pembahasan bea perolehan hak atas tanah
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana terakhir diubah dengan UU no. 20 tahun 2000.
Undang – Undang No. 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan sebagaimana telah beberapa kali perubahan,
Pertama : UU No. 7 tahun 1991, ke dua : UU No. 10 tahun
1994, Ke tiga : UU No. 17 tahun 2000 dan diubah terakhir
dengan UU Pajak Pengahasilan No. 32 tahun 2008.
Undang – Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum
dan
Tata
Cara
Perpajakan
sebagaimana
telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UU N0. 28 tahun 2007.
Pajak adalah iuran atau pungutan wajib yang dupungut
oleh
pemerintah
dari
masyarakat
untuk
menutupi
pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa
balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Namun
secara logika pajak yang dibayar oleh masyarakat tersebut
mempunyai
dampak
kesejahteraan
masyarakat
secara
seperti
langsung
pembangunan
jembatan, dan tempat-tempat umum lainnya.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan BPHTB?
1
terhadap
jalan,
2. Apa subjek dan objek dalam BPHTB?
3. Bagaimana dasar pengenaan BPHTB?
4. Bagaimana cara perhitungan dalam BPHTB?
I.3 Tujuan Penulisan
Dengan
adanya
makalah
ini
maka
pembaca
dapat
mengetahui Pengertian BPHTB, Subjek dan Objek BPHTB,
Pengenaan BPHTB, cara perhitungan BPHTB dan semua yg
menyangkut tentang BPHTB.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pengertian BPHTP
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan, yaitu perbuatan atas
yang
mengakibatkan
diperolehnya
hak
peristiwa hukum
atas
tanah
dan
bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan
atau
bangunan
adalah
hak
atas
tanah
termasuk
hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya.
Ketentuan yang menjadi dasar pelaksanaan BPHTB :
1. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 Tentang
Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Karena Pemberian Hak Pengelolaan.
3. Peratuturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 Tentang
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan.
4. Keputusan Menteri Keuangan
Nomor
515/KMK.04/2000
Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
638/KMK.04/1997.
II.2 SUBJEK DAN OBJEK PAJAK
Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Subjek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak
(Pasal 4).
3
Objek pajak adalah perolehan
hak atas tanah dan
bangunan BPHTB dikenakan kepada peristiwa hukum atau
perbuatan hukum atas transaksi atau peralihan haknya yang
meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru.
Pemindahan hak dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar,
hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainnya. Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan,
penunjukkan
pembeli
dalam
lelang
usaha,
peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah.
Hak atas tanah meliputi :
1. Hak milik, yaitu turun menurun yang dapat dipunyai oleh
orang pribadi atau badan hukum tertentu.
2. Hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara.
3. Hak guna bangunan, yaitu
untuk
mendirikan
dan
mempunyai bangunan – bangunan atas tanah yang hukan
miliknya
sendiri
dengan
jangka
waktu
yang
telah
ditetapkan.
4. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain sesuai perjanjian.
5. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai oleh negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegang haknya.
Objek yang tidak dikenakan pajak :
1. Perwakilan diplomatik
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan pelaksaan
pembangunan guna kepentingan umum.
3. Badan untuk perwakilan organisasi internasional
pemerintah maupun non pemerintah
4
baik
4. Orang pribadi atau badan
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf
6. Orang pribadi atau badan yang digunakkan untuk ibadah.
II.3 TARIF DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA PERHITUNGAN
PAJAK
Tarif BPHTB adalah tarif tunggal yang ditetapkan sebesar 5%
dasar penggunaan pajak BPHTB adalah nilai perolehan objek
pajak (NPOP) sebagaimana diatur dalam pasal 6 :
TRANSAKSI PEROLEHAN :
a) Jual beli.
b) Tukar menukar.
c) Hibah.
d) Hibah wasiat.
e) Pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainnya.
f) Pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari pelepasan
hak.
g) Pemberian hak baru atas tanag
diluar pelepasan hak.
h) Penggabungan, pelabuhan, dan
DASAR PENGENAAN :
a) Harga transaksi.
b) Nilai pasar.
c) Nilai pasar.
d) Nilai pasar.
e) Nilai pasar.
f) Nilai pasar.
g) Nilai pasar.
h) Nilai pasar.
i) Nilai pasar.
j) Harga transaksi
yang tercantum
dalam risalan lelang.
pemekaran usaha .
i) Hadrah.
j) Petunjuk pembeli dalam lelang.
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Besarnya
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat paling lambat satu
bulan sebelum tahun pajak dimulai.
5
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri
Keuangan,
menetapkan
besarnya
NPOP
secara
regional dengan ketentuan :
a) Perolehan hak waris atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu
derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan paling tinggi Rp 300.000.000,-.
b) Untuk perolehan lainnya NPOP – TKP paling tinggi Rp
60.000.000,- Besarnya pajak tentang dihitung dengan cara
mengalihkan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak, yaitu :
BPHTP = 5% x (NPOP –
NPOPTKP)
atau
BPHTP = 5% x (NJOP –
NPOPTKP)
BPHTB yang terutang atas perolehan karena waris, hibah,
hibah wasiat adalah 50% dari yang seharusnya terutang (PP
No 111 Tahun 2000) terutang sejak tanggal pendaftaran
peralihan hak ke Kantor Pertahanan Kabupaten atau Kota yang
bersangkutan.
