BPHTB tugas hukum pajak id
A.
tarif Pajak Pembeli (BPHTB) Dalam Jual Beli Tanah
Pada saat melakukan jual beli tanah dan bangunan, baik pembeli maupun penjual
akan dikenakan pajak. Penjual akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas uang
pembayaran harga tanah yang diterimanya, sedangkan pembeli akan dikenakan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak atas
tanahnya. BPHTB dikenakan bukan hanya pada saat terjadinya jual beli tanah, tapi
juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan (tukar menukar, hibah,
waris, pemasukan tanah kedalam perseroan, dan lain-lain).
Dalam transaksi jual beli tanah, yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yaitu pembeli.
Dalam rangka pembayaran BPHTB oleh pembeli, dasar pengenaan BPHTB adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah adalah harga
transaksi. Hal ini berbeda misalnya dengan tukar menukar, hibah atau warisan, yang
dasar NPOP-nya menggunakan nilai pasar (Nilai Jual Objek Pajak/NJOP).
Nilai Perolehan Obyek Pajak atau harga transaksi bisa lebih besar atau bisa juga
lebih kecil dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tergantung dari kesepakatan penjual
dan pembeli – terkadang harga transaksi itu bisa juga sama dengan nilai NJOP.
Apabila harga transaksi lebih kecil dari NJOP, maka yang menjadi dasar penentuan
NPOP adalah nilai NJOP. Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP,
maka nilai penentuan NPOP berdasarkan harga transaksi tersebut – nilai yang
paling tinggi diantara NPOP dan NJOP.
Selain NPOP dan NJOP, faktor lainnya yang perlu diperhatikan dalam menentukan
besarnya BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP). NPOPTKP adalah nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tariff
BPHTB. Misalnya, jika harga transaksi tanah Rp. 100.000.000, maka sebelum harga
transaki tersebut dikenakan tariff BPHTB (5%) terlebih dahulu harga transaski itu
dikurangi NPOPTKP – misalnya dikurangi NPOPTKP sebesar Rp. 80.000.000 untuk
daerah DKI Jakarta. Hal ini membuat nilai pajak pembeli lebih kecil dibandingkan
nilai pajak penjual – penjual tidak dikenakan NPOPTKP.
Setiap daerah memiliki NPOPTKP yang berbeda, tergantung peraturan daerah
tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta, misalnya, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp
80.000.00000 untuk transaksi jual beli tanah dan Rp. 350.000.000 untuk perolehan
hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah.
Contoh menghitung BPHTB dalam transaski jual beli tanah: Wahyu membeli tanah
milik Arya dengan nilai jual beli sebesar Rp. 200.000.000. Maka pajak penjual dan
pajak pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB) NPOP : Rp 200.000.000,00 NPOPTKP : Rp 80.000.000,00
(-) NPOP Kena Pajak : Rp 120.000.000,00 BPHTB: : 5% x Rp 120.000.000 = Rp
6.000.000 Pajak Penjual (PPh)
NPOP : Rp 200.000.000 NPOP Kena Pajak : Rp 200.000.000 PPh: 5% x Rp
200.000.000,00 = Rp 10.000.000
B.
NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK (NPOP) DAN NILAI PEROLEHAN
OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NPOPTKP)
NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK (NPOP
Pengertian Nilai Perolehan objek paiaK (NPOP) adaiah nilai perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan yang menjadi dasar pengenaan BPHTB.Istilah nilai
perolehan selalu merujuk pada nilai/harga perolehan aktual yang terjadi saat
transaksi atau peristiwa perolehan hak. Karena itu, yang menjadi dasar pengenaan
pajak sangat bervariasi dan tergantung pada jenis transaksi atau peristiwa yang
menyebabkan perpindahan hak. Itulah sebabnya mengapa deflnisi NPOP tidak
dapat ditentukan secara umum berdasarkan satu nilai saja.Dalam tahapan
penentuan jumlah pajak terutang, yang menjadi dasar pengenaan BPHTB tidak
selalu harus NPOP yang terjadi saat perolehan hak. Dalam hal nilai perolehan hak
tidak diketahui atau lebih kecil daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan
PBB, maka yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah NJOP PBB (kecuali
penunjukan pembeli dalam lelang). Adapun NJOP yang dimaksud adalah NJOP PBB
pada tahun terjadinya perolehan hak tersebut.Saat ini pengaturan NPOP dalam
BPHTB diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, lebih khusus dalam pasal 87, dimana dalam ayat (1) Pasal 87 dikatakan
bahwa dasar pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak.Dari hal tersebut dapat kita pahami bahwa NPOP adalah
dasar pengenaan pajak yang akan dijadikan tarif dalam penghitungan BPHTB,
sehingga cara penghitungannya yakni penghitungan tarif paling tinggi 5% dasar
pengenaan pajak yakni NPOP.Adapun macam-macam NPOP dapat dilihat dalam
Pasal 87
ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009.Namun ada hal yang harus
diperhatikan, yakni sebagaimana yang diatur dalam Pasal 87 ayat (3) yaitu jika
NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
NPOP DAN SAAT TERUTANG BPHTB
Berikut ini adalah dasar pengenaan pajak dan saat terutangnya BPHTB untuk
masing-masing transaksi atau peristiwa perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan :
No.
