Kepentingan Politis di balik Eksegesis T

Kepentingan Politis di balik Eksegesis
(Tela’ah Pemikiran Stefan Wild tentang Penafsiran al-Qur’an)
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kajian al-Qur’an Orientalis
Dosen Pengampu: Dr. Phil. Sahiron, M.A.

Disusun oleh:
Wildan Hidayat
1620510035 SQH C

KONSENTRASI STUDI AL-QUR’AN DAN HADIS (S2)
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017

Kepentingan Politis di balik Eksegesis
(Tela’ah Pemikiran Stefan Wild tentang Penafsiran alQur’an)
Wildan Hidayat
UIN Sunan Kalijaga
Kajian al-Qur’an Orientalis


Pendahuluan
Al-Qur’an selalu menjadi rujukan seluruh kelompok dan atau aliran yang berpredikat
Islam, seperti yang dinyatakan oleh Quraish Shihab, baik ketika menarik ide-ide maupun
mempertahankan ide-ide tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa al-Quran menempati posisi
sentral dalam studi Islam.1
Tidak hanya para sarjana Muslim, bahkan kajian tentang al-Quran di Barat (Western
Scholarship / Euro-American Scholarship) terus berkembang dan marak. Setiap tahun bahkan
selalu ada buku dan artikel akademik mereka tentang studi Islam yang terbit. Di Barat, kajian
al-Qur’an menjadi salah satu alternatif kajian akademik yang menarik banyak perhatian,
mulai dari sarjana muslim hingga non muslim. Kajian al-Qur’an di Barat menyangkut
berbagai aspek, mulai dari teks al-Qur’an itu sendiri, penafsiran para sarjana muslim baik
pada masa klasik hingga masa modern saat ini.2

1 M. Quraish Shihab, “Posisi Sentral al-Qur’an dalam Studi Islam”, dalam Tauik
Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 136.
2 J.J.G. Jansen, The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill,
1980),
hlm. 8


2

Untuk memahaminya, al-Qur’an tidak membeda-bedakan siapa yang paling berhak
dan siapa yang paling tidak berhak untuk memahami dan mengkajinya. Dan pada akhirnya,
seperti yang diungkapkan oleh Farid Esack, menurutnya, agama dan kitab suci (termasuk didalamnya al-Qur’an) menjadi wilayah perebutan.3 Hal ini lantas menjadikan siapapun berhak
dan ditolerir untuk mengkaji al-Qur’an (termasuk didalamnya para orientalis).
Salah satu dari sarjana barat yang intens dalam mengkaji al-Qur’an dan Islamic
Studies adalah Stefan Wild. Dalam sebuah tulisannya ‘Political Interpretation of the
Qur’an”4 , secara kasat mata dapat dimaknai bahwa istilah yang digunakan oleh Stefan Wild
diatas seolah menunjukkan, bahwa penafsiran atau exegetis sarat akan kepentingan, termasuk
di antaranya kepentingan politik.
Stefan Wild; Karya dan Islamic Studiesnya
Stefan Wild lahir pada 2 Maret 1937, di Leipzig, Jerman. Wild belajar di Universitas
Munich, Yale University, Erlangen dan Tuebengin lulus pada tahun 1961, kemudian
menyelesaikan habilitasi pada tahun 1968 di Univesity of Munich dalam perdagangan Semit.
1968-1973 dia menduduki jabatan Direktur Orient-Instituts der Deutschen Morgenlandischen
Gesellschaft di Beirut, Lebanon. Pada tahun 1974-1977, Wild menjabat sebagai Profesor
Bahasa Semit dan studi Islam di Universitas Amsterdam dan pada tahun 1977-2002 menjabat
sebagai Profesor Semit-Filologi dan studi Islam di Universitas Bonn.

