Analisis campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Oleh

RINI MARYANI

NIM 106013000315

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Nama : Rini Maryani

NIM : 106013000315

Jurusan/Semester : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/IX Angkatan : 2006

Alamat : Jalan Perjuangan Rt 02/07 No. 8 Kelurahan Harapan Baru Kec. Bekasi Utara 17123

Menyatakan dengan sesungguhnya

Bahwa skripsi yang berjudul ―Analisis Campur Kode dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy‖ adalah benar hasil karya sendiri di

bawah bimbingan:

Nama : Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M. Pd. NIP : 19640212 199703 2 001

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan siap menerima segala konsekuensi apabila ternyata skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakarta, 11 Februari 2011 Yang menyatakan,


(3)

i Habiburrahman El Shirazy.

Bahasa berperan penting dalam kehidupan manusia dan satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Saat berinteraksi antarmanusia akan didapati manusia yang mampu menguasai lebih dari satu bahasa dikenal dengan sebutan bilingual dan multilingual yang memungkinkan akan terjadinya campur kode, campur kode adalah masuknya serpihan-serpihan bahasa ke bahasa lain. Campur kode bukan hanya terjadi pada percakapan lisan tetapi juga dapat terjadi dalam percakapan tulisan, misalnya novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui wujud campur kode dan fungsi campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan bentuk kualitatif, yaitu mendeskripsikan wujud dan fungsi terjadinya campur kode yang terdapat dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

Berdasarkan analisis data dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy didapati campur kode bahasa daerah (Jawa), dan bahasa Asing (Arab dan Inggris) berjumlah 219 data. Campur kode dominan adalah campur kode bahasa Arab, yaitu terdapat 107 data hal ini karena pengarang novel mampu berbahasa Arab dan novel ini adalah novel Islami yang sering menggunakan serpihan-serpihan bahasa keislaman sedangkan campur kode bahasa Inggris dan Jawa masing-masing 71 dan 41 data. Campur kode terbanyak yaitu berwujud kata, terdapat 114 data. Campur kode berwujud frasa terdapat 52 data. Campur kode berwujud klausa terdapat 16 data. Campur kode berwujud kata ulang terdapat 5 data. Campur kode berwujud baster 24 data. Campur kode berwujud ungkapan atau idiom terdapat 8 data. Campur kode dalam penulisan novel dapat dibagi menurut penggunaannya berupa campur kode deskripsi dan campur kode pada dialog, dalam deskripsi cerita yang bertujuan menggambarkan latar, peristiwa, dan tokoh sedangkan dialog yang bertujuan untuk menyajikan percakapan tokoh/antartokoh. Fungsi yang melatarbelakangi terjadinya campur kode dalam novel dwilogi Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy adalah (1) karena menghormati lawan tutur, (2) karena kebutuhan kosakata, (3) karena ingin mencari jalan termudah menyampaikan maksud, (4) karena membicarakan topik tertentu, (5) menunjukkan identitas, (6) menunjukkan keterpelajaran, (7) mempertegas sesuatu, (8) memperhalus tuturan, (9) menunjukkan keakraban, dan (10) sebagai pengisi dan penyambung kalimat. Fungsi campur kode dominan adalah kebutuhan kosakata yaitu 36 data, terdapat pada campur kode wujud kata.


(4)

ii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur atas limpahan rahmat, nikmat, dan hidayah Allah SWT dengan kemudahan-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya keluar dari zaman jahiliyah ke zaman cahaya islami yang terang benderang.

Penyusunan skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik karena adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak kepada penulis. Oleh karena itu, sebagai ungkapan rasa hormat yang tulus, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

2. Ibu Dra. Mahmudah Fitriyah, Z.A, M.Pd. Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sekaligus sebagai Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. E. Kusnadi Dosen Penasehat Akademik yang selalu memberikan nasehat-nasehat yang berguna untuk penulis.

4. Bapak Hilmi Akmal, M.Hum. yang telah bersedia meluangkan waktunya saat penulis bertanya mengenai campur kode dalam sosiolinguistik.

5. Ibu Rosyida Erowati, M.Hum. dan para dosen lainnya yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang berguna kepada penulis.

6. Pimpinan dan karyawan perpustakaan FITK, perpustakaan UIN Jakarta, yang telah memberi kemudahan bagi penulis dalam memperoleh informasi.

7. Kedua orang tua (Ayahanda Edi Suparno dan Ibunda Rosih), atas segala bentuk cintanya kepada ananda yang selalu memberikan doa, motivasi, bantuan moril maupun materil, semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada keluarga kita.


(5)

iii

8. Kakak-kakakku, Agus Susanto, S.Pd.I dan Rina Maryana serta segenap keluarga besar yang selalu memberikan dukungan dan bantuan moril maupun materil yang tak terhingga kepada penulis.

9. Teman-teman seperjuangan, Rara, Vevi, Qori, Yanti, Ais, Yeti, Puji, Yudi, Hastri, Iyom, dan Diah. Kenangan bersama kalian tidak akan aku lupa, semoga kesuksesan dan kebahagiaan selalu menyertai kita, amiiin.

10. Teman-teman angkatan 2006 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan bantuannya untuk penulis.

Penulis berdoa dan berharap semoga semua pihak yang telah membantu dengan kebaikan dan ketulusan mendapat balasan dan menjadi ladang amal di sisi Allah SWT. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga skripsi ini berguna dan bermanfaat khususnya bagi penulis, dan umumnya bagi siapa saja yang membacanya.

Jakarta, 10 Februari 2011


(6)

iv DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metodologi penelitian ... 5

F. Tinjauan Pustaka ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KAJIAN TEORITIS A. Pengertian Bahasa ... 11

B. Fungsi Bahasa ... 12

C. Pengertian Sosiolinguistik ... 14

D. Masyarakat Bahasa ... 16

E. Campur Kode ... 18

F. Pengertian Novel ... 22

G. Deskripsi dan Dialog ... 25


(7)

v

BAB III BIOGRAFI PENULIS DAN SINOPSIS NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH

A. Biografi Habiburrahman El Shirazy ... 32

B. Sinopsis Novel ... 35

BAB IV ANALISIS DATA A. Wujud Campur Kode Berbentuk Kata ... 38

B. Wujud Campur Kode Berbentuk Frasa ... 72

C. Wujud Campur Kode Berbentuk Klausa ... 89

D. Wujud Campur Kode Berbentuk Kata Ulang ... 95

E. Wujud Campur Kode Berbentuk Baster ... 97

F. Wujud Campur Kode Berbentuk Ungkapan ... 105

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 109

B. Saran ... 110

DAFTAR PUSTAKA ... 112


(8)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Wujud Campur Kode Berbentuk Kata ... 38

2 Wujud Campur Kode Berbentuk Frasa ... 72

3 Wujud Campur Kode Berbentuk Klausa ... 89

4 Wujud Campur Kode Berbentuk Kata Ulang ... 95

5 Wujud Campur Kode Berbentuk Baster ... 97


(9)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Sampul novel Ketika Cinta Bertasbih 1

2. Sampul novel Ketika Cinta Bertasbih 2


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia sehari-hari tidak pernah lepas dengan bahasa, ketika kita mendengarkan lagu yang merdu, menonton film yang bagus, membaca cerita yang menarik dan bercakap-cakap dengan keluarga dan teman, saat itulah kita menikmati bahasa. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya manusia dan kehidupannya seandainya bahasa tidak dikaruniakan oleh Allah Swt kepada manusia. Oleh sebab itu, bahasa memainkan peranan penting dalam kehidupan. Namun, banyak orang tidak memperhatikan bahasa, barangkali karena akrabnya manusia dengan bahasa. Bloomfield dalam bukunya language menyatakan bahwa manusia jarang sekali memperhatikan bahasa dan lebih menganggapnya sebagai hal yang biasa tidak ubahnya seperti kita bernafas atau berjalan. Padahal pengaruh bahasa sangat luar biasa dan termasuk yang membedakan manusia dengan binatang.1

Binatang berkomunikasi serta bertindak satu sama lain dengan beberapa bunyi suara saja, sebagaimana anjing hanya membuat dua atau tiga macam suara, misalnya menggonggong, menggeram, memeking sehingga dapat menyebabkan anjing lain melakukan perbuatan hanya dengan beberapa tanda yang berbeda-beda itu, burung-burung dapat mengucapkan kicauan peringatan bila menghadapi bahaya dan beberapa hewan lain seperti kera dapat mengeluarkan teriakan yang berbeda-beda bila ingin mengekspresikan tanda bahaya, kesenangan atau ketakutan. Akan tetapi, alat komunikasi yang beraneka ragam itu tidak bersifat artikulatoris dan simbolis sehingga berbeda dari bahasa manusia. Manusia telah diberikan Allah Swt alat-alat ujar (organ of speech) sehingga manusia dapat berkomunikasi dengan mengeluarkan bunyi-bunyi ujaran berbeda dan mempunyai

1


(11)

susunan dan arti yang sempurna. Singkatnya, bahasa manusia memiliki bunyi-bunyi yang berbeda dan berbeda pula artinya.

Manusia dijuluki dengan bermacam-macam istilah seperti homo sapiens

yang berarti ‗makhluk berpikir‘. Menurut Ernest Cassier dalam Robert Sibarani mengatakan manusia sebagai animal symbolicium yang secara umum mempunyai cakupan yang lebih luas daripada homo sapiens yaitu makhluk berpikir, sebab dalam kegiatan berpikirnya manusia harus menggunakan bahasa, tanpa kemampuan berbahasa, kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur tidak dapat dilakukan.2 Manusia juga dijuluki homo sosio yang berarti makhluk bermasyarakat, masyarakat itu sendiri terdiri dari individu-individu yang secara keseluruhan saling berinteraksi, mempengaruhi dan saling bergantung. Dalam bermasyarakat inilah manusia tidak terlepas dengan kegiatan komunikasi dengan manusia lainnya, hal ini menunjukkan bahwa fungsi sosial bahasa adalah sebagai alat komunikasi.