1
2
3
4
Transaksi/peristiwa
jual beli
tukar-menukar
Hibah
Waris
Dasar penqenaan
harga transaksi
Saat terutang
sejak
tanggal
nilai pasar
danditandatanganinya akta
sejak tanggal dibuat dan
nilai pasar
ditandatanganinya akta
sejak tanggal dibuat
nilai pasar
ditandatanqaninva akta
tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan
5
6
7
pemasukan
dalam nilai pasar
peralihan
perseroan atau badan
ditandatanqaninva akta
hukum lainnva
pemisahan hak yang nilai pasar
seiak
mengakibatkan
ditandatanqaninva akta
peralihan
Lelang
harga
transaksi
RisalahLelanq
nilai pasar
putusan hakim
dan
haknya ke Kantor Pertanahan
sejak tanggal dibuat dan
tercantum
8
dibuat
yang sejak
tanggal
dibuat
tanggal
dan
penunjukan
dalam pemenang lelang
sejak
tanggal
putusan
pengadilan yang mempunyai
9
hibah wasiat
nilai pasar
kekuatan hukum yanq tetap
sejak
tanggal
yang
bersangkutan
mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan
10
pemberian hak baru nilai pasar
sejak
atas
ditandatanganidan
tanah
sebagai
tanggal
kelanjutan
11
12
13
14
15
dari
diterbitkannya suratkeputusan
pelepasan hak
pemberian hak baru di nilai pasar
pemberian hak
sejak tanggal ditandatangani
luar pelepasan hak
dan
penggabungan usaha nilai pasar
keputusan pemberian hak
sejak tanggal dibuat dan
peleburan usaha
nilai pasar
ditandatanqaninya akta
sejak
tanggal
dibuat
nilai pasar
danditandatanganinya akta
sejak
tanggal
dibuat
nilai pasar
danditandatanganinya akta
sejak
tanggal
dibuat
pemekaran usaha
Hadiah
diterbitkannya
surat
danditandatanganinya akta
Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya’ perolehan hak
sebagaimana tercantum di atas.Adapun tempat terutang pajak adalah di wilayah
Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
NILAI PEROLEHAN OB]EK PAJAK TIDAK KENA PAJAK
Sebagaimana halnya dengan PBB, dalam BPHTB dikenal adanya batasan nilai
perolehan yang tidak dikenakan pajak.Nilai ini disebut dengan Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara
regional dengan ketentuan sebagai berikut:
-
Paling banyak Rp 60.000.0000,00 (enam puluh juta);
-
Dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat,
termasuk
suami/istri,
NPOTKP
ditetapkan
secara
regional
paling
banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh
Menteri
Keuangan
melalui
Kakanwil
Ditjen
Pajak
setempat
untuk
setiap
kabupaten/kota berdasarkan usulan dari Pemda yang bersangkutan kepada
Kakanwil Ditjen Pajak setempat paling lambat satu bulan sebelum tahun pajak
dimulai, dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.
Saat terutang dan pelunasan BPHTB
Saat terutang dan pelunasan BPHTB untuk:
[a]. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah/Notaris;
[b]. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
[c]. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
[d]. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke Kantor
Pertanahan;
[e]. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
[f]. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
[g]. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal
ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor
lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memuat antara lain nama pemenang lelang.
[h]. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
[i]. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan;
[j]. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
[k]. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani
dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
[l]. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
[m]. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
[n]. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
[o]. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
C.
TEMPAT PAJAK TERUTANG DALAM BPHTB
Tempat BPHTB terutang adalah wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan.BPHTB yang terutang dibayar ke kas
negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank
Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).
Hasil penerimaan BPHTB dibagi dengan perimbangan sebagai berikut :
- 20% (duapuluh persen) untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dikembalikan lagi
secara merata
ke setiap kabupaten/kota;
- 16% (enambelas persen) untuk propinsi;
- 64% (enampuluh empat persen) untuk kabupaten/kota.
D. TATA CARA PELUNASAN BPHTB
C. TATA CARA PEMBAYARAN
Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam pasal 10 UU BPHTB
yang dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
517/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 yang kemudian ditindak lanjuti
dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 269/PJ/2001 tanggal 2 April 2001 dan Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor 09/PJ.6/2001 tanggal 6 April 2001 yang intinya adalah
sebagai berikut :
a.
Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak.
b.
Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea ( SSB ) ke Kas Negara
melalui Bank/Kantor Pos atau Tempat Pembayaran lain yg ditunjuk
c.
SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk
melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
d.
Kewajiban Bayar pada saat :
1. Dibuat & ditandatanganinya Akta
2. Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat
3. Ditunjuknya pemenang Lelang
4. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru
5. Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
TATA CARA PENETAPAN DAN PENAGIHAN
TATA CARA PENETAPAN
Tata cara penetapan BPHTB diatur didalam pasal 11 dan 12 sebagai berikut :
1. Dalam jangka waktu 5 tahun sejak pajak terutang, berdasarkan hasil pemeriksaan
terdapat kurang bayar, Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kepala Kantor
Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar
(SKBKB) ditambah denda 2% per bulan maksimum untuk jangka waktu 24 bulan
(48%).
2. Setelah terbit SKBKB, terdapat data baru lagi sehingga Pajak terutang bertambah,
maka Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan
BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) ditambah sanksi administrasi sebesar
100% dari jumlah kenaikan, kecuali wajib pajak melapor sebelum ada pemeriksaan
Contoh :
Bapak Krosbin Simatupang membeli sebidang tanah di Surabaya pada tanggal 5
Januari 2003 dengan harga perolehan menurut PPAT sebesar Rp.300.000.000,- dan
BPHTBnya telah dibayar lunas pada tanggal tersebut. Berdasarkan pemeriksaan
yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu pada tanggal 7 Pebruari
2003, ternyata NJOP PBB atas tanah tersebut adalah sebesar Rp.350.000.000,Pada tanggal 1 Maret 2003 diperoleh data baru (novum), ternyata transaksi yang
benar atas tanah tersebut adalah sebesar Rp400.000.000,- Atas temuan-temuan
tersebut diatas Kepala Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu telah menerbitkan
SKBKB pada tanggal 7 Pebruari 2003 dan SKBKBT pada tanggal 1 Maret 2003.
Berapa BPHTB yang harus dibayar oleh Bapak Krosbin Simatupang tersebut
berdasarkan SKBKB dan SKBKBT yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan
PBB
tersebut
bila
NPOPTKP
ditentukan
sebesar
Rp50.000.000,-
Jawab :
1. BPHTB yang telah dibayar pada tanggal 5 Januari 2003 adalah :
5% x (300.000.000 - 50.000.000) = Rp12.500.000,2. BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 7 Pebruari 2003 :
5% x (350.000.000 - 50.000.000) = Rp15.000.000,BPHTB yang telah dibayar = Rp12.500.000,BPHTB kurang bayar = Rp 2.500.000,Denda : 2 x 2% x Rp2.500.000,- = Rp 100.000,SKBKB = Rp 2.600.000,3. BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 1 Maret 2003 :
5% x (400.000.000 - 50.000.000) = Rp17.500.000,-
?