Di antara karya-karyanya adalah Das Kitab al-’Ain und die arabische Lexikographie.
Libanesische Ortsnamen, Typologie und Deutung. Ghassan Kanafani, The Life of a
Palestinian. The Qur’an as Text. Akten des 27. Deutschen Orientalistentages. Mensch,
Prophet und Gott im Islam.Selain karya berbentuk buku, Wild juga seorang penulis artikel
dan beberapa di antaranya adalah “Lost in Philology? The Virgins of Paradise and The
Luxenberg Hypothesis” dalam Angelika Neuwirth, The Quran in Context: Historical and
3 Farid Esack, al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas,
(Bandung: Mizan, 2000), hlm. 29.
4 Stefan Wild, "Political Interpretation of the Qur'an", dalam Jane Dammen
McAuliffe (ed), the Cambridge Companion to the Qur'an, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2010), hlm. 273-289.

3

Literary Investigations into the Qur’anic Mileu. “Political Interpretation of the Qur’an”
dalam Jane Dammen McAuliffe, The Cambridge Companion to The Qur’an. “Arabic
Recitation: The Meta Linguistics of Quranic Revelation” dalam Stefan Wild, SelfReferentiality in the Quran.
Dalam ruang lingkup kajian al-Qur’an yang dilakukan oleh para sarjana barat, Stefan
Wild sebenarnya lebih terfokus pada kajian sumber-sumber bahan al-Qur’an sebagaimana
yang sudah dilakukan sebelumnya oleh Christhop Luxenberg. Jika Luxenberg mengkaji

sumber tersebut menggunakan literary criticsm, maka Wild mendekati permasalahan yang
sama dengan Luxenberg dengan historical criticsm. Menurutnya, al-Qur’an menggunakan
kata Houri bukan menggambarkan al-Qur’an mengadopsi bahasa lain, tetapi lebih
menggambarkan keadaan sosial-geografis masyarakat Arab pada waktu diturunkannya alQur’an.5 Seperti yang sudah diketahui, bahwa keadaan masyarakat Arab secara geografis di
tengah bentangan gurun padang pasir, secara sosial, masyarakat Arab pada waktu itu tidak
menghargai wanita dengan semestinya. Oleh karena itu, dengan menggunakan houri alQur’an ingin menghargai wanita dan menstimulasi masyarakat Arab dengan sesuatu yang
tidak pernah dilihat sebelumnya, sehingga kata houri bersifat informatif terhadap orang yang
percaya terhadap Allah.
Dari kenyataan diatas dapat dikatakan bahwa sarjana barat melakukan bera-gam
penelitian dan kesimpulannya juga berbeda, sehingga generalitas penilaian terhadapnya sudah
tidak dapat dilakukan lagi. Fokus kajian yang bermacam-macam, seperti kajian sumber alQur’an yang diwakili oleh Luxenberg yang kemudian disusul oleh Stefan Wild, kajian
kandungan Al-Qur’an yang wakili oleh Ian Richard Netton, otentisitas Al-Qur’an yang
diwakili oleh Angelika Neuwirth, menuntut para sarjana muslim untuk melihat kajian sarjana
barat lebih cermat dan bijak.
Kepentingan Politis di balik Eksegesis

5 Stefan Wild, “Lost In Philology? The Virgins of Paradise And The Luxenberg
Hypothesis” dalam Angelika Neuwirth, dkk, The Quran in Context:Historical and Literary
Investigation into The Qur’anic Milleu, (Leiden-Boston: Brill, 2010), hlm. 625.


4

Tidak berlebihan rasanya dengan apa yang dituliskan oleh Mahir al-Munajjad pada
halaman muka buku Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer : “Tak ada tafsir
yang murni dan obyektif. Setiap tafsir selalu subyektif dan tak bisa mengelak dari
kepentingan penulisnya. Karena itu, setiap pembaca haruslah bersikap kritis ketika membaca
sebuah karya tafsir.”6 Benar adanya, bahwa tidak ada eksegesis atau penafsiran – baik yang
klasik maupun yang kontemporer – yang steril dari kepentingan dan pengaruh latar belakang
penafsir, apapun kepentingannya.
Secara logis, hal ini memang sudah menjadi konsekuensi dari keterbukaan al-Qur’an.
Sebagai kitab suci yang bebas akses, dalam arti, al-Qur’an bisa didekati oleh siapapun untuk
kepentingan apapun, termasuk kepentingan politik. Apalagi sebagaimana yang telah
dituliskan sebelumnya bahwa al-Qur’an menempati posisi sentral bagi umat Islam di seluruh
dunia.
Political Reading of The Qur’an ?
Dari uraian sebelumnya, muncul sebuah pertanyaan: apa yang dimaksud dengan
political reading of the Qur’an atau pembacaan al-Qur’an berbasis kepentingan politik itu?.
Sederhananya begini, political reading bisa dimaknai sebagai memahami, menafsiri atau
menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an atas dasar dan untuk kepentingan politik. Wujud dari
kepentingan politik bisa berupa hasil penafsiran yang seolah mendukung kelompok politik

