga/ memiliki
makna syahwat atau keinginan. Berdasarkan analisis tersebut kata dasar ente merupakan bentuk
campur kode bahasa Arab terhadap bahasa Madura, kata antum berubah menjadi [ente], yang
unsur keaslian kata tersebut hanya diambil dua huruf depan, yaitu vokal /e-/ pada [antum] diganti
[ent-] dan dua huruf akhir di belakang /–um/ diganti menjadi /–e/, sehingga bentuk dasarnya
berubah menjadi ente yang makna dasarnya tetap sama, yaitu kamu (panggilan untuk laki-laki).
Kata dasar lada’ merupakan bentuk campur kode bahasa Arab terhadap bahasa Madura. Kata
lada’ memiliki bentuk dasar ladzanga. Kata ladzanga diubah dengan menghilangkan dan
mengganti huruf konsonan di belakang, yaitu dari [–dzanga] menjadi /–da’/, kemudian huruf
depannya tetap sama sehingga menjadi [lada’]. Jadi, bentuk dasar dari lada’ adalah ladzanga
yang bermakna syahwat atau keinginan. Kata ente dan lada’ mempunyai padanan kata dalam
bahasa Madura, yaitu kamu be’en dan ta’ endhi’ ora’. Jadi, kalimat di atas dapat dikembalikan
lagi ke dalam bahasa Madura sebagai berikut.
3a. Mon e abes darri ade’ ente, enga’ oreng se ta’ endhi’ lada’
[mόnēabзsdhāriadз?ente, ēŋa?rзŋsēta?зndhi?ladā?]
kalau dilihat dari depan, anda seperti orang yang tidak memiliki semangat
atau

Mon e abes darri ade’ be’en, enga’ oreng se ta’ endhi’ ora ’
[mٍόnēabзsdhāriadз?bé?ēn, ēŋa?rзŋsēta?зndhi?Ora?]
Akibat perubahan kata di atas, arti kalimat jadi ikut berubah, terutama pada akhir kalimat
menjadi tidak memiliki urat, sehingga kalimat nomor 3a artinya menjadi.
3b. Kalau dilihat dari depan, anda seperti orang yang tidak memiliki urat (semangat)
Kata dasar pada data (2) merupakan wujud campur kode bahasa Arab terhadap bahasa
Madura. Dalam data (2) potongan kata dasar

‫ فدال‬/faddhal/ berasal dari bahasa Arab yang

bermakna berkunjung atau mampir (KAI, 1973:267). Kata tersebut memiliki padanan kata dalam
bahasa Madura yang berarti longghu atau mampir (B.Ind). Berdasarkan analisis di atas kata
faddhal dapat diganti dengan kata dari bahasa Madura yang bermakna sama, yaitu longghu.
Berikut penggantian kata tersebut dalam bahasa Madura.
4a. hai yek, tore faddhal sakejjek ka compo’
[haiye?, tōrεfaddhālsakejjε?ka compō?]
menjadi
hai yek, tore longghu sakejjek ka compo’
[haiye?, tōٍrεlōŋghusakejjε?kacompō?]
Hai yek, mari mampirlah dahulu ke rumah!
Kata dasar pada data (5) merupakan kalimat bahasa Madura yang di dalamnya terdapat klausa
bahasa Arab sebagai wujud campur kode bahasa Arab terhadap bahasa Madura. Dalam data (5)
terdapat dua kata, yaitu qirbi’ dan magra’. Kata

‫ قىربئ‬/qirbi’/ bermakna banyak gaya atau

pamer. Dalam (KAI, 1975: 363), kata gaya atau pamer berbentuk

‫ قاؤص‬/qousa/. Bentuknya

jauh dari pertama, yang membuat sama adalah konsonan pembentuk pertama saja di awali

dengan konsonan yang sama, yaitu /-q/. Sedangkan kata
Dalam (KAI, 1975: 411), kata stress berupa

‫ ماغلرء‬/magra’/ bermakna stress.

‫ ممماجنؤن‬/majnun/.