Saat berinteraksi antarmanusia dengan manusia lainnya, pada keadaan tertentu akan didapati manusia yang mampu berbicara lebih dari satu bahasa, disebut dengan istilah bilingual atau bahkan ada manusia yang multilingual. Di Indonesia pada umumnya adalah masyarakat bilingual, yaitu menggunakan bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pertama, banyak juga yang multilingual atau masyarakat aneka bahasa (multilingual society), yaitu masyarakat yang menggunakan beberapa bahasa, baik menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan juga bahasa asing lainnya, masyarakat demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat, sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society), masyarakat demikian sekarang merajarela di dunia menjadi universal.

Faktor masyarakat bilingual atau bahkan multilingual bisa disebabkan oleh beberapa sebab. Misalnya perkawinan, anak-anak yang berasal dari perkawinan campur –beda bangsa dan bahasa— sangat mungkin mampu memahami dan menggunakan beberapa bahasa yang berbeda. Faktor migrasi, yaitu perpindahan penduduk yang menyebabkan keanekabahasaan, kelompok kecil yang bermigrasi

2


(12)

ke daerah atau negara lain tentu saja menyebabkan bahasa ibu mereka tidak berfungsi di daerah baru. Selain itu, faktor pendidikan. Sekolah biasanya mengajarkan bahasa asing kepada anak-anak yang menyebabkan si anak menjadi bilingual atau bahkan multilingual, misalnya pada zaman Belanda di Indonesia anak-anak tidak diizinkan memakai bahasa daerah bahkan pengantarnya harus bahasa Belanda. Begitu pula dengan zaman sekarang, anak-anak yang belajar di pesantren diwajibkan berbahasa pengantar bahasa Inggris bahkan bahasa Arab sehingga sangat mungkin si anak menguasai beberapa bahasa asing. Bahkan orang yang belajar di luar negeri harus mampu menyesuaikan diri dengan bahasa tertentu tempat ia menuntut ilmu, orang demikian menjadi bilingual atau multilingual.

Pada masyarakat terbuka, artinya para anggota masyarakat dapat menerima kedatangan anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih masyarakat, hidup bersama-sama dan berpengaruh terhadap masyarakat bahasa lain, maka akan terjadi apa yang disebut kontak bahasa. Hal yang paling menonjol yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa adalah terdapatnya bilingualisme dan multilingualsime dengan berbagai macam peristiwa bahasa misalnya alih kode dan campur kode. Peristiwa campur kode atau bahkan alih kode yang biasa terjadi dalam komunikasi percakapan lisan, juga dapat terjadi pada percakapan atau dialog (bahasa lisan yang dituliskan) antartokoh dalam novel atau karya sastra lainnya. Seorang penulis novel yang sering melakukan campur kode dalam mengisi dialog-dialog tokohnya adalah Habiburrahman El Shirazy. Pada novelnya yang berjudul Ketika Cinta Bertasbih selain sering terjadi peristiwa campur kode dialog para tokohnya sering pula terjadi campur kode bentuk deskripsi, yaitu penulis sendiri melakukan peristiwa campur kode dalam menggambarkan cerita kepada pembaca, sehingga kemultilingualannya mempengaruhi karya sastranya.

Peristiwa campur kode bukan hanya pada karya Habiburrahman El Shirazy, menurut sepengetahuan peneliti, para penulis novel yang juga pernah melakukan peristiwa campur kode dalam karyanya, baik itu campur kode bahasa daerah ataupun bahasa asing di antaranya, Umar Kayam dalam karyanya “Para


(13)

Tiana Rosa ―Ketika Mas Gagah Berubah”, Andrea Hirata ―Edensor‖, dan Fira Basuki dalam karyanya “Pintu”.

Pemilihan novel Ketika Cinta Bertasbih sebagai objek penelitian berdasarkan beberapa alasan. Pertama, Novel Ketika Cinta Bertasbih dikarang oleh salah satu sastrawan terkenal sekaligus sebagai dai yang telah menghasilkan novel-novel yang digemari pembaca, novel Ketika Cinta Bertasbih juga sarat dengan perjuangan hidup, cinta, dan nilai-nilai moral dan agama yang berguna bagi pembaca terutama generasi muda. Kedua, penulis adalah seorang multilingual menguasai bahasa Jawa sebagai bahasa pertama, bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua, bahkan menguasai bahasa Arab sebagai bahasa ketiga. Kemampuan penulis menguasai bahasa Arab dilatarbelakangi oleh faktor pendidikan penulis yang meraih gelar S1 di Kairo—Mesir, faktor pendidikan penulislah yang mempengaruhi kemampuan berbahasa penulis terhadap hasil karyanya, terutama dalam menuliskan dialog tokoh-tokohnya. Ketiga, Novel

Ketika Cinta Bertasbih berdasarkan temuan peneliti, penulis sering memunculkan beberapa peristiwa kebahasaan, yaitu bahasa daerah (Jawa), bahasa asing (Arab dan Inggris) yang berupa campur kode baik berbentuk dialog antartokoh maupun bentuk deskripsi.

Novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy merupakan novel dwilogi pembangun jiwa yang sangat menarik, peneliti tertarik untuk menganalisis peristiwa campur kode pada novel tersebut, yaitu campur kode dalam deskripsi cerita dan campur kode dialog tokoh yang meliputi penyisipan unsur yang berwujud kata, frasa, klausa, baster, kata ulang, dan ungkapan atau idiom, baik campur kode bahasa asing (Arab dan Inggris) maupun campur kode bahasa daerah (Jawa).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Peneliti membatasi penelitian ini pada masalah wujud campur kode dan fungsi terjadinya campur kode dengan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana wujud campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy?


(14)

2. Bagaimanakah fungsi campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui wujud campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih

karya Habiburrahman El Shirazy.

2. Untuk mengetahui fungsi terjadinya campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teoretis maupun praktis.

Manfaat Teoretis

Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah keilmuan Bahasa Indonesia.

Manfaat Praktis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Mata Kuliah kajian sosiolinguistik.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi keilmuan Bahasa Indonesia di Civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Penelitian ini diharapkan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian selanjutnya.

E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara pemecahan masalah penelitian yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud mendapatkan fakta dan simpulan agar dapat memahami, menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan


(15)

keadaan.3 Penelitian ini berjudul ―Analisis Campur kode pada novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy‖, metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang (sementara) berlangsung.4 Tujuan metode deskriptif untuk menggambarkan suatu keadaan sebagaimana adanya, data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar bukan angka-angka. Penggunaan metode deskriptif dimaksudkan penulis untuk memberikan gambaran tentang campur kode dan fungsi campur kode dalam novel

Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy. Bentuk yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif, menurut Bogdan dan Taylor metode kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilakunya dapat diamati.5 Pada penelitian ini digunakan bentuk kualitatif karena penelitian ini menganalisis dan menggambarkan tentang campur kode dan fungsi campur kode dalam novel

Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

2. Teknik Penelitian

Teknik penelitian yang digunakan peneliti adalah analisis dokumen, yaitu novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy, dan studi kepustakaan. Studi pustaka ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.6 Selain itu, peneliti mempelajari, mendalami, menganalisis dokumen, mengklasifikasikan data dari dokumen, menulis data hasil temuan serta peneliti juga membaca buku-buku kebahasaan yang berkaitan dengan sosiolinguistik dengan bahasan campur kode, mencari sumber referensi di internet, dan membaca sejumlah literatur lainnya yang relevan.

3

Syamsuddin AR., M.S Vismaia S. Damaianti, Metode Penelitian Pendidikan Bahasa,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), h. 14.

4

Consuelo dkk, penerjemah: Alimuddin Tuwu, Pengantar metode Penelitian, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993), h. 71.

5

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya, 2004), h. 4. 6


(16)

3. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburrahman El Shirazy yang banyak terdapat campur kode bahasa asing (Arab dan Inggris) dan campur kode bahasa daerah (Jawa) dalam teks dialognya.

Identitas novel tersebut adalah: Judul Novel : Ketika Cinta Bertasbih Pengarang : Habiburrahman El Shirazy Penerbit : Penerbit Republika Kota : Jakarta

Cetakan : Ketika Cinta Bertasbih 1, Cet. ke-2 (2007), Ketika Cinta Bertasbih 2, Cet. Ke-6 (2008) Tebal : Ketika Cinta Bertasbih 1, tebal 477 halaman

: Ketika Cinta Bertasbih 2, tebal 406 halaman

4. Prosedur Penelitian a. Membaca novel

b. Mencermati novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy yang di dalamnya terdapat campur kode

c. Menandai bahasa yang termasuk campur kode

d. Menganalisis fungsi campur kode dalam novel dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy

e. Mengklasifikasikan data campur kode baik berupa kata, frasa, klausa, kata ulang, baster, dan ungkapan.

f. Menulis data hasil klasifikasi

g. Memberikan simpulan tentang campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy


(17)

5. Instrumen Penelitian

Instrumen adalah alat/fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar memudahkan pengumpulan data dan hasilnya baik. Instrumen yang digunakan peneliti adalah dengan kartu data.