tertentu, namun bisa juga berupa penegasian kelompok atau lawan politik lain. Jika di Mesir
ada Muhammad ‘Abduh dan Rashid Ridha dengan al-Manar-nya yang mempunyai karakter
penafsiran ala reform movement (gerakan reformasi) di Mesir, yang berusa menjelaskan
kepada publik bahwa tidak ada kontradiksi antara akal manusia dan sains barat. ‘Abduh dan
Rashid Ridha menganalogikan makna dari ayat 11 pada surat ar-Ra’d:

      
    

6 Mahir al-Munajjad, Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur'an Kontemporer,
(Yogyakarta: eLSAQ, 2008).

5

     

        
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekalikali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Ar-Ra’d : 11)

Ayat diatas dianalogikan dengan penemuan-penemuan di abad 19 seperti telegraph,
telefon dan kapal api, sehingga benar adanya bahwa ‘God will never change [the condition
of] a people until they change what is in themselves.’ Yakni, Tuhan sendiri tidak akan
merubah keadaan suatu kaum kalau tidak ada usaha untuk berubah dari kaum itu sendiri.
Unsur politik murni dari ‘Abduh dan Rashid Ridha disini tidak termanifestasikan dalam
bentuk politik negatif, akan tetapi lebih kepada politik harmonis yang dapat menjadi pemicu
semangat reformasi dan perubahan untuk publik Mesir pada waktu itu, tentunya, perubahan
ke arah yang lebih maju dari segala aspek, terlebih aspek sains (ilmu pengetahuan).
Berbeda dengan Mesir, di Indonesia justru terdapat penafsiran politis (political
interpretation) dalam al-Huda: Tafsir al-Qur’an Bahasa Jawi yang ditulis oleh Kol. Inf.
Bakri Syahid pada era Orde Baru. Unsur sosio-politik yang sangat kental dapat dijumpai
dalam tafsir al-Huda ini, salah satu contohnya adalah ketika Bakri Syahid berusaha
menjelaskan tentang musyawarah yang harus diambil oleh pemerintah atau pemimpin ketika
mengambil sebuah kemufakatan dalam surat asy-Syu>ra ayat 38, yakni sebagai berikut:

  

   
    




dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan

mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka.” (Qs. asy-Syu>ra: 38)
6

Ayat di atas Bakri Syahid terjemahkan sebagai berikut:
“Lan tumrap wong-wong kang padha ngestokake dhawuhing Allah Pangerane! Lan
padha nyampurnakake Shalat, sarta padha gelem rerembugan sakancane tumrap
prakara kaperluane! Apa dene padha gelem nanjakake rezeqi kang wus Ingsun
paringake.”7
Penafsiran terhadap ayat di atas adalah sebagai berikut:
“…Rerembagan perkawis ingkang nglimputi kabetahaning ngakathah punika sampun
kalimrah naminipun: musyawarah, muktamar, seminar, simposium, lokakarya,
diskusi, sarasehan, rembug desa, parlemen, DPR, lan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, lan sanes-sanesipun… Dhawuhing hadits: “Laa khoba manistasyar, walaa
nadima manis takhor”, Ora rugi wong kang rembugan, lan ora getun wong kang

duwe pamilih”. Inggih punika bukti manawi manungsa titah (makhluk) social, lan
bukti ugi manawi doktrin Al Quraan punika kasunyatan ing leres lan dados rahmat
sadaya Bangsa ing alam Jagad Raya.”
Artinya:
“…Kemufakatan yang melibatkan orang banyak sudah lumrah disebut: musyawarah,
muktamar, seminar, simposium, lokakarya, diskusi, sarasehan, rembug desa,
parlemen DPR, dan Majlis Permusyawaran Rakyat, dan lain sebagainya... Seperti
yang dikatakan hadis: “Laa khoba manistasyar, walaa nadima manis takhor”, tidak
rugi orang yang bermusyawarah, dan tidak akan kecewa orang yang memiliki
pilihan”. Ini adalah bukti bahwa manusia makhluk sosial, dan bukti bahwa doktrin
al-Qur‟an digunakan dalam kebaikan dan menjadi rahmat bagi semua Bangsa di
alam jagad raya.”8