BPHTB yang telah dibayar = Rp15.000.000,BPHTB kurang bayar = Rp 2.500.000,Sanksi administrasi ( 100% ) = Rp 2.500.000,SKBKBT = Rp 5.000.000,B. TATA CARA PENAGIHAN
Sesuai dengan pasal 13, 14 dan 15 UU BPHTB maka apabila :
1. Pajak terutang tidak/kurang bayar
2. Dari pemeriksaan, SSB kurang bayar
3. WP kena sanksi administrasi berupa denda/bunga
maka Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Tagihan BPHTB (STB) ditambah
sanksi bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.Surat Tagihan BPHTB setara
dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP)SKBKB, SKBKBT, STB, SK Pembetulan / SK
Pengurangan / SK Keberatan / SK Banding merupakan Dasar Penagihan Pajak.
Pajak terutang berdasar SURAT-SURAT tersebut diatas harus dilunasi paling lambat
1(satu) bulan sejak diterima oleh wajib pajak, lewat batas waktu dapat ditagih
dengan SURAT PAKSA.
KEBERATAN, BANDING DAN PENGURANGAN
KEBERATAN
Keberatan diatur dalam pasal 16 dan 17 yang dapat dirinci sebagai berikut :
1. Diajukan oleh wajib pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala
KPPBB/KPP
Pratama
atas
:
SKBKB,
SKBKBT,
SKBLB,
SKBN
;
2. Secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dan dilampiri :
a.Copy SSB ;
b.Asli SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN
c.Copy Akta/Risalah Lelang / SK Pemberian Hak / Putusan Hakim
d.Copy identitas
3. Keberatan diajukan dalam waktu 3(tiga) bulan sejak diterimanya SK oleh wajib
pajak
4. Yang tidak memenuhi syarat tidak dianggap sebagai surat keberatan dan tidak
dipertimbangkan
5. Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak
6. Keputusan dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterima permohonan dari wajib
pajak, lewat waktu dianggap diterima
7. Keputusan dapat berupa :
a. mengabulkan seluruhnya / sebagian
b. menolak, atau
c. menambah besar pajak terutang
8. Wajib Pajak yang tidak setuju atas keputusan keberatan dari Direktur Jenderal
Pajak dapat mengajukan banding ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
( sekarang Pengadilan Pajak )
BANDING
Banding diatur dalam pasal 18 dan 19 Undang-undang BPHTB yang dapat disarikan
sebagai berikut :
· Diajukan ke BPSP ( Pengadilan Pajak ) dalam jangka waktu 3 bulan sejak terima
SK Keputusan Keberatan
·
Pengajuan
banding
tidak
menunda
kewajiban
pembayaran
pajak
· Bila Keberatan dan Banding dikabulkan, kelebihan pembayaran dapat imbalan
bunga 2%/bulan maksimum 24 bulan yang dihitung sejak pelunasan pajak sampai
dengan terbit Surat Ketetapan BPHTB Lebih Bayar
PENGURANGAN
Pengurangan diatur dalam pasal 20 Undang-undang BPHTB yang kemudian
dijabarkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tanggal
25 Nopember 2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB. Keputusan Menteri
Keuangan ini kemudian diubah dan terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor: 91/PMK.03/2006 tanggal 13 Oktober 2006 tentang Perubahan Kedua atas
KMK No.561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB, yang dapat
dirinci sebagai berikut :
1. Dalam hal kondisi tertentu WP yang ada hubungannya dengan Objek Pajak :
a. WP pribadi memperoleh hak baru melalui program Pemerintah di bidang
Pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan ekonomis mendapat pengurangan
sebesar 75%
b. WP Badan memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai
tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun mendapat pengurangan
sebesar 50%
c. WP pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan RSS
langsung
dari
pengembang
dan
membayar
secara
angsuran
mendapat
pengurangan sebesar 25%
d. WP pribadi menerima hibah dari keluarga sedarah satu derajad keatas dan
kebawah mendapat pengurangan sebesar 50%
2. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu :
a. WP memperoleh hak dari hasil pembelian uang ganti rugi pemerintah yang nilai
ganti
ruginya
dibawah
NJOP
mendapat
pengurangan
sebesar
50%.
b. WP memperoleh hak sebagai penggantian dari tanah yang dibebaskan
pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus,
mendapat pengurangan sebesar 50%
c. WP Badan terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas
pada
kehidupan
perekonomian
nasional
sehingga
WP
harus
melakukan
restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai kebijaksanaan pemerintah,
mendapat pengurangan sebesar 75%
d. WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari BBD, BDN,
Bapindo dan Bank Exim dalam rangka merger, mendapat pengurangan sebesar
100%
e. WP Badan melakukan Merger atau Konsolidasi dengan atau tanpa terlebih dahulu
mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan pengunaan
Nilai Buku dlm rangka penggabungan atau peleburan usaha tersebut dari Dirjen
Pajak, mendapat pengurangan sebesar 50%
f. WP memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi
karena
bencana
alam
dlsb
yang
terjadi
dalam
waktu
3
bulan
setelah
penandatanganan Akta, mendapat pengurangan sebesar 50%
g. WP pribadi (Veteran, PNS, TNI, Polri, pensiunan, purnawirawan, janda/dudanya)
yang memproleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah,
mendapat pengurangan 75%
h. WP Badan Korpri yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam
rangka pengadaaan perumahan bagi anggota Korpri/PNS, mendapat pengurangan
sebesar 100%
i. WP Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari peusahaan
induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan
KepMenKeu tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi, mendapat pengurangan sebesar 50%.
j. WP yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan
rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program
pemerintah di bidang pertanahan atau WP yang objek pajaknya terkena bencana
lam gempa bumi dan gelombang tsunami di Propinsi NAD dan Kepulauan Nias,
Sumatera Utara, mendapat pengurangan sebesar 100%.
k. WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Propinsi DIY dan
sebagian Propinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terhutangnya
terjadi 3(tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%.
l. WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di
pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terhutangnya
terjadi 3(tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%.