Contoh kartu data:

Nomor

da

ta

Dialog para tokoh/deskripsi penulis novel

Sumber: Penulis novel, judul novel, halaman novel

Analisis data

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang sosiolinguistik bahasan campur kode sebagai bahan panduan, peneliti mengacu pada penelitian terdahulu di antaranya skripsi Etik Yuliati mahasiswa Universitas Sebelas Maret Fakultas Sastra dan Seni Rupa, C0106024, berjudul ―Alih Kode dan Campur Kode dalam Cerbung Dolanan Geni

Karya Suwandi Endraswara (Analisis Sosiolinguistik)‖, hal ini berbeda, jika yang dilakukan saudari Etik Yuliati, tentang alih kode dan campur kode dalam cerbung (cerita bersambung) dengan campur kode bahasa daerah (Jawa) saja yang diteliti, sedangkan peneliti melakukan penelitian tentang campur kode dalam novel dengan bahasan bukan hanya campur kode bahasa daerah (Jawa) tetapi juga bahasan campur kode bahasa asing (Arab dan Inggris) dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

Skripsi Ratna Maulidini mahasiswa Universitas Diponegoro Fakultas Sastra, A2A002035, yang berjudul ―Campur Kode sebagai Strategi Komunikasi


(18)

Custemer Service (Studi Kasus Nokia Care Center Bimasakti Semarang)‖,

penelitian yang dilakukan saudari Maulidini berupa studi kasus, yaitu campur kode bentuk dialog lisan berupa bahasan campur kode yang berkaitan dengan istilah pada telepon seluler yang dilakukan oleh para customer service kepada para calon pelanggan Nokia. Berbeda dengan peneliti lakukan, yaitu peneliti melakukan penelitian analisis isi, yaitu campur kode bentuk bahasa dialog lisan yang dituliskan pada novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy bahasan campur kode bahasa bahasa daerah (Jawa) dan bahasa asing (Arab dan Inggris).

Berbeda lagi yang dilakukan oleh saudara Ari Listioningsih, A.310 040 012 mahasiswa Univeritas Muhammadiyah Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, judul skripsi ―Interferensi dan Integerasi dalam Kolom-Kolom Edan Prie G.S Hidup Bukan Urusan Perut (Sutau Tinjauan Sosiolinguistik)‖.

Penelitian yang dilakukan saudara Ari juga membahas kajian sosiolinguistik tetapi dengan bahasan yang berbeda dengan penulis. Bahasan yang dilakukannya adalah tentang interferensi dan integrasi yang berkaitan dengan masalah kekeliruan dalam bahasa. sedangkan penulis melakukan penelitian sosiolinguistik juga tetapi dengan bahasan campur kode dalam Novel ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy, yang pada dasarnya campur kode itu sendiri tidak menyebabkan kekeliruan bahasa.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka dibuatlah sistematika penulisan yang terdiri dari beberapa bab, yaitu:

Bab 1 pendahuluan, berisi: Latar belakang, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian yang terdiri atas: manfaat teoretis dan manfaat praktis. Metodologi penelitian, meliputi metode penelitian, teknik penelitian, sumber data, prosedur penelitian, instrumen penelitian, selanjutnya adalah sistematika penulisan.


(19)

Bab II kajian teoretis, berisi: Pengertian bahasa, fungsi bahasa, pengertian sosiolinguistik, masyarakat bahasa, campur kode, pengertian novel, dan jenis-jenis novel.

Bab III biografi penulis novel Ketika Cinta Bertasbih dan sinopsis novel

Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

Bab IV analisis data, dan pembahasan mengenai campur kode dan fungsi campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy.

Bab V penutup, berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.


(20)

11

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Pengertian Bahasa

Bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi untuk berinteraksi dengan manusia lainnya, tanpa bahasa hidup kita akan terasa sunyi sepi tanpa makna. Bagi linguistik–ilmu yang khusus mempelajari bahasa— yang dimaksudkan dengan bahasa adalah sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.

Menurut Finocchiarno bahasa adalah satu simbol vokal yang arbitrer, memungkinkan semua orang dalam satu kebudayaan tertentu atau orang lain yang telah mempelajari sistem kebudayaan tersebut untuk berkomunikasi atau berinteraksi. Pei dan Gaynor mendefinisikan bahasa sebagai suatu sistem komunikasi dengan bunyi, yaitu lewat alat ujaran dan pendengaran, antara orang-orang dari kelompok atau masyarakat tertentu dengan mempergunakan simbol-simbol vokal yang arbitrer dan konvensional.1

Pakar linguistik struktural dengan tokoh Bloomfield berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. 2 Abdul Chaer mengatakan tentang hakikat bahasa, bahwa hakikat bahasa itu ada 12 butir, yaitu bahasa adalah sistem, bahasa adalah lambang, bahasa adalah bunyi, bahasa bersifat arbitrer, bahasa itu bermakna, bahasa bersifat konvensional, bahasa bersifat unik, bahasa bersifat universal,

1

Liliana Muliastuti dan Krisanjaya, Linguistik Umum, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2009), h. 1.5—1.6.

2

Sumarsono dan Paina Partana, Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Sabda bekerjasama dengan Pustaka Pelajar), Cet. Ke-2, h. 18.


(21)

bahasa bersifat produktif, bahasa bersifat dinamis, bahasa bervariasi, dan bahasa manusiawi.

Bahasa merupakan suatu sistem mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung struktur unsur-unsur yang bisa dianalisis secara terpisah-pisah. Orang berbahasa mengeluarkan bunyi-bunyi yang berurutan membentuk suatu struktur tertentu. Bunyi-bunyi itu merupakan lambang, yaitu melambangkan makna yang bersembunyi di balik bunyi itu. Pengertian sederetan bunyi itu melambangkan suatu makna bergantung pada kesepakatan atau konvensi anggota masyarakat pemakainya. Hubungan antara bunyi dan makna itu tidak ada aturannya, jadi sewenang-wenang. Tetapi, karena bahasa itu mempunyai sistem, tiap anggota masyarakat terikat pada aturan sistem itu, yang sama-sama dipenuhi. Kridalaksana dan Djoko Kencono dalam Chaer menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. 3

Pendapat di atas hampir semua menyatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi dan berinteraksi, yang bersifat arbitrer, konvensional, dan merupakan lambang bunyi. hal inilah yang merupakan ciri-ciri dari bahasa. Mempelajari bahasa dan mengkaji bahasa merupakan hal penting dilakukan oleh manusia karena secara langsung akan melestarikan dan menginventarisasikan bahasa tersebut. Dengan mempelajari dan melakukan pengkajian terhadap bahasa, akan menghindari manusia dari kepunahan bahasa4.

B. Fungsi Bahasa

Bahasa mempunyai fungsi penting bagi manusia, terutama fungsi komunikatif yaitu alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan. Fungsi-fungsi bahasa itu, antara lain dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, kode, topik, dan amanat pembicaraan.

3

Liliana Muliastuti dan Krisanjaya, Op. Cit., h. 1.6. 4

Aslinda dan Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, (Bandung: Refika Aditama, 2007), h. 2—3.


(22)

Dilihat dari segi penutur, maka bahasa itu berfungsi sebagai personal atau pribadi, menurut Halliday dan Finnocchiaro, Jakobson menyebutkannya sebagai fungsi emotif. Maksudnya penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini pihak si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah, atau gembira.

Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi

direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar, menurut Finnocchiaro, sedangkan Halliday menyebutkan sebagai fungsi instrumental. Fungsi instrumental melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan peristiwa-peristiwa tertentu terjadi.5 Jakobson menyebutkan fungsi retorikal. Di sini bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimau pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan.

Dilihat dari segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik, Jakobson dan Finnocchiarno menyebutnya interpersonal; Halliday menyebutnya interactional, yaitu fungsinya menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakannya biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, pamit, atau menanyakan keadaan keluarga. Ungkapan-ungkapan fatik ini biasanya juga disertai dengan unsur paralinguistik, seperti senyum, gelengan kepala, gerak-gerik tangan, air muka, dan kedipan mata. Ungkapan-ungkapan tersebut yang disertai unsur paralinguistik tidak mempunyai arti, dalam arti memberikan informasi, tetapi membangun kontak sosial antara para partisipan dalam pertuturan itu.

Dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial

menurut Finnocchiaro, Halliday menyebutnya sebgai refresentational; jakobson menyebutkan fungsi kognitif, ada juga yang menyebutkan fungsi denotatif atau

5


(23)

fungsi informatif. Di sini bahasa itu berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur tentang dunia di sekelilingnya. Misalnya ungkapan ―Ibu dosen itu cantik sekali‖ atau ―Gedung perpustakaan itu baru dibangun. Adalah contoh penggunaan bahasa yang berfungsi referensial.

Dilihat dari segi kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi

metalingual, metalinguistik, menurut Jakobson dan Finnocchiaro. Yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Fungsi di sini bahasa itu digunakan untuk membicarakan atau menjelaskan bahasa. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa, dimana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa.

Dilihat dari segi amanat (message) yang akan disampaikan maka bahasa itu berfungsi imajinatif, menurut Halliday dan Finnocchiaro. Jakobson menyebutkan sebagai fungsi poetic speech. Sesungguhnya bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan baik yang sebenarnya, maupun yang hanya imajinasi (khayalan, rekaan) saja. Fungsi imajinatif ini biasanya berupa karya seni, (puisi, cerita, dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur maupun para pendengarnya. 6

C. Pengertian Sosiolinguistik

Sosiolinguistik merupakan ilmu antardisiplin antara sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah kajian objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai lembaga-lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlangsung, dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek

6

Abdul Chaer dan Leonie Agustina, SosiolinguistikPerkenalanAwal, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 14—17.


(24)

kajiannya. Dengan demikian, secara mudah dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa di dalam masyarakat.

Appel dalam Suwito menyatakan sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret. Dengan demikian, dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi/komunikasi di dalam masyarakat. 7

J.A Fishman menyatakan sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas bahasa variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.

Halliday menyebutkan sosiolinguistik sebagai linguistik institutional berkaitan dengan pertautan bahasa dengan orang-orang yang memakai bahasa itu (deals with relation between a language and the people who use it).