6
II.4 SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan
bangunan :
a) Sejak tanggal dibuat dan ditanda tangani akta dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah Atau Notaris meliputi jual beli
atau tukar menukar hibah pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainnya.
b) Sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang untuk lelang.
c) Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dalam hal sudah keputusan
hakim.
II.5 PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak wajib membayar pajak terutang dengan tidak
mendasarkan
pada
adanya
Surat
Ketetapan
Pajak
(Self
Assysment System).
Pajak terutang dibayar ke Kas Negara melalui kantor pos
dan atau badan usaha milik negara atau bank badan usaha
milik daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan diwilayah Kabupaten Atau Kota yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan. BPHTB yang terutang
disetor dengan surat setoran BPHTB (SBB) dan di pindah
bukukan saldo penerimaan BPHTB ke Bank Operasional V
BPHTB .
Kewajiban
membayar
sebagaimana
tersebut
diatas
dilaksanakan sebelum :
a) Akta pindahan haka tas tanah dan bangunan ditanda
tangani oleh PPAT / NOTARIS
7
b) Risalah lelang ditanda tangani oleh pejabat lelang
c) Dilakukan pendaftaran hak oleh kepala kantor pertanahan
dalam hal :
1. Pemberian hak baru.
2. Pemindahan hak karena pelaksanaan keputusan hakim,
hibah wasiat atau waris.
Fungsi SBB antara lain :
a) Digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran
BPHTB terutang.
b) Sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak
atas tanah dan bangunan.
c) Sebagai surat pemberitahuan
Objek
Pajak
Bumi
Dan
Bangunan (SPOPPBB)
Penyampaian SSB sebagaimana tersebut diatas dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 7 hari sejak tanggal
pembayaran atau perolehan hak atas tanah atau bangunan.
II.6 PENETAPAN PAJAK
Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya
wajib
pajak,
Direktur
Jendral
Pajak
menerbitkan
Surat
Ketetapan Bea Perolehan atas Tanah Dan Bangunan kurang
bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Keputusan Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBKB) ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2 % sebulan dalam jangka waktu paling
lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai
diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
Dan Bangunan Kurang Bayar.
8
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan
Tambahan (SKBHTB) ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100 % dari jumlah kekurangan pajak
tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum
dilakukan tindakan pemeriksaan.
II.7 PENAGIHAN PAJAK
Direktorat Jendral Pajak dapat menerbitkan STBPHTB apabila :
a) Pajak terutang atau kurang bayar.
b) Dari
hasil
pemeriksaan
kantor
STBPHTB
terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
atau salah hitung.
c) Wajib pajak dikenakan sanksi atau bunga.
Sanksi administrasi dikenakan berupa bunga sebesar 2%
sebulan jangka paling lama 24 bulan sejak tanggal terutang.
Surat
Tagihan
Bea
Perolehan
Hak
atas
Tanah
dan
Bangunan (STBPHTB) mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihan dapat
dilanjutkan dengan Surat Paksa.
Dasar penagihan pajak meliputi Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembelian, Surat
Keputusan atau Putusan Banding menyebabkan pajak yang
harus dibayar bertambah maksimal satu bulan.
II.8 KEBERATAN BANDING
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktorat Jendral Pajak atas suatu :
9
a) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBKB);
b) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan
Tambahan (SKBKBT);
c) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan
Lebih Bayar (SKBLB);
d) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan
Bangunan Nihil (SKBN).
Syarat Pengajuan Keberatan :
a) Mengemukakan jumlah pajak terutang dengan disertai
alasan yang jelas.
b) Diajukan waktu paling lama 3 bulan sejak dibuktikannya
dengan tanda terima atau tenda pengiriman kantor pos
kecuali apabila wajib pajak tidak menunjukkan waktu tidak
dapat dipenuhi karena sakit atau kena musibah.
Keberatan yang tidak memenuhi syarat dianggap sebagai
Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. Apabila
diminta
oleh
wajib
pajak
untuk
keperluan
pengajuan
keberatan, direktorat jenderal pajak memerikan keterangan
secara tertulis sebagai dasar pengenaan pajak. Wajib pajak
mengajukan
penyelesaian
permohonan
sengketa
banding
pajak
hanya
mengenai
kepada
keberatan
badan
yang
ditetapkan. Permohonan banding ditetapkan maksimal 3 bulan
sejak dikeluarkan surat keberatan permohonan banding tidak
menunda kewajiban membayar pajak.
banding
dikabulkan,
imbalan
bunga
Apabila keberatan
sebesar
2%
untuk
maksimal 24 bulan sejak pembayaran yang menyebabkan
10
kelebihan sampai dengan keputusan keberatan atau putusan
banding.
PENGURANGAN PAJAK
Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan yang terutang
dapat diberikan oleh Menteri Keuangan, karena :
a. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan
Objek Pajak, yaitu :
1. Wajib pajak yang memperoleh hak baru melalui program
pemerintah;
2. Wajib pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi
yang mempunyai hubungan keluarga;
3. Wajib pajak memperoleh hak baru
selain
hak
pengelolaan.
b. Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab
sebab tertentu, yaitu :
1.Wajib pajak memperoleh hak atas tanah melalui dari
pembelian ganti rugi.
2.Wajib pajak memperoleh hak atas tanah melalui dari
tanah yang dibebaskan
3.Wajib pajak memperoleh hak atas tanah melalui dari
selain hak pengelolaan.
c. Tanah atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial
pendidikan yang semata – mata tidak untuk mencari
keuntungan.