3. Tanah dan bangunan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata
tidak mencari keuntungan mendapat pengurangan sebesar 50%
4. Tanah dan atau bangunan di Propinsi NAD yang selama masa reahbilitasi
berlangsung digunakan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata
tidak
untuk
mencari
keuntungan
mendapat
pengurangan
sebesar
100%.
TATA CARA PERMOHONAN PENGURANGAN
1. Permohonan diajukan oleh WP kepada Kepala KPPBB/KPP Pratama / Kakanwil
DJP / Dir.Jen.Pajak dalam bahasa Indonesia dengan lampiran :
a. Fotokopi Surat Setoran Bea ( SSB )
b. Fotokopi Akta / Risalah Lelang / Kep.Pemberian Hak Baru / Putusan Hakim
c. Fotokopi identitas
d. Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa
e. Fotokopi persetujuan Merger dari Dirjen Pajak
2.
Permohonan
dalam
waktu
3(tiga)
bulan
sejak
tanggal
pembayaran
3. Khusus untuk MERGER, permohonan diajukan sebelum Akta ditandatangani oleh
Notaris/PPAT
4. Atas permohonan kemudian dilakukan Pemeriksaan Sederhana dan dituangkan
dalam Berita Acara
5. Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat
permohonan dan tidak dipertimbangkan
KEPUTUSAN PENGURANGAN
1. Keputusan oleh Kepala KPPBB/KPP Pratama dalam waktu 3(tiga) bulan sejak
terima permohonan dari Wajib Pajak, lebih dari 3 bulan dianggap diterima.
Keputusan oleh Kakanwil DJP dalam waktu 4(empat) bulan sejak diterima
pemohonan dari WP, lebih dari 4 bulan dianggap diterima, dan keputusan oleh
Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 6(enam) bulan, lebih dari 6 bulan dianggap
dikabulkan.
2. Bentuk Keputusan : mengabulkan seluruhnya / sebagian atau menolak
3. Wewenang Keputusan :
a. Ketetapan sampai dengan 2,5 M oleh Kepala Kantor PBB/ KPP Pratama
b. Ketetapan diatas 2,5 M sampai dengan 5 M oleh KAKANWIL DJP
c. Lebih dari 5 M, dampak krisis, merger dan Bank Mandiri oleh Direktur Jenderal
Pajak
PENGURANGAN YANG DIHITUNG SENDIRI OLEH WP
Terhadap WP yang memenuhi syarat dapat menghitung sendiri besar pengurangan
sebelum pembayaran BPHTB. Dalam Surat Setoran Bea diberi tanda “ pengurangan
dihitung sendiri” dan jumlah setoran setelah pengurangan. Dalam hal ini WP tetap
mengajukan permohonan pengurangan sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan. Bila permohonannya ditolak / dikabulkan namun BPHTB masih kurang
bayar maka terhadap WP tersebut dikenakan sanksi bunga 2% per bulan dari
kekurangan bayar tersebut , maksimum 24 bulan. Terhadap BPHTB kurang bayar
(SKBKB) tidak dapat diajukan pengurangan kembali
RESTITUSI DAN IMBALAN BUNGA SERTA PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN
BPHTB
A. RESTITUSI DAN IMBALAN BUNGA
Restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB diatur dalam pasal 21
dan pasal 22 yang dapat dirinci sebagai berikut :
1. Sebab-sebab Restitusi :
a. Pajak dibayar > pajak terutang yang disebabkan oleh :
- Permohonan pengurangan dikabulkan
- Permohonan keberatan dikabulkan
- Permohonan banding dikabulkan
- Perobahan peraturan
b. Pajak dibayar tidak seharusnya terutang
2.Tata Cara Pengajuan Restitusi dan Imbalan Bunga
a. Permohonan restitusi diajukan oleh WP dalam bahasa Indonesia dengan alasan
dan dilampiri :
1) Asli Surat Setoran Bea ( SSB )
2) Fotokopi SK Keberatan / Banding / Pengurangan
3) Fotokopi Akta / Risalah Lelang / Keputusan Hak Baru / Putusan Hakim
4) Fotokopi identitas Wajib Pajak
b. Yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat permohonan dan
tidak dipertimbangkan
c. Berdasarkan pemeriksaan atas permohonan, KPPBB/KPP Pratama menerbitkan :
1) SKBLB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP ternyata lebih besar dari
jumlah pajak yang terutang.
2) SKBN apabila jumlah pajak yang dibayar oleh WP sama besarnya dengan jumlah
pajak yang terutang
3) SKBKB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP lebih kecil dari jumlah
pajak terutang
d. Keputusan dalam waktu 12 bulan sejak terima permohonan apabila waktu 12
bulan tersebut terlampaui, maka permohonan tersebut dianggap diterima dan paling
lambat 1 bulan setelah 12 bulan harus terbit SKBLB dan apabila penerbitan SKBLB
lewat waktu maka WP mendapat bunga 2% per bulan dihitung sejak lewat waktu
sampai dengan terbit SKBLB.
e. Berdasarkan SKBLB harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran BPHTB (SKPKPB) yang dikirim ke : WP, BO, KPKN dan Kanwil DJP.
f. Dalam waktu 2 bulan setelah SKBLB harus diterbitkan Surat Perintah Membayar
Kelebihan Pembayaran BPHTB ( SPMKPB ), lewat dari waktu yang ditentukan
tersebut WP dapat bunga 2% per bulan.
g. Atas imbalan bunga diterbitkan Surat Ketetapan Imbalan Bunga ( SKIB ) dan
Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga ( SPMIB )
tarif Pajak Pembeli (BPHTB) Dalam Jual Beli Tanah
Pada saat melakukan jual beli tanah dan bangunan, baik pembeli maupun penjual
akan dikenakan pajak. Penjual akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas uang
pembayaran harga tanah yang diterimanya, sedangkan pembeli akan dikenakan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak atas
tanahnya. BPHTB dikenakan bukan hanya pada saat terjadinya jual beli tanah, tapi
juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan (tukar menukar, hibah,
waris, pemasukan tanah kedalam perseroan, dan lain-lain).