Pride dan Holmes merumuskan sosiolinguistik secara sederhana: ―…the study of language as part of culture and society”, yaitu kajian bahasa sebagai bahan dari kebudayaan dan masyarakat. Di sini ada penegasan, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan (language in culture), bahasa bukan merupakan suatu yang berdiri sendiri (language and culture).8

Trudgill merumuskan mirip dengan Pride dan Holmes: ―sociolinguictic…is that part of linguistics which isconcerd with language as asocial and cultural phenomenon (sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan kebudayaan). Bahasa bukan hanya dianggap sebagai gejala sosial melainkan juga gejala kebudayaan. Impilkasinya adalah bahasa yang dikaitkan dengan kebudayaan masih menjadi cakupan sosiolinguistik; dan ini dapat dimengerti karena setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan tertentu.

7

Aslinda dan Leni Syafyahya, Op. Cit., h. 6.

8


(25)

Di Indonesia Nababan menyatakan, sosiolinguistik adalah kajian atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat‖. Patut diingat seorang penutur bahasa adalah anggota masyarakat -tutur. Sebagai anggota masyarakat dia terikat oleh nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat, termasuk nilai-nilai ketika dia menggunakan bahasa.

Kridalaksana juga berpendapat sama dengan Fishman bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahasawan dengan ciri variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa.

R. Kunjana Rahardi dalam bukunya menyatakan bahwa sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara bahasa dan masyarakat, khusunya masyarakat penutur bahasa itu. Sosiolinguistik mempertimbangkan keterkaitan ada dua hal, yaitu linguistik untuk segi kebahasaan dan sosiologi untuk segi kemasyarakatan.9

Maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial dalam suatu masyarakat tutur.

D. Masyarakat Bahasa

Ciri bahasa yang telah disebutkan bahwa bahasa itu manusiawi, dengan kata lain semua manusia di dunia sama-sama berbudaya dengan fasilitas bahasa. Kajian bahasa yang menitikberatkan pada hubungan antara bahasa dan masyarakat adalah pemakainya disebut sosiolinguistik.

Fishman dalam Alwasilah berpendapat bahwa masyarakat bahasa (masyarakat ujar) adalah suatu masyarakat yang semua anggotanya memiliki bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma untuk pemakaiannya yang cocok. Suatu masyarakat ujar bisa jadi sempit satu jaringan interaksi tertutup, keseluruhan anggotanya menganggap satu sama lainnya berada dalam

9

R. Kunjana Rahardi, Kajian Sosiolinguistik Ihwal Kode dan Alih Kode, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 16.


(26)

satu kapasitas.10 Bloomfield mengartikan masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama.

Pengertian Bloomfield di atas dianggap terlalu sempit oleh para ahli sosiolinguistik sebab terutama dalam masyarakat modern, banyak orang menguasai lebih dari satu ragam bahasa; dan di dalam masyarakat itu sendiri terdapat lebih dari satu bahasa.

Pada intinya masyarakat bahasa itu terbentuk karena adanya saling pengertian (mutual intelligibility), terutama karena adanya kebersamaan dalam kode-kode linguistik. Jadi, masyarakat bahasa bukanlah sekelompok orang yang hanya menggunakan bahasa yang sama, melainkan sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasanya.

Masyarakat bahasa dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian. Pengelompokkan ini berdasarkan verbal repertoire–semua bahasa beserta ragam-ragamnya yang dikuasi penuturnya— yang dimiliki oleh masyarakat bahasa itu sendiri. Semakin mampu penutur berkomunikasi dengan berbagai ragam bahasa kepada pihak lain, semakin luaslah verbal repertoire yang dimiliki oleh penutur tersebut. Dengan kata lain, semakin luas verbal repertoire penutur dan masyarakat maka semakin komunikatiflah masyarakat bahasa itu.

Berdasarkan verbal repertoire yang dimiliki oleh masyarakat bahasa, masyarakat bahasa itu dikelompokkan atas:

1. masyarakat monolingual; 2. masyarakat bilingual; dan 3. masyarakat multilingual.

Masyarakat monolingual artinya suatu masyarakat bahasa yang hanya dapat berkomunikasi dengan satu bahasa. Masyarakat monolingual ini sudah mulai jarang ditemukan pada zaman sekarang. Masyarakat monolingual biasanya terdapat di daerah yang terisolasi. Masyarakat bilingual lebih maju jika dibandingkan dengan masyarakat monolingual. Hal ini karena masyarakat bilingual telah dapat berkomunikasi dengan dua bahasa. Artinya, masyarakat bilingual lebih komunikatif dibandingkan dengan masyarakat monolingual,

10


(27)

terlebih masyarakat multilingual, kelompok masyarakat bahasa multilingual memiliki kemampuan menggunakan lebih dari dua bahasa.

Dilihat dari sempit luasnya verbal repertoirnya, dapat dibedakan adanya dua macam masyarakat tutur, yaitu (1) masyarakat tutur yang repertoire

pemakainya lebih luas, dan menunjukkan verbal repertoire setiap penutur lebih luas pula; dan (2) masyarakat tutur yang sebagian anggotanya mempunyai pengalaman sehari-hari dan aspirasi hidup yang sama, dan menunjukkan pemilihan wilayah linguistik yang lebih sempit, termasuk juga perbedaan variasinya. Kedua jenis masyarakat bahasa (masyarakat tutur) ini terdapat baik dalam masyarakat yang termasuk kecil dan tradisonal maupun masyarakat besar dan modern. Hanya, seperti yang dikatakan Fishman dan juga Gumprez, masyarakat modern mempunyai kecenderungan memiliki masyarakat tutur yang terbuka dan cenderung menggunakan berbagai variasi dalam bahasa yang sama. Sedangkan, masyarakat tradisional bersifat lebih tertutup dan cenderung menggunakan variasi bahasa dan beberapa bahasa yang berlainan.

E. Campur Kode

Sebelum membahas campur kode, ada baiknya kita mengetahui pengertian kode. Kode biasanya berbentuk variasi bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa. Kode bahasa ialah sistem bahasa dalam suatu masyarakat.

Campur kode merupakan terjemahan dan padanan istilah code mixing

dalam bahasa Inggris. Nababan menjelaskan campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain yaitu bilamana orang mencampur dua (atau lebih bahasa) atau ragam dalam suatu tindak berbahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu menuntut percampuran bahasa itu.11 Campur kode terjadi apabila seorang penutur bahasa, misalnya bahasa Indonesia memasukkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam pembicaraan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan kode utama bahasa Indonesia yang memiliki fungsi keotonomiannya, sedangkan kode bahasa daerah yang terlibat

11


(28)

dalam kode utama merupakan serpihan-serpihan saja tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seseorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa).

Abdul Syukur Ibrahim dan H. Suparno menjelaskan perbedaan Alih kode dan campur kode. Bahwa, pada alih kode penutur menggunakan dua varian baik dalam bahasa yang sama maupun bahasa yang berbeda. Pada campur kode, yang terjadi bukan peralihan kode, tetapi bercampurya unsur suatu kode ke kode yang sedang digunakan oleh penutur. Hal itu juga berarti bahwa campur kode dapat terjadi dalam dimensi intrabahasa dan dapat pula terjadi dalam dimensi antarbahasa.12

Thalender mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode, menurutnya, bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran (hybrid clauses, hybrid phrases), dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode, bukan alih kode.

Fasold menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Kalau seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatikal satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut stuktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.13

12

Abdul Syukur Ibrahim dan Suparno, Sosiolinguistik, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), Cet. Ke-6, h. 4.16.

13


(29)

Beberapa wujud campur kode adalah dapat berupa penyisipan kata, frasa, klausa, penyisipan ungkapan atau idom, dan penyisipan baster (gabungan pembentukan asli dan asing).14

1. Kata

Kata dalam tataran morfologi adalah satuan gramatikal yang bebas dan terkecil. Dalam tataran sintaksis kata dibagi dua yaitu kata penuh dan kata tugas. Kata penuh (fullword) adalah kata yang termasuk kategori nomina, verba, ajektiva, adverbial, dan numeralia, sebagai kata penuh memiliki makna leksikal masing-masing dan mengalami proses morfologi. Sebaliknya, kata tugas adalah kata yang berkategori preposisi dan konjungsi, tidak mengalami proses morfologi dan merupakan kelas tertutup, dalam pertuturan tidak dapat berdiri sendiri.15 2. Frasa

Frasa adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dan tidak memiliki unsur predikat. Pembentukan frasa itu harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat. Contoh belummakan dan tanah tinggi adalah frasa, sedangkan tata boga dan interlokal bukan frasa, karena boga dan inter adalah morfem terikat.

3. Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berbentuk rangkaian kata-kata yang berkontruksi predikatif, di dalam klausa ada kata atau frasa yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan. Selain fungsi predikat yang harus ada dalam kontruksi klausa ini, fungsi subjek boleh dikatakan bersifat wajib, sedangkan yang lainnya bersifat tidak wajib.16

4. Idiom

Idiom adalah bahasa yang telah teradatkan, artinya, bahasa yang sudah biasa dipakai seperti itu dalam suatu bahasa oleh para pemakainya. Idiom ini sudah tidak dapat lagi menanyakan mengapa begitu kata itu dipakai, mengapa

14

http://anaksastra.blogspot.com/2009/02/alih-kode-dan-campur-kode.html, diakses tanggal 13 Oktober 2010.

15

Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), Cet. Ke-2, h. 219.

16


(30)

begitu susunannya atau mengapa begitu artinya. Hubungan makna idiom itu bukanlah makna sebenarnya kata itu, idiom tidak dapat diartikan secara harfiah ke dalam bahasa lain.17 Idiom dewasa ini dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah ungkapan. Unsur suatu idiom membentuk kesatuan yang padu. Idiom harus muncul seperti itu, tidak boleh dikurang-kurangi karena seperti dikatakan tadi sudah merupakan bahasa teradatkan.