II.9 PENGAMBILAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pengambilan kelebihan pembayaran
pajak
(restitusi)
terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau
yang telah dilakukan
pembayaran pajak yang seharusnya
11
terutang dengan catatan wajib pajak tidak mempunyai catatan
utang pajak lain.
a. Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak.
1.Dalam halam hal ini jumlah kredit pajak atau jumlah pajak
yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang :
a. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan restitusi ke
direktorat jenderal pajak yang terutang;
b. Direktur Jendral Pajak setelah melakukan pemeriksaan
atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak, menerbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar
dalam hal :
Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang;
Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang
dihitung
dikurangi
dengan
dengan
cara
jumlah
pajak
Pajak
yang
Keluaran
dipungut
oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau;
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, apabila jumlah
pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang.
c. SKPLB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan
diterima secara lengkap.
Apabila dalam jangka
waktu
12
bulan
sejak
permohonan restitusi, Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan
keputusan,
maka
permohonan
dianggap dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam
12
waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka
waktu berakhir.
Apabila SKPLB terlambat diterbitkan, kepada Wajib
Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu 1 (satu) bulan tersebut sampai dengan saat
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
2. Dalam hal pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terhutang:
Pajak yang yang seharusnya tidak terutang adalah pajak
yang telah dibayar oleh WP yang bukan merupakan objek
pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau
pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong
atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya
dipotong
atau
dipungut
berdasarkan
ketentuan
perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan
objek pajak.
a. Wajib Pajak (WP orang pribadi dan badan termasuk
orang pribadi yang belum memiliki NPWP) dapat
mengajukan permohonan restitusi ke kantor Direktur
Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP terdaftar atau
berdomisili,
apabila
terjadi
kesalahan
pembayaran
pajak atas pajak yang seharusnya tidak terutang.
Surat permohonan harus melampirkan :
Asli bukti pembayaran pajak;
Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
dan
Alasan
permohonan
pengembalian
pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang.
b. WP yang dipotong atau dipungut (PPh, PPN dan PPnBM)
dapat mengajukan permohonan restitusi ke kantor
13
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP yang
dipotong atau yang dipungut terdaftar atau melalui KPP
tempat
Pengusaha
Kena
Pajak
yang
dipungut
dikukuhkan dengan catatan PPh dan PPN serta PPnBM
yang dipotong atau dipungut belum dikreditkan atau
dibiayakan.
Surat permohonan harus melampirkan:
Asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
dan
Alasan
permohonan
pengembalian
pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang.
c. WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan
dapat mengajukan permohonan restitusi ke kantor
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP yang
melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar
atau
Pengusaha
pemungutan
pemotongan
Kena
Pajak
yang
melakukan
dikukuhkan, apabila terjadi kesalahan
atau
pemungutan
pajak
yang
dilakukannya dan pihak yang dipotong atau dipungut
adalah :
Orang pribadi yang belum memiliki NPWP;
Subjek pajak luar negeri; atau
Terdapat kesalahan penerapan ketentuan
pemotong
atau
pemungutan
melakukan
pemotongan
atau
kecuali
oleh
WP
yang
pemungutan
tidak
dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena
pembubaran usaha.
Surat permohonan harus melampirkan :
Asli bukti pembayaran pajak;
Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
14
Alasan
permohonan
pengembalian
pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang; dan d. Surat
kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut
kepada WP yang melakukan pemotongan atau
pemungutan
atau
Pengusaha
Kena
Pajak
yang
melakukan pemungutan.
d. Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap
permohonan pengembalian pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan WP diterima
secara lengkap dan menerbitkan SKPLB bila hasil
penelitian tersebut terdapat pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang. Apabila hasil penelitian tidak
terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, maka
Direktur Jenderal Pajak harus memberitahu secara
tertulis kepada WP.
b. Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Kepada Wajib
Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang
dapat
diberikan
pengembalian
pendahuluan
kelebihan
pembayaran pajak adalah :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha yang
tercantum
dalam
SPT
Tahunan
PPh
kurang
dari
Rp1.800.000.000,00 (satu milyar delapan ratus juta
rupiah)
dan
jumlah
lebih
bayarnya
kurang
dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak
15
0,5% (setengah persen) dari jumlah peredaran usaha
yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh tersebut;
3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha yang
tercantum
dalam
SPT
Tahunan
PPh
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan jumlah lebih
bayarnya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah); atau;
4. Pengusaha Kena
Pajak
yang
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan
jumlah penyerahan untuk suatu Masa Pajak paling banyak
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan jumlah
lebih bayarnya paling banyak Rp 28.000.000,00 (dua
puluh delapan juta rupiah).
Terhadap
pembayaran
permohonan
pajak
dari
pengembalian
Wajib
Pajak
yang
kelebihan
memenuhi
persyaratan tertentu, Kepala KPP melakukan penelitian atas :
1. Kelengkapan SPT dan lampiran-lampirannya;
2. Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
3. Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh WP;
dan
4. Kebenaran alamat yang tercantum dalam SPT tersebut atau
dalam SPT perubahan alamat. dan menerbitkan Surat
Keputusan
Pengembalian
Pendahuluan
Kelebihan
Pajak
paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima
secara lengkap untuk Pajak Penghasilan dan paling lama 1
(satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
untuk Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal hasil penelitian
menyatakan tidak lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap,
pembayaran pajak tidak benar, atau alamat tidak sesuai
dengan
yang
tercantum
16
dalam
SPT
atau
dengan
pemberitahuan
perubahan
alamat
sehingga
Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak
diterbitkan, maka Kepala KPP harus memberitahu secara
tertulis kepada WP.