Dalam transaksi jual beli tanah, yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yaitu pembeli.
Dalam rangka pembayaran BPHTB oleh pembeli, dasar pengenaan BPHTB adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah adalah harga
transaksi. Hal ini berbeda misalnya dengan tukar menukar, hibah atau warisan, yang
dasar NPOP-nya menggunakan nilai pasar (Nilai Jual Objek Pajak/NJOP).
Nilai Perolehan Obyek Pajak atau harga transaksi bisa lebih besar atau bisa juga
lebih kecil dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tergantung dari kesepakatan penjual
dan pembeli – terkadang harga transaksi itu bisa juga sama dengan nilai NJOP.
Apabila harga transaksi lebih kecil dari NJOP, maka yang menjadi dasar penentuan
NPOP adalah nilai NJOP. Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP,
maka nilai penentuan NPOP berdasarkan harga transaksi tersebut – nilai yang
paling tinggi diantara NPOP dan NJOP.
Selain NPOP dan NJOP, faktor lainnya yang perlu diperhatikan dalam menentukan
besarnya BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP). NPOPTKP adalah nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tariff
BPHTB. Misalnya, jika harga transaksi tanah Rp. 100.000.000, maka sebelum harga
transaki tersebut dikenakan tariff BPHTB (5%) terlebih dahulu harga transaski itu
dikurangi NPOPTKP – misalnya dikurangi NPOPTKP sebesar Rp. 80.000.000 untuk
daerah DKI Jakarta. Hal ini membuat nilai pajak pembeli lebih kecil dibandingkan
nilai pajak penjual – penjual tidak dikenakan NPOPTKP.
Setiap daerah memiliki NPOPTKP yang berbeda, tergantung peraturan daerah
tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta, misalnya, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp
80.000.00000 untuk transaksi jual beli tanah dan Rp. 350.000.000 untuk perolehan
hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih
dalam hubungan keluarga sedarah.
Contoh menghitung BPHTB dalam transaski jual beli tanah: Wahyu membeli tanah
milik Arya dengan nilai jual beli sebesar Rp. 200.000.000. Maka pajak penjual dan
pajak pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB) NPOP : Rp 200.000.000,00 NPOPTKP : Rp 80.000.000,00
(-) NPOP Kena Pajak : Rp 120.000.000,00 BPHTB: : 5% x Rp 120.000.000 = Rp
6.000.000 Pajak Penjual (PPh)
NPOP : Rp 200.000.000 NPOP Kena Pajak : Rp 200.000.000 PPh: 5% x Rp
200.000.000,00 = Rp 10.000.000
B.
NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK (NPOP) DAN NILAI PEROLEHAN
OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK (NPOPTKP)
NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK (NPOP
Pengertian Nilai Perolehan objek paiaK (NPOP) adaiah nilai perolehan hak atas
tanah dan atau bangunan yang menjadi dasar pengenaan BPHTB.Istilah nilai
perolehan selalu merujuk pada nilai/harga perolehan aktual yang terjadi saat
transaksi atau peristiwa perolehan hak. Karena itu, yang menjadi dasar pengenaan
pajak sangat bervariasi dan tergantung pada jenis transaksi atau peristiwa yang
menyebabkan perpindahan hak. Itulah sebabnya mengapa deflnisi NPOP tidak
dapat ditentukan secara umum berdasarkan satu nilai saja.Dalam tahapan
penentuan jumlah pajak terutang, yang menjadi dasar pengenaan BPHTB tidak
selalu harus NPOP yang terjadi saat perolehan hak. Dalam hal nilai perolehan hak
tidak diketahui atau lebih kecil daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan
PBB, maka yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah NJOP PBB (kecuali
penunjukan pembeli dalam lelang). Adapun NJOP yang dimaksud adalah NJOP PBB
pada tahun terjadinya perolehan hak tersebut.Saat ini pengaturan NPOP dalam
BPHTB diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, lebih khusus dalam pasal 87, dimana dalam ayat (1) Pasal 87 dikatakan
bahwa dasar pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai
Perolehan Objek Pajak.Dari hal tersebut dapat kita pahami bahwa NPOP adalah
dasar pengenaan pajak yang akan dijadikan tarif dalam penghitungan BPHTB,
sehingga cara penghitungannya yakni penghitungan tarif paling tinggi 5% dasar
pengenaan pajak yakni NPOP.Adapun macam-macam NPOP dapat dilihat dalam
Pasal 87
ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009.Namun ada hal yang harus
diperhatikan, yakni sebagaimana yang diatur dalam Pasal 87 ayat (3) yaitu jika
NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam
pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan.
NPOP DAN SAAT TERUTANG BPHTB
Berikut ini adalah dasar pengenaan pajak dan saat terutangnya BPHTB untuk
masing-masing transaksi atau peristiwa perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan :
No.