5. Baster (Pembentukan Asli dan Asing)

Baster merupakan hasil perpaduan dua unsur bahasa yang berbeda, membentuk satu makna. Istilah bentuk baster mengacu pada bentuk campuran antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia yang digunakan dalam kalimat bahasa Indonesia yang merupakan bahasa inti.18misalnya handphon-nya, dairy-nya,

me-murajaah, di-ghosob dan lain-lain. 6. Perulangan Kata

Proses pengulangan merupakan peristiwa pembentukan kata dengan jalan mengulang bentuk dasar, baik seluruhnya maupun sebagian, baik bervariasi fonem maupun tidak, baik berkombinasi dengan afiks maupun tidak. Misalnya,

sepeda-sepeda diulang seluruhnya tanpa variasi fonem dan tanpa kombinasi afiks.

memukul-mukul diulang sebagaian; gerak-gerik diulang seluruhnya dengan variasi fonem buah-buahan diulang seluruhnya dengan kombinasi afiks.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada fenomena campur kode adalah seorang penutur pada dasarnya menggunakan sebuah varian suatu bahasa. Pada penggunaan itu, dia menggunakan serpihan-serpihan kode dari bahasa yang lain. Serpihan-serpihan unsur bahasa tersebut dapat berupa kata sampai klausa, dapat juga berupa kata ulang, idiom maupun baster.

Menurut Suwito dalam Dwi Sutana, ciri-ciri campur kode ditandai dengan adanya hubungan timbal balik antara peran dan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai penutur dengan tuturannya. Berdasarkan pendapat Suwito

17

J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, (Jakarta: PT Gramedia, 1993), Cet. Ke-2, h. 47—48.

18

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13466/1/08E01506.pdf,

Mayerni Sitepu, Skripsi: Campur Kode dalam Majalah Aneka Yes, (Medan, Universitas Sumatra Selatan, 2007), h. 34. Diakses tanggal 13 Februari 2010.


(31)

tersebut, Dwi Sutana membagi beberapa fungsi campur kode yaitu (1) untuk penghormatan, (2) untuk menegaskan suatu maksud tertentu, (3) untuk menunjukkan identitas diri, dan (4) karena pengaruh materi pembicaraan.19

Ciri-ciri yang menonjol dalam campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi berbahasa formal jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa yang sedang dipakai sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa daerah atau bahasa asing.20 Dalam bahasa tulisan, hal ini kita nyatakan dengan mencetak miring atau mengarisbawahi kata/ungkapan bahasa asing yang bersangkutan. Kadang-kadang terdapat juga campur kode ini bila pembicara ingin memamerkan ―keterpelajarannya‖ atau kedudukannya.

Campur kode merupakan fenomena yang terjadi karena masuknya serpihan unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada sebab terjadinya campur kode. Ada kemungkinan campur kode terjadi karena faktor individu, seperti ingin menunjukkan status, peran, dan kepakaran. Ada juga kemungkinan sebab kurangnya unsur bahasa yang digunakan.

F. Pengertian Novel

Fiksi merupakan sebuah cerita, terkandung di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca, di samping adanya tujuan estetis, membaca sebuah fiksi berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Novel dan cerita pendek dalam kesastraan Inggris dan Amerika disebut karya fiksi.

Novel sebutan dalam bahasa Inggris –dan inilah yang kemudian masuk ke Indonesia— berasal dari bahasa Italia novella (yang dalam bahasa Jerman novelle), secara harfiah novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian kemudian diartikan sebagai ‗cerita pendek dalam bentuk prosa‘.

19

Etik Yuliati, Skripsi: Alih Kode dan Campur Kode dalam Cerbung Dolanan Geni Karya Suwardi Endraswara, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010), h. 31.

20


(32)

Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun tidak juga terlalu pendek.21 Dalam arti luas novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas, ukuran yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, novel adalah karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak sifat setiap pelaku.22

Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris. Novel dan cerpen merupakan bentuk kesusastraan yang secara perbandingan adalah baru. Ia baru dikenal masyarakat kita kira-kira sejak setengah abad yang lalu. Di negera Barat juga masih baru jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk yang lain, seperti puisi yang sudah dikenal sejak dua ribu tahun lalu, sedang fiksi ini di sana baru dikenal sejak dua ratus tahun yang lalu. Namun, masa hidupnya yang muda itu, ia telah mengalami perkembangan pesat.23

Novel Indonesia secara resmi muncul setelah terbitnya buku Si Jamin dan Si Johan, tahun 1919, oleh Marari Siregar, yang merupakan novel saduran dari novel Belanda, kemudian pada tahun berikutnya terbit novel Azab dan Sengsara

oleh pengarang yang sama; sejak itu mulailah berkembang sastra fiksi yang dinamai novel dalam khazanah sastra Indonesia.

Edgar Allan Poe sastrawan kenamaan dari Amerika membedakan antara cerpen dan novel, ia mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Dari segi panjang cerita, novel jauh lebih panjang dari pada cerpen. Oleh karena itu, novel

21

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), h. 9—10.

22

Pusat Bahasa Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), Edisi ke-3, h. 788.

23


(33)

dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu yang lebih banyak, lebih rinci dan lebih detail, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Dalam cerpen krisis jiwa tidak usah mengakibatkan perubahan jalan nasib, panjang novel boleh dikatakan lebih panjang dari cerita pendek, yang menegaskan ialah apa ada pergolakan jiwa dalamnya yang mengalih nasib manusia.24 Di antara para ahli teori sastra kita memang ada yang membedakan antara novel dan roman, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas; sedangkan roman dikaitkan sebagai menggambarkan kronik kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa dari masa kanak-kanak sampai dewasa, sampai meninggal dunia.

H.B Jassin membedakan pengertian roman dan novel, roman melingkupi seluruh kehidupan pelaku-pelaku dilukiskan dari kecilnya hingga matinya, dari ayunan hingga liang lahat. Novel menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari tokoh cerita, dimana kejadian-kejadian itu menimbulkan pergolakan batin yang mengubah perjalanan nasib tokohnya.25

Dengan demikian roman adalah cerita fiksi yang melukiskan kronik kehidupan tokoh-tokoh yang rinci dan mendalam, sedangkan novel adalah cerita yang melukiskan suatu peristiwa yang luar biasa dari kehidupan tokoh cerita dan peristiwa tersebut menimbulkan krisis/pergolakan batin yang mengubah nasibnya.

Pada pengertian di atas dapat dibedakan bahwa novel adalah karya fiksi yang lebih kompleks daripada cerpen yang hanya mempunyai karakter, plot, dan setting yang terbatas dan dapat dibaca sekali duduk dalam waktu kurang dari satu jam, dan novel menimbulkan perubahan nasib tokohnya. Sedangkan roman adalah cerita fiksi yang menceritakan tokoh-tokohnya lebih lengkap, menggambarkan kronik kehidupan luas, biasanya diceritakan tokoh-tokohnya dari kecil hingga meninggal.

24

H.B. Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya, (Jakarta: Gunung Agung, 1985), Cet ke-7, h. 78—79.

25

Widjojo dan Endang Hidayat, Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: UPI Press, 2006), h. 41.


(34)

G. Deskripsi dan Dialog a. Deskripsi

Pada karya sastra bentuk fiksi umumnya dikembangkan dengan bentuk deskripsi dan dialog, kedua bentuk tersebut saling melengkapi silih berganti sehingga cerita yang ditampilkan bervariatif dan tidak menoton.

Ismail Marahimin dalam bukunya Menulis Secara Populer menjelaskan bahwa deskripsi ialah pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata suatu benda, tempat, suasana atau keadaan. Seorang penulis deskripsi mengharapkan pembacanya, melalui tulisannya, dapat ‗melihat‘ apa yang dilihatnya, dapat ‗mendengar‘ apa yang didengarnya, ‗mencium bau‘ yang diciumnya, ‗mencicipi‘ apa yang dimakannya, ‗merasakan‘ apa yang dirasakannya, serta sampai kepada ‗kesimpulan‘ yang sama dengannya. Dapat disimpulkan bahwa deskripsi merupakan hasil observasi melalui pancaindera yang disampaikan dengan kata-kata.26

Deskripsi dapat merupakan tulang punggung penulisan yang hidup dan menawan jika penulisnya mempunyai pengamatan yang tajam dengan semua alat inderanya kemudian penulis menuliskan dengan kata-kata yahng tepat atau dengan perbandingan yang tepat. Oleh sebab itu dalam menuliskan deskripsi perlu mengamati dengan tajam dengan cara memanfaatkan semua pancaindera yang dimiliki.

Ada berbagai cara menuliskan deskripsi dan perbedaan-perbedaan ini timbul karena pada dasarnya tidak ada dua orang manusia yang mempunyai pengamatan sama, dan lagi pula tujuan pengamatan itu pun berbeda-beda pula. Secara garis besar macam-macam bentuk deskripsi dibedakan dua macam saja, yaitu deskripsi ekspositoris dan deskripsi impresionistis.

1. Deskripsi Ekspositoris

Deskripsi ekspositoris adalah yang sangat logis, yang isinya biasanya merupakan daftar rincian, semuanya atau yang menurut penulisnya hal yang

26

Ismail Marahimin, Menulis Secara Populer, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), Cet. Ke-3, h. 45.


(35)

penting-penting saja, yang disusun menurut sistem dan urutan-urutan logis objek yang diamati itu.

