TUGAS ETS HUKUM PAJAK ID

TUGAS ETS HUKUM PAJAK

DOSEN PENGAMPU:
Tomy Michael, SH., MH
DISUSUN OLEH:
Irfan Dicki Hartanto (1311401629)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
TAHUN AJARAN 2017-2018

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Rochmat Soemitro, “Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas
Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasatimbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”
Rochmat Soemitro menjelaskan bahwa unsur dapat dipaksakan artinya
bahwa bila utang pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat
ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti dengan mengeluarkan

surat paksa dan melakukan penyitaan bahkan bisa dengan melakukan
penyanderaan.
Sedangkan terhadap pembayaran pajak tersebut tidak dapat
ditunjukkan jasa-timbal-balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.
Wujud partisipasi masyarakat yang telah membayar pajak harus dibarengi
pula dengan jaminan akan hak-hak Wajib Pajak sebagaimana yang
tertuang dalam Undang-Undang Perpajakan.
Hak dan kewajiban Wajib Pajak harus seimbang sehingga keadilan
dapat diwujudkan dalam kenyataan. Hak negara untuk memungut pajak
membawa konsekuensi bahwa negara berkewajiban untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Aspek hukum masalah
perpajakan sangat penting untuk diketahui oleh seluruh lapisan
masyarakat baik wajib pajak maupun fiskus, sehingga iklim perpajakan
yang sehat dapat diwujudkan. Iklim yang sehat berarti masyarakat Wajib
Pajak mau dan sadar akan kewajibannya untuk membayar pajak.
Untuk mengerti dan memahami peraturan perundang-undangan
pajak dengan baik diperlukan terlebih dahulu penguasaan asas-asas dan
dasar-dasar pajak. Pajak diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu
Pajak harus mempunyai dasar hukum yang kuat dan mantap. Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur


dengan undang-undang.
Dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN), pajak
merupakan salah satu sumber pendapatan negara guna pembiayaan
negara baik bagi kegiatan rutin maupun kegiatan pembangunan. Bahkan
pajak

sudah

merupakan

sumber

pembiayaan

utama,

sehingga

keberadaannya merupakan suatu keharusan. Kegiatan rutin dimaksud

adalah kegiatan penyelenggaraan pemerintah sehari-hari, sedangkan
kegiatan pembangunan adalah kegiatan melakukan perbaikan dan
pembaharuan baik fisik maupun mental serta mencerdaskan bangsa.
Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan digolongkan dalam 3 (tiga)
golongan yaitu menurut sifatnya, sasarannya/objeknya, dan lembaga
pemungutannya.
Menurut sifatnya, pajak terbagi atas pajak langsung dan pajak tidak
langsung, menurut sasaran/objeknya, pajak terbagi atas pajak subjektif
dan pajak objektif, menurut lembaga pemungutnya, pajak terbagi atas
pajak pusat dan pajak daerah.
Ditinjau dari pengelompokannya, Pajak Penghasilan dikategorikan
sebagai pajak pusat, tetapi ditinjau dari sifatnya dikategorikan sebagai
pajak subjektif. Dengan pengertian bahwa pemungutan pajak penghasilan
ini berpangkal atau mendasarkan pada subjek pajaknya.
Pajak Penghasilan (PPh) sebelum Perundang-Undangan Perpajakan
tahun

1983

diatur


dalam

beberapa

ketentuan

perundang-undangan/ordonansi seperti yang dikenal dengan pajak
pendapatan orang pribadi yang dipungut berdasarkan ordonansi Pajak
Pendapatan Tahun 1944 dan Pajak Perseroan Tahun 1925 serta pajak atas
bunga, deviden, dan royalti yang diatur dalam Undang-Undang Pajak atas
Bunga, Deviden, dan Royalti Tahun 1970. Selanjutnya sejak tahun 1944
Pajak Penghasilan dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

Dalam sejarah perkembangannya, Undang-Undang PPh ini telah
mengalami beberapa kali perubahan dimulai dari Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1991 tentang Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan No 7 Tahun
1983, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan

Undang-Undang Pajak Penghasilan No 7 tahun 1991, Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Pajak
Penghasilan No 10 tahun 1994, dan yang terakhir Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2008 tentang Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan No
17 tahun 2000. Pajak digolongkan menurut sifat dan cirinya. Menurut
sifatnya pajak dapat dibedakan menjadi pajak atas pendapatan dan
kekayaan, Pajak atas lalu lintas hukum, Kekayaan, barang, Pajak atas
Kebendaan dan Pajak atas Pemakaian.
Menurut cirinya Pajak dapat dibedakan menjadi Pajak Subjektif dan
Pajak Objektif, Pajak Langsung dan Pajak tidak Langsung, Pajak Pusat dan
Pajak Daerah. Pajak Subjektif adalah Pajak yang pengenaannya dengan
memperhatikan

subjek

pajaknya

terlebih

dahulu


baru

kemudian

memperhatikan objeknya. Urutan-urutan untuk menentukan kewajiban
pajak dalam pajak subjektif adalah : pertama-tama mencari subjeknya, baru
kemudian terhadap subjek dilihat objeknya.
Pajak Subjektif merupakan pajak yang erat hubungannya dengan
subjek. Besarnya pajak dipengaruhi keadaan subjek yang dikenakan pajak.
Dalam Pajak Subjektif, keadaan subjek sangat diperhatikan dan pada
umumnya didasarkan pada kemampuan dari subjek yang bersangkutan.
Contoh Pajak Subjektif adalah Pajak Penghasilan.
Kebalikan dari Pajak Subjektif adalah Pajak Objektif. Pajak Objektif
merupakan pajak yang dalam pengenaannya dengan memperhatikan
objek pajaknya lebih dahulu, baru kemudian memperhatikan subjeknya.
Pajak ini dikenakan atas objek tertentu yang dapat berupa benda, keadaan
perbuatan, atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban pajak.

Setelah objeknya ditemukan, baru dicari siapa subjeknya. Besarnya pajak

tergantung pada keadaan objek, tidak dipengaruhi keadaan subjek. Contoh
Pajak Objektif antara lain, Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) dan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB).
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 mengatur tentang “akses
informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan” yang menggantikan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem pengenaan dan pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 terhadap wajib pajak?
2. Bagaimanakah sistem penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan
Pajak 21 atas wajib pajak?
3. Apakah pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas wajib pajak
diterima dan sudah memenuhi rasa keadilan?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemungutan Pajak
Berkenaan mengenai pengenaan pajak, pajak mempunyai falsafah. Falasafah

pajak ini lebih lanjut lagi berdasarkan falsafah negara yaitu pancasila. Pasal 23
UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak yang berbunyi “segala
pajak pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang” walaupun
pasal 23 (2) UUD 1945, merupakan dasar hukum pemungutan pajak, namun pada
dasarnya dalam ketentuan ini tersirat Falsafah Pajak. Pajak harus berdasar
undang-undang karena dapat diibaratkan pajak adalah menyayat daging diri kita
sendiri. Pajak tidak memerikan imbalan yang secara langsung dapat dinikmati,
atau dapat dikatakan pajak tidak memberikan imbalan.
Selain memiliki dasar falsafah dalam pengenaan pajak terdapat asas-asas
menurut Falsafah Hukum yaitu asas-asas keadilan, untuk memberikan dasar
menyatakan keadilannya, terdapat teori-teori pajak yang dapat diterapkan dalam
pemungutan pajak dalam masyarakat, dan juga terdapat sistem pemungutan pajak.

B. Sistem Pemungutan Pajak
1. Official Assessment Sistem
Adalah suatu system pemungutan yang ystem wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh wajib pajak dan menagihnya. Dalam ystem ini kedudukan fiskus
(aparat pajak) sangat dominan. Sistem ini juga memiliki beberapa
kekurangan yang pertama adalah kurang mendidik atau kurang

mendewasakan wajiib pajak dan juga memungkinkan timbulnya
kesewenang-wenangan dari pihak fiskus.