1
2
3
4
Transaksi/peristiwa
jual beli
tukar-menukar
Hibah
Waris
Dasar penqenaan
harga transaksi
Saat terutang
sejak
tanggal
nilai pasar
danditandatanganinya akta
sejak tanggal dibuat dan
nilai pasar
ditandatanganinya akta
sejak tanggal dibuat
nilai pasar
ditandatanqaninva akta
tanggal yang bersangkutan
mendaftarkan
5
6
7
pemasukan
dalam nilai pasar
peralihan
perseroan atau badan
ditandatanqaninva akta
hukum lainnva
pemisahan hak yang nilai pasar
seiak
mengakibatkan
ditandatanqaninva akta
peralihan
Lelang
harga
transaksi
RisalahLelanq
nilai pasar
putusan hakim
dan
haknya ke Kantor Pertanahan
sejak tanggal dibuat dan
tercantum
8
dibuat
yang sejak
tanggal
dibuat
tanggal
dan
penunjukan
dalam pemenang lelang
sejak
tanggal
putusan
pengadilan yang mempunyai
9
hibah wasiat
nilai pasar
kekuatan hukum yanq tetap
sejak
tanggal
yang
bersangkutan
mendaftarkan
peralihan haknya ke Kantor
Pertanahan
10
pemberian hak baru nilai pasar
sejak
atas
ditandatanganidan
tanah
sebagai
tanggal
kelanjutan
11
12
13
14
15
dari
diterbitkannya suratkeputusan
pelepasan hak
pemberian hak baru di nilai pasar
pemberian hak
sejak tanggal ditandatangani
luar pelepasan hak
dan
penggabungan usaha nilai pasar
keputusan pemberian hak
sejak tanggal dibuat dan
peleburan usaha
nilai pasar
ditandatanqaninya akta
sejak
tanggal
dibuat
nilai pasar
danditandatanganinya akta
sejak
tanggal
dibuat
nilai pasar
danditandatanganinya akta
sejak
tanggal
dibuat
pemekaran usaha
Hadiah
diterbitkannya
surat
danditandatanganinya akta
Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya’ perolehan hak
sebagaimana tercantum di atas.Adapun tempat terutang pajak adalah di wilayah
Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
NILAI PEROLEHAN OB]EK PAJAK TIDAK KENA PAJAK
Sebagaimana halnya dengan PBB, dalam BPHTB dikenal adanya batasan nilai
perolehan yang tidak dikenakan pajak.Nilai ini disebut dengan Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara
regional dengan ketentuan sebagai berikut:
-
Paling banyak Rp 60.000.0000,00 (enam puluh juta);
-
Dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat,
termasuk
suami/istri,
NPOTKP
ditetapkan
secara
regional
paling
banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).Besarnya NPOPTKP ditetapkan oleh
Menteri
Keuangan
melalui
Kakanwil
Ditjen
Pajak
setempat
untuk
setiap
kabupaten/kota berdasarkan usulan dari Pemda yang bersangkutan kepada
Kakanwil Ditjen Pajak setempat paling lambat satu bulan sebelum tahun pajak
dimulai, dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.
Saat terutang dan pelunasan BPHTB
Saat terutang dan pelunasan BPHTB untuk:
[a]. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah/Notaris;
[b]. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
[c]. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
[d]. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke Kantor
Pertanahan;
[e]. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
[f]. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
[g]. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal
ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor
lelang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memuat antara lain nama pemenang lelang.
[h]. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap;
[i]. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan
haknya ke Kantor Pertanahan;
[j]. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah
sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
[k]. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani
dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
[l]. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
[m]. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
[n]. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
[o]. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
C.
TEMPAT PAJAK TERUTANG DALAM BPHTB
Tempat BPHTB terutang adalah wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan.BPHTB yang terutang dibayar ke kas
negara melalui Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank
Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat
pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan Surat Setoran
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (SSB).
Hasil penerimaan BPHTB dibagi dengan perimbangan sebagai berikut :
- 20% (duapuluh persen) untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dikembalikan lagi
secara merata
ke setiap kabupaten/kota;
- 16% (enambelas persen) untuk propinsi;
- 64% (enampuluh empat persen) untuk kabupaten/kota.
D. TATA CARA PELUNASAN BPHTB
C. TATA CARA PEMBAYARAN
Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam pasal 10 UU BPHTB
yang dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
517/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 yang kemudian ditindak lanjuti
dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 269/PJ/2001 tanggal 2 April 2001 dan Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor 09/PJ.6/2001 tanggal 6 April 2001 yang intinya adalah
sebagai berikut :
a.
Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak.
b.
Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea ( SSB ) ke Kas Negara
melalui Bank/Kantor Pos atau Tempat Pembayaran lain yg ditunjuk
c.
SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk
melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
d.
Kewajiban Bayar pada saat :
1. Dibuat & ditandatanganinya Akta
2. Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat
3. Ditunjuknya pemenang Lelang
4. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru
5. Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
TATA CARA PENETAPAN DAN PENAGIHAN
TATA CARA PENETAPAN
Tata cara penetapan BPHTB diatur didalam pasal 11 dan 12 sebagai berikut :
1. Dalam jangka waktu 5 tahun sejak pajak terutang, berdasarkan hasil pemeriksaan
terdapat kurang bayar, Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kepala Kantor
Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar
(SKBKB) ditambah denda 2% per bulan maksimum untuk jangka waktu 24 bulan
(48%).
2. Setelah terbit SKBKB, terdapat data baru lagi sehingga Pajak terutang bertambah,
maka Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan
BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) ditambah sanksi administrasi sebesar
100% dari jumlah kenaikan, kecuali wajib pajak melapor sebelum ada pemeriksaan
Contoh :
Bapak Krosbin Simatupang membeli sebidang tanah di Surabaya pada tanggal 5
Januari 2003 dengan harga perolehan menurut PPAT sebesar Rp.300.000.000,- dan
BPHTBnya telah dibayar lunas pada tanggal tersebut. Berdasarkan pemeriksaan
yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu pada tanggal 7 Pebruari
2003, ternyata NJOP PBB atas tanah tersebut adalah sebesar Rp.350.000.000,Pada tanggal 1 Maret 2003 diperoleh data baru (novum), ternyata transaksi yang
benar atas tanah tersebut adalah sebesar Rp400.000.000,- Atas temuan-temuan
tersebut diatas Kepala Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu telah menerbitkan
SKBKB pada tanggal 7 Pebruari 2003 dan SKBKBT pada tanggal 1 Maret 2003.