Setiap benda, setiap tempat, setiap suasana tentu mempunyai urutan-urutan sendiri. Misalnya jika kita mendeskripsikan rangakain kereta api, maka urutan logisnya pastilah dari depan, lokomotifnya, ke belakang, gerbong-gerbong yang mengekori lokomotif tadi. Jika kita mengembangkan pengamatan atau observasi kita menurut ruang, artinya dari satu ruang atau ke ruang atau sisi lainnya, maka deskripsi ini dikatan sebgai deskripsi dengan pengembangan ruang atau spasi. Jika kita mendeskripsikan suatu proses, cara menanak nasi misalnya, maka dengan sendirinya harus mengikuti tahapan-tahapan pekerjaan yang dilakukan, kita mengembangkan deskripsi bentuk lain yang kita namakan pengembangan waktu. 2. Deskripsi Impresionistis

Deskripsi impresonistis bisa juga disebut deskripsi stimulatif, adalah untuk menggambarkan impresi penulisnya, atau untuk menstimulir pembacanya. Berbeda dengan deskripsi ekspositori yang biasanya hanya terikat pada objek dan proses yang dideskripsikannya. Deskripsi impresionistis ini lebih menekankan impresi atau kesan penulisnya ketika melakukan observasi.

Deskripsi ekspositoris memakai urutan logika atau urutan-urutan peristiwa objek yang dideskripsikan itu, maka dalam deskripsi impresionistis urutan-urutan yang dipakai adalah menurut kuat lemahnya kesan penulis terhadap bagian-bagian objek itu. Seseorang yang mendeskripsikan kamar asrama tempat temannya tinggal dan bermaksud menonjolkan kejorokan yang dilihatnya di sana mulai dengan bau yang diciumnya lalu ke penglihatan yaitu apa yang dilihatnya di sana kemudian beralih ke pencahayaan di dalam kamar. Urutan-urutan deskripsi impresionistis bisa saja mulai dari yang kurang jorok berangsur-angsur ke yang paling jorok, dan diakhiri dengan bau.27

Jakob Sumardjo dalam bukunya Catatan Kecil Menulis Cerpen

menjelaskan dua teknik sebuah karya fiksi (jenis karya fiksi menurut bahasan beliau adalah cerpen) diceritakan kepada pembaca, yaitu menggunakan teknik naratif dan teknik dramatik. Teknik naratif berpusat pada si pencerita semua

27


(36)

peristiwa dikisahkan melalui mata si pencerita dengan teknik ini penulis ibarat bercerita kepada pendengar, mula-mula begini, lalu begini dan akhirnya begini. Mungkin pendengar cerita terpesona karena cara bercerita penulis memang menarik. Teknik kedua adalah teknik dramatik, penulis cerita ibaratnya ingin menceritakan sebuah peristiwa kepada pendengar-pendengarnya, tetapi bukan melalui mulut si pencerita, peristiwa itu penulis cerita lukiskan dengan peragaan drama, yaitu menghadirkan peristiwa dalam teknik tersebut.28 Penulis cerita menciptakan kembali peristiwa di depan pendengar, efek yang tajam yang dapat diberikan oleh pengarang adalah apabila teknik dramatik lebih diutamakan daripada teknik naratif, dalam teknik naratif penulis cerita bercerita berdasarkan persepsinya sendiri, teknik ini tak jarang dijumpai komentar cerita: ―dengan perasaan sedih ia duduk lemas di kursi‖, atau ia tertawa karena bahagia‖, pernyatan-pernyataan ―ia bahagia‖, ―Didit amat sedih‖ jelas kurang memberikan kesan kepada pembaca, pembaca lebih banyak diminta untuk ―mendengarkan‖ daripada menyaksikan‖. Sedangkan teknik dramatik tugas pengarang adalah menyajikan gambaran-gambaran konkret tanpa komentar langsung dari pengarang. Konkritisasi adegan dilakukan dengan melukiskan adegan-adegan yang sebanyak mungkin terserap oleh indera pembaca. Teknik dramatik, pembaca tidak hanya diajak melihat apa yang terjadi, tetapi dimana peristiwa itu terjadi lengkap dengan letak, keadaan cahaya, bau-bauan yang ada di tempat kejadian.

Pada prinsipnya teknik dramatik adalah melukiskan peristiwa seperti apa adanya, pembaca diminta menyaksikan sendiri, seperti kita menghadapi peristiwa dalam panggung teater, seperti kita diajak menonton film, pembaca bisa melihat, mendengar, membau, meraba apa yang terjadi, pembaca tidak dibiarkan hanya mendengarkan apa yang kita ceritakan. Keunikan penggambaran watak, tempat kejadian cerita, suasana yang dilakukan dengan teknik dramatik lebih mencekam ingatan pembacanya. Tugas sastrawan bukan ―bercerita‖ belaka, melainkan

28

Jakob Sumardjo, Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2007), Cet. ke-4, h.150.


(37)

mengidupkan ceritanya seperti aktor bermain di panggung, bagaimana membuat pembaca melihat, mendengar, merasakan, membaui, itulah yang penting.

b. Dialog

Dialog adalah percakapan di antara tokoh-tokoh dalam narasi, ada narasi atau cerita yang penuh dengan dialog, jalan cerita, karakteristik tokoh, konflik dan sebagainya, kita ketahui melaui dialog-dialog. Dalam pengungkapan bahasa percakapan, seolah-olah pengarang membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi percakapan atau dialognya.29

Gaya dialog dapat memberikan kesan realistis, sungguh-sungguh dan memberikan penekanan terhadap cerita atau kejadian yang dituturkan dengan gaya narasi. Ada ungkapan-ungkapan perasaan yang tajam rasanya dan lebih dalam maknanya jika diucapkan dengan dialog, dibandingkan jika hanya diceritakan narator saja. Dialog juga dapat mengemban tugas memberikan warna lokal, penulis yang baik dalam membuat dialog adalah hendaknya dijaga konsistensi masing-masing tokoh. Seseorang biasanya menggunakan bahasa yang sama untuk suasana yang sama, yang khas pada orang itu. Ini harus dipelihara, harus memperhatikan laras bahasa yang dibergunakan di dalam dialog. Pakailah bahasa lisan yang lazim untuk tempat dan waktu berlakunya cerita menurut laras yang sesuai.

Penuturan bentuk dialog tidak mungkin hadir tanpa disertai dengan narasi atau deskripsi. Sebaliknya, bentuk narasi atau deskripsi dapat hadir tanpa dialog, walau mungkin terasa dipaksakan, misalnya sebuah cerita yang relatif pendek. Percakapan yang terjadi baru akan efektif jika telah jelas konteks berlangsungnya sebuah penuturan, misalnya yang menyangkut masalah: di mana, kapan, antarsiapa, masalah apa, dalam situasi apa, situasi bagaimana dan sebagainya.

Sebuah percakapan yang hadir dalam kalimat pertama sebuah novel, bahkan di awal bab-bab sebuah novel, tidak akan begitu saja dapat dipahami pembaca sebelum mereka mengetahui konteks situasinya, dan hal itu baru diceritakan pada kalimat-kalimat berikutnya yang biasanya berbentuk narasi.

29


(38)

Dengan mengetahui konteks situasi pembicaraan, pembaca pun dapat mempertimbangkan apakah sebuah percakapan itu efektif, hidup, segar, wajar, atau bahkan sebaliknya. Dengan demikian bentuk deskripsi atau narasi dan dialog saling mendukung dan menghidupkan karya fiksi bentuk novel maupun cerpen.

H. Jenis-Jenis Novel

Novel dilihat dari segi mutu dibedakan atas novel populer dan novel literer atau novel serius. Murphy menggolongkan novel atas novel horor, novel absurd, novel picisan. Berikut ini penjelasan novel-novel tersebut:

1. Novel populer

Novel populer merupakan jenis sastra populer yang menyuguhkan problema kehidupan yang berkisah pada cinta asmara yang bertujuan menghibur. Novel jenis ini populer pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca dikalangan remaja. Ia menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman, namun hanya sampai pada tingkat permukaan. Novel populer tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih intens, tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Sebab, jika demikian halnya, novel populer akan menjadi berat, dan berubah menjadi novel serius dan boleh jadi akan ditinggalkan pembacanya. Biasanya novel populer bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang lain untuk membacanya lagi, biasanya cepat dilupakan orang, apalagi muncul novel-novel baru yang lebih populer pada masa sesudahnya.

Novel populer lebih mudah dibaca dan lebih mudah dinikmati karena ia memang semata-mata menyampaikan cerita. Masalah yang diceritakan pun ringan-ringan, tetapi aktual dan menarik. Kisah percintaan antara pria tampan dengan wanita cantik secara umum cukup menarik, mampu membuai pembaca remaja yang memang sedang mengalami masa peka. Novel populer lebih mengejar selera pembaca, komersil, ia tidak akan menceritakan sesuatu yang bersifat serius hal itu akan berkurang jumlah penggemarnya. Oleh karena itu, agar cerita mudah dipahami, plot segaja dibuat lancar dan sederhana. Perwatakan tokoh tidak berkembang. Sebagaimana dikatakan oleh sapardi Djoko Damono,


(39)

tokoh-tokoh adalah tokoh-tokoh yang tidak berkembang kejiwaannya dari awal hingga akhir cerita. Berbagai unsur cerita seperti plot, tema, karakter, latar, dan lain-lain biasanya bersifat stereotip, tidak mengutamakan adanya unsur-unsur pembaharuan. Hal demikian, memang mempermudah pembaca semata-mata mencari hiburan belaka.30 Contoh novel jenis ini adalah Karmila, Badai Pasti Berlalu (Marga T), Cintaku di Kampus Biru, Kugapai Cintamu (Ashadi Siregar), dan novel-novel karya Mira W.