7 Bakri Syahid, Al-Huda Tafsir Qur‟an Basa Jawi, cetakan 3, (Yogyakarta: Bagus
Arafah, 1983) hlm. 965
8 Bakri Syahid, Al-Huda Tafsir Qur‟an Basa Jawi…, hlm. 965

7

Pengambilan kemufakatan ini sesuai dengan sistem yang dianut oleh Indonesia pada

era Orde Baru, yaitu sistem demokrasi Pancasila. Hal ini Bakri Syahid jelaskan ketika ia
menafsirkan surat an-Nisa>‟ ayat 83, yakni sebagai berikut:
“Ing zaman Rasulullah saw, inggih punika para sahabat lan para winasis ing ilmu,
zaman sapunika Ulil Amri punika pemerintahan cara demokrasi, boten tebih kados
tata negari ing Indonesia cara demokrasi Pancasila naminipun.”9
Artinya:
“Pada jaman Rasulullah saw, yaitu para sahabat dan orang-orang ahli ilmu,
zaman itu ulil amri yaitu pemerintahan cara demokrasi, tidak jauh seperti tata
negara di Indonesia, cara demokrasi Pancasila namanya.”
Demokrasi merupakan suatu sistem politik di mana para anggotanya saling
memandang antara satu dengan yang lainnya sebagai orang yang sama dilihat dari segi
politik. Demokrasi sama sekali bukan mayoritarianisme, melainkan menjunjung tinggi
prinsip mayoritas yang di dalamnya tercakup kompromi yang adil, yang tidak mengganggu
kepentingan minoritas yang paling fundamental.10
Dari penjelasan Bakri Syahid diatas, terlihat jelas bahwa corak penafsiran politis yang
ia tuangkan sedikti banyak mengandung unsur dukungan terhadap kebijakan-kebijakan
politik pada masa Orde Baru.
Politisasi al-Qur’an; Tinjauan problematis relevansi teks dan konteks
Politisasi ayat al-Qur’an sendiri secara historis sudah terjadi semenjak zaman khalifah
‘Ali bin Abi Thalib, bahkan dapat disimpulkan bahwa permasalahan politik (antara kelompok

‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan) adalah kasus yang pertama kali timbul
dalam Islam kala itu.

9 Bakri Syahid, Al-Huda Tafsir Qur‟an Basa Jawi…, hlm. 153
10 Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013), hlm. 86.

8

Selain hal diatas, menurut Stefan Wild, kelompok anti Dinasti Umayyah juga
menggunakan ayat al-Qur'an untuk menegatifkan musuhnya. Misalnya, mereka menyebut
Dinasti Umayyah sebagai "the tree cursed in the Qur'an", berdasarkan Qur’an surat al-Isra'
ayat 60;
"Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu; Sungguh, Tuhanmu meliputi
seluruh manusia. Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan
kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang
terkutuk (zaqqum) dalam al-Qur'an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang
demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.”
Tidak diketahui pasti, apa maksud tafsiran Dinasti Umayyah laksana al-shajarah almal'unah (pohon yang terkutuk): apakah karena faktor nepotisme kedinastiannya ibarat
pohon yang patah tumbuh hilang berganti? Yang jelas, dakwaan itu dilegitimasikan melalui
ayat al-Qur'an; dan inilah politisasi ayat. Ayat itu sejatinya tidak sedang berbicara perihal
Dinasti Umayyah, melainkan orang-orang durhaka yang diibaratkan pohon zaqqum. Namun
atas dasar kepentingan kelompok, ayat ini ditarik untuk hajat pragmatis yang sesaat itu .
Sebaliknya, ketika Khalifah Abbasiyah al-Ma'mun menekankan negara berdasar
doktrin al-Qur'an, maka ia juga mendasarkan klaim kebijakannya pada Qur’an surat azZukhruf ayat 3;
"Kami menjadikan al-Qur’an dalam Bahasa Arab, agar kamu mengerti."