2. Self Assessment System
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib
pajak untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar
sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem
pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh

wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan
membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii)
pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap
saat kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak
terlambat melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat
pajak yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.

3. Withholding System
Sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak
lain atau pihak ketiga untuk memotong dan memungut besarnya
pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Pihak ketiga disini adalah

pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak.

C. Keadilan Hukum Pajak
Dalam perpajakan dikenal 2 macam keadilan yaitu keadilan horizontal
dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal menyangkut cakupan engertian
penghasilan, sedangkan keadilan vertikal berkenaan dengan struktur tarif
pajak. Dengan demikian tidak ada lagi perbedaan perlakuan antara Wajib
Pajak, artinya terkait dengan pajak setiap orang mendapat perlakuan yang
adil. Selain itu, pemungutan pajak harus diatur dalam Undang-Undang,
tujuannya agar ada jaminan hukum untuk negara dan Wajib Pajak dalam
penyelenggaraan pemungutan pajak. Negara memiliki hak untuk
memungut pajak, namun pelaksanaan hak tersebut tidak boleh
mengabaikan teori-teori perpajakan yang ada. Pemungutan pajak
merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada Negara yang hasilnya
juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan
pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis
pajak apa saja yang akan dipungut serta berapa besarnya pemungutan
pajak. Proses persetujuan rakyat dimaksud tentunya hanya dapat
dilakukan dengan suatu undangundang. Pertanyaannya sekarang


mengapa harus dengan undang-undang? Landasan yuridis untuk
menjawab pertanyaan tersebut adalah dengan mengacu pada Pasal 23A
UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksauntuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Sebaliknya bila ada pungutanyang namanya pajak namun tidak
berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak
tetapi lebih tepat disebut perampokan (taxation without representation is
robbery). Sebagaimana tujuan hukum pada umumnya, hukum pajak
bertujuan untuk mendorong adanya keadilan dalam pemungutan pajak
yang dilakukan secara umum dan merata. Prinsip tersebut mengawali
setiap proses penyusunan perangkat perundang-undangan perpajakan
maupun dalam implementasinya. Prinsip umum dan merata ini
merupakan parameter dari aspek keadilan dalam pemungutan pajak.

D. Dasar Hukum Perpajakan
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A
Dari berbagai jenis undang-undang yang mengatur tentang pajak yang
ada di Indonesia, UUD 1945 Pasal 23A merupakan induk sumber
hukum dari semua undang-undang yang ada. UUD 1945 Pasal 23
berisi tentang aturan dalam hal keuangan negara yang meliputi
penyusunan anggaran belanja, mata uang negara, dan peraturan
tentang perpajakan. Khusus perpajakan disusun dalam pasal 23A yang
berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Dari isi pasal
tersebut jelas sekali jika pasal 23A merupakan sumber hukum utama
dari peraturan-peraturan yang menetapkan sistem dan tata cara
seluruh perpajakan yang berlaku di Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 didalamnya mengatur tentang
ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Sebelum terbentuknya

undang-undang ini, sebenarnya sudah terdapat undang-undang yang
memiliki tujuan dan aturan hukum yang sama yaitu Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983. Hadirnya UU No.16 Tahun 2000 merupakan
pengganti dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Perubahan
undang-undang ini didasari oleh beberapa hal yang berkaitan dengan
perbaikan dalam pelaksanaan undang-undang ini yaitu lebih
memberikan kesejajaran dalam keadilan dan meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat atau wajib pajak dan yang lebih penting
adalah menciptakan kepastian hukum yang lebih tegas.
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000
Pada dasarnya undang-undang ini merupakan bentuk perubahan
untuk

yang

ketiga

kali

dari

undang-undang

sebelumnya.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 merupakan bentuk pertama
dari undang-undang yang berlaku mengenai beberapa peraturan
tentang

pajak

penghasilan

(PPh).