2. Novel Serius/Literer

Novel literer adalah novel bermutu sastra, novel literer menyajikan persoalan-persoalan kehidupan manusia secara serius. Di samping memberikan hiburan, novel serius juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajak meresapi dan merenungkan secara lebih sungguh-sungguh tentang permasalahan yang dikemukakan. Masalah percintaan banyak juga diangkat ke dalam novel serius. Namun, ia bukan satu-satunya masalah yang penting dan menarik untuk diungkap. Masalah kehidupan amat kompleks, bukan sekedar cinta asmara, melainkan juga hubungan sosial, ketuhanan, maut, takut, cemas, dan bahkan masalah cinta itu pun dapat ditujukan terhadap berbagai hal, misalnya cinta kepada orang tua, saudara, tanah air dan lain-lain. Masalah percintaan (asmara) dalam karya fiksi memang tampak penting, terutama untuk memperlancar cerita. Namun, barangkali, masalah pokok yang ingin diugkap pengarang justru di luar percintaan itu sendiri.

Novel serius biasanya berusaha mengungkapkan sesuatu yang baru dengan cara pengucapan yang baru pula. Singkatnya: unsur kebaruan diutamakan. Dalam novel serius tidak akan terjadi sesuatu yang bersifat stereotip, atau paling tidak pengarang menghindarinya. Novel serius mengambil realitas kehidupan ini sebagai model, kemudian menciptakan sebuah ―dunia-baru‖ lewat penampilan cerita dan tokoh-tokoh dalam situasi yang khusus. Contoh novel serius adalah

Belenngu (Armijn Pane), Hariamau-Harimau (Muchtar Lubis), Pada Sebuah Kapal (N.H Dini).

30


(40)

3. Novel Picisan

Novel picisan isinya cenderung mengeksploitasi selera dengan suguhan cerita yang mengisahkan cinta asmara yang menjurus ke pornografi. Novel ini mempunyai ciri-ciri bertemakan cinta asmara yang berselera rendah, ceritanya cenderung cabul, alurnya datar (arogresif), jalan ceritanya ringan dan mudah diikuti pembaca, menggunakan bahasa yang aktual, bertujuan komersil. Novel-novel karya Abdullah Harahap dan Motinggo Busye digolongkan ke dalam Novel-novel picisan.

4. Novel Absurd

Novel absurd merupakan sejenis fiksi yang ceritanya menyimpang dari logika biasa, irrasional, realitas bercampur angan-angan dan mimpi, dan surrealism. Tokoh-tokoh ceritanya ―anti tokoh‖ seperti orang mati bisa hidup kembali, mayat dapat berbicara dan lain-lain. Contoh novel Sobar (karya Putu Wijaya) yang mengisahkan dua orang sahabat yang berkelahi. Salah seorang membunuh temannya, tetapi yang terkapar mayatnya sendiri.

5. Novel Horor

Novel horor (Gothic Fiction) merupakan cerita yang melukiskan kejadian-kejadian yang bersifat horor, seperti drakula penghisap darah, hantu-hantu gentayangan, kuburan keramat, dan berbagai keajaiban supranatural yang berbaur dengan kekerasan, kekejaman, kekacauan, dan kematian.31

31


(41)

32

BAB III

BIOGRAFI PENULIS

DAN SINOPSIS NOVEL KETIKA CINTA BERTASBIH

A. Biografi Habiburrahman El Shirazy

Habiburrahman El Shirazy adalah anak pasangan K.H. Soerozi Noor dan Hj. Siti Khadijah, lahir di Semarang tanggal 30 September 1976, beliau memiliki panggilan akrab kang Abik, Kang Abik adalah anak sulung dari enam bersaudara yang juga tulang punggung keluarga yaitu sejak kecil beliau telah belajar hidup sederhana.

Kang Abik memulai pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah 1 Mranggen sambil belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Al Anwar, Mranggen, Demak di bawah asuhan K.H. Abdul Bashir Hamzah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota Budaya Surakarta untuk belajar di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Surakarta, lulus pada tahun 1995. Setelah itu melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadist Universitas Al-Azhar, Kairo dan selesai pada tahun 1999. Pada tahun 2001 lulus Postgraduate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Studies di Kairo yang didirikan oleh Imam Al-Baiquri.

Kang Abik tidak hanya piawai merangkai kata dalam bentuk tulisan, ia pun jago berdakwah lewat lisannya. Maka undangan untuk mengisi pengajian pun makin sering datang kepadanya. Ada yang mengundangnya semata-mata untuk mengisi pengajian, ada juga panitia yang sengaja menyelipkan jadwal ceramah di tengah-tengah acara bedah buku dan talkshow.

Prestasi yang pernah diaraih kang Abik di antaranya, semasa di SLTA pernah menulis teatrikal puisi berjudul ―Dzikir Dajjal‖ sekaligus menyutradarai pementasannya bersama Teater Mbambung di Gedung Seni Wayang Orang Sriwedari Surakarta (1994). Pernah meraih Juara II lomba menulis artikel se-MAN I Surakarta (1994). Pernah menjadi pemenang I dalam lomba baca puisi religius tingkat SLTA se-Jateng (diadakan oleh panitia Book Fair‘94 dan ICMI


(42)

Orwil Jateng di Semarang, 1994). Pemenang I lomba pidato tingkat remaja se-eks Keresidenan Surakarta (diadakan oleh Jamaah Masjid Nurul Huda, UNS Surakarta, 1994). Ia juga pemenang pertama lomba pidato bahasa Arab se-Jateng dan DIY yang diadakan oleh UMS Surakarta (1994). Meraih Juara I lomba baca puisi Arab tingkat Nasional yang diadakan oleh IMABA UGM Jogjakarta (1994). Pernah mengudara di radio JPI Surakarta selama satu tahun (1994-1995) mengisi acara Syharil Quran setiap Jumat pagi. Pernah menjadi pemenang terbaik ke-5 dalam lomba KIR tingkat SLTA se-Jateng yang diadakan oleh Kanwil P dan K Jateng (1995) dengan judul tulisan ―Analisis Dampak Film Laga Terhadap

Kepribadian Remaja‖. Beberapa penghargaan bergengsi lain berhasil diraihnya antara lain, Pena Award 2005, The Most Favorite Book and Writer 2005 dan IBF Award 2006.

Selama di Kairo, ia telah menghasilkan beberapa naskah drama dan menyutradarainya, di antaranya: Wa Islama (1999), Sang Kyai dan Sang Durjana

(gubahan atas karya Dr. Yusuf Qardhawi yang berjudul ‗Alim Wa Thaghiyyah, 2000), Darah Syuhada (2000). Tulisannya berjudul, Membaca Insanniyah al Islam dimuat dalam buku Wacana Islam Universal (diterbitkan oleh Kelompok Kajian MISYKATI Kairo, 1998). Berkesempatan menjadi Ketua TIM Kodifikasi dan Editor Antologi Puisi Negeri Seribu Menara ―Nafas Peradaban‖ (diterbitkan oleh ICMI Orsat Kairo, 2000).

Beberapa karya terjemahan yang telah ia hasilkan seperti Ar-Rasul (GIP, 2001), Biografi Umar bin Abdul Aziz (GIP, 2002), Menyucikan Jiwa (GIP, 2005),

Rihlah ilallah (Era Intermedia, 2004), dan lain-lain. Cerpen-cerpennya dimuat dalam antologi Ketika Duka Tersenyum (FBA, 2001), Merah di Jenin (FBA, 2002), Ketika Cinta Menemukanmu (GIP, 2004), dan lain-lain. Beberapa tulisannya pernah menghiasi Republika, Annida, Jurnal Sastra dan Budaya Kinanah, Jurnal Justisia, dan lain-lain.1

1

Habiburrahman El Shirazy, Ketika Cinta Bertasih 1, (Jakarta: Republika, 2007), Cet. Ke-8, h. 475—476.


(43)

beberapa karya populer yang telah terbit antara lain: 1. Ketika Cinta Berbuah Surga (MQS Publishing, 2005) 2. Pudarnya Pesona Cleopatra (Republika, 2005) 3. Ayat-Ayat Cinta (Republika-Basmala, 2004)

4. Di atas Sajadah Cinta (telah disinetronkan Trans TV, 2004) 5. Ketika Cinta Bertasbih 1 (Republika-Basmala, 2007) 6. Ketika Cinta Bertasbih 2 (Republika-Basmala, 2007) 7. Dalam Mihrab Cinta (Republika-Basmala, 2007)

8. Kini sedang merampungkan Langit Makkah Berwarna Merah, Bidadari Bermata Bening, dan Bulan Madu di Yerussalem.

Menurut Prof. Laode M. Kamaluddin, Ph.D dalam prolognya pada novel

Ketika Cinta Bertasbih, pada karya-karya kang Abik yang telah diterbitkan hampir menampilkan tokoh-tokoh yang berperilaku suci dalam keseharian bahkan seperti malaikat, pada zaman sekarang ini hal tersebut dianggap aneh, langka, atau bahkan disebut sok suci. Hal inilah yang menjadi kelebihan kang Abik yang berbeda dengan karya-karya sastra sekuler yang dominan menyajikan nalar liberal. Sehingga karya-karya kang Abik mengajarkan dan mengajak kebaikan kepada pembaca khusunya bagi para pemuda sebagai penerus bangsa.

Perbedaan novel Ketika Cinta Bertasbih dengan novel-novel lain karya kang

Abik adalah novel ini menampilkan tokoh utama, yaitu Azzam sebagai penuntut ilmu (santri salaf) di bumi para nabi (Kairo—Mesir) yang metropolis yang sadar dan memiliki jiwa pembisnis (enterpreneurship) yang jarang ditemukan pada novel-novel lain, bisa dikatakan novel ini berbasis enterpreneurship. Berbeda dengan novel sebelumnya, yaitu Ayat-Ayat Cinta yang menggambarkan tokoh Fahri seorang santri salaf yang haus ilmu. Tokoh Azzam adalah tokoh yang apa adanya menjalani dan menerima takdir yang diberikan Allah untuknya, dalam kondisi sesulit apapun dia tidak mau menyalahkan siapa-siapa, tetap semangat dan tegar, sehingga mengajarkan dan menyadarkan pembaca bahwa segala sesuatu dapat kita lalui, sulit sekalipun asal kita tetap berusaha dan tidak mudah menyerah.