Oleh al-Ma'mun, ke-Arab-an al-Qur'an dijadikan alasan untuk menerapkan hukumhukum al-Qur'an dalam konteks negara dengan menjadikannya sebagai undang-undang
tertinggi secara legal-formal. Tentu saja, hal ini terjadi karena bahasa keseharian mereka
adalah Arab dan klan mereka juga Arab.
Selain kelompok di atas, kelompok pecinta Ali bin Abi Thalib juga melakukan hal
yang sama. Misalnya, tafsiran para pecinta menantu Nabi Muhammad dari kalangan syi'ah

9

batiniyyah perihal Qur’an surat al-Nam ayat 16; "Dan Sulaiman telah mewarisi Dawud."
Seperti dijelaskan Ali As-Shabuni, kelompok ini menafsirkan: anna al-imam Aliyyan
waratha al-Nabi fi 'ilmih (sesungguhnya Imam Ali bin Abi Thalib mewarisi keilmuan Nabi
Muhamma d SAW).11 Penafsiran atau tepatnya penakwilan ini, nyata-nyata sangat jauh dari
makna lahir teks. Ini terjadi karena pembelaan yang mendalam pada orang yang dicintainya.
Dalam konteks modern, terang Stefan Wild, pembacaan ayat-ayat suci lantas
dikaitkan dengan hubungan antara Islam dan Negara. Kemudian, segeralah muncul tafsir
populer karya Sayid Quthb, Fi Zhilal al-Qur'an, yang juga mendeklarasikan la hukma illa li
Allah secara lebih modern. Menurutnya, karya ini cukup berpengaruh terhadap politisasi alQur'a n bagi generasi harakis setelahnya. Di dalamnya, pengarangnya bahkan mengritik
Tafsir al-Manar yang dinilainya telah jatuh pada model tafsir orientalisme. Karya Quthb ini
tak lebih sebagai contoh tafsir aktivis (activist's exegesis) yang cenderung anti-Barat dan
antikolonialisme."12 Menurutnya, karya ini bahkan menjadi book-icon bagi gerakan Islam,
yang memantik munculnya revolusi Iran 1979, Hizbullah di Lebanon dan gerakan Hamas di
jalur Gaza Palestina. Karya ini juga "dihormati" karena dua hal; ditulis di penjara dan
penulisnya dieksekusi mati di tiang gantungan (antara lain) karenanya.13 Membaca
keterangan di atas, nyata sekali bahwa semua berkepentingan dengan al-Qur'an, apalagi
dalam kondisi situasi perpolitikan yang guncang dan perseteruan antar kelompok terjadi di
mana-mana. Setiap kelompok berupaya membenarkan dirinya melalui ayat-ayat suci itu.
Kaitannya dengan pembacaan al-Qur’an, proses politisasi al-Qur’an seolah tak bisa di
pisahkan dari eratnya kaitan antara teks al-Qur’an dan konteks pembacanya. Untuk
membedah hal itu, maka teori yang digagas oleh Amin al-Khuli penting untuk dipakai. Teori
yang dimunculkan oleh al-Khuli; yakni pemaduan analisis internal teks (dirasah ma fi alqur'an) dan analisis eksternal teks (dirasah ma haula al-Qur'an).14
11 Muhammad 'Ali al-Shabuni, at-Tibya>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, (Jakarta:
Dinamika Berkah Utama, 1985), hlm. 17
12 Stefan Wild, "Political Interpretation of the Qur'an"…, hlm. 282.
13 Stefan Wild, "Political Interpretation of the Qur'an"…, hlm. 282-283.
14 Ami>n al-Khu>li, al-Tafsi>r: Nasy'atuh, Tadarrujuh, Tathawwuruh, (Beyrut: Dar
al-Kitab al-Lubnani, 1982), hlm. 85.