Berapa BPHTB yang harus dibayar oleh Bapak Krosbin Simatupang tersebut
berdasarkan SKBKB dan SKBKBT yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan
PBB
tersebut
bila
NPOPTKP
ditentukan
sebesar
Rp50.000.000,-
Jawab :
1. BPHTB yang telah dibayar pada tanggal 5 Januari 2003 adalah :
5% x (300.000.000 - 50.000.000) = Rp12.500.000,2. BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 7 Pebruari 2003 :
5% x (350.000.000 - 50.000.000) = Rp15.000.000,BPHTB yang telah dibayar = Rp12.500.000,BPHTB kurang bayar = Rp 2.500.000,Denda : 2 x 2% x Rp2.500.000,- = Rp 100.000,SKBKB = Rp 2.600.000,3. BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 1 Maret 2003 :
5% x (400.000.000 - 50.000.000) = Rp17.500.000,-
?
BPHTB yang telah dibayar = Rp15.000.000,BPHTB kurang bayar = Rp 2.500.000,Sanksi administrasi ( 100% ) = Rp 2.500.000,SKBKBT = Rp 5.000.000,B. TATA CARA PENAGIHAN
Sesuai dengan pasal 13, 14 dan 15 UU BPHTB maka apabila :
1. Pajak terutang tidak/kurang bayar
2. Dari pemeriksaan, SSB kurang bayar
3. WP kena sanksi administrasi berupa denda/bunga
maka Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Tagihan BPHTB (STB) ditambah
sanksi bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.Surat Tagihan BPHTB setara
dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP)SKBKB, SKBKBT, STB, SK Pembetulan / SK
Pengurangan / SK Keberatan / SK Banding merupakan Dasar Penagihan Pajak.
Pajak terutang berdasar SURAT-SURAT tersebut diatas harus dilunasi paling lambat
1(satu) bulan sejak diterima oleh wajib pajak, lewat batas waktu dapat ditagih
dengan SURAT PAKSA.
KEBERATAN, BANDING DAN PENGURANGAN
KEBERATAN
Keberatan diatur dalam pasal 16 dan 17 yang dapat dirinci sebagai berikut :
1. Diajukan oleh wajib pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala
KPPBB/KPP
Pratama
atas
:
SKBKB,
SKBKBT,
SKBLB,
SKBN
;
2. Secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dan dilampiri :
a.Copy SSB ;
b.Asli SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN
c.Copy Akta/Risalah Lelang / SK Pemberian Hak / Putusan Hakim
d.Copy identitas
3. Keberatan diajukan dalam waktu 3(tiga) bulan sejak diterimanya SK oleh wajib
pajak
4. Yang tidak memenuhi syarat tidak dianggap sebagai surat keberatan dan tidak
dipertimbangkan
5. Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak
6. Keputusan dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterima permohonan dari wajib
pajak, lewat waktu dianggap diterima
7. Keputusan dapat berupa :
a. mengabulkan seluruhnya / sebagian
b. menolak, atau
c. menambah besar pajak terutang
8. Wajib Pajak yang tidak setuju atas keputusan keberatan dari Direktur Jenderal
Pajak dapat mengajukan banding ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
( sekarang Pengadilan Pajak )
BANDING
Banding diatur dalam pasal 18 dan 19 Undang-undang BPHTB yang dapat disarikan
sebagai berikut :
· Diajukan ke BPSP ( Pengadilan Pajak ) dalam jangka waktu 3 bulan sejak terima
SK Keputusan Keberatan
·
Pengajuan
banding
tidak
menunda
kewajiban
pembayaran
pajak
· Bila Keberatan dan Banding dikabulkan, kelebihan pembayaran dapat imbalan
bunga 2%/bulan maksimum 24 bulan yang dihitung sejak pelunasan pajak sampai
dengan terbit Surat Ketetapan BPHTB Lebih Bayar
PENGURANGAN
Pengurangan diatur dalam pasal 20 Undang-undang BPHTB yang kemudian
dijabarkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tanggal
25 Nopember 2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB. Keputusan Menteri
Keuangan ini kemudian diubah dan terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor: 91/PMK.03/2006 tanggal 13 Oktober 2006 tentang Perubahan Kedua atas
KMK No.561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB, yang dapat
dirinci sebagai berikut :
1. Dalam hal kondisi tertentu WP yang ada hubungannya dengan Objek Pajak :
a. WP pribadi memperoleh hak baru melalui program Pemerintah di bidang
Pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan ekonomis mendapat pengurangan
sebesar 75%
b. WP Badan memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai
tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun mendapat pengurangan
sebesar 50%
c. WP pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan RSS
langsung
dari
pengembang
dan
membayar
secara
angsuran
mendapat
pengurangan sebesar 25%
d. WP pribadi menerima hibah dari keluarga sedarah satu derajad keatas dan
kebawah mendapat pengurangan sebesar 50%
2. Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu :
a. WP memperoleh hak dari hasil pembelian uang ganti rugi pemerintah yang nilai
ganti
ruginya
dibawah
NJOP
mendapat
pengurangan
sebesar
50%.
b. WP memperoleh hak sebagai penggantian dari tanah yang dibebaskan
pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus,
mendapat pengurangan sebesar 50%
c. WP Badan terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas
pada
kehidupan
perekonomian
nasional
sehingga
WP
harus
melakukan
restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai kebijaksanaan pemerintah,
mendapat pengurangan sebesar 75%
d. WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari BBD, BDN,
Bapindo dan Bank Exim dalam rangka merger, mendapat pengurangan sebesar
100%
e. WP Badan melakukan Merger atau Konsolidasi dengan atau tanpa terlebih dahulu
mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan pengunaan
Nilai Buku dlm rangka penggabungan atau peleburan usaha tersebut dari Dirjen
Pajak, mendapat pengurangan sebesar 50%
f. WP memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi
karena
bencana
alam
dlsb
yang
terjadi
dalam
waktu
3
bulan
setelah
penandatanganan Akta, mendapat pengurangan sebesar 50%
g. WP pribadi (Veteran, PNS, TNI, Polri, pensiunan, purnawirawan, janda/dudanya)
yang memproleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah,
mendapat pengurangan 75%
h. WP Badan Korpri yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam
rangka pengadaaan perumahan bagi anggota Korpri/PNS, mendapat pengurangan
sebesar 100%
i. WP Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari peusahaan
induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan
KepMenKeu tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi, mendapat pengurangan sebesar 50%.
j. WP yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan
rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program
pemerintah di bidang pertanahan atau WP yang objek pajaknya terkena bencana
lam gempa bumi dan gelombang tsunami di Propinsi NAD dan Kepulauan Nias,
Sumatera Utara, mendapat pengurangan sebesar 100%.
k. WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Propinsi DIY dan
sebagian Propinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terhutangnya
terjadi 3(tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%.
l. WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di
pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terhutangnya
terjadi 3(tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%.