Baik konsep kata dan

konsonannya berbeda. Berdasarkan analisis tersebut di atas kata qirbi dan magra’ dapat
disubstitusikan ke dalam bahasa Madura yang memiliki konsep makna yang sama, yaitu a’gaya
dan ghileh. Berikut penggantian kata tersebut dalam bahasa Madura.
5a. Je’ qirbi’ , todus ka tetanggeh daggi’ e songghui magra’
[je?qirbi?, tōdUskatεtaŋgεhdāggI?e’sOŋguImagra?]
menjadi
Je’ banyya’ gaya, todus ka tetanggeh daggi’ e’songghui ghileh
[je?a’gaya, tōdUskatεtaŋgεhdāggI?e’sOŋguIghIlεh]
Jangan banyak gaya, malu sama tetangga nanti dikira gila
4.1.2 Deskripsi Campur Kode berbentuk Kata Dasar dalam Ranah Keluarga
Peristiwa campur kode bahasa Arab (B.Ar) terhadap bahasa Madura (BM) berbentuk kata dasar
dalam ranah keluarga dapat dilihat sebagai berikut.
1) Dhulien bing, asa’ah kakangnga ma’ le ta’ bhellis
[DhulIiзnbhiŋ, asa’ ahkakaŋŋama?lēta’bhellis]
lekaslah nak, bujuk suamimu agar tidak marah
2) Je’ ngelelban killim malolo, tape bhukte aghi
[Jē?ŋεlēlbankillimmalOlO, tapehBuktēaghi]
Jangan begadang dan bicara melulu, tapi buktikan
3) daddi reng bine’ je’ lebur magrub, daggi’ ta’ pajuh subban

[daddIrεŋbinε?Jē?Lεburmagrub, daggi?ta?pajUhSuBan]
Jadi wanita jangan suka merajuk nanti tidak laku perjaka muda
4) Mon yemzi ka sug je’ kaloppae bayyi’ blenje’nah
[mOnyēmzikasUgjē?kalOppaεbayyI?blεnjε?nah]
Kalau pergi ke pasar jangan lupa tawar barang belanjanya
Kata dasar asa pada data (1) tersebut merupakan kata dasar dalam bahasa Arab, sehingga
kata tersebut merupakan wujud campur kode bahasa Arab ke dalam kalimat bahasa Madura.

Kata asa dalam (KAI, 1973: 42) bentuk bahasa Arab

(asa) memiliki makna dasar,

yaitu membujuk. Kata asa dalam bahasa Arab kemudian berubah menjadi asa’ah dalam bahasa
Madura di beri akhiran /-ah/, disini terlihat jelas perubahan kata yang berasimilasi dengan lidah
masyarakat Madura. Dengan demikian kata asa /asa/ (bahasa Arab) dapat diganti dengan kata e’
pangarte [ē paŋart ē] (bahasa Madura), imbuhan /e-/ tersebut merupakan kata penghubung dalam
bahasa Madura yang bermakna /di-/. Berdasarkan analisis tersebut dapat dikembalikan lagi ke
dalam bahasa Madura sebagai berikut.
1a. Dhulien bing, asa’ah kakangnga ma’ le ta’ bhellis
[DhulIiзnbhiŋ, asa’ ahkakaŋŋama?leta’bhellis]
Menjadi
Dhulien bing, e pangarte kakangnga ma’ le ta’ bhellis
[DulIiзnbhiŋ, ēpaŋartēkakaŋŋama?leta’bhellis]
Lekaslah nak, bujuk suamimu agar tidak marah

Bentuk kata dasar pada data (2) tersebut di atas juga merupakan peristiwa campur kode
bahasa Arab terhadap bahasa Madura. Kata
kata

‫عاال‬/ngele/l memiliki makna begadang. Sedangkan

‫كالم‬/killim/ memiliki makna bicara, jika ditilik (dalam KAI,1975: 382) kosakata bicara atau

membicarakan di artikan sebagai

‫ موكممام‬/mukallamah/.

Dari kasus di atas jelas sekali

perbedaannya baik bentuk dan kosakatamya. Namun demikian, kata killim sering banyak dipakai
dalam komunikasi sehari-hari dan bukan mukallamah dari arti kamus sebenarnya. Berdasarkan
analisis di atas kata ngelel dan killim dapat disubstitusikan dengan kata dari bahasa Madura,
yaitu ngen-tangen dan bhenta. Berikut penggantian kata tersebut dalam kalimat bahasa Madura.
2a. Je’ ngelel ban killim malolo, tapeh bhukte aghi
[Jε?ŋεlēlbankillimmalOlO,tapehbhukteaghi]
menjadi
Je’ ngen-tangngen ban bhenta malolo, tapeh bhukte aghi
[Jē?ŋen-taŋŋenbanbhentamalOlO, tapēhbhuktēaghi]
Jangan begadang dan bicara melulu, tapi buktikan
Kata dasar pada data (3) merupakan kalimat bahasa Madura yang di dalamnya juga
terdapat wujud campur kode bahasa Arab terhadap bahasa Madura. Dalam data (3) potongan
kata dasar

‫ماغلرب‬

/magrub/ dan

‫صاباان‬

/subban/. Ka