II.10 PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Berdasarkan
Keputusan
Mentri
Keuangan
Nomor
519/KMK.04/2000, penerimaan Negara dari Bea Perolehan Ha
katas Tanah dan Banunan dibagi dengan imbangan :
20% untuk Pemerintah Pusat kemudia dibagikan secara
merata kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.
80% untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk
dibagikan kembali dengan imbalan sebagai berikut :
Pemerintah Propinsi sebesar 16%, atau 20% dari 80%.
Pemerintah Kabupaten/Kotamadya 64% atau 80% dari
80%.
II.11 KETENTUAN LAINNYA
Ketentuan untuk pejabat :
Pejabat Pembuat Akta
Tanah
/
Notaris
hanya
dapat
menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau
bangunan pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran
pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.
Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah
Lelang perolehan hak atas tanah dan bangunan pada saat
WP menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan
surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat
17
menandatangani dan menerbitkan Surat Keputusan yang
dimaksud pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran
pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.
Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris
atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat
Pertahanan Kabupaten / Kota pada saat WP menyerahkan
bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan
Ha katas Tanah dan Bangunan.
Pejabat yang melanggar akan dikenakan sanksi, berupa :
Denda sebesar Rp 7.500.000,00 jika penandatanganan akta
atau risalah lelang tanpa SSP.
Denda sebesar Rp 250.000,00 untuk setiap pelanggaran
pembuatan laporan.
II.12 PENGHITUNGAN PAJAK
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan
Objek
Pajak
Tidak
Kena
Pajak
(NPOPTKP),
atau
lebih
lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
XXXXX
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
XXXXX (-)
(NPOPTKP)
XXXXX
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
(NPOPKP)
XXXXX
18
Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP
19
BAB III
PEMBAHASAN
Contoh Soal :
1. Seorang
anak
menerima
warisan
dari
orang
tuanya
sebidang tanah dan bangunan dengan nilai pasar pada waktu
pendaftaran hak sebesar Rp 250.000.000,00. Terhadap tanah
dan bangunan tersebut telah dikenakan PBB dengan NJOP
sebesar Rp 325.000.000,00. Apabila NPOPTKP karena waris
untuk daerah tersebut ditentukan sebesar Rp 250.000.000,00
maka BPHTB yang terutang adalah sebesar :
2. Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya
sebidang tanah seluas 300 M2 dengan nilai pasar pada waktu
pendaftaran hak sebesar Rp 300.000.000,00. Terhadap tanah
tersebut telah diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran
hak
dengan
NPOPTKP
NJOP
pada
sebesar
daerah
Rp
tersebut
250.000.000,00.
ditentukan
Apabila
sebesar
Rp
50.000.000,00 juta BPHTB yang terutang adalah sebesar :
3. Sebuah Yayasan Yatim Piatu “ Al-Jannah” menerima hibah
wasiat dari seorang dermawan sebidang tanah seluas 1.000
M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp
20
800.000.000,00.
Apabila
NPOPTKP
pada
daerah
tersebut
ditentukan sebesar Rp 60.000.000,00 maka BPHTB terutang
yang harus dibayar oleh Yayasan tersebut adalah sebesar :
4. Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya dengan
nilai pasar Rp. 500.000.000,00. NJOP yang tercantum dalam
SPPT
Rp.
800.000.000,00.
NPOPTKP Rp.
300.000.000,00.
Berapa Besarnya BPHTB-nya?
5. Budi
sebidang
menerima
tanah
hibah
dan
wasiat
bangunan
dari
ayak
dengan
nilai
kandungnya
pasar
Rp.
500.000.000,00, SPPT NJOP-nya Rp. 450.000.000,00. Apabila
NPOPTKP
ditetapkan
Rp.
300.000.000,
maka
BPHTBnya
adalah?
6. Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak yatim memperoleh hibah
wasiat sebidang Tanah dan Bangunan dengan nilai pasar Rp.
1.000.000.000,00. SPPT dengan NJOP Rp. 900.000.000. Apabila
NPOP TKP Rp. 300.000.000, maka BPHTB adalah?
21
22
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah bea
yang dikenakan pada setiap pemindahan hak atau hibah
wasiat atas harta tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah
yang pemindahan haknya dilakukan dengan akta.
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek
BPHTB yang dikenakan kewajibah wajib membayar BPHTB
yang menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi
Wajib Pajak.
IV.2 Saran
Isi dari makalah ini masih belum lengkap dan jauh dari
kodisi sempurna, oleh sebab itu penulis dengan senang hati
mengaharapkan masukan dan kritikan dari pembaca guna
penyempurnaan lebih lanjut.
23
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana terakhir diubah dengan UU no. 20 tahun 2000.
Undang – Undang No. 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan sebagaimana telah beberapa kali perubahan,
Pertama : UU No. 7 tahun 1991, ke dua : UU No. 10 tahun
1994, Ke tiga : UU No. 17 tahun 2000 dan diubah terakhir
dengan UU Pajak Pengahasilan No. 32 tahun 2008.
Undang – Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum
dan
Tata
Cara
Perpajakan
sebagaimana
telah
beberapa kali diubah terakhir dengan UU N0. 28 tahun 2007.