(1)

108

(HBE, KCB2: 345) dialog yang dilakukan tokoh Pak Kiai, masuknya unsur bahasa Arab ‗ kabura

maqtan ‗indallah‖ ke dalam tuturan bahasa Indonesia. Fungsi dari kedua campur kode tersebut adalah mempermudah menyampaikan maksud Pak Kiai ke kepada lawan tutur (Bu Nafis)

Dari tabel di atas terdapat 7 data campur kode bentuk dialog dan 1 data campur kode bentuk deskripsi. Campur kode dominan adalah campur kode bentuk dialog sehingga terlihat cerita menjadi lebih hidup yang ditimbulkan dari ketajaman warna lokal/dialek pada percakapan tokoh-tokohnya. Jumlah keseluruhan wujud campur kode ungkapan atau idiom adalah 8 data, 5 data campur kode bahasa Jawa yaitu pada nomor 4, 5, 6, 7 dan 3 data campur kode bahasa Arab ditunjukkan pada nomor 2, 3, 9. Wujud campur kode ungkapan bahasa Inggris tidak ditemukan.

Fungsi campur kode ungkapan, yaitu (1) mempermudah menyampaikan maksud terdapat 4 data yaitu pada nomor 1, 4, 7, 8. (2) menunjukkan keterpelajaran 1 data, pada nomor 2. (3) kebutuhan kosakata 1 data, pada nomor 3.dan (4) membicarakan topik tertentu 2 data, yaitu pada nomor 5 dan 6. Tidak ditemukan oleh peneliti fungsi campur kode mengormati lawan tutur, menunjukkan identitas, mempertegas sesuatu, memperhalus tuturan, menunjukkan keakraban, dan pengisi dan penyambung kalimat.


(2)

109

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan data tentang campur kode dalam novel dwilogi Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El

Shirazy berjumlah 219 data. Campur kode dominan adalah campur kode bahasa Arab, terdapat 107 data, hal ini karena pengarang novel mampu berbahasa arab dan novel ini adalah novel islami yang sering menggunakan serpihan-serpihan keislaman. Sedangkan campur kode bahasa Inggris dan Jawa masing-masing 71 dan 41 data. Campur kode terbanyak yaitu berwujud kata, terdapat 114 data, yaitu 24 data campur kode bahasa Jawa, 54 data campur kode bahasa Arab, 36 data bahasa Inggris. Campur kode berwujud frasa terdapat 52 data, terdapat 4 campur kode bahasa Jawa, 27 campur kode bahasa Arab, dan 21 campur kode bahasa Inggris. Campur kode berwujud klausa terdapat 16 data, 2 campur kode bahasa Jawa, 12 campur kode bahasa Arab, dan 2 campur kode bahasa Inggris. Berwujud kata ulang terdapat 5 data, 4 campur kode bahasa Arab, dan 1 campur kode bahasa Inggris. Campur kode berwujud baster 24 data, 2 campur kode bahasa Jawa, 11 campur kode bahasa Arab, dan 11 pula campur kode bahasa Inggris. Campur kode berwujud ungkapan atau idiom terdapat 8 data, 5 data campur kode bahasa Jawa, 3 data campur kode bahasa Arab. Campur kode dalam penulisan novel dapat dibagi menurut penggunaannya, yaitu bentuk deskripsi dan bentuk dialog. Dalam bentuk deskripsi cerita bertujuan menggambarkan latar, peristiwa, dan tokoh. Sedangkan, campur kode bentuk dialog bertujuan menyajikan percakapan tokoh/antartokoh. Pada wujud kata, campur kode deskripsi terdapat 64 data dan bentuk dialog sebanyak 50 data, wujud campur kode frasa campur kode deskripsi sebanyak 15 data dan campur kode dialog 37 data. Pada wujud klausa campur kode deskripsi terdapat 2 data sedangkan bentuk dialog terdapat 14 data, pada wujud campur kode kata ulang campur


(3)

110

kode deskripsi terdapat 1 data saja sedangkan bentuk dialog terdapat 4 data, campur kode wujud baster terdapat 13 data campur kode deskripsi dan 11 data campur kode bentuk dialog, wujud campur kode ungkapan bentuk deskripsi terdapat 1 data sedangkan bentuk dialog terdapat 7 data.

2. Fungsi yang melatarbelakangi terjadinya campur kode dalam novel dwilogi Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy adalah (1) karena menghormati lawan tutur, (2) karena kebutuhan kosakata, (3) karena ingin mencari jalan termudah menyampaikan maksud, (4) karena membicarakan topik tertentu, (5) menunjukkan identitas, (6) menunjukkan keterpelajaran, (7) mempertegas sesuatu, (8) memperhalus tuturan, (9) menunjukkan keakraban, dan (10) sebagai pengisi dan penyambung kalimat. Fungsi campur kode dominan adalah kebutuhan kosakata yang terdapat pada campur kode wujud kata sebanyak 36 data karena campur kode (serpihan bahasa) tersebut biasa dikenal masyarakat umum khususnya untuk umat Islam.

B. Saran

1. Penelitian ini membahas bahasa campur kode dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy, memang menarik campur kode yang terjadi dalam novel ini yaitu berupa penyisipan serpihan-serpihan, baik itu kata, frasa, klausa, kata ulang, baster, maupun idiom atau ungkapan yang berasal dari bahasa asing (bahasa Arab dan Inggris) maupun bahasa daerah (Jawa). Namun, campur kode bukanlah kebiasaan yang turut melestarikan bahasa Indonesia, dikhawatirkan akan menggeser fungsi bahasa Indonesia. Dalam kasus-kasus tertentu campur kode tidak dapat dihindari yaitu jika serpihan unsur asing atau daerah tidak dimiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia.

2. Penggunaan campur kode dalam penulisan novel dapat diterima dalam bentuk dialog, yang memang membutuhkan bahasa tulis-lisan yang hidup. Namun, dalam bentuk deskripsi seorang penulis perlu berhati-hati agar tidak sekedar mencampurkan begitu saja ragam lisan (campur kode) ke dalam ragam tulis


(4)

111

(sastra) dan lebih bersifat eksploratif dalam penggunaaan bahsa tulis lisan (dialog). Hendaknya kita semua juga perlu berhati-hati dalam menggunakan bahasa Indonesia, terutama saat situasi formal yang mengharuskan untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar, terutama bagi semua pihak yang bergelut di dunia pendidikan bahasa Indonesia. Diharapkan pada penelitian berikutnya agar melakukan penelitian yang lebih luas lagi tentang kajian campur kode.


(5)

112

DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. Sosiologi Bahasa, Bandung: Angkasa, 1990.

Aslinda dan Leni Syafyahya. Pengantar Sosiolinguistik, Bandung: Reflika Aditama, 2007.

Badudu, J.S Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III, Jakarta: PT. Gramedia, Cet. Ke-2, 1993.

Badudu, J.S. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar II, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cet. Ke-4, 1994.

Bloomfield, Leonard. Language Bahasa, Jakarta: PT Gramedia, 1995.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.

Consuelo dkk, penerjemah: Alimuddin Tuwu, Pengantar metode Penelitian, Jakarta: Universitas Indonesia, 1993.

Depdiknas, Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Edisi ke-3, 2002.

El Shirazy, Habiburrahman. Ketika Cinta Bertasbih 1, Jakarta: Republika, 2007. El Shirazy, Habiburrahman. Ketika Cinta Bertasbih 2, Jakarta: Republika, Cet.

Ke-6, 2008.

http://anaksastra.blogspot.com/2009/02/alih-kode-dan-campur-kode.html. Diakses tanggal 13 Oktober 2010.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13466/1/08E01506.pdf, Mayerni Sitepu, Skripsi: Campur Kode dalam Majalah Aneka Yes, Medan

Universitas Sumatra Selatan, 2007. Diakses tanggal 13 Februari 2010. Ibrahim, Abdul Syukur dan H. Suparno. Sosiolinguistik, Jakarta: Universitas

Terbuka, Cet. Ke-6, 2007.

J. Meleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, 2004. Jassin, H.B. Tifa Penyair dan Daerahnya, Jakarta: Gunung Agung, Cet. Ke-7,

1985.

M. Echols, John dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, Cet-24, 2000.


(6)

113

Marahimin, Ismail. Menulis Secara Populer, Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. Ke-3, 2001.

Muliastuti, Liliana dan Krisanjaya, Linguistik Umum, Jakarta: Universitas Terbuka, Cet. Ke-3, 2007.

Muslich, Masnur Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kajian ke Arah Tatabahasa Deskriptif, Jakarta: Bumi Aksara, 2000.

Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. Ke-5, 2005.

Putrayasa, Ida Bagus. Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran), Bandung: Refika Aditama, 2007.

Rahardi, R. Kunjana. Kajian Sosiolinguistik Ihwal Kode dan Alih Kode, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Semi, M. Atar. Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1988.

Sibarani, Robert. Hakikat Bahasa, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992.

Sumardjo, Jakob. Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-4, 2007.

Sumarno dan Paina Partana. Sosiolinguistik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-2, 2004.

Syamsudin dan Vismaia S. Damayanti. Metode Penelitian Bahasa, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Pragmatik, Bandung: Angkasa, 2009.

Widjojo dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia, Bandung: UPI Press, 2006.

Yuliati, Etik. Skripsi: Alih Kode dan Campur Kode dalam Cerbung Dolanan Geni Karya Suwardi Endraswara, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2010.