Perubahan

kedua

pada

undang-undang ini terjadi pada tahun 1994, dimana beberapa pasal
mengalami perubahan isi dan ketentuan yang lebih relevan dengan
perkembangan kondisi negara. Beberapa jenis undang-undang lainnya
banyak yang mengalami perubahan saat itu, sehingga untuk
mendukung perubahan tersebut dibutuhkan penyesuaian pada
undang-undang pajak penghasilan agar secara keseluruhan isi mampu
menguatkan

dan

memiliki

keterikatan

yang

lebih

dengan

undang-undang lainnya.
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 merupakan perubahan kedua
dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, undang-undang ini
merupakan dasar peraturan tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa serta Pajak Penjualan atas barang mewah. Jika melihat isi
pembukaan dalam undang-undang ini akan terlihat beberapa
kepentingan terhadap pelaksanaan aturan yang menjadi acuan dalam

melakukan

perubahan

terhadap

undang-undang

sebelumnya.

Perubahan dalam undang-undang diwujudkan untuk meningkatkan
jaminan kepastian hukum dan meratanya tingkat keadilan, selain itu
perubahan yang terjadi bersifat mempermudah dalam penerapan
sistem

perpajakan

tanpa

mengabaikan

fungsi

pengawasan

pengamanan penerimaan negara yang ditujukan untuk menggerakkan
pembangunan nasional.
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 merupakan pengganti dari
undang-undang

sebelumnya

yang

telah

berlaku,

yaitu

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997. Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2000 didalamnya berisi aturan dan prosedural tentang
penagihan pajak dengan surat paksa. Mengingat sifat pajak adalah
kewajiban yang harus dibayar, maka dalam penerapan harus terdapat
mekanisme pengawasan dan ketegasan terhadap ketidakpatuhan
dalam segala upaya yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban
tertanggung oleh subjek pajak. Itulah salah satu alasan mengapa
undang-undang ini mengalami perubahan, selain dipengaruhi juga
oleh faktor perubahan sistem hukum nasional dan tatanan kehidupan
masyarakat yang membutuhkan akan meningkatnya kepastian hukum
dan memberikan keadilan bersama.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian penerimaan negara adalah semua uang dan/atau yang bisa dinilai
dengan uang yang masuk ke kas negara. Semua penerimaan sebagai akibat
dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa adalah hak negara
termasuk di dalamnya adalah bunga dan/atau jasa giro atas dana negara
yang disimpan pada bank sentral. Penerimaan negara terdiri dari:
1. Penerimaan Pepajakan;
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak;
3. Penerimaan Hibah;
4. Penerimaan Pengembalian Belanja;
5. Penerimaan Pembiayaan, dan;
6. Penerimaan Perhitungan Pihak Ketiga.
Penerimaan dari kementerian/lembaga/satuan kerja tidak boleh digunakan
secara langsung untuk membiayai pengeluaran jadi harus melalui kas umum
negara dulu. Sehingga Pemerintah dapat mengetahui besarnya dana
penerimaan secara menyeluruh untuk dibukukan secara nasional.
B. Saran
Pajak merupakan pusat dari penghasilan Negara, yang diperoleh dari
pemungutan pajak dari rakyat yang dilakukan dengan paksaan tetapi
dilandasi oleh hukum yang harus di taati semua orang yang hidup dan
berpijak di bumi Indonesia. Jadi kita sebagai subyek pajak seharusnya lebih
transparan untuk melaporkan jumlah penghasilan/kekayaan ke kantor pajak
guna untuk terwujudnya kesejahteraan Negara dengan membayar pajak
sesuai dengan jumlah penghasilan/kekayaaan.

DAFTAR PUSTAKA
Rochmat Soemitro., Prof. Dr. SH., 1991, Asas dan Perpajakan II, PT. Eresco,
Bandung.
Rochmat Soemitro., Prof. Dr. SH., 1992, Pengantar Singkat Perpajakan, PT.
Eresco, Bandung.
Rochmat Soemitro., Prof. Dr. SH., 1993, Pajak Penghasilan, PT. Eresco,
Bandung.