Pajak adalah iuran atau pungutan wajib yang dupungut
oleh
pemerintah
dari
masyarakat
untuk
menutupi
pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa
balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Namun
secara logika pajak yang dibayar oleh masyarakat tersebut
mempunyai
dampak
kesejahteraan
masyarakat
secara
seperti
langsung
pembangunan
jembatan, dan tempat-tempat umum lainnya.
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan BPHTB?
1
terhadap
jalan,
2. Apa subjek dan objek dalam BPHTB?
3. Bagaimana dasar pengenaan BPHTB?
4. Bagaimana cara perhitungan dalam BPHTB?
I.3 Tujuan Penulisan
Dengan
adanya
makalah
ini
maka
pembaca
dapat
mengetahui Pengertian BPHTB, Subjek dan Objek BPHTB,
Pengenaan BPHTB, cara perhitungan BPHTB dan semua yg
menyangkut tentang BPHTB.
2
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Pengertian BPHTP
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB)
adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan, yaitu perbuatan atas
yang
mengakibatkan
diperolehnya
hak
peristiwa hukum
atas
tanah
dan
bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas tanah dan
atau
bangunan
adalah
hak
atas
tanah
termasuk
hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya.
Ketentuan yang menjadi dasar pelaksanaan BPHTB :
1. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 Tentang
Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Karena Pemberian Hak Pengelolaan.
3. Peratuturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 Tentang
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan.
4. Keputusan Menteri Keuangan
Nomor
515/KMK.04/2000
Tentang Pencabutan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
638/KMK.04/1997.
II.2 SUBJEK DAN OBJEK PAJAK
Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Subjek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak
(Pasal 4).
3
Objek pajak adalah perolehan
hak atas tanah dan
bangunan BPHTB dikenakan kepada peristiwa hukum atau
perbuatan hukum atas transaksi atau peralihan haknya yang
meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru.
Pemindahan hak dapat terjadi karena jual beli, tukar menukar,
hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainnya. Pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan,
penunjukkan
pembeli
dalam
lelang
usaha,
peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah.
Hak atas tanah meliputi :
1. Hak milik, yaitu turun menurun yang dapat dipunyai oleh
orang pribadi atau badan hukum tertentu.
2. Hak guna usaha, yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara.
3. Hak guna bangunan, yaitu
untuk
mendirikan
dan
mempunyai bangunan – bangunan atas tanah yang hukan
miliknya
sendiri
dengan
jangka
waktu
yang
telah
ditetapkan.
4. Hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain sesuai perjanjian.
5. Hak pengelolaan, yaitu hak menguasai oleh negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada
pemegang haknya.
Objek yang tidak dikenakan pajak :
1. Perwakilan diplomatik
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan pelaksaan
pembangunan guna kepentingan umum.
3. Badan untuk perwakilan organisasi internasional
pemerintah maupun non pemerintah
4
baik
4. Orang pribadi atau badan
5. Orang pribadi atau badan karena wakaf
6. Orang pribadi atau badan yang digunakkan untuk ibadah.
II.3 TARIF DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA PERHITUNGAN
PAJAK
Tarif BPHTB adalah tarif tunggal yang ditetapkan sebesar 5%
dasar penggunaan pajak BPHTB adalah nilai perolehan objek
pajak (NPOP) sebagaimana diatur dalam pasal 6 :
TRANSAKSI PEROLEHAN :
a) Jual beli.
b) Tukar menukar.
c) Hibah.
d) Hibah wasiat.
e) Pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainnya.
f) Pemberian hak baru atas tanah
sebagai kelanjutan dari pelepasan
hak.
g) Pemberian hak baru atas tanag
diluar pelepasan hak.
h) Penggabungan, pelabuhan, dan
DASAR PENGENAAN :
a) Harga transaksi.
b) Nilai pasar.
c) Nilai pasar.
d) Nilai pasar.
e) Nilai pasar.
f) Nilai pasar.
g) Nilai pasar.
h) Nilai pasar.
i) Nilai pasar.
j) Harga transaksi
yang tercantum
dalam risalan lelang.
pemekaran usaha .
i) Hadrah.
j) Petunjuk pembeli dalam lelang.
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Besarnya
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat paling lambat satu
bulan sebelum tahun pajak dimulai.
5
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri
Keuangan,
menetapkan
besarnya
NPOP
secara
regional dengan ketentuan :
a) Perolehan hak waris atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat keatas atau satu
derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk
suami/istri. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
ditetapkan paling tinggi Rp 300.000.000,-.
b) Untuk perolehan lainnya NPOP – TKP paling tinggi Rp
60.000.000,- Besarnya pajak tentang dihitung dengan cara
mengalihkan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak
Kena Pajak, yaitu :
BPHTP = 5% x (NPOP –
NPOPTKP)
atau
BPHTP = 5% x (NJOP –
NPOPTKP)
BPHTB yang terutang atas perolehan karena waris, hibah,
hibah wasiat adalah 50% dari yang seharusnya terutang (PP
No 111 Tahun 2000) terutang sejak tanggal pendaftaran
peralihan hak ke Kantor Pertahanan Kabupaten atau Kota yang
bersangkutan.
6
II.4 SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan
bangunan :
a) Sejak tanggal dibuat dan ditanda tangani akta dihadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah Atau Notaris meliputi jual beli
atau tukar menukar hibah pemasukan dalam perseroan atau
badan hukum lainnya.
b) Sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang untuk lelang.
c) Sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dalam hal sudah keputusan
hakim.