3. Tanah dan bangunan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata
tidak mencari keuntungan mendapat pengurangan sebesar 50%
4. Tanah dan atau bangunan di Propinsi NAD yang selama masa reahbilitasi
berlangsung digunakan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata
tidak
untuk
mencari
keuntungan
mendapat
pengurangan
sebesar
100%.
TATA CARA PERMOHONAN PENGURANGAN
1. Permohonan diajukan oleh WP kepada Kepala KPPBB/KPP Pratama / Kakanwil
DJP / Dir.Jen.Pajak dalam bahasa Indonesia dengan lampiran :
a. Fotokopi Surat Setoran Bea ( SSB )
b. Fotokopi Akta / Risalah Lelang / Kep.Pemberian Hak Baru / Putusan Hakim
c. Fotokopi identitas
d. Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa
e. Fotokopi persetujuan Merger dari Dirjen Pajak
2.
Permohonan
dalam
waktu
3(tiga)
bulan
sejak
tanggal
pembayaran
3. Khusus untuk MERGER, permohonan diajukan sebelum Akta ditandatangani oleh
Notaris/PPAT
4. Atas permohonan kemudian dilakukan Pemeriksaan Sederhana dan dituangkan
dalam Berita Acara
5. Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat
permohonan dan tidak dipertimbangkan
KEPUTUSAN PENGURANGAN
1. Keputusan oleh Kepala KPPBB/KPP Pratama dalam waktu 3(tiga) bulan sejak
terima permohonan dari Wajib Pajak, lebih dari 3 bulan dianggap diterima.
Keputusan oleh Kakanwil DJP dalam waktu 4(empat) bulan sejak diterima
pemohonan dari WP, lebih dari 4 bulan dianggap diterima, dan keputusan oleh
Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 6(enam) bulan, lebih dari 6 bulan dianggap
dikabulkan.
2. Bentuk Keputusan : mengabulkan seluruhnya / sebagian atau menolak
3. Wewenang Keputusan :
a. Ketetapan sampai dengan 2,5 M oleh Kepala Kantor PBB/ KPP Pratama
b. Ketetapan diatas 2,5 M sampai dengan 5 M oleh KAKANWIL DJP
c. Lebih dari 5 M, dampak krisis, merger dan Bank Mandiri oleh Direktur Jenderal
Pajak
PENGURANGAN YANG DIHITUNG SENDIRI OLEH WP
Terhadap WP yang memenuhi syarat dapat menghitung sendiri besar pengurangan
sebelum pembayaran BPHTB. Dalam Surat Setoran Bea diberi tanda “ pengurangan
dihitung sendiri” dan jumlah setoran setelah pengurangan. Dalam hal ini WP tetap
mengajukan permohonan pengurangan sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan. Bila permohonannya ditolak / dikabulkan namun BPHTB masih kurang
bayar maka terhadap WP tersebut dikenakan sanksi bunga 2% per bulan dari
kekurangan bayar tersebut , maksimum 24 bulan. Terhadap BPHTB kurang bayar
(SKBKB) tidak dapat diajukan pengurangan kembali
RESTITUSI DAN IMBALAN BUNGA SERTA PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN
BPHTB
A. RESTITUSI DAN IMBALAN BUNGA
Restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB diatur dalam pasal 21
dan pasal 22 yang dapat dirinci sebagai berikut :
1. Sebab-sebab Restitusi :
a. Pajak dibayar > pajak terutang yang disebabkan oleh :
- Permohonan pengurangan dikabulkan
- Permohonan keberatan dikabulkan
- Permohonan banding dikabulkan
- Perobahan peraturan
b. Pajak dibayar tidak seharusnya terutang
2.Tata Cara Pengajuan Restitusi dan Imbalan Bunga
a. Permohonan restitusi diajukan oleh WP dalam bahasa Indonesia dengan alasan
dan dilampiri :
1) Asli Surat Setoran Bea ( SSB )
2) Fotokopi SK Keberatan / Banding / Pengurangan
3) Fotokopi Akta / Risalah Lelang / Keputusan Hak Baru / Putusan Hakim
4) Fotokopi identitas Wajib Pajak
b. Yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat permohonan dan
tidak dipertimbangkan
c. Berdasarkan pemeriksaan atas permohonan, KPPBB/KPP Pratama menerbitkan :
1) SKBLB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP ternyata lebih besar dari
jumlah pajak yang terutang.
2) SKBN apabila jumlah pajak yang dibayar oleh WP sama besarnya dengan jumlah
pajak yang terutang
3) SKBKB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP lebih kecil dari jumlah
pajak terutang
d. Keputusan dalam waktu 12 bulan sejak terima permohonan apabila waktu 12
bulan tersebut terlampaui, maka permohonan tersebut dianggap diterima dan paling
lambat 1 bulan setelah 12 bulan harus terbit SKBLB dan apabila penerbitan SKBLB
lewat waktu maka WP mendapat bunga 2% per bulan dihitung sejak lewat waktu
sampai dengan terbit SKBLB.
e. Berdasarkan SKBLB harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan
Pembayaran BPHTB (SKPKPB) yang dikirim ke : WP, BO, KPKN dan Kanwil DJP.
f. Dalam waktu 2 bulan setelah SKBLB harus diterbitkan Surat Perintah Membayar
Kelebihan Pembayaran BPHTB ( SPMKPB ), lewat dari waktu yang ditentukan
tersebut WP dapat bunga 2% per bulan.
g. Atas imbalan bunga diterbitkan Surat Ketetapan Imbalan Bunga ( SKIB ) dan
Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga ( SPMIB )