Sengketa Demokrasi Membuahkan Konflik di
Sengketa Demokrasi Membuahkan Konflik di Tanah Papua
Oleh Ernest Pugiye.
Sekalipun sengketa pilpres sudah dituntaskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus 2014,
sengketa pileg sudah semakin marak terjadi di kalangan birokrasi pemerintahan Papua.
Setiap calon pemimpin dan tim suksesi dari setiap calon telah mengajukan materi gugutan ketika
sengketa tersebut diproses di Mahkamah Konstitusi pada dua pekan yang lalu. Ada persoalan
fundamental bahwa pada satu sisi, para calon pileg melalui para KPU di Indonesia telah
menyampaikan hasil rekapitulasi Pileg kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tanpa menjiwai nilainilai demokrasi yang berlaku di Indonesia secara umum.
Namun pada sisi lain, mereka telah berjuang nilai-nilai demokrasi dengan menyampaikan proses
dan hasil pelaksaknaan Pileg di seluruh wilayah di Indonesia kepada public termasuk kepada
MK.
Nilai demokrasi yang telah menjadi korban dari proses pelaksanaan pileg kali ini adalah suara
kedaulatan rakyat. Pileg sudah semakin membuah masalah dan konflik Papua yang
berkelimpahan, karena ada pengorbanan atas nilai demokrasi rakyat. Faktanya jelas bahwa
setelah MK menuntaskan sengketa kode etik Pilres di Negara Republik Indonesia, Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kini kembali focus menuntaskan perkara dugaan
pelanggaran yang terjadi saat pemilu legislatif 9 April lalu.
Tercatat bahwa ada sebanyak 90 perkara Pileg yang masih belum dituntaskan oleh DKPP dalam
pelaksanaan Pileg, 2014. Hal ini diungkapkan salah satu juru bicara sekaligus anggota DKPP,
Nur Hidayat Sardini, di Jakarta, Rabu(27/08).
Sebanyak 90 perkara selama pileg yang belum diselesaikan itu terdapat di 26 provinsi. Memang,
ada actor utama dari 90 masalah ini yakni Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tinggkat provinsi di 13 provinsi, juga Komisioner KPU dan
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota. Menurut Nur Hidayat, sengketa pileg ini
terjadi 26 provinsi di Indonesia karena dugaan perlakuan yang tidak adil dan setara terhadap
peserta pemilu, penyuapan terhadap penyelenggara pemilu dan tidak dilanjutkannya laporan
Bawaslu/Panwaslu, oleh KPU kepada MK.
Bagi Papua, realitas masalah pileg ini menunjukkan secara jelas bahwa demokrasi yang
bertumpu pada kedaulatan rakyat mulai semakin dikorbankan oleh semua pemangku kepentingan
politik (stakeholder) termasuk KPU, Bawaslu, Panwaslu, Militer dan para elit politik lainnya.
Fenomena ini justru mengakibatkan suburnya pelanggaran HAM yang lebih parah lagi di Papua.
Banyak rakyat yang tidak punya apa-apa dan saleh menjadi korban tanpa demokrasi yang
berdaulat dari rakyat dan untuk rakyat.
Karena itu, sekarang ini, kita harus berani mengatakan bahwa sengketa demokrasi pileg
membuah semakin paling banyak konflik bagi Papua.
Pelanggaran Kode Etik
Papua adalah daerah paling amat subur terjadinya pelanggaran HAM. Banyak media massa baik
eletronik seperti TVone, Metro maupun media cetak seperti cenderawasih pos, Papua pos, tabloid
jubi.com, majalahselangkah.com dan suara pembaruan serta kompas, Jakarta pos dan tempo
telah memperlihatkan bahwa Papua sampai kini masih tetap dalam sona darurat kemanusiaan.
Papua penuh dengan dosa Negara, memorial passionis dan penuh pelanggaran HAM. Papua
memang tidak damai, bukan Papua zono damai secara nyata. Itulah buah-buah konflik bagi
Papua dalam era demokrasi.
Yakubus Odiyaipai Dumopa, Penulis muda Papua yang telah menerbitkan banyak buku pernah
mengakui akan suburnya pelanggaran HAM di Papua. Dalam cetakan bukunya yang terakhir
dengan berjudul:Demokrasi Tidak Harus Langsung, Masalah, Dampak dan Solusi Kepemilihan
Kepala Daerah di Papua telah mencacat secara gamblang bahwa martabat manusia dan alam
Papua telah menjadi korban dan meninggal secara tidak manusiawi akibat konflik dalam
pemilihan kepala daerah langsung di Papua, yang dinyatakan oleh pemerintah ketika
berkecimpung dalam pesta demokrasi di Papua. Orang Papua menjadi korban secara sistematis
dalam segala aspek kehidupan.
Di antaranya orang asli Papua menjadi korban ketidakadilan, diperlakukan secara sewenangwenang di hadapan hukum dan pemerintah, hak-hak asasi mereka dilanggar secara sistematis
(misalnya melalui Daerah Operasi Militer-DOM, pembungkaman ruang demokrasi),
dimarginalkan dalam bidang ekonomi. Mereka didiskriminasi dalam pelayanan di dunia
pendidikan dan kesehatan. Tanah adat mereka dicaplok dan disertai perampokan kekayaan
alamnya atas persekongkolan pemerintah dan para kapitalis. Adat dan budaya suku-suku asli di
Papua musnah secara sistematis dan perlakuan ketidakadilan lainnya.
Saya secara pribadi, saya merefleksikan bahwa Papua diwarnai dengan konflik dan pelanggaran
HAM yang paling amat berat karena ada pelanggaran terhadap kode etik demokrasi. Kodrat
konflik Papua adalah bukan konflik horizontal malainkan vertical yakni antara pemerintah dan
rakyat Papua.
Rakyat asli Papua yang berjumlah 2 juta jiwa terus-menerus dikorbankan oleh pemerintah, yang
memiliki kekuasaan dan kemewahan di atas sakit-nya kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat
menjadi proyek bagi pemerintah demi menciptakan surganya sendiri. Sementara rakyatnya
sendiri menjadi korban dalam berbagai kepentingan dan harapan-harapan politik dari pemerintah
dan pengusaha.
Di sinilah pemerintah sebenarnya kehilanngan makna berdomokrasi yakni demokrasi yang
langsung, umum, bebas dan rahasia. Dalam arti ini, pemerintah seharusnya dapat menciptakan
demokrasi yang lahir dari kedaulatan rakyat dan emansipasi politik yang memuncak pada
kesejahteraan bersama atau kebaikan bersama. Tanpa kedaulatan rakyat, tidak ada Negara
demokrasi di RI ini.
Indonesia dikatakan sebagai Negara demokrasi hanya jika kedaulatan rakyat dikonstruksikan
dalam demokrasi Negara, pemerintah yang berdemokratis dan atau Negara demokrasi. Papua
selama lima decade ini nampak jelas-jelas dinodai dengan konflik dan kekerasan. Sekalipun ada
berbagai upaya dan kebijakan telah dinyatakan oleh pemerintah untuk menuntaskan berbagai
kompleksitas konflik Papua secara damai, demokratis dan sejahtera. Hingga kini, konflik Papua
masih berbuah banyak.
Adapun actor utama yang menciderai kode etik demokrasi di Papua dalam pesta demokras
langsung adalah para KPU, Bawaslu, Panwaslu dan militer serta pengusaha asing di daerahderah pegunungan Papua. Itu berarti anda tidak hanya pelaku masalah Papua tetapi anda adalah
makhluk jahat bagi Papua. Anda itu kejahatan kelas kakap bagi kedaulatan rakyat demi
menciptakan surga anda sekalian sendiri. Ini tandanya, demokrasi di Papua sudah gagal total.
Karena itu kita tidak heran hanya apabila berbagai pihak medesak KPU Provinsi Papua telah
segera menggatikan KUP-KPU di setiap tingkat daerah di provinsi Papua. Itu sudah!
Selain itu, presiden SYB sebelum mengakhiri jabatanya harusnya juga segera menarik
militerisme secara total dari Papua, karena Papua ini tanah damai menurut filosofi Papua. Papua
bukan tanah perang, konflik dan kekerasan seperti di Jakarta, melainkan tanah surga. Papua
adalah pula Tanah KEHIDUPAN bukan kematian. Jadi, Pak SBY harus segera tarik militeris
secara total dari Papua.
Perubahan Birokrasi
Demi menciptakan Papua bangkit, mandiri dan sejahtera, perubahan birokrasi pemerintah adalah
suatu kewajiban yang segera dilaksanakan. Karena di kalalanga birokrasi pemerintahan Papua ini
dipimpin dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak bermoral, tidak beriman dan tidak
demokratis dan tidak berprikemanusiaan, serta tidak punya Tuhan sehingga Papua ini dikelola
sebagai tempat pelanggaran HAM.
Papua adalah miskin HAM, miskin Kerajaan Allah sekalipun banyak pihak mengakui Papua
sebagai surga dunia. Istilah surga hanya menjadi slogan saja. Itu abunawas dan manipulasi
bahasa atas objektifitas masalah Papua demi surgnya bagi penguasa (pemerintah) dan
pengusahan (kaum kapitalis, imperialis, dan kaum ateis).
Pada Rabu 16/05/2013 di Biara Sentani, Mgr.Uskup John Pilip Sakil Pr, pernah mengatakan
bahwa berbagai konflik Papua yang terjadi dalam pesta demokrasi langsung kepala derah pileg,
pilgub dan pilpres ini diciptakan oleh pemerintah sendiri. Termasuk juga TNI/Polri dan KPU
adalah actor penghancuran demokrasi bagi rakyat di Papua.
Menurutnya secara rinci, kurang lebih ribuan umat Allah yang tidak bersalah menjadi korban
kekerasan militer, pemerintah, KPU dan tindak kebiadaban pengusaha. Padahal keempat actor
masalah itu adalah orang katolik, umat saya, umat Allah yang sudah pernah saya ajarkan
tetantang ajaran iman, moral dan injili. Mereka ini tinggal lama di Papua bersama rakyat dan
umat Allah.
Saya sudah ajarkan tentang beta luhurnya martabat manusia, tentang bagaimana kita harus
mengakui dan tentang keberadaan fundamental Allah, yang harus diimani, dicintai dan
dimuliakan oleh kita sebagai umat kesayangan-Nya. Tetapi semuanya sia-sia, hancur total karena
pemerintah, Militer dan KPU dan jajarannya yang hingga kini masih mempraktekkan tindakan
kejahatan kemanusiaan terhadap umat Allah dan keberadaan alam Papua ini.
Misi luhur ini dimaklumkan Uskup John Saklil ketika para frater (24) dari Keuskupan Timika
mengikuti pembinaan iman dan moral bersama Mgr.Ukup John pada malam pertama di SentaniJayapura.
Dengan merujuk pada suara Gembala di atas, rakyat dan alam Papua harus dibangun berdasarkan
nilai-nilai injili, moral dan nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, kebersamaan dan cinta kasih.
Dalam hal ini desakan pemerintah atas pergantian KPU di kabupaten Dogiyai dan di semua
kabupaen lainnya, seperti yang dikabar oleh sejumlah jurnalis di media massa selama ini tidak
hanya penting dan harus tetapi mendesak, amat mendasar juga.
Secara objektif-kodrati, desakan pemerintah atas pergantian KPU di kabupaten Dogiyai ini
merupakan bagian integral dari perubahan birokrasi di Papua. Perubahan seperti ini tentunya
juga merupakan misi luhur yang harus dilaksanakan tanpa kompromi. Ini adalah realisasi nyata
dari substansi ajaran moral dan iman demi kedaulatan rakyat dan emansipasi politik bagi Papua.
Kami tidak mau menerima korban baru dari kejahatan pemerintah di Papua, seperti yang telah
terjadi selama ini.
Sambil segera melaksana pergantian KPU di berbagai wilayah pedalaman di Papua, maka
pemerintah Papua di bawah pimpinan Gubernur Lukas Enembe dan Klemens Tina harus segera
mendesak Jakarta untuk harus segera selesaikan berbagai kompleksitas konflik Papua melalui
jalan dialog. Kerena kita sudah harus memilih dan menetapkan dialog sebagai jalan yang harus
dilalui, digunakan dan dicintai secara radikal untuk menuntaskan konflik Papua. Dialog adalah
kita punya budaya dalam menata hidup bersama.
Bahkan pemerintah luar negeri pun menyetujui hanya proposal dialog sebagai sarana, jalan
tengah, jalan kebenaran dan jalan hidup untuk menuntaskan konflik Papua secara komprehensif
demi Papua, Tanah damai.
Sejauh ini pemerintah menjalankan roda pembangunan di Papua tanpa melalui dialog JakartaPapua sehingga konflik Papua masih tetap saja tidak pernah diredam. Salah satu masalah yang
tidak dilupakan dalam ingatan rakyat Papua adalah pembunuhan terhadap ketua KMPB di
Sorong, Mathias Yohame oleh kapasus.
Tentu, peristiwa tragis ini diperintah oleh Pak SBY ketika beliau mengunjungi rakyat Papua
dalam akhir bulan ini. Sebelumnya, sejumlah presiden RI melalui militer (TNI/Polri, Kopasus)
telah membunuh secara sengaja terhadap Obed Bady, Kelly Kwalik, Mako Tabuni, Theis Hiyo
Eluai, Agus Alue Alua dan Jeph Solosa serta sejumlah aktivis lainnya karena dianggap sebagai
musuh negara RI. Tapi konflik Papua masih terus berlanjut hingga kini. Ini akan berpotensial
juga bagi Papua nanti.
Penulis adalah Mahasiswa pada STFT Fajar Timur Abepura
Sumber : http://majalahselangkah.com/
1. KONFLIK PAPUA MAKALAH ( Disusun untuk memnuhi salah satu tugas kelompok
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial ) Disusun oleh : 1. Ai Roudotul Munawaroh 2.
Fitri Nurhasanah 3. Hardi Lukmanul Hakim 4. Lutfi Nugraha 5. Riska Feby Setia
Permana Kelas XI MM_ 1 SMK NUURUL MUTTAQIIN Cisurupan – Garut
2011Konflik Papua Page 1
2. KATA PENGANTARPuji Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha Esa
atas perlindunganNya danpertolonganNya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini.Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Ilmu
PengetahuanSosial, yaitu tentang KONFLIK SOSIAL. Oleh karena itu, makalah ini berisi
tentang contoh-contoh konkret konflik social yang terjadi di Indonesia. Di sini kami
mengambil topic tentangKonflik Papua.Melalui makalah ini, kami harap para pembaca
dapat mengetahui Akar Pokok PermasalahanPapua serta dapat mengerti tentang
Bagaimana Mencari Solusi Untuk Menyelesaikan KonflikPapua yang telah berlangsung
± ½ abad sehingga penduduk Papua dapat hidup tenang di atasTanah Leluhur
mereka.Kami sadari bahwa tentu tak ada gading yang tak retak, makalah ini mungkin
masih jauh darikesempurnaan. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
gunamenyempurnakan makalah ini. PenyusunKonflik Papua Page 2
3. DAFTAR ISIKata Pengantar
………………………………………………………………………… 1Daftar isi
………………………………………………………………………………… 2BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. 3 Latar
Belakang ……………………………………………………………………. 3BAB II
PEMBAHASAN ………………………………………………………………... 4 1.
Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua ……………………………….… 4 2.
Sejarah Konflik Papua ……………………………………………………….. 5 3.
Dampak dari konflik Papua …………………………………………….……. 6 4. Upaya
Penyelesaian Konflik di Papua …………………………………..….... 7 5. Bentuk
konflik di Papua …………………………………………….….……. 8 6. Argumentasi
Terhadap Konflik Papua …………………………………….…. 9BAB III PENUTUP
……………………………………………………………………. 10 1. Kesimpulan
………………………………………………………………….. 10 2. Saran
………………………………………………………………………… 10Daftar Pustaka
…………………………………………………………………………. 11Konflik Papua
Page 3
4. BAB I PENDAHULUANA. Latar BelakangSudah lama Tanah Papua menjadi tanah
konflik. Selain konflik horizontal antar warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara
pemerintah Indonesia dan orang asli Papua telahmengorbankan banyak orang. Konflik ini
hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masihadanya konflik ini secara jelas
diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum,serta terjadinya pengibaran
bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalianUndang-undang No. 21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.Konflik yang belum
diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asliPapua, orang Papua
dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu pihak,
orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanyastigma
separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak
mempercayaiPemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain
ini, dialogkonstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang
Papua.Apabila berbagai masalah yang melatarbelakangi konflik ini tidak dicarikan
solusinya, makaPapua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini
pada gilirannyaakan menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah
Papua.Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam,
Hindudan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini
dilakukandengan dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD). Dalam perkembangan
selanjutnya, parapimpinan agama menjadikan Papua Tanah Damai sebagai suatu visi
bersama dari masa depanTanah Papua yang perlu diperjuangkan secara bersama oleh
setiap orang yang hidup diTanah Papua.Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai
merupakan hasrat terdalam dari setiaporang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah
Papua, kenyataan memperlihatkan bahwabanyak orang belum merasa penting untuk
melibatkan diri dalam upaya menciptakanperdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua,
baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh
dalam kampanye perdamaian ini. Pada hal merekasebagai pemilik negeri ini sudah
semestinya memimpin-atau minimal terlibat dalam-berbagaiupaya untuk mewujudkan
perdamaian di tanah leluhurnya.Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk
berpartisipasi secara aktif dalam upayamenciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin
memperbaharui tanah leluhurnya menjaditanah damai, dimana setiap orang yang hidup
diatasnya menikmat suatu kehidupan yangpenuh kedamaian.Konflik Papua Page 4
5. BAB II PEMBAHASAN1. Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua. Konflik
kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang
antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua,
sebagai akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di Papua yang
berlangsung lama, sebagai berikut: a. Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)
Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta masyarakat
Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan, padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh
pengambil keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka dengan
batas-batas pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para
pemegang hak adat. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di tanahnya
sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi
kesempatan. Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan
transmigrasi telah mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga.
Masyarakat kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan,
kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan
masyarakat lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat.
Eksploitasi tambang juga memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal.
Sebagai contoh: kasus Freeport, limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi
seperti Moluska, sumber protein masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita. b. Dominasi
Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan Perlakuan yang kurang tepat terhadap
masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan proses-proses politik.
Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan peran
dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu diberikan kepada orang luar
dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu
mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat
yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan
terhadap semua orang Papua sebagai OPM. Dominasi masyarakat pendatang bukan
hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor swasta. Pada kegiatan di
sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA)
sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain
pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan
Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor perbankan juga didominasi oleh pekerja dari
kaum pendatang. Konflik Papua Page 5
6. c. Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal Secara singkat,
pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan lokal.
Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap berusaha
untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi, kelihatannya
penguasa melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai ancaman.
Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan
kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas
dan nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka. d. Tindakan
Represif oleh Militer Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara
lain intimidasi, teror, penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan
dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas SDA
secara paksa untuk berbagai keperluan, seperti HPH, transmigrasi, pertambangan, dan
industri manufaktur maupun jasa wisata. Ketika penduduk asli berusaha mempertahankan
hak-haknya atas SDA mereka diintimidasi dan diteror. Penyebab lainnya adalah: Konflik
Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal lain di
Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam
diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong
rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan
Belanda maupun Indonesia. Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda
ketika didirikan sekolah pamong praja di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari
generasi ke generasi. Ketika Belanda dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan,
rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran
ini yang menyebabkan gerakan anti- Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua.
Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini,
namun justru memperkuatnya.2. Sejarah Konflik Papua 1960 - 2000 1966-67: pemboman
udara Pegunungan Arfak 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga
tewas di Ayamaru, Teminabuan dan Inanuatan. Mei 1970: Pembantaian perempuan dan
anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan melihat seorang wanita
memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa. Jun 1971:
Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa
untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak Konflik Papua Page 6
7. Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk
menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan
batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125
penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai. pertengahan
1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari desadesa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman
makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari
kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidupstok Monemane. Dsb. 2000 - 2010 Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak
menyerang pada sekelompok profesor dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya lukaluka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab. Pada tanggal 1 Desember 2003:
Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, beberapa tindakan lain telah
terjadi 42 orang ditangkap. Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura
menewaskan 5 orang dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan
menyerang sebuah pos polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi
bereaksi dan membunuh seseorang. Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap
sebuah konvoi penambang PT Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM
menyangkal Tanggung Jawab.3. Dampak dari konflik Papua Di Papua, masalah
separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi keamanan terus
memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari NKRI. Tandatanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini ditengarai
sudah memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur Indonesia
ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap untuk lepas dari Indonesia. Maraknya aksi
penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah meresahkan
masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi, namun
masyarakat umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak
mengherankan bila hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang
tak dikenal yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua. Penyebab separatisme
Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya ekonomi, sehingga
meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap miskin. Tambang
tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme mengeksploitasi
sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi konflik antar agama di Papua tinggi
karena konflik yang bertikai menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli
merasa terancam dengan mengalir masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan
agama baru, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau
bahkan pengusiran. Konflik Papua Page 7
8. Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak
masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di
Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan
terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau
besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin
akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari terjadinya
penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia dan
melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak
kepada ajaran agama.4. Upaya Penyelesaian Konflik di Papua Hasil eksplorasi terdapat 2
kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu: a) Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering
dikenal dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk
menumpas setiap bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan
OPM di Papua yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun
1996. Kegiatan itu dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di
daerah perbatasan dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer
(DOM). b) Pendekatan Non kekerasan Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari
semua petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas Belanda adalah “mengIndonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan oleh lembaga pemerintah
seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan. Tema yang digunakan adalah
menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh Belanda selama lebih dari 350
tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti halnya rakyat Indonesia
lainnya, miskin, tertindas, dan melarat. Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan
pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut
berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu ada beberapa-beberapa hal yang
seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah: 1. Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan
berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk
persoalan yang sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa
para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak. 2.
Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama
di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit
yang seringkali tidak efektif. 3. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan
pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit
secara independen, Konflik Papua Page 8
9. dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah
di situs-situs atau di dokumen publik. 4. Menghindari mendanai kelompok-kelompok
yang menyerukan eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain. 5. Memastikan
debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak
lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui
pembagian daerah administratif lebih lanjut. 6. Menolak peraturan daerah yang
diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang papua.
7. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang
papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan pelayanan publik. 8. Pemerintah
memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat Papua agar terciptanya saling
percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua. Kesembilan, Pemerintah harus
mengakui secara jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah dalam mengatasi konflik
yang ada di Papua demi terciptanya rekonsiliasi. Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya
penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Konsiliasi, umumnya dilakukan melalui lembaga
legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan kesempatan kepada semua pihak
yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan secara terbuka masalah yang
terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi bersama. Kedua, Mediasi
mengajak atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk kesepakatan melalui
nasihat dari pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para pihak yang terlibat
bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan keputusan
yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik. Jika dilihat dari aspek substansi,
terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh para pihak dalam proses
penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu penyelesaian yang diharapkan
timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu penyelesaian melalui cara paksa atau
dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi militer. Ketiga, Hukum, yaitu
penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta yang mengikat, proses
legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu
penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.5. Bentuk
konflik di Papua 1. Konflik kelas social, karena konflik yang terjadi di Papua salah
satunya terjadi akibat adanya kesenjangan social dan budaya yang ada di masyarakat
Papua 2. Konflik Rasial. Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena
terjadinya salah paham atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua 3. Konflik
politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan diskriminasi atau
penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di Papua dengan imigranimigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik. Konflik Papua Page
9
10. 6. Argumentasi Terhadap Konflik Papua Dari semua referensi dan catatan-catatan
tentang masalah-masalah konflik yang terjadi di Tanah Papua dahulu hingga sekarang ini,
kami dapat memahami latar belakang serta faktor penyebab terjadinya berbagai konflik
kekerasan di tanah Papua. Umumnya kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar
warga dengan suku, separatisme, dan kriminalitas. Proses dan hasil pembangunan di
Papua selama otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua,
terutama di wilayah pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan
dan terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih kalah jauh dengan kotakota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua merasa tidak dihargai dan diabaikan.
Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua
Barat, kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya
tingkat pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan faktor-faktor yang
berpotensi menimbulkan konflik. Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan
sejenisnya adalah sebagai salah satu penyebab konflik tsb. Tujuan mereka dalah
menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah serta pihak internasional bahwa
Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide
dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog atau berdiskusi dengan pemerintah
Indonesia dalam waktu dekat. Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang
ada di Papua menandakan bahwa institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta
jajaran Polres-nya di seluruh tanah papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasuskasus kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah
ini susah sekali mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk penting dalam
mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut. Selama kesenjangan
itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap membakar masyarakat di
Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan benar-benar
memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami masyarakat akan
menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah sebagai akal-akalan mereka
saja. Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak
yang terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan
pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini
bisa dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan cara bersinergi
atau berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu kami yakin sedikit demi
sedikit konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar, bahkan mungkin
masyarakat akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap tempat
tinggalnya. Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau merealisasikan apa yang
menjadi angan- angan dari kita semua khusunya kami, mengenai konflik yang terus
menerus terjadi di Papua. Konflik Papua Page 10
11. BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
penyelesaian konflik sangatlah besar peranannya sehingga perlu adanya pembatasan yang
jelas dalam penyelesaian konflik tersebut. Yang perlu dicermati adalah kewenangan
Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang
baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat jangan sampai terjadi berbagai kebijakan
yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang terjadi di setiap kabupaten atau kota
yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan
sehingga konflik yang terjadi di papua dapat diselesaikan sacara baik tanpa menggunakan
kekerasan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah Berbagai konflik horizontal yang terjadi maupun konflik politik
vertikal yang dimanifestasikan dengan tuntutan Papua merdeka sebagai reaksi atas
pelaksanaan PEPERA yang tidak demokratis maupun atas dominasi pusat pada daerah,
dalam kurun waktu lama dilakukan melalui kebijakan dalam mengelola konflik yang
represif dan kontra produktif, yaitu dengan cara mengirim pasukan militer dan
merekayasa para tokoh atau elit masyarakat untuk berdamai secara seremonial.2. Saran
Konflik yang terjadi di papua hanya sebagian kecil saja yang terjadi di negeri ini maka
dari pada itu di harapkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus fleksibel
dalam mengeluarkan kebijakan jangan hanya berpihak ke salah satu daerah saja karena
akan menimbulkan kecemburuan sosial tiap daerah sehingga mengakibatkan konflik yang
berkepanjangan.Konflik Papua Page 11
12. Daftar
Pustakahttp://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papuahttp://centraldemokrasi.com/inforegional/15092011/konflik-di-papua-dilatarbelakangipolitik/http://pekeimbiijeffry.wordpress.com/2011/08/09/papua-masihmembara/http://vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=415http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=154749http://iposnews.com/index.php?
view=article&catid=42%3Anasional&id=1580%3Aikrardenganpapuamainkandiplomasicantik&tmpl=component&print=1&page=&option=com_
contenthttp://www.interseksi.org/blog/files/konflik_maluku.phphttp://ami23.wordpress.co
m/2011/01/21/solusi-dari-konflik-sosial-yang-terjadipapua/http://www.imparsial.org/id/2010/executive-summary-penelitian-papua-tahun2011-kebijakan-keamanan-militer-di-papua-dan-implikasinya-terhadap-ham.htmlKonflik
Papua Page 12
Empat Hal Utama, Penyebab Konflik Berlarut di Papua Barat
Written By Voice Of Baptist Papua on March 27, 2013 |
11:33 PM
Road Papua
JAKARTA Voice Baptist- Konflik di tanah Papua seperti tidak ada habisnya. Selain
konflik horizontal antar warga sipil, konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah
Indonesia dan masyarakat Papua juga telah memakan banyak korban".
"Sampai saat ini tidak ada niat baik dari Pemerintah untuk mencari solusi terbaik untuk
mengakhiri konflik di papua, Pemerintah terkesan tidak serius dan membiarkan konflik
berlarut".
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, konflik berkepanjangan ini
disebabkan oleh empat hal.
"Pertama, gagalnya otonomi khusus terutama pembangunan di bidang kesejahteraan
ekonomi, kesehatan dan pendidikan," ujarnya dalam diskusi bertajuk 'Papua: Konflik
Dari Masa ke Masa', di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2013).
Kedua, imbuh Hasanuddin, konflik disebabkan oleh adanya diskriminasi dan
marjinalisasi terhadap masyarakat asli Papua.
"Ketiga, adanya perasaan traumatis dari sebagian warga Papua sebagai akibat tindakan
represif aparat masa lalu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, namun tidak
diusut secara tuntas."
"Dan terakhir, masih terdapatnya perbedaan persepsi tentang terintegrasinya Papua ke
dalam wilayah NKRI melalui Pepera 1969," ungkapnya.
Dinamika Konflik Sosial di Tanah Papua Barat
P
enulis : La Sulu | Jum'at, 27 Juni 2014 15:56 Dibaca : 1140 Komentar : 1
Share :
"Potret buram dinamika konflik sosial di tanah Papua Barat, setingan lokasi
Tambang Freeport Tanah Papua Barat"
Sebelum kehadiran dunia pertambangan di berbagai penjuru dunia, senantiasa
menghadirkan pergolakan isu yang senantiasa merasuk dalam perspektif sosial, sehingga
pergolakan isu yang membara menjadi wacana sosial dalam tatanan kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Pergolakan isu yang senantiasa dibingkai dalam perspektif sosial sehingga melahirkan
wacana sosial yang sangat krusial di balik kehadiran dunia pertambangan. Termasuk
pergolakan isu kehadiran dunia pertambangan dapat menciptakan dinamika konflik sosial
oleh perspektif masyarakat.
Perspektif sosial senantiasa menjadi sebuah prasangka semata sebelum kehadiran dunia
pertambangan di berbagai penjuru dunia. Termasuk prasangka masyarakat Papua di balik
kehadiran pertambangan Freeport akan menghadirkan dinamika konflik sosial yang
menghiasi kehidupan masyarakat di tanah Papua Barat.
Di balik pergolakan isu yang melahirkan perspektif sosial menciptakan dinamika konflik
sosial yang membara di tanah Papua Barat. Semenjak pergolakan isu kehadiran dunia
pertambangan di tanah Papua melahirkan problematika krusial terjadi diferensiasi
perspektif di kalangan masyarakat. Ada masyarakat yang pro tambang Freeport dan
masyarakat yang kontra tambang Freeport. Diferensiasi perspektif melahirkan dinamika
konflik sosial di tanah Papua Barat.
Bila kehadiran tambang Freeport menciptakan diferensiasi perspektif di kalangan sosial
kemasyarakatan di tanah Papua Barat, oleh masyarakat yang menolak kehadiran tambang
Freeport senantiasa menjastifikasi kehadiran tambang Freeport dengan sejuta prasangka
buruk, sementara di balik kehadiran tambang Freeport, oleh perspektif masyarakat yang
mendukung kehadiran tambang Freeport, kehadiran tambang Freeport menciptakan
kesejahteraan sosial.
Latar belakang dari hadirnya dinamika konflik sosial di tanah Papua Barat adalah terjadi
diferensiasi perspektif masyarakat Papua tentang kehadiran koorporasi tambang Freeport
oleh sebuah perbedaan perspektif, sehingga melahirkan perbedaan persepsi kehadiran
tambang Freeport di antara kesejahteraan dan pertumpahan darah.
Dengan perbedaan perspektif di kalangan masyarakat, maka dapat menciptakan
kehidupan masyarakat yang berkotak-kotak antara masyarakat yang mendukung
kehadiran tambang Freeport dan masyarakat yang menolak kehadiran tambang Freeport.
Sehingga dapat menciptakan dinamika konflik social. Dinamika konflik sosial di tanah
Papua Barat, bukan saja dinamika konflik sosial yang melahirkan kekerasan, sehingga
berakhir dengan pertumpahan darah, melainkan dinamika konflik sosial di tanah Papua
Barat adalah dinamika konflik isu sosial.
Masyarakat yang mendukung kehadiran tambang Freeport dan masyarakat yang menolak
kehadiran tambang Freeport terpropaganda oleh kehadiran isu yang menjalar dalam sosial
kemasyarakatan. Sehingga kehidupan masyarakat yang pro tambang Freeport dan
masyarakat yang kontra tambang Freeport senantiasa diselimuti oleh dinamika konflik
sosial, oleh pergolakan isu yang membara.
Menata isu dengan setingan provokasi, isu yang ditata lalu didesain dalam setingan
provokasi sehingga melahirkan perspektif buruk oleh berbagai kalangan sehingga di balik
kehadiran isu yang diseting dalam dinamika konflik membuat masyarakat terprovokasi
dan konflik sosial.
Motif dari kehadiran dinamika konflik sosial di tanah Papua termasuk terhasut oleh isu.
Saling melempar isu antara masyarakat yang mendukung kehadiran tambang Freeport
dan masyarakat yang menolak kehadiran tambang Freeport semakin bergelora.
Masyarakat Papua dibakar oleh kehadiran isu sehingga melahirkan amarah. Lalu amarah
menjelma menjadi konflik sosial di tanah Papua Barat. Masyarakat Papua masih
terbelenggu oleh dinamika konflik sosial yang membara.
Konflik sosial di Papua Barat dapat menciptakan pertumpahan darah. Masyarakat masih
terbakar oleh amarah untuk saling melakukan kekerasan. Di balik kekerasan yang
senantiasa bergelora melahirkan pertumpahan darah, sehingga pertumpahan darah
menjelma menjadi dendam, lalu dendam menjadi ajang untuk melakukan balas dendam.
Jutaan korban akan senantiasa meninggal dengan tragis di tanah Papua Barat manakala
darah harus dibayar dengan darah. Bila darah harus dibayar dengan darah, maka konflik
sosial di Papua Barat antara masyarakat yang mendukung kehadiran tambang Freeport
dengan masyarakat yang menolak kehadiran tambang Freeport, maka pertumpahan darah
di tanah Papua Barat tidak akan berakhir. Bila konflik sosial tidak berakhir di tanah
Papua, maka jutaan korban meninggal dengan tragis karena saling melakukan kekerasan
senantiasa kita nantikan bersama.
Konflik sosial yang senantiasa membara di tanah Papua Barat disorot dengan tajam oleh
berbagai kalangan sosial kemasyarakatan. Sehingga melahirkan perspektif buruk dari
berbagai kalangan sosial, masyarakat Papua Barat sudah terjebak oleh dinamika konflik
sosial dihadirkan oleh dunia pertambangan yang membawa politik adu domba. Mengadu
masyarakat yang mendukung kehadiran dunia pertambangan dan masyarakat yang
menolak kehadiran dunia pertambangan adalah manifestasi dari politik adu domba dunia
pertambangan.
Potret realitas sosial telah menjadi manifestasi di berbagai penjuru dunia yang dimasuki
oleh dunia pertambangan senantiasa menghadirkan dinamika konflik sosial. Termasuk
terprofokasi oleh politik adu domba dunia pertambangan.
Bila semua bukanlah prasangka. Problematika krusial dialami oleh masyarakat Papua
adalah senantiasa diselimuti oleh konflik sosial. Kehidupan masyarakat Papua sudah
semakin meninggalkan kearifan sosial. Jalinan kerukunan telah putus oleh kehadiran
perusahaan tambang Freeport.
Masyarakat yang (pro tambang Freeport ) mendukung kehadiran tambang Freeport dan
masyarakat yang (kontra tambang Freeport ) masyarakat yang menolak kehadiran
tambang Freeport sudah terputus jalinan kerukunan, sehingga melahirkan krisis
kerukunan antara masyarakat yang menerima kehadiran tambang Freeport dan
masyarakat yang menolak tambang Freeport .
Untuk mengubur dinamika konflik sosial di tanah Papua Barat, masyarakat harus
menciptakan kesadaran nurani, dengan kesadaran nurani sosial kemasyarakat yang
mampu menciptakan kerukunan sosial di tanah Papua.
Masyarakat harus menyatukan perbedaan perspektif untuk menjalin kerukunan sosial.
Bila diferensiasi perspektif sudah menyatu, maka masyarakat Papua harus menjadikan
kerukunan sebagai kekuatan untuk menciptakan perlawanan. Masyarakat Papua harus
bangkit dalam melawan. Koorporasi tambang Freeport yang menciptakan dinamika
konflik di tanah Papua Barat harus dilawan.
"Masyarakat Papua Barat harus membangun ombak perlawanan. Mempersembahkan
buih-buih ombak perjuangan di atas samudera perlawanan, mempersembahkan buihbuih ombak di atas bahtera perlawanan, dan mempersembahkan sejuta amarah untuk
membakar tambang Freeport dengan sejuta bara".
La Sulu, Mahasiswa Indonesia Peduli Papua Barat.
Oleh Ernest Pugiye.
Sekalipun sengketa pilpres sudah dituntaskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 21 Agustus 2014,
sengketa pileg sudah semakin marak terjadi di kalangan birokrasi pemerintahan Papua.
Setiap calon pemimpin dan tim suksesi dari setiap calon telah mengajukan materi gugutan ketika
sengketa tersebut diproses di Mahkamah Konstitusi pada dua pekan yang lalu. Ada persoalan
fundamental bahwa pada satu sisi, para calon pileg melalui para KPU di Indonesia telah
menyampaikan hasil rekapitulasi Pileg kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tanpa menjiwai nilainilai demokrasi yang berlaku di Indonesia secara umum.
Namun pada sisi lain, mereka telah berjuang nilai-nilai demokrasi dengan menyampaikan proses
dan hasil pelaksaknaan Pileg di seluruh wilayah di Indonesia kepada public termasuk kepada
MK.
Nilai demokrasi yang telah menjadi korban dari proses pelaksanaan pileg kali ini adalah suara
kedaulatan rakyat. Pileg sudah semakin membuah masalah dan konflik Papua yang
berkelimpahan, karena ada pengorbanan atas nilai demokrasi rakyat. Faktanya jelas bahwa
setelah MK menuntaskan sengketa kode etik Pilres di Negara Republik Indonesia, Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) kini kembali focus menuntaskan perkara dugaan
pelanggaran yang terjadi saat pemilu legislatif 9 April lalu.
Tercatat bahwa ada sebanyak 90 perkara Pileg yang masih belum dituntaskan oleh DKPP dalam
pelaksanaan Pileg, 2014. Hal ini diungkapkan salah satu juru bicara sekaligus anggota DKPP,
Nur Hidayat Sardini, di Jakarta, Rabu(27/08).
Sebanyak 90 perkara selama pileg yang belum diselesaikan itu terdapat di 26 provinsi. Memang,
ada actor utama dari 90 masalah ini yakni Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tinggkat provinsi di 13 provinsi, juga Komisioner KPU dan
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota. Menurut Nur Hidayat, sengketa pileg ini
terjadi 26 provinsi di Indonesia karena dugaan perlakuan yang tidak adil dan setara terhadap
peserta pemilu, penyuapan terhadap penyelenggara pemilu dan tidak dilanjutkannya laporan
Bawaslu/Panwaslu, oleh KPU kepada MK.
Bagi Papua, realitas masalah pileg ini menunjukkan secara jelas bahwa demokrasi yang
bertumpu pada kedaulatan rakyat mulai semakin dikorbankan oleh semua pemangku kepentingan
politik (stakeholder) termasuk KPU, Bawaslu, Panwaslu, Militer dan para elit politik lainnya.
Fenomena ini justru mengakibatkan suburnya pelanggaran HAM yang lebih parah lagi di Papua.
Banyak rakyat yang tidak punya apa-apa dan saleh menjadi korban tanpa demokrasi yang
berdaulat dari rakyat dan untuk rakyat.
Karena itu, sekarang ini, kita harus berani mengatakan bahwa sengketa demokrasi pileg
membuah semakin paling banyak konflik bagi Papua.
Pelanggaran Kode Etik
Papua adalah daerah paling amat subur terjadinya pelanggaran HAM. Banyak media massa baik
eletronik seperti TVone, Metro maupun media cetak seperti cenderawasih pos, Papua pos, tabloid
jubi.com, majalahselangkah.com dan suara pembaruan serta kompas, Jakarta pos dan tempo
telah memperlihatkan bahwa Papua sampai kini masih tetap dalam sona darurat kemanusiaan.
Papua penuh dengan dosa Negara, memorial passionis dan penuh pelanggaran HAM. Papua
memang tidak damai, bukan Papua zono damai secara nyata. Itulah buah-buah konflik bagi
Papua dalam era demokrasi.
Yakubus Odiyaipai Dumopa, Penulis muda Papua yang telah menerbitkan banyak buku pernah
mengakui akan suburnya pelanggaran HAM di Papua. Dalam cetakan bukunya yang terakhir
dengan berjudul:Demokrasi Tidak Harus Langsung, Masalah, Dampak dan Solusi Kepemilihan
Kepala Daerah di Papua telah mencacat secara gamblang bahwa martabat manusia dan alam
Papua telah menjadi korban dan meninggal secara tidak manusiawi akibat konflik dalam
pemilihan kepala daerah langsung di Papua, yang dinyatakan oleh pemerintah ketika
berkecimpung dalam pesta demokrasi di Papua. Orang Papua menjadi korban secara sistematis
dalam segala aspek kehidupan.
Di antaranya orang asli Papua menjadi korban ketidakadilan, diperlakukan secara sewenangwenang di hadapan hukum dan pemerintah, hak-hak asasi mereka dilanggar secara sistematis
(misalnya melalui Daerah Operasi Militer-DOM, pembungkaman ruang demokrasi),
dimarginalkan dalam bidang ekonomi. Mereka didiskriminasi dalam pelayanan di dunia
pendidikan dan kesehatan. Tanah adat mereka dicaplok dan disertai perampokan kekayaan
alamnya atas persekongkolan pemerintah dan para kapitalis. Adat dan budaya suku-suku asli di
Papua musnah secara sistematis dan perlakuan ketidakadilan lainnya.
Saya secara pribadi, saya merefleksikan bahwa Papua diwarnai dengan konflik dan pelanggaran
HAM yang paling amat berat karena ada pelanggaran terhadap kode etik demokrasi. Kodrat
konflik Papua adalah bukan konflik horizontal malainkan vertical yakni antara pemerintah dan
rakyat Papua.
Rakyat asli Papua yang berjumlah 2 juta jiwa terus-menerus dikorbankan oleh pemerintah, yang
memiliki kekuasaan dan kemewahan di atas sakit-nya kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat
menjadi proyek bagi pemerintah demi menciptakan surganya sendiri. Sementara rakyatnya
sendiri menjadi korban dalam berbagai kepentingan dan harapan-harapan politik dari pemerintah
dan pengusaha.
Di sinilah pemerintah sebenarnya kehilanngan makna berdomokrasi yakni demokrasi yang
langsung, umum, bebas dan rahasia. Dalam arti ini, pemerintah seharusnya dapat menciptakan
demokrasi yang lahir dari kedaulatan rakyat dan emansipasi politik yang memuncak pada
kesejahteraan bersama atau kebaikan bersama. Tanpa kedaulatan rakyat, tidak ada Negara
demokrasi di RI ini.
Indonesia dikatakan sebagai Negara demokrasi hanya jika kedaulatan rakyat dikonstruksikan
dalam demokrasi Negara, pemerintah yang berdemokratis dan atau Negara demokrasi. Papua
selama lima decade ini nampak jelas-jelas dinodai dengan konflik dan kekerasan. Sekalipun ada
berbagai upaya dan kebijakan telah dinyatakan oleh pemerintah untuk menuntaskan berbagai
kompleksitas konflik Papua secara damai, demokratis dan sejahtera. Hingga kini, konflik Papua
masih berbuah banyak.
Adapun actor utama yang menciderai kode etik demokrasi di Papua dalam pesta demokras
langsung adalah para KPU, Bawaslu, Panwaslu dan militer serta pengusaha asing di daerahderah pegunungan Papua. Itu berarti anda tidak hanya pelaku masalah Papua tetapi anda adalah
makhluk jahat bagi Papua. Anda itu kejahatan kelas kakap bagi kedaulatan rakyat demi
menciptakan surga anda sekalian sendiri. Ini tandanya, demokrasi di Papua sudah gagal total.
Karena itu kita tidak heran hanya apabila berbagai pihak medesak KPU Provinsi Papua telah
segera menggatikan KUP-KPU di setiap tingkat daerah di provinsi Papua. Itu sudah!
Selain itu, presiden SYB sebelum mengakhiri jabatanya harusnya juga segera menarik
militerisme secara total dari Papua, karena Papua ini tanah damai menurut filosofi Papua. Papua
bukan tanah perang, konflik dan kekerasan seperti di Jakarta, melainkan tanah surga. Papua
adalah pula Tanah KEHIDUPAN bukan kematian. Jadi, Pak SBY harus segera tarik militeris
secara total dari Papua.
Perubahan Birokrasi
Demi menciptakan Papua bangkit, mandiri dan sejahtera, perubahan birokrasi pemerintah adalah
suatu kewajiban yang segera dilaksanakan. Karena di kalalanga birokrasi pemerintahan Papua ini
dipimpin dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak bermoral, tidak beriman dan tidak
demokratis dan tidak berprikemanusiaan, serta tidak punya Tuhan sehingga Papua ini dikelola
sebagai tempat pelanggaran HAM.
Papua adalah miskin HAM, miskin Kerajaan Allah sekalipun banyak pihak mengakui Papua
sebagai surga dunia. Istilah surga hanya menjadi slogan saja. Itu abunawas dan manipulasi
bahasa atas objektifitas masalah Papua demi surgnya bagi penguasa (pemerintah) dan
pengusahan (kaum kapitalis, imperialis, dan kaum ateis).
Pada Rabu 16/05/2013 di Biara Sentani, Mgr.Uskup John Pilip Sakil Pr, pernah mengatakan
bahwa berbagai konflik Papua yang terjadi dalam pesta demokrasi langsung kepala derah pileg,
pilgub dan pilpres ini diciptakan oleh pemerintah sendiri. Termasuk juga TNI/Polri dan KPU
adalah actor penghancuran demokrasi bagi rakyat di Papua.
Menurutnya secara rinci, kurang lebih ribuan umat Allah yang tidak bersalah menjadi korban
kekerasan militer, pemerintah, KPU dan tindak kebiadaban pengusaha. Padahal keempat actor
masalah itu adalah orang katolik, umat saya, umat Allah yang sudah pernah saya ajarkan
tetantang ajaran iman, moral dan injili. Mereka ini tinggal lama di Papua bersama rakyat dan
umat Allah.
Saya sudah ajarkan tentang beta luhurnya martabat manusia, tentang bagaimana kita harus
mengakui dan tentang keberadaan fundamental Allah, yang harus diimani, dicintai dan
dimuliakan oleh kita sebagai umat kesayangan-Nya. Tetapi semuanya sia-sia, hancur total karena
pemerintah, Militer dan KPU dan jajarannya yang hingga kini masih mempraktekkan tindakan
kejahatan kemanusiaan terhadap umat Allah dan keberadaan alam Papua ini.
Misi luhur ini dimaklumkan Uskup John Saklil ketika para frater (24) dari Keuskupan Timika
mengikuti pembinaan iman dan moral bersama Mgr.Ukup John pada malam pertama di SentaniJayapura.
Dengan merujuk pada suara Gembala di atas, rakyat dan alam Papua harus dibangun berdasarkan
nilai-nilai injili, moral dan nilai-nilai demokrasi seperti keadilan, kebersamaan dan cinta kasih.
Dalam hal ini desakan pemerintah atas pergantian KPU di kabupaten Dogiyai dan di semua
kabupaen lainnya, seperti yang dikabar oleh sejumlah jurnalis di media massa selama ini tidak
hanya penting dan harus tetapi mendesak, amat mendasar juga.
Secara objektif-kodrati, desakan pemerintah atas pergantian KPU di kabupaten Dogiyai ini
merupakan bagian integral dari perubahan birokrasi di Papua. Perubahan seperti ini tentunya
juga merupakan misi luhur yang harus dilaksanakan tanpa kompromi. Ini adalah realisasi nyata
dari substansi ajaran moral dan iman demi kedaulatan rakyat dan emansipasi politik bagi Papua.
Kami tidak mau menerima korban baru dari kejahatan pemerintah di Papua, seperti yang telah
terjadi selama ini.
Sambil segera melaksana pergantian KPU di berbagai wilayah pedalaman di Papua, maka
pemerintah Papua di bawah pimpinan Gubernur Lukas Enembe dan Klemens Tina harus segera
mendesak Jakarta untuk harus segera selesaikan berbagai kompleksitas konflik Papua melalui
jalan dialog. Kerena kita sudah harus memilih dan menetapkan dialog sebagai jalan yang harus
dilalui, digunakan dan dicintai secara radikal untuk menuntaskan konflik Papua. Dialog adalah
kita punya budaya dalam menata hidup bersama.
Bahkan pemerintah luar negeri pun menyetujui hanya proposal dialog sebagai sarana, jalan
tengah, jalan kebenaran dan jalan hidup untuk menuntaskan konflik Papua secara komprehensif
demi Papua, Tanah damai.
Sejauh ini pemerintah menjalankan roda pembangunan di Papua tanpa melalui dialog JakartaPapua sehingga konflik Papua masih tetap saja tidak pernah diredam. Salah satu masalah yang
tidak dilupakan dalam ingatan rakyat Papua adalah pembunuhan terhadap ketua KMPB di
Sorong, Mathias Yohame oleh kapasus.
Tentu, peristiwa tragis ini diperintah oleh Pak SBY ketika beliau mengunjungi rakyat Papua
dalam akhir bulan ini. Sebelumnya, sejumlah presiden RI melalui militer (TNI/Polri, Kopasus)
telah membunuh secara sengaja terhadap Obed Bady, Kelly Kwalik, Mako Tabuni, Theis Hiyo
Eluai, Agus Alue Alua dan Jeph Solosa serta sejumlah aktivis lainnya karena dianggap sebagai
musuh negara RI. Tapi konflik Papua masih terus berlanjut hingga kini. Ini akan berpotensial
juga bagi Papua nanti.
Penulis adalah Mahasiswa pada STFT Fajar Timur Abepura
Sumber : http://majalahselangkah.com/
1. KONFLIK PAPUA MAKALAH ( Disusun untuk memnuhi salah satu tugas kelompok
mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial ) Disusun oleh : 1. Ai Roudotul Munawaroh 2.
Fitri Nurhasanah 3. Hardi Lukmanul Hakim 4. Lutfi Nugraha 5. Riska Feby Setia
Permana Kelas XI MM_ 1 SMK NUURUL MUTTAQIIN Cisurupan – Garut
2011Konflik Papua Page 1
2. KATA PENGANTARPuji Syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah Yang Maha Esa
atas perlindunganNya danpertolonganNya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini.Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Ilmu
PengetahuanSosial, yaitu tentang KONFLIK SOSIAL. Oleh karena itu, makalah ini berisi
tentang contoh-contoh konkret konflik social yang terjadi di Indonesia. Di sini kami
mengambil topic tentangKonflik Papua.Melalui makalah ini, kami harap para pembaca
dapat mengetahui Akar Pokok PermasalahanPapua serta dapat mengerti tentang
Bagaimana Mencari Solusi Untuk Menyelesaikan KonflikPapua yang telah berlangsung
± ½ abad sehingga penduduk Papua dapat hidup tenang di atasTanah Leluhur
mereka.Kami sadari bahwa tentu tak ada gading yang tak retak, makalah ini mungkin
masih jauh darikesempurnaan. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
gunamenyempurnakan makalah ini. PenyusunKonflik Papua Page 2
3. DAFTAR ISIKata Pengantar
………………………………………………………………………… 1Daftar isi
………………………………………………………………………………… 2BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………………………….. 3 Latar
Belakang ……………………………………………………………………. 3BAB II
PEMBAHASAN ………………………………………………………………... 4 1.
Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua ……………………………….… 4 2.
Sejarah Konflik Papua ……………………………………………………….. 5 3.
Dampak dari konflik Papua …………………………………………….……. 6 4. Upaya
Penyelesaian Konflik di Papua …………………………………..….... 7 5. Bentuk
konflik di Papua …………………………………………….….……. 8 6. Argumentasi
Terhadap Konflik Papua …………………………………….…. 9BAB III PENUTUP
……………………………………………………………………. 10 1. Kesimpulan
………………………………………………………………….. 10 2. Saran
………………………………………………………………………… 10Daftar Pustaka
…………………………………………………………………………. 11Konflik Papua
Page 3
4. BAB I PENDAHULUANA. Latar BelakangSudah lama Tanah Papua menjadi tanah
konflik. Selain konflik horizontal antar warga sipil,konflik vertikal yang terjadi antara
pemerintah Indonesia dan orang asli Papua telahmengorbankan banyak orang. Konflik ini
hingga kini belum diatasi secara tuntas. Masihadanya konflik ini secara jelas
diperlihatkan oleh adanya tuntutan Merdeka dan Referendum,serta terjadinya pengibaran
bendera bintang kejora, dan berlangsungnya aksi pengembalianUndang-undang No. 21
Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.Konflik yang belum
diselesaikan ini sangat mempengaruhi kadar relasi diantara orang asliPapua, orang Papua
dengan penduduk lainnya, antara orang asli Papua dan Pemerintah RI. Disatu pihak,
orang Papua dicurigai sebagai anggota atau pendukung gerakan separatis. Adanyastigma
separatis membenarkan hal ini. Di pihak lain, orang Papua juga tidak
mempercayaiPemerintah. Dalam suasana kecurigaan dan ketidakpercayaan satu sama lain
ini, dialogkonstruktif tidak pernah akan terjadi antara Pemerintah dan orang
Papua.Apabila berbagai masalah yang melatarbelakangi konflik ini tidak dicarikan
solusinya, makaPapua tetap menjadi tanah konflik. Korban akan terus berjatuhan. Hal ini
pada gilirannyaakan menghambat proses pembangunan yang dilaksanakan di Tanah
Papua.Dari tengah situasi konflik inilah, para pemimpinan agama Kristen, Katolik, Islam,
Hindudan Budha Provinsi Papua melancarkan kampanye perdamaian. Kampanye ini
dilakukandengan dengan moto: Papua Tanah Damai (PTD). Dalam perkembangan
selanjutnya, parapimpinan agama menjadikan Papua Tanah Damai sebagai suatu visi
bersama dari masa depanTanah Papua yang perlu diperjuangkan secara bersama oleh
setiap orang yang hidup diTanah Papua.Sekalipun diakui oleh banyak orang bahwa damai
merupakan hasrat terdalam dari setiaporang, termasuk semua orang yang hidup di Tanah
Papua, kenyataan memperlihatkan bahwabanyak orang belum merasa penting untuk
melibatkan diri dalam upaya menciptakanperdamaian di Tanah Papua. Orang asli Papua,
baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung, belum terlibat secara penuh
dalam kampanye perdamaian ini. Pada hal merekasebagai pemilik negeri ini sudah
semestinya memimpin-atau minimal terlibat dalam-berbagaiupaya untuk mewujudkan
perdamaian di tanah leluhurnya.Kini orang Papua bangkit dan bertekad untuk
berpartisipasi secara aktif dalam upayamenciptakan perdamaian di Papua. Mereka ingin
memperbaharui tanah leluhurnya menjaditanah damai, dimana setiap orang yang hidup
diatasnya menikmat suatu kehidupan yangpenuh kedamaian.Konflik Papua Page 4
5. BAB II PEMBAHASAN1. Penyebab konflik kekerasan sosial di Papua. Konflik
kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang
antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua,
sebagai akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di Papua yang
berlangsung lama, sebagai berikut: a. Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)
Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta masyarakat
Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan, padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh
pengambil keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka dengan
batas-batas pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para
pemegang hak adat. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di tanahnya
sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi
kesempatan. Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan
transmigrasi telah mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga.
Masyarakat kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan,
kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan
masyarakat lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat.
Eksploitasi tambang juga memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal.
Sebagai contoh: kasus Freeport, limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi
seperti Moluska, sumber protein masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita. b. Dominasi
Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan Perlakuan yang kurang tepat terhadap
masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan proses-proses politik.
Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan peran
dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu diberikan kepada orang luar
dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu
mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat
yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan
terhadap semua orang Papua sebagai OPM. Dominasi masyarakat pendatang bukan
hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor swasta. Pada kegiatan di
sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA)
sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain
pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan
Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor perbankan juga didominasi oleh pekerja dari
kaum pendatang. Konflik Papua Page 5
6. c. Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal Secara singkat,
pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan lokal.
Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap berusaha
untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi, kelihatannya
penguasa melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai ancaman.
Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan
kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas
dan nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka. d. Tindakan
Represif oleh Militer Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara
lain intimidasi, teror, penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan
dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas SDA
secara paksa untuk berbagai keperluan, seperti HPH, transmigrasi, pertambangan, dan
industri manufaktur maupun jasa wisata. Ketika penduduk asli berusaha mempertahankan
hak-haknya atas SDA mereka diintimidasi dan diteror. Penyebab lainnya adalah: Konflik
Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal lain di
Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam
diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong
rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan
Belanda maupun Indonesia. Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda
ketika didirikan sekolah pamong praja di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari
generasi ke generasi. Ketika Belanda dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan,
rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran
ini yang menyebabkan gerakan anti- Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua.
Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini,
namun justru memperkuatnya.2. Sejarah Konflik Papua 1960 - 2000 1966-67: pemboman
udara Pegunungan Arfak 1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga
tewas di Ayamaru, Teminabuan dan Inanuatan. Mei 1970: Pembantaian perempuan dan
anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan melihat seorang wanita
memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa. Jun 1971:
Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa
untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak Konflik Papua Page 6
7. Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk
menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan
batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125
penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai. pertengahan
1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari desadesa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman
makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari
kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidupstok Monemane. Dsb. 2000 - 2010 Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak
menyerang pada sekelompok profesor dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya lukaluka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab. Pada tanggal 1 Desember 2003:
Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, beberapa tindakan lain telah
terjadi 42 orang ditangkap. Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura
menewaskan 5 orang dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan
menyerang sebuah pos polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi
bereaksi dan membunuh seseorang. Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap
sebuah konvoi penambang PT Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM
menyangkal Tanggung Jawab.3. Dampak dari konflik Papua Di Papua, masalah
separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi keamanan terus
memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari NKRI. Tandatanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini ditengarai
sudah memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur Indonesia
ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap untuk lepas dari Indonesia. Maraknya aksi
penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah meresahkan
masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi, namun
masyarakat umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak
mengherankan bila hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang
tak dikenal yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua. Penyebab separatisme
Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya ekonomi, sehingga
meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap miskin. Tambang
tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme mengeksploitasi
sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi konflik antar agama di Papua tinggi
karena konflik yang bertikai menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli
merasa terancam dengan mengalir masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan
agama baru, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau
bahkan pengusiran. Konflik Papua Page 7
8. Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak
masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di
Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan
terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau
besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin
akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari terjadinya
penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia dan
melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak
kepada ajaran agama.4. Upaya Penyelesaian Konflik di Papua Hasil eksplorasi terdapat 2
kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu: a) Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering
dikenal dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk
menumpas setiap bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan
OPM di Papua yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun
1996. Kegiatan itu dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di
daerah perbatasan dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer
(DOM). b) Pendekatan Non kekerasan Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari
semua petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas Belanda adalah “mengIndonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan oleh lembaga pemerintah
seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan. Tema yang digunakan adalah
menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh Belanda selama lebih dari 350
tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti halnya rakyat Indonesia
lainnya, miskin, tertindas, dan melarat. Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan
pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut
berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu ada beberapa-beberapa hal yang
seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah: 1. Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan
berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk
persoalan yang sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa
para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak. 2.
Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama
di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit
yang seringkali tidak efektif. 3. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan
pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit
secara independen, Konflik Papua Page 8
9. dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah
di situs-situs atau di dokumen publik. 4. Menghindari mendanai kelompok-kelompok
yang menyerukan eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain. 5. Memastikan
debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak
lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui
pembagian daerah administratif lebih lanjut. 6. Menolak peraturan daerah yang
diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang papua.
7. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang
papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan pelayanan publik. 8. Pemerintah
memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat Papua agar terciptanya saling
percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua. Kesembilan, Pemerintah harus
mengakui secara jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah dalam mengatasi konflik
yang ada di Papua demi terciptanya rekonsiliasi. Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya
penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Konsiliasi, umumnya dilakukan melalui lembaga
legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan kesempatan kepada semua pihak
yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan secara terbuka masalah yang
terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi bersama. Kedua, Mediasi
mengajak atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk kesepakatan melalui
nasihat dari pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para pihak yang terlibat
bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan keputusan
yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik. Jika dilihat dari aspek substansi,
terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh para pihak dalam proses
penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu penyelesaian yang diharapkan
timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu penyelesaian melalui cara paksa atau
dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi militer. Ketiga, Hukum, yaitu
penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta yang mengikat, proses
legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu
penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.5. Bentuk
konflik di Papua 1. Konflik kelas social, karena konflik yang terjadi di Papua salah
satunya terjadi akibat adanya kesenjangan social dan budaya yang ada di masyarakat
Papua 2. Konflik Rasial. Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena
terjadinya salah paham atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua 3. Konflik
politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan diskriminasi atau
penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di Papua dengan imigranimigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik. Konflik Papua Page
9
10. 6. Argumentasi Terhadap Konflik Papua Dari semua referensi dan catatan-catatan
tentang masalah-masalah konflik yang terjadi di Tanah Papua dahulu hingga sekarang ini,
kami dapat memahami latar belakang serta faktor penyebab terjadinya berbagai konflik
kekerasan di tanah Papua. Umumnya kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar
warga dengan suku, separatisme, dan kriminalitas. Proses dan hasil pembangunan di
Papua selama otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua,
terutama di wilayah pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan
dan terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih kalah jauh dengan kotakota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua merasa tidak dihargai dan diabaikan.
Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua
Barat, kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya
tingkat pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan faktor-faktor yang
berpotensi menimbulkan konflik. Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan
sejenisnya adalah sebagai salah satu penyebab konflik tsb. Tujuan mereka dalah
menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah serta pihak internasional bahwa
Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide
dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog atau berdiskusi dengan pemerintah
Indonesia dalam waktu dekat. Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang
ada di Papua menandakan bahwa institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta
jajaran Polres-nya di seluruh tanah papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasuskasus kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah
ini susah sekali mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk penting dalam
mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut. Selama kesenjangan
itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap membakar masyarakat di
Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan benar-benar
memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami masyarakat akan
menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah sebagai akal-akalan mereka
saja. Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak
yang terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan
pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini
bisa dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan cara bersinergi
atau berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu kami yakin sedikit demi
sedikit konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar, bahkan mungkin
masyarakat akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap tempat
tinggalnya. Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau merealisasikan apa yang
menjadi angan- angan dari kita semua khusunya kami, mengenai konflik yang terus
menerus terjadi di Papua. Konflik Papua Page 10
11. BAB III PENUTUP 1. Kesimpulan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
penyelesaian konflik sangatlah besar peranannya sehingga perlu adanya pembatasan yang
jelas dalam penyelesaian konflik tersebut. Yang perlu dicermati adalah kewenangan
Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang
baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat jangan sampai terjadi berbagai kebijakan
yang dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang terjadi di setiap kabupaten atau kota
yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan
sehingga konflik yang terjadi di papua dapat diselesaikan sacara baik tanpa menggunakan
kekerasan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah Berbagai konflik horizontal yang terjadi maupun konflik politik
vertikal yang dimanifestasikan dengan tuntutan Papua merdeka sebagai reaksi atas
pelaksanaan PEPERA yang tidak demokratis maupun atas dominasi pusat pada daerah,
dalam kurun waktu lama dilakukan melalui kebijakan dalam mengelola konflik yang
represif dan kontra produktif, yaitu dengan cara mengirim pasukan militer dan
merekayasa para tokoh atau elit masyarakat untuk berdamai secara seremonial.2. Saran
Konflik yang terjadi di papua hanya sebagian kecil saja yang terjadi di negeri ini maka
dari pada itu di harapkan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus fleksibel
dalam mengeluarkan kebijakan jangan hanya berpihak ke salah satu daerah saja karena
akan menimbulkan kecemburuan sosial tiap daerah sehingga mengakibatkan konflik yang
berkepanjangan.Konflik Papua Page 11
12. Daftar
Pustakahttp://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papuahttp://centraldemokrasi.com/inforegional/15092011/konflik-di-papua-dilatarbelakangipolitik/http://pekeimbiijeffry.wordpress.com/2011/08/09/papua-masihmembara/http://vogelkoppapua.org/?page=news.detail&id=415http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=154749http://iposnews.com/index.php?
view=article&catid=42%3Anasional&id=1580%3Aikrardenganpapuamainkandiplomasicantik&tmpl=component&print=1&page=&option=com_
contenthttp://www.interseksi.org/blog/files/konflik_maluku.phphttp://ami23.wordpress.co
m/2011/01/21/solusi-dari-konflik-sosial-yang-terjadipapua/http://www.imparsial.org/id/2010/executive-summary-penelitian-papua-tahun2011-kebijakan-keamanan-militer-di-papua-dan-implikasinya-terhadap-ham.htmlKonflik
Papua Page 12
Empat Hal Utama, Penyebab Konflik Berlarut di Papua Barat
Written By Voice Of Baptist Papua on March 27, 2013 |
11:33 PM
Road Papua
JAKARTA Voice Baptist- Konflik di tanah Papua seperti tidak ada habisnya. Selain
konflik horizontal antar warga sipil, konflik vertikal yang terjadi antara pemerintah
Indonesia dan masyarakat Papua juga telah memakan banyak korban".
"Sampai saat ini tidak ada niat baik dari Pemerintah untuk mencari solusi terbaik untuk
mengakhiri konflik di papua, Pemerintah terkesan tidak serius dan membiarkan konflik
berlarut".
Menurut Wakil Ketua Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, konflik berkepanjangan ini
disebabkan oleh empat hal.
"Pertama, gagalnya otonomi khusus terutama pembangunan di bidang kesejahteraan
ekonomi, kesehatan dan pendidikan," ujarnya dalam diskusi bertajuk 'Papua: Konflik
Dari Masa ke Masa', di Bakoel Coffe, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2013).
Kedua, imbuh Hasanuddin, konflik disebabkan oleh adanya diskriminasi dan
marjinalisasi terhadap masyarakat asli Papua.
"Ketiga, adanya perasaan traumatis dari sebagian warga Papua sebagai akibat tindakan
represif aparat masa lalu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, namun tidak
diusut secara tuntas."
"Dan terakhir, masih terdapatnya perbedaan persepsi tentang terintegrasinya Papua ke
dalam wilayah NKRI melalui Pepera 1969," ungkapnya.
Dinamika Konflik Sosial di Tanah Papua Barat
P
enulis : La Sulu | Jum'at, 27 Juni 2014 15:56 Dibaca : 1140 Komentar : 1
Share :
"Potret buram dinamika konflik sosial di tanah Papua Barat, setingan lokasi
Tambang Freeport Tanah Papua Barat"
Sebelum kehadiran dunia pertambangan di berbagai penjuru dunia, senantiasa
menghadirkan pergolakan isu yang senantiasa merasuk dalam perspektif sosial, sehingga
pergolakan isu yang membara menjadi wacana sosial dalam tatanan kehidupan sosial
kemasyarakatan.
Pergolakan isu yang senantiasa dibingkai dalam perspektif sosial sehingga melahirkan
wacana sosial yang sangat krusial di balik kehadiran dunia pertambangan. Termasuk
pergolakan isu kehadiran dunia pertambangan dapat menciptakan dinamika konflik sosial
oleh perspektif masyarakat.
Perspektif sosial senantiasa menjadi sebuah prasangka semata sebelum kehadiran dunia
pertambangan di berbagai penjuru dunia. Termasuk prasangka masyarakat Papua di balik
kehadiran pertambangan Freeport akan menghadirkan dinamika konflik sosial yang
menghiasi kehidupan masyarakat di tanah Papua Barat.
Di balik pergolakan isu yang melahirkan perspektif sosial menciptakan dinamika konflik
sosial yang membara di tanah Papua Barat. Semenjak pergolakan isu kehadiran dunia
pertambangan di tanah Papua melahirkan problematika krusial terjadi diferensiasi
perspektif di kalangan masyarakat. Ada masyarakat yang pro tambang Freeport dan
masyarakat yang kontra tambang Freeport. Diferensiasi perspektif melahirkan dinamika
konflik sosial di tanah Papua Barat.
Bila kehadiran tambang Freeport menciptakan diferensiasi perspektif di kalangan sosial
kemasyarakatan di tanah Papua Barat, oleh masyarakat yang menolak kehadiran tambang
Freeport senantiasa menjastifikasi kehadiran tambang Freeport dengan sejuta prasangka
buruk, sementara di balik kehadiran tambang Freeport, oleh perspektif masyarakat yang
mendukung kehadiran tambang Freeport, kehadiran tambang Freeport menciptakan
kesejahteraan sosial.
Latar belakang dari hadirnya dinamika konflik sosial di tanah Papua Barat adalah terjadi
diferensiasi perspektif masyarakat Papua tentang kehadiran koorporasi tambang Freeport
oleh sebuah perbedaan perspektif, sehingga melahirkan perbedaan persepsi kehadiran
tambang Freeport di antara kesejahteraan dan pertumpahan darah.
Dengan perbedaan perspektif di kalangan masyarakat, maka dapat menciptakan
kehidupan masyarakat yang berkotak-kotak antara masyarakat yang mendukung
kehadiran tambang Freeport dan masyarakat yang menolak kehadiran tambang Freeport.
Sehingga dapat menciptakan dinamika konflik social. Dinamika konflik sosial di tanah
Papua Barat, bukan saja dinamika konflik sosial yang melahirkan kekerasan, sehingga
berakhir dengan pertumpahan darah, melainkan dinamika konflik sosial di tanah Papua
Barat adalah dinamika konflik isu sosial.
Masyarakat yang mendukung kehadiran tambang Freeport dan masyarakat yang menolak
kehadiran tambang Freeport terpropaganda oleh kehadiran isu yang menjalar dalam sosial
kemasyarakatan. Sehingga kehidupan masyarakat yang pro tambang Freeport dan
masyarakat yang kontra tambang Freeport senantiasa diselimuti oleh dinamika konflik
sosial, oleh pergolakan isu yang membara.
Menata isu dengan setingan provokasi, isu yang ditata lalu didesain dalam setingan
provokasi sehingga melahirkan perspektif buruk oleh berbagai kalangan sehingga di balik
kehadiran isu yang diseting dalam dinamika konflik membuat masyarakat terprovokasi
dan konflik sosial.
Motif dari kehadiran dinamika konflik sosial di tanah Papua termasuk terhasut oleh isu.
Saling melempar isu antara masyarakat yang mendukung kehadiran tambang Freeport
dan masyarakat yang menolak kehadiran tambang Freeport semakin bergelora.
Masyarakat Papua dibakar oleh kehadiran isu sehingga melahirkan amarah. Lalu amarah
menjelma menjadi konflik sosial di tanah Papua Barat. Masyarakat Papua masih
terbelenggu oleh dinamika konflik sosial yang membara.
Konflik sosial di Papua Barat dapat menciptakan pertumpahan darah. Masyarakat masih
terbakar oleh amarah untuk saling melakukan kekerasan. Di balik kekerasan yang
senantiasa bergelora melahirkan pertumpahan darah, sehingga pertumpahan darah
menjelma menjadi dendam, lalu dendam menjadi ajang untuk melakukan balas dendam.
Jutaan korban akan senantiasa meninggal dengan tragis di tanah Papua Barat manakala
darah harus dibayar dengan darah. Bila darah harus dibayar dengan darah, maka konflik
sosial di Papua Barat antara masyarakat yang mendukung kehadiran tambang Freeport
dengan masyarakat yang menolak kehadiran tambang Freeport, maka pertumpahan darah
di tanah Papua Barat tidak akan berakhir. Bila konflik sosial tidak berakhir di tanah
Papua, maka jutaan korban meninggal dengan tragis karena saling melakukan kekerasan
senantiasa kita nantikan bersama.
Konflik sosial yang senantiasa membara di tanah Papua Barat disorot dengan tajam oleh
berbagai kalangan sosial kemasyarakatan. Sehingga melahirkan perspektif buruk dari
berbagai kalangan sosial, masyarakat Papua Barat sudah terjebak oleh dinamika konflik
sosial dihadirkan oleh dunia pertambangan yang membawa politik adu domba. Mengadu
masyarakat yang mendukung kehadiran dunia pertambangan dan masyarakat yang
menolak kehadiran dunia pertambangan adalah manifestasi dari politik adu domba dunia
pertambangan.
Potret realitas sosial telah menjadi manifestasi di berbagai penjuru dunia yang dimasuki
oleh dunia pertambangan senantiasa menghadirkan dinamika konflik sosial. Termasuk
terprofokasi oleh politik adu domba dunia pertambangan.
Bila semua bukanlah prasangka. Problematika krusial dialami oleh masyarakat Papua
adalah senantiasa diselimuti oleh konflik sosial. Kehidupan masyarakat Papua sudah
semakin meninggalkan kearifan sosial. Jalinan kerukunan telah putus oleh kehadiran
perusahaan tambang Freeport.
Masyarakat yang (pro tambang Freeport ) mendukung kehadiran tambang Freeport dan
masyarakat yang (kontra tambang Freeport ) masyarakat yang menolak kehadiran
tambang Freeport sudah terputus jalinan kerukunan, sehingga melahirkan krisis
kerukunan antara masyarakat yang menerima kehadiran tambang Freeport dan
masyarakat yang menolak tambang Freeport .
Untuk mengubur dinamika konflik sosial di tanah Papua Barat, masyarakat harus
menciptakan kesadaran nurani, dengan kesadaran nurani sosial kemasyarakat yang
mampu menciptakan kerukunan sosial di tanah Papua.
Masyarakat harus menyatukan perbedaan perspektif untuk menjalin kerukunan sosial.
Bila diferensiasi perspektif sudah menyatu, maka masyarakat Papua harus menjadikan
kerukunan sebagai kekuatan untuk menciptakan perlawanan. Masyarakat Papua harus
bangkit dalam melawan. Koorporasi tambang Freeport yang menciptakan dinamika
konflik di tanah Papua Barat harus dilawan.
"Masyarakat Papua Barat harus membangun ombak perlawanan. Mempersembahkan
buih-buih ombak perjuangan di atas samudera perlawanan, mempersembahkan buihbuih ombak di atas bahtera perlawanan, dan mempersembahkan sejuta amarah untuk
membakar tambang Freeport dengan sejuta bara".
La Sulu, Mahasiswa Indonesia Peduli Papua Barat.