II.5 PEMBAYARAN PAJAK
Wajib Pajak wajib membayar pajak terutang dengan tidak
mendasarkan
pada
adanya
Surat
Ketetapan
Pajak
(Self
Assysment System).
Pajak terutang dibayar ke Kas Negara melalui kantor pos
dan atau badan usaha milik negara atau bank badan usaha
milik daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan diwilayah Kabupaten Atau Kota yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan. BPHTB yang terutang
disetor dengan surat setoran BPHTB (SBB) dan di pindah
bukukan saldo penerimaan BPHTB ke Bank Operasional V
BPHTB .
Kewajiban
membayar
sebagaimana
tersebut
diatas
dilaksanakan sebelum :
a) Akta pindahan haka tas tanah dan bangunan ditanda
tangani oleh PPAT / NOTARIS
7
b) Risalah lelang ditanda tangani oleh pejabat lelang
c) Dilakukan pendaftaran hak oleh kepala kantor pertanahan
dalam hal :
1. Pemberian hak baru.
2. Pemindahan hak karena pelaksanaan keputusan hakim,
hibah wasiat atau waris.
Fungsi SBB antara lain :
a) Digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran
BPHTB terutang.
b) Sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak
atas tanah dan bangunan.
c) Sebagai surat pemberitahuan
Objek
Pajak
Bumi
Dan
Bangunan (SPOPPBB)
Penyampaian SSB sebagaimana tersebut diatas dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 7 hari sejak tanggal
pembayaran atau perolehan hak atas tanah atau bangunan.
II.6 PENETAPAN PAJAK
Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya
wajib
pajak,
Direktur
Jendral
Pajak
menerbitkan
Surat
Ketetapan Bea Perolehan atas Tanah Dan Bangunan kurang
bayar apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang bayar.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Keputusan Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBKB) ditambah dengan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2 % sebulan dalam jangka waktu paling
lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai
diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
Dan Bangunan Kurang Bayar.
8
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan
Tambahan (SKBHTB) ditambah dengan sanksi administrasi
berupa kenaikan sebesar 100 % dari jumlah kekurangan pajak
tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum
dilakukan tindakan pemeriksaan.
II.7 PENAGIHAN PAJAK
Direktorat Jendral Pajak dapat menerbitkan STBPHTB apabila :
a) Pajak terutang atau kurang bayar.
b) Dari
hasil
pemeriksaan
kantor
STBPHTB
terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
atau salah hitung.
c) Wajib pajak dikenakan sanksi atau bunga.
Sanksi administrasi dikenakan berupa bunga sebesar 2%
sebulan jangka paling lama 24 bulan sejak tanggal terutang.
Surat
Tagihan
Bea
Perolehan
Hak
atas
Tanah
dan
Bangunan (STBPHTB) mempunyai kekuatan hukum yang sama
dengan surat ketetapan pajak, sehingga penagihan dapat
dilanjutkan dengan Surat Paksa.
Dasar penagihan pajak meliputi Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembelian, Surat
Keputusan atau Putusan Banding menyebabkan pajak yang
harus dibayar bertambah maksimal satu bulan.
II.8 KEBERATAN BANDING
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktorat Jendral Pajak atas suatu :
9
a) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBKB);
b) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan
Tambahan (SKBKBT);
c) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan
Lebih Bayar (SKBLB);
d) Surat Ketetapan Bea Perolehan Atas Tanah Dan Bangunan
Bangunan Nihil (SKBN).
Syarat Pengajuan Keberatan :
a) Mengemukakan jumlah pajak terutang dengan disertai
alasan yang jelas.
b) Diajukan waktu paling lama 3 bulan sejak dibuktikannya
dengan tanda terima atau tenda pengiriman kantor pos
kecuali apabila wajib pajak tidak menunjukkan waktu tidak
dapat dipenuhi karena sakit atau kena musibah.
Keberatan yang tidak memenuhi syarat dianggap sebagai
Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. Apabila
diminta
oleh
wajib
pajak
untuk
keperluan
pengajuan
keberatan, direktorat jenderal pajak memerikan keterangan
secara tertulis sebagai dasar pengenaan pajak. Wajib pajak
mengajukan
penyelesaian
permohonan
sengketa
banding
pajak
hanya
mengenai
kepada
keberatan
badan
yang
ditetapkan. Permohonan banding ditetapkan maksimal 3 bulan
sejak dikeluarkan surat keberatan permohonan banding tidak
menunda kewajiban membayar pajak.
banding
dikabulkan,
imbalan
bunga
Apabila keberatan
sebesar
2%
untuk
maksimal 24 bulan sejak pembayaran yang menyebabkan
10
kelebihan sampai dengan keputusan keberatan atau putusan
banding.
PENGURANGAN PAJAK
Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan yang terutang
dapat diberikan oleh Menteri Keuangan, karena :
a. Kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan
Objek Pajak, yaitu :
1. Wajib pajak yang memperoleh hak baru melalui program
pemerintah;
2. Wajib pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi
yang mempunyai hubungan keluarga;
3. Wajib pajak memperoleh hak baru
selain
hak
pengelolaan.
b. Kondisi wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab
sebab tertentu, yaitu :
1.Wajib pajak memperoleh hak atas tanah melalui dari
pembelian ganti rugi.
2.Wajib pajak memperoleh hak atas tanah melalui dari
tanah yang dibebaskan
3.Wajib pajak memperoleh hak atas tanah melalui dari
selain hak pengelolaan.
c. Tanah atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial
pendidikan yang semata – mata tidak untuk mencari
keuntungan.
II.9 PENGAMBILAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
Pengambilan kelebihan pembayaran
pajak
(restitusi)
terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau
yang telah dilakukan
pembayaran pajak yang seharusnya
11
terutang dengan catatan wajib pajak tidak mempunyai catatan
utang pajak lain.
a. Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak.
1.Dalam halam hal ini jumlah kredit pajak atau jumlah pajak
yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang
terutang :
a. Wajib pajak dapat mengajukan permohonan restitusi ke
direktorat jenderal pajak yang terutang;
b. Direktur Jendral Pajak setelah melakukan pemeriksaan
atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak, menerbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar
dalam hal :
Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang;
Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang
dihitung
dikurangi
dengan
dengan
cara
jumlah
pajak
Pajak
yang
Keluaran
dipungut
oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau;
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, apabila jumlah
pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah
pajak yang terutang.
c. SKPLB diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling
lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan
diterima secara lengkap.
Apabila dalam jangka
waktu
12
bulan
sejak
permohonan restitusi, Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan
keputusan,
maka
permohonan
dianggap dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam
12
waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka
waktu berakhir.
Apabila SKPLB terlambat diterbitkan, kepada Wajib
Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka
waktu 1 (satu) bulan tersebut sampai dengan saat
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
2. Dalam hal pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terhutang:
Pajak yang yang seharusnya tidak terutang adalah pajak
yang telah dibayar oleh WP yang bukan merupakan objek
pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau
pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong
atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya
dipotong
atau
dipungut
berdasarkan
ketentuan
perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan
objek pajak.
a. Wajib Pajak (WP orang pribadi dan badan termasuk
orang pribadi yang belum memiliki NPWP) dapat
mengajukan permohonan restitusi ke kantor Direktur
Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP terdaftar atau
berdomisili,
apabila
terjadi
kesalahan
pembayaran
pajak atas pajak yang seharusnya tidak terutang.
Surat permohonan harus melampirkan :
Asli bukti pembayaran pajak;
Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
dan
Alasan
permohonan
pengembalian
pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang.
b. WP yang dipotong atau dipungut (PPh, PPN dan PPnBM)
dapat mengajukan permohonan restitusi ke kantor
13
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP yang
dipotong atau yang dipungut terdaftar atau melalui KPP
tempat
Pengusaha
Kena
Pajak
yang
dipungut
dikukuhkan dengan catatan PPh dan PPN serta PPnBM
yang dipotong atau dipungut belum dikreditkan atau
dibiayakan.
Surat permohonan harus melampirkan:
Asli bukti pemotongan/pemungutan pajak;
Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
dan
Alasan
permohonan
pengembalian
pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang.
c. WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan
dapat mengajukan permohonan restitusi ke kantor
Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP yang
melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar
atau
Pengusaha
pemungutan
pemotongan
Kena
Pajak
yang
melakukan
dikukuhkan, apabila terjadi kesalahan
atau
pemungutan
pajak
yang
dilakukannya dan pihak yang dipotong atau dipungut
adalah :
Orang pribadi yang belum memiliki NPWP;
Subjek pajak luar negeri; atau
Terdapat kesalahan penerapan ketentuan
pemotong
atau
pemungutan
melakukan
pemotongan
atau
kecuali
oleh
WP
yang
pemungutan
tidak
dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena
pembubaran usaha.
Surat permohonan harus melampirkan :
Asli bukti pembayaran pajak;
Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
14
Alasan
permohonan
pengembalian
pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang; dan d. Surat
kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut
kepada WP yang melakukan pemotongan atau
pemungutan
atau
Pengusaha
Kena
Pajak
yang
melakukan pemungutan.
d. Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap
permohonan pengembalian pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan WP diterima
secara lengkap dan menerbitkan SKPLB bila hasil
penelitian tersebut terdapat pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang. Apabila hasil penelitian tidak
terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, maka
Direktur Jenderal Pajak harus memberitahu secara
tertulis kepada WP.
b. Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak Kepada Wajib
Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu.
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang
dapat
diberikan
pengembalian
pendahuluan
kelebihan
pembayaran pajak adalah :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha yang
tercantum
dalam
SPT
Tahunan
PPh
kurang
dari
Rp1.800.000.000,00 (satu milyar delapan ratus juta
rupiah)
dan
jumlah
lebih
bayarnya
kurang
dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak
15
0,5% (setengah persen) dari jumlah peredaran usaha
yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh tersebut;
3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha yang
tercantum
dalam
SPT
Tahunan
PPh
paling
banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan jumlah lebih
bayarnya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah); atau;
4. Pengusaha Kena
Pajak
yang
menyampaikan
Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan
jumlah penyerahan untuk suatu Masa Pajak paling banyak
Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan jumlah
lebih bayarnya paling banyak Rp 28.000.000,00 (dua
puluh delapan juta rupiah).
Terhadap
pembayaran
permohonan
pajak
dari
pengembalian
Wajib
Pajak
yang
kelebihan
memenuhi
persyaratan tertentu, Kepala KPP melakukan penelitian atas :
1. Kelengkapan SPT dan lampiran-lampirannya;
2. Kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
3. Kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh WP;
dan
4. Kebenaran alamat yang tercantum dalam SPT tersebut atau
dalam SPT perubahan alamat. dan menerbitkan Surat
Keputusan
Pengembalian
Pendahuluan
Kelebihan
Pajak
paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima
secara lengkap untuk Pajak Penghasilan dan paling lama 1
(satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
untuk Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal hasil penelitian
menyatakan tidak lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap,
pembayaran pajak tidak benar, atau alamat tidak sesuai
dengan
yang
tercantum
16
dalam
SPT
atau
dengan
pemberitahuan
perubahan
alamat
sehingga
Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak
diterbitkan, maka Kepala KPP harus memberitahu secara
tertulis kepada WP.
II.10 PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PAJAK
Berdasarkan
Keputusan
Mentri
Keuangan
Nomor
519/KMK.04/2000, penerimaan Negara dari Bea Perolehan Ha
katas Tanah dan Banunan dibagi dengan imbangan :
20% untuk Pemerintah Pusat kemudia dibagikan secara
merata kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.
80% untuk Pemerintah Daerah yang bersangkutan untuk
dibagikan kembali dengan imbalan sebagai berikut :
Pemerintah Propinsi sebesar 16%, atau 20% dari 80%.
Pemerintah Kabupaten/Kotamadya 64% atau 80% dari
80%.
II.11 KETENTUAN LAINNYA
Ketentuan untuk pejabat :
Pejabat Pembuat Akta
Tanah
/
Notaris
hanya
dapat
menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau
bangunan pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran
pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.
Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah
Lelang perolehan hak atas tanah dan bangunan pada saat
WP menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat
Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan
surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat
17
menandatangani dan menerbitkan Surat Keputusan yang
dimaksud pada saat WP menyerahkan bukti pembayaran
pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.
Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris
atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat
Pertahanan Kabupaten / Kota pada saat WP menyerahkan
bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan
Ha katas Tanah dan Bangunan.
Pejabat yang melanggar akan dikenakan sanksi, berupa :
Denda sebesar Rp 7.500.000,00 jika penandatanganan akta
atau risalah lelang tanpa SSP.
Denda sebesar Rp 250.000,00 untuk setiap pelanggaran
pembuatan laporan.
II.12 PENGHITUNGAN PAJAK
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan
Objek
Pajak
Tidak
Kena
Pajak
(NPOPTKP),
atau
lebih
lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
XXXXX
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
XXXXX (-)
(NPOPTKP)
XXXXX
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
(NPOPKP)
XXXXX
18
Besarnya BPHTB terutang = 5 % X NPOPKP
19
BAB III
PEMBAHASAN
Contoh Soal :
1. Seorang
anak
menerima
warisan
dari
orang
tuanya
sebidang tanah dan bangunan dengan nilai pasar pada waktu
pendaftaran hak sebesar Rp 250.000.000,00. Terhadap tanah
dan bangunan tersebut telah dikenakan PBB dengan NJOP
sebesar Rp 325.000.000,00. Apabila NPOPTKP karena waris
untuk daerah tersebut ditentukan sebesar Rp 250.000.000,00
maka BPHTB yang terutang adalah sebesar :
2. Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya
sebidang tanah seluas 300 M2 dengan nilai pasar pada waktu
pendaftaran hak sebesar Rp 300.000.000,00. Terhadap tanah
tersebut telah diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran
hak
dengan
NPOPTKP
NJOP
pada
sebesar
daerah
Rp
tersebut
250.000.000,00.
ditentukan
Apabila
sebesar
Rp
50.000.000,00 juta BPHTB yang terutang adalah sebesar :
3. Sebuah Yayasan Yatim Piatu “ Al-Jannah” menerima hibah
wasiat dari seorang dermawan sebidang tanah seluas 1.000
M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp
20
800.000.000,00.
Apabila
NPOPTKP
pada
daerah
tersebut
ditentukan sebesar Rp 60.000.000,00 maka BPHTB terutang
yang harus dibayar oleh Yayasan tersebut adalah sebesar :
4. Seorang anak memperoleh warisan dari ayahnya dengan
nilai pasar Rp. 500.000.000,00. NJOP yang tercantum dalam
SPPT
Rp.
800.000.000,00.
NPOPTKP Rp.
300.000.000,00.
Berapa Besarnya BPHTB-nya?
5. Budi
sebidang
menerima
tanah
hibah
dan
wasiat
bangunan
dari
ayak
dengan
nilai
kandungnya
pasar
Rp.
500.000.000,00, SPPT NJOP-nya Rp. 450.000.000,00. Apabila
NPOPTKP
ditetapkan
Rp.
300.000.000,
maka
BPHTBnya
adalah?
6. Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak yatim memperoleh hibah
wasiat sebidang Tanah dan Bangunan dengan nilai pasar Rp.
1.000.000.000,00. SPPT dengan NJOP Rp. 900.000.000. Apabila
NPOP TKP Rp. 300.000.000, maka BPHTB adalah?
21
22
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah bea
yang dikenakan pada setiap pemindahan hak atau hibah
wasiat atas harta tetap dan hak-hak kebendaan atas tanah
yang pemindahan haknya dilakukan dengan akta.
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek
BPHTB yang dikenakan kewajibah wajib membayar BPHTB
yang menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi
Wajib Pajak.
IV.2 Saran
Isi dari makalah ini masih belum lengkap dan jauh dari
kodisi sempurna, oleh sebab itu penulis dengan senang hati
mengaharapkan masukan dan kritikan dari pembaca guna
penyempurnaan lebih lanjut.
23