10

Pertama, dirasah ma fi al-qur'an. Diakui, al-Qur'an sebagai kitab mujmal (global)
tidak memberikan penjelasan tema secara detail per-item-nya. Dengan menggunakan
nalarnya, disinilah penafsir bisa menafsir ayat al-Qur'an secara berbeda-beda sesuai
keperluan dan latar belakang akademiknya. Masalahnya, tidak ada tolok ukur perihal
penafsiran siapa yang benar dan penafsiran siapa yang salah. Dari sinilah yang kemudian
lahir berbagai macam dan tipe tafsir bahkan bisa jadi ada modus terpendam dibalik
penafsiran itu. Kedua, dirasah ma haula al-qur'an. Melalui studi eksternal teks ini, akan
diketahui bahwa political reading of the qur'an itu tidak semata terjadi lantaran kemujmalan
ayat, melainkan juga karena (terutama) latar belakang penafsirnya, baik latar belakang sosial
maupun akademik. Quraish Shihab mengatakan, bahwa penafsiran adalah hasil pemikiran
seseorang yang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin
ilmu yang ditekuninya, pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik, dan
sebagainya.15 Ini yang menyebabkan hasil penafsiran seringkali berbeda satu sama lain,
sebagai sesuatu yang alamiah belaka, yang tidak seharusnya dipertentangkan satu sama lain.

Kesimpulan
Suatu konsekuensi logis, sebagai kitab suci bebas akses, al-Qur’an seringkali dibaca
dan di interpretasikan beriringan dengan kepentingan beragam, termasuk kepentigan politik.
Faktor relevansi teks (al-Qur’an) dan konteks (penafsir) lah yang menjembatani terjadinya
political interpretation of the Qur’an . Kembali diulas seperti apa yang diungkapkan Quraish
Shihab, bahwa penafsiran adalah hasil pemikiran seseorang yang dipengaruhi bukan saja oleh
tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, pengalaman,
penemuan-penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik, dan sebagainya. Ini yang menyebabkan
hasil penafsiran seringkali berbeda satu sama lain, sebagai sesuatu yang alamiah belaka, yang
tidak seharusnya dipertentangkan satu sama lain.

15 M. Quraish Shihab, "Membumikan" al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Mizan), hlm. 77

11

Daftar Pustaka

al-Khu>li, Ami>n. al-Tafsi>r: Nasy'atuh, Tadarrujuh, Tathawwuruh, Beirut:
Dar al-Kitab al-Lubnani, 1982
al-Shabuni, Muhammad 'Ali. at-Tibya>n fi 'Ulu>m al-Qur'a>n, Jakarta:
Dinamika Berkah Utama, 1985
al-Munajjad, Mahir. Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur'an Kontemporer,
Yogyakarta: eLSAQ, 2008
Esack, Farid. al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang
Tertindas, Bandung: Mizan, 2000
Jansen, J.J.G. The Interpretation of the Koran in Modern Egypt, Leiden: E.J.
Brill, 1980
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013
Noryamin. Aini. “Dasar Legitimasi Sosiologis Gagasan Perubahan UndangUndang No. 1 Tahun 1974 Dalam Konteks Perubahan Sosial” dalam
Jurnal Syariah Jurnal Ilmu Hukum, No.1, Vol.7, 2007.
Syahid, Bakri. Al-Huda Tafsir Qur‟an Basa Jawi, cetakan 3. Yogyakarta:
Bagus Arafah, 1983

12

Shihab, M. Quraish. “Posisi Sentral al-Qur’an dalam Studi Islam”, dalam
Tauik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed), Metodologi Penelitian
Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989
Shihab, M. Quraish. "Membumikan" al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Mizan, 1992
Wild, Stefan. “Lost In Philology? The Virgins of Paradise And The Luxenberg
Hypothesis” dalam Angelika Neuwirth, dkk, The Quran in
Context:Historical and Literary Investigation into The Qur’anic
Milleu, Leiden-Boston: Brill, 2010
Wild, Stefan. "Political Interpretation of the Qur'an", dalam Jane Dammen
McAuliffe (ed), the Cambridge Companion to the Qur'an,
Cambridge: Cambridge University Press, 2